Anda di halaman 1dari 34

UPAYA-UPAYA PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN

PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA


PESERTA UNITED NATIONS CONVENTION AGAINTS
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

I. POKOK MASALAH

Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan

terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Tindak pidana

perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas

dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak

terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak

hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang

menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak

pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya

antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara. Praktek perdagangan

orang tersebut menjadi ancaman serius terhadap masyarakat, bangsa,

dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi

penghormatan terhadap hak asasi manusia sehingga upaya pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang serta perlindungan

dan rehabilitasi korban perlu dilakukan baik pada tingkat nasional,

regional maupun internasional.

Fenomena perdagangan perempuan dan anak sudah lama

berkembang di berbagai negara, seperti; Saudi Arabia, Jepang, Malaysia,

Hongkong Taiwan, Singapura dan termasuk juga Indonesia. Tidak ada

Negara yang kebal terhadap trafficking, setiap tahunnya diperkirakan

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 1


600.000-800.000 laki-laki, perermpuan dan anak diperdagangkan
1
menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional . Report dari

pemerintahan AS memperkirakan lebih dari seperuh dari para korban

yang diperdagangkan secara internasional diperjual-belikan untuk

eksploitasi seksual2. Menurut PBB perdagangan manusia ini adalah

sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang

menghasilkan 9,5 juta US$ dalam pajak tahunan menurut intelijen AS.

Perdangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal

yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang

(money laundring), perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan

penyeludupan manusia. Hal ini merupakan realitas yang tidak bisa

dipungkiri dan perdagangan ini tidak lagi terbatas pada batas wilayah

negara melainkan berlangsung lintas batas. Pola perdagangannyapun

mengalami perubahan, tidak lagi hanya dilakukan oleh perseorangan

melainkan sindikat-sindikat terorganisir yang disinyalir memiliki kegiatan

illegal lainnya seperti penjualan obat-obatan adiktif dan senjata.

Bertambah maraknya masalah perdagangan Perempuan dan

Anak-anak yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia dan

negara berkembang lainya telah menjadi perhatian masyarakat

internasional dan organisasi internasional, khususnya perserikatan

bangsa-bangsa. Lahirnya Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan

Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak

1
Laporan Perdagangan Manusia, Deplu AS, 14 Juni 2004
2
Lihat Report ADB yang menyatakan palin tidak sebanyak satu s.d dua juta jiwa
diestimasi telah diperjual-belikan setiap tahun di seluruh dunia. Sebagaian besar
penjualan orang berasal dari negara miskin 150.000 dari Negara Asia Barat dan 225.000
dari Negara Asia Tenggara

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 2


(Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking in Persons,

Especially Women And Children) sebagai salah satu protocol yang

dihasilkan dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak

Pidana Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime) pada tanggal 12-15 Desember

2000 di Palermo3, merupakan instrument internasional yang sangat

membantu dalam pencegahan dan memerangi kejahatan perdagangan

orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak.

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok

yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk

eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain,

misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik

serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang

melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian,

atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau

memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala

bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau

posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh

persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban 4.

3
Imam Santoso, “Hukum Pidana Internasional”, Bahan Kuliah Program Pasca Sarjana
Universitas Krisnadwiayana, Yakarta, hal 108
4
Periksa Paragraf Tiga, Penjelsan Umum Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 3


Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk

pelanggaran HAM berat terhadap perempuan, karena di dalamnya ada

unsur ancaman, penyiksaan, penyekapan, kekerasan seksual, sebagai

komoditi yang dapat diperjual belikan, yang semuanya merupakan

pelanggaran terhadap HAM. Dalam situasi perempuan dan anak yang

diperdagangkan, hak-hak mereka terus dilanggar, karena mereka

kemudian ditawan, dilecehkan dan dipaksa untuk bekerja di luar

keinginan mereka. Mereka ditempatkan dalam kondisi seperti

perbudakan, tidak lagi memiliki hak untuk menemukan nasib sendiri,

hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa tidak aman. Bahkan kadang

diperburuk oleh keadaan ketika dia tidak memiliki identitas yang jelas,

sehingga mereka takut meminta bantuan kepada pihak yang berwenang

karena takut diusut dan dideportasi. Juga status sosial mereka

menyebabkan mereka dilecehkan oleh majikan.

Eksploitasi perempuan dan anak-anak oleh industri seks lokal

maupun global adalah petanggaran hak asasi manusia karena jelas telah

mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Sementara itu, perdagangan

perempuan clan anak-anak telah dianggap sebagai "kenikmatan" bagi

para pengguna jasa seks dan sebagai sumber penghasilan bagi mereka

yang bergerak di dalam industri seks, prostitusi, perdagangan perempuan

dan praktek-praktek yang berhubungan dengan bisnis. Pada dasarnya,

perdagangan perempuan dan anak-anak ini merupakan bentuk

kekerasan seksual dan menempatkan perempuan dan anak-anak dalam

suatu kondisi fisik clan mental yang sangat merusak dan tergradasi.

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 4


Bentuk-bentuk pelanggaran HAM tersebut dapat terjadi pada saat

proses perekrutan, transpotasii saat sampai di negara tujuan, dan saat

proses perdagangan. Pelanggaran yang terjadi berupa5 : penipuan,

penyekapan, ancaman dan penggunaan kekerasan, penyalahgunaan

kekuasaan pemutusan akses dengan keluarga dan/atau bantuan jenis

apapun, hak atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk,

perempuan dipaksa melacur , kondisi kerja yang tidak layak,

penghapusan akses ke kesehatan, penyitaan identitas dan dokumen

perjalanan, pelanggaran terhadap aspek budaya/agama, penolakan

akses kebangsaan, pendidikan, perempuan dipaksa menikah dengan

orang yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan kontrol

terhadap hidup, penyangkalan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar

manusia. penahanan dan dipenjara/penahanan illegal dengan tuduhan

palsu, penganiayaan dan perkosaan dalam penahanan, pelanggaran

dalam aspek hukum, pemaksaan pemeriksaan dan perawatan kesehatan

Bentuk perdagangan perempuan dan anak tidak hanya terbatas

pada prostitusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi

bentuk-bentuk eksploitasi, kerja paksa dan praktek seperti perbudakan di

beberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri

pesanan. Berbagai bentuk kekerasanpun dialami oleh para korban,

seperti kekerasan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami baik

sejak saat perekrutan maupun pemilik tempat kerja.

5
HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak,
Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia Solidaritas Perempuan, 2000, hal. 33 -35

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 5


Pada dasarnya, perdagangan orang dapat mengambil korban dari

siapapun : orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun

perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti

misalnya: laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang

berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang

berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah

ekonomi, politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang

menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suami/orang

tua, suami/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia; anakanak putus

sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari kerja

(termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban

penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat

tekanan dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja

seks yang menganggap bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan

pendapatan lebih6 .

Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan tersebut

biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan

kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam,

menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau

memacari, menculik, menyekap, atau memperkosa. Modus lain berkedok

mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau

bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang

kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan

6
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, “Penghapusan Perdagangan
Orang (Trafficking in Person) di Indonesia Tahun 2004-2005”, Jakarta, 2005, hal. 4

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 6


jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik,

namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah

umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan

barangbarang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan7.

Korban yang direkrut di bawa ke tempat transit atau ke tempat

tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat

terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau

calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar

negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen

dipegang oleh agen termasuk dalam penanganan masalah keuangan.

Seringkali perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa

perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Di

tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa

minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Tetapi kemudian

mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah

hiburan lain, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Mereka

diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika

menolak, korban diminta membayar kembali biaya perjalanan dan

“tebusan” dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah yang biasanya

membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung oleh korban8.

Di Indonesia praktik perdagangan perempuan sebagaimana juga

terjadi di negara-negara Asia Tenggara biasanya identik dengan

kekerasan dan pekerjaan-pekerjaan yang diketahui paling banyak

7
Ibid, hal. 4
8
Ibid, hal. 4

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 7


dijadikan sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak adalah :

buruh migran, pekerja Seks, perbudakan berkedok pernikahan dalam

bentuk pengantin pesanan, pekerja anak, pekerja di jermal, pengemis,

pembantu rumah tangga, adopsi, pernikahan dengan laki-laki asing untuk

tujuan eksploitasi, pornognafi, pengedar obat terlarang dan dijadi korban

pedofilia9.

Maraknya Trafficking di Indonesia dikarenakan Indonesia itu tidak

hanya sebagai negara sumber, transit, maupun penerima, akan tetapi

juga menjadi negara yang termasuk bagian dari sindikat Internasional.

Kadang-kadang meningkatnya perdagangan perempuan dan anak ini

dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu adanya "permintaan dan

penawaran" dari pihak yang ingin menikmati, menggunakan, maupun

mendapatkan keuntungan dari korban, di sampimg itu tidak menutup

kemungkinan kondisi dan situasi dari korban itu sendiri yang

menyebabkan timbulnya kejahatan perdagangan perempuan dan anak

Latar belakang terjadinya perdagangan perempuan dan anak

merupakan multi faktor, dan dapat dikatakan bukanlah masalah yang

sederhana, sehingga diperlukan kerjasama yang sinergi dari berbagai

instansi aparat penegak hukum. Pemberdayaan sumber daya manusia

merupakan salah satu faktor yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan

terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Beberapa faktor latar

belakang terjadinya perdagangan tersebut dapat disebutkan, yaitu karena

: (1) Kemiskinan; (2) Pendidikan rendah; (3) Pengangguran; (4) Migrasi

9
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, leaflet Trafficking (Perdagangan) Perempuan
Dan Anak, Jakarta, 2004.

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 8


keluar desa dan keluar negeri; (5) Ketahanan keluarga yang rapuh; (6)

Faktor ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan (gender) dan budaya

patriarkhi; (7) Konsumerisme; (8) Meningkatnya permintaan; (9)

Pornografi di media massa; (10) Penegakan hukum terhadap pelaku

masih belum tegas dan consisten; (11) Kesadaran masyarakat dan

pemerintah tentang trafficking belum memadai10.

Dalam perkembangannya, perdagangan orang telah menjadi bisnis

yang kuat dan lintas negara karena walaupun ilegal hasilnya sangat

menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan

obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata. Sehingga tidak

mengherankan jika kejahatan internasional yang terorganisir kemudian

menjadikan prostitusi internasional dan jaringan perdagangan orang

sebagai fokus utama kegiatannya. Mereka tergiur dengan keuntungan

bebas pajak dan tetap menerima

income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil. Seperti halnya

bisnis narkoba yang beromzet besar dan sangat menguntungkan serta

bebas pajak pula, perdagangan orang pada dasarnya adalah bagian dari

shadow economy: berjalan dengan tak terlihat, Sangay menguntungkan

tetapi juga merupakan perbuatan kriminal yang sangat jahat.

Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan

sumber daya yang ada seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang

lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan

konsisten serta melibatkan jaringan luas baik antar daerah di dalam


10
Riza Nazari, “Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak“, Makalah disampaikan pada
Workshop, Penguatan Materi tentang Konsep HAM Perempuan dan Gender, Kerjasama
Fakultas Hukum Unsyiah dengan The Asia Foundation, Medan, tanggal 15-17 Juli 2006

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 9


negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga

internasional.

II. LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Perdagangan Orang

Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan

sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish

Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the

United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun

2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan

orang yaitu :

(a) ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt


of persons, by means of the threat or use of force or other forms of
coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of
power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of
payments or benefits to achieve the consent of a person having
control over another person, for the purposes of exploitation.
Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the
prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced
labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude
or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan,
penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman
atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain,
penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun
penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk
ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual
lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-
praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan
organ-organ tubuh”).

Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di

bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa:

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 10


The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a
child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking
in persons” even if this does not involve any of the means set forth
in subparagraph (a).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari

perdagangan orang 11, adalah:

1. Perbuatan : merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan

atau menerima.

2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban : ancaman, penggunaan

paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan,

kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau

pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas

korban.

3. Tujuan : eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi

seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan,

pengambilan organ tubuh.

Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan,

karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah

penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.

Pengertian menurut Protocol tersebut menjiwai definisi

perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam

Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi

11
Harkristuti Harkrisnowo, “Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia”, Sentra HAM,
UI, Jakarta, 2003.

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 11


Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yang

menyatakan:

“Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan


pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih
tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar
negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan
penampungan sementara atau di tempat tujuan – perempuan dan
anak - dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan
fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi
kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain,
terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain),
memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di
mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan
eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal
maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan,
pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi,
pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta
bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.

Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people

smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman

orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan

keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak

terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul

korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko

dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah

diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak

awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek

ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur

yang esensiil dalam perdagangan orang12.

Menurut GAATW (Global Alliance Against Traffic in Women)

trafficking adalah :"Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan


12
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, op.cit., hal. 4

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 12


perekrutan, transpotasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian,

penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan .seseorang dengan

menggunakan penipuan atau tekanan termasuk

penggunaan utuk ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan

kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau

menahan orang tersebut, baik dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang

tidak diinginkannya (domestik, seksual atau reproduktif), dalam kerja

paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan, dalam

suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu

penipuan, tekanan untuk lilitan hutang pertama kali.

Ruth Rosenberg 13, mengusulkan definisi perdagangan perempuan

adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka perekrutan dan

atau pengiriman orang perempuan di dalam dan ke luar negeri untuk

pekerjaan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominant, penjeratan utang,

penipuan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain". Pengertian perdagangan

perempuan tersebut mengandung arti penting, karena yang disoroti tidak

hanya proses perekturan dan pengiriman yang menentukan bagi

perdagangan, tetapi juga, kondisi eksploitatif terkait ke mana orang

diperdagangkan.

Menurut Global Survival Network dalam Laporan PBB tentang

Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak ada empat jenis situasi yang

mengakibatkan perempuan dan anak perempuan terlibat dalam

13
Ruth Rosenberg, Editor, “Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Indonesia”, Catholic
Migration Commision (ICMC), American Centre, 2003, hal. 13

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 13


perdaganan seks, yang juga dapat diterapkan pada bentuk-bentuk kerja

yang lain yang menyebabkan perempuan bermigrasi atau

diperdagangkan: (1) Mencakup perempuan yang ditipu mentah-mentah

dan dipaksa dengan kekerasan. Mereka tidak mengetahui sama sekali

kemana mereka akan pergi atau pekerjaan apa yang akan mereka

lakukan; (2) Perempuan yang diberitahu separoh kebenaran oleh orang

yang merekrut mereka rnengenai pekerjaan yang akan dilakukan dan

kemudian ; dipaksa bekerja untuk apa yang sebelumnya tidak mereka

setujui dan rnereka hanya mempunyai sedikit atau tidak ada samasekali

pilihan lainnya; (3) Perempuan yang mendapat informasi mengenai jenis

pekerjaan yang akan mereka lakukan. Walaupun mereka tidak mau

mengerjakan pekerjaan semacam itu, mereka tidak melihat adanya

pilihan ekonomi lain yang bisa mereka kerjakan; (4) Perempuan yang

mendapat informasi sepenuhnya mengenai pekerjaan yang akan mereka

lakukan, tidak keberatan untuk mengerjakannya. Pada kelompok yang ke

empat ini tidak ada kondisi mengenai pekerjaan yang tidak diketahui

sehingga tidak termasuk dalam perdagangan perempuan14.

Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pengertian Perdagangan Orang

adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau


14
Laporan Pelapor Khusus PBB “tentang kekerasan Terhadap Perempuan,
Perdagangan Perempuan, Migrasi, Perempnan dan Kekerasan terhadap Perempuan”
Penyebab dan Akibatnya, 29 Pebruari 2000, hal. 25

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 14


memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang

dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi

atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Eksploitasi merupakan tindakan dengan atau tanpa persetujuan

korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau

pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,

penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,

atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ

dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan

seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil

maupun immateriil.

II.2 Pelaku Perdagangan Orang

Perdagangan orang dapat dilakukan oleh orang perseorangan

ataupun korporasi15. Tindak pidana perdagangan orang dianggap

dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh

orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau

untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun

hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri

maupun bersama-sama.

Menurut Rosenberg sebagai dikutip Kementrian Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat, dalam Penghapusan Perdagangan Orang

(Trafficking in Person) di Indonesia16 , Pelaku perdagangan orang


15
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
16
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, op. cit., hal. 7

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 15


(trafficker) tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi

juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat

yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan

perdagangan orang :

 Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya

di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan

KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di

penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang

berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.

 Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga,

teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala

dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau

pemalsuan dokumen.

 Aparat pemerintah adalah trafficker manakala terlibat dalam

pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan

memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal.

 Majikan adalah trafficker manakala menempatkan pekerjanya dalam

kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja,

melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus

bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.

 Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan

506 KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka

memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjeratnya dalam

libatan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak,

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 16


tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (di

bawah 18 tahun).

 Calo pernikahan adalah trafficker manakala pernikahan yang diaturnya

telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa

perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang

bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan

dilangsungkan.

 Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka

secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau

melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau

jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang

akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang

tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya

dan menjerat anaknya dalam libatan utang.

 Suami adalah trafficker manakala ia menikahi perempuan tetapi

kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitirnya

demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak,

atau memaksanya melakukan prostitusi.

III. ANALISA MASALAH

3.1 Pencegahan (preventif)

Dinamika dan berbagai upaya yang dilakukan baik di tingkat

nasional, regional maupun internasional untuk memberantas

perdagangan orang, terutama perempuan dan anak melalui instrumen

intenasional sejak tahun 1904. Usaha penghapusan tersebut ditandai

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 17


dengan diselenggarakannya konferensi internasional perdagangan

manusia pertama kali, yakni konferensi mengenai perdagangan wanita

atau ”trafficking in women” diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan

tahun kemudian pada tahun 1904, di kota yang sama, 16 negara

kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan

internasional pertama menentang Perdagangan Budak Berkulit Putih

yang dikenal dengan istilah Intenational Agreement the Supresssion of

White Slave Traffic. Kesepakatan tersebut menentang

dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan tujuan pelanggaran

kesusilaan. Konvensi awal ini membatasi diri pada penentangan bentuk

pemaksaan dalam perdagangan perempuan, tetapi sama sekali tidak

mempermasalahkan tiadanya bukti pemaksaan atau penyalahgunaan

kekuasaan dalam perekrutannya.17

Kesepakatan tersebut dalam prakteknya tidak berjalan efektif

karena gerakan anti perdagangan manusia pada saat itu lebih didorong

karena adanya ancaman terhadap kemurnian populasi perempuan kulit

putih. Pada sisi lain, kesepakatan tersebut juga lebih banyak

memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban daripada


18
menghukum pelaku kejahatannya , sehingga tepat enam tahun

kemudian, yakni pada tahun 1910 disetujui Internasional Convention for

the Supression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional tanggal 4

Mei 1910 untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih,

17
Sulistyowatirianto dkk, “Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran
Narkotika”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 12-13.
18
ELSAM, Position Paper Advokasi RUU KUHAP Perdagangan Manusia dalam
Rancangan KUHP, 2005, hal. 4

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 18


diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 3 Desember 1948)19.

Konvensi tersebut kemudian mewajibkan negara untuk menghukum siapa

pun, yang membujuk orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau

dengan menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan,

atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau

membujuk perempuan dewasa untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.20

Dalam perkembangan selanjutnya dengan dibantu oleh Liga

Bangsa-bangsa, ditandatanganilah Convention on the Supression of

Traffic in Women and Children pada tahun 1921 (Konvensi Internasional

tanggal 4 Mei 1910 untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan

Anak, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947) dan

International Convention of the Supression of Traffic in Women of Full

Age di tahun 1933 (Konvensi Internasional tanggal 11 Oktober 1933

untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa, diamandemen

dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947). 21

Keempat konvensi tersebut kemudian dikonsolidasikan oleh PBB

pada tahun 1949 ke dalam Convention for the Supression of the Traffic

in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Others .

Konvensi ini mewajibkan negara peserta untuk menghukum mereka

yang menjerumuskan orang-orang, bahkan korban jika menyetujuinya,

demi memuaskan manusia lainnya. Dalam konvensi ini juga disebutkan

bahwa negara peserta juga terikat untuk menghukum mereka yang

mengeksploitasi pelacur. Konvensi ini juga mencakup mereka yang secara


19
Ibid., hal 4
20
Sulistyowatirianto dkk, Op.Cit, hal. 13
21
Riza Nazari, op. cit., hal. 10

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 19


finansial terlibat dalam pengelolaan atau pengoperasian rumah pelacur

atau siapapun yang menyewakan atau menyewa tempat-tempat untuk

melacurkan orang-orang lain.31

Pada tahun 1926, lahirlah sebuah instrumen internasional

yang secara tegas melarang praktek perbudakan. Konvensi ini

kemudian ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25 September 1926.

Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah

guna pengahapusan sesegera mungkin perangkat-perangkat

kelembagaan serta praktek-praktek yang meliputi perbudakan

berdasarkan hutang, perhambaan, pertunangan anak dan praktek-

praktek perkawinan dimana seorang perempuan diperlakukan sebagai

harta milik, baik oleh keluarganya sendiri maupun keluarga suaminya, atau

bisa diwariskan setelah kematian suaminya.22

Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 2000, Majelis Umum PBB,

berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 55/25 mengadopsi Konvensi

tentang United Nations Convention Against Transnational Organized

Crime atau Konvensi mengenai Kejahatan Terorganisir beserta ketiga

protokolnya, yakni:

1. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in

Persons, Especially Women and Children, S upplementing the

United Nations Convention against Transnational Organized Crime

(Protokol Pergadangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak);

2. Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land Air and

Sea, supplementing the United Nations Convention Against


22
Riza Nazari, op. cit., hal. 11

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 20


Transnational Organized Crime (Protokol Penyelundupan Migran);

3. Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in

Firearms, Their Parts and Components and Ammunition,

supplementing United Nations Convention against Transnational

Organized Crime (Protokol Perdagangan Senjata Gelap).

Dalam Preambule Protokol, Negara Peserta (States Parties)

menyatakan tindakan efektif (effective action) untuk mencegak dan

memerangi perdagangan wanita dan anak memerlukan pendekatan

internasional komprehensip di negara-negara asal, transit, tujuan (the

countries of origin, transit, and destination) termasuk upaya-upaya untuk

mencegah perdagangan, menghukum pelakunya (trafficker), dan

melindungi korbanya termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui

secara internasional.23

Indonesia telah mengesahkan protocol ini pada tanggal 5 Maret

2009 dengan UU Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to

Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women

and Children, Supplementing the United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak,

dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-

anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang

Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).24

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang di Indonesia,

pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

23
Imam Santoso, op. Cit., hal 109
24
Ibid, hal 109

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 21


(KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan

wanita dan anak lakilaki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan

tersebut sebagai kejahatan. Selanjutnya, dalam Pasal 83 UU No. 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan

memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau

untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan

Anak sanksi yang dieberikan terlalu ringan dan tidak sepadan dengan

dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang.

Berbagai upaya dan strategi telah dilakukan oleh Pemerintah

Indonesia maupun organisasi non-pemerintah dalam menghadapi

perdagangan perempuan dan anak. Strategi tersebut dibutuhkan atau

dilakukan baik bersifat preventif maupun represif, yaitu penguatan pada

kebijakan migrasi serta hukum pidana untuk perlindungan hukum bagi

perempuan dan anak sebagai korban, serta diupayakan penanganan

sebagai korban tanpa mengesampingkan hak-haknya sebagai

perempuan dan anak.

Selain upaya memalui pembuatan instrumen hukum, yang

mengatur secara umum maupun khuhsus tentang perlindungan hukum

terhadap perdagangan perempuan dan anak seperti yang terakhir

diantaranya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pemerintah

Indonesia juga membuat Rencana Aksi Nasional Penghapusan

Perdagangan Peremnpuan dan Anak (RANP3A)yang ditetapkan melalui

Keppres Nomor 88 Tahun 2002. RANP3A ini dimaksudkan sebagai

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 22


landasan dan pedoman bagi pemerintah Indonesia dan masyarakat

dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.

Dalam Hukum Nasional Indonesia, sebelum lahirnya UU 21 Tahun

2007 dan UU Nomor 14 Tahun 2009, upaya-upaya perlindungan hukum

untuk mencegah dan menangani kejahatan perdagangan perempuan dan

anak didasarkan pada ketentuan KUHP. Peraturan yang lain adalah UU

No 39/1999 tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak serta beberapa Konvensi Internasional yang telah

diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia antara lain : Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Nomor 182 tentang Bentuk-

Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, Undang-Undang No 7 Tahun

1984 Tentang Ratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan, Keputusan Presiden (Keppres)

Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan lain-

lainnya.

Pasal 297 KUHP secara khusus mengatur perdagangan

perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Dilihat dari sudut

korbannya, hampir seluruh kasus yang ditemukan korbannya adalah

perempuan dan anak-anak di bawah umur, termasuk bayi. Hanya

sebagian kecil kasus yang menyangkut tenaga kerja Indonesia, yang

korbannya juga lakilaki dewasa yang berarti tidak masuk dalam korban

yang dilindungi oleh pasal 297 KUHP. Kelemahan lain dari pasal 297

KUHP ini adalah hanya membatasi ruang lingkup pada eksploitasi

seksual, artinya pasal ini baru dapat menjaring perdagangan manusia

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 23


apabila korbannya digunakan untuk kegiatan yang bersifat eksploitasi

seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan

korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk

adposi ilegal anak dan bayi25.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan pasal 297 KUHP adalah

tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki

yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak ada satu

ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum

dewasa ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang

korban di bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan

bahwa korbannya harus di bawah umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang

secara khusus menyebutkan usia 12 tahun, 15 tahun, 17 tahun sehingga

tidak ada patokan yang jelas

untuk masalah umur ini. Sementara itu, menurut Burgerligh Wetbook

(BW), usia belum dewasa adalah di bawah 21 tahun atau belum menikah,

sementara menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, batas usia belum dewasa adalah belum mencapai umur 18

tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Undangundang

No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyatakan bahwa

anak adalah ‘orang yang mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai

umur 18 tahun dan belum pernah kawin’. Disini dapat ditafsirkan bahwa

seseorang di bawah umur 18 tahun yang sudan kawin berarti tidak masuk

kategori ‘anak’ lagi. Lebih lanjut dalam Undang-undang No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud


25
Koordinato Kementrian Kesejahteraan Rakyat, op. cit., hal 14

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 24


dengan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan”. Mengenai batasan usia ini harus

ada satu ketentuan yang tegas agar hanya ada satu pengertian.

Sebagai upaya untuk menutupi kelemahan dalam KUHP,

pemerintah telah membuat Rancangan KUHP dengan mengakomodir

pasal-pasal yang terkait dengan perdagangan orang secara eksplisit,

yaitu :

a) Tindak Pidana Perdagangan Orang

b) Memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk

diperdagangkan.

c) Mengeluarkan orang dari wiiayah Indonesia untuk diperdagangkan

d) Perdagangan orang yang mengakibatkan luka berat atau penyakit.

e) Perdagangan arang oleh kelompok yang terorganisasi.

f) Persetubuhan dan pencabulan terhadap orang yang

diperdagangkan.

g) Pemasulan dokumen atau identitas untuk memudahkan

perdagangan orang.Penyalahgunaan kekuasaan untuk perdagangan

orang.

h) Menyembunyikan orang yang melakukan perdagangan orang.

i) Perdagangan orang di kapal.

Namun demikian, apabila dicermati mengenai hal-hal di dalam

Rancangan KUHP tersebut :

a) Pasal-pasal tersebut lebih bersifat preventif.

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 25


b) Pengaturan tentang korban perempuan dan anak lebih bersifat

general, sehingga dianggap belum sesuai dengan kebutuhan yang

memerlukaan aturan yang lebih spesifik. Tidak adanya hukum yang

khusus yang mengatur tentang masalah perdagangan perempuan dan

anak, mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan

lemahnya penegakan hukumnya. Aturan yang diberlakukan sementara

ini adalah berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU

Nomor 23 Tahun 2004.

Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

ketentuan dipergunakan untuk menjaring trafficker sebagaimana diatur

dalam Pasal 83 dan 88 yang berbunyi :

Pasal 83:

“Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik


anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta
rupiah).

Pasal 88:

“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak


dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah). Tetapi dalam undang-undang ini, cakupannya hanya
terbatas pada anak sehingga pelaku perdagangan orang dengan
korban yang bukan anak-anak, tidak dapat dikenakan Undang-
undang ini.

Di dalam ketiga UU tersebut, tidak adanya definisi resmi tentang

perdagangan orang baik dalam KUHP, Undang-undang No. 39 tahun

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 26


1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-undang No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, maka di dalam praktek pasal-pasal

tersebut sulit untuk digunakan. Pihak Kepolisian juga melaporkan, bahwa

pelaku perdagangan orang sering kali terdiri dari orang-orang yang

berbeda pada setiap tahapan perdagangan orang seperti misalnya orang

yang merekrut berbeda dengan orang yang mengantar atau membawa

korban, dan lain lagi orang yang menampung atau menyerahkan korban

kepada pengguna. Sehingga jika ia tertangkap oleh pihak berwajib, paling

hanya bisa dikenakan tuduhan penipuan atau perlakuan tidak

menyenangkan yang ancaman hukumannya ringan tidak sepadan

dengan penderitaan.

Di dalam konvensi ILO 182 dinyatakan bahwa penjualan dan

perdagangan anak adalah "Suatu bentuk perbudakan atau praktek

serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan

perbudakan itu sendiri ". Karena itu penjualan dan perdagangan anak

termasuk salah satu bentuk terburuk Perburuhan Anak. Konvensi ILO No.

182 ini menekankan pentingnya pelarangan dan penghapusan bentuk-

bentuk terburuk Perburuhan Anak. Oleh karena itu negara-negara yang

telah meratifikasi Konvensi ini berkewajiban untuk menuangkannya daiam

bentuk peraturan perundang-undangan dan melaksanakannya melalui

program-program aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah

bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak.

Dalam rangka pencegahan tindak pidana perdagangan perempuan

dan anak, perlu dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan pendidikan,

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 27


penyebarluasan informasi, dan peningkatan pengawasan. Peningkatan

pendidikan dan penyebarluasan informasi merupakan faktor yang sangata

penting. sebagaimana dilaporkan Rosenberg, profil perempuan dan anak

korban perdagangan orang serta mereka yang beresiko, pada umumnya

berasal dari keluarga miskin, kurang pendidikan, kurang informasi dan

berada pada kondisi sosial budaya yang kurang menguntungkan bagi

perkembangan dirinya. Peningkatan pendidikan harus menjadi perhatian

semua pihak dan terutama ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari

keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena

sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolahnya.

Selanjutnya, mengenai penyebarluasan informasi pada dasarnya

dapat dilakukan oleh siapapun yang peduli dengan masalah perdagangan

orang dan ditujukan kepada khalayak luas baik dalam rangka

memberikan informasi agar mereka mengetahui masalah perdagangan

orang, maupun dalam rangka mengajak mereka berpartisipasi sesuai

dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya dalam upaya-

upaya penghapusannya. Kampanye tentang kasus-kasus perdagangan

orang dilakukan melalui media massa (cetak maupun elektronik) dalam

rangka pengembangan opini, keberpihakan, dan dukungan massa.

Sementara peningkatan pengawasan, terutama ditujukan terhadap

para pekerja migrant. Pemerintah harus meningkatkan pengawasan

terhadap operasional perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia dalam

merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan

memberangkatkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Upaya ini

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 28


didukung oleh masyarakat melalui DPR RI sehingga beberapa undang-

undang telah ditetapkan: Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-undang No.

39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia di Luar Negeri.

3.1 Penindakan (repsesif)

Penindakan hukum kepada trafficker, sesuai dengan

kewenangannya diselenggarakan oleh yang berwajib (Kepolisian,

Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi mengingat perdagangan orang

merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-diam, kepada

masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM, disosialisasikan

agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini dengan

cara memberikan informasi kepada yang berwenang jika melihat,

menyaksikan atau mengindikasi adanya kegiatan perdagangan orang

atau hal-hal yang dapat diduga menjurus kepada terjadinya kejahatan itu.

Pihak Kepolisian di seluruh wilayah telah membuka hot-line yang

dapat diakses oleh masyarakat yang ingin melaporkan adanya tindak

kejahatan, dan pihak Kepolisian akan segera menanggapi dan

menindaklanjuti informasi yang diberikan Perdagangan orang menjadi

ancaman bagi keamanan dalam negeri karena telah menjadi sumber

penghasilan yang sangat besar bagi sindikat kejahatan internasional.

Kejahatan lintas batas ini juga menjadi ancaman bagi kesehatan manusia

karena korbannya: pria, wanita dan anak-anak diperjual-belikan dengan

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 29


tidak ada rasa kemanusiaan dan tidak mempedulikan akibat kejiwaan dan

penyakit yang dapat menimpa korbannya.

Sebagai bagian dari transnational organized crime, perdagangan

orang tidak dapat diperangi secara partial atau secara sendiri-sendiri oleh

masing-masing negara. Negara-negara yang anti perbudakan dan berniat

melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama

memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G)

antar LSM, organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar

negeri harus dibina dan dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang

mampu memberantas kejahatan teroganisir tersebut.

Kerjasama penindakan hukum antara Pemerintah Indonesia

dengan negara tetangga dan negara tujuan lainnya sudah lama dibina

seperti misalnya dengan Pemerintah Australia dan Hong Kong yaitu

melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan

Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai Bantuan

Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty Between RI and Australia on

Mutual Assistance in Criminal Matters), dan Undang-undang No. 1 Tahun

2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik

Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar

Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of

Indonesia and the Government of Hong Kong for the Surrender of

Fugitive Offenders).

Kerjasama dengan negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan

Singapura sangat penting dilakukan. Komitmen bersama antara aparat

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 30


penegak hukum Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk mengatasi

perdagangan orang sebagaiman telah menjadi tujuan dari Konferensi

Penegakan Hukum Internasional tentang Perdagangan Orang, di Batam

bulan Februari 2004, yang dihadiri 50 orang aparat penyidik dari

Malaysia, Singapura dan Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh Duta

Besar AS untuk Indonesia yang mengajak penyidik Kepolisian negara

peserta untuk menghukum pelaku perdagangan orang (trafficker) dan

orang-orang yang terlibat di dalamnya dengan hukuman seberat-

beratnya.

Amerika Serikat yang ditengarai sebagai negara tujuan

perdagangan orang, memberikan dukungan kuat kepada negara-negara

lain sebagai daerah sumber atau sebagai daerah transit, termasuk

kepada Indonesia. Sejak awal tahun 2005, Amerika Serikat menyatakan

penguatan komitmen dukungannya melalui keterikatan kerjasama

Indonesia-Amerika Serikat senilai US$ 9 juta dalam periode waktu empat

tahun, dalam rangka memerangi perdagangan orang lintas batas dari dan

ke Indonesia, dan juga yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Kerjasama

tersebut ditujukan untuk: pencegahan perdagangan orang melalui

pendidikan dan cara lainnya; memberikan bantuan, perlindungan dan

reintegrasi korban perdagangan orang; serta memperkuat upaya-upaya

penegakan hukum untuk menghentikan pelaku perdagangan orang

(trafficker). Sebagai executing agencies adalahLSM internasional dan

badan-badan seperti Save the Children-AS, American Center for

International Labor Solidarity (ACILS), International Catholic Migration

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 31


Commision (ICMC), dan International Organization for Migration (IOM)

bekerja sama Instansi Pemerintah Indonesia, kelompok masyarakat

madani Indonesia, dan komunitas lokal.

Patut diakui bahwa walaupun sudah ada peningkatan upaya

penindakan dan pencegahan perdagangan orang termasuk pemberian

informasi kepada kelompok masyarakat yang rentan terhadap

perdagangan orang mengenai hak-hak mereka (seandainya menjadi

korban) seperti misalnya hak untuk mendapatkan perlindungan dari

Pemerintah negara setempat dan dari Perwakilan RI di luar negeri,

namun masih banyak korban yang belum memahami layanan yang

seharusnya dan sewajarnya mereka dapatkan, ketimbang perlakuan

Pemerintah setempat yang lebih cenderung menganggapnya sebagai

kriminal, migran ilegal atau undocumented migrant. Pada

perkembangannya, perdagangan perempuan dan anak atau Traficking di

Indonesia hingga tahun 2009 ini bisa dikatakan masih belum ada titik

terang.

IV. KESIMPULAN

Masalah trafficking perempuan dan anak dengan alasan dan

tujuan apapun tetap merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap HAM.

Indonesia sebagai Negara Peserta United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime beserta Negara Peserta lainnya

mempunyai tanggungjawab secara`moral dan hukum untuk menjamin

keberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia.

Sebagaimana menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia serta beberapa

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 32


instrument Internasional lainnya. Pemerintah bertanggungjawab dengan

menegakkan hukum untuk memberi perlindungan kepada orang-orang

yang diperdagangan, wajib bertindak secermat-cermatnya untuk

mencegah, menginvestigasi, dan menghukum pelanggaran HAM dan

memberikan penyembuhan dan ganti rugi kepadakorban pelanggaran.

Pencegahan trafficking melalui pembuatan instrumen hukum,

penyebarluasan informasi, peningkatan pengawasan, peningkatan

pendidikan, pembetukan badan khusus dan penindakan oleh aparat

penegak hukum sampai dengan perlindungan bagi para korban, pada

kenyataannya trafficking perempuan dan anak, di masyarakat masih

banyak dapat disaksikan. Hal ini dapat dilihat di kota-kota besar dengan

adanya praktek eksploitasi terhadap anak yang dijadikan pengemis,

pengamen jalanan, pekerja anak, pekerja seks komersial,

diperdagangkan dan sebagainya.

Upaya kerja sama pemerintah dengan organisasi internasional

dan local ataupun Negara lain, kuhusnya dengan Negara tetangga

dalam p emberantasan perdagangan orang, tampak masih belum

berhasil optimal. Kompleknya permasalahan trafficking perempuan dan

anak menuntut upaya ekstra dari pemerintah, lebih-lebih bila dicermati

bahwa pelaku trafficking perempuan dan anak itu terorganisasi dengan

rapi baik dalam jaringan nasional maupun internasional. Keseriusan

melalui tindakan ektra dari pihak pemerintah dalam menangani kasus

trafficking, maka dapat dipastikan akan dapat meminimalisasikan

terjadinya trafficking perempuan dan anak baik dalam tingkat

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 33


nasional maupun internasional.

Tugas Kuliah Hukum Pidana Internasional by ENCEP BUHORI 34

Anda mungkin juga menyukai