Anda di halaman 1dari 9

Laporan Menyeluruh dan Pemerintahan

Tugas apoteker yang dicantumkan dalam FIP lebih terperinci dan lengkap
dibandingkan dengan yang dicantumkan dalam PERMENKES no. 377 tahun
2009. Dalam PERMENKES tugas apoteker hanya menyusun atau membuat
laporan-laporan yang berhubungan dengan perbekalan farmasi dan farmasi klinik
serta membimbing dalam bidang kefarmasian, sedangkan yang dicantumkan oleh
FIP tugas apoteker lebih banyak dan lengkap diantaranya seperti memiliki rencana
jika kekurangan obat-obatan dalam keadaan darurat, beranggung jawab dalam
pembuangan limbah terkait dengan penggunaan obat-obat, terlibat dalam metodemetode baru untuk meningkatkan penggunaan obat. Hal-hal tersebut tidak
dicantumkan di PERMENKES sehingga tugas apoteker kurang lengkap.

Tema 1 Pengadaan
Dalam hal pengadaan FIP lebih baik dibandingkan dengan Permenkes no
377 tahun 2009 karena tugas apoteker yang dicantumkan FIP terlihat lebih terlibat
dalam proses pengadaan obat dan produk kesehatan, apoteker harus turun ke
lapang dibandingkan dengan peraturan Permenkes no 377 tahun 2009 apoteker
bertugas hanya membuat surat pesanan untuk pembelian. Selain itu untuk
pengadaan FIP lebih mengutamakan jaminan kualitas yang kuat dan didukung
sistem informasi yang handal sehingga kecil kemungkinan ada perbekalan atau
barang farmasi yang tidak sesuai dengan persyaratan yang membuat waktu dan
biaya lebih efektif, dibandingkan dengan Permenkes no 377 tahun 2009 jika ada
perbekalan atau barang farmasi yang tidak sesuai persyaratan maka harus
dilakukan pengembalian sehingga waktu dan biaya kurang efektif.

Tema 2 Pengaruh pada Peresepan


Jika ditinjau dalam hal kelengkapan, tugas apoteker menurut FIP lebih
lengkap dibandingkan dengan Permenkes no. 377 tahun 2009 di mana dalam FIP
tidak hanya menyebutkan tugas apoteker dalam hal peresepan melainkan
menjelaskan pula tata cara pengobatan kepada pasien yang harus berdasarkan
formularium berbasis bukti, kewajiban untuk menjadi anggota Komite Farmasi
dan Terapi yang dapat mengawasi kebijakan manajemen obat-obatan, serta
menjadi bagian multidisiplin yang berkolaborasi sehingga dapat mempengaruhi
keputusan terapi pasien. Meskipun demikian, tugas apoteker yang tercantum
dalam Permenkes no. 377 tahun 2009 dituliskan lebih detail dibandingkan dengan
yang tercantum dalam FIP. Dalam permenkes no. 377 tahun 2009, pelayanan yang
dilakukan terhadap pasien dalam hal peresepan dimulai dari tahap validasi,
interpretasi, penyiapan obat, pemberian etiker, penyerahan, informasi, serta
dokumentasi, di mana hal tersebut tidak disebutkan secara detail dalam FIP.
Dalam hal pemantauan terhadap terapi pasien, baik FIP maupun
Permenkes no. 377 tahun 2009 telah mencantumkannya, namun dalam Permenkes
no. 377 tahun 2009 tugas tersebut dibuat lebih detail. Dalam permenkes no. 377
tahun 2009 apoteker bertugas menelusuri catatan medis pasien yang dapat
digunakan sebagai penunjang yang berkaitan dengan diagnosis penyakit,
menganalisisnya dan menyimpulkan apakah terapi yang diberikan sesuai dengan
indikasi serta mendokumentasikannya. Kegiatan dokumentasi tersebut tidak
tercantum dalam FIP.
Dalam hal kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, baik FIP maupun
Permenkes no. 377 tahun 2009 telah mencantumkan tugas tersebut di mana
apoteker melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
tentang asuhan kefarmasian yang dapat mempengaruhi keputusan terapi di semua
area perawatan pasien.

Tema 3 Persiapan dan Pengiriman


Dalam hal penerimaan, penyimpanan dan pengawasan obat di dalam FIP
lebih maju karena menggunakan sistem berbasis bukti atau teknologi (misalnya,
pengisian obat secara otomatis, unit distribusi dosis, dapat dibaca oleh mesin
sistem pengkodean, dll) sehinggaobat yang datang maupun yang keluar dapat
terpantau dan mengurangi risiko kesalahan pengobatan.Namun di dalam
Permenkes No.377 dalam segi layanan klinik obat farmasi, dijelaskan secara lebih
jelas daripada penjelasan di dalam FIP. Di dalam FIP, apoteker harus terjun
langsung untuk menjamin obat yang dibuat telah memenuhi standar kualitas,obatobatan tidak tersedia secara komersial, dan memastikan bahwa layanan suntik mix
(campuran) sesuai dengan standar praktik yang diterima, hal ini tidak disebutkan
di dalam Permenkes No.377. FIP juga lebih baik dari segi pelayanan informasi
obat dan konseling obat karena di dalam FIP, apoteker mengevaluasi obat yang
dibawa ke rumah sakit oleh pasien sehingga terjadi kesesuaian obat komplementer
dan obat alternatif, menerapkan sistem penelusuran obat untuk memudahkan
penarikan obat, mengembangkan secarasederhanaaturan yang berbasis pendekatan
untuk meningkatkan keselamatan pasien maka resep harus diverifikasi sebelum
persiapan atausaat meracik. Namun dalam segi evaluasi penggunaan obat,
Permenkes No.377 lebih baik dari FIP, karena dijelaskan secara jelas dan
terperinci.

Tema 4 Administrasi
Pelayanan kefarmasian menurut FIP (Federation International Pharmaceutical)
yang dilakukan seorang farmasis di rumah sakit hanya dijelaskan secara garis
besar yaitu memastikan bahwa pasien sebelum di berikan obat harus di evaluasi
terlebih dahulu, sedangkan pada Permenkes nomor 377 tahun 2009 di uraikan
secara lebih detail mengenai tugas/peran seorang farmasis di RS diantaranya
mengkaji daftar terapi obat, memeriksa obat dan catatan medis, memantau
penggunaan obat, menganalisis dan menyimpulkan obat apa yang harus diberikan
kepada pasien dan mendokumentasikannya.
Dalam hal pelabelan FIP lebih unggul di bandingkan dengan permenkes
nomor 377 tahun 2009 sehingga pemberian obat pada pasien lebih aman yang
dibuktikan dengan langkah-langkah dalam proses pelabelan obat yang jelas
diantaranya pengidentifikasi pasien, nama obat, resep rute, dosis massa dan, bila
sesuai, volume dan laju administrasi.
FIP menjelaskan bahwa Farmasis rumah sakit harus memastikan bahwa
tenaga kesehatan profesional yang mengelola obat secara tepat dilatih untuk
penggunaan, bahaya, dan tindakan pencegahan yang diperlukan. Hal ini sangatlah
penting karena berhubungan dengan pasien dan farmasis itu sendiri sedangkan
pada permenkes nomor 377 tahun 2009 tidak membahas hal tersebut.
Dalam hal penyiapan sediaan sitostatik FIP menjelaskan dan menekankan
bahwa obat-obat kemoterapi yang beresiko tinggi harus dicek sesuai dengan resep
aslinya oleh salah satu di antaranya yaitu oleh apoteker, sedangkan pada
Permenkes nomor 377 tahun 2009 tidak menjelaskan hal tersebut dan lebih
menjelaskan mengenai kegiatan penyiapan sediaan sitostatika.
FIP membahas mengenai praktik yang mencegah kesalahan pemberian
obat khususnya pemberian obat secara intravena meliputi pelabelan dan
penggunaan obat sedangkan permenkes nomor 377 tahun 2009 hanya
menjelaskan penyiapan obat intravena.
Dalam hal menjamin kualitas pemberian obat Permenkes nomor 377 tahun
2009 membahas lebih detail meliputi evaluasi penggunaan obat, pemantauan

penggunaan obat dan kadar obat dalam darah sementara FIP tidak membahas
secara detail mengenai hal tersebut.

Tema 5 Pemantauan Penggunaan Obat


Jika ditinjau dari sisi kelengkapan detail, Basel Statement lebih detail
daripada Permenkes No.377 Tahun 2009, karena Basel Statement tidak hanya
memantau dari penggunaan pada pasien, melainkan menyebutkan pula
pemantauan kondisi obat saat masih di depo atau instalasi farmasi rumah sakit.
Pada Permenkes No.377 Tahun 2009, pemantauan penggunaan obat difokuskan
pada obat yang telah diberikan pada pasien untuk dipantau keamanannya,
terutama untuk obat-obatan yang memiliki luas terapi sempit.
Jika ditinjau dari sisi dokumentasi penggunaan obat, baik Basel Statement
maupun Permenkes No.377 Tahun 2009 sudah ada, namun Basel Statement lebih
unggul karena sistem dokumentasi dibuat mudah diakses dan terperinci, termasuk
jika terjadi kesalahan pemberian obat kepada pasien, baik yang membutuhkan
hukuman, maupun tidak.
Jika ditinjau dari dokumentasi terapi tiap pasien, baik Basel Statement
maupun Permenkes No.377 Tahun 2009 sudah memiliki catatan masing-masing
diluar rekam medis dengan tujuan peningkatan efektivitas terapi pasien, baik
secara penggunaan obat, maupun biaya.
Jika ditinjau dari teknis pemantauan efek samping obat, Permenkes
No.377 Tahun 2009 lebih detail daripada Basel Statement, seperti yang disebutkan
pada Permenkes No.377 Tahun 2009 halaman 43-44 (pemantauan efek samping
obat, pemantauan kadar obat dalam darah).

Tema 6 Sumber Daya Manusia, Pelatihan, dan Pengembangan


Dalam hal Sumber Daya Manusia, Pelatihan, serta Pengembangan, baik
dalam FIP maupun dalam Permenkes no. 377 tahun 2009, kompetensi yang harus
dimiliki oleh apoteker telah distandarisasi secara nasional, di mana dalam
Permenkes no. 377 tahun 2009 diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan
pelatihan (Diklat) yang berwenang atau sesuai peraturan yang berlaku. Namun,
dalam hal pemastian kompetensi apoteker tidak dicantumkan di dalam Permenkes
no. 377 tahun 2009 sehingga tidak dapat dinilai apakah tenaga kerja, pelatihan,
kompetensi, ukuran, dan kapasitas apoteker sudah sesuai dengan ruang lingkup
layanan, cakupan, dan tanggung jawab semua jenjang profesi farmasi.
Dalam hal sistem informasi SDM, FIP lebih unggul dibandingkan
Permenkes no. 377 tahun 2009 karena dalam FIP dijelaskan bahwa rumah sakit
harus memiliki sistem informasi SDM yang memuat data dasar untuk
perencanaan, pelatihan, penilai, dan dukungan terhadap tenaga kerja. Sedangkan
sistem informasi mengenai SDM tersbut tidak dicantumkan dalam Permenkes no.
377 tahun 2009.
Perlindungan dalam Hak Asasi Manusia juga hanya tercantum dalam FIP.
Kebijakan untuk SDM di Rumah Sakit harus berdasarkan prinsip-prinsip etika,
keadilan, serta Hak asasi Manusia dan harus mematuhi peraturan ketenagakerjaan,
pedoman, dan standar pelayanan farmasi rumah sakit. Dengan adanya ketentuan
tersebut maka hak-hak setiap SDM dalam Rumah Sakit dapat dilindungi dengan
baik. Selain itu, keunggulan FIP juga terlihat dalam kurikulum yang diharuskan,
di mana dalam FIP diterapkan pendidikan interprofesional dan perawatan berbasis
tim sehingga dalam praktik nantinya diharapkan SDM yang dihasilkan akan lebih
siap untuk berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain.
Permenkes no. 377 tahun 2009 lebih mengedepankan pengembangan
profesi dibandingkan dengan pengembangan Sumber Daya Manusianya, di mana
pengembangan profesi tersebut tidak dijelaskan secara nyata dalam FIP.
Pengembangan profesi yang dilakukan meliputi pembutaan karya tulis ilmiah,

pembuatan buku pedoman teknis di bidang kefarmasian/kesehatan, menemukan


atau mengembangkan teknologi tepat guna dibidang kefarmasian dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai