Anda di halaman 1dari 20

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS HUKUM

Kegagalan PBB dalam Penyelesaian Konflik Kashmir


MATA KULIAH PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Aldila Irsyad
13/345559/HK/19554

YOGYAKARTA

2016

I.

LATAR BELAKANG

Masih dalam minggu yang sama paper ini dibuat, tujuh belas tentara India
dibunuh oleh para separatis di Kashmir.1 Tiga jam baku tembak antara India dan
para separatis merupakan hasil dari ketegangan di satu-satunya wilayah India
yang penduduknya mayoritas Islam. Sejak bulan Juli hingga September tahun
2016 sendiri, setidaknya 78 penduduk sipil terbunuh akibat bentrokan di jalanan
dengan tentara India. Bentrokan selama dua bulan terakhir ini dimulai dari
terbunuhnya pemimpin grup separatis yang berasal dari Pakistan.
Semenjak tahun 1989, setidaknya 40.000 telah meninggal2 (beberapa
sumber menyebutkan hingga 100.000 korban jiwa) di Kashmir akibat dari segala
macam bentrokan dan perlawanan. Peristiwa semacam ini menimbulkan potensi
ancaman akan perang antara India dan Pakistan, dua negara yang dipersenjatai
dengan senjata nuklir. Menteri Pertahanan India juga sempat mengancam Pakistan
dengan berkata, Kita dapat menggunakan bom nuklir, dua, atau lebih... tetapi
ketika kita membalas, tidak akan ada lagi yang namanya Pakistan. 3 Tanggapan
seperti ini hanya akan menambah ketegangan dan ketidakpastian ke depannya.
Usaha untuk menyelesaikan sengketa yang telah berjalan lama antara
antara India dan Pakistan sampai sekarang belum juga berhasil. Beberapa usaha
untuk melakukan negosiasi bilateral gagal dengan berbagai alasan. Ketika para
pemimpin dari kedua negara setuju agar negosiasi tidak diganggu dan dikucilkan,

1 Fayaz Bukhari, India blames Pakistan as Kashmir attack kills 17


soldiers Reuters News, (http://www.reuters.com/article/us-indiakashmir-idUSKCN11O04J, diakses 21 September 2016)
2 AFP, 40.000 people killed in Kashmir: India, Tribune The Express
(http://tribune.com.pk/story/228506/40000-people-killed-in-kashmirindia/, diakses 21 September 2016)
3 The Carter Center, The Kashmiri Conflict: Historical and Prospective
Intervention Analyses, (Atlanta: One Copenhill, 2003), hal. 3

serangan teror di India, pelanggaran di area perbatasan, politik India yang tidak
stabil, dan ketidakstabilan Pakistan selalu membayangi proses perdamaian.4
Agar dapat memahami lebih baik alasan pemberontakan pada tahun 19871989 yang menjadi awal dari sengketa ini, maka perlu untuk melihat jauh ke
belakang asal dari gerakan pemberontakan Kashmir. Pada tahun 1947
kemerdekaan wilayah Asia Selatan telah dijamin oleh Inggris. Di bulan Februari,
pemerintah Inggris mengumumkan untuk segara mengambil langkah-langkah
penting agar pengalihan kekuasaan berhasil sebelum Juni 1948. Awalnya, seluruh
wilayah di Asia Selatan ini diusahakan agar tetap bersatu menjadi sebuah federasi.
Usaha tersebut berakhir dengan kegagalan Cabinet Mission Plan pada tahun 1946.
Para pemimpin politik dari Partai Kongres dan Liga Muslim tidak setuju untuk
bersatu, konsep negara Pakistan dengan penduduknya yang bermayoritas Muslim
menjadi nyata.5
Walaupun Cabinet Mission Plan ditolak, masa depan dari masing-masing
565 negara pangeran atau negara bagian yang memiliki pemimpin kerajaannya
berhak ditentukan sendiri. Negara pangeran Jammu dan Kashmir mempunyai
keunikan sendiri yang tidak dimiliki negara pangeran lain. Dipimpin oleh seorang
Hindu, di wilayah yang bermayoritas penduduknya muslim, dan secara geografi
berada di India dan Pakistan di masa depan. Maharaja Hari Singh, pemimpin dari
Kashmir, tidak dapat memutuskan untuk memilih negara mana Kashmir harus
bergabung dan memilih untuk netral.
Harapan Maharaja Hari Singh untuk tetap independen kemudian sirna
pada Oktober 1947 ketika Pakistan mengirim para suku dan tentara untuk
menyerang ibukota dari Kashmir, Srinagar.6 Kashmir, tanpa memiliki tentara,
tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan perusakan Srinagar yang diikuti
4 Kashmir Initiative Group, Background do the Kashmir Conflict:
Challenges and Opportunity, (London: Conciliation Resources, 2015),
hal. 2
5 Victoria Schofield, Kashmir in Conflict, (London: I.B. Tauris, 2003), hal.
44
6 Ibid, hal. 45

dengan pembunuhan pendudukan sipil. Pemimpin Kashmir kemudian meminta


pertolongan kepada India untuk menyerang pemberontakan tersebut. India
memberi syarat bahwa ia hanya akan membantu apabila Kashmir setuju untuk
bergabung dengan India. Maharaja Hari Singh setuju dan pada tanggal 26 Oktober
Kashmir menjadi bagian dari India. Lima hari setelah penyerangan oleh Pakistan
dimulai, tentara India memasuki Srinagar dan menyerang bersama dengan para
penduduk lokal Kashmir. Perang ini meninggalkan wilayah Jammu dan Kashmir
terbagi antara India dan Pakistan (kemudian Pakistan memberikan sebagian
tanahnya ke Cina).7
Pada bulan Januari 1948, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi
nomor 39 untuk mendirikan United Nations Comission for India and Pakistan
(UNCIP) untuk menginvestigasi dan memberikan mediasi. Di bulan Juli 1949,
India dan Pakistan menandatangani perjanjian Karachi dan menetapkan gencatan
senjata yang diawasi oleh United Nations Military Obsever Group in India and
Pakistan

(UNMOGIP)8.

PBB

kemudian

mengadakan

referendum,

mempersilahkan rakyat Kashmir untuk memilih masa depannya. India, yakin akan
kemenangannya dalam referendum karena pemimpin paling berpengaruh di
Kashmir, Sheikh Abdullah, berada di sisinya.
Pakistan mengabaikan mandat PBB tersebut dan terus melawan. Walaupun
pada tanggal 1 Januari 1949 gencatan senjata kembali terjadi, tetapi perang
kembali tidak terhindarkan pada tahun 1965, terulang pada tahun 1971 ketika
pesawat Pakistan menyerang bandara India, dan pada tahun 1989 saat
pemberontak pro Pakistan menyerang Kashmir di bagian India. Kedua negara
mulai mengetes senjata nuklir mereka pada Mei 1998.9 Gagal memberikan efek
7 P.N.K. Bamzai, Culture and Political History of Kashmir, Modern
Kashmir Vol. 3, 1994, hal. 764
8 India-Pakistan Background, United Nations,
(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unipombackgr.html,
diakses pada 21 September 2016)
9 A bief history of the Kashmir Conflict, The Telegraph,
(http://www.telegraph.co.uk/news/1399992/A-brief-history-of-theKashmir-conflict.html, diakses 21 September 2016)

jera, konflik masih terus terjadi hingga sekarang, baik serangan langsung maupun
teror.
Konflik di Kashmir adalah sengketa tertua yang tidak dapat diselesaikan
melalui PBB selain konflik Palestina. Keterlibatan PBB di Kashmir berakhir
selama 23 tahun dan selama waktu tersebut, PBB telah mengeluarkan 23 resolusi
dengan tujuan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Peran PBB di Kashmir
berakhir setelah perang pada tahun 1965 ketika India dan Pakistan
menandatangani Deklarasi Tashkent yang mana kemudian diikuti dengan
negosiasi tingkat menteri. Bagaimana pun juga, negosiasi ini tidak berhasil karena
berbagai alasan.

II.

RUMUSAN MASALAH

1. Apa faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam penyelesaian konflik


Kashmir oleh PBB?
2. Apa langkah-langkah penyelesaian sengketa pada konflik Kashmir ke
depannya?

III.

PEMBAHASAN

1. Apa faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam


penyelesaian konflik Kashmir oleh PBB?
1.1.

Peran PBB di dalam konflik Kashmir


Isu Kashmir pertama kali dibawa ke Dewan Keamanan (DK) PBB pada 1

Januari 1948 oleh India. Dengan dasar Pasal 35 Piagam PBB, India mengajukan
komplain terhadap Pakistan yang mana Pakistan dituduh memberi bantuan kepada
para pemberontak di area Kashmir. Dua minggu kemudian, Pakistan membantah
tuduhan tersebut dan menuduh India telah menganeksasi Kashmir dan membuat
ketidakstabilan pada Pakistan.

Antara tahun 1948-1971 Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan 23


resolusi tentang konflik Kashmir. Resolusi PBB pada isu ini tidak mempunyai
daya paksa dan pada kenyataannya mereka hanya berupa rekomendasi yang hanya
dapat dilaksanakan apabila India dan Pakistan bersedia mengimplementasinya.
Namun, India menolak memberikan rakyat Kashmir hak atas referendum
walaupun telah berjanji pada tahun 1948. Resolusi PBB terus menemui titik buntu
dan pada akhirnya tidak dapat dilaksanakan.
Resolusi No. 38 adalah resolusi pertama yang diadopsi oleh PBB. Hal ini
diadopsi pada 17 Januari 1948 setelah PBB mendengarkan wakil dari India dan
Pakistan. Resolusi No. 38 mendesak kedua negara untuk menahan diri dan
menurunkan ketegangan di antara mereka.
Resolusi on. 39 atau resolusi kedua pada isu Kashmir diadopsi pada 20
Januari 1948 oleh PBB. Resolusi ini menawarkan untuk membantu menyelesaikan
konflik Kashmir secara damai dengan membuat sebuah komite yang terdiri dari
tiga negara anggota, satu anggota dipilih oleh India, satu anggota dipilih oleh
Pakistan, dan anggota terakhir dipilih oleh dua negara anggota yang telah ditunjuk
oleh India dan Pakistan. Komite ini akan bekerja sama untuk memberikan saran
kepada DK tentang cara-cara apa yang bisa dilakukan untuk membawa kedamaian
pada wilayah Kashmir.
Dipimpin oleh Inggris dan Amerika Serikat, Resolusi no. 47 diadopsi pada
21 April 1948. Setelah mendengarkan argumen dari kedua negara, DK menambah
ukuran dari Komite yang didirikan oleh Resolusi no. 39 dari tiga anggota menjadi
lima anggota. DK juga menginstruksi agar Komite tersebut pergi ke wilayah
Kashmir dan menolong pemerintah India dan Pakistan dalam menjaga perdamaian
dan menyiapkan sebuah referendum untuk menentukan nasib dari Kashmir.
Resolusi ini diadopsi dengan dasar bab VI piagam PBB. Resolusi yang diadopsi di
bawah Bab VI Piagam PBB tidak dianggap mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa, berbeda dengan resolusi di bawah Bab VII Piagam PBB.
Resolusi no. 51 diadopsi pada 3 Juni 1948 untuk menegaskan Resolusi no.
47. Komite yang selanjutnya disebut dengan United Nations Commission for

India and Pakistan (UNCIP) diminta untuk berangkat ke wilayah sengketa sesuai
dengan tugas dari resolusi sebelumnya.
UNCIP sampai di wilayah India pada Juli 1948. Setelah melalui berbagai
pertimbangan dengan pemerintah India dan Pakistan, UNCIP mengeluarkan
sebuah proposal agar segera diadakan gencatan senjata dan sebuah perjanjian
antar kedua negara untuk segera menarik pasukannya keluar dari wilayah
sengketa. Namun, India menolak proposal tersebut dengan dasar argumen bahwa
proposal tersebut tidak mempertanggungjawabkan perilaku Pakistan yang
dianggap sebagai agresor di wilayah Kashmir. Pakistan kemudian juga menolak
proposal tersebut karena nantinya wilayah Kashmir akan dipimpin secara
administratif untuk sementara oleh Sheikh Abdullah. Pakistan menganggap
Sheikh Abdullah, seorang perdana menteri wilayah otonom Jammal dan Kashmir,
sebagai sekutu dari India dan dapat mempengaruhi hasil referendum menjadi
berpihak pada India. Pakistan juga menolak perjanjian untuk menarik semua
tentaranya ketika India masih diperbolehkan menempatkan beberapa tentaranya
untuk menjaga keamanan. Tentara India dianggap berpotensi menggunakan
paksaan untuk mempengaruhi hasil dari referendum tersebut.
Pada tanggal 11 Desember 1948, UNCIP mengeluarkan proposal baru
yang menegaskan bahwa rakyat Kashmir dapat memilih melalui referendum yang
bebas dan adil. Pakistan dan India menyetujui rencana tersebut dan
memperbolehkan PBB untuk mengobservasi gencatan senjata sebagai syarat
sebelum diadakannya referendum.
Resolusi no. 80 diadopsi pada 14 Maret 1950 setelah menerima laporan
dari UNCIP. DK mengapresiasi India dan Pakistan atas persetujuan mereka untuk
melaksanakan gencatan senjata dan pengangkatan Admiral Chester W. Nimitz
sebagai administrator referendum tersebut nantinya. DK kemudian menunjuk
perwakilan PBB untuk membantu persiapan dan implementasi demiliterisasi,
memberikan saran kepada India, Pakistan, dan DK, serta mengatur segala
keperluan untuk mengadakan referendum. Resolusi ini meminta kepada kedua
negara untuk mengambil semua langkap yang dianggap penting agar gencatan
senjata terus berlangsung dan menyetujui bahwa UNCIP akan dihentikan setelah

kedua negara menginformasikan kepada PBB bahwa mereka telah menerima dan
mentransfer kekuasaan mereka nantinya. Sangat disayangkan, rencana dan
resolusi ini kembali gagal karena India dan Pakistan tetap saja tidak menyetujui
rencana demiliterisasi.
Karena kegagalannya, PBB kemudian menggantikan UNCIP dengan satu
wakil PBB yaitu Owen Dixon pada tahun 1950. Setelah rapat dengan petinggi
India dan Pastian, Owen Dixon menyimpulkan bahwa hanya ada sedikit atau
bahkan tidak ada harapan apabila kedua negara tersebut akan menyetujui rencana
demiliterisasi Kashmir. Dixon kemudian menyarankan proposal baru berupa
referendum tingkat regional di wilayah Jammu dan Kashmir. Proposal tersebut
diserahkan kepada DK dengan poin-poin utama yaitu:
a. Mengadakan referendum di wilayah Jammu dan Kashmir, dari daerah
ke daerah
b. Mengadakan referendum hanya pada di daerah yang dianggap raguragu (doubtful), sedangkan sisanya akan diperkirakan apakah akan
memilih dengan pasti untuk bergabung dengan salah satu negara atau
tidak sama sekali. Wilayah yang dianggap ragu-ragu ini adalah
Kashmir.
Bagaimana pun juga India dan Pakista tidak menyetujui proposal tersebut.
Selanjutnya pada 30 Maret 1951, Resolusi no. 91 diadopsi dengan
pertimbangan laporan dari Sir Owen Dixon. Kemudian DK menerima
pengunduran diri Sir Owen Dixon dan menyayangkan kegagalan demiliterisasi
sebagai cara untuk menyelesaikan konflik tersebut secara damai.
Resolusi no. 96 diadopsi pada 10 November 1951 setelah menerima
laporan dari Frank Graham. DK juga mencatat bahwa kini telah ada kemauan dari
India dan Pakistan bahwa mereka mau menyelesaikan konflik ini dengan damai,
melanjutkan gencatan senjata, dan nasib dari wilayah Jammu dan Kashmir akan
diputuskan melalui referendum dengan bantuan dari PBB. DK lalu menginstruksi
perwakilan PBB untuk terus berusaha agar kedua negara dapat mencapai
perjanjian bersama untuk melakukan demiliterisasi di wilayah bersengketa ini.

Diadopsi pada 23 Desember 1952, Resolusi no. 98 mendorong agar kedua


negara untuk segera melakukan negosiasi dengan bantuan dari perwakilan PBB,
tentang berapa jumlah tentara yang ditarik keluar dari wilayah sengketa dan
berapa yang tetap berada di sana untuk menjaga keamanan. Perwakilan dari PBB
menyarankan jumlah tentara yang bisa tetap tinggal di wilayah sengketa adalah
antara 3.000-6.000 untuk Pakistan dan 12.000-18.000 India. Masih menemui titik
buntu, India dan Pakistan kembali menolak solusi tersebut.
Resolusi no. 122 diadopsi pada 24 Januari 1957 yang pada intinya
menyatakan bahwa Konferensi Nasional Jammu dan Kashmir bukanlah solusi
yang didefinisikan oleh Resolusi no. 91.
Resolusi no. 123 diadopsi pada 24 Januari 1957 yang berisi:
1. Meminta Presiden dari Dewan Keamanan, wakil dari Swedia, untuk
memeriksa bersama dengan pemerintah India dan Pakistan setiap
proposal yang mana, dalam opininya, mampu berkontribusi pada
penyelesaian sengketa, dengan memperhatikan resolusi-resolusi DK
sebelumnya dan United Nations Commission for India and Pakistan,
untuk mengunjungi bagian wilayah dengan tujuan ini, dan untuk
melapor kepada Dewan Keamanan tidak lebih dari 15 April 1957.
2. Mengundang pemerintah India dan Pakistan untuk bekerja sama
dengannya dalam menjalankan fungsi-fungsi ini.
3. Meminta Sekretariat Jenderal PBB dan wakil PBB untuk India dan
Pakistan agar memberi bantuan apabila diminta.
Resolusi no. 126 diadopsi oleh DK pada rapat ke 808 yang jatuh pada
tanggal 2 Desember 1957. Resolusi ini menekankan pada beberapa poin:
1. Meminta wakil PBB untuk India dan Pakistan untuk memberikan
rekomendasi kepada para pihak dalam menindaklanjuti tindakantindakan, dengan tujuan memberikan proses sesuai implementasi dari
resolusi United Nations Commission for India and Pakistan pada 13
Agustus 1948 dan 5 Januari 1949, dan dengan tujuan untuk
menyelesaikan konflik secara damai.

2. Memberikan izin kepada wakil PBB untuk mengunjungi wilayah


bagian tersebut dengan tujuan-tujuan ini.
3. Menginstruksi wakil PBB untuk melaporkan pada Dewan Keamanan
sesegera mungkin.
Setelah menghadapi berbagai hambatan dengan penuh kerja keras selama
bertahun-tahun, PBB masih tidak dapat menemui solusi dari konflik Kashmir.
Peran PBB dalam isu ini hampir diberhentikan setelah perang pada tahun 1965,
ketika pemerintah India dan Pakistan menandatangani deklarasi Tashkent yang
akan diikuti dengan negosiasi tingkat Menteri. Bagaimana pun juga, negosiasi
tersebut tidak berhasil dilaksanakan karena berbagai alasan.10
1.2.

Faktor-faktor penghambat
Kegagalan dari PBB untuk menyelesaikan konflik Kashmir disebabkan

oleh banyak faktor, yang saling mempengaruhi, dan tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Apabila disimpulkan, maka faktor kegagalan PBB
disebabkan karena karakter dan status resolusi DK PBB yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat, kondisi sosial politik di masing-masing negara yang tidak
menghendaki adanya perdamaian, peran Amerika Serikat dan Uni Soviet yang
memperparah ketegangan, dan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum
humaniter.
a. Resolusi Dewan Keamanan yang tidak berkekuatan mengikat.
Resolusi DK untuk konflik Kashmir diadopsi sebanyak 23 kali di bawah
Bab VI Piagam PBB tentang Pacific Settlement of Disputes. Terdapat persetujuan
umum di antara para ahli hukum apabila resolusi yang dibuat di bawah Bab VI
tidak mempunyai kekuatan mengikat.11 Berbeda dengan Bab VII Piagam PBB
tentang tindakan terhadap ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian, dan
tindakan agresi yang mana resolusinya dapat berkekuatan mengikat.
10 Ali Haider Chattha, Role of U.N on Kashmir Issue (Lahore: University
Lahore, 2014), hal. 6-10
11 Schweigman, David. The Authority of the Security Council Under
Chapter VII of the UN Charter, Martinus Nijhoff Publishers, 2001, hal.
33.

De Wet, seorang pakar hukum, menjelaskan apabila resolusi yang dibuat di


bawa Bab VI tidak mempunyai kekuatan mengikat dengan alasan:
Memperbolehkan Dewan Keamanan untuk mengadopsi tindakan
yang mengikat di bawa Bab VI akan meremehkan pemisahan struktural
dari kompetensi antara Bab VI dan VII. Tujuan dari pemisahan kedua bab
ini adalah untuk membedakan antara tindakan yang sukarela dan mengikat.
Di mana Pacific Settlement of Disputes (Bab VI) didukung oleh
persetujuan dari para pihak, sedangkan pada Bab VII tidak terdapat
persetujuan tersebut. Indikasi lebih lanjut dari karakter tidak mengikat
pada bab VI adalah kewajiban dari negara anggota Dewan Keamanan yang
apabila menjadi pihak dalam sengketa, untuk tidak mengambil suara ketika
resolusinya diadopsi. Tidak ada kewajiban akan hal tersebut di dalam bab
VII ...12
Pada umumnya, misi untuk menjaga perdamaian dilaksanakan di bawah
Bab VI yang mana akan menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai, seperti
negosiasi, mediasi, dan tindakan confidence-building. Apabila bab VI dianggap
tidak cukup, Dewan Keamanan dapat memandatkan untuk menggunakan daya
paksa seperti melalui kekuatan militer sebagaimana diatur pada Bab VII.
Konflik Kashmir tidak dapat diselesaikan dengan cara damai, dengan kata
lain, tindakan di bawah Bab VI saja tidaklah cukup. Sangat disayangkan DK tidak
dapat mencapai persetujuan untuk menggunakan Bab VII sebagai langkah terakhir
untuk menyelesaikan konflik yang hingga sekarang belum berhenti. India dan
Pakistan tidak mendapatkan adanya efek jera yang signifikan apabila terus
berperang dan tidak urgensi untuk melakukan gencatan senjata. Sementara itu,
rakyat di wilayah Kashmir menjadi korban dari ketidakpastian ini. Negara
anggota DK mungkin mempunyai pertimbangan tertentu kenapa tidak
mengeluarkan resolusi yang mengikat, bagaimana pun juga, hal ini menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan PBB tidak dapat menyelesaikan konflik Kashmir.
b. Kondisi Sosial dan Politik
12 De Wet, Erika. The Chapter VII Powers of the United Nations Security
Council, Hart Publishing, 2004, hal. 3940.

Rakyat India, begitu pula rakyat Pakistan, menganggap bahwa wilayah


Kashmir adalah bagian dari wilayahnya yang sedang diambil paksa oleh musuh
mereka. Pemerintah India dan Pakistan ditekan oleh masyarakat mereka sendiri
sehingga mereka tidak mampu membuat keputusan tegas untuk berkompromi
karena takut dianggap tidak populis oleh rakyat mereka. Walaupun Pakistan,
dalam keadaan tertentu sempat memperlihatkan kemauan untuk lebih fleksibel
dan mempersilahkan referendum tetapi pemerintah India selalu menghentikan
prosesnya dengan segala alasan.13
Secara umum, memang masyarakat India dan Pakistan mulai menerima
agar konflik Kashmir diselesaikan dengan cara damai tetapi grup-grup garis keras
terus mengambil sebagian besar diskusi mengenai konflik Kashmir sehingga
keberadaan orang-orang yang moderat sering kali tidak terdengar. Ketika
pemilihan umum akan datang, Kashmir selalu menjadi diskusi publik. Partai
sayap kanan seperi Bharita Janta Party (BJP) secara tegas tidak ingin kehilangan
wilayah Kashmir. Walaupun mantan perdana menteri partai BJP, Atal Bihari
Vajpayee berusaha menyelesaikannya secara damai di bawah pimpinannya pada
tahun 1999-2004, tapi kini partai BJP menolak untuk menyelesaikan konflik
Kashmir secara damai dengan Pakistan.
Bagaimana pun juga memang terdapat banyak partai politik dan lembaga
masyarakat di India yang setuju untuk berdialog secara damai dengan Pakistan.
Salah satu partai politik tersebut adalah The Congress Party yang mana telah
memimpin India sejak tahun 2004. Namun, masih tidak ada kemajuan juga
mengingat BJP masih memiliki kekuatan politik yang besar di India. Namun hal
ini tidak menutup kemungkinan untuk berdialog dengan Pakistan, khususnya
dengan pemerintahan baru Pakistan di bawah Nawaz Sharif.
Di Pakistan sendiri, telah banyak orang-orang yang mendukung agar
hubungan antara Pakistan dan India untuk kembali normal dan diselesaikan
dengan damai. Ketika pemilihan umum Pakistan pada Mei 2013, partai-partai
politik lebih fokus pada isu-isu seperti pemberantasan korupsi dari pada
mengandalkan retorik anti India, yang mana sering menjadi masalah.
13 Ali Haider Chattha, op.cit., hal. 11

Nawaz Sharif yang kini telah menjadi Perdana Menteri Pakistan


mempunyai potensi positif untuk terus mendorong penyelesaian konflik Kashmir
secara damai, mengingat ia telah menginisiasikan perdamaian pada tahun 1999
dan menandatangani Deklarasi Lahore dengan Perdana Menteri Vajpayee pada
saat itu. Ia juga telah menyatakan untuk melanjutkan proses penyelesaian konflik
Kashmir secara damai yang kini telah terhenti. Sharif berkemungkinan besar
untuk diterima secara positif di New Delhi. Selain itu, dua partai besar Pakistan,
the Pakistan Peoples Party (PPP) dan Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) juga
mendukung rekonsiliasi dan penyelesaian secara damai terhadap isu Kashmir.
Bagaimana pun juga, Nawaz menghadapi penolakan dari The Established
Anti-India Lobby yang dulunya mendukung Nawaz ketika pemilihan umum tahun
2013 dan kini ia harus mengendalikan sekutunya dengan hati-hati. Namun, agar
Nawaz dapat menenangkan pendukung anti-India, Pakistan membutuhkan sikap
resiprokal yang baik dari India.14
c. Peran Amerika Serikat dan Uni Soviet
Sekitar tahun 1953-1954 Pakistan setuju untuk menerima bantuan militer
di Amerika Serikat sebagai bagian dari bantuan pembangunan di wilayah
Kashmir. India kemudian respons dengan menempatkan lebih banyak tentara
militer di Kashmir untuk menjaga dari serangan Pakistan yang diperkuat dengan
bantuan dari

Amerika Serikat. Kontak kedua negara tersebut membuat

penyelesaian konflik Kashmir kembali menemui jalan buntu dan perdana menteri
Pakistan pada saat itu menyatakan bahwa isu Kashmir harus dikembalikan ke
Dewan Keamanan (DK) PBB.
Dengan semakin tegangnya kondisi di Kashmir saat itu, terlibatnya
Pakistan dengan pakta militer dengan negara barat, dan diperbolehkannya
Amerika Serikat untuk membangun pangkalan militer di Pakistan membuat PBB
tidak mampu berbuat apa-apa. Terlibatnya Amerika Serikat di dalam konflik
Kashmir kemudian mengundang Uni Soviet untuk turut campur. Uni Soviet lalu
memilih posisi sebagai anti Pakistan dan Pro India di dalam diskusi mengenai
Kashmir di DK.

14 Kashmir Initiative Group, Op.cit., hal. 3-4

Pada 15 Februari 1957 empat anggota DK, termasuk Inggris dan Amerika
Serikat berdiskusi dengan India dan Pakistan mengenai proposal untuk melibatkan
tentara PBB secara sementara untuk menyelesaikan konflik Kashmir. India
kemudian menolak proposal tersebut, dan walaupun pada akhirnya sembilan
negara setuju dengan proposalnya, Rusia sebagai pendukung India di dalam
konflik tersebut, memilih untuk menolak proposalnya. Hal tersebut adalah
pertama kalinya Rusia menggunakan hak vetonya di dalam isu Kashmir dan
penggunaan tentara PBB tidak dapat dilaksanakan.
Keterlibatan Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya menambah tensi di
Kashmir dan mengakibatkan kedua negara yang berkonflik untuk tidak
mempercayai satu sama yang lain. Apabila Amerika Serikat tidak memihak pada
Pakistan, dapat diperkirakan apabila Uni Soviet tidak akan memihak pula kepada
India sehingga proposal resolusi untuk melibatkan tentara PBB dapat
dilaksanakan. Apabila tentara PBB dapat dilibatkan, maka konflik antar negara
yang bersengketa dapat diminimalkan dan demiliterisasi wilayah Kashmir akan
sangat dimungkinkan sebagai tahap utama dan yang paling penting untuk
menyelesaikan sengketa secara damai.15
d. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Dengan tujuan untuk melawan para gerakan pemberontak di Kashmir,
tentara India telah secara sistematis melanggar hak asasi manusia (HAM) dan
hukum humaniter. Dari berbagai pelanggaran HAM, salah satunya yang terburuk
adalah eksekusi ratusan tawanan perang oleh tentara India di Kashmir. Pada
banyak kasus, para tahanan dibawa ke tahanan selama penyergapan, kemudian
diperintahkan untuk berbaris dan diidentifikasi di depan para informan yang
menggunakan penutup kepala. Bagi siapa saja yang ditunjuk oleh informan
tersebut akan ditahan untuk diinterogasi secara rutin. Beberapa tahanan tersebut
dibunuh di dalam tahanan hanya dalam beberapa jam setelah proses interogasi
tersebut.
Tentara, polisi, dan penjaga perbatasan India juga sering kali terlibat
dengan serangan terhadap rakyat sipil, menembak di tengah-tengah pasar dan
perumahan, dan membakar rumah-rumah warga. Para tentara tersebut juga
15 UNs failure in Kashmir, Economic and Political Weekly,
(http://www.epw.in/system/files/pdf/1965_17/40/un_s_failure_in_kashmi
ra_factual_survey.pdf, diakses 27 September 2015)

menggunakan senjata mematikan untuk melawan para demonstran, orang-orang


sipil yang tidak bersenjata. Perbuatan itu semua disahkan oleh hukum dan
pelakunya dilindungi dari penuntutan.
Sejak Januari 1990, semakin sering diterima laporan pemerkosaan yang
dilakukan oleh personel keamanan. Perbuatan ini biasanya dilakukan saat
penyergapan di mana para laki-laki dikumpulkan untuk diidentifikasi, sedangkan
sebagian personel keamanan lainnya mencari ke dalam rumah mereka dan
memerkosa para wanita di dalamnya. Para personel keamanan tersebut
memerkosa sebagai bentuk hukuman dan penghinaan ke seluruh komunitas
tersebut.
Dokter dan ahli kesehatan lainnya kerap kali ditahan, dilecehkan, dan
diserang ketika mereka mencoba melaksanakan tugasnya. Di beberapa insiden,
personel keamanan dengan sengaja mencegah hingga menembaki supir ambulans
untuk mengantarkan pasien yang luka ke rumah sakit. Para personel keamanan
juga berulang kali menyerang rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Selama
penyerangan ini, beberapa pasien ditahan secara paksa, memotong bantuan
kesehatan, dan menghancurkan suplai medis seperti obat-obatan, peralatan, dan
alat transportasi.16
Grup militan pemberontak17 di Kashmir juga telah berbuat pelanggaran
terhadap HAM dan hukum humaniter. Mereka sering kali melempar granat di busbus dan bangunan pemerintahan, bom mobil, dan membunuh para warga sipil.
Pada awal 1990, grup militan mengancam, menyerang, dan membunuh ratusan
orang Hindu dan mengusir 100.000 orang untuk lari dan menjadi pengungsi di
Jammu dan Delhi, di mana kebanyakan masih dalam keadaan yang menyedihkan.
Pada bebera kasus, korbannya adalah pegawai negeri atau anggota partai politik
yang ditentang oleh para militan. Di kasus lainnya, mereka adalah terduga
16 Asia Watch, a Division of Human Rights Watch, The Human Rights
Crisis in Kashmir (New York: Human Rights Watch, 1993), hal. 28-30
17 Terdapat beberapa grup militan yang dominan dalam melawan
tentara India di Kashmir dan diperkirakan juga terdapat ratusan grupgrup kecil lainnya. Dua grup yang paling menonjol adalah Jammu and
Kashmir Liberation Form (JKLF) dan mereka mendukung aksesi ke
Pakistan.

informan atau orang-orang yang tidak mendukung para militan tersebut. Para grup
militan ini juga menyiksa tahanan mereka seperti halnya yang dilakukan tentara
India.
Banyak dari grup militan ini yang juga melakukan pemerkosaan. Di
beberapa kasus, para militan memerkosa wanita-wanita yang menjadi anggota
keluarga dari para informan atau pendukung grup rival mereka. Pada kasus
lainnya, wanita-wanita ini diperkosa dan dijadikan tawanan agar para pria yang
diincar menyerahkan diri.

18

Perbuatan pelanggaran HAM dan hukum humaniter yang dibalaskan


dengan pelanggaran juga hanya akan membuat masing-masing pihak semakin
tidak mempercayai satu sama yang lain. Pelanggaran tersebut hanya akan
menambah sentimen emosional antar pemeluk Hindu dan pemeluk Islam di
Kashmir. Sehingga, sering kali mereka didorong oleh emosi untuk membenarkan
perlakuan balas dendam mereka, bahkan berakhir dengan pembenaran gerakan
ekstremis.

Walaupun pemerintah India dan Pakistan berusaha untuk

menyelesaikan konflik Kashmir dengan damai, namun sering kali gerakan di


bawah sana menyabotase segala usaha, menolak demiliterisasi, dan memperkuat
propaganda-propaganda yang mana semua itu didasari dari ketidakpercayaan
dengan pihak lain.

1.3.

Faktor Pendukung
Di balik segala hambatan yang PBB temui, ada beberapa faktor yang

sebenarnya mendukung penyelesaian konflik Kashmir seperti kerugian yang telah


dialami oleh kedua negara dan bahwa sebenarnya India dan Pakistan saling
bergantung satu dengan yang lain dalam hal keamanan.
Konflik Kashmir telah mengakibatkan kematian ribuan nyawa dan
kerugian materiil yang sangat tinggi. Kerugian ini terdiri dari biaya militer,
meningkatnya kriminalitas, kerusakan-kerusakan akibat konflik dan opportunity
cost seperti kehilangan kerja sama regional, perdagangan bilateral, kerja sama
energi, dan lain-lain. Keuntungan yang didapat dari konflik yang tak kunjung
18 Ibid., hal. 31-33

selesai ini sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kerugiannya. Meneruskan
konflik hanya akan membawa kerugian bagi India dan Pakistan.
Apabila Pakistan gagal untuk mengurangi ajaran dan grup-grup radikal di
negaranya maka bahayanya juga akan mengimbas pada India. Mengingat bahwa
Pakistan adalah negara yang lebih lemah dan rentan dibandingkan dengan India
yang demokrasi dan sistem hukumnya lebih maju, Pakistan membutuhkan
bantuan dari India. Apabila Pakistan menjadi negara gagal, maka grup-grup
radikalnya tidak hanya akan menyerang Pakistan tetapi juga ke India. Konflik
Kashmir hanya akan membuat Pakistan semakin terpuruk dan semakin rentan
akan serangan dari grup-grup radikal. Maka sudah menjadi kepentingan dari India
untuk menahan diri agar Pakistan tetap bertahan dan India dapat terlindungi dari
serangan para radikal tersebut.
Beberapa faktor pendukung ini telah dapat membawa India dan Pakistan
untuk beberapa kali datang ke meja diplomasi. Namun sangat disayangkan, hal ini
masih belum cukup untuk menciptakan perdamaian yang nyata dan berkelanjutan.

2. Apa langkah-langkah penyelesaian sengketa pada konflik


Kashmir ke depannya?
Tahapan yang perlu untuk segera dilakukan pertama kali adalah
meningkatkan dialog antar pihak yang bersengketa. India dan Pakistan tidak
cukup berhenti dengan dialog formal dan antar petinggi pemerintah tetapi fokus
dengan masyarakat dan grup-grup di bawah sana. Dialog-dialog tentang
keamanan, isu humaniter, dan perdamaian harus disampaikan secara informal
dengan atau tanpa perjanjian antara pemerintah Pakistan dan India. Hal ini
menjadi penting karena dukungan dari pihak lokal non-pemerintah adalah syarat
terbentuknya kedamaian yang berjangka panjang.
Sebagai contoh, di Pakistan, tentara dan agen intelijen Inter Service
Intelligence (ISI) umumnya memimpin di dalam konflik Kashmir. Maka,
pemerintah dan rakyat Pakistan sangat perlu untuk menginisiasikan dialog lebih
dalam tentang Kashmir dengan institusi-institusinya sendiri, terutama para tentara
dan ISI, dan menciptakan konsensus terhadap konflik Kashmir.19
Selanjutnya perdagangan antara India dan Pakistan harus ditingkatkan
agar tercipta ketergantungan secara timbal balik, yang mana dapat mendorong
mereka untuk menyelesaikan konflik Kashmir. India kini adalah salah satu negara
konsumen energi terbesar di dunia, membuka perdagangan energi dengan Pakistan
sebagai rute transit untuk minyak akan menguntungkan baik Pakistan dan India.
Hal ini seharusnya menjadi insentif bagi para pelaku bisnis dan masyarakat untuk
mendorong terciptanya perdamaian karena konflik hanya akan merugikan mereka
berdua.20
Usaha untuk meningkatkan pertukaran ide dan informasi melalui media
juga harus ditingkatkan untuk mengubah persepsi yang buruk di antara orangorang India, Pakistan, dan Kashmir. Selama ini, sebagai contoh, beberapa media
India menyebut Pakistan sebagai negara teroris, hal ini hanya akan membuat
kemarahan dari orang-orang Pakistan dan menghambat terciptanya kedamaian.
19 Kashmir Initiative Group, Op.cit., hal. 4
20 The Carter Center, op.cit., hal. 8

Kini media harus mengemas kembali bagaimana mereka menggambarkan


Pakistan di mata India dan India di mata Pakistan dengan lebih positif untuk
sehingga perjanjian perdamaian dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Pelanggaran HAM dan humaniter tidak bisa didiamkan karena akan
menghambat proses perdamaian atau bahkan meradikalkan para warga sipil.
Beberapa tahap yang bisa dilakukan adalah dengan memulai investigasi terhadap
eksekusi ekstra yudisial, kematian ketika dalam penahanan, penyiksaan, dan
pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara dan pasukan keamanan lainnya. Pelaku
dari perbuatan tersebut harus dihukum melalui pengadilan yang terbuka.
Pemerintah India berkewajiban untuk melatih kembali para personil militernya
agar pelanggaran HAM dan hukum humaniter tidak terulang. Sedangkan Pakistan
berkewajiban untuk berhenti mendanai grup-grup militan pemberontak yang
melanggar HAM dan hukum humaniter.21 Hanya dengan cara tersebut hukum,
ketertiban umum, dan kepercayaan masyarakat akan aturan hukum bisa
dikembalikan. Apabila kepercayaan rakyat telah dikembalikan, maka barulah
rakyat Kashmir akan bisa untuk berkompromi dan berusaha untuk menyelesaikan
konflik ini dengan damai.

IV.

KESIMPULAN

Peran PBB di dalam konflik Kashmir dapat disimpulkan dari 23 resolusi


yang telah diadopsi. Isi resolusi-resolusi itu beragam mulai dari dorongan untuk
berdialog, mengirimkan wakil PBB ke daerah sengketa, mengusahakan
demiliterisasi, dan mengadakan referendum. Namun sayangnya, tidak ada resolusi
yang mampu memberikan hasil nyata berhentinya konflik di Kashmir. Pada
akhirnya, peran PBB diberhentikan melalui deklarasi Tashkent, yang mana
deklarasi tersebut tidak juga membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.

21 Asia Watch, op.cit., hal. 34

Faktor-faktor penghambat yang dihadapi PBB adalah beragam dan


masing-masing saling mempengaruhi dan memperparah satu sama yang lain.
Pertama, karakter dari resolusi yang dikeluarkan oleh PBB tidak mempunyai
kekuatan mengikat sehingga menghambat efektivitasnya. Kedua, kondisi sosial
dan politik di kedua negara, di mana terdapat banyak grup-grup garis keras yang
mempengaruhi diskusi dan arah politik di kedua negara. Peran Amerika Serikat
dan Uni Soviet menjadikan konflik Kashmir sebagai bagian dari perang dingin
mereka dan berakhir pada gagalnya pengiriman pasukan PBB ke Kashmir.
Terakhir, pelanggaran HAM dan Hukum Humaniter yang dilakukan oleh kedua
belah pihak hanya memperparah tensi dan ketidakpercayaan sehingga proses
perdamaian menjadi sangat susah untuk direalisasikan.
Dibalik faktor-faktor penghambat tersebut, terdapat beberapa faktor
pendukung yang kiranya membantu peran PBB di Kashmir. Konflik Kashmir
hanya memberikan kerugian pada kedua belah pihak, mulai kerugian ekonomi
hingga nyawa-nyawa manusia yang terus dikorbankan. Hal ini melatarbelakangi
kemauan kedua belah pihak untuk sempat berdialog melalui bantuan dari PBB.
India juga mempunyai kepentingan agar Pakistan tidak menjadi negara gagal
karena apabila gagal, jumlah grup-grup radikal di Pakistan dapat meningkat yang
nantinya dapat menyerang India pula. Bagaimana pun juga faktor-faktor
pendukung ini semua tidaklah cukup untuk menutupi faktor-faktor penghambat
tersebut.
Langkah-langkah berikutnya yang harus diambil oleh India dan Pakistan
agar konflik Kashmir dapat diselesaikan adalah dengan meningkatkan dialog ke
aktor-aktor di level kemasyarakatan, meningkatkan perdagangan bilateral,
meningkatkan pertukaran dan informasi yang positif melalui media, dan
mengurangi pelanggaran HAM. Hanya dengan cara-cara tersebut, India dan
Pakistan bisa dikembalikan ke meja negosiasi untuk membuat perdamaian yang
berjangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai