Anda di halaman 1dari 3

Tinjauan mengenai sifat hukum klausula Arbitrase

Dalam Suatu perjanjian antara para pihak atau suatu hubungan bisnis, selalu ada
kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang terjadi seringkali terkait dengan
pelaksanaan klausul perjanjian, isi perjanjian yang dipahami berbeda oleh masing-masing
pihak untuk menyelesaikan sengketa tersebut Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman memberikan pilihan untuk menyelesaikan sengketa ini yaitu dapat di
pengadilan maupun di luar pengadilan1.
Salah satu bentuk Penyelesaian di luar pengadilan adalah Arbitrase, mengenai
Arbitrase ini Subekti menyatakan bahwa Arbitrase adalah pemutusan suatu sengketa oleh
seorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa sendiri, di luar
Hakim atau Pengadilan2.
Sedangkan Pengertian Arbitrase mengenai Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yaitu cara penyelesaian suatu Sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa3
Dari Definisi Arbitrase menurut Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tersebut dapat
terlihat bahwa ketentuan mengenai Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa dalam Undangundang ini akan berlaku jika ada perjanjian Arbitrase atau dengan kata lain Perjanjian ini
yang dibuat oleh para pihak untuk menyerahkan setiap sengketa kepada arbitrase merupakan
kepada Arbitrase merupakan dasar hukum bagi eksistensi arbitrase 4. Mengenai perjanjian
Arbitrase inipun undang-undang ini telah mendefinisikan yaitu Perjanjian Arbitrase adalah
suatu kesepakatan berupa kausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa 5. Dari rumusan pasal tersebut perjanjian
arbitrase terdiri dari 2 macam yaitu Perjanjian yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa dan suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa. Kemudian dari hal tersebut muncullah suatu pertanyaan yaitu bagaimana sifat
hukum dari klausula Arbitrase tersebut.
Dalam perkembangannya klausula arbitrase (arbitration clause atau clause
compromissoire) menjadi salah satu klausul dalam satu perjanjian atau kontrak dagang.
Klausul ini memuat kesepakatan para pihak untuk menyerahkan sengketa dagangnya sebagai
pelaksanaan dari kontrak yang mungkin timbul di masa depan kepada suatu badan arbitrase.
Seperti yang telah sedikit disinggung pada paragraf sebelumnya fungsi utama dari klausul
atau perjanjian tersebut menjadi sumber kewenangan dari peradilan arbitrase. Pada
prinsipnya suatu peradilan arbitrase hanya dapat melaksanakan kekuasaan demkian karena
para pihak sepakat untuk memberikan kekuasaan demikian. Prinsip yang telah diterima
umum adalah, kesepakatan para pihak melahirkan hukum prinsip ini berlaku pula terhadap
kesepakatan para pihak yang tertuang dalam klausul atau perjanjian arbitrase. Sehingga dapat
pula dinyatakan di sini bahwa klausul arbitrase yang berasal dari kesepakatan para pihak
adalah the law of the parties6.
1

Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009
No. 157, TLN No. 5076, Pasal 58.
2
Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1995, hal. 181.
3
Indonesia, Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30
Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 138, TLN No. 3872, Pasal 1 angka 1.
4
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sangketa: Suatu Pengantar, Fikahati
Aneska, Jakarta, 2002, hal. 91.
5
Indonesia, op.cit.,Pasal 1 angka 3.

Dihubungkan dengan pasal 1233 KUHPerdata maka jika klausula Arbitrase ini
merupakan perjanjian seperti disebutkan sebelumnya maka Kesepakatan untuk menggunakan
jalan Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa timbul dari adanya perjanjian. Sekilas jika kita
melihat konstruksi dari timbulnya perjanjian Arbitrase melalui klausula arbitrase tersebut
dapat dilihat klausula Arbitrase Bersifat Accesoir atau dengan kata lain perjanjian tambahan
yang tergantung pada perjanjian pokoknya 7, akan tetapi dalam UU no. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alterbnatif Penyelesaian Sengketa pasal 10 huruf f, g, dan h yaitu :
Suatu Perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut
dibawah ini :
a.
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan arbitrase tersebut.
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok8.
Hal tersebut menjadikan klausula Arbitrase tidaklah mutlak bersifat accesoir sehingga
ketika perjanjian pokoknya batal tidaklah serta merta klausula arbitrasi tersebut batal. Adolf
Huala menjelaskan bahwa pengaturan mengenai Klausula Arbitrasi tersebut sebagai
karakteristik klausula Arbitrasi yang bersifat otonom (autonomy). Istilah yang juga digunakan
adalah doktrin separabilitas (doctrine of separability) dari klausul arbitrase. Menurut doktrin
ini meskipun klausul arbitrase adalah salah satu klausul dalam suatu kontrak, karakteristik
dari klausul Arbitrase tidaklah merupakan bagian atau tambahan (accesoir) dari kontrak.
Karena itu batal atau berakhirnya kontrak tidak serta merta membatalkan atau mengakhiri
klausul arbitrase9. Huleatt-James dan Gould seperti dikutip oleh Adolf Huala berpendapat
bahwa doktrin separabilitas mengakui kesepakatan para pihak yang menghendaki
sangketanya diselesaikan oleh badan arbitrase meskipun kontraknya tidak lagi berlaku10.
Hal ini yang menjadikan klausula arbitrase adalah perjanjian yang unik yaitu bukan
bersifat Asesor namun yang pasti bukan pula merupakan perjanjian pokok, Adolf Huala
mengatakan suatu terminologi tersendiri yaitu sui-generis. Artinya, karakteristik separabilitas
dari klausul arbitrase mempunyai sifat khusus. Karena sifatnya yang sui-generis ini dapat
dinyatakan disini bahwa dalam kontrak yang terdapat klausul arbitrase di dalamnya,
sebenarnya terdapat 2 kontrak yang terpisah. Pertama, kontrak yang memuat hak dan
kewajiban para pihak di bidang perdagangan. Kedua, kontrak yang memuat kewajiban para
pihak untuk menyelesaikan sengketanya yang timbul dari pelaksanaan hak dan kewajiban
dari kontrak.
Kontrak pertama bersifat otomatis berlaku sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukn
dalam kontrak. Sedangkan kontrak kedua hanya akan berlaku atau berfungsi manakala timbul
sengketa di antara para pihak sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak yang mereka sepakati.
Ada beberapa tujuan dari diadopsinya doktrin separabilitas ini yaitu :
Pertama, menurut Gilis Wetter yang menggunakan efektifitas dari proses arbitrase.
Menurutnya karakteristik independensi dari klausul arbitrase dibutuhkan untuk efektifnya
suatu proses arbitrase. Kedua dilihat dari trafaux preparatoire sewaktu Model Law Arbitration
UNCITRAL dibahas. Waktu itu para perancang Model Law sepakat bahwa karakteristik
Independensi klausul arbitrase ini diperlukan semata-mata untuk memberi dasar hukum bagi
badan arbitrase untuk menentukan sendiri status kewenangannya terhadap suatu sengketa11.
6

Huala Adolf, Syarat tertulis dan Independensi Klausul Arbitrase, Indonesia Arbitration No. 6 Tahun
2009, Hal. 24.
7
Subekti, Op. Cit., hal. 164.
8
Indonesia, Op.Cit., Pasal 10.
9
Huala Adolf, Op. Cit., hal. 29.
10
Ibid., hal. 30.
11
______, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal 85.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sifat hukum dari klausula arbitrase tersebut adalah
tidak mutlak accesoir walaupun didasarkan pada Perjanjian pokok, namun tidak juga dapat
dikatakan sebagai perjanjian pokok yang tersendiri akan tetapi dapat disebut dengan istilah
lain yaitu sui-generis yang mana hal ini berkembang dari dianutnya doktrin separabilitas
dalam UNCITRAL dan kemudian masuk dan diadopsi dalam UU nomor 30 tahun 1999.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adolf, Huala, 1994, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
H. Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sangketa: Suatu
Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska.
Artikel
Adolf, Huala Syarat tertulis dan Independensi Klausul Arbitrase, Indonesia Arbitration No.
6 Tahun 2009
Undang-undang
Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN
Tahun 2009 No. 157, TLN No. 5076
Indonesia, Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No.
30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 138, TLN No. 3872

Anda mungkin juga menyukai