Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM IBNU RUSYD

Tuesday, 21 May 20132komentar


Oleh : Syafieh, M. Fil. I
A.

Pendahuluan

Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama
Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam
yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar
seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa)
masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni
kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah
bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi
Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan
demikian dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah
dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosoffilosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat
Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat
Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.
Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd,
biografi dan karyanya, tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh
pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan
Averroisme di Barat.
B.
1.

Ibnu Rusyd
Biografi dan Pendidikannya

Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di
Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer
dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois.
Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga
yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak
keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565
H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang
luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua
Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[1]
Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd,
bahwa penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose
Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9
bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd.

Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa
Spanyol huruf konsonan b diubah menjadi v, maka Aben menjadi Aven Rochd.
Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian
berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf sy, huruf sy
dan d dianggap dengan s sehingga menjadi Averriosd. Kemudian, rentetan s dan d
dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf d dihilangkan sehingga menjadi
Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf s dengan s posesif maka antara
o dan s diberi sisipan e sehingga Averroes, dan e sering mendapat tekanan
sehingga menjadi Averrois.[2]
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu
pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, AlMuwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia
juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu
pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara
keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville terkenal karena
aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus,
Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur.[3]
Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama
fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni sebagai
hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova,
sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi
dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia
mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf
Yaqub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan
Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan
antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama dan
kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama
dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama
Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka
timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian
dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.
[4]
A.

Karya-Karyanya

Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah
membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat
sudut pandang ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :
a. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi
butir keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam
menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan
dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia kepada

Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akl aktif untuk melihat
gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan yang mengubah
gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah imajinasi menjadi simbol-simbol yang
sesuai kebutuhan orang awam. Dengan demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan
sekedar reduksionisme, seperti halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan
pada kemungkinan untuk membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.[5]
b. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syariah min al-Ittishal (Kitab ini
berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)
c. Al-Kasyfan Manahij al-Adillat fi Aqaid al-Millat, (berisikan kritik terhadap
metode para ahli ilmu kalam dan sufi)
d. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang
fiqih).
B.

Pemikirannya

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat
dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk
membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha
mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd
terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru
tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre dAphrodise (filosof yang menafsirkan
filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.[6]
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles,
walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua
filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan
unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu,
Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas
saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran
Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[7]
Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti
dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga
memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai
filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
1.

Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat
bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari
hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ibrah
darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin

sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka
semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan
dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan
daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar
Syariy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan /
kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan
dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh
agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa
membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai
eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi
semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat
dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia
dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda.
Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan
yakni:
a.

Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)

b.

lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)

c.

Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)[8]

Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli
takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia.
Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan
kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
tawil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
tawil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat,
sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Tawil yang dilakukan dengan metode
Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir
dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode tawil burhani
diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya
dalah karena tujuan tawil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan
menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Quran surat
Al-Isra : 85 :

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk

urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa: 85)


Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak /
belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks
al Quran. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat
pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT
tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu
macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang
transenden dengan pemikiran spekulatif rasionalistik manusia adalah kegiatan Tawil .
Metode tawil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Quran
kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas
(syariy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut anhu tersebut.
Demikian pula dengan nalar Burhani, ia merpakan metode tawil / qiyas untuk
membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al quran.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Quranik dengan
konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks
syariy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi taarudl dengan qiyas
burhani, maka harus dilakukan tawil atas makna lahiriyyah teks. Tawil sendiri
didefinisikan sebagai: makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar
dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara
yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan
menyebutkan sesuatu dengan sebutan tertentu lainnya karena adanya faktor
kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang
mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu
ditawil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya
adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan
perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha
menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak
menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil
Ilm) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
2.

Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak
Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah
Akal, dan Maqqul. Wujud Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda
dari zat-Nya.[9]
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,
Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya.

Mensifati Tuhan dengan Esa merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai
penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya
di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mutazilah,
Asyariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang
berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan tawil dalam mengartikan kata-kata Syari
sesuai denngan kepercayaan mereka.[10]
Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang
menyakinkan:
a.
Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak
dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak
sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara, baik dalam berbagai ayatnya, dan
karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan alQuran dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil
yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang orang
khusus yang terpelajar.
b.
Dalil inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan
segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk
tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia.
Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj
diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil
tersebut, diantaranya Q.S, al-Naba:78:6-7
.

Artinya: Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,. dan gununggunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)
c.
Dalil Ikhtira (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala
makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan,
tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu
terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian
juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya.
Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib
mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki
pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, alHajj: 73

Artinya: Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu


perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak

dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.
Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang
disembah. (QS. Al-Hajj:73)
d.
Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd
memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang
digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap
dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada
gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan
sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun
pada sifatnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh
Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
e.
Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak
pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd
mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan
pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka
tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
3.

Tanggapan Terhadap Al-Ghazali

Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal
ini terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku alGhazali berjudul Tahafutut Falasifah. Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapatpendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh alGhazali. Sebagai pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak
prinsip Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip
hukum kausal dari Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd,
kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam
mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.
Al-Ghazali adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn
Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam
Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam
daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelasjelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.
Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali
melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah
tersebut, menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam,
Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan
jasmani.
Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf
dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku

Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan


Ibn Rusyd. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:
1.

Alam qadim (tidal bermula),

2.

Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak,

3.
Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya;
uangkapan ini bersifat metaforis,
4.

Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan alam,

5.
Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua
wajib al wujud,
6.

Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,

7.

Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan,

8.
Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau
esensi
9.

Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism),

10. Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak dapat
berubah),
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan
secara universal,
12.

Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri,

13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara
umum,
14.

Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya,

15.

Tujuan yang menggerakkan,

16.

Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula,

17.

Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa,

18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak
menempati ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh,

19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya
membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
20.

Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani. [11]

Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan kestabilan umat
yaitu: pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf
mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan
atas alam sama dengan qadim-nya illat atas malul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat
dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.
a.

Pedapat Filosuf tentang Qadimnya Alam

Namun menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak
bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi
Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari
tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah
diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang
memunculkan bentuk kekafiran.
Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak
mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-adam), atau kekosongan, tidak mungkin
berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah ada yang berubah menjadi
ada dalam bentuk lain.
Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa
Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini
mereka merujuka pada al-Quran Surat Ibrahim ayat 47-48:
*

Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada
rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu)
pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan
mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang
Maha Esa lagi Maha Perkasa. (Q.S. Ibrahim: 47-48).
Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langitlangit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta
kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi.
Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah
dari tiada menjadi ada (al-ijad min aladam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah
yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan.
Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut
filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang

sudah ada.[12]
Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada
seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan
qadimnya Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi
ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-adam), menurut filosof Muslim
adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa
terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim. [13]
Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan Tuhan lebih dahulu adanya
daripada alam dan masa ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum
ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita
membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua
kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat
(wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan
benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum
adanya masa.
Dalam perdebatan di atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini
tidak akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat
filsuf dan termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran.
Kemudian di sisi yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah
menimbulkan kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya,
sama-sama memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.
Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka
tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Lebih lanjut
dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
1.
Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti
wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera,
seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan
Baharu.
2.
Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak
didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat
diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya.
Wjud yang qadim inilah yang disebut Allah.
3.
Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas,
yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi
terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam
ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip
dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan
dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh
zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka

wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya
dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud
pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan tidak pula benar-benar baharu.
Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti
bersifat rusak.[14]
b.

Pedapat Filosuf tentang Pengetahuan Tuhan

Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan.
Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa)
kecil, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan
segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui.
Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu.
Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi
(mustahil).
Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya
mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha
Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut
Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap
yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan,
sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya
mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.
Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui
hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah
pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal
ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali.
Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada
yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang
perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian
itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari
penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia
tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah
pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan
penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh
melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah)
yang materi itu.
Pendapat kedua fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab
itu Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran
agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan
pengetahuan, yakni pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;

Tuduhan yang menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara
pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam
sangat jel;as mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di
atas dunia yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa
pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan
tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu pikiran yang
mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah itu
melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok Islam. biasnya ada sedikit
keraguan, bagaimanakah pandangan al-Quran tentang hakikat kekuasaan Tuhan (Qudrat
Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran manusia Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan
kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. Dia (Allah) mengetahui dengan
persis individu-individu yang baru dilahirkan.[15]
Jadi, dalam hal ini apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah
dalam hal pembacaan sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn Rusyd
tidak mememiliki argumen lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak
permasalahan yang dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada
kesalahpahaman Al-Ghazali sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan Ibnu
Rusyd? Atau sebaliknya?
c.

Pedapat Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani

Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah
yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka
menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang
telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup
kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain.
Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula,
maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak
sempurna.
Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa
jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan
substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:
adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang
mengatakan bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa
(roh) yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya,
mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat
jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan
yang mereka nyatakan itu.[16]
Dalam membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan

kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu
pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang
akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya sebagai berikut:
perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang
bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur
dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau
kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian
akan sama dengan keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh
seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan
menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup
daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal inipun terang gambling dari firman
Tuhan, Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya,
dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.[17]
Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali.
bukan antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn
Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali,
maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof.
Perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi
C.

Gerakan Averroisme di Eropa

Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat


Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga
disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.[18]
Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah alMuwahhidun setelah kematian Abu Yacub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh
putranya Abu Yusuf al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada
Ibnu Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova.
Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus
melarang membaca karya-karyanya.[19] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti
Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa
kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan
mengarang, umumnya murid beliau adalah bangsa Yahudi.
Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari
bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang
selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan
Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang
rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan
terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya
sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang

pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti
oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung
pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian
mereka.[20]
Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282)
dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan
Antonius van Parma.[21]Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menelaah
karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang
dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran
di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan
meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada
gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga
Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke Barat.[22]
Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah
pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama
dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada
yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu
tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak
utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan).[23]
atau Prima Causa menurut Aristoteles.
Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka
tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan
hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh
akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam
terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa
penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui
hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya
tersebut
Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan muridmuridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran
Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandanganpandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang
yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja
tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya
menentang universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak
tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama
tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper
32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup.[24] Pendapat lain mengatakan sejak tahun
1481-1499 pengikut Rusyd telah dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang
dihukum gantung serta 97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.[25]
Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut

perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai


wilayah lainnya di Eropa.[26] Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa
Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran
filosofis dan kebenaran teologi.[27]
Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan
renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan
Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan
gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14
hingga sekitar pertengahan abad ke-17.[28]
Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh
Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada
manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan
Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama,
menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan
sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
D.

Kesimpulan

Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang
dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti
al_kindi, al-Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran
agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran
agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan serangan AlGhazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas.
Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu
pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian
Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya
dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf
Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.

Anda mungkin juga menyukai