Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri
Gram-negatif berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang
merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom
yang disebut whooping cough yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan
paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas,
sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas. 1,2
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak.,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak di
imunisasi. Dengan kemjuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.1
Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan
penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama
batuk. Merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan
attack rate

sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali

dikenali pada abad pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou dan isolasi B.
pertussis sebagai etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906. 1
Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertussis terjadi melalui 4 tahap
yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan
lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Perjalanan klinis penyakit ini dapat
berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, pra paroksismal),
stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
laboratorium. Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal.
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif. Komplikasi terutama
terjadi pada sistem nafas dan saraf pusat. Prognosis tergantung usia anak, anak yang
lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik.
Di Indonsia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada anak
balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan pemberian

imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara dosis satu bulan
sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3 dan 5 tahun. Sejak tahun 1975,
Indonesia telah mengikuti PPI dengan pemberian imunisasi dasar DPT 3 dosis pada
anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3 bulan. Pada pelaksanaannya masih banyak
hambatan, mengingat secara geografis Indonesia beriklim tropis dan terdiri dari
beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang syarat mutlak
keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target yang harus dicakup
yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen dapat diputuskan 3,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent
cough,

dan di Cina disebut batuk seratus hari. Pertusis adalah penyakit

infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh


Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasilus. 1
B. Epidemiologi
Petusis adalah penyakit paling menular yang dapat menimbulkan attack
rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia

merupakan satu-satunya tuan rumah. Pertusis dapat ditularkan melalui udara


secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.
Pertusis adalah penyakit endemik. Penyebaran pertusis di seluruh dunia dapat
menyerang semua golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur dibawah
1 tahun. Makin muda usianya, makin berbahaya penyakitnya, lebih sering
mengenai anak perempuan daripada anak laki-laki. 1,2
Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi,
usia 11-18 tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang
luas. Di Amerika Serikat kurang lebih 355 kasus terjadi pada usia <6 bulan,
termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Kurang lebih 45% penyakit terjadi pada
usia < 1 tahun dan 66% < 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat
tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan. 1,2
Centers of Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2010,
melaporkan kasus pertusis di Amerika Serikat adalah 27.550 kasus dan 27
kasus kematian. Sedangkan pada tahun 2011, kasus pertusis terbanyak pada
usia 11 sampai 19 tahun yaitu sebanyak 47% dan pada anak-anak usia 7-10
tahun sekitar 18% kasus. 1,2

C. Etiologi
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan
dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,
B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang
disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5).
Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran
panjang 0,5 1 um dan diameter 0,2 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora.
Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan
suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glycerol
agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan
organism lain. Dengan sifat sifat pertumbuhan kuman aerob murni,

membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang mengandung


glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolisis3,4,5,6

Gambar 1. Bordetella pertusis

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :


1. Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis
promoting factor, Islet activating protein (IAP).
2. Adenilat siklase luarsel.
3. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxinHA).
4. Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai
Bodetella

Pertusis

seperti

Bordetella

Parapertusis

dan

Bordetella

Bronchoseptica. Untuk membedakan jenis jenis kuman ini, maka di


tentukan dengan reaksi aglutinasi yang khas atau tes tertentu
D. Transmisi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang
tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat
penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat
ditularkan melalui udara secara.
1. Droplet
2. Bahan droplet
3. Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.

E. Patofisiologi
Bordetella pertussis ditansmisikan melalui sekresi udara pernafasan,
dan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh Bordetella pertussis terjadi melalui 4 tahap yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan
lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik 1,2
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor
(LPF)/ pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan
Bordetella pertussis pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis,
kemudian bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran
pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi
bakteremia.

Selama

pertumbuhan

Bordetella

pertussis,

maka

akan

menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal


dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan
penyakit disebabkan oleh karena pertussis toxin. Toksin pertussis mempunyai
2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan
reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah
aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan
magrofag ke daerah infeksi. 1,2,3,4
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur
sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan
fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsengtrasi gula darah..1,3,4
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,
maka fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi
infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H. influenza dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos akan menimbulkan plug yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis
disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan

timbulnya apnue saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat


mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh toksin
langsung atakah sekunder akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang
reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat
menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.
1,3,4

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan


kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan
iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,
menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis
lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis
penyakit ini. Kadang kadang Bordetella pertussis hanya menyebakan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis. 1,3,4

Gambar 2. Perlekatan B. pertusis pada silia traktus respitatorius

Gambar 3. Patogenesis pertusis

F. Gejala Klinis
Masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (1 minggu), sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 sampai 8 minggu atau lebih.
Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu
stadium kataralis (prodromal, pra paroksismal), stadium akut paroksismal
(spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari
etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi. Pertusis pada remaja dapat
dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100% batuk paroksismal, susah
tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah batuk, 30-65% mengalami whoop, 12% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang
atau penurunan kesadaran. 1
a. Stadium kataralis
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian
atas yaitu timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu
tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat
ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah

besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius,


pada tahap ini kuman mudah diisolasi.1
b. Stadium paroksismal/stadium spasmodik
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan
5-10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi
masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop),
udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja,
bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah
dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan
distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah (terutama di
konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi
sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah
batuk

paroksismal

cukup

khas,

sehingga

seringkali

menjadi

kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai


bunyi whoop.1
c. Stadium konvalesens
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan
muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur
menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan
akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan
timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi
berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan
infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.1
G. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. 1
a. Anamnesis
Ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah
serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula
ditanyakan mengenai riwayat imunisasi
b. Pemeriksaan Fisis
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.00050.000/L dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak

menolong untuk diagnosis, oleh karena respons limfositosis juga terjadi


pada infeksi lain. Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk
membuat diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan
positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada
minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. 1,4,5
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur
untuk mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk
dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan
pilihan yang paling tepat karena nilai sensitivitas yang tinggi, namun
belum tersedia. Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan
untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara
ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum
terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan
respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG
toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. 1, 4,5
d. Radiologi
Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis,
atau empisema.
H. Tata Laksana
Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal.
Pemberian eritomisin, klaritromisin, atau azitromisin telah menjadi pilihan
pertama untuk pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50 mg/kgbb/hari
dibadi dalam 4 dosis peroral, maksimum 2 gram per hari) dapat
mengeleminasi organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat
mengeleminasi pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral
sehingga memperpendek periode penularan. Penelitian membuktikan bahwa
golongan makrolid terbaru yaitu azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali
sehari selama 5 hari, maksimal 500 mg/hari) atau klaritromisin (15-20
mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis peroral, maksimum 1 gram perhari selama
7 hari) sama efektif dengan eritromisin, namun memiliki efek samping lebih
sedikit.1
Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan
serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan
pada distres pernapasan yang akut dan kronik.1

I. Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan
melalui imunisasi aktif dan pasif. 1
a. Imunisasi pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune
globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti
tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk
pencegahan. 1
b. Imunisasi aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman Bordetella pertusis yang
telah dimatikan untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi
pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin difteria dan tetanus.
Dosis imunisasi dasar yang dianjurkan 12 UI dan diberikan tiga kali
sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. 1
J. Prognosis
Prognosis tergantung usia anak, anak yang lebih tua mempunyai
prognosis yang lebih baik. Pada bayi risiko kematian (0,5-1%) disebabkan
ensefalopati. Pada penelitian jangka panjang, apnea atau kejang akan
menyebabkan gangguan intelektual di kemudian hari. 1

Daftar pustaka
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Ed.2. Badan
penerbit IDAI; Jakarta: 2010
2. Wertheim H, Horby P, Woodall PJ. Atlas of human infectious disease. Wiley
3.

4.

5.

6.
7.

Blackwell; USA: 2012.


Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson
Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 965
Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto,
Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.
Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7,
volume 2, Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal
: 564 568.
Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan
III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.
Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis.
Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal
331 337.

Anda mungkin juga menyukai