Anda di halaman 1dari 28

Presentasi Kasus Jiwa

Depresi

Pendamping
dr. Kemalasari
Disusun Oleh
dr. Gede Ketut Alit Satria Nugraha

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG
RSUD AMBARAWA
2014

Laporan Kasus Depresi

Topik

: Jiwa

Kasus

: Depresi Ringan

Oleh

: dr. Gede Ketut Alit Satria Nugraha

Pendamping

: dr. Kemalasari

Tanggal Diskusi : Februari 2014


Objektif

: Jiwa

Deskripsi

: Ny.S 33 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa karena hati terasa


terus menerus sedih, kesal, dongkol dan cemas tanpa alasan jelas

Tujuan

: Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan pada pasien


dengan Depresi

Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus


Cara Membahas : Diskusi

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri
(Kaplan, 2010).
Maslim berpendapat bahwa depresi adalah suatu kondisi yang dapat
disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa aminergik
neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP
(terutama pada sistem limbik) (Maslim, 2002).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang
ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya
penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari
seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan,
2010).

B. Etiologi Depresi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara
buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.

a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada
amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA
(Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam
darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood.
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan
epineprin.
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien
bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi
despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi
depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah
menurun.
Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi
dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin
menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang
meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan
bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
Disregulasi

neuroendokrin.

Hipotalamus

merupakan

pusat

pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung


neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya
disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi
neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi

aksis

Hypothalamic-Pituitary-Adrenal

menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral.

(HPA)

dapat

Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal,


tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang
paling banyak diteliti (Landefeld et al, 2004). Hipersekresi CRH merupakan
gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi.
Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan
balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem
monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut
dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang
merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh
sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004).
Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen.
Estrogen berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap
neurotoksin seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen
bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer
dkk, 2002).
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel sel saraf selama proses
menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak
selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang
lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum
dan bulbus olfaktorius (Lesler, 2001). Bukti menunjukkan bahwa ada
ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik,

serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi


aktivitas menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan
dengan umur 60-an tahun (Kane dkk, 1999).
b. Faktor Genetik
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di
antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita
depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan
populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan
40% pada kembar monozigot (Davies, 1999).
Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak
disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan
dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua
bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap
penyakit adalah genetik.
c. Faktor Psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi
adalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor
psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan mental pada lanjut
usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor
psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi,
kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan
isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan,
2010) Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial

meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan


intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan
penyakit fisik (Kane, 1999).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan
yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan
yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan
mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa
kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan
bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset
depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor
psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau
stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama,
kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan
depresi (hardywinoto, 1999).
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat
pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian
antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai
mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud,
dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan

depresi (Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi, Sigmud Freud
sebagaimana dikutip Kaplan (2010) mendalilkan suatu hubungan antara
kehilangan objek dan melankolia.
Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi
diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang.
Freud percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi
ego untuk melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi
dari duka cita atas dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga
diri yang melanda dalam hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela
diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung tidak demikian.
Kegagalan yang berulang. Dalam percobaan binatang yang dipapari
kejutan listrik yang tidak bisa dihindari, secara berulang-ulang, binatang
akhirnya menyerah tidak melakukan usaha lagi untuk menghindari. Disini
terjadi proses belajar bahwa mereka tidak berdaya. Pada manusia yang
menderita depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip (Kaplan,
2010).
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu,
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang
negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010)

C. Gambaran Klinis
Depresi pada lansia adalah proses patoligis, bukan merupakan proses
normal dalam kehidupan. Umumnya orang-orang akan menanggulanginya

dengan mencari dan memenuhi rasa kebahagiaan. Bagaimanapun, lansia


cenderung menyangkal bahwa dirinya mengalami depresi. Gejala umumnya,
banyak diantara mereka muncul dengan menunjukkan sikap rendah diri, dan
biasanya sulit untuk didiagnosa (Evans, 2000).
Perubahan Fisik
Penurunan nafsu makan.
Gangguan tidur.
Kelelahan dan kurang energy
Agitasi.
Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik.

Perubahan Pikiran
Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit
mengungat informasi.
Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.
Kurang percaya diri.
Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.
Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi.
Adanya pikiran untuk bunuh diri.

Perubahan Perasaan
Penurunan ketertarikan ddengan lawan jenis dan melakukan hubungan
suami istri.
Merasa bersalah, tak berdaya.

Tidak adanya perasaan.


Merasa sedih.
Sering menangis tanpa alas an yang jelas.
Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.

Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari


Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan.
Menghindari membuat keputusan.
Menunda pekerjaan rumah.
Penurunan aktivitas fisik dan latihan.
Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.
Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.

D. Derajat Depresi dan Penegakan Diagnosis


Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada
PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang merujuk
pada ICD 10 (International ClassificationDiagnostic 10). Gangguan depresi
dibedakan dalam depresi berat, sedang, dan ringan sesuai dengan banyak dan
beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang
(Maslim,2000).
Gejala Utama
Perasaan depresif
Hilangnya minat dan semangat
Mudah lelah dan tenaga hilang

Gejala Lain
Konsentrasi dan perhatian menurun
Harga diri dan kepercayaan diri menurun
Perasaan bersalah dan tidak berguna
Pesimis terhadap masa depan
Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
Gangguan tidur
Gangguan nafsu makan
Menurunnya libido

E. Tatalaksana
Terapi Apabila seorang penderita sudah terdiagnosa menderita gangguan
depresi mayor, maka tindakan terapi bisa dilakukan. Biasanya, dokter akan
bekerjasama dengan penderita untuk menentukan terapi yang paling sesuai.
Diperkirakan hampir 80% dari penderita dengan gangguan depresi mayor bisa
diterapi dengan baik, tetapi keberhasilan terapi bergantung kepada terapi yang
dipilih (Bjornlund, 2010).

Penggunaan obat untuk mengurangi gejala (simptomatis) dan psikoterapi


telah terbukti efektif dalam mengobati gangguan depresi mayor, samada secara
sendirian maupun kombinasi (Halverson, 2011). Penggunaan obat antidepresan
merupakan terapi pertama untuk penderita gangguan depresi mayor dewasa
dengan rekuren dan persisten.
Antidepresan bekerja dengan cara menormalkan kembali neurotransmitter
yang memberi efek pada mood seseorang, biasanya neurotransmitter serotonin
dan norepinefrin. Ada juga obat antidepresan yang bekerja pada neurotransmitter
dopamine (National Institute of Mental Health, 2008).
Obat yang paling sering digunakan adalah selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRIs). SSRIs meningkatkan jumlah neurotransmitter serotonin
dengan cara menghambat reuptake kembali serotonin ke sel presinaps. Hasilnya,
jumlah serotonin di synaptic cleft yang akan berikatan dengan reseptor akan
meningkat. Contoh obat yang digunakan adalah fluoxetine (Prozac), paroxetine
(Paxil) dan sertraline (Zoloft). SSRIs paling sering digunakan karena obat ini
efektif dan mempunyai efek samping yang kurang berbanding obat antidepresan
yang digunakan dahulu (Bjornlund, 2010). Sesetengah penderita memberi respon
baik terhadap obat antidepresan lain, seperti jenis monoamine oxidase inhibitor-A
atau antidepresan trisiklik.
Tetapi obat ini mempunyai efek samping yang berat (North, 2010).
Monoamine oxidase inhibitor bekerja dengan cara menghambat enzim
monoamine oxidase, maka jumlah norepinefrin dan serotonin akan meningkat.
Selain terapi farmakologi, salah satu terapi yang penting bagi penderita gangguan
depresi mayor adalah psikoterapi. Psikoterapi terdiri dari beberapa jenis, yaitu

cognitive therapy, behavioral therapy, interpersonal therapy, group therapy dan


marital therapy.
Cognitive therapy bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kesadaran
yang negatif dan kemudian ini nantinya akan diganti dengan kesadaran positif.
Behavioral therapy pula, penderita akan diajari perilaku baru dan skil
interpersonal untuk mendapat respon yang diingini dari orang lain. Latihan skil
sosial adalah satu jenis behavioral therapy yang mementingkan latihan ketegasan,
kompetensi verbal dan non-verbal dan memanfaatkan main peran untuk
mengembangkan kemahiran. Interpersonal therapy memudahkan penderita untuk
sehat kembali dengan memfokuskan tentang keadaan sekarang, bukan tentang
sebelumnya.
Tujuannya supaya penderita bisa mengembangkan skil menyelesaikan
masalah, sosial dan interpersonal. Group therapy pula, seorang dokter dan satu
kumpulan penderita gangguan depresi mayor berusaha bersama-sama untuk
mengubah keadaan emosional dan perilaku mereka sendiri. Sementara Marital
therapy bisa dilaksanakan oleh seorang individual, pasangan atau ahli keluarga
sendiri (North, 2010).
Apabila penderita gangguan depresi mayor tidak memberi respon terhadap
terapi farmakologi maupun psikoterapi, maka satu lagi terapi bisa digunakan yaitu
Electroconvulsive therapy (ECT) atau terapi syok. Terapi ini bekerja dengan
mengalirkan arus listrik melalui otak penderita, dengan sengaja membuat
penderita kejang untuk satu jangka masa yang singkat. Langkah ini dipercayai
mengubah aktivitas kimia otak, karena pelepasan sejumlah besar neurotransmitter
dalam masa yang singkat, hingga hasilnya adalah perubahan dalam mood

penderita dan meningkatkan fungsi otak (Bjornlund, 2010). ECT juga digunakan
jika suatu respon antidepresan yang cepat diperlukan. Hasil yang terlihat bisa
lebih cepat berbanding terapi farmakologi, kira-kira kurang 1 minggu sejak
permulaan terapi. ECT dipercayai efektif untuk pengobatan depresi delusi, dan
juga terapi pilihan untuk penderita psikotik (Halverson, 2011)

F. Prognosis
Gangguan depresi mayor adalah suatu penyakit yang mempunyai potensi
morbiditas dan mortalitas yang signifikan, karena depresi bisa menyumbang
kepada terjadinya kasus bunuh diri, salahguna obat, gangguan hubungan
interpersonal, dan kehilangan masa kerja.
Suatu studi dari WHO dan WB menemukan gangguan depresi mayor
merupakan penyebab keempat terbanyak yang menyumbang kepada kecacatan di
seluruh dunia, dan angka ini dijangka meningkat menjadi penyebab kedua
terbanyak menyebabkan kecacatan pada tahun 2020 (Bjornlund, 2010).
Menurut National Alliance on Mental Illness, gangguan depresi mayor
merupakan penyebab utama terjadinya kecacatan di Amerika Serikat dan beberapa
negara maju lainnya. Tetapi dengan terapi yang sesuai, 70-80% dari penderita
gangguan depresi mayor bisa mencapai pengurangan gejala secara signifikan,
walaupun masih kira-kira 50% dari penderita mungkin tidak memberi respon pada
permulaan terapi. 40% dari individu dengan gangguan depresi mayor yang tidak
diterapi selama 1 tahun akan terus termasuk dalam kriteria diagnosa, manakala
20% lainnya akan mengalami remisi.

Remisi parsial dengan atau adanya riwayat gangguan depresi mayor kronis
akan menjadi satu faktor resiko untuk terjadinya episode rekuren dan resisten
terhadap terapi.
Hasil pengobatan biasanya baik, tetapi tidak untuk semua penderita.
gangguan depresi mayor adalah satu penyakit dengan angka rekuren yang tinggi.
Bagi penderita gangguan depresi mayor yang mengalami episode depresi yang
berulang, terapi cepat dan berterusan diperlukan untuk mengelak terjadinya
gangguan depresi mayor kronis dan berterusan, hingga bisa menyebabkan
seseorang penderita gangguan depresi mayor itu perlu berterusan diterapi untuk
jangka masa yang lama (National Institute of Mental Health, 2008).

II. LAPORAN KASUS

I.

II.

Identitas Pasien
Nama

: Ny. S

No. CM

: 20865-2013

Usia

: 33 tahun

Alamat

: Bawen

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Jawa

Status Perkawinan

: Menikah

Pendidikan

: SLTA (tamat)

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Anamnesis
Diambil pada tanggal 9 Desember 2013 secara autoanamnesa :
1. Keluhan Utama
Ny.S datang sendiri ke IGD RSUD Ambarawa karena hati terasa
terus menerus sedih, kesal, dongkol dan cemas tanpa alasan jelas yang
dirasakan nyata sejak 4 SMRS. Ia merasakan tidak nyaman dengan
tubuhnya sendiri. Lemah dan tidak bertenaga dirasakan hampir selama
seminggu ini.
2. Keluhan Tambahan
Keluhan tambahan yang dialami pasien:
a. Hati terasa tidak nyaman, ada yang mengganjal
b. Mudah tersinggung
c. Cemas, gelisah karena mudah curiga orang lain membicarakan
pasien di belakang dan menyindir pasien
d. Sering melamun
e. Sering memikirkan kembali dan mengungkit masalah yang sudah
berlalu
f. Dada sering berdebar debar, badan terasa lemas
g. Mendengar suara kencang menjadi mudah kaget, berdebar debar

h. Menjadi lebih pendiam, memendam perasaan dan menghindari


orang lain
i. Tidur tidak tenang
j. Merasa kesal, lelah dan tak bergairah melakukan pekerjaan rumah
tangga
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama
suami dan 1 anaknya. Tanggal 9 Desember 2013 pasien pertama kali
datang ke IGD RSUD Ambarawa, datang sendirian, dengan keluhan
pasien terus menerus merasa kesal, dongkol dan cemas tanpa sebab yang
jelas yang terasa nyata sejak 4 hari yang lalu.
Pasien juga merasa hati tidak nyaman, pikiran tidak tenang, ada
yang mengganjal. Akhir akhir ini pasien mudah tersinggung, mudah
marah. Bila orang lain sedang berbicara, pasien sering tidak nyaman dan
tersinggung

karena

menggunjingnya.

merasa

Perkataan

orang
orang

lain
sering

membicarakannya,
dirasa

bermaksud

menyindirnya meski sebenarnya tidak. Diiringi dengan rasa cemas,


curiga yang tak beralasan jelas, pasien merasa gelisah dan tidak tenang,
terus bersedih, sering melamun. Masalah masalah yang telah berlalu,
kembali terungkit di pikiran pasien, terasa menumpuk dan berat.
Bila mendengar suara keras seperti petir, suara ditutup kencang,
orang berseru, menjadi mudah kaget, berdebar debar. Saat beristirahat
pun pasien kadang masih berdebar debar dan badan terasa lemas.
Pasien akhir akhir ini mengalami gangguan saat tidur. Pasien kadang
terbangun di malam hari dalam keadaan tak bisa gerak seperti ditindih,
merasa seperti kepala diangkat lalu dijatuhkan. Pasien juga sering
bermimpi buruk seperti ditinggal orang tua, dijahati orang sehingga tidak
jarang terbangun dalam keadaan sedih, menangis.
Pasien tidak pernah mencoba bunuh diri atau membunuh orang
lain. Makan dan minum pasien baik, buang air besar dan air kecil lancar
tak ada masalah, tidak dirasakan penurunan nafsu makan dan gangguan
pencernaan. Pasien sehari hari bekerja di rumah, sebagai ibu rumah
tangga. Pasien merasa aktivitas tidak terganggu namun rasanya malas,

tidak bergairah untuk bekerja, perhatian pada pekerjaan menurun dan


sering melamun.
Pasien selama ini mencurahkan perasaan dan masalahnya kepada
ibu pasien. Kini pasien semakin tertutup dan lebih banyak diam pada
keluarga, berselisih paham dengan suami dan sodara pasien. Suami
bekerja sebagai wiraswasta, sering pergi keluar kota. Pasien mengakui
saat ini tidak ada masalah, semua baik baik saja, namun masalah yang
sudah berlalu dan dianggap selesai mendadak terungkit di pikirannya
dan menjadi beban. Masalah masalah yang kini dipikirkan pasien
meliputi masalah keluarga, baik keluarga inti atau keluarga besar.
Pasien kadang berselisih pendapat dengan suami, kadang merasa
dibutuhkannya keberadaan suami saat sering pergi keluar kota,
permasalahan yang pernah timbul karena menunggu 4 tahun untuk
memiliki anak. Pasien juga sempat memiliki masalah dengan
saudaranya, namun pasien enggan menceritakannya. Pasien mengakui
bahwa semua masalah tersebut sudah dibicarakan, sudah diatasi dan
dianggap sudah selesai di waktu yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien tidak pernah mengalami cedera kepala.
b. Pasien pernah kejang kejang 1 tahun yang lalu, berobat ke poli
syaraf namun tidak rutin kontrol dan kini sudah tidak berobat ke poli
syaraf lagi
5. Hal-hal yang Mendahului Penyakit
a. Faktor Organik
1) Pasien tidak pernah mengalami trauma kepala
2) Pasien tidak menggunakan obat-obatan, jamu-jamuan
b. Faktor Psikososial
1) Pasien merupakan pribadi yang cenderung menyimpan masalah
sendiri,

memendam perasaan, kurang

terbuka. Ia

hanya

menceritakan masalah-masalahnya dengan ibunya.


2) Pasien jenuh terus berada di rumah, melakukan pekerjaan rumah
tangga. Pasien tidak bekerja, jarang keluar rumah hingga kurang

berinteraksi dengan dunia luar, merasa butuh bersosialisasi dan


komunikasi dengan orang lain.
3) Pasien juga jenuh berada di rumah karena sumber masalah yang
menjadi beban pikiran pasien merupakan masalah keluarga yaitu
dengan suami dan saudara pasien.
6. Riwayat Keluarga
Dalam keluarga baik dari pihak ayah maupun ibu, tidak ada yang
mengalami keluhan yang sama dengan pasien maupun gangguan jiwa
lainnya.
7. Silsilah Keluarga

Keterangan :
L

Pasien

aki-laki
P
erempua

Sudah
atau

meninggal

8. Kepribadian Sebelum Sakit


Pasien cenderung tertutup, pendiam dan pasien sering mengalah
jika sedang bertengkar dengan orang tua suami, anak, saudara atau
tetangganya. Ia hanya menceritakan masalah-masalahnya kepada ibunya.

9. Riwayat Persalinan
Pasien dilahirkan di rumah sakit saat usia ibunya 21 tahun.
Kehamilannya dikehendaki dan ibu saat hamil dan melahirkan dalam
keadaan sehat dan bahagia. Pasien dilahirkan saat umur kehamilan 9
bulan dengan jalan persalinan normal dan ditolong oleh dukun bayi.
Pasien tidak tahu setelah dilahirkan ditemukan masalah kesehatan atau
tidak.
10. Riwayat Perkembangan Awal
Pasien dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan keluarga sendiri
dengan pola asuh diperhatikan oleh orangtua. Pasien tidak tahu data
perkembangan motorik dan kognitif diri, namun mengakui selama ini
tidak ada masalah.
11. Riwayat Perkembangan Seksual
Pasien menikah pada usia 19 tahun dan memiliki 1 orang anak
setelah menikah selama 4 tahun yang kini berusia 9 tahun. Alat
kontrasepsi yang digunakan pasien yaitu IUD.
12. Riwayat Pendidikan
Pasien telah menjalani pendidikan di SD, SMP hingga tamat SMA.
13. Riwayat Perkawinan
Pasien menikah

pada usia 19 tahun dengan seorang laki-laki.

Keadaan rumah tangga pasien cukup harmonis pada awalnya, namun


terkadang timbul masalah karena perbedaan pendapat, lamanya
dikaruniai anak dan pekerjaan suami yang membutuhkan pergi keluar
kota.
14. Riwayat Pekerjaan
Pasien tidak bekerja (ibu rumah tangga).
15. Aktivitas Moral Spiritual

Pasien beragama Islam sejak lahir. Sebelum sakit hingga kini


sakit, pasien masih tetap beribadah, tidak dirasakan penurunan aktivitas
ibadah. Pasien tetap beribadah dan berharap mendapat ketenangan batin.
16. Aktivitas Sosial
Pasien mengikuti aktivitas sosial seperti pengajian, kerja bakti.
Pasien bertemu dengan tetangga dan teman teman saat kegiatan
tersebut, membuat mood pasien lebih senang. Namun akhir akhir ini
pasien cenderung enggan mengikuti kegiatan karena takut dibicarakan /
digunjingkan
Kesan : AutoAnamnesis dapat dipercaya
III.

Ringkasan Anamnesis
1. Pasien seorang perempuan usia 33 tahun, anak kedua dari empat
bersaudara, sudah menikah, pekerjaan ibu rumah tangga, pendidikan
terakhir tamat SLTA, agama Islam, suku Jawa dan beralamat di
Ajibarang.
2. Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa sendirian dengan keluhan
merasa kesal, dongkol dan cemas tanpa sebab yang jelas sejak 4 hari
sebelum ke rumah sakit. Hati pasien terasa tidak nyaman, ada yang
mengganjal, mudah tersinggung. Pasien juga lebih pendiam dan
menghindari orang lain. Pasien cemas, gelisah karena mudah curiga
orang lain membicarakan pasien di belakang dan menyindir pasien.
Pasien sering melamun, pikiran kosong Bila mendengar suara kencang
menjadi mudah kaget, berdebar debar. Saat istirahat pun dada sering
berdebar debar, badan terasa lemas, dan pasien mengalami gangguan
tidur.
3. Masalah masalah yang sudah berlalu dan dianggap selesai kini muncul
kembali di pikiran pasien dan menjadi beban.
4. Gejala-gejala tersebut ditunjukkan sejak empat hari yang lalu dan
menderita yang pertama kalinya.

5. Pasien tidak pernah mondok dengan penyakit yang sama di RSUD


Ambarawa
6. Perjalanan penyakit pada pasien ini yaitu akut.
7. Faktor predisposisi :
a. Wanita, usia 33 tahun (usia produktif)
b. Faktor psikososial

seperti kepribadian cenderung menyimpan

masalah sendiri, memendam perasaan, kurang terbuka; jenuh di


rumah, melakukan pekerjaan rumah tangga butuh bersosialisasi dan
komunikasi dengan orang lain dan sumber masalah berasal dari
rumah dan keluarga.
8. Kepribadian premorbid yaitu pasien cenderung memendam perasaan,
kurang terbuka mengenai masalah dan keinginan pribadi pada keluarga.
IV.

Auto Anamnesis (Pemeriksaan Psikiatrik)


1. Keluhan utama : Merasa kesal, dongkol dan cemas terus menerus tanpa
alasan jelas sejak 4 hari yang lalu.
2. Keluhan tambahan :
a. Hati terasa tidak nyaman, ada yang mengganjal
b. Mudah tersinggung
c. Cemas, gelisah karena mudah curiga orang lain membicarakan
pasien di belakang dan menyindir pasien
d. Sering melamun
e. Sering memikirkan kembali dan mengungkit masalah yang sudah
berlalu
f. Dada sering berdebar debar, badan terasa lemas
g. Mendengar suara kencang menjadi mudah kaget, berdebar debar
h. Menjadi lebih pendiam, memendam perasaan dan menghindari orang
lain
i. Tidur tidak tenang.
j. Merasa kesal dan lelah dengan pekerjaan rumah tangga
3. Pemeriksaan Psikiatrik
a. Kesan umum

: tak tampak sakit jiwa

b. Kesadaran

: compos mentis

c.

Fungsi afektif

1) Roman muka : sedikit mimik


2) Afek : disforik
d. Fungsi kognitif
1)

Memori : tidak mudah lupa terhadap kejadian-kejadian yang


baru terjadi atau yang di masa lalu.

2) Intelegensia : konsentrasi sedikit terganggu


3) Proses pikir :
a) Bentuk pikir : derealistik
b) Isi pikir : ide kecurigaan
c) Progresi pikir : koheren, baik
e. Fungsi psikomotor
1) Kooperatif
2) Sikap : gelisah, cemas
3) Tingkah laku : hipoaktif
V.

Sindrom-Sindrom
1. Sindroma Anxietas
a. Kecemasan karena takut dengan orang tuanya yang sering
memarahinya.
b. Overaktivitas otonomik (kepala terasa pusing, mulut kering dan
merasa jantung berdebar-debar bila mengingat orangtuanya yang
sering marah).
2. Sindroma Depresi
a. Penurunan afek (roman muka sedikit mimik, afek disforik)
b. Penurunan kognitif (progresi pikir berupa poverty of speech)
c. Penurunan psikomotor (sulit tidur, lemas, anhedonia, hipoaktif)

VI.

Diagnosis Banding
1. Gangguan campuran anxietas dan depresif
2. Gangguan afektif depresif
3. Gangguan anxietas
4. Gangguan penyesuaian

VII.

Diagnosis Multiaksial

Axis I

: F41.2 Depresi Sedang

Axis II : Kecenderungan kepribadian sedikit histrionic, dependen


Axis III : Tidak ada kelainan pada medic umum
Axis IV : Masalah berkaitan dengan primary support group (keluarga),
Pekerjaan
Axis V : GAF 70-61 : beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas
ringan dalam fungsi, secara umum masih baik.
VIII. Rencana Terapi
1. Medikamentosa
Farmakologis
a.
b.
c.

Alprazolam 1x100mg
Maprotiline HCl 2x50 mg
Propanolol 1 x 10mg
2. Psikoterapi
Melibatkan edukasi untuk menemukan penyebab kecemasan dan tekanan
serta bagaimana menangani gejala

a.

Terhadap pasien :
1) Memberi pemahaman bahwa stress dan rasa khawatir dapat
mempengaruhi fisik dan mental, sehingga target utama adalah
mengatasi cemas tersebut.
2) Memberi dorongan dukungan dan semangat kepada pasien
untuk sembuh dari penyakitnya.
3) Mendorong pasien untuk lebih terbuka dengan keluarga dan
teman-temannya dan menganggap masalah bukanlah beban

b.

yang berat dan harus dipikul sendirian.


Manipulasi keluarga
1) Memberi pengarahan dan informasi tentang penyakit pasien
serta keharusan menjalankan pengobatan yang teratur demi
kesembuhan yang permanen.
2) Memberi pengarahan tentang pentingnya dukungan keluarga
dalam

menciptakan

suasana

kondusif

untuk

mencegah

kambuhnya penyakit baik dari faktor predisposisi maupun


pencetus penyakit pasien.

3) Memberi informasi tentang tanda-tanda awal kekambuhan


sehingga perkembangan penyakit lebih lanjut dapat dicegah.
3. Sosioterapi
Mempelajari keterampilan untuk mengurangi dampak stress. Mencari
kesibukan, melakukan hobi atau kegiatan menyenangkan dengan
keluarga dengan tujuan mengembalikan fungsi keluarga sekaligus
memperbaiki masalah dalam keluarga.
4. Terapi kognitif perilaku (CBT)
Dengan harapan membantu mengidentifikasi,

memahami

dan

memodifikasi pemikiran dan pola perilaku yang salah. Pasien digali,


mengingat masalah yang pernah dilalui, yang menjadi beban pikiran, dan
perilaku orang yang menimbulkan rasa cemas / takut, kemudian
mengarahkan, meluruskan pola pikir dan menciptakan kondisi aman.
Kemudian

mengajarkan

bagaimana

caranya

menghadapi

situasi

demikian.

III. PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa sendirian dengan keluhan merasa


kesal, dongkol dan cemas tanpa sebab yang jelas sejak 4 hari sebelum ke rumah
sakit. Hati pasien terasa tidak nyaman, ada yang mengganjal, mudah tersinggung.
Pasien juga lebih pendiam dan menghindari orang lain. Pasien cemas, gelisah
karena mudah curiga orang lain membicarakan pasien di belakang dan menyindir
pasien. Pasien sering melamun, pikiran kosong Bila mendengar suara kencang

menjadi mudah kaget, berdebar debar. Saat istirahat pun dada sering berdebar
debar, badan terasa lemas, dan pasien mengalami gangguan tidur.
Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan dalam fungsi sistem
organ. Kesimpulan yang diambil, pasien kemungkinan besar mengalami gangguan
jiwa. Setelah dilakukan anamnesis yang mendalam, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pasien menderita Depresi Sedang. Keadaaan gangguan jiwa tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya faktor psikososial yang sangat
mempengaruhi kehidupan keseharian dari pasien.
Ketika datang ke RSUD Ambarawa, pasien datang sendiri tidak ditemani
oleh keluarga ataupun teman. Hal ini sedikit mempersulit pemeriksaan terutama
menggali anamnesis yang dapat lebih menegakkan pemeriksaan psikiatri yang
dilakukan untuk menentukan diagnosis gangguan jiwa yang diderita. Pada pasien
ini dilakukan rawat jalan dikarenakan kemampuan pasien sendiri, walaupun
fungsi sosialnya terganggu, namun ia masih dapat mengendalikan dirinya dan
menyadari bahwa ia mengalami gejala sakit dalam tubuhnya. Orientasi yang baik
dan insight yang baik ini menjadi pertanda prognosis yang baik untuk penanganan
kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

BWH. 2011. PMDD: Debilitating but Treatable. Bringham and womens hospital.
A teaching affiliate of harvard medical school. Diakses tanggal 28
Desember 2013 dari
http://healthlibrary.brighamandwomens.org/RelatedItems/1,2081
Chong, J. 2007. Depression and Premenstrual Syndromes. Psych Central. Diakses
tanggal 26 Desember 2013 dari
http://psychcentral.com/lib/2007/depression-and-premenstrualsyndromes/

Elliza. 2009. Depresi. Available from www.id.scrib.com. Diakses tanggal 26


Desember 2013
Htay,T.T., Ahmed,I. 2012. Premenstrual Dysphoric Disorder. Medscape reference
drugs, disease and prosedure. 36-40.
Kaplan, H.I & Saddock, B.J. 1997. Sinopsis Psikiatri. Ed 7. Binarupa Aksara
Komar,B. BC Mental Health and Addiction Services. PMS & PMDD. Diakses
tanggal 28 Desember 2013 tanggal
http://www.bcmhas.ca/ProgramsServices/ChildYouthMentalHealth/Progra
msServices/Reproductive+Mental+Health/MentalHealth/PMSPMDD.htm
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press, pp:38, 107, 252-254
Mental Health. 2007. Women and Depression. Psych Central. Diakses 26 April
2013 dari http://psychcentral.com/lib/2007/women-and-depression/
Yuliadha, Asti. 2009. Depresi. Available from www.id.scribd.com. Diakses
tanggal 26 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai