Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

INSOMNIA DAN HIPERSOMNIA

Oleh:
Dwitya Rilianti, S.Ked. 1518012111
Tegar Dwi Prakoso N., S.Ked. 1518012128

Perceptor:
dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ, M.Kes

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI LAMPUNG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapakan kepada Allah swt yang telah


memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapa

tmenyelesaikan

referat

berjudul

Insomnia

dan

Hipersomnia. Adapun penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk


memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Penyakit Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada
dokter pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan
dalam penyusunan referat ini, juga kepada semua pihak yang
telah turut serta dalam membantu menyusunan referat ini
sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunannya referat ini
masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik
dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhirnya semoga
laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat
bagi kita semua.

Bandar Lampung, 13 Oktober 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Tidur merupakan kebutuhan atau proses yang diperlukan oleh manusia untuk
pembentukan sel-sel tubuh yang baru, perbaikan sel-sel tubuh yang rusak (natural
healing mechanism), memberi waktu organ tubuh untuk beristirahat maupun
untuk menjaga keseimbangan metabolisme dan biokimiawi tubuh.1,2
Beberapa penelitian yang dilakukan di Jepang dilaporkan 29% responden tidur
kurang dari 6 jam, 23% merasa kekurangan dalam jam tidur, 6% menggunakan
obat tidur, 21% memiliki prevalensi insomnia dan 15% yang mengalami kondisi
mengantuk yang parah pada siang harinya. Menurut studi epidemiologi dari
insomnia, chornic insomnia mengenai sekitar 9-12% populasi di dunia.2,3,4
Gangguan tidur adalah salah satu gejala depresi yang termuat dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V). Gangguan tidur yang
dialami pada sebagian besar orang adalah insomnia dan 15% adalah hipersomnia.
Gangguan tidur dapat disebabkan oleh banyak hal atau bersifat holistik. Hal yang
mempengaruhi adalah biopsikososial yaitu dari faktor genetik, psikologis, dan
lingkungan. Sehingga bisa dikatakan penyebabnya sangat kompleks dan
memerlukan investigasi yang cermat.
Gangguan tidur primer terdiri atas dissomnia dan parasomnia. Dissomnia adalah
suatu kelompok gangguan tidur yang heterogen termasuk insomnia primer,
hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan
pernafasan, dan gangguan tidur irama sirkadian. Parasomnia adalah suatu
kelompok gangguan tidur termasuk gangguan mimpi menakutkan (nightmare
disorder), gangguan teror tidur, dan gangguan tidur berjalan. Dari gangguan tidur
primer tersebut, yang berkaitan dengan usia lanjut adalah insomnia dan
hipersomnia primer.

Gangguan tidur insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan itu.5
Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas
di siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur
dan/atau mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya
mengakibatkan gangguan kualitas hidup. Sebanyak 95% orang di Amerika telah
melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup
mereka.5 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Insomnia kronis adalah
setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Insomnia kronis juga
memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas hidup,
terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.6
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur.Insomniamenjadi prediksi sejumlah
gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan
obat, dan bunuh diri.

Selain insomnia, gangguan tidur yang juga banyak diderita


masyarakat adalah hypersomnia atau yang lebih dikenal dengan EDS
(Excessive Daytime Sleepines) yaitu suatu keadaan tidur dan serangan tidur
disiang hari yang berlebih yang terjadi secara teratur atau rekuren untuk waktu
singkat dan menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan.
Menurut National Sleep Foundation, sampai dengan 40% orang di Dunia
memiliki beberapa gejala hipersomnia dari waktu ke waktu. Penelitian
menunjukkan EDS berpengaruh besar pada kesehatan individu baik secara fisik
maupun metal dan juga berpengaruh luas pada keluarga , lingkungan kerja dan
bidang ekonomi. EDS berpengaruh pada hubungan antar individu bahkan studi
lain menyebutkan bahwa EDS menyebabkan masalah memori konsentrasi, &
perubahan mood. Gangguan tidur dapat menurunkan respon imun, perubahan
4

nafsu makan dan fungsi metabolik, berpegaruh pada fungsi jantung dan berpotensi
meningkatkan mortalitas. EDS disebutkan juga berhubungan dengan depresi dan
gangguan kecemasan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Tidur


Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian18,19.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem Saraf
Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di
substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada
substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur
(sleep

center).

Bagian

susunan

saraf

pusat

yang

menghilangkan

sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut


sebagai pusat penggugah (arousal center).
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam
empat stadium, antara lain:
a. Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini
dianggap stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran

kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7


siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
b. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur.
EEG menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang
sering dengan frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik
yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan
dengan mudah.
c. Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga
2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
d. Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG
hampir sama dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam,
atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagibagi dalam stadium seperti dalam tidur NREM.Pada orang dewasa normal terjadi
setiap 90 menit. Tipe tidur ini tidak begitu tenang. Pola tidur REM ditandai
adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila
dibangunkan hampir semua organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut
nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan
relaksasi yang dalam18,19

2.2 Gangguan tidur


2.2.1 Definisi
Gangguan tidur adalah perubahan siklus tidur seseorang menjadi lebih pendek
atau bahkan lebih panjang yang mengakibatkan terganggunya intensitas dan
kualitas tidur seseorang. Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur
selama masa hidupnya.

Menurut dr. Iskandar Japardi diperkirakan tiap tahun 20 %- 40 % orang dewasa


mengalami kesukaran tidur dan 17 % diantaranya mengalami masalah serius.
Prevalensi gangguan tidur setiap tahun cenderung meningkat, hal ini juga sesuai
dengan peningkatan usia dan berbagai penyebabnya. Menurut data internasional
dari gangguan tidur, prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai
berikut: Penyakit asma (61-74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram
kaki malam hari (16%), psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (515%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi
(65%). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2-5%), gangguan
obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), narcolepsy
(mendadak tidur) (0,03%-0,16%).
2.2.2 Patofisiologi
Irama tidur - jaga yang merupakan pola tingkah laku agaknya berhubungan
dengan interaksi di dalam sistim aktivasi reticular. Contoh adalah bila dilakukan
perangsangan

daerah

formasio

retikularis

akan

menyebabkan

kondisi

jaga/waspada pada hewan di laboratorium. Sedangkan perusakan pada daerah itu


menyebabkan hewan mengalami kondisi koma menetap. Dengan ini kita
mengetahui bahwa sistim aktivitas retikular bekerjanya diatur oleh kontrol dan
nukleus raphe dan locus coeruleus. Di mana sel-sel dan nucleus raphe mensekresi
serotonin dan locus coeruleus mensekresi epinephrine. Jika nukleus raphe dirusak
atau sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi tidak tidur/berkurangnya
jam tidur pada hewan percobaan yang mirip dengan kejadian insomnia.
Sedangkan bila locus coeruleus yang dirusak, akan terjadi penurunan atau
hilangnya tidur REM, sedangkan tidur non REM tak berubah. Sistim limbik, yang
kita

kenal

sebagai

pusat

emosi,

agaknya

juga

berhubungan

dengan

kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang menyebabkan mengapa kondisi


ansietas dan gangguan emosi lainnnya dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan
insomnia.
Penelitian tidur di laboratorium dengan alat EEG menunjukkan adanya perbedaan
antara sukarelawan yang normal dengan penderita depresi dan ansietas. Pada

penderita depresi, ditemukan adanya Sleep Latency yang bertambah atau dapat
juga normal. Sedangkan REM Latency jelas menjadi lebih pendek. Tidur Delta
yang pada orang normal ditemukan sejumlah 20 - 30%, pada penderita depresi
menjadi jauh berkurang. Hal ini yang menyebabkan penderita depresi mengeluh
tidurnya kurang pulas. Penelitian dari Zung menunjukkan bahwa pada
sukarelawan normal yang diberi rangsang suara-suara pada stadium Delta, tidak
terbangun oleh hal itu. Tetapi pada penderita depresi sangat mudah terbangun.
Karena itu penderita depresi mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu
di dini hari, perubahan sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Pada fase awal
penyakit, penderita. depresi akan mengalami penurunan dari Tidur REM nya
sebanyak 10%. REM menunjukkan bahwa orang itu sedang bermimpi.
Di laboratorium tidur, 85% dan mereka yang dibangunkan pada waktu tidur REM,
mengaku sedang bermimpi. Penderita depresi biasanya mengalami mimpi-mimpi
yang tidak menyenangkan sehingga mereka terbangun karenanya. Dengan
demikian tidur REM pun berkurang karena seringnya terbangun di malam hari. Di
samping itu, telah diterangkan bahwa pada mereka yang menderita depresi, tidur
REM lebih cepat datangnya. Secara fisiologik kekurangan tidur REM itu harus
dibayarkembali. Dengan begitu, selang beberapa waktu, penderita depresi akan
mengalami tidur REM yang berlebihan, dan penderita akan lebih sering terbangun
dan bermimpi buruk. Jadi jelaslah mengapa di laboratorium tidur, ditemukan
gambaran hipnogram yang acak-acakan atau iregular dari perpindahan satu
stadium ke stadium yang lain pada penderita depresi; dan sering terbangun di
malam hari. Pada penderita ansietas, dan hipnogram ditemukan SleepLatency
yang memanjang. Sedangkan REM Latency dapat normal atau lebih panjang dari
pada sukarelawan normal. Berbeda dengan penderita depresi, pada penderita
ansietas, tidur delta biasanya normal (20-30%), sedangkan tidur REM menjadi
bertambah,

terutama

pada

fase

akhir

dari

tidur

(di

dini

hari).

2.2.3 Klasifikasi
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
WHO (PPDGJ III), gangguan tidur secara garis besar dibagi dua, yaitu dissomnia
dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu kondisi psikogenik primer dengan
ciri gangguan utama pada jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor
emosional. Termasuk dalam golongan ini antara lain adalah insomnia,
hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur.
Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama masa
tidur. Termasuk dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror tidur, dan mimpi
buruk. Penggolongan gangguan tidur lain berdasarkan PPDGJ III adalah
gangguan tidur organik, gangguan nonpsikogenik termasuk narkolepsi dan
katapleksi, apne waktu tidur, gangguan pergerakan episodik termasuk mioklonus
nokturnal, dan enuresis.
a. Dissomnia
1. Gangguan tidur intrinsik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki gelisah,
obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik kepala, tidur
berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
2. Gangguan tidur ekstrinsik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik,
ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulant.
3. Gangguan tidur irama sirkadian
Sindroma Jet- Lag, perubahan jadwal kerja, sindrom fase terlambat tidur,
sindrom fase tidur belum waktunya, bangun tidur tidak teratur, tidak tidur
selama 24 jam.
b. Parasomnia
1. Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal konfusional.

10

2. Gangguan antara bangun-tidur


Gerak tiba-tiba, tidur berbicara, kramkaki, gangguan gerak berirama.
3. Berhubungan dengan fase REM
Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus arest.
4. Parasomnia lain-lainnya
Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan, distonia
parosismal.
c. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri
1. Gangguan mental
Psikosis, anxietas, gangguan afektif, panik (nyeri hebat), alkohol.
2. Berhubungan dengan kondisi kesehatan
Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple sklerosis), epilepsi,
status epilepsi, nyeri kepala, post traumatik kepala, stroke. Penyakit asma,
penyakit

jantung,

ulkus

peptikum,

sindrom

fibrositis,

refluks

gastrointestinal, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).


d. Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi
Dissomnia
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran untuk jatuh
tidur (falling as sleep), mengalami gangguan selama tidur (difficulty in
staying as sleep), bangun terlalu dini atau kombinasi diantaranya.

2.3 Insomnia
2.3. 1 Definisi
Insomnia adalah seuatu gangguan tidur yang mempengaruhi kulaitas dan
kuantitas tidur. Keluhan paling banyak pada insomnia adalah terbangun saat tidur,
diikuti dengan sulit tidur kembali. Pasien insomnia memiliki kualitas tidur yang
buruk, yang akan berpengaruh pada hubungan sosial dan fungsi dalam bekerja.
Ada 3 tipe insomnia, yaitu sulitnya memulai tidur, sulitnya tidur setelah
terbangun, dan tidur saat menjelang dini hari. Insomnia dapat terjadi 3 bulan atau

11

lebih dari 3 bulan. Kekambuhan untuk insomnia adalah 2 atau lebih septiap
tahunnya. Insomnia merupkaan 3 kelompok besar pada gangguan tidur dalam
DSM bersamaan dengan hypersomnia dan arousal disorder 2,7,8
Insomnia merupakan salah satu gangguan tidur yang memiliki dampak buruk
bagi kesehatan dan kualitas hidup. Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam
hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif
yang berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan
atau gangguan dalam fungsi individu. Bisa juga insomnia di definisikan sebagai
kesusahan dalam memulai, atau mempertahankan tidur. Dalam arti lain insomnia
adalah permasalahan dari kualitas tidur dan/atau kuantitas tidur. Komplain
tersebut dapat berupa susah untuk memulai tidur, sering terbagun dimalam hari,
susah untuk kembali tertidur.4
The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai
kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3
malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International
Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi
hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. 9

2.3.2

Klasifikasi

Insomnia dibagi menjadi 2 bagian yaitu: 4,10


1. Primary insomnia merupakan gangguan kekurangan tidur yang tidak ada
hubungannya dengan medis, psikis, dan lingkungan. insomnia atau susah
tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur dan kebiasaan sebelum tidur seringkali menjadi
penyebab dari jenis insomnia primer ini.
2. Secondary insomnia

biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya

kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan


dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10
orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa

12

nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya
mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur.
Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan
yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang
terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 12 dari 10 orang yang menderita insomnia.
P

eningkatan penyakit kronik pada pasien meningkatkan insiden dari insomnia.

Insomnia pada pasien berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang


signifikan. Insomnia dapat menyebabkan atau berkontribusi dalam gangguan
neurokognitif dan gangguan prilaku. Resiko mengalami jatuh dan kecelakaan
pada pasien insomnia akan lebih besar.4,11
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu
International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) V dan International Classification of Sleep Disorders
(ISD).
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:

Organik

Non organik
-

Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)

Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur


seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia
disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan
sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM V, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1

Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain

Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum


13

Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali


dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini
menetap dan diderita minimal 1 bulan.

2.3.3 Etiologi dan Faktor resiko


Etiologi
Menurut dr. Tom Roth, insomnia merupakan suatu kelainan hyperarousal yang
timbul 24 jam setiap harinya yang dapat disebabkan oleh 3 hal, yaitu
hiperaktivasi dari neurophysiologi dari nervus simpatis, perubahan regulasi dari
neuroendokrin yang mempengaruhi arousal, kognitif atau kebiasaan seseorang
yang berhubungan langsung dengan tidur.

Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau


keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari,
sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh
stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,
perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan
insomnia.

Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan


ketidakseimbangan

kimia

dalam

otak

atau

karena

kekhawatiran yang menyertai depresi.

Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses


tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan
tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan
kortikosteroid.

Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin
merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia.
Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam
tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.

14

Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis,


kesulitan bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan
mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan
mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan
dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD),
stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.

Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat


perjalanan

jauh

atau

pergeseran

waktu

kerja

dapat

menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga


sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam
internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu
tubuh.

'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir


berlebihan tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha
terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan
kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari
lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba
untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.12,13

Sebagian besar insomnia merupakan insomnia

sekunder. Nyeri yang

berhubungan dengan gangguan musculoskeletal, termasuk arthritis, merupakan


gangguan tersering penyebab insomnia pada pasien. 11 Beberapa penyebab
secondary insomnia yaitu: 4

Gangguan mental dan psikiatri

Keadaan

medis

umum,

seperti

arthritis,

gagal

jantung,

hipertiroidisme, atau gastroesophagealreflux.

Zat atau obat-obatan seperti alkohol, betablocker, bronchodilator,


corticosteroid, decongestan ,diuretic, SSRI, levodopa, caffeine.

Gangguan irama sirkadian, seperti jet lag.

15

Disomnia, seperti sleep hygiene yang buruk, restles sleg syndrome


(RLS) periodic limb movement disorder (PLMS), sleep apnea

Penyebab lain insomnia sekunder adalah proses penuaan itu sendiri (penurunan
cadangan fisiologis, perubahan

irama sirkadian), faktor

lingkungan (sering

tinggal dirumah,sedikit terpapar sinar matahari), faktor prilaku (sleephygiene


yang buruk, menurunnya aktivitas fisik), faktor psikologis (pensiunan, perubahan
kehidupan sehari-hari dan lingkungan sosial), faktor nutrisi (perubahan komposisi
tubuh, seperti peningkatan massa lemak, asupan alkohol dan caffeine) dan faktor
medis (penyakit yang mendasari, termasuk kondisi psikiatri dan pengobatan).4
Faktor Resiko
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada:

Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon


selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.

Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.

Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,


kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.

Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang


seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko
terjadinya insomnia.

Perjalanan jauh (Jet lag) dan perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.5,14

2.3.4

Diagnosis

16

Di
agnosis insomnia mencakup perjalanan tidur, histori medis dan psikiatri.
Anamnesis pada pasien harus mencangkup psikososial dan psikiatri disamping
keadaan medis.4 Pertanyaan dapat dimulai dari gejala utama.Riwayat tidur dapat
dimulai dari tinjauan kronologis dari memulai untuk tidur, waktu dan onset,
pengaruh pada kehidupan sehari-hari,stressor yangdialami saat ini, aktivitas rutin
pasien sehari-hari serperti waktu bangun tidur, aktivitas setelah bangun,aktivitas
sehari-hari waktu tidur, aktivitas sebelum tidur. Riwayat dari keluarga,
penggunaan alkohol dan obat-obatan juga perlu ditanyakan. Untuk membedakan
primaryinsomnia dan comorbidinsomnia, perlu ditanyakan riwayat penyakit, dan
penyakit yang sedang dialami saat ini. Pertanyaan yang lain ditujukan kepada
patner tidur pasien seperti lingkungan tidur pasien, apakah pasien berhenti
bernapas saat tidur, apakah pasien mendengkur, apakah ada gerakan atau
ditendang oleh pasien.8
Untuk mencapai kriteria diagnosis untuk insomnia secara umum, pasien harus
memiliki satu dari tiga kriteria dibawah: 8
1. Keluhan mengandung paling sedikit satu dari keluhan tidur dibawah ini

Kesulitan untuk memulai tidur

Kesulitan untuk mempertahankan tidur

Terbangun terlalu awal, atau

Tidur tidak mengembalikan energi atau kualitas tidur buruk

2. Kesulitan tidur terjadi walaupun adanya kesempatan tidur dan keadaan


untuk tidur cukup memadai
3. Mengalami setidaknya satu dari beberapa bentuk gangguan di siang hari
yang berhubungan dengan kesulitan tidur:

Kelelahan/malaise

Gangguan konsentrasi, perhatian, dan memori

Disfungsi sosial

Mengantuk di sianghari

Berkurangnya energy/ motivasi

Kecenderungan untuk terjadi kesalahan/ kecelakaan pada saat kerja


17

atau mengemudi

Tension headaches, dan gejala GI tract yang berhubungan dengan


kesulitan tidur

Keprihatinan atau kecemasan tentang tidur

Gejala dari Insomnia (DSM V) (APA, 2013)15,16


1. Ketidak puasan dengan kualitas dan kuantitas dari tidur, dengan 1 atau lebih
gejala yang mengikuti seperti sulit tidur, sulit mempertahankan tidur atau
sering terbangun, dan terbangun menjelang dini hari.
2. Gangguan saat tidur yang disebabkan oleh stress atau gangguan di sosial,
tempat kerja, pendidikan, akademic, kebiasaan, atau yang lainnya yang
merupakan area yang memiliki fungsi yang penting.
3. Sulit tidur setidaknya 3 malam setiap minggunya, selam 3 bulan terakhir,
dan disertai dengan tidur yang tidak adekuat.
4. Insomnia tidak berhubungan dengan gangguan tidur yang lainnya.
5. Insomnia tidak dijelaskan sebagian gangguan mental atau kondisi medik.

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1
bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan

Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.

Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya

18

gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak
didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2). 16
2.3.5

Tatalaksana

Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat kondisi
medik

atau

psikiatrik

adalah

dengan

mengoptimalkan

terapi

terhadap

penyakityang mendasarinya. Cara farmakologik dan nonfarmakologik diperlukan


untuk terapi gangguan tidur, namun penatalaksanaan utama umumnya mencakup
aspek nonfarmakologik. Pada beberapa gangguan tidur tertentu, dibutuhkan
penanganan khusus. Terapiinsomniaterdiridari: 4,10

Terapi dari penyakit yang mendasari insomnia, (jika ada)

Terapi Non-farmakologi seperti psikoterapi dan cognitive behavior


therapy(CBT)

Terapi farmakologi, sedative-hypnoticagent

Terapi penyakit dasar


Inso

mnia yang terjadi sering disebabkan oleh penyakit lainnya. Jika ditemukan

penyakit yang mendasari penyebab insomnia secara jelas, lakukan terapi sesuai
manajemen penyakit tersebut. Perhatikan jika insomnia hilang setelah terapi. Jika
tidak ada penyakit yang mendasari, atau tidak ada perubahan setelah terapi, maka
terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi diperlukan.4
Tatalaksana Non Farmakologik
a. Terapi Tingkah Laku (Cognitive - Behavioral Theraphy/
CBT)
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini
umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita
insomnia.

19

Terapi CBT meliputi:

Terapi Sleep hygiene

Teknik Relaksasi, Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat


biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu mengontrol pernapasan,
nadi, tonus otot, dan mood. Terapi relaksasi dan biofeedback merupakan
terapi hipnosis diri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga
terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien
membutuhkan latihan yang cukup dan serius.

Terapi Kognitif, Meliputi merubah pola pikir dari


kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang
positif.

Terapi

kognitif

dapat

dilakukan

pada

konseling tatap muka atau dalam grup.

Restriksi Tidur, Terapi ini dimaksudkan untuk


mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur
yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.

Kontrol Stimulus, Terapi ini dimaksudkan untuk


membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
bertujuan untuk memutus siklus masalah

yang

sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau


jatuh tidur. Sleep Restriction Therapy merupakan
pembatasan waktu di tempat tidur yang dapat
membantu mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini
bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat
tidur tanpa bisa tertidur.4,10
Instruksi dalam Terapi Stimulus - Kontrol:
1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk
membaca, menonton televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam
waktu 20 menit di tempat tidur seseorang tidak juga bisa

20

tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan


melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton
televisi. Bila sudah merasa mengantuk kembali ke tempat
tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga
dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat
berulang dilakukan sampat seseorang dapat tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan
berapa lama tidur pada malam sebelumnya. Hal ini dapat
memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol waktu).
4. Tidur siang harus dihindari. Higiene tidur bertujuan untuk
memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk
tidur, dan merupakan aspek yang mutlak dimanipulasi pada
tatalaksana gangguan tidur.4
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada


hari libur

Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.

Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.

Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat,


membaca, latihan pernapasan atau beribadah

Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan


menyulitkan tidur pada malam hari.

Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur,


seperti menghindari kebisingan

Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20


hingga 30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam
jam sebelum tidur.

Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin

21

Menghindari makan besar sebelum tidur

Cek kesehatan secara rutin

Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik

Intervensi non farmakologi pada penyakit insomnia adalah memberi edukasi


kepada pasien tentang kebiasaan tidur yang baik atau sleep hygiene dan gaya
hidup sehat yaitu diet dengan nutrisi seimbang dan menghindari makanan atau
minuman yang menggangu tidur, olahraga,hindari penyalahgunaan obat-obatan.4
Dan juga terdapat stimulus-control therapy dan sleep restriction therapy. Berikut
adalah fundamental dari sleephygiene yang baik:10

Apa yangdilakukan?
-

Pergunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan aktivitas seksual.

Jika kamu tidak bisa tidur, keluar dari tempat tidur dan baca atau
lakukan aktivitas relaksasi yang lain sebelum berusaha untuk tidur
kembali.

Buat kualitas tidur sebagai prioritas.

Pergi tidur dan bangun pada waktu yang sama setiap hari.

Pastikan lingkungan yang tenang.

Tempat tidur yang nyaman dan ruangan yang memiliki ventilasi


memadai

Terlindung dari cahaya dan keributan.

Kembangkan dan pelihara ritual waktu tidur yang membuat tidur


sebagai rutinitas yang lazim.

Siapkan tidur dengan 20-30 menit melakukan relaksasi seperti music


lembut, meditasi, latihan nafas.

Mandi dengan air hangat.

Makan snack ringan, yaitu susu hangat,

makanan yang banyak

mengandung tryptophan, seperti pisang, karbohidrat, yang bisa


mempengaruhi tidur, sedangkan protein menyebabkan sering
bangun.

Hal yang perlu dihindari adalah

22

Secara umum, hindari dari: Tidur sebentar,khususnya setelah pukul


3.00pm, pergi tidur terlalu awal di malam hari.

Sebelum tidur hindari: makan berlebihan, mengkonsumsi caffeine


atau alkohol, merokok, berolahraga, ketika mencoba untuk tidur,
hindari, berpikir tentang isu kehidupan, memecahkan suatu masalah,
membicarakan kembali suatu kejadian di hari itu.

Terapi farmakologi
Jika tidak ada perkembangan insomnia setelah terapi non farmakologi yang tepat,
terapi sedatif-hypnotik harus diberikan.4Tetapi, padapasien, pemberian obatobatan menjadi perhatian khusus karena fungsi tubuh yang sudah berkurang.
Secara umum,dalam memberikan obat kepada pasien, mengikuti aturan,startlow,
goslow. Mulai pengobatan dengan tidak lebih dari setengah dari dosis maksimum
dewasa muda, tetapkan kadar dengan pelan,dan resepkan obat hanya untuk jangka
pendek. Karena jika pemakaian lebih lanjutakan menyebabkan toleransi obat,
ketergantungan dan potensi dari gejala lepas obat.8
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Benzodiazepine merupakan obat hypnotik yang sering dipakai untuk pasien.
Benzodiazepine dapat dibagi menjadi 3 grup: long-acting, intermediate-acting dan
short-acting (tableI). benzodiazepine menekan stage3, 4 dan fase REM. Dan
meningkatkan stageII. Secara klinis, benzodiazepine mengurangi sleeplatency dan
tebangun

dimalam

hari.

Tetapi

harus

diperhatikan

dalam

pemberian

benzodiazepine kepada pasien. Seiring bertambahnya usia, seseorang semakin


sensitif dari efek benzodiazepine pada central nervous system (CNS) dan mudah
terjadi efek samping.8
P

ada pasien,pemberian obat long-acting benzodiazepine tidak dianjurkan. Hal ini

23

dikarenakan efek long-acting benzodiazepine menyebabkan ngantuk di sianghari.


Ini bisa meningkatkan resiko jatuh dan kecelakaan menjadi lebih besar. Selain
mengantuk, pasien yang menggunakan long-action benzodiazepine bisa
menyebabkan post operative confusion.8
Agen terbaru non-benzodiazepine sekarang menjadi lebih popular dan telah
terlihat bahwa agen ini efektif dalam pengobatan insomnia jangka pendek. Agen
ini memiliki half-life relatif singkat, dan juga memiliki potensi yang lebih rendah
untuk memberi

efek ngantuk di siang hari. Beberapa contoh

agen non-

benzodiazepine antaralain eszopiclone, zopiclone, zolpidem, ramelteon.9,10,17


Eszopiclone

merupakan

salah

satu

agen

non-benzodiazepine

sebagai

pengobatan insomnia. Farmakodinamik dan mekanisme kerja dari eszopiclone


masih belum jelas. Efek eszopiclone dipercayai hasil dari interaksi obat dengan
reseptor GABA kompleks yang dekat dengan,atau berpasangan dengan reseptor
benzodiazepine. Setelah eszopiclone terikat dengan reseptor GABA, terdapat
peningkatan transmisi chloride yang menekan central nervous system(CNS),
memperlambat aktivitas otak,dan menghasilkan efek sedasi. Dan farmakokinetik
dari obat ini, diserap secara cepat, dengan konsentrasi puncak sekitar 1 jam.
Metabolismenya melalui hati. Halflife dari eszopiclone ini kira-kira 6jam.9,17
Dosis yang direkomendasikan untuk pasien yang memiliki keluhan sulit tidur
adalah 1mg segera sebelum tidur. Karena efek samping obat dipengaruhi dari
dosis yang diberikan, penting untuk melakukan monitoring dosis pada pasien
yang mungkin lebih sensitif dengan obat sedative/ hypnotic.9 Efeksamping yang
paling sering dari eszopiclone ini adalah gangguan pengecap, sakit kepala,pusing
dan mulut kering. Untuk interaksi obat ini,belum ditemukan kontraindikasi
pengunaan obat ini secara spesifik.9
Salah satu agen sedatif lainnya adalah ramelteon. Ramelteon ini bekerja melalui
jalur non-GABA, yaitu melatonin reseptor antagonist. Obat ini mungkin pilihan
yang ideal untuk terapi insomnia pada pasien. Khususnya insomnia dengan sleep

24

apnea. Ramelteon tidak meningkatkan keparahan dari sleep apnea pada kasus
sleep apnea ringan dan sedang, serta memiliki toleransi yang bagus pada pasien
dengan memiliki risiko yang relatif kecil mengalami ganguan psikomotor yang
dapat menyebabkan jatuh, yang mana ini merupakan perhatian utama dalam
pengobatan dengan menggunakan benzodiazepine.9
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)

Obat yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep inducing anti-insomnia


yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting), Misalnya pada gangguan
anxietas

Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya), Obat yang dibutuhkan adalah
bersifat Prolong latent phase Anti-Insomnia, yaitu golongan
heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik), Misalnya pada

gangguan depresi
Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat
yang dibutuhkan adalah bersifat Sleep Maintining Anti-Insomnia, yaitu
golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting),

Misalnya pada gangguan stres psikososial.


Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off

(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)


Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih

perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi


Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali
seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

Lama Pemberian

Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih

25

dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan Sleep EEG yang

menetap sekitar 6 bulan lamanya.


Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena Psychological
Dependence (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan
tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur, Efek samping dapat terjadi
sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu paruh) :

Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala rebound

lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala hang
over pada pagi harinya dan juga intensifying daytime sleepiness

Interaksi obat

Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan oversedation and

respiratory failure
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau produce protein binding displacement sehingga jarang

menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.


Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau
CNS Depressant lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

Kontraindikasi :
- Sleep apneu syndrome
- Congestive Heart Failure
- Chronic Respiratory Disease

Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko


menimbulkan

teratogenic

effect

(e.g.cleft-palate

abnormalities)

26

khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine dieksresikan


melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)

Tabel 1. Sedative-Hypnotic Agents

Tabel 2. Dosis terapeutik


27

2.3.6

Komplikasi

Adapun komplikasi yang ditimbulkan, sebagai berikut:

Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah

Saat

berkendara,

reaksi

reflex

akan

lebih

lambat.

Sehingga

meningkatkan reaksi kecelakaan.

Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi

Kelebihan berat badan atau kegemukan

Daya tahan tubuh yang rendah

Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang,


contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.3.7

Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai
skizophrenia.

2.4 Hipersomnia
2.4.1 Definisi
Menurut berdasarkan Diagnostic And Statictical Manual of Mental Disorders
edisi ke lima (DSM-5), ganguan tidur atau sleep disorder adalah masalah tidur
yang menyebabkan stres pribadi yang signifikan atau hendaya sosisla, pekerjaan
atau peran lain.20
Hipersomnia adalah suatu keadaan tidur dan serangan tidur disiang hari yang
berlebih yang terjadi secara teratur atau rekuren untuk waktu singkat dan
menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan.21

28

2.4.2 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hypersomnia sendiri masih belum bisa dipastikan namun
beberapa teori dapat menjelaskan terjadi adanya hypersomnia atau Excessive
Daytime Sleepiness :
1. EDS ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus seperti Guillan Barre
Syndrome, hepatitis, mononucleosis, atypical viral pneumonia,selain itu
beberapa kasus yang bersifat genetic, EDS berhubungan dengan genotype
HLA-cw-2 da HLA-DR11. Namun pada mayoritas pasien ditemukan dengan
riwayat infeksi virus pada keluaga atau riwayat penyakit dahulu pasien
sendiri.
2. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan, kerusakan neuron nonadrenergik
pada rostral ketiga dari locus cerleus complex menyebabkan EDS. Trauma
disebutkan memiliki hubungan pada EDS, metabolit neurotransmitter pada
pasen post traumatic EDS tidak berbeda dengan pasien yang mengidap EDS
dengan narkolepsi atau pasien EDS lainnya. Kerusakan pada neuron
adrenergic pada bundel istmus berhubungan dengan peningkatan yang berarti
pada tidur NREM maupun REM
3. Penelitan menunjukkan pahwa disfungsi system dopamine dapat terjadi pada
pasien narcolepsy yang menyebabkan EDS, selain itu malfungsi dari system
norepeinefrin dapat menyebabkan primary hypersomnia (EDS). Selain itu
penurunan histamin pada CSF telah dilaporkan pada hypersomnia primer dan
narcolepsy namun tidak pada non CNS hypersomnia, hal ini mengindikasikan
histamine dapat dijadikan indicator pembeda hypersomnia yang berasal dari
CNS atau perifer
4.

Pada penelitian pada hewa coba, ditemukan gen yang berperan pada patologi
dari hypocretin/ ligand orexin dan reseptorya. Konsentrasi hypocretin1 dan
hypocretin-2 pada HLA DQB*0602 pada CSF juga ditemukan pada
hypersomnia primer dan akan mengganggu pada transmisi hcrt-2 dan hal ini
akan menimbulkan gangguan, karena hypocretin peptide mengeksitasi system
histaminergic melalui receptor hypocretin 2, deficiency hypocretin dapat
menyebabkan EDS via penurunan fungsi histaminergic

29

5. Kekurangan vitamin D yang dapat menyebabkan buruknya kualitas tidur dan


menyebabkan EDS

2.4.3 Klasifikasi
Berdasarkan

buku

PPDGJ-III,

terdapat

klasifikasi

Hipersomnia

Non-

organik.7Berdasarkan International Classification Of Sleep Disorders, terdapat


reccurent hypersomnia, idiopatic hypersomnia dan post-trauma hypersomnia
sedangkan berdasarkan Diagnostic And Statictical Manual of Mental Disorders
edisi ke lima (DSM-5) terdapat hypersomnia primer.20
2.4.4 Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk hipersomnia primer adalah mengantuk berlebihan di
siang hari selama sekurangnya satu bulan seperti yang ditunjukkan oleh episode
tidur yang memanjang atau episode tidur siang hari yang terjadi hampir setiap
hari. Mengantuk berlebihan di siang hari menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain. Kriteria diagnostik untuk insomnia dan hipersomnia yang
berhubungan dengan gangguan Aksis I, Aksis II atau Aksis III pada dasarnya
sama dengan gangguan tidur primer.20
Gambaran Klinis :
a. Hipersomnia Non-organik22
1. Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan
tidur/sleep attacks (tidak disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang),
dan atau transisi yang memanjang dari saat mulai bangun tidur
sampai sadar sepenuhnya (sleep drunkenness).
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau
berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek, menyebabkan

30

penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial


dan pekerjaan
c. Tidak ada gejala tambahan narcolepsy (catapelxy, sleep paralysis,
hypnagonic hallucination) atau bukti klinis untuk sleep apnoe
(nocturnal breath cessatin, typical intermittent snoring sounds,etc)
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala
rasa kantuk pada sang hari.
2. Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa
lain, misalnya gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan
gangguan yang mendasarinya. Diagnosis hiersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila hipersomnia merupakan keluhan yang dominan dari
penderitaan dengan gangguan jiwa lainnya.
b. Hipersomnia Primer
Hipersomnia primer terdapat pada 5% populasi dewasa, pria dan wanita
mempunyai kemungkinan sakit yang sama. Yang dimaksud dengan hipersomnia
primer adalah tidur yang berlebihan atau terjadi serangan tidur ataupun
perlambatan waktu bangun. Hipersomnia mungkin merupakan akibat dari
penyakit mental, penyakit organik (termasuk obat-obatan) atau idiopatik.
Gangguan ini merupakan kebalikan dari insomnia. Seringkali penderita dianggap
memiliki gangguan jiwa atau malas. Penderita hipersomnia membutuhkan waktu
tidur lebih dari ukuran normal. Pasien biasanya akan tidur siang sebanyak 1-2 kali
per hari, dimana setiap waktu tidurnya melebihi 1 jam. Meski banyak tidur,
mereka selalu merasa letih dan lesu sepanjang hari. Gangguan ini tidak terlalu
serius dan dapat diatasi sendiri oleh penderita dengan menerapkan prinsip-prinsip
manajemen diri. Polysomnography memperlihatkan penurunan gelombang delta
peningka-tan kesadaran, dan pengurangan masa laten REM pada pasien dengan
hipersomnia primer.23,24

Kriteria Diagnostik untuk Hipersomnia Primer menurur DSM-V:23

31

a) Keluhan yang menonjol adalah mengantuk berlebihan di siang hari selama


sekurangnya satu bulan (atau lebih singkat jika rekuren) seperti yang
ditunjukkan oleh episode tidur yang memanjang atau episode tidur siang
hari yang terjadi hampir setiap hari.
b) Mengantuk berlebihan di siang hari menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
c) Mengantuk berlebihan di siang hari tidak dapat diterangkan oleh Insomnia
dan tidak terjadi semata-mata selam perjalan gangguan tidur lain (misalnya,
narkolepsi, gangguan tidur berhubungan pernafasan, gangguan tidur irama
sirkadian, atau parasomnia) dan tidak dapat diterangkan oleh jumlah tidur
yang tidak adekuat.
d) Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan lain.
e) Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
Dapat dikatakan bahwa penderita menarik diri kedalam tidur agar tidak
menghadapi secara sadar pengalaman-pengalaman yang menyakitkan. Sering
kebiasaan tidur menjadi terbalik, penderita tidur nyenyak sepanjang pagi,
perlahan-lahan terbangun pada sore hari dan tidak mengantuk sewaktu orang pergi
tidur. Jika sudah hipersomnia menahun maka gejala klinis yang ditunjukkan
adalah tidur berlebihan waktu malam atau siang hari. Tidak terdapat gejala-gejala
narkolepsi, kebingungan sesudah tidur, kecepatan jantung dan pernapasan
bertambah dan kemungkinan terdapat depresi ataupun terdapat kerusakan pada
saraf pusat. Saat dilakukan pemeriksaan EEG saat tidur hasilnya normal.
Kriteria klinis yang bisa menunjukkan diagnosis pasti dari hipersomnia
berdasarkan PPDGJ-III adalah:
1. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur
sleep attack (tidak disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang) dan atau
transisi yang memanjang dari saat mulai bangun tidur sampai sadar
sepenuhnya (sleep drunkenness).

32

2. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau berulang
dengan kurun waktu yang lebih pendek,menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
3. Tidak ada gejala tambahan narkolepsi (cataplexy, sleep paralysis, hypnagogic
hallucination) atau bukti klinis untuk sleep apnoe (nocturnal breath
cessation, typical intermittent snoring sound, dll)
4. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa
kantuk pada siang hari.
Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa lain,
misalnya gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan gangguan yang
mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus ditambahkan bila
hipersomnia merupakan keluhan yang dominan dari penderita dengan gangguan
jiwa lainnya.
2.4.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk gangguan tidur hipersomnia adalah25
1. Kurang tidur; dengan karakteristik utama adalah keterbatasan tidur
pada malam hari. Temuan polisomnografi akan mirip dengan pasien
hipersomnia idiopatik, akan tetapi gejala kantuk berlebih pada siang
hari akan membaik saat waktu tidur ditingkatkan.
2. Delayed Sleep Phase Syndrome , pasien akan mengalami kesulitan
bangun di pagi hari. Pasien biasanya tidur terlambat di malam hari,
tetapi jika waktu tidurnya cukup, maka mereka tidak akan merasakan
kantuk di siang hari.
3. Long sleeper; mereka memiliki kebutuhan tidur yang lebih banyak
dari orang normal, sehingga jika waktu tidur mereka tidak terpenuhi,
maka akan merasa kantuk pada siang hari. Jika diberikan kesempatan
untuk tidur sepanjang yang mereka butuhkan, maka gejala kantuk
berlebih pada siang hari akan menghilang; berbeda dengan
hipersomnia idiopatik.

33

4. Obstructive Sleep Apnoe (OSA); saat diketahui pasien memiliki


kebiasaan mengorok saat tidur, diagnosis OSA perlu dipertimbangkan.
Pemeriksaan yang diperlukan adalah monitor respirasi saat tidur.
5. Narkolepsi; istilah narkolepsi dahulu merupakan sinonim dari kantuk
berlebih disiang hari, tetapi diketahui belakangan bahwa narkolepsi
memiliki kelainan spesifik pada tidur REM yang memberikan
manifestasi bermacam-macam saat tidur maupun bangun. Gejala
utama dari narkolepsi adalah pemanjangan waktu tidur utama, tetapi
kelelahan yang dialami pasien akan berujung pada hiperaktivitas
paradoksikal.

Pemeriksaan

yang

diperlukan

adalah

HLA,

polisomnografi, dan multiple sleep latency test (MLST).

2.4.6 Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
Pendekatan psikologis memiliki banyak keterbatasan untuk penanganan Insomnia
primer. Secara keseluruhan pendekatan dengan penanganan kognitif-behavioral
telah melaksanakan manfaat yang penting dalam menangani insomnia.26
Teori kognitif-behavioral menekankan pada jangka pendek dan berfokus pada
penurunan kondisi fisiologis yang timbul, memodifikasi kebiasaan tidur yang
maladaptif dan mengubah pemikiran yang disfungsional. Terapi ini biasanya
menggunakan kombinasi dari beberapa teknik, restrukturasi rasional. Kontrol
simultan melibatkan perubahan stimulus lingkungan yang diasosiasikan dengan
tidur. Dibawah kondisi normal, kita belajar untuk mengasosiasikan stimulus
menghubungkan berbaring ditempat tidur dengan tidur, sehingga pemaparan
terhadap stimulus ini dapat meningkatkan perasaan mengantuk. Namun ketika
seseorang menggunakan tempat tidur untuk banyak aktivitas, tempat tidur dapat
kehilangan asosiasinya dengan rasa kantuk.26
Teknik kontrol simultan bertujuan untuk memperkuat hubungan tempat tidur dan
tidur dengan sebisa mungkin membatasi aktivitas yang dihabiskan ditempat tidur
untuk dapat tertidur. Biasanya, seseorang diinstruksika dengan membatasi waktu
yang dihabiskan ditempat tidur untuk mencoba tidur dalam waktu 10 atau 20
34

menit. Jika masih tidak dapat tidur juga pada waktu yang diperkiran, orang
tersebut diinstruksikan untuk meninggalkan tempat tidur dan pergi keruangan lain
untuk membangun kerangka berpikir yang santai sebelum relaksasi.26
Tindakan sleep hygiene terdiri dari: 27
1. Tidur dan bangunlah secara reguler/kebiasaan
2.

Hindari tidur pada siang hari/sambilan

3. Jangan mengkonsumsi kafein pada malam hari


4. Jangan menggunakan obat-obat stimulan seperti decongestan
5. Lakukan latihan/olahraga yang ringan sebelum tidur
6. Hindari makan pada saat mau tidur, tapi jangan tidur dengan perut kosong
7. Segera bangun dari tempat bila tidak dapat tidur (15-30 menit)
8. Hindari rasa cemas atau frustasi
9. Buat suasana ruang tidur yang sejuk, sepi, aman dan enak

b. Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua
obat yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan enekanan aktifitas dari
reticular activating system (ARAS) diotak.27
Tujuan pengobatan pasien harus kembali normal untuk tingkat kewaspadaan. Hal
ini berarti pasien harus merasa lebih baik dan tidak memerlukan tidur siang.
Pengobatan harus mencakup penggunaan obat (diluar hipnosis) dengan penekanan
pada pengelolaan non farmakologi. obat stimulan, termasuk methylphenidate dan
garam amfetamin, umumnya sangat efektif. Efek samping yang timbul bervariasi
yaitu sakit kepala, sakit perut, penekanan nafsu makan dan lain-lain oleh karena
itu pilihan obat kedua yaitu modafinil dapat menjadi pilihan yang efektif. Pasien
yang mengalami kejang perlu evaluasi dan perawatan dari tim neurologi. Pasien
yang memiliki apnea saat tidur karena ada obstruksi harus segera menjalani
operasi atau menggunakan perangkat untuk memberikan tekanan jalan nafas

35

positif yang continuous. Pasien dengan hipersomnia primer memerlukan obat


perangsang atau modafinil.
Modafinil diberikan di pagi hari dan di siang hari. Dosis oral bervariasi mulai dari
200-500 mg / hari sesuai dengan berat badan pasien dan tingkat keparahan gejala.
Kantuk di siang hari dan serangan tidur dievaluasi dengan membandingkan data
kebiasaan tidur sebelum dan setelah pengobatan.
Peningkatan itu terlihat dari awal pengobatan tetapi tingkat tertinggi signifikansi
diperoleh pada bulan ke-2. Modafinil dihentikan setelah 6-12 bulan pengobatan
dan sudah tidak adanya gejala selama kurun waktu tersebut, setidaknya satu tahun
setelah penghentian pengobatan.
Untuk evaluasi bisa digunakan diary tidur seperti pada gambar dibawah ini. Data
tidur selama beberapa minggu dapat menyediakan informasi tentang kebiasaan
tidur pasien.

2.4.7 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan hipersomnia adalah baik. Hal ini karena diagnosis
umumnya ditegakkan dengan tepat

dan pengobatan efektif yang tersedia

(Pengecualian adalah sindrom Kleine-Levin, yang tidak ada yang diketahui


pengobatan yang efektif.) Pengobatan hampir selalu dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien secara dramatis.

36

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang adalah
insomnia dan 15% adalah hipersomnia. Insomnia merupakan
kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan
tidur, atau tidak cukup tidur. Hipersomnia adalah kebalikan dari
insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan terutama pada siang
hari. Gangguan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti
stres, kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obatobatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Gangguan ini
merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana
apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja
dan kehidupan sehari-hari. Insomnia dan hipersomnia dapat
ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi,
bergantung pada jenis dan penyebab insomnia. Tatalaksana
insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah
laku dan pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah
seperti mengatur jadwal tidur.
Edukasi penting diberikan kepada pasien tentang sleep hygiene
yang

baik

dalam

mengatasi

berbagai

gangguan

tidur.

Penggunaan obat harus dibatasi dan diawasi dengan cermat,


mengingat efek samping yang dapat ditimbulkannya, oleh
karenanya

penggunaan

obat

tersebut

harus

benar-benar

disesuaikan dengan kebutuhan individual dari pasien.

3.2 Saran

37

Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia dan hipersomnia di


Indonesia, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran insomnia
dan hipersomnia di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Purwanto S. Mengatasi Insomnia Dengan Terapi Relaksasi. Jurnal Kesehatan.


2008 Dec; I (2): 141-148
2. Liu. X. Sleep Loss and Day Time Sleepiness in the General Adult Population
of Japan. Psychiatric Research. 2000; 93: 1-11
3. Parmet, Sharon. L, Casio G, R. 2003. Insomnia. J American Med Association.
2003; 289 (19)
4. Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi. Insomnia in geriatrics. Acta Med Indones
Indones I Intern Med.2005;37:224-229
5. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
6. Zeidler,

M.R.

2011.

Insomnia.

Editor:

Selim

Benbadis.

(http://www.emedicina.medscape.com)
7. Norman Wolkove, Osama Elkholy, Marc Baltzan, Mark Palayew. Sleep
and aging: 2. Management of sleep disorder. CMAJ. 2007;176:1449-1454
8. Preda A. Primary Hypersomnia. May 14, 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com
9. American Academy

of

Sleep

Medicine

(2005).

The

International

Classification of Sleep Disorders: Diagnostic and Coding Manual, 2nd edn


Westchester, Ill. Amerika: American Academy of Sleep Medicine; 2005.
10. Wilfred R. Pigeon. Diagnosis, Prevalence, Pathways Consequences
and Treatment of Insomnia. Indian J Med Res. 2010;131:321-332

38

11. Christina S McCrae, Amanda Ross, Ashley Stripling, Natalie D


Dautovich. Eszopiclone for Late-life Insomnia. Clinical Interventions in
Aging. 2007;2(3):313-326
12. Zeidler,

M.R.

2011.

Insomnia.

Editor:

Selim

Benbadis.

(http://www.emedicina.medscape.com)
13. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London:
Oxford University Press
14. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
15. Tom, R. 2013. New Direction in the Management of Insomnia, Balancing
Pathophysiology and Therapeutics. Medical Econimics.
16. Maslim R. Diagnosa Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNIKA Atma Jaya; 2013.
17. Norman Wolkove, Osama Elkholy, Marc Baltzan, Mark Palayew. Sleep
and aging: 2. Management of sleep disorder. CMAJ. 2007;176:1449-1454
18. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
19. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
20. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental

Disorders

DSM-V. Washington,

DC:

American

Psychiatric

Publishing.
21. Puri B, Laking P, Treasaden.2011. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : EGC
22. Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas Ppdgj-III
dan DSM-5. Jakarta: PT.Nuh Jaya.
23. Sadock BJ. 2007. Normal sleep and Sleep disorders. Synopsis of Psychiatry,
10th ed, Lippincott Williams & Wilkins. A Wolters Kluwer Co.
24. MDGuidelines. 2012. Hypersomnia. From: http://www.mdguidelines.com/
hypersomnia. Diakses pada 13 Oktober 2016
25. Japari I. 2002. Gangguan Tidur. USU Digital Library. Pp 1-4
26. Adrian

Preda,MD.

2011.

Primary

Hypersomnia.

From:

http://www.medscape.com. Diakses pada 13 Oktober 2016


27. Nevid, Jeffrey S, Spencer A. Rathus, dan Beverley Greene. 2003. Psikologi
Abnormal. Jakarta :Erlangga.

39

40

Anda mungkin juga menyukai