Anda di halaman 1dari 1

Bercermin Pada Hajar: Sudahkah Kita Menaklukkan Ego Kita?

Wanita mulia itu tak bisa berbuat apa-apa lagi setelah sang suami mengatakan bahwa apa yang ia
lakukan atas perintah Allah. Hanya tawakal yang tersisa. Bersama anaknya Ismail yang masih bayi,
ia ditinggal di tempat di mana tidak orang lain menjadi tempat bertanya dan meminta pertolongan.
Allah-lah yang menjadi tempat ia berlindung dan bergantungnya. Tidak ada tempat tinggal yang bisa
jadikan untuk berteduh dari panasnya sengatan matahari. Tidak ada fasilitas hidup yang
mendukungnya kecuali alam yang keras.
Sepi, lengang, gersang. Beralaskan pasir dan bebatuan. Beratapkan langit dalam sengatan matahari
yang terik. Namun Hajar tak mengeluh. Tak sedikit pun keluar dari bibirnya penyesalan karena telah
menikah dengan Ibrahim , yang akhirnya harus ditinggal di tempat yang asing hanya berteman sang
bayi. Hanya keyakinan bahwa ini adalah perintah Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambaNya. Ia kuat dan tegar menjalani ujian tersebut.
Tinggallah Hajar bersama bayinya sendiri tanpa siapa pun kecuali Allah. Sampai akhirnya air dan
perbekalan makanan (kurma) yang disediakan Ibrahim telah habis. Air susunya pun telah kering.
Hajar tidak tega melihat bayinya terus menangis kehausan. Hajar berjalan mencari air sampai ke
bukit Shafa. Lalu berjalan lagi ke Marwa. Tak ia temukan juga air yang ia cari. Begitulah berulangulang sampai tujuh kali. Namun Allah Maha Melihat dan Maha Penyayang. Ikhtiar gigihnya mencari
air akhirnya berbuah manis. Allah memerintahkan malaikat untuk menggali air di sekitar kaki mungil
Ismail.
Episode 2
Anak kecil itu kebingungan mencari ibunya. Tangisnya pecah ketika tak ada seorang pun di
sekelilingnya yang ia kenal. Anak yang berumur 3 tahun itu ditinggal ibunya seorang diri di pusat
perbelanjaan. Dengan alasan himpitan ekonomi, sang ibu tega meninggalkan buah hatinya sendiri.
Atas nama himpitan ekonomi pula, hampir tiap hari kita saksikan bayi-bayi yang tak berdosa dibuang
ibunya di tong sampah, di pinggir jalan, di depan pintu rumah orang. Hilang sudah naluri seorang ibu;
penyayang, pengasih, dan pelindung dalam dirinya. Dari data Kementerian Sosial, sampai tahun
2015 terdapat sekitar 4,1 juta anak terlantar di Indonesia.
Atas nama mengejar kesejahteraan pula, banyak ibu rela menitipkan anak bayinya kepada sang
nenek. Ibu yang sudah tua renta yang harusnya kita jaga dan kita rawat, malah kita repotkan untuk
merawat cucunya yang ditinggal ibunya mengejar kepuasan dunia.
Harusnya kita malu pada Hajar. Ia mampu meninggalkan keegoannya demi anaknya. Mungkin jika
menuruti keegoannya, mendengar Ismail terus menangis, ia akan kesal dan meninggalkan anak
tersebut sendiri.
Seorang ibu senantiasa mendahului kepentingan anak-anaknya daripada kepentingan dirinya sendiri.
Hormon cinta ibu akan mendorong seorang wanita untuk tidak mementingkan dirinya sendiri, tidak
egois, dan senantiasa bersedia mengorbankan segala sesuatunya demi kebahagiaan buah hatinya.
Hajar berjuang keras mencari air agar ia bisa meminumnya sehingga asi susunya (ASI-nya) terisi
kembali dan Ismail tidak kehausan lagi. Lalu bagaimana dengan ibu-ibu saat ini? Hari ini kita saksikan
masih banyak ibu yang enggan menyusui anaknya dengan ASI. Memilih susu formula yang mudah
dan instan. Padahal Air susu ibu (ASI) merupakan gizi terbaik untuk bayi. Terutama untuk kekebalan
tubuh bayi, sehingga terhindar dari berbagai penyakit. Sayangnya, tak semua ibu mau menyusui
bayinya. Alasan para wanita memilih berhenti memberikan ASI berkaitan dengan banyak hal. Seperti,
rasa sakit saat menyusui, volume susu rendah, kembali bekerja, khawatir bentuk payudara rusak.
Harusnya kita malu pada Hajar. Di saat kita hidup dengan berbagai kemudahan, kita masih terus
mengeluh. Fasilitas hidup kita sudah sangat lengkap Allah berikan, namun tetap saja tak muncul rasa
syukur pada bibir dan sikap kita. Masih kurang inilah, masih kurang itulah. Belum punya inilah, belum
punya itulah. Nafsu keserakahan telah menguasai hati dan pikiran kita.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/09/10/82636/bercermin-hajar-sudahkah-kita-menaklukkanego-kita/#ixzz4NXh1fBD7
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai