Aldila Irsyad
13/345559/HK/19554
YOGYAKARTA
2016
I.
LATAR BELAKANG
Masih dalam minggu yang sama paper ini dibuat, tujuh belas tentara India
dibunuh oleh para separatis di Kashmir.1 Tiga jam baku tembak antara India dan
para separatis merupakan hasil dari ketegangan di satu-satunya wilayah India
yang penduduknya mayoritas Islam. Sejak bulan Juli hingga September tahun
2016 sendiri, setidaknya 78 penduduk sipil terbunuh akibat bentrokan di jalanan
dengan tentara India. Bentrokan selama dua bulan terakhir ini dimulai dari
terbunuhnya pemimpin grup separatis yang berasal dari Pakistan.
Semenjak tahun 1989, setidaknya 40.000 telah meninggal2 (beberapa
sumber menyebutkan hingga 100.000 korban jiwa) di Kashmir akibat dari segala
macam bentrokan dan perlawanan. Peristiwa semacam ini menimbulkan potensi
ancaman akan perang antara India dan Pakistan, dua negara yang dipersenjatai
dengan senjata nuklir. Menteri Pertahanan India juga sempat mengancam Pakistan
dengan berkata, Kita dapat menggunakan bom nuklir, dua, atau lebih... tetapi
ketika kita membalas, tidak akan ada lagi yang namanya Pakistan. 3 Tanggapan
seperti ini hanya akan menambah ketegangan dan ketidakpastian ke depannya.
Usaha untuk menyelesaikan sengketa yang telah berjalan lama antara
antara India dan Pakistan sampai sekarang belum juga berhasil. Beberapa usaha
untuk melakukan negosiasi bilateral gagal dengan berbagai alasan. Ketika para
pemimpin dari kedua negara setuju agar negosiasi tidak diganggu dan dikucilkan,
serangan teror di India, pelanggaran di area perbatasan, politik India yang tidak
stabil, dan ketidakstabilan Pakistan selalu membayangi proses perdamaian.4
Agar dapat memahami lebih baik alasan pemberontakan pada tahun 19871989 yang menjadi awal dari sengketa ini, maka perlu untuk melihat jauh ke
belakang asal dari gerakan pemberontakan Kashmir. Pada tahun 1947
kemerdekaan wilayah Asia Selatan telah dijamin oleh Inggris. Di bulan Februari,
pemerintah Inggris mengumumkan untuk segara mengambil langkah-langkah
penting agar pengalihan kekuasaan berhasil sebelum Juni 1948. Awalnya, seluruh
wilayah di Asia Selatan ini diusahakan agar tetap bersatu menjadi sebuah federasi.
Usaha tersebut berakhir dengan kegagalan Cabinet Mission Plan pada tahun 1946.
Para pemimpin politik dari Partai Kongres dan Liga Muslim tidak setuju untuk
bersatu, konsep negara Pakistan dengan penduduknya yang bermayoritas Muslim
menjadi nyata.5
Walaupun Cabinet Mission Plan ditolak, masa depan dari masing-masing
565 negara pangeran atau negara bagian yang memiliki pemimpin kerajaannya
berhak ditentukan sendiri. Negara pangeran Jammu dan Kashmir mempunyai
keunikan sendiri yang tidak dimiliki negara pangeran lain. Dipimpin oleh seorang
Hindu, di wilayah yang bermayoritas penduduknya muslim, dan secara geografi
berada di India dan Pakistan di masa depan. Maharaja Hari Singh, pemimpin dari
Kashmir, tidak dapat memutuskan untuk memilih negara mana Kashmir harus
bergabung dan memilih untuk netral.
Harapan Maharaja Hari Singh untuk tetap independen kemudian sirna
pada Oktober 1947 ketika Pakistan mengirim para suku dan tentara untuk
menyerang ibukota dari Kashmir, Srinagar.6 Kashmir, tanpa memiliki tentara,
tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan perusakan Srinagar yang diikuti
4 Kashmir Initiative Group, Background do the Kashmir Conflict:
Challenges and Opportunity, (London: Conciliation Resources, 2015),
hal. 2
5 Victoria Schofield, Kashmir in Conflict, (London: I.B. Tauris, 2003), hal.
44
6 Ibid, hal. 45
(UNMOGIP)8.
PBB
kemudian
mengadakan
referendum,
mempersilahkan rakyat Kashmir untuk memilih masa depannya. India, yakin akan
kemenangannya dalam referendum karena pemimpin paling berpengaruh di
Kashmir, Sheikh Abdullah, berada di sisinya.
Pakistan mengabaikan mandat PBB tersebut dan terus melawan. Walaupun
pada tanggal 1 Januari 1949 gencatan senjata kembali terjadi, tetapi perang
kembali tidak terhindarkan pada tahun 1965, terulang pada tahun 1971 ketika
pesawat Pakistan menyerang bandara India, dan pada tahun 1989 saat
pemberontak pro Pakistan menyerang Kashmir di bagian India. Kedua negara
mulai mengetes senjata nuklir mereka pada Mei 1998.9 Gagal memberikan efek
7 P.N.K. Bamzai, Culture and Political History of Kashmir, Modern
Kashmir Vol. 3, 1994, hal. 764
8 India-Pakistan Background, United Nations,
(http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unipombackgr.html,
diakses pada 21 September 2016)
9 A bief history of the Kashmir Conflict, The Telegraph,
(http://www.telegraph.co.uk/news/1399992/A-brief-history-of-theKashmir-conflict.html, diakses 21 September 2016)
jera, konflik masih terus terjadi hingga sekarang, baik serangan langsung maupun
teror.
Konflik di Kashmir adalah sengketa tertua yang tidak dapat diselesaikan
melalui PBB selain konflik Palestina. Keterlibatan PBB di Kashmir berakhir
selama 23 tahun dan selama waktu tersebut, PBB telah mengeluarkan 23 resolusi
dengan tujuan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Peran PBB di Kashmir
berakhir setelah perang pada tahun 1965 ketika India dan Pakistan
menandatangani Deklarasi Tashkent yang mana kemudian diikuti dengan
negosiasi tingkat menteri. Bagaimana pun juga, negosiasi ini tidak berhasil karena
berbagai alasan.
II.
RUMUSAN MASALAH
III.
PEMBAHASAN
Januari 1948 oleh India. Dengan dasar Pasal 35 Piagam PBB, India mengajukan
komplain terhadap Pakistan yang mana Pakistan dituduh memberi bantuan kepada
para pemberontak di area Kashmir. Dua minggu kemudian, Pakistan membantah
tuduhan tersebut dan menuduh India telah menganeksasi Kashmir dan membuat
ketidakstabilan pada Pakistan.
India and Pakistan (UNCIP) diminta untuk berangkat ke wilayah sengketa sesuai
dengan tugas dari resolusi sebelumnya.
UNCIP sampai di wilayah India pada Juli 1948. Setelah melalui berbagai
pertimbangan dengan pemerintah India dan Pakistan, UNCIP mengeluarkan
sebuah proposal agar segera diadakan gencatan senjata dan sebuah perjanjian
antar kedua negara untuk segera menarik pasukannya keluar dari wilayah
sengketa. Namun, India menolak proposal tersebut dengan dasar argumen bahwa
proposal tersebut tidak mempertanggungjawabkan perilaku Pakistan yang
dianggap sebagai agresor di wilayah Kashmir. Pakistan kemudian juga menolak
proposal tersebut karena nantinya wilayah Kashmir akan dipimpin secara
administratif untuk sementara oleh Sheikh Abdullah. Pakistan menganggap
Sheikh Abdullah, seorang perdana menteri wilayah otonom Jammal dan Kashmir,
sebagai sekutu dari India dan dapat mempengaruhi hasil referendum menjadi
berpihak pada India. Pakistan juga menolak perjanjian untuk menarik semua
tentaranya ketika India masih diperbolehkan menempatkan beberapa tentaranya
untuk menjaga keamanan. Tentara India dianggap berpotensi menggunakan
paksaan untuk mempengaruhi hasil dari referendum tersebut.
Pada tanggal 11 Desember 1948, UNCIP mengeluarkan proposal baru
yang menegaskan bahwa rakyat Kashmir dapat memilih melalui referendum yang
bebas dan adil. Pakistan dan India menyetujui rencana tersebut dan
memperbolehkan PBB untuk mengobservasi gencatan senjata sebagai syarat
sebelum diadakannya referendum.
Resolusi no. 80 diadopsi pada 14 Maret 1950 setelah menerima laporan
dari UNCIP. DK mengapresiasi India dan Pakistan atas persetujuan mereka untuk
melaksanakan gencatan senjata dan pengangkatan Admiral Chester W. Nimitz
sebagai administrator referendum tersebut nantinya. DK kemudian menunjuk
perwakilan PBB untuk membantu persiapan dan implementasi demiliterisasi,
memberikan saran kepada India, Pakistan, dan DK, serta mengatur segala
keperluan untuk mengadakan referendum. Resolusi ini meminta kepada kedua
negara untuk mengambil semua langkap yang dianggap penting agar gencatan
senjata terus berlangsung dan menyetujui bahwa UNCIP akan dihentikan setelah
kedua negara menginformasikan kepada PBB bahwa mereka telah menerima dan
mentransfer kekuasaan mereka nantinya. Sangat disayangkan, rencana dan
resolusi ini kembali gagal karena India dan Pakistan tetap saja tidak menyetujui
rencana demiliterisasi.
Karena kegagalannya, PBB kemudian menggantikan UNCIP dengan satu
wakil PBB yaitu Owen Dixon pada tahun 1950. Setelah rapat dengan petinggi
India dan Pastian, Owen Dixon menyimpulkan bahwa hanya ada sedikit atau
bahkan tidak ada harapan apabila kedua negara tersebut akan menyetujui rencana
demiliterisasi Kashmir. Dixon kemudian menyarankan proposal baru berupa
referendum tingkat regional di wilayah Jammu dan Kashmir. Proposal tersebut
diserahkan kepada DK dengan poin-poin utama yaitu:
a. Mengadakan referendum di wilayah Jammu dan Kashmir, dari daerah
ke daerah
b. Mengadakan referendum hanya pada di daerah yang dianggap raguragu (doubtful), sedangkan sisanya akan diperkirakan apakah akan
memilih dengan pasti untuk bergabung dengan salah satu negara atau
tidak sama sekali. Wilayah yang dianggap ragu-ragu ini adalah
Kashmir.
Bagaimana pun juga India dan Pakista tidak menyetujui proposal tersebut.
Selanjutnya pada 30 Maret 1951, Resolusi no. 91 diadopsi dengan
pertimbangan laporan dari Sir Owen Dixon. Kemudian DK menerima
pengunduran diri Sir Owen Dixon dan menyayangkan kegagalan demiliterisasi
sebagai cara untuk menyelesaikan konflik tersebut secara damai.
Resolusi no. 96 diadopsi pada 10 November 1951 setelah menerima
laporan dari Frank Graham. DK juga mencatat bahwa kini telah ada kemauan dari
India dan Pakistan bahwa mereka mau menyelesaikan konflik ini dengan damai,
melanjutkan gencatan senjata, dan nasib dari wilayah Jammu dan Kashmir akan
diputuskan melalui referendum dengan bantuan dari PBB. DK lalu menginstruksi
perwakilan PBB untuk terus berusaha agar kedua negara dapat mencapai
perjanjian bersama untuk melakukan demiliterisasi di wilayah bersengketa ini.
Faktor-faktor penghambat
Kegagalan dari PBB untuk menyelesaikan konflik Kashmir disebabkan
oleh banyak faktor, yang saling mempengaruhi, dan tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Apabila disimpulkan, maka faktor kegagalan PBB
disebabkan karena karakter dan status resolusi DK PBB yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat, kondisi sosial politik di masing-masing negara yang tidak
menghendaki adanya perdamaian, peran Amerika Serikat dan Uni Soviet yang
memperparah ketegangan, dan pelanggaran hak asasi manusia dan hukum
humaniter.
a. Resolusi Dewan Keamanan yang tidak berkekuatan mengikat.
Resolusi DK untuk konflik Kashmir diadopsi sebanyak 23 kali di bawah
Bab VI Piagam PBB tentang Pacific Settlement of Disputes. Terdapat persetujuan
umum di antara para ahli hukum apabila resolusi yang dibuat di bawah Bab VI
tidak mempunyai kekuatan mengikat.11 Berbeda dengan Bab VII Piagam PBB
tentang tindakan terhadap ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian, dan
tindakan agresi yang mana resolusinya dapat berkekuatan mengikat.
10 Ali Haider Chattha, Role of U.N on Kashmir Issue (Lahore: University
Lahore, 2014), hal. 6-10
11 Schweigman, David. The Authority of the Security Council Under
Chapter VII of the UN Charter, Martinus Nijhoff Publishers, 2001, hal.
33.
penyelesaian konflik Kashmir kembali menemui jalan buntu dan perdana menteri
Pakistan pada saat itu menyatakan bahwa isu Kashmir harus dikembalikan ke
Dewan Keamanan (DK) PBB.
Dengan semakin tegangnya kondisi di Kashmir saat itu, terlibatnya
Pakistan dengan pakta militer dengan negara barat, dan diperbolehkannya
Amerika Serikat untuk membangun pangkalan militer di Pakistan membuat PBB
tidak mampu berbuat apa-apa. Terlibatnya Amerika Serikat di dalam konflik
Kashmir kemudian mengundang Uni Soviet untuk turut campur. Uni Soviet lalu
memilih posisi sebagai anti Pakistan dan Pro India di dalam diskusi mengenai
Kashmir di DK.
Pada 15 Februari 1957 empat anggota DK, termasuk Inggris dan Amerika
Serikat berdiskusi dengan India dan Pakistan mengenai proposal untuk melibatkan
tentara PBB secara sementara untuk menyelesaikan konflik Kashmir. India
kemudian menolak proposal tersebut, dan walaupun pada akhirnya sembilan
negara setuju dengan proposalnya, Rusia sebagai pendukung India di dalam
konflik tersebut, memilih untuk menolak proposalnya. Hal tersebut adalah
pertama kalinya Rusia menggunakan hak vetonya di dalam isu Kashmir dan
penggunaan tentara PBB tidak dapat dilaksanakan.
Keterlibatan Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya menambah tensi di
Kashmir dan mengakibatkan kedua negara yang berkonflik untuk tidak
mempercayai satu sama yang lain. Apabila Amerika Serikat tidak memihak pada
Pakistan, dapat diperkirakan apabila Uni Soviet tidak akan memihak pula kepada
India sehingga proposal resolusi untuk melibatkan tentara PBB dapat
dilaksanakan. Apabila tentara PBB dapat dilibatkan, maka konflik antar negara
yang bersengketa dapat diminimalkan dan demiliterisasi wilayah Kashmir akan
sangat dimungkinkan sebagai tahap utama dan yang paling penting untuk
menyelesaikan sengketa secara damai.15
d. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Dengan tujuan untuk melawan para gerakan pemberontak di Kashmir,
tentara India telah secara sistematis melanggar hak asasi manusia (HAM) dan
hukum humaniter. Dari berbagai pelanggaran HAM, salah satunya yang terburuk
adalah eksekusi ratusan tawanan perang oleh tentara India di Kashmir. Pada
banyak kasus, para tahanan dibawa ke tahanan selama penyergapan, kemudian
diperintahkan untuk berbaris dan diidentifikasi di depan para informan yang
menggunakan penutup kepala. Bagi siapa saja yang ditunjuk oleh informan
tersebut akan ditahan untuk diinterogasi secara rutin. Beberapa tahanan tersebut
dibunuh di dalam tahanan hanya dalam beberapa jam setelah proses interogasi
tersebut.
Tentara, polisi, dan penjaga perbatasan India juga sering kali terlibat
dengan serangan terhadap rakyat sipil, menembak di tengah-tengah pasar dan
perumahan, dan membakar rumah-rumah warga. Para tentara tersebut juga
15 UNs failure in Kashmir, Economic and Political Weekly,
(http://www.epw.in/system/files/pdf/1965_17/40/un_s_failure_in_kashmi
ra_factual_survey.pdf, diakses 27 September 2015)
informan atau orang-orang yang tidak mendukung para militan tersebut. Para grup
militan ini juga menyiksa tahanan mereka seperti halnya yang dilakukan tentara
India.
Banyak dari grup militan ini yang juga melakukan pemerkosaan. Di
beberapa kasus, para militan memerkosa wanita-wanita yang menjadi anggota
keluarga dari para informan atau pendukung grup rival mereka. Pada kasus
lainnya, wanita-wanita ini diperkosa dan dijadikan tawanan agar para pria yang
diincar menyerahkan diri.
18
1.3.
Faktor Pendukung
Di balik segala hambatan yang PBB temui, ada beberapa faktor yang
selesai ini sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kerugiannya. Meneruskan
konflik hanya akan membawa kerugian bagi India dan Pakistan.
Apabila Pakistan gagal untuk mengurangi ajaran dan grup-grup radikal di
negaranya maka bahayanya juga akan mengimbas pada India. Mengingat bahwa
Pakistan adalah negara yang lebih lemah dan rentan dibandingkan dengan India
yang demokrasi dan sistem hukumnya lebih maju, Pakistan membutuhkan
bantuan dari India. Apabila Pakistan menjadi negara gagal, maka grup-grup
radikalnya tidak hanya akan menyerang Pakistan tetapi juga ke India. Konflik
Kashmir hanya akan membuat Pakistan semakin terpuruk dan semakin rentan
akan serangan dari grup-grup radikal. Maka sudah menjadi kepentingan dari India
untuk menahan diri agar Pakistan tetap bertahan dan India dapat terlindungi dari
serangan para radikal tersebut.
Beberapa faktor pendukung ini telah dapat membawa India dan Pakistan
untuk beberapa kali datang ke meja diplomasi. Namun sangat disayangkan, hal ini
masih belum cukup untuk menciptakan perdamaian yang nyata dan berkelanjutan.
IV.
KESIMPULAN