Anda di halaman 1dari 8

MITOS - MITOS DAN IDEOLOGI NYA

MATAKULIAH SEMIOTIKA

OLEH:
TUTWURI AMBAR SARI (K3215059)

PROGRAM STUDI PENDIDIDKAN SENI RUPA


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVESITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016

BERIKUT ADALAH BEBERAPA MITOS DAN IDEOLOGI DI BALIKNYA.


1. MITOS PERTEMUAN KANJENG RATU KIDUL DENGAN PANEMBAHAN
SENOPATI
Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan
tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya
sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di
tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat
desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah
badai dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya,
ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih.
Bencana alam ini menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul
dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.
Dalam pencariannya, Kanjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang
bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang
Panembahan Senopati. Pada waktu Kanjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati,
kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kanjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi
keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan
menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan
keinginannya.
Kanjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai Penguasa di Laut Selatan
dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kanjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk
membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila
terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya
bersedia menjadi suami Kanjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi
persyaratan Kanjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara
Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi
kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup
kembali.
Adanya perkawinan itu mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan
bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram
dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi
maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.
Berikut adalah ideologi yang berkembang di masyarakat:
Ada yang menafsirkan bahwa perkawinan itu hanya upaya legitimasi politik
panembahan senopati agar semakin ditakuti dan disegani lawan lawan
politiknya, sehingga dia merekayasa cerita tidak masuk akal.
Dan di masyarakat ada yang menafsirkan secara filosofis bahwa perkawinan
Knjeng Ratu kidul dengan Panembahan senopati itu sesungguhnya sebuah
uapaya Gusti agar manunggal dengan kawulo dengan cara mengayomi lahir dan
batin para kawulo sehingga raja menjadi ratu adil.

2. PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA


Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat
pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kanjeng Ratu Kidul, oleh karena itu letak
Panggugu Sangga Buwana tersebut persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo
yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja sebab
datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan. Pada puncak bangunan Panggung Sangga
Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang
dikendarai oleh manusia sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan
sekedar hiasan semata tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila
diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu berbunyi Naga Muluk Tinitihan
Janma, yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang merupakan tahun berdirinya
Panggung Sangga Buwana (Naga=8, Muluk=0, Tinitihan=7, dan Janma=1)
Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan bentuknya yang
segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian atas bangunan yangberbentuk seperti
topi, 7 adalah manusia yang mengendarai naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai
tiang atau bentuk bangunannya yang seperti tiang.
Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga bumi
memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas. Didalam lingkungan
masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di
kota Solo tidak boleh melebihi dari Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat
menghormati rajanya dan mempercayai akan kegiatan yang terjadi di puncak bangunan
tersebut sehingga apabila ada bangunan yang melanggarnya maka akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.
Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan atau hasta walu
dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu diartikan sebagai hasta brata yang
menurut filosifi orang Jawa adalah sifat kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin
mempunyai sifat yang demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi pada alam karana
dengan alam mereka dapat menikmati hidup dan merasakan komunikasi batin manusia
dengan Sang Pencipta. Orang Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan yang
tidak menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan jauh dari situasi
manusiawi.
Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga melambangkan
sebagai simbol lingga yang yang berdampingan dengan yoni yaitu Kori Srimanganti.
Dalam kepercayaan agama hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Shiwa atau
Dewa Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir atau terekam dalam bentuk
ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa sebagai perantara kelahiran manusia
yang juga mengingatkan hidup dalam alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan
kebawah serta ke kanan dan ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia harus
selalu ingat adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui bahwa manusia hanya

sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke kanan dan ke kiri dapat diartikan manusia selalu
hidup bermasyarakat.
Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan juga sebagai
suatu kekuatan yang dominan disamping menimbulkan lingga-yoni yang juga merupakan
lapisan inti atau utama dari urut-urutan bangunan Gapura Gladag di Utara hingga Gapura
Gading di Selatan. Lingga dan yoni merupakan kesucian terakhir dalam hidup manusia,
hal ini kemudian menimbulkan sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni
terjadilah manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya dengan filsafat
bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup.
Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti sebagai yoni, juga
merupakan suatu pasemon atau kiasan goda yang terbesar. Maksudnya, lingga adalah
penggoda yoni, dan sebaliknya yoni merupakan penggoda lingga. Seterusnya, panggung
dan kori itu juga merupakan lambang yang bisa diartikan demikian: seorang lelaki dalam
menghadapi sakaratul maut, yaitu ketika ia hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia
akan sangat tergoda oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya wanita, ketika
dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda atau sangat teringat akan pria
atau kekasihnya. Begitulah makna yang terkandung atau perlambang yang terkandung di
dalam Panggug Sangga Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan.
Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari segi
historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk mengintai kegiatan di Benteng
Vastenburg milik Belanda yang berada disebelah timur laut karaton. Memang tampaknya,
walaupun karaton Surakarta tuduk pada pemerintahan Belanda, keduanya tetap saling
mengintai. Ibarat minyak dan air yang selalu terpisah jelas kendati dalam satu wadah.
Belanda mendirikan Benteng Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton, sedangkan
PB III yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan Panggung Sangga
Buwana untuk mengintai kegiatan beteng.
Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya Belanda curiga
terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di tegur, PB III berdalih bahwa
panggung tersebut didirikan untuk upacara dengan Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa
tendensi politik sedikitpun.
Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut tutup saji.
Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara strategis dan filosofis atau spiritual
adalah:
Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan sekitarnya. Untuk dapat
melihat kota Solo dari lantai atas panggung dan tidak sembarangan orang yang dapat
menaiki, ada petugas yang memang bertugas untuk melihat dengan menggunakan
teropong atau kadang-kadang raja Surakarta sendiri yang melakukan pengintaian. Pada
jaman dulu raja sering naik keatas untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan
musuh.

Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana merupakan salah satu
tempat yang mempunyai hubungan antara Kengjeng Ratu Kencono Sari dengan raja Jawa
setempat. Hal yang memperkuat keyakinan bahwa raja-raja Jawa mempunyai hubungan
dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu Kencono Sari yang dipercaya sebagai
penguasa laut dalam hal ini di Laut Selatan dan raja sebagai penguasa daratan, jadi
komunikasi didalam tingkatan spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan
Kangjeng Ratu Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak geografis
Nusantara sebagai negara maritim.
Ideologi :
Pertahanan. Pengawasan terhadap wilayah kekuasaan.
4. MITOS JAKATARUB MENIKAH DENGAN NAWANGSIH BIDADARI
KAYANGAN
Dalam mitos ini diceritakan ada seorang pemuda bernama Jaka Tarub yang
memiliki kesaktian yang menikah dengan salah seorang bidadari yang selendangnya ia
ambil dan ia sembunyikan sehingga bidadari tersebut tidak bisa kembali ke kayangan.
Bidadari itu bernama nawangwulan mereka menikah dan memiliki anak bernama
nawangsih. Hingga suatu saat nawangsih mengetahui bahwa jaka tarublah yang
menyembunyikan selendangnya sehingga ia meninggalkan jaka tarub ke kayagan dan
hanya kembali ketika hendak menyusui anaknya nawangwulan .
Begitulah cerita yang berkembng di masyaakat. Kisah jaka tarub ini di abadikan
dalam naskah populer Sastra Jawa Baru Babad Tanah jawi. Kisah ini berputar pada
kehidupan tokoh utama yang bernama Jaka Tarub (pemuda tarub). Setelah dewaa ia
digelari Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub adalah tokoh yang dianggap sebagai leluhur
dinasti Mataram, dinasti yang menguasai politik tanah Jawa, sebagian atau seluruhnya,
sejak abad ke-17 hingga sekarang. Menurut sumber masyarakat di desa Widodaren, Gerih
,Ngawi , peristiwa itu terjadi di des tersebut. Sebagian masyarakat setempat percaya
karena terdapat petilasan makam Jaka tarub di desa tersebut. Di desa ini juga terdapat
sendang yang konon dulu adalah tempat para bidadari mandi.
Babad Tanah Jawi adalah naskah sejarah Kesultanan Mataram. Pemberitaan
tentang Panembahan Senopati dan para penggantinya. Ada yang berpendapat Kesultanan
Mataram didirikan oleh keluarga petani bukan keluarga bangsawan oleh karena itu, demi
mendapatkan legitimasi dan pengakuan dari rakyat Jawa, diciptakan tokoh-tokoh yang
istimewa sebagai leluhur Mataram.
Ideologi:
Lgitimasi politik dan pengakuan.

5. MITOS LARANGAN MENYAPU DI MALAM HARI


Pada mitos ini masyarakat dilarang untuk enyapu di malam hari dengan adanya
embel-embel berupa akibat yang akan terjadi apabila hal tersebut dilakukan. Akibat
yang seringkali dikatakan adalah orang tersebut akan sulit mendapatkan rezeki, dan ada
pula yang mengatakan menyapu di malam hari mebuang berkah atau rezeki. Ada juga

yang menghubungkan dengan makhluk halus , yaitu menyapu di malam hari dapat
membangun kan mahluk halus.
Namun hal ini tentunya berbeda dengan penjelasan logis yang sebenarnya berkaitan pula
dengan dengan keberadaan mitos ini.

Ideologi: Kedisiplinan .
Alasan logis dikaitkan dengan waktu menyapu, karena bahwa pada waktu malam
hari akan semakin gelap. Hal inilah yang akan menyebabkan gangguan
penglihatan, apabila penglihatan terganggu juga akan mengganggu pada tingkat
kebersihan dari tempat yang disapu. Bisa saja kotoran yang hendak disapu justru
tidak terbuang.
Alasan logis selanjutnya adalah kondisi tubuh. Apabila tubuh kelelahan
setelah aktivitas seharian sudah tentu akan mengurangu tingkat fokus saat
menyapu. Sehingga banyak kemungkinan berbahaya seperti dsengat kalajengking
atau serangga.

6. MITOS PENGANTEN HARUS DIPINGIT


Menurut kepercayaan turun temurun,sebelum menikah sang calon pengantin tak
boleh keluar rumah dan setelah menikahpun tidak poleh keluar rumah sebelum sepagut
(35 hari) atau paling tidak selama sepasar (45 hari). Konon jika itu dilanggar akan
menyebabkan musibah.
Sebenarnya alasan untuk melarang alasan melarang calon pengantin keluar
rumah sebelum pernikahan adalah ketakutan jika terjadi sesuatu menjelang pernikahan
itu, yang menyebabkan gagalnya pernikahan. Logikana semua persiapan yang telah di
lakukan dengan matang dan dengan waktu yang lama maka dari itu untuk meminimalisir
kegagalan pernikahan sang pengantin harus dipingit. Dan setelah menikahpun belum
boleh bepergian jauh dengan alasan jika ada musibah dan dapat menghilangkan kedua
atau salah satu nyawa dari sang pengantin.
Ideologi:
Penenangan /persiapan sebelum akad nikah.
7. MITOS MANDI DI MALAM HARI DAPAT MENYEBABKAN REMATIK
Di indonesia , entah sejak kapan , masyarakat awam telah lama sekali memegang
paham yang amat sangat keliru terkait masalah mandi malam hari . mereka yang tidak
melihat dari sudut pandang kedokteran mengenai masalah ini mungkin akan menjawab
kalau benar rematik disebabkan oleh mandi malam hari.
Perlu dijelaskan sebelumnya , rematik merupakan penyakit yang terjadi ketika
persendian mengalami peradangan. Para dokter mengatakan bahwa hingga dtik ini
belum ditemukan pasti apa penyebab dari pnyakit rematik. Namun dugaan yang
seringkali muncul adlah kelainan genetik sebagai pemicunya. Orang dengan usia 20-45
tahunlah yang kerap menjadi sasarannya.
Ideologi:
Kedisiplinan dalam merawat tubuh.

8. MITOS BERADA DI KAMAR MANDI TERLALU LAMA AKAN CEPAT


TUA
Secara logis tentu tidak dapat diterima oleh akal, bahwa berlama-lama di kamar
mandi akan menjadi tua, sekalipun demikian jika diperhatikan pamali tersebut
menunjukkan bahwa orang yang terlalu lama berada di kamar mandi juga harus
memeperhatikan orang lain yang juga ingin menggunakan kamar mandi teraebut dalam
waktu yang wajar, berarti orang tersebut selalu menempatkan kepentingan orang lain
setara dengan kepentingan pribadinya.
Idologi:
Saling menghargai atau toleransi.
9. MITOS KEDUTAN DI MATA
Ada mitos mengatan, jika mata kiri kedutan artinya akan menangis, atau bila
kedutan di mata kanan, ada orang yang merindukan anda. Namun ada penjelasan logis
di balik mitos ini. Menurut Dr. karen Wolfe, mata kedutan bisa menjadi pertanda bahwa
tubuh sedang terjadi gangguan ringan.
Kedutan atau istilah medisnya bhelpharospasm (Beb) adalah kontraksi otot tak
terkontrol yang menyebabkan kontraksi sekitar mata. Jika kedutan tak berhenti bisa jadi
gangguan saraf. Namun jika hanya sesekali bisa jadi itu hanya stress ata kurang tidur.
Ideologi:
Kewapadaan.
Berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Selalu waspada dan selalu ingat
yang maha kuasa.
10. MITOS MAKAN NANAS DAPAT MENYEBABKAN KEGUGURAN
Penjelasan dari mitos ini adalah bahwa yang membuat keguguran itu bukan
karena makan nanasnya, tapi efek setelah makan nanas muda kebanyakan, shingga
serimh ke toilet (diare), kekurangan cairan, hingga berakibat ke janin.
Ideologi:
Menjaga pola makan dan asupan saat hamil.
11. BERMAIN DI WAKTU PETANG DI CULIK WEWE GOMBEL
Hantu wewe gombel sendiri masih menjadi mitos yang kuat di masyarakat.
Keluar malam atau keluar mulai waktu magrib adalah hal yang membuat khawatir orang
tua. Apalagi saat itu penerangan belum seperti sekarang dan sebagai muslim waktu
magrib adalah waktunya beribadah dan mengaji. Maka agar anak tidak keluyuran para
anak akan ditakuti untuk tidak keluar di waktu magrib.
Ideologi:
Keagamaan.

( perintah untuk mengaji di waktu petang/ setelah magrib)


PENDAHULUAN
Mitos adalah cerita masa lalu yang kebanyakan dibuat untuk memberi peringatan kepada
masyarakat terhadap sesuatu dengan bahasa yang melebih-lebihkan. Padahal tujuan yang di
maksud sangat sederhana. Namun masyarakat terlanjur mengartikan berbeda. Namun juga ada
mitos seperti cerita masa lalu dan legenda-legenda yang menjadi sejarah cerita sejarah di
masyarakat. Berikut adalah beberapa mitos yang berkembang di masyarakat beserta penjelasan
logisnya dan ideologi di balik mitos tersebut.

Anda mungkin juga menyukai