Anda di halaman 1dari 21

Latar Belakang Masalah

Intellectual Property Rightatau Geistiges Eigentum(bahasa Jerman) dapat diterjemahan


kedalam bahasa Indonesia yaitu Hak Atas Kekayaan Intelektual atau sering disingkat HAKI
adalah hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak
eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran pencipta dalam kurun waktu
tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol,
penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan komersil. Salah satu produk HAKI
yaitu Hak Cipta. Adapun pengertian dari Hak Cipta, yaitu hak khusus bagi pencipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Mungkin banyak diantara kita yang tidak sadar bahwa yang kita lakukan dalam kegiatan sehari
hari telah melanggar hak cipta orang lain. Tidak lain dari pelanggaran tersebut adalah kegiatan
membajak. Kegiatan bajak membajak telah diterima dan menjadi suatu kegiatan yang dianggap
halal oleh masyarakat kita. Praktek pembajakan hak cipta di Indonesia dari tahun ke tahun
cenderung meningkat drastis dan sudah sangat memprihatinkan. Salah satu fakta yang ada di
lapangan misalnya terjadi pada industri musik. Menurut catatan Asosiasi Industri Rekaman
Indonesia (ASIRI), pembajakan industri musik di Indonesia menunjukkan angka yang paling
signifikan. Pihak yang paling dirugikan yaitu datang dari pihak musisi atau pencipta lagu yang
hasil karyanya dibajak. Usaha mereka dalam mencari inspirasi lagu serta pengeluaran biaya yang
tidak sedikit dalam proses produksi ternyata tidak dihargai dan dilindungi oleh negara. Hasil
karya cipta mereka dengan mudahnya dibajak dan disebarluaskan oleh orang lain untuk
kepentingan pribadi mereka. Tidak sedikit dari para artis atau musisi yang hasil karyanya
diminati oleh masyarakat ternyata tidak dapat melanjutkan karirnya karena produk mereka yang

dijual secara resmi di pasaran dianggap tidak laku.


Pihak yang paling berpengaruh dalam pembajakan adalah pihak yang mngedarkan. Banyaknya
kaset palsu di pasaran memancing masyarakat untuk membelinya dengan harga yang lebih
terjangkau. Harga satu kepingnya yaitu berkisar antara Rp 5.000,00 Rp 6.000,00. Apabila
dibandingkan dengan harga aslinya, maka akan berlipat 10x menjadi Rp 50.000,00. Inilah yang
menjadi alasan mengapa masyarakat lebih memilih untuk membeli kaset bajakan. Karena lebih
murah, maka mereka mengabaikan akan pelanggaran hak cipta yang telah mereka lakukan.
Secara yuridis, pemerintah pun telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002
tentang Hak Cipta. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 yang merupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 tentang Hak Cipta. Namun, apakah Undang Undang ini
telah mampu menyalurkan efek jera kepada pelaku pengedar kaset bajakan ? Sepertinya masih
banyak pelaku di luar sana yang belum merasakan efek jera dari perbuatannya, serta kesadaran
akan mereka tentang pelanggaran yang dilakukan pun kurang dipedulikan. Dalam hal ini,
Undang Undang tentang Hak Cipta belum mampu mengendalikan maraknya pembajakan kaset
di pasaran.

1.2 Rumusan Masalah

DEFINISI HAK CIPTA

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002, pengertian hak cipta adalah hak khusus bagi
pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun

memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta itu hanya dapat
dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang
hak khususnya yang boleh menggunakan hak cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya
terhadap subjek lain yang menggangu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang
diperkenankan oleh aturan hukum.
Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi arti bahwa selain pencipta maka orang lain
tidak berhak atasnya kecuali atas izin penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan. Hak cipta tidak dapat dilakukan dengan cara penyerahan nyata karena ia
mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud sesuai dengan
penjelasan pasal 4 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002. Sifat manunggal itu pula
yang menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan itu berarti si
pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditur.
Menurut Wikipedia, hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak
eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan
gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu
ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi
penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku
tertentu yang terbatas.

2.2

ISTILAH-ISTILAH DALAM HAK CIPTA

Terdapat 3 (tiga) istilah dalam hak cipta, yaitu:


1)

Pencipta

Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir
suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, cekatan, keterampilan atau keahlian
yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2)

Pemegang Hak Cipta

Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak
tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima
hak tersebut.
3)

Ciptaan

Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

2.3

SEJARAH HAK CIPTA

Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa
Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan
mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari
sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan
karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang
pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.

Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak.
Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan
Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan
tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak
dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain
itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu
selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra) pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur
masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan
secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk
mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si
pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga
terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau
hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern
agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing
tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan
Auteurswet 1912 Staatsblad No. 600 Tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang No. 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia.
Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987, Undang-

undang No. 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 yang
kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan
antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan World Trade Organization WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), yang mencakup pula Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak
Kekayaan Intelektual). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang No. 7
Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property
Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) melalui Keputusan Presiden No.
19 Tahun 1997.

2.4

DASAR HUKUM HAK CIPTA

Indonesia saat ini telah meratifikasi konvensi internasional dibidang hak cipta yaitu namanya
Berne Convension tanggal 7 Mei 1997 dengan Kepres No. 18/ 1997 dan dinotifikasikan ke
WIPO tanggal 5 Juni 1997, dengan konsekuensi Indonesia harus melindungi dari seluruh negara
atau anggota Berne Convention.
Perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-undang No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta ,
kemudian diubah menjadi UU No. 7 tahun 1987, dan diubah lagi menjadi UU No. 12 1987
beserta peraturan pelaksanaannya.
Selain UU tersebut di atas, terdapat dasar hukum lain atas hak cipta, antara lain:

1)

Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World

Trade Organization (WTO)


2)

Undang-undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan

3)

Undang-undang No. 12/1997 tentang Hak Cipta

4)

Undang-undang No. 14/1997 tentang Merek

5)

Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the

Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property
Organization
6)

Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty

7)

Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the

Protection of Literary and Artistic Works


8)

2.5

Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

SIFAT HAK CIPTA

Sifat-sifat hak cipta diatur dalam pasal 3 ayat (1) dan (2) No. 19 Tahun 2002, yaitu:
1)

Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak.

2)

Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena beberapa

hal, seperti pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Serta pasal 4 ayat (1) dan (2) UU yang sama, yaitu:

1)

Hak cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi

milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali
jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
2)

Hak cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia,

menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat
disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.

2.6

FUNGSI HAK CIPTA

Secara umum, fungsi hak cipta diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 19 Tahun 2002:
1)

Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2)

Pencipta dan/ atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program komputer

memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan ciptaannya untuk kepentingan yang bersifat komersial.

2.7

HAK-HAK YANG TERCAKUP DALAM HAK CIPTA

Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta meliputi:


1)

Hak Eksklusif

Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:

a)

Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (pada

umumnya adalah salinan elektronik).


b)

Mengimpor dan mengekspor ciptaan. Menciptakan karya turunan atau derivatif atas

ciptaan (mengadaptasi ciptaan).


c)

Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum.

d)

Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.

Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak
ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang
melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
2)

Hak Ekonomi dan Moral

Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai
penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan
bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan
tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan
tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi
adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak
yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan
dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan
hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas
ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24-26
Undang-undang Hak Cipta.

Perbandingan UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dengan UU Nomor 7 Tahun 1987
sebagai Perubahan Pertama atas UU Nomor 6 Tahun 1982 Pada UU No 7 Tahun 1987 sebagai
Perubahan Pertama terhadap UU No 6 Tahun 1982, lebih diatur lebih jauh dan lebih khusus lagi
terhadap perlindungan karya ciptaan di Indonesia. Pada Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1987
ditambahkan lagi beberapa pengertian istilah yang sebelumnya tidak ada di dalam UU No 6
Tahun 1982, yaitu pengertian Pemegang Hak Cipta dan pengertian Program Komputer.
Sehingga, Pasal 1 yang semula berjumlah 5 butir menjadi 7 butir yang masing-masing
menjelaskan tentang pengertian: Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Ciptaan, Pengumuman,
Perbanyakan, Potret dan Program Komputer. Lalu, UU No 6 Tahun 1982 juga dilakukan
berbagai perubahan dalam bunyi-bunyi pasalnya dalam UU No 7 Tahun 1987, namun secara inti
isi dari pasal-pasal yang diubah tersebut tetap mengatur tentang hal yang sama tidak jauh
berbeda. Dalam UU No 6 Tahun 1982, Pasal 10 ayat (3) dan (4), mengatur tentang suatu Hak
cipta atas ciptaan yang dijadikan milik negara dengan sepengetahuan pemilik Hak Cipta tersebut
dengan Keputusan Presiden dan diberikan sejumlah penghargaan kepada pemilik Hak Cipta
tersebut oleh Presiden. Dalam UU No 7 Tahun 1987, kedua ayat tersebut dihapuskan.
Ditambahkan juga ketentuan mengenai suatu ciptaan yang diketahui belum ada penciptanya,
maka otomatis Negaralah yang memegang Hak Cipta atas karya ciptaan tersebut (Pasal 10 A).
Mengenai jenis-jenis karya ciptaan yang dilindungi oleh UU Hak Cipta, dalam UU No 6 Tahun
1982, jenis karya ciptaan yang dilindungi adalah (Pasal 11 ayat (1)): Dalam undang-undang ini
ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu, sastra dan seni yang meliputi karya: a.
Buku, pamflet dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Ceramah, kuliah, pidato dan sebagainya; c.
Karya pertunjukan seperti musik, karawitan, drama, tari, pewayangan, pantomim dan karya

siaran antara lain untuk media radio, televisi, film dan rekaman; d. Ciptaan musik dan tari
(koreografi), dengan atau tanpa teks; e. Segala bentuk seni rupa seperti seni lukis dan seni
patung; f. Karya arsitektur; g. Peta; h. Karya sinematografi; i. Karya fotografi; j. Terjemahan,
tafsir, saduran, dan penyusunan bunga rampai. Sedangkan, pada UU No 7 Tahun 1987, ayat
tersebut diubah menjadi sebagai berikut: Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi
adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang meliputi karya :
a. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan sebagainya;
c. Pertunjukan seperti musik, karawitan,drama, tari, pewayangan, pantomim dan karya siaran
antara lain untuk media radio, televisi, dan film, serta karya rekaman video;
d. Ciptaan tari (koreografi), ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, dan karya rekaman
suara atau bunyi
; e. Segala bentuk seni rupa sepertiseni lukis, seni pahat, seni patung ,dan kaligrafi yang
perlindungannya diatur dalam Pasal 10 ayat (2);
f. Seni batik;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Sinematografi;
j. Fotografi;

k.Program Komputer atau Komputer Program; l.Terjemahan, tafsir, saduran, dan penyusunan
bunga rampai". Berdasarkan pada kedua bunyi pasal tersebut, dapat ditemukan bahwa UU No 7
Tahun 1987 memperluas jenis-jenis karya ciptaan yang dilindungi sebagai tambahan dari UU No
6 Tahun 1982. Mengenai ketentuan penerjemahan suatu karya ciptaan berbahasa asing ke dalam
Bahasa Indonesia demi kepentingan nasional, yang diatur dalam Pasal 15, kedua undangundang
tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada UU No 6 Tahun 1982, penerjemahan
karya ciptaan berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia bukanlah suatu pelanggaran Hak Cipta
jika ciptaan yang berasal dari negara lain tersebut sedikitnya 3 tahun sejak diterbitkan belum
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah dan penterjemah telah
meminta izin terjemahan dari pemegang hak cipta, tetapi izin itu tidak diperoleh dalam waktu 1
tahun sejak permintaan diajukan. Dan, untuk penterjemahan apabila izin terjemahan dari
pemegang hak cipta tidak turun, dilakukan sesuai izin dari Menteri Kehakiman, dan Menteri
Kehakiman juga harus memberikan imbalan kepada si pemegang hak cipta. Sedangkan pada UU
No 7 Tahun 1987, ketentuan pasal tersebut diubah menjadi : (1). Untuk kepentingan pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kegiatan penelitian dan pengembangan, sesuatu ciptaan yang dilindungi
Hak Cipta dan selama 3 (tiga) tahun sejak diumumkan belum diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia atau diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia, Pemerintah setelah
mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat : a.mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk
melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut di wilayah Negara
Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan; b.mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang
bersangkutan untuk memberikan izin kepada orang lain untuk menerjemahkan dan/ atau
memperbanyak ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang
ditentukan, dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau

menyatakan ketidaksediaan untuk melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud


dalam huruf a; c.melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut,
dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
huruf b. (2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan huruf c
disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan oleh Pemerintah. (3). Pelaksanaan lebih
lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Pasal 16 UU No 6 Tahun 1982 juga mengalami penghapusan, semula pasal ini
mengatur tentang perbanyakan terhadap karya cipta bangsa asing yang diperbanyak di wilayah
Indonesia yang sebelumnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, dalam UU
No 7 Tahun 1987, ketentuan Pasal 16 tersebut dihapus dan diganti dengan ketentuan baru yang
mengatur tentang pelarangan pengumuman setiap ciptaan yang bertentangan dengan
kebijaksanaan Pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan dan ketertiban
umum. Pengaturan tentang masa berlaku Hak Cipta yang telah diatur dalam UU No 6 Tahun
1982 Pasal 26 dan 27, mengalami perubahan di dalam UU No 7 Tahun 1987. Dalam UU No 7
Tahun 1987, Pasal 26 dan 27, masa berlaku Hak Cipta diperpanjang hingga 50 tahun setelah
pencipta meninggal dunia yang sebelumnya hanya 25 tahun saja untuk jenis ciptaan :
a.buku, pamflet dan semua hasil karya tulis lainnya;
b.seni tari (koreografi);
c.segala bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d.seni batik;
e.ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, dan
f.karya arsitektur. Untuk karya ciptaan : a.karya pertunjukan seperti musik, karawitan, drama,
tari, pewayangan, pantomim dan karya siaran antara lain untuk media radio, televisi, dan film,

serta karya rekaman video; b.ceramah, kuliah, pidato, dan sebagainya; c.peta; d.karya
sinematografi, e.karya rekaman suara atau bunyi; f.terjemahan, dan tafsir; berlaku selama 50
(lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Dan yang semula hanya 15 tahun, menjadi 25
tahun setelah karya ciptaan diumumkan untuk jenis ciptaan : a.karya fotografi; b.program
komputer atau komputer program; c.saduran dan penyusunan bunga rampai. Jenis karya
ciptaannya juga disebutkan dalam pasal-pasal tersebut, yang pada UU No 6 tahun 1982 tidak
menyebutkan spesifikasi jenis karya ciptaan apa saja untuk mendapatkan masa berlaku hak
ciptanya. Dalam UU No 6 Tahun 1982, telah diatur mengenai pendaftara

PERBANDINGAN MASING-MASING PERUBAHAN TERHADAP UU HAK CIPTA DI


INDONESIA Perbandingan UU Nomor 12 Tahun 1997 sebagai Perubahan Kedua atas UU
Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta setelah
dilakukan amandemen dengan UU No 7 Tahun 1987, dilakukan perubahan kembali untuk kedua
kalinya dengan UU No 12 Tahun 1997. Perubahan ini memberikan beberapa perubahan dan
tambahan ketentuan yang sebelumnya belum diatur dalam UU No 6 Tahun 1982 sebagaimana
telah diubah dengan UU No 7 Tahun 1987. Pada Pasal 1 tentang Arti Beberapa Istilah,
ditambahkan 4 ketentuan baru yang menjadikan Pasal 1 berubah jumlahnya dari 7 butir menjadi
11 butir. Ketentuan tersebut ialah pengertian tentang istilah Pelaku, Produser Rekaman Suara,
Lembaga Penyiaran dan Kantor Hak Cipta. Ketentuan mengenai pengertian Pengumuman juga
diubah dalam UU ini. Ketentuan pada Pasal 2 juga diubah dengan menambah ketentuan yang
dijadikan ayat (2) dan (3) yaitu ketentuan mengenai hak untuk memberi izin atau melarang orang
lain yang tanpa persetujuan dari Pencipta atau Penerima Hak Cipta menyewakan ciptaan tersebut
untuk kepentingan yang bersifat komersial. Dalam undang-undang ini pada Pasal 10A, diatur
mengenai suatu karya ciptaan yang telah diterbitkan namun belum diketahui siapa pencipta dari
karya tersebut. Hal ini belum ada dalam undang-undang sebelumnya pada pasal yang sama pula,
yang hanya mengatur secara umum tentang karya ciptaan yang belum diketahui siapa
penciptanya, tanpa memperhatikan apakah ciptaan itu telah atau belum diterbitkan. Apabila
ciptaan belum diterbitkan, maka pemegang Hak Cipta adalah Negara, sedangkan apabila ciptaan
telah diterbitkan maka yang memegang Hak Cipta adalah Penerbit. Keduanya dilakukan atas
dasar untuk kepentingan penciptanya. Untuk jenis-jenis karya ciptaan yg dilindungi UndangUndang Hak Cipta, dalam undangundang ini juga dilakukan perubahan lagi, sehingga Pasal 11
ayat (1) menjadi seperti berikut: (1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah

ciptaan dalam ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya: a. buku, program
komputer, pamflet, susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lainnya; b. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. ciptaan lagu
atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan, dan rekaman suara; e. drama, tari
(koreografi), pewayangan, pantomim; f. karya pertunjukan; g. karya siaran; h. seni rupa dalam
segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
seni terapan yang berupa seni kerajinan tangan; i. arsitektur; j. peta; k. seni batik; l. fotografi; m.
sinematografi; n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lainnya dari hasil
pengalihwujudan. Dalam pasal tersebut ditambahkan lagi jenis karya ciptaan dan dijelaskan lebih
spesifik lagi karya ciptaan apa saja yang dapat dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta, yang
sebelumnya belum diatur dalam UU No 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU No
7 Tahun 1987. Sedangkan untuk masa berlakunya suatu ciptaan, ada ketentuan baru yang
memasukkan kategori karya susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, diberikan hak cipta
selama 25 tahun semenjak diumumkannya ciptaan tersebut. Ditambahkan pula pengaturan
mengenai jangka waktu perlindungan bagi hak pencipta yang sebelumnya tidak ada dalam
ketentuan UU No 6 tahun 1982. Disisipkan di antara Pasal 28 dan 29, aturan mengenai hal
tersebut dicantumkan dalam Pasal 28A dan 28B. UU No 12 Tahun 1997 mengatur tentang hal
baru di dalam lingkup Hak Cipta, yaitu peraturan mengenai Lisensi, yang sebelumnya sama
sekali belum muncul dalam UU No 6 Tahun 1982 maupun UU No 7 Tahun 1987. Peraturan baru
ini dicantumkan dalam BAB IIIA tentang Lisensi. Pada bab tentang Lisensi diberikan 3 pasal
sebagai dasar pengaturannya, yaitu Pasal 38A sampai Pasal 38C. Untuk judul pada BAB V
diubah dari Hak dan Wewenang Menuntut menjadi Hak dan Wewenang Menggugat. Lalu

pada Pasal 42 juga dilakukan perubahan dari : (1) Hak cipta memberikan hak untuk menyita
benda yang diumumkan bertentangan dengan hak cipta itu serta perbanyakan yang tidak
diperbolehkan, dengan cara dan dengan memperhatikan ketentuan yang ditetapkan untuk
penyitaan benda bergerak baik untuk menuntut penyerahan benda tersebut menjadi miliknya
ataupun untuk menuntut supaya benda itu dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipakai lagi. Hak cipta tersebut juga memberi hak yang sama untuk penyitaan dan penuntutan
terhadap jumlah uang tanda masuk yang dipungut untuk menghadiri ceramah, pertunjukan atau
pameran yang melanggar hak cipta itu. (2) Jika dituntut penyerahan benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan itu baru
dilaksanakan setelah dibayar ganti rugi oleh orang yang menuntut kepada pihak yang beritikad
baik. (3) Jika ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 merupakan pelanggaran, pemegang
hak cipta berhak mengajukan gugatan ke pengadilan negeri, selain untuk mendapat ganti rugi
juga supaya pengadilan negeri memerintahkan pelanggar mengadakan perubahan sedemikian
rupa, sehingga pelanggaran hak cipta itu ditiadakan, dengan ketentuan bahwa pelanggar
diharuskan membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi apabiln penciptaan sebagimana tertera
dalam Bab III. Pada UU No 7 Tahun 1987, ditegaskan dalam Pasal 29 (4), yang merupakan
ketentuan tambahan yang semula Pasal 29 hanya terdiri dari 3 pasal, mengenai apabila tidak
dilakukan pendaftaran terhadap suatu karya cipta, bukan merupakan halangan bagi pencipta
untuk tidak mendapatkan hak ciptanya. Jadi, ketentuan pendaftaran karya ciptaan itu bukanlah
syarat mutlak untuk didapatkannya hak cipta atas suatu hasil karya cipta. Tentang ketentuan
pidana apabila terdapat pelanggaran terhadap hak cipta, UU No 6 Tahun 1982 di dalam Pasal 44
telah menentukan sanksi-sanksi pidananya. Dan dalam UU No 7 Tahun 1987, ketentuan pidana
dalam Pasal 44 diubah lagi. Berikut adalah perbandingan dari kedua pasal tersebut : - UU No 6

Tahun 1982 Pasal 44 : (1) Barangsiapa dengan sengaja melanggar hak cipta, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,(lima juta
rupiah). (2) Barangsiapa menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan
yang diketahuinya melanggar hak cipta, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,(lima juta rupiah). (3) Barangsiapa
dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (limaratus ribu rupiah). (4) Tindak
pidana tersebut dalam pasal ini adalah kejahatan. UU No 7 Tahun 1987 Pasal 44 :
(1)Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). (2)Barangsiapa dengan
sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana *5853 dimaksud dalam ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (3)Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal
16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
25.000.000,-(dua puluh lima juta rupiah). (4)Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan
Pasal 18, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000,-(lima belas juta rupiah)." Jelas terlihat bahwa dalam UU No 7 Tahun
1987, perlindungan terhadap hak cipta lebih disorot dan diperhatikan dibandingkan dengan UU
No 6 Tahun 1982 seiring dengan penambahan jumlah sanksi pidana apabila terjadi suatu
pelanggaran terhadap hak cipta dan dikategorikan sebagai tindak kejahatan. Di dalam UU No 7
Tahun 1987 ditambahkan satu bab baru yang berbunyi B AB VI A PENYIDIKAN yang

sebelumnya belum diatur dalam ketentuan UU No 6 Tahun 1982. a dalam waktu yang ditentukan
perintah pengadilan negeri itu tidak dilaksanakan, dengan tidak mengurangi tuntutan pidana
terhadap pelanggaran hak cipta . Menjadi : (1) Pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan
gugatan ganti rugi ke pengadilan negeri atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan
terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakannya. (2) Dalam hal terdapat gugatan
untuk penyebaran benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim dapat
memerintahkan bahwa penyerahan itu baru dilaksanakan setelah Pemegang Hak Cipta membayar
sejumlah nilai benda yang diserahkan kepada pihak yang beritikad baik. (3) Pemegang Hak Cipta
juga berhak untuk meminta kepada pengadilan negeri agar memerintahkan penyerahan seluruh
atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah dan pertemuan ilmiah
lainnya, atau pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta atau
dengan cara melanggar Hak Cipta tersebut. (4) Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada
pihak yang haknya dilanggar, Hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan
kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran, dan penjualan ciptaan atau barang
yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta. Dan dalam Bab tersebut juga ditambahkan 2
pasal, yaitu Pasal 43A dan Pasal 43B. Pada UU No 12 Tahun 1997 ini muncul lagi sebuah bab
baru yang sebelumnya belum ada dalam undang-undang yang sebelumnya, yaitu
BAB VA mengenai
HAK-HAK YANG BERKAITAN DENGAN HAK CIPTA
. Diberikan 3 pasal yang memberikan ketentuan untuk hal tersebut. Salah satu dari ketiga pasal
tersebut memberikan ketentuan jangka waktu perlindungan bagi : a. Pelaku yang menghasilkan
karya pertunjukan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut diwujudkan atau
dipertunjukkan; b. Produser rekaman suara yang menghasilkan karya rekaman suara berlaku

selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut selesai direkam; c. Lembaga penyiaran yang
menghasilkan karya siaran berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak karya siaran tersebut
pertama kali disiarkan. Pada UU No 7 Tahun 1987, Pasal 45 ditentukan mengenai ciptaan atau
barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta dirampas untuk Negara guna dimusnahkan.
Dalam UU No 12 Tahun 1997, ditambahkan ketentuan baru untuk ciptaan yang merupakan hasil
pelanggaran Hak Cipta diserahkan kepada Pemegang Hak Cipta, sepanjang Pemegang Hak Cipta
yang bersangkutan telah mengajukan gugatan perdata atas perkara pelanggaran Hak Cipta
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 42.

Daftar pustaka
Soelistyo Henry 2011 , Hak cipta tanpa hak moral , Jakarta . Pt . raja grafindo
persada
Hutagalung maru sophar 2012 , hak cipta ,jakarta . sinar grafika
Harjowidigdo rooseno 1992 , mengena; hak cipta idonesia , jakarta . pustaka sinar
Hariyani iswi 2010 , prosedur mengurus haki yang benar , yogyakarta . pt. Suka
buku

Budi agus riswandi m. Syamsudin 2005 , hak kekayaan intelektual dan budaya
hukum , jakarta . pt. Raja grafindo

Anda mungkin juga menyukai