Anda di halaman 1dari 17

PATOFISIOLOGI

DIFTERI

Disusun oleh :
Adhitri Anggoro
030.08.004

Pembimbing
Dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD BEKASI
PERIODE 10 JUNI 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi saya hikmat
dan berkat-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Tanpa pertolonganNya saya tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas di kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Bekasi Program Studi Kedokteran Universitas Trisakti.
Saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing,
khususnya Dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A, yang telah membimbing dalam melaksanakan
kepaniteraan dan menyusun makalah ini.
Saya menyadari dalam makalah ini tentu masih terdapat kekurangan, oleh karena itu
saya memohon saran dan kritiknya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta
menambah wawasan kepada pembaca.
Terima kasih.
Jakarta, Juni 2013

Penyusun

DIFTERI

PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau
mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium
Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini.(1)
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan
sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme
pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui
kontak dengan penderita maupun carrier.(2)
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Bayi
baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang
pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini
telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.(5)
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang
masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah
berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup
tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat
adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis.(3)
ETIOLOGI
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat
dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman
tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu
3

(yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi,
dan bila direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang
sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna
metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada
membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa atau sukrosa.(4)
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan
mitis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan
mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun
in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek) yaitu suatu
uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen
A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk
membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya
biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.(1)
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak
pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
4

ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2)


yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase
melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADPribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersamasama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.(1)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi. Apabila pasien tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.(4)

GEJALA KLINIS
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor
primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya
datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.(3)
1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun
1954, fokus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring
dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi
tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39C.
2. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane.
Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan
tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan
gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.(4)
3. Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi
faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang
meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior,
hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran
limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Selanjutnya gejala tergantung dari
6

derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral,
disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur
dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.(6)
4. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri
laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan
epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik
kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi
laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila
terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila
difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak
merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
5. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban
yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan
membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari
impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan
kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah
terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri,
sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi
saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteri kulit.

6. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga


C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat
lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan
saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi,
pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari
penyebab bakteri dan virus lain.(7)
DIAGNOSIS
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
sangat mempengaruhi prognosa penderita.(3) Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejalagejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat
dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih
akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada
media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes
Elek).(1)
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri
agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan
lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di
bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke
uvula.(4)
DIAGNOSIS BANDING
Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common
cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan
oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa, tonsillitis
membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.

Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai


infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan
benda asing dalam laring.
Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan
oleh streptokokus atau stafilokokus.(1)
KOMPLIKASI
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi tumpangan oleh
kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema jalan nafas, sistemik; karena
efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan ginjal.(3)
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi gejala
kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun pengobatan. Infeksi ini
dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok. Panas tinggi terutama didapatkan
pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan streptokok. Mengingat adanya
infeksi tumpangan ini, kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri
pada anak.(7)
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membrane difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servical.
Kasus septikemi yang jarang dan secara umum mematikan telah diuraikan. Kasus
endokarditis sporadik terjadi, dan kelompok-kelompok pengguna obat intravena telah
dilaporkan di beberapa negara; kulit adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua
strain adalah nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain
nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang diisolasi dari
tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan tanpa pertimbangan
wujud klinis yang teliti.(5)
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi
pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi resiko komplikasi yang
berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring lokal
9

eksudatif dan penundaan pemberian antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi
pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara
akut seawall 1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi diluar proporsi demam lazim dan dapat
merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom. Pemanjangan
interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada elektrokardiogram relative merupakan
tanda yang lazim. Disaritmia jantung tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti
blockade jantung derajat I,II dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler.
Gagal jantung kongestif klinis mungkin mulai secara tersembunyi atau akut. Kenaikan kadar
aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan mionekrosis. Disaritmia
berat menramalkan kematian. Penemuan histologik pascamati dapat menunjukkan sedikit
mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup dari disaritmia yang
lebih berat dapat mempunyai defek hantaran permanent; untuk yang lain, penyembuhan dari
miokardiopati toksik biasanya sempurna.
Neuropati toksik, komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan
pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring,
sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle. Kelemahan nervus faringeus,
laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar
menelan, dan resiko kematian karena aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke5 dan menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai
strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya
1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit motor
dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai menyebar
kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal pada yang kedua tidak
dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal polineuropati sindrom
Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan
sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor
yang dapat menyebabkan hipotensi atau gagal jantung.(1)
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi

10

C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
1. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative
2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat,
makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita
diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di
jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.(3)
2. Pengobatan Khusus
2.1 Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian


Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena

11

Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena


Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga
harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain
diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan
dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien,
berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS
intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).(1)
2.2 Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan
organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro,
termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada
resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan
secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis :
12

Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari


atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi
dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati
7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan
berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam
sesudah selesai terapi.(8)
2.3 Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila
terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis
ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
hari.
2.4 Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.

13

2.5 Pengobatan Karier


Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negative tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/ edenoidektomi.(4)
Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

Biakan

Uji Schick

Tindakan

(-)

(-)

Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi


dasar diberikan booster toksoid difteria

(+)

(-)

Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari


oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari
selama 1 minggu

(+)

(+)

Penisilin

100

mg/kgBB/hari

oral/suntikan

atau

eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI


(-)

(+)

Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan


status imunisasi

PROGNOSIS
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran,
status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.(8)

14

Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada
anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak
pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya
trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/

prognosisnya buruk.

Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan
faring (10,5%).(1)

PENCEGAHAN
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan.(5)
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua
preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
15

pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5


Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih
dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan
yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri
yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi
reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandungdifteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat
adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke
tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat
diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan
dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami
lima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang
mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis
ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.(4)

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Rampengan TH, Laurentz IR. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Difteri p.1-18.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2. Herry G, dkk. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua.
Difteri p.173-176. Fakultas Kedokteran Padjajaran. Bandung.
3. NN. Diphtheriae. Available from:
http://rarediseases.about.com/cs/Diphtheriae/a/090703.htm. Accessed on June, 18th 2013.
4. NN.

Diphtheriae.

Availeble

from:

http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/Diphtheri.htm.

Accessed on June, 18th 2013.


5.

Lubis CP. 2012. Available from: http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/Dipteri.pdf.


Accessed on June, 18th 2013.

6. NN. Diphtheriae. Available from: http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?


issn=0019-5456;year=2005. Accessed on June, 18th 2013.
7. NN. Diphtheriae. Available from:

http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299.

Accessed on June, 18th 2013.


8.

Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Difteri p.955-960.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai