Oleh:
Dwitya Rilianti, S.Ked. 1518012111
Tegar Dwi Prakoso N., S.Ked. 1518012128
Perceptor:
dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ, M.Kes
KATA PENGANTAR
tmenyelesaikan
referat
berjudul
Insomnia
dan
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Tidur merupakan kebutuhan atau proses yang diperlukan oleh manusia untuk
pembentukan sel-sel tubuh yang baru, perbaikan sel-sel tubuh yang rusak (natural
healing mechanism), memberi waktu organ tubuh untuk beristirahat maupun
untuk menjaga keseimbangan metabolisme dan biokimiawi tubuh.1,2
Beberapa penelitian yang dilakukan di Jepang dilaporkan 29% responden tidur
kurang dari 6 jam, 23% merasa kekurangan dalam jam tidur, 6% menggunakan
obat tidur, 21% memiliki prevalensi insomnia dan 15% yang mengalami kondisi
mengantuk yang parah pada siang harinya. Menurut studi epidemiologi dari
insomnia, chornic insomnia mengenai sekitar 9-12% populasi di dunia.2,3,4
Gangguan tidur adalah salah satu gejala depresi yang termuat dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V). Gangguan tidur yang
dialami pada sebagian besar orang adalah insomnia dan 15% adalah hipersomnia.
Gangguan tidur dapat disebabkan oleh banyak hal atau bersifat holistik. Hal yang
mempengaruhi adalah biopsikososial yaitu dari faktor genetik, psikologis, dan
lingkungan. Sehingga bisa dikatakan penyebabnya sangat kompleks dan
memerlukan investigasi yang cermat.
Gangguan tidur primer terdiri atas dissomnia dan parasomnia. Dissomnia adalah
suatu kelompok gangguan tidur yang heterogen termasuk insomnia primer,
hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan
pernafasan, dan gangguan tidur irama sirkadian. Parasomnia adalah suatu
kelompok gangguan tidur termasuk gangguan mimpi menakutkan (nightmare
disorder), gangguan teror tidur, dan gangguan tidur berjalan. Dari gangguan tidur
primer tersebut, yang berkaitan dengan usia lanjut adalah insomnia dan
hipersomnia primer.
Gangguan tidur insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan itu.5
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas
di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur
dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Sebanyak 95% orang di Amerika telah
melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup
mereka.5 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Insomnia kronis adalah
setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Insomnia kronis juga
memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas hidup,
terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.6
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur.Insomniamenjadi prediksi sejumlah
gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan
obat, dan bunuh diri.
nafsu makan dan fungsi metabolik, berpegaruh pada fungsi jantung dan berpotensi
meningkatkan mortalitas. EDS disebutkan juga berhubungan dengan depresi dan
gangguan kecemasan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
center).
Bagian
susunan
saraf
pusat
yang
menghilangkan
daerah
formasio
retikularis
akan
menyebabkan
kondisi
kenal
sebagai
pusat
emosi,
agaknya
juga
berhubungan
dengan
penderita depresi, ditemukan adanya Sleep Latency yang bertambah atau dapat
juga normal. Sedangkan REM Latency jelas menjadi lebih pendek. Tidur Delta
yang pada orang normal ditemukan sejumlah 20 - 30%, pada penderita depresi
menjadi jauh berkurang. Hal ini yang menyebabkan penderita depresi mengeluh
tidurnya kurang pulas. Penelitian dari Zung menunjukkan bahwa pada
sukarelawan normal yang diberi rangsang suara-suara pada stadium Delta, tidak
terbangun oleh hal itu. Tetapi pada penderita depresi sangat mudah terbangun.
Karena itu penderita depresi mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu
di dini hari, perubahan sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Pada fase awal
penyakit, penderita. depresi akan mengalami penurunan dari Tidur REM nya
sebanyak 10%. REM menunjukkan bahwa orang itu sedang bermimpi.
Di laboratorium tidur, 85% dan mereka yang dibangunkan pada waktu tidur REM,
mengaku sedang bermimpi. Penderita depresi biasanya mengalami mimpi-mimpi
yang tidak menyenangkan sehingga mereka terbangun karenanya. Dengan
demikian tidur REM pun berkurang karena seringnya terbangun di malam hari. Di
samping itu, telah diterangkan bahwa pada mereka yang menderita depresi, tidur
REM lebih cepat datangnya. Secara fisiologik kekurangan tidur REM itu harus
dibayarkembali. Dengan begitu, selang beberapa waktu, penderita depresi akan
mengalami tidur REM yang berlebihan, dan penderita akan lebih sering terbangun
dan bermimpi buruk. Jadi jelaslah mengapa di laboratorium tidur, ditemukan
gambaran hipnogram yang acak-acakan atau iregular dari perpindahan satu
stadium ke stadium yang lain pada penderita depresi; dan sering terbangun di
malam hari. Pada penderita ansietas, dan hipnogram ditemukan SleepLatency
yang memanjang. Sedangkan REM Latency dapat normal atau lebih panjang dari
pada sukarelawan normal. Berbeda dengan penderita depresi, pada penderita
ansietas, tidur delta biasanya normal (20-30%), sedangkan tidur REM menjadi
bertambah,
terutama
pada
fase
akhir
dari
tidur
(di
dini
hari).
2.2.3 Klasifikasi
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
WHO (PPDGJ III), gangguan tidur secara garis besar dibagi dua, yaitu dissomnia
dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu kondisi psikogenik primer dengan
ciri gangguan utama pada jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor
emosional. Termasuk dalam golongan ini antara lain adalah insomnia,
hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur.
Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama masa
tidur. Termasuk dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror tidur, dan mimpi
buruk. Penggolongan gangguan tidur lain berdasarkan PPDGJ III adalah
gangguan tidur organik, gangguan nonpsikogenik termasuk narkolepsi dan
katapleksi, apne waktu tidur, gangguan pergerakan episodik termasuk mioklonus
nokturnal, dan enuresis.
a. Dissomnia
1. Gangguan tidur intrinsik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki gelisah,
obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik kepala, tidur
berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
2. Gangguan tidur ekstrinsik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik,
ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulant.
3. Gangguan tidur irama sirkadian
Sindroma Jet- Lag, perubahan jadwal kerja, sindrom fase terlambat tidur,
sindrom fase tidur belum waktunya, bangun tidur tidak teratur, tidak tidur
selama 24 jam.
b. Parasomnia
1. Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional.
10
jantung,
ulkus
peptikum,
sindrom
fibrositis,
refluks
2.3 Insomnia
2.3. 1 Definisi
Insomnia adalah seuatu gangguan tidur yang mempengaruhi kulaitas dan
kuantitas tidur. Keluhan paling banyak pada insomnia adalah terbangun saat tidur,
diikuti dengan sulit tidur kembali. Pasien insomnia memiliki kualitas tidur yang
buruk, yang akan berpengaruh pada hubungan sosial dan fungsi dalam bekerja.
Ada 3 tipe insomnia, yaitu sulitnya memulai tidur, sulitnya tidur setelah
terbangun, dan tidur saat menjelang dini hari. Insomnia dapat terjadi 3 bulan atau
11
lebih dari 3 bulan. Kekambuhan untuk insomnia adalah 2 atau lebih septiap
tahunnya. Insomnia merupkaan 3 kelompok besar pada gangguan tidur dalam
DSM bersamaan dengan hypersomnia dan arousal disorder 2,7,8
Insomnia merupakan salah satu gangguan tidur yang memiliki dampak buruk
bagi kesehatan dan kualitas hidup. Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam
hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif
yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan
atau gangguan dalam fungsi individu. Bisa juga insomnia di definisikan sebagai
kesusahan dalam memulai, atau mempertahankan tidur. Dalam arti lain insomnia
adalah permasalahan dari kualitas tidur dan/atau kuantitas tidur. Komplain
tersebut dapat berupa susah untuk memulai tidur, sering terbagun dimalam hari,
susah untuk kembali tertidur.4
The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai
kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3
malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International
Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi
hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. 9
2.3.2
Klasifikasi
12
nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya
mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur.
Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan
yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang
terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 12 dari 10 orang yang menderita insomnia.
P
Organik
Non organik
-
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan
sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM V, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1
kimia
dalam
otak
atau
karena
Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin
merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia.
Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam
tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
14
jauh
atau
pergeseran
waktu
kerja
dapat
Keadaan
medis
umum,
seperti
arthritis,
gagal
jantung,
15
Penyebab lain insomnia sekunder adalah proses penuaan itu sendiri (penurunan
cadangan fisiologis, perubahan
lingkungan (sering
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
Perjalanan jauh (Jet lag) dan perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.5,14
2.3.4
Diagnosis
16
Di
agnosis insomnia mencakup perjalanan tidur, histori medis dan psikiatri.
Anamnesis pada pasien harus mencangkup psikososial dan psikiatri disamping
keadaan medis.4 Pertanyaan dapat dimulai dari gejala utama.Riwayat tidur dapat
dimulai dari tinjauan kronologis dari memulai untuk tidur, waktu dan onset,
pengaruh pada kehidupan sehari-hari,stressor yangdialami saat ini, aktivitas rutin
pasien sehari-hari serperti waktu bangun tidur, aktivitas setelah bangun,aktivitas
sehari-hari waktu tidur, aktivitas sebelum tidur. Riwayat dari keluarga,
penggunaan alkohol dan obat-obatan juga perlu ditanyakan. Untuk membedakan
primaryinsomnia dan comorbidinsomnia, perlu ditanyakan riwayat penyakit, dan
penyakit yang sedang dialami saat ini. Pertanyaan yang lain ditujukan kepada
patner tidur pasien seperti lingkungan tidur pasien, apakah pasien berhenti
bernapas saat tidur, apakah pasien mendengkur, apakah ada gerakan atau
ditendang oleh pasien.8
Untuk mencapai kriteria diagnosis untuk insomnia secara umum, pasien harus
memiliki satu dari tiga kriteria dibawah: 8
1. Keluhan mengandung paling sedikit satu dari keluhan tidur dibawah ini
Kelelahan/malaise
Disfungsi sosial
Mengantuk di sianghari
atau mengemudi
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
18
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak
didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2). 16
2.3.5
Tatalaksana
Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat kondisi
medik
atau
psikiatrik
adalah
dengan
mengoptimalkan
terapi
terhadap
mnia yang terjadi sering disebabkan oleh penyakit lainnya. Jika ditemukan
penyakit yang mendasari penyebab insomnia secara jelas, lakukan terapi sesuai
manajemen penyakit tersebut. Perhatikan jika insomnia hilang setelah terapi. Jika
tidak ada penyakit yang mendasari, atau tidak ada perubahan setelah terapi, maka
terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi diperlukan.4
Tatalaksana Non Farmakologik
a. Terapi Tingkah Laku (Cognitive - Behavioral Theraphy/
CBT)
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.
19
Terapi
kognitif
dapat
dilakukan
pada
yang
20
21
Apa yangdilakukan?
-
Jika kamu tidak bisa tidur, keluar dari tempat tidur dan baca atau
lakukan aktivitas relaksasi yang lain sebelum berusaha untuk tidur
kembali.
Pergi tidur dan bangun pada waktu yang sama setiap hari.
22
Terapi farmakologi
Jika tidak ada perkembangan insomnia setelah terapi non farmakologi yang tepat,
terapi sedatif-hypnotik harus diberikan.4Tetapi, padapasien, pemberian obatobatan menjadi perhatian khusus karena fungsi tubuh yang sudah berkurang.
Secara umum,dalam memberikan obat kepada pasien, mengikuti aturan,startlow,
goslow. Mulai pengobatan dengan tidak lebih dari setengah dari dosis maksimum
dewasa muda, tetapkan kadar dengan pelan,dan resepkan obat hanya untuk jangka
pendek. Karena jika pemakaian lebih lanjutakan menyebabkan toleransi obat,
ketergantungan dan potensi dari gejala lepas obat.8
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Benzodiazepine merupakan obat hypnotik yang sering dipakai untuk pasien.
Benzodiazepine dapat dibagi menjadi 3 grup: long-acting, intermediate-acting dan
short-acting (tableI). benzodiazepine menekan stage3, 4 dan fase REM. Dan
meningkatkan stageII. Secara klinis, benzodiazepine mengurangi sleeplatency dan
tebangun
dimalam
hari.
Tetapi
harus
diperhatikan
dalam
pemberian
23
agen non-
merupakan
salah
satu
agen
non-benzodiazepine
sebagai
24
apnea. Ramelteon tidak meningkatkan keparahan dari sleep apnea pada kasus
sleep apnea ringan dan sedang, serta memiliki toleransi yang bagus pada pasien
dengan memiliki risiko yang relatif kecil mengalami ganguan psikomotor yang
dapat menyebabkan jatuh, yang mana ini merupakan perhatian utama dalam
pengobatan dengan menggunakan benzodiazepine.9
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya), Obat yang dibutuhkan adalah
bersifat Prolong latent phase Anti-Insomnia, yaitu golongan
heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik), Misalnya pada
gangguan depresi
Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat
yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia, yaitu
golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting),
Lama Pemberian
25
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur, Efek samping dapat terjadi
sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :
lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala hang
over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness
Interaksi obat
respiratory failure
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang
Perhatian Khusus
Kontraindikasi :
- Sleep apneu syndrome
- Congestive Heart Failure
- Chronic Respiratory Disease
teratogenic
effect
(e.g.cleft-palate
abnormalities)
26
2.3.6
Komplikasi
Saat
berkendara,
reaksi
reflex
akan
lebih
lambat.
Sehingga
2.3.7
Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai
skizophrenia.
2.4 Hipersomnia
2.4.1 Definisi
Menurut berdasarkan Diagnostic And Statictical Manual of Mental Disorders
edisi ke lima (DSM-5), ganguan tidur atau sleep disorder adalah masalah tidur
yang menyebabkan stres pribadi yang signifikan atau hendaya sosisla, pekerjaan
atau peran lain.20
Hipersomnia adalah suatu keadaan tidur dan serangan tidur disiang hari yang
berlebih yang terjadi secara teratur atau rekuren untuk waktu singkat dan
menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan.21
28
2.4.2 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hypersomnia sendiri masih belum bisa dipastikan namun
beberapa teori dapat menjelaskan terjadi adanya hypersomnia atau Excessive
Daytime Sleepiness :
1. EDS ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus seperti Guillan Barre
Syndrome, hepatitis, mononucleosis, atypical viral pneumonia,selain itu
beberapa kasus yang bersifat genetic, EDS berhubungan dengan genotype
HLA-cw-2 da HLA-DR11. Namun pada mayoritas pasien ditemukan dengan
riwayat infeksi virus pada keluaga atau riwayat penyakit dahulu pasien
sendiri.
2. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan, kerusakan neuron nonadrenergik
pada rostral ketiga dari locus cerleus complex menyebabkan EDS. Trauma
disebutkan memiliki hubungan pada EDS, metabolit neurotransmitter pada
pasen post traumatic EDS tidak berbeda dengan pasien yang mengidap EDS
dengan narkolepsi atau pasien EDS lainnya. Kerusakan pada neuron
adrenergic pada bundel istmus berhubungan dengan peningkatan yang berarti
pada tidur NREM maupun REM
3. Penelitan menunjukkan pahwa disfungsi system dopamine dapat terjadi pada
pasien narcolepsy yang menyebabkan EDS, selain itu malfungsi dari system
norepeinefrin dapat menyebabkan primary hypersomnia (EDS). Selain itu
penurunan histamin pada CSF telah dilaporkan pada hypersomnia primer dan
narcolepsy namun tidak pada non CNS hypersomnia, hal ini mengindikasikan
histamine dapat dijadikan indicator pembeda hypersomnia yang berasal dari
CNS atau perifer
4.
Pada penelitian pada hewa coba, ditemukan gen yang berperan pada patologi
dari hypocretin/ ligand orexin dan reseptorya. Konsentrasi hypocretin1 dan
hypocretin-2 pada HLA DQB*0602 pada CSF juga ditemukan pada
hypersomnia primer dan akan mengganggu pada transmisi hcrt-2 dan hal ini
akan menimbulkan gangguan, karena hypocretin peptide mengeksitasi system
histaminergic melalui receptor hypocretin 2, deficiency hypocretin dapat
menyebabkan EDS via penurunan fungsi histaminergic
29
2.4.3 Klasifikasi
Berdasarkan
buku
PPDGJ-III,
terdapat
klasifikasi
Hipersomnia
Non-
30
31
32
2. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau berulang
dengan kurun waktu yang lebih pendek,menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
3. Tidak ada gejala tambahan narkolepsi (cataplexy, sleep paralysis, hypnagogic
hallucination) atau bukti klinis untuk sleep apnoe (nocturnal breath
cessation, typical intermittent snoring sound, dll)
4. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa
kantuk pada siang hari.
Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa lain,
misalnya gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan gangguan yang
mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus ditambahkan bila
hipersomnia merupakan keluhan yang dominan dari penderita dengan gangguan
jiwa lainnya.
2.4.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk gangguan tidur hipersomnia adalah25
1. Kurang tidur; dengan karakteristik utama adalah keterbatasan tidur
pada malam hari. Temuan polisomnografi akan mirip dengan pasien
hipersomnia idiopatik, akan tetapi gejala kantuk berlebih pada siang
hari akan membaik saat waktu tidur ditingkatkan.
2. Delayed Sleep Phase Syndrome , pasien akan mengalami kesulitan
bangun di pagi hari. Pasien biasanya tidur terlambat di malam hari,
tetapi jika waktu tidurnya cukup, maka mereka tidak akan merasakan
kantuk di siang hari.
3. Long sleeper; mereka memiliki kebutuhan tidur yang lebih banyak
dari orang normal, sehingga jika waktu tidur mereka tidak terpenuhi,
maka akan merasa kantuk pada siang hari. Jika diberikan kesempatan
untuk tidur sepanjang yang mereka butuhkan, maka gejala kantuk
berlebih pada siang hari akan menghilang; berbeda dengan
hipersomnia idiopatik.
33
Pemeriksaan
yang
diperlukan
adalah
HLA,
2.4.6 Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
Pendekatan psikologis memiliki banyak keterbatasan untuk penanganan Insomnia
primer. Secara keseluruhan pendekatan dengan penanganan kognitif-behavioral
telah melaksanakan manfaat yang penting dalam menangani insomnia.26
Teori kognitif-behavioral menekankan pada jangka pendek dan berfokus pada
penurunan kondisi fisiologis yang timbul, memodifikasi kebiasaan tidur yang
maladaptif dan mengubah pemikiran yang disfungsional. Terapi ini biasanya
menggunakan kombinasi dari beberapa teknik, restrukturasi rasional. Kontrol
simultan melibatkan perubahan stimulus lingkungan yang diasosiasikan dengan
tidur. Dibawah kondisi normal, kita belajar untuk mengasosiasikan stimulus
menghubungkan berbaring ditempat tidur dengan tidur, sehingga pemaparan
terhadap stimulus ini dapat meningkatkan perasaan mengantuk. Namun ketika
seseorang menggunakan tempat tidur untuk banyak aktivitas, tempat tidur dapat
kehilangan asosiasinya dengan rasa kantuk.26
Teknik kontrol simultan bertujuan untuk memperkuat hubungan tempat tidur dan
tidur dengan sebisa mungkin membatasi aktivitas yang dihabiskan ditempat tidur
untuk dapat tertidur. Biasanya, seseorang diinstruksika dengan membatasi waktu
yang dihabiskan ditempat tidur untuk mencoba tidur dalam waktu 10 atau 20
34
menit. Jika masih tidak dapat tidur juga pada waktu yang diperkiran, orang
tersebut diinstruksikan untuk meninggalkan tempat tidur dan pergi keruangan lain
untuk membangun kerangka berpikir yang santai sebelum relaksasi.26
Tindakan sleep hygiene terdiri dari: 27
1. Tidur dan bangunlah secara reguler/kebiasaan
2.
b. Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua
obat yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan enekanan aktifitas dari
reticular activating system (ARAS) diotak.27
Tujuan pengobatan pasien harus kembali normal untuk tingkat kewaspadaan. Hal
ini berarti pasien harus merasa lebih baik dan tidak memerlukan tidur siang.
Pengobatan harus mencakup penggunaan obat (diluar hipnosis) dengan penekanan
pada pengelolaan non farmakologi. obat stimulan, termasuk methylphenidate dan
garam amfetamin, umumnya sangat efektif. Efek samping yang timbul bervariasi
yaitu sakit kepala, sakit perut, penekanan nafsu makan dan lain-lain oleh karena
itu pilihan obat kedua yaitu modafinil dapat menjadi pilihan yang efektif. Pasien
yang mengalami kejang perlu evaluasi dan perawatan dari tim neurologi. Pasien
yang memiliki apnea saat tidur karena ada obstruksi harus segera menjalani
operasi atau menggunakan perangkat untuk memberikan tekanan jalan nafas
35
2.4.7 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan hipersomnia adalah baik. Hal ini karena diagnosis
umumnya ditegakkan dengan tepat
36
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang adalah
insomnia dan 15% adalah hipersomnia. Insomnia merupakan
kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan
tidur, atau tidak cukup tidur. Hipersomnia adalah kebalikan dari
insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan terutama pada siang
hari. Gangguan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti
stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obatobatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Gangguan ini
merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana
apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja
dan kehidupan sehari-hari. Insomnia dan hipersomnia dapat
ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,
bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Tatalaksana
insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah
laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah
seperti mengatur jadwal tidur.
Edukasi penting diberikan kepada pasien tentang sleep hygiene
yang
baik
dalam
mengatasi
berbagai
gangguan
tidur.
penggunaan
obat
tersebut
harus
benar-benar
3.2 Saran
37
DAFTAR PUSTAKA
M.R.
2011.
Insomnia.
Editor:
Selim
Benbadis.
(http://www.emedicina.medscape.com)
7. Norman Wolkove, Osama Elkholy, Marc Baltzan, Mark Palayew. Sleep
and aging: 2. Management of sleep disorder. CMAJ. 2007;176:1449-1454
8. Preda A. Primary Hypersomnia. May 14, 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com
9. American Academy
of
Sleep
Medicine
(2005).
The
International
38
M.R.
2011.
Insomnia.
Editor:
Selim
Benbadis.
(http://www.emedicina.medscape.com)
13. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London:
Oxford University Press
14. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
15. Tom, R. 2013. New Direction in the Management of Insomnia, Balancing
Pathophysiology and Therapeutics. Medical Econimics.
16. Maslim R. Diagnosa Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNIKA Atma Jaya; 2013.
17. Norman Wolkove, Osama Elkholy, Marc Baltzan, Mark Palayew. Sleep
and aging: 2. Management of sleep disorder. CMAJ. 2007;176:1449-1454
18. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
19. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
20. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental
Disorders
DSM-V. Washington,
DC:
American
Psychiatric
Publishing.
21. Puri B, Laking P, Treasaden.2011. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : EGC
22. Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas Ppdgj-III
dan DSM-5. Jakarta: PT.Nuh Jaya.
23. Sadock BJ. 2007. Normal sleep and Sleep disorders. Synopsis of Psychiatry,
10th ed, Lippincott Williams & Wilkins. A Wolters Kluwer Co.
24. MDGuidelines. 2012. Hypersomnia. From: http://www.mdguidelines.com/
hypersomnia. Diakses pada 13 Oktober 2016
25. Japari I. 2002. Gangguan Tidur. USU Digital Library. Pp 1-4
26. Adrian
Preda,MD.
2011.
Primary
Hypersomnia.
From:
39
40