Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per
1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, maka salah
satu tolak ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan
proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu
penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai
kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling
berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa
berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya
produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal
ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir <2500 g atau usia
gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus
ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan.
Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan
menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil
memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus
pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan
kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito
melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada
hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
1

hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi
kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi.
Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang
dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis
dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.
Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8%
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun
2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan
oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai
berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode
spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan
metode visual.

BAB II
PEMBAHASAN

Definisi
Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin total pada minggu pertama
kelahiran. Kadar normal maksimal adalah 12-13 mg% (205-220 mikromol/L).
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau
lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari presentil 90.
Hiperbilirubinemia

adalah

kadar

bilirubin

di

dalam

darah

melampui

mg/dL(17,1umol/L). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang


melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya, atau dapat terjadi karena
kegagalan hati yang rusak untuk mengekskresikan bilirubin yang di hasilkan dengan jumlah
normal. Pada semua keadaan ini, bilirubin bertumpuk di dalam darah dan ketika mencapai
suatu konsentrasi tertentu ( yaitu sekitar 2-2,5 mg/dL ), bilirubin akan berdifusi ke dalam
jaringan yang kemudian warnanya berubah menjadi kuning. Keadaan ini dinamakan jaundice
atau ikterus.
Hiperbilirubinemia adalah naiknya kadar bilirubin serum melebihi normal.
Presentasinya pada neonates muncul dalam salah satu dari dua bentuk berikut ini:
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi/indirek atau terkonjugasi/direk. Gejala paling relevan
dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut adalah ikterus, yang didefinisikan
sebagai kulit dan selaput lender menjadi kuning. Pada neonatus, ikterus yang nyata jika
bilirubin total serum 5 mn/dl.
Kulit atau mata yang terlihat kuning merupakan keluhan atau gejala yang sering
dijumpai. Dalam kamus kedokteran gejala demikian disebut jaundice atau ikterus. Istilah
jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune, yang berarti kuning) atau ikterus (dari bahasa
Yunani icteros) menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa
sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar bilirubin
indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature pada 15 mg/dL pada
hari kelima.

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sclera akiat akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dL.
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain ialah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi ileh obat misalnya salisilatm sulfafurazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di
luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:

Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar


Letargi
Kejang
Tidak mau menghisap
Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang disertai

ketegangan otot
Perut membuncit
4

Pembesaran pada hati


Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
Warna urin gelap.

PATOFISIOLOGI
Pembentukan Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya
dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat
dan bersifat nontoksik.
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
Obat obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

Analgetik, antipiretik (Natrium salisilat, fenilbutazon)

Antiseptik, desinfektan (metal, isopropyl)

Antibiotik dengan kandungan sulfa (Sulfadiazin, sulfamethizole, sulfamoxazole)

Penicilin (propicilin, cloxacillin)

Lain lain (novabiosin, triptophan, asam mendelik, kontras x ray)

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:


1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.
Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin albumin mencapai membrane plasma hepatosit,
albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan
sitosilik lainnya.
Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl
transferase (UDPG T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi
berikutnya.
Eksresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada
dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta glukoronidase

yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup
bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin
yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar
per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih
pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak
lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
Mekanisme hiperbilirubinemia dan ikterus
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi:
pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi
oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam
empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang


pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah
merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsungnormal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal
(hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal (sterositosis
herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian beberapa obatobatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan hemolisis).
Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel
darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa,
porviria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak
terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern
Ikterus.
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap
pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (di pakai untuk mengobati
cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab di
hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh
defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada
kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan (< 12,9 / 100 ml) yang mulai
terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus.
Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim
glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa

hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan
menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di
obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan
pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang
yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang.
Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi)
menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan
cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital
(Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil transferase sering kali dapat
menghilang ikterus pada penderita ini.
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor
Fungsional

maupun

obstruksi,

terutama

mengakibatkan

hiperbilirubinemia

terkonjugasi .Karena bilirubin terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di
ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap.
Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan
ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam serum, AST,
Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga
muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu
perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain
dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati,
kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai saluran empedu di luar
hati). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
9

a. Produksi bilirubin yang meningkat: peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan
umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas
golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada defisiensi G6PD atau
sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi.
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna: ASI, asfiksia, pemberian ASI
yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empedu: infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom
kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik
Klasifikasi ikterus pada neonatus
Ikterus fisiologis
Terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8 mg/dL
biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL, bahkan
sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hr.
Ikterus patologis
Terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum > 5 mg/dL/hr.
Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum > 17mg/dL. Ikterus menetap setelah 8
hari pada bayi cukup bulan dan setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2
mg/dL.
Sebagai neonatus, terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus pada hari
pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari ke dua, kemudian menghilang pada hari ke
sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak
memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan
bilirubin tidak langsung yang berlebihan.
Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan
yang mendalam antara lain :

Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama

Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per hari

Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan

Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prenatur

10

Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama

Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi 1mg% pada setiap waktu.

Ikterus yang mempunyai hubungan dengan penyakit hemoglobin, infeksi, atau suatu
keadaan patologik lain yang telah diketahui.

Pembagian Derajat Ikterus


Berdasarkan Kramer dapat dibagi :
Derajat

Daerah ikterus

Perkiraan kadar bilirubin

Kepala dan leher

5,0 mg%

II

Sampai badan atas (diatas umbilicus)

9,0mg%

III

Sampai badan bawah (dibawah umbilicuks 11,4mg%


hingga tungkai atas diatas lutut)

IV

Sampai lengan, tungkai bawah lutut

12,4mg%

Sampai telapak tangan dan kaki

16,0mg%

11

Bilirubin Ensefalopati Dan Kern Ikterus


Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang
mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia dan
pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan
neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak
terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum.
Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati

Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan reflek hisap
buruk.

Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas dan
hipertoni.

Selanjutnya bayi akan demam, high pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness
dan hipotoni.
Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup, akan

berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
displasia dental enamel, paralysis upward gaze.

PENATALAKSANAAN
1. Strategi Pencegahan
a. Pencegahan Primer

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 12 kali/ hari untuk beberapa
hari pertama.

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder

12

Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 12 jam.

2. Penggunaan Farmakoterapi
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.
b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG T dan ligandin serta
dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung
lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada neonatus
selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih
banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan
dosis 8 mg/kg berat

badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral.

Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah bahwa


pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling
kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.
c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.
d. Tin Protoporphyrin ( Sn Pp ) dan Tin Mesoporphyrin ( Sn Mp ) dapat
menurunkan kadar bilirubin serum.
e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L aspartikdan kasein
holdolisat dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang
mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang
dibandingkan dengan bayi contro

3. Fototerapi

13

Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh
seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi
bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang
dibandingkan bayi bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai
melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari
penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga
mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi bayi prematur lainnya.6
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan
ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa
metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa
fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan
foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh
bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk
molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan
berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan.
Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa
diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan
pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah
bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam
mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui
proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini
mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.
Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin.Lumirubin bersifat larut dalam air.

14

Gambar 2.2. Mekanisme fototerapi.


Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang
bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur
pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai
dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP)
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan
suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut
frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum
dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing
masing dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam
menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar
15

hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan
tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin
tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar,
yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar 30
W/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 40 W/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 50 W/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan
lebih besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh.
Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada
bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan
terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi
berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus
diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.

Tabel 2.1. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup
bulan.
Usia ( jam )

Pertimbangan

Terapi sinar

terapi sinar

Transfusi

Transfusi tukar

tukar

dan terapi sinar

25-48

>12mg/dl
(>200 mol/L)

>15 mg/dl
( >250 mol/L)

>20 mg/dl
>25 mg/dl
(>340 mol/L) (425 mol/L)

49-72

>15mg/dl
(>250 mol/L)

>18 mg/dl
(>300mol/L)

>25mg/dl
(425 mol/L)

>30 mg/dl
(510mol/L)

>72

>17 mg/dl

>20mg/dl

>25mg/dl

>30mg/dl
16

(>290 mol/L)

(>340mol/L

(>425 mol/L) (>510 mol/L)

Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37
minggu )
Neontaus

kurang

bulan Neontaus

kurang

bulan

sehat :Kadar Total Bilirubin sakit :Kadar Total Bilirubin


Berat

Serum (mg/dl)

Serum (mg/dl)

Terapi sinar Transfusi

Terapi sinar

tukar

Transfusi
tukar

Hingga 1000 g

5-7

10

4-6

8-10

1001-1500 g

7-10

10-15

6-8

10-12

1501-2000 g

10

17

8-10

15

>2000 g

10-12

18

10

17

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar


bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.

Komplikasi terapi sinar


Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut
yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan
memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.
Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :
1. Peningkatan insensible water loss pada bayi
Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972)
melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa.
Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan
dengan sebaiknya.
17

2. Frekuensi defekasi yang meningkat


Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena
meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976) mengemukakan
bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim
lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan
kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat
dipertentangkan (Chung dkk, 1976)
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka, badan
dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa
bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk,
1976). Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil
terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi.
4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966).
Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata
pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey
(1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh
kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya
pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang
diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan
suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian
lampu yang dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

18

Tranfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati
bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan
isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan
antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan
memperbaiki anemia.
Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan
dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan
tranfusi tukar.
3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan
O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer
rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan
plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar


19

a. SIMPLE DOUBLE VOLUME


Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena
saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
b. ISOVOLUMETRIC
Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION
Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.
Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O
rhesus positif.

Pelaksanaan tranfusi tukar:


1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.
3. Persiapan Alat.
a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap
b.Lampu pemanas dan alat monitor
c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
d.Masker, tutup kepala dan gaun steril
e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah
f. Set tranfusi 2 buah
g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath
h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
i. Selang pembuangan

20

j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis


k.Meja tindakan

Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar
pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum
dalam tabel 2.
Tabel 2. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum
Bayi

Usia

Cukup

Bulan

Sehat

Dengan Faktor Risiko

Hari

mg/dL

mg/Dl

Hari ke-1

15

13

Hari ke-2

25

15

Hari ke-3

30

20

dan 30

20

Hari

ke-4

seterusnya

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk
secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas,
sertakan contoh darah ibu dan bayi.

Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
Berat badan (gram)
KadKadar

Bilirubin

(mg/dL)
> > 1000

10-12

1000-1500

12-15

1500-2000

15-18

2000-2500

18-20

21

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi
sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

Perforasi pembuluh darah


Komplikasi tranfusi tukar
1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
Perawatan pasca tranfusi tukar

Lanjutkan dengan terapi sinar

Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:


a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari
orang tua penderita

22

b. Bayi jangan diberi minum 3 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera
dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan
NaCl fisiologis
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin
<>
e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb,
hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan darah,
rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta
kultur darah
f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah).
KESIMPULAN
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau
usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi
kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir
dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% 50% pada bayi
yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya
akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan
saluran empedu, dan lain-lain. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam
darah >13 mg/dL.
Mempercepat proses konjugasi misalnya dengan pemberian fenobarbital,memberikan
substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi, melakukan dekomposoisis bilirubin
dengan fototerapi dan tranfusi tukar. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin
dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat.
Fototerapi dapat digunakan untuk pra- dan pasca tranfusi tukar.

23

Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman diagnosis dan terapi SMF Ilmu Kesehatan anak edisi III. 2008. Hal 1721. RS Umum Dr. Sutomo : Surabaya.
2. Buku ajar neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi pertama 2008. Hal 147168. FKUI : Jakarta
3. Price, Sylvia M.Wilson Lorraine. Patofisiologi kedokteran. l994. EGC : Jakarta.
4. Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007. FKUI : Jakarta.
5. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2006.
EGC: Jakarta
6. Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI. Edisi 3. 1985 Hal 1101-10. FKUI:
Jakarta.
7. Murray Robert K, MD.PhD, 2001, Biokimia Harper ( Eds.25), EGC: Jakarta
8. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III FK Unpad RSHS
2005. Hal 102-8. FK Unpad : Bandung.
9. Diakses pada www.smallcrab.com/anak-anak/535-mengenal-ikterus-neonatorum.
10. Bagchi A. phototherapy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wikins, 2002. Hal
373-80. Philadelphia
11. William Wilkins. Cahaya dan optika intisari fisika. 1996. Hal 141-45. Jakarta.
12. Diakses dari www.emedicine.com/view article/551363/2.

24

25

Anda mungkin juga menyukai