BAB 1
PERUMUSAN MATEMATIKA
DARI MASALAH-MASALAH FISIKA DAN KIMIA
1.1
Pendahuluan
Dalam penyelesaian masalah-masalah fisika dan kimia sering
dijumpai bahwa pendekatan secara matematis merupakan jalan terbaik
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Salah satu keuntungan
pendekatan matematis adalah diperolehnya gambaran yang bersifat
kuantitatif. Gambaran kuantitatif ini dapat mempermudah pemahaman
yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah yang ditinjau dan
juga mempermudah pencarian penyelesaian masalah yang dihadapi.
Penyusunan masalah-masalah fisika dan kimia secara matematis
melalui tiga tahapan dasar, yaitu:
1. Menjabarkan masalah-masalah (atau fenomena-fenomena) fisika
dan kimia ke dalam bahasa matematika, sehingga diperoleh
persamaan matematis yang dapat mendekati peristiwa yang
ditinjau (model matematis).
2
2. Menyelesaikan persamaan matematis yang diperoleh.
3. Menginterpretasikan hasil yang didapatkan.
Tipe persamaan matematis yang diperoleh (persamaan aljabar,
persamaan diferensial, persamaan beda hingga, dll.) akan tergantung
baik pada sistem dari peristiwa yang ditinjau maupun pada detail
modelnya.
Penyusunan persamaan matematis memerlukan pemahaman
teori-teori dasar dari peristiwa yang dihadapi, pemahaman konsepkonsep matematika, dan kemam-puan melakukan asumsi-asumsi.
Asumsi-asumsi ini adalah untuk menentukan batasan-batasan model
yang harus selalu diingat saat mengevaluasi hasil yang diperoleh.
Dalam menyusun model matematis dari suatu fenomena fisika dan
kimia digunakan hukum-hukum dasar fisika dan kimia, yaitu
1) Hukum-hukum kekekalan: kekekalan massa
kekekalan energi
kekekalan momentum
2) Hukum-hukum perpindahan (persamaan-persamaan kecepatan)
Proses fisika: Perpindahan massa
Perpindahan panas
Perpindahan momentum
Proses kimia: Kinetika kimia
3) Hukum-hukum kesetimbangan: Kesetimbangan fase
Kesetimbangan kimia
(1.1)
Satuan dari persamaan ini adalah massa per waktu. Jadi besarnya laju
massa masuk atau keluar sistem dapat didekati dengan persamaan:
3
m F
(1.2)
i lajumassakomponen
i
lajumassakomponen
yangtimbuldidalamsistem
masukkedalamsistem keluardarisistem
karenareaksikimia
(1.3)
Satuan persamaan ini adalah massa komponen i per satuan waktu. Jadi
besarnya laju massa komponen i masuk atau keluar sistem dapat
didekati dengan persamaan:
(1.4)
(1.5)
4
Catatan: bila suatu komponen terpakai di dalam sistem, +
generasi diganti dengan deplesi dalam Pers. (1.5).
Aliran massa masuk dan keluar sistem bisa secara konveksi
(karena badan aliran) dan secara molekular (karena difusi). Hanya ada
satu persamaan neraca massa komponen untuk setiap komponen
didalam sistem. Jika ada n komponen didalam suatu sistem, ada n
persamaan neraca massa komponen untuk sistem tersebut. Namun,
satu persamaan neraca massa total dan n persamaan neraca massa
komponen tidak linearly independent, karena jumlah dari tiap-tiap
massa komponen sama dengan massa total. Oleh karena itu, untuk
sistem dengan n komponen hanya mempunyai n persamaan neraca
massa yang linearly independent. Biasanya, digunakan satu
persamaan neraca massa total dan n 1 neraca massa komponen.
Misal, untuk sistem biner (dua komponen), ada satu neraca massa
total dan satu neraca massa komponen.
ke
dalam
sistem
dari
sistem
ke
dalam
sistem
dari
lingkungan
(1.6)
oleh
sistem
terhadap
lingkungan
di dalam sistem
5
(1.7)
Q m C p T
ke
dalam
sistem
dari
sistem
bekerjapadasistem
laju akumulasi momentum
di dalam sistem
(1.8)
A = konstan,
= konstan
h0
d ( V )
dt
dh
dt
k
1 2
t 2 h 1 2 h0
A
(1.9)
12
k
h h0
t
2A
2A
1 2
h0 h 1
k
(1.10)
7
bila tangki kosong berarti V 0,
diperoleh
2A
1 2
t
h0
k
A
D2
atau
h 0,
sehingga
(50) 2 1963,5 cm 2
2 1963,5
(40)1 2 726 detik 12,1 menit
34,21
F
C = ?
8
Anggap:
= konstan
Pengadukannya cukup sempurna, sehingga konsentrasi
larutan keluar sama dengan konsentrasi larutan dalam
tangki
a) Bila F 5 ltr/men.
Neraca massa total:
Fi F
Fi F
dV
dt
(1.11)
dV
0
dt
(1.12)
(1.13)
d (CV )
dt
dV
dC
V
dt
dt
(1.14)
9
substitusikan Pers. (1.12) dan (1.13) ke dalam Pers. (1.14),
didapatkan:
ln C t 80 K1
(1.15)
Kondisi awal (K.A.): pada t 0, C 50 gr/ltr. Dari K.A. dan
Pers. (1.15), diperoleh K1 ln 50. Persamaan (1.15) menjadi
ln C t 80 ln 50
C 50 e t
80
(1.16)
b) Bila F 4 ltr/men.
Neraca massa total:
dV
dt
dV
1
dt
(1.17)
V t K2
(1.18)
V t 400
Neraca massa komponen garam:
L. masuk L. keluar L. akumulasi
(1.19)
10
d (CV )
dt
dV
dC
4C C
V
dt
dt
(5 0 ) ( 4 C )
(1.20)
dC
dt
(1.21)
Contoh 1.3.
Tinjau suatu tangki yang dilengkapi dengan heater seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.3. Cairan masuk ke dalam tangki
dengan laju alir Fi (ft3/men) dan temperatur Ti (oC), dimana
cairan tersebut dipanaskan dengan steam. Laju panas yang
diberikan oleh steam adalah Q. Laju alir cairan keluar tangki
adalah F (ft3/men). Pengadukan sempurna sehingga temperatur
cairan di dalam tangki seragam dan temperatur cairan keluar
sama dengan temperatur di dalam tangki. Turunkan persamaan
diferensial yang menggambarkan temperatur cairan sebagai
fungsi waktu.
11
Penyelesaian:
Ti
Fi
Fi F
Fi F A
dh
dt
(1.22)
(1.23)
Fi c p Ti F c p T Q
d ( A h c p T )
dt
12
d ( hT )
Q
A
cp
dt
dT
dh
Q
Fi Ti F T
Ah
AT
cp
dt
dt
Fi Ti F T
(1.24)
Fi (Ti T )
dT
Q
Ah
cp
dt
(1.25)
F
dT Fi
Q
T i Ti
dt A h
Ah
Ah cp
(1.26)
1.3.1
Perpindahan Momentum
Perpindahan momentum dapat dibagi dalam dua mekanisme
perpindahan, yaitu, perpindahan momentum secara molekular dan
secara konveksi. Perpindahan momentum secara molekular dapat
terjadi disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antar molekul yang
menimbulkan tegangan geser, dan dapat dinyatakan dengan hukum
Newton untuk viskositas, yaitu,
13
x z
dv z
dx
(1.27)
(1.28)
1.3.2
Perpindahan Panas
Dalam subbab ini dibahas dua mekanisme perpindahan panas, yaitu,
konduksi dan konveksi (aliran dan antar fase). Perpindahan panas
konduksi (secara molekular) adalah perpindahan panas pada media
yang tidak bergerak dimana panas berpindah karena getaran molekul
dari satu molekul ke molekul lainnya. Besarnya laju perpindahan
panas konduksi dapat dinyatakan dengan hukum Fourier:
q
dengan:
Q
dT
k
A
dx
(1.29)
14
per satuan waktu per satuan luas.
A = luas permukaan perpindahan panas
k = koefisien konduksi panas/konduktivitas panas
T = suhu
x = posisi/jarak.
Perpindahan panas antar fase misalnya terjadi antara permukaan padatan dengan fluida disekitarnya. Fluksi panasnya dapat
dinyatakan dengan hukum pendinginan Newton:
q
dimana:
Q
h (T f Ts )
A
(1.30)
fluida
padatan
Tf
Ts
Q
15
adalah:
Q U A (Tc T )
dengan:
(1.32)
1.3.3
Perpindahan Massa
Perpindahan massa yang dibahas dalam buku ini adalah perpindahan
massa secara difusi (molekular), perpindahan massa antar fase, dan
perpindahan massa karena konveksi. Perpindahan massa secara difusi
disebabkan oleh adanya gradien konsentrasi. Besarnya laju
perpindahan massa difusi dapat dinyatakan dengan hukum Fick
Pertama, yaitu:
N A D
dimana: NA
D
cA
x
dc A
dx
(1.33)
dimana:
(1.34)
16
Perpindahan massa karena konveksi dapat dinyatakan dengan
N A vz c A
dimana: vz
(1.35)
+ bB
cC
+ dD
(1.36)
b
c
d
B
C
D
a
a
a
(1.37)
Dari Reaksi (1.37) terlihat bahwa untuk setiap mol A yang dikonsumsi,
c a mol C yang terbentuk. Dengan kata lain:
c
laju pembentukan C
(laju pengurangan A)
a
17
dnC
c dn
A
dt
a dt
Dengan cara yang sama, hubungan antara laju pembentukan D dan
laju pengurangan A adalah
dnD
d dn
A
dt
a dt
Hubungan ini secara umum dapat ditulis:
1 dn
1 dn A
1 dn
1 dn
B C D
a dt
b dt
c dt
d dt
(1.38)
r
dimana:
1 1 dn j
V j dt
(1.39)
1 dc j
j dt
(1.40)
18
Pers. (1.36) dapat dinyatakan dengan:
r k n c A cB
(1.41)
k A eE
RT
(1.42)
19
Contoh 1.4.
Sebuah sirip tembaga mempunyai panjang L penampangnya
segitiga (lihat Gambar 1.5). Pada bagian dasar tebalnya W dan
temperaturnya dipertahankan konstan TB. Temperatur udara Ta
dan terjadi kehilangan panas dari sirip ke udara sekitarnya
secara konveksi. Koefisien perpindahan panas antara permukaan
sirip dan udara adalah h Btu/(jam ft2 oF). Bagaimanakah
hubungan antara temperatur sirip, T, dan jarak dari dasar, L-x?
Penyelesaian:
Anggap keadaan tunak, dan ambil elemen volum setebal x
(lihat Gambar 1.6). Perpindahan panas terjadi secara konduksi
dan konveksi (antar fase).
Neraca panas pada keadaan tunak:
L. masuk L. keluar L. genera si 0
qk x A x qk
x x
A x qc 2 A 0 0
Suhu
badan
konstan
TB
(1.43)
udara, Ta
20
L
qc
w1
qk
qk
x x
qc
x
x=0
sedangkan:
(1.44)
w1
x
W
L
w1
W
x
L
(1.45)
W
zx
L
(1.46)
21
Luas A pada konveksi (antar fase) adalah:
sec
A z x z sec
(1.47)
W
z ( x x) q k
L
x x
W
z x qk
L
2 x z sec q c 0
( x q x ) 2 sec q c 0
L dx
(1.48)
q k k
dT
dx
k x
2 h sec (T Ta ) 0
L dx
dx
22
d 2T
dT
2 h L sec
x
(T Ta ) 0
2
dx
kW
dx
(1.49)
Persamaan (1.49) merupakan persamaan Bessel dan penyelesaiannya dibahas dalam Bab 3.
Contoh 1.5.
Turunkan persamaan diferensial yang menggambarkan profil
komposisi di dalam packed bed tube reactor. Packed tube ini
merupakan reaktor katalitik heterogen yang digunakan untuk
mereaksikan komponen A dengan reaksi
A
Produk,
mol
rA k c A
NA
z z
z z
z
z
NA
z0
23
Neraca massa pada keadaan tunak:
A vo c A
A NA
z z
A vo c A
z z
A rA A z 0
dN A
dc A
vo
k cA 0
dz
dz
(1.50)
N A De
dc A
dz
(1.51)
k1
k3
C
k4
k2
berjalan dalam suatu reaktor batch pada kondisi volume dan
suhu konstan. Pada keadaan mula-mula hanya ada satu mol A
dan setiap waktu t ada nA, nB, dan nC mol dari A, B, dan C.
Tentukan perilaku n A (t ) yang digambarkan oleh PDB order
dua.
24
Penyelesaian:
Net laju pengurangan A adalah:
rA k1 c A k 2 c B
(1.52)
(1.53)
(1.54)
(1.55)
Untuk reaktor batch tidak ada aliran masuk dan keluar reaktor,
sehingga Pers. (1.55) menjadi
L. akumulasi L. generasi
Komponen A:
d (c A V )
rA V
dt
dn A
k1 n A k 2 n B
dt
Komponen B:
(1.56)
(1.57)
d (c B V )
rB V
dt
dn B
k1 n A k 2 n B k 3 n B k 4 nC
dt
(1.58)
25
Komponen C:
d (c C V )
rC V
dt
dn A
k 3 n B k 4 nC
dt
(1.59)
dnB
(k1 n A k 2 n B ) (k 3 n B k 4 nC )
dt
(1.60)
dn
dn B
dn
A C
dt
dt
dt
dn B dn A dnC
(1.61)
(1.62)
(1.63)
26
d 2nA
dn A
k1
k1 k 2 n A k 2 ( k 2 k 3 ) n B k 2 k 4 n C
2
dt
dt
v
j 1
j 0
(1.65)
27
k1
k2
+ bB
cC
+ dD
(1.66)
CC C D
C A CB
(1.67)
Ij IIj
dimana: Ij
II
j
(1.68)
28
yj
x j Pjs
P
(1.69)
AB
yA xA
(1 y A ) (1 x A )
yA
xA
,
1 ( 1) x A
AB
(1.72)
yj
xj
Pjs
P
(1.73)
29
yj
dimana
j x j Pjs
P
(1.74)
xiI
xiII
(1.75)
x iII
Contoh 1.7.
Suatu alat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.7 digunakan
untuk ekstraksi kontinyu asam benzoat dari toluen menggunakan air sebagai pelarut (solvent). Kedua aliran diumpankan
ke dalam tangki pencampur dimana keduanya diaduk sempurna,
dan kemudian dialirkan ke tangki pemisah dimana terjadi
pemisahan menjadi dua lapisan. Lapisan atas adalah lapisan
toluen dan lapisan bawah adalah lapisan air. Kedua lapisan
dikeluarkan dari tangki pemisah sendiri-sendiri. Laju alir
campuran toluen+asam benzoat masuk tangki pencampuran
adalah R m3/det dengan konsentrasi C kg/m3 asam benzoat dan
laju alir air masuk tangki pencampuran adalah S m3/det. Laju
alir lapisan toluen dan air keluar tangki pemisah masing-masing
R dan S m3/det. Konsentrasi asam benzoat dalam lapisan toluen
adalah x kg/m3 dan dalam lapisan air adalah y kg/m3. Kedua
aliran yang keluar dari tangki pemisah selalu dalam
kesetimbangan satu dengan yang lainnya, dan dapat dinyatakan
secara matematis dengan
30
ymx
Toluen
+
asam benzoat
air
air
+
asam benzoat
R m3/det toluen
C kg/m3 as. benzoat
air
S m3/det air
y kg/m3 as. benzoat
air
R m3/det toluen
x kg/m3 as.benzoat
air
S m3/det air
31
Anggap:
semua laju alir adalah mantap; karena kedua aliran
masuk dan keluar tahap dengan laju yang sama.
toluen dan air tidak saling campur (immiscible).
Neraca massa asam benzoat pada keadaan tunak:
L. masuk L. keluar 0
R C (R x S y) 0
(1.76)
(1.77)
m RC
R mS
(1.79)
Sy
S m RC
mS
RC
R C (R m S )
R mS
R
Bila
mS
Persamaan (1.80) menjadi
1
E
1
E
(1.80)
(1.81)
(1.82)
32
yaitu bagian asam benzoat yang terekstrak dalam kelompok
tanpa dimensi . Bila S 12R , m 1 8, dan C 1, maka
x
R 1
0,4
R (1 8) 12 R
(1 8) R 1
0,05
R (1 8) 12 R
dan
100% 60%
RC
R 1
Contoh 1.8.
Kerjakan kembali Contoh 1.7, namun sekarang jumlah tahap
yang digunakan untuk ekstraksi asam benzoat dari toluen adalah
dua tahap. Masing-masing tahap masih terdiri dari dua tangki,
yaitu tangki pencampuran dan tangki pe-misah, dengan aliran
counter-current. Sistem aliran ditunjukkan pada Gambar 1.9.
R,C
S
R , x1
Tahap 1
y1
R , x2
Tahap 2
S
y=0
S, y2
y1 m x1
dan
y 2 m x2
(1.83)
33
Neraca massa asam benzoat pada keadaan tunak untuk tahap 1:
L. masuk L. keluar 0
( R C S y 2 ) ( R x1 S y1 ) 0
(1.84)
L. masuk L. keluar 0
( R x1 0) ( R x 2 S y 2 ) 0
(1.85)
dan
y1
m
x2 (R m S )
R
(1.86)
(1.87)
x2
m
R mS
x2 (R m S )
R
m
R 2C
R2 R m S m2S 2
(1.88)
m R C (R m S )
R2 R m S m2S 2
(1.89)
34
Bagian asam benzoat yang terekstrak adalah:
S y1
m S (R m S )
2
RC
R R m S m2S 2
(1.90)
R
1
mS
R2
R
1
2
2
mS
m S
1
1
1 1
2
2 1
E 3
1
(1.91)
S y1
(12 R)(0,066)
100% 79,2%
RC
R 1
35
1-5 Rangkuman
Formulasi peristiwa fisika dan kimia kedalam bahasa matematis
dilakukan dengan menggunakan hokum-hukum dasar fisika atau
kimia. Hukum-hukum dasar tersebut adalah
1. Hukum-hukum kekekalan
kekekalan massa
kekekalan energi
kekekalan momentum
2. Hukum-hukum perpindahan
perpindahan massa
perpindahan energi
perpindahan momentum
3. Hukum-hukum kesetimbangan
kesetimbangan fisika
kesetimbangan kimia
Formulasi peristiwa-peristiwa fisika dan kimia secara matematis
ini melalui tiga tahapan dasar, yaitu:
1. Penjabaran permasalahan fisika dan kimia kedalam bahasa
matematis, sehingga diperoleh persamaan matematis yang
mendekati peristiwa yang ditinjau (model matematis).
2. Penyelesaian model matematis (persamaan aljabar,
persamaan diferensial, persamaan beda hingga, dll).
Analitis
Numeris
3. Interpretasi hasil
1.6
Soal-soal
1.1. Kerjakan kembali Contoh 1.7. Namun, jumlah tahap yang
digunakan untuk ekstraksi asam benzoat dari toluen adalah tiga
tahap. Masing-masing tahap masih terdiri dari dua tangki, yaitu
36
tangki pencampuran dan tangki pemisah, dengan aliran countercurrent.
1.2. Tangki A mula-mula berisi 500 ltr air. Larutan garam yang
konsentrasinya 40 gr/ltr mengalir kedalam tangki A dengan laju
10 ltr/men. Larutan garam yang keluar dari tangki A masuk ke
tangki B dengan laju 10 ltr/men. Ke dalam tangki B juga
ditambahkan make up larutan garam yang konsentrasinya 40
gr/ltr dengan laju 2 ltr/men. Laju alir larutan keluar tangki B
adalah 12 ltr/men. Tangki B mula-mula diisi dengan larutan
garam sebanyak 400 ltr dengan konsentrasi 5 gr/ltr. Anggap
kedua tangki tersebut diaduk sempurna sehingga konsentrasi
garam didalam tangki sama dengan konsentrasi keluar tangki.
Tentukan
(a) Konsentrasi garam keluar tangki B pada waktu 1 jam
(b) Waktu yang diperlukan agar konsentrasi garam pada tangki
A sama dengan konsentrasi garam pada tangki B.
1.3
Suatu tangki berisi 100 ft3 air. 2 ft3 larutan garam dengan
konsentrasi 1 lb/ft3 garam dialirkan ke tangki setiap menit dan
campuran tersebut dijaga homogen dengan pengadukan. Aliran
keluar tangki dengan kecepatan 1 ft 3/menit. Berapakah
konsentrasi larutan garam keluar tangki pada saat volume
larutan garam dalam tangki 150 ft 3.
1.4
37
a)
b)
c)
Bahan B
2 kg/menit
Air
10 L/menit
10 L/menit
Bahan B
1kg/menit
10 L/menit
Glossarium
Hukum kekekalan massa dikenal juga sebagai hukum LomonosovLavoisier adalah suatu hukum yang menyatakan massa dari suatu
sistem tertutup akan konstan meskipun terjadi berbagai macam proses
di dalam sistem tersebut(dalam sistem tertutup Massa zat sebelum dan
38
sesudah reaksi adalah sama (tetap/konstan) ). Pernyataan yang umum
digunakan untuk menyatakan hukum kekekalan massa adalah massa
dapat berubah bentuk tetapi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
Hukum kekekalan energi adalah salah satu dari hukum-hukum
kekekalan yang meliputi energi kinetik dan energi potensial. Hukum
ini adalah hukum pertama termodinamika. Hukum Kekekalan Energi
(Hukum I Termodinamika) berbunyi: "Energi dapat berubah dari satu
bentuk ke bentuk yang lain tapi tidak bisa diciptakan ataupun
dimusnahkan".
Momentum merupakan hasil kali antara massa benda dengan
kecepatan gerak benda tersebut. Jadi momentum suatu benda selalu
dihubungkan dengan massa dan kecepatan benda.
Kinetika kimia atau kinetika reaksi mempelajari laju reaksi dalam
suatu reaksi kimia.
Kesetimbangan kimia adalah keadaan di mana kegiatan kimia atau
konsentrasi reaktan dan produk tidak memiliki perubahan dari waktu
ke waktu.
Hukum Raoult menyatakan bahwa tekanan uap dari suatu larutan
ideal tergantung tekanan uap dari setiap komponen kimia dan fraksi
mol komponen dalam larutan.
Daftar Pustaka
1. Mickley, H. S., T. S. Sherwood, and C. E. Reed, 1975, Applied
Mathematics in Chemical Engineering, McGraw-Hill Book
Company, New York
2. Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc., New
York.
39
BAB 2
REVIEW
PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA
(2.1)
40
Permasalahannya sekarang adalah bukan bagaimana menentukan
turunan dari fungsi y f (x ) ? Tetapi masalahnya adalah jika
diberikan persamaan diferensial (PD) seperti Pers. (2.1), bagaimana
cara menentukan fungsi y f (x ) ?
6 y 0
2
dx
dx
t
x 2
2T
2T
0
x 2
y 2
41
Klasifikasi Berdasarkan Order: Order suatu PD, baik PDB maupun
PDP, adalah order dari turunan tertinggi dalam persamaan tersebut.
Sedangkan derajat suatu PD adalah pangkat tertinggi dari turunan
order tertinggi yang terdapat dalam PD setelah PD tersebut
dirasionalkan dan dibulatkan. Contohnya:
dy
5 y 0
dx
d2y
dy
x
3 y 0
2
dx
dx
d 2y
dy
5
4 y e x (order dua, derajat pertama)
2
dx
dx
d2y
dy
dx
dx 2
32
a 0 ( x)
dny
dx n
a 0 ( x) 0
a1 ( x)
d n 1 y
dx n 1
a n 1 ( x)
dy
a n y g ( x),
dx
(2.2)
42
ter-lihat dua sifat karakteristik dari PD linier:
Variabel terikat y dan semua turunan-turunannya adalah derajat
satu, yaitu, pangkat dari tiap-tiap suku yang melibatkan y adalah 1.
Masing-masing koefisien hanya tergantung pada variabel bebas x.
Persamaan diferensial biasa yang tidak dapat ditulis dalam
bentuk umum di atas dinamakan PDB nonlinier. Misalnya:
d2y
dx 2
dy
y2 0
dx
d2y
sin y 0
dx 2
d2y
dy
y
y0
2
dx
dx
(2.3a)
(2.3b)
(2.3c)
Ketiga persamaan ini adalah PDB order dua nonlinier, karena pada
Pers. (2.3a) pangkat dari y bukan satu, pada Pers. (2.3b) terdapat
fungsi nonlinier dari y; yaitu sin y , dan pada Pers. (2.3c) koefisien
tergantung pada variabel terikat y.
2.2
Persamaan Diferensial Biasa Order Satu
Bentuk umum persamaan diferensial (PD) order satu dan derajat satu
adalah
M ( x, y ) dx N ( x, y ) dy 0
(2.4)
2.2.1
PD Dengan Variabel-Variabel Terpisah
Pada umumnya PD order satu dapat direduksi dengan manipulasi
aljabar menjadi bentuk:
f ( x ) dx g ( y ) dy 0
(2.5)
43
Persamaan ini dikatakan terpisah karena variabel x dan y terpisah
satu sama lainnya, sehingga x hanya ada pada koefisien dx dan y
hanya ada pada koefisien dy. Penyelesaian umumnya adalah
f ( x) dx g ( y ) dy C
(2.6)
dan
f1 ( x) g 2 ( y) dx f 2 ( x) g1 ( y) dy 0
(2.7)
dy
f ( x) g ( y ) 0
dx
(2.8)
f1 ( x)
g ( y)
dx 1
dy C
f 2 ( x)
g 2 ( y)
(2.9)
f ( x) dx
dy
C
g ( y)
(2.10)
44
Jadi proses penyelesaian suatu persamaan yang dapat
dipisahkan seringkali meliputi perkalian dengan faktor pengintegral,
yaitu faktor pengali sehingga PD dapat dipisahkan.
Contoh 2.1.
Selesaikan PD berikut:
x ( y 2 9) dx y (1 x) dy 0
Penyelesaian:
PD di atas dapat direduksi menjadi PD variabel terpisah dengan
mengalikan dengan faktor pengintegral 1 ( y 2 9)(1 x),
hasilnya adalah
x dx
y dy
2
0
1 x
y 9
dimana
ln C 2 C1
C (1 x) 2
e2 x
2
y 9
Contoh 2.2.
Selesaikan PD berikut ini:
dC A
k1 C A
dt
(2.11)
45
Penyelesaian:
Bila Pers. (2.11) dikalikan dengan faktor pengintegral dt C A ,
diperoleh
dC A
k1 dt
CA
ln C A k1 t ln C
C A C exp(k1 t )
Kadang-kadang sangat dianjurkan menggunakan konstanta
integrasi dalam bentuk logaritma bila sebagian besar hasil integrasi
dalam bentuk logaritma.
2.2.3
Persamaan Homogen
Definisi umum dari suatu fungsi homogen x dan y derajat n adalah
gantikan x dengan tx dan y dengan ty, dan sederhanakan persamaan
tersebut. Jika hasilnya merupakan fungsi asli dikalikan dengan tn,
maka fungsi tersebut adalah homogen derajat n.
Dalam bentuk simbolis, fungsi f ( x , y ) disebut homogen
derajat n jika f (tx , ty ) t n f ( x, y ), dimana t adalah sembarang
bilangan selain nol.
Contoh 2.3.
Apakah
fungsi
f ( x, y ) x ln x 2 y 2 ln y y e x y
homogen?
Penyelesaian:
Untuk menjawab pertanyaan ini, gantikan x dengan tx dan y
dengan ty, menghasilkan
46
f (tx , ty ) t x ln t 2 x 2 t 2 y 2 ln t y t y e t x t y
t x ln t x 2 y 2 ln t y t y e x y
t x ln x 2 y 2 ln y y e x y
t f ( x, y )
(2.12)
disebut homogen bila M ( x, y ) dan N ( x, y ) merupakan fungsifungsi homogen berderajat sama. Dengan menggunakan transformasi
y vx atau x vy , maka PD Homogen dapat direduksi menjadi PD
dengan variabel terpisah.
Contoh 2.4.
Selesaikan PD berikut:
( x 2 y 2 ) dx x y dy 0
(2.13)
Penyelesaian:
Persamaan ini adalah homogen, karena seluruh suku-suku dalam
koefisien dari tiap-tiap diferensial adalah derajat dua. Karena itu
substitusikan
y vx ,
dy v dx x dv
47
( x 2 v 2 x 2 ) dx v x 2 (v dx x dv) 0
(1 2v 2 ) dx v x dv 0
0
x
1 2v 2
dimana
ln C 4 C1
x 4 2x 2 y 2 C
2.2.4
Persamaan Eksak
Bentuk umum PD order satu dan derajat satu adalah
M ( x, y ) dx N ( x, y ) dy 0
(2.14)
(2.15)
48
Integrasi persamaan ini menghasilkan
( x, y) C1
(2.16)
dx
dy 0
x
y
(2.17)
Namun, bagaimana kita menggunakan informasi ini untuk menentukan y sebagai fungsi x? Sebenarnya, petunjuk dalam menemukan
adanya penyelesaian eksak terletak pada sifat fungsi kontinyu, yaitu
y x x y
(218)
(2.19)
N ( x, y )
(2.20)
dan
y
x
(2.21)
49
M ( x, y) dx
(2.22)
F ( y)
y
y
atau
M ( x, y) dx
dF ( y )
N ( x, y )
dy
y
dF ( y )
N ( x, y )
dy
M ( x, y) dx
(2.23)
F ( y ) N ( x, y )
y
M ( x, y) dx dy
y
(2.24)
(2.25)
3 x 2 6 xy
x
(2.26a)
50
N ( x, y )
(3 x 2 2 y )
y
(2.26b)
(3 x 2 6 xy ) dx x 3 3 x 2 y F ( y )
y
(2.27)
[ x 3 x 2 y F ( y )] (3 x 2 2 y )
y y
dF ( y )
2 y
dy
51
x 3 3x 2 y y 2 C ,
dimana
C C1 C 2
2.2.5
Persamaan Linier Order Satu
Bentuk umum PD linier order satu adalah
dy
P( x) y Q( x)
dx
(2.29)
I ( x) C e
P ( x ) dx
Karena kita tidak perlu faktor pengintegral yang lebih umum, maka
52
kita pilih C sama dengan satu sehingga faktor pengintegralnya
menjadi
(2.33)
I ( x ) exp P ( x ) dx
1
C
I ( x) Q ( x) dx
I ( x)
I ( x)
Contoh 2.6.
Selesaikan PD linier berikut ini
dy
2 y 3ex
dx
Penyelesaian:
P ( x ) 2 ,
I exp
2 dx exp(2 x)
1
e
2 x
e 2 x 3 e x dx
C
e 2 x
y e 2 x 3 e x dx C e 2 x
y 3 e x C e 2 x
Contoh 2.7.
Selesaikan PD berikut
dc R
k1 c A0 exp(k1 t ) k 2 c R
dt
(2.34)
53
Penyelesaian:
Persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk
dc R
k 2 c R k1 c A0 exp(k1 t )
dt
P(t ) k 2 ,
I ( x ) exp
k dt exp( k t )
2
1
C
exp( k 2 t ) k1 c A0 exp( k1 t ) dt
exp( k 2 t )
exp( k 2 t )
k1 c A 0 exp( k 2 t ) exp[( k 2 k1 )t ] dt C exp( k 2 t )
k1 c A0
exp(k 2 t ) exp[(k 2 k1 ) t ] C exp(k 2 t )
k 2 k1
k1 c A0
exp(k1 t ) C exp(k 2 t )
k 2 k1
2.2.6
Persamaan Bernoulli
Bentuk umum Persamaan Bernoulli adalah
dy
P( x) y Q( x) y n ;
dx
(2.35)
dy
P ( x ) y 1 n Q ( x )
dx
(2.36)
54
Persamaan (2.36) dapat direduksi menjadi persamaan linier dengan
mensubstitusikan:
z y 1 n ,
dz
dy
(1 n) y n
dx
dx
(2.37)
2.2.7
Persamaan Riccati
Persamaan Riccati adalah PD nonlinier. Bentuk umum persamaannya:
dy
P( x) y 2 Q( x) y R( x)
dx
(2.38)
(2.39)
1 du
u dx
dy
1 d 2u
1 du
2 2
dx
u dx
u dx
(2.40)
2
(2.41)
55
Suku nonlinier pada Pers. (2.39) dapat dihilangkan dengan
menyisipkan Pers. (2.40) dan Pers. (2.41) ke dalam Pers. (2.39),
menghasilkan
d 2u
du
Q( x)
R( x) u 0
2
dx
dx
(2.42)
k1
k2
rB k1 C An k 2 C Bm
dC A
k1 C A
dt
(2.43)
56
dC B
k1 C A k 2 C B2
dt
(2.44)
C A C exp(k1 t )
(2.45)
(2.46)
dC B
k1 C A0 exp(k1 t ) k 2 C B2
dt
Bila kedua ruas dibagi dengan k2 dan waktu diganti dengan
k 2 t , didapatkan
k
dC B
k
C B2 1 C A0 exp 1
d
k2
k2
(2.47)
Tansformasikan CB dengan
R( )
k
k1
C A0 exp 1
k2
k2
57
CB
1 du
u d
dC B
1 d 2u
1
2
2
d
u d
u
(2.48)
du
(2.49)
k
k
d 2 u ( )
1 C A0 exp 1 u ( ) 0
2
k2
d
k2
(2.50)
dC A
k1 C A ,
dt
persamaan (2.43)
dC B
k1 C A k 2 C B
dt
(2.51)
dC B
k 2 C B k1 C A0 exp(k1 t )
dt
(2.52)
58
CB
k1 C A 0
[exp( k1 t ) exp( k 2 t )]
k 2 k1
(2.53)
dC B
k C
1 2 B
dC A
k1 C A
(2.54)
dC B
dv
v CA
dC A
dC A
CB v C A ,
Persamaan (2.54) menjadi
v CA
k
dv
1 2 v
dC A
k1
dv
k2
1 v 1
k1
dC A
CA
k1
k2
k2 k1
v
1
1
CA C
k
1
(2.55)
C
k
1 2 1 v A
C A0
k1
( k 2 k 1) 1
59
C
k2
1 v 1 A
C A0
k1
( k 2 k 1) 1
CA
k 2 k1 C A0
2.3
( k 2 k 1) 1
(2.56)
d2y
dy
a1 ( x)
a 0 ( x) y f ( x)
2
dx
dx
(2.57)
60
diperoleh dari penyelesaian lain dengan mengalikan penyelesaian
tersebut dengan suatu konstanta. Misalnya, penyelesaian
y1 C1 exp(2 x)
adalah
linearly
independent
dengan
y 2 C2 exp(3x) , karena kita tidak dapat mengalikan y2 dengan suatu
konstanta untuk mendapatkan y1. Namun, penyelesaian y 3 6 x 2
adalah tidak linearly independent dengan y 4 2 x 2 , karena jelas
terlihat bahwa y3 dapat diperoleh dengan mengalikan y4 dengan 3.
Jadi, untuk persamaan homogen order dua dan linier
penyelesaian umumnya adalah
y c C1 y1 ( x) C 2 y 2 ( x)
(2.58)
2.3.1
Penyelesaian Komplementer
Bentuk PD linier order dua homogen dengan koefisien konstan
d2y
dy
a1
a0 y 0
2
dx
dx
(2.59)
(2.60)
61
C ( r 2 a1 r a 0 ) exp( rx ) 0
(2.61)
(2.62)
(2.63)
exp(bx ) exp( bx )
2
(2.64)
sinh (bx )
exp( bx ) exp( bx )
2
(2.65)
62
exp(bx) exp(bx)
exp(bx) exp(bx)
yc exp(ax) (C1 C2 )
(C1 C2 )
2
2
(2.66)
r1 r2 r , maka
y c (C1 C 2 x) exp( r x)
(2.67)
(2.68)
(2.69)
dengan C 3 C 4 C1 dan (C 3 C 4 ) i C 2 .
(2.70)
63
Contoh 2.9.
Selesaikan PD berikut ini
d2y
dy
6y 0
2
dx
dx
Penyelesaian:
Persamaan karakteristik (PK) dapat diperoleh dengan
menggantikan d 2 y dx 2 dengan r 2 dan dy dx dengan r,
sehingga
r2 r 6 0
( r 2)( r 3) 0
r1 2
dan r2 3
Penyelesaian:
Persamaan karakteristiknya
r2 6r 9 0
( r 3) 2 0
r1, 2 3
64
Karena akarnya sama, maka penyelesaian umumnnya adalah
y c (C1 C 2 x) exp(3 x)
Contoh 2.11.
Selesaikan PD berikut ini
d2y
dy
2
5y 0
2
dx
dx
Penyelesaian:
Persamaan karakteristiknya
r2 2r 5 0
r1, 2
4 (4 5)
2
2 4i
1 2i ; 1 2i
2
2.3.2
Penyelesaian Partikulir
Bentuk PD linier order dua dengan koefisien konstan adalah
d2y
dy
a1
a 0 y f ( x)
2
dx
dx
(2.71)
65
y y c ( x) y p ( x)
(2.72)
66
Contoh 2.12.
Tentukan penyelesaian umum dari PD linier order dua berikut
ini
d2y
dy
2
3 y 3 e2x
(2.73)
2
dx
dx
Penyelesaian:
Pertama adalah menentukan penyelesaian komplementer dengan
menset f ( x ) 0 . Persamaan karakteristik dari persamaan
homogen di atas adalah
r2 2r 3 0
( r 3)( r 1) 0
r1 3
dan
r2 1
(2.74)
(2.75)
67
dimana B adalah koefisien yang akan ditentukan. Caranya
dengan mendiferen-sialkan yp ini dua kali terhadap x, kemudian
sisipkan Pers. (2.75) dan turunan-turunannya ke dalam Pers.
(2.73), kita dapatkan
4 B exp( 2 x ) 4 B exp( 2 x ) 3 B exp( 2 x ) 3 exp( 2 x )
B 1
y p exp( 2 x )
(2.77)
Contoh 2.13.
Selesaikan PD linier order dua berikut ini
d 2 y dy
2 y x2
dx 2 dx
(2.78)
Penyelesaian:
Persamaan karakteristik dari persamaan homogen di atas adalah
r2 r 2 0
( r 1)( r 2) 0
r1 1
dan
r2 2
(2.79)
68
Perhatikan bahwa turunan pertama dan kedua dari f ( x ) x 2
adalah 2 x dan 2, sehingga kita dapat membentuk integral
partikulirnya berupa gabungan linier dari f (x ) dan turunanturunannya dikali dengan suatu koefisien, yaitu
y p A 2 x 2 A1 x A0
(2.80)
2 A 2 (2 A 2 x A1 ) 2 ( A 2 x 2 A1 x A0 ) x 2
2 A 2 x 2 (2 A 2 2 A1 ) x (2 A 2 A1 2 A0 ) x 2
(2.81)
2 A2 1
A 2 1 2
koefisien x
2 A 2 2 A1 0
A1 A 2 1 2
konstanta
2 A 2 A1 2 A 0 0
A0
1
1 1
3
( A1 2 A 2 ) 1
2
2 2
4
(2.82)
69
Dan penyelesaian lengkapnya adalah
1
y C1 exp( x ) C 2 exp( 2 x ) x 2 x
2
(2.83)
Contoh 2.14.
Tentukan penyelesaian umum dari PD linier order dua berikut
ini
d 2 y dy
2 y 3 cos 2 x
(2.84)
dx 2 dx
Penyelesaian:
Penyelesaian komplementer sama dengan contoh sebelumnya.
Sekarang perhatikan turunan pertama dan kedua dari
f ( x ) cos 2 x , yaitu sin 2 x dan cos 2 x. Karena dari fungsi
f (x ) dan hasil turunan berulang muncul suku cosinus dan
sinus, maka bentuk integral partikulir yang disarankan adalah
y p A cos 2 x B sin 2 x
(2.85)
2 A sin 2 x 2 B cos 2 x ,
dx
d 2 yp
4 A cos 2 x 4 B sin 2 x .
dx 2
70
koefisien cos 2 x :
koefisien sin 2 x :
6 A 2B 3
2 A 6B 0
(2.87a)
(2.87b)
9
20
dan
3
20
3
(sin 2 x 3 cos 2 x )
20
(2.88)
Eksponensial
Polinomial
rx
Anx An1xn1
A1xA0 Bn xn Bn1 xn1 B1 x B0
(beberapa harga
Ai
Trigonometri
A1 sin rx A 2 cos rx
(harga
B 1 sin rx B 2 cos rx
A1 atau
A2
boleh sama dengan nol)
71
bentuk integral partikulir juga merupakan jumlah dari bentuk standard
masing-masing integral partikulirnya. Bila f (x ) merupakan hasil
kali dari fungsi-fungsi di atas, maka bentuk integral partikulirnya juga
merupakan hasil kali dari masing-masing bentuk standard integral
partikulir tersebut.
Namun, bila salah satu suku pada penyelesaian komplementer
sama dengan salah satu suku pada fungsi f (x ), maka bentuk
standard integral partikulir seperti pada Tabel 2.1 tidak dapat
digunakan langsung, karena nantinya penyelesaian partikulir tidak
linearly independent dengan penyelesaian komplementer. Oleh karena
itu, bentuk integral partikulirnya harus dimodifikasi. Caranya: Bentuk
standard integral partikulir seperti pada Tabel 2.1 dikalikan dengan
variabel bebas, bila hasilnya masih sama dengan salah satu
penyelesaian komplementer, maka harus dikalikan lagi dengan
variabel bebas, sehingga bentuk integral partikulirnya tidak sama lagi
dengan salah satu penyelesaian komplementer.
Kadangkala koefisien yang ingin dicari tidak dapat ditentukan.
Bila hal ini terjadi maka kita harus mengalikan lagi bentuk integral
partikulirnya dengan variabel bebas, dan begitu seterusnya hingga
koefisien tersebut dapat ditentukan.
Contoh 2.15.
Tentukan penyelesaian komplementer dan partikulir dari PD
berikut ini
d2y
dy
5
6 y exp(2 x)
(2.90)
2
dx
dx
Penyelesaian:
Pertama kita set ruas kanan Pers. (2.90) sama dengan nol,
sehingga persamaan karakteristiknya adalah
r2 5r 6 0
( r 3)( r 2) 0
72
r1 3
dan
r2 2
(2.91)
y p B x exp( 2 x )
73
(2.93)
y p x exp( 2 x )
(2.94)
d2y
dx 2
(2.96)
D( D 2 y ) D 3 y
d3y
dx 3
(2.97)
Dn y
dny
dx n
(2.98)
74
(a) Hukum Distributif.
Hukum ini menyatakan bahwa
(2.99)
A ( B C ) AB AC
(2.100)
(2.101)
(2.104)
(2.105)
(2.106)
75
(2.107)
D ( D y ) ( DD) y
D(e r x ) r e r x
(2.108)
D 2 (e r x ) D ( D e r x ) r 2 e r x
(2.109)
D 3 (e r x ) D( D 2 e r x ) r 3 e r x
n
rx
n 1 r x
n rx
D (e ) D( D e ) r e
(2.110)
D
r 2r
r n ) er x
) e (r
P ( D)
atau
P(r )
P ( D) e r x P ( r ) e r x
(2.111)
D 2 ( f ( x) e r x ) D e r x [D f ( x) r f ( x)]
(2.112)
76
e rx ( D 2 rD) f ( x) r e rx ( D r ) f ( x) e rx ( D r ) 2 f ( x)
(2.113)
D 3 ( f ( x) e r x ) D e r x ( D 2 2 r D r 2 ) f ( x) e r x (D r ) 3 f ( x)
n
rx
D ( f ( x) e )
e r x (D r ) n f ( x)
(2.114)
Bila operator-operator D ini dijumlahkan, menghasilkan
P ( D) ( f ( x ) e r x ) e r x P ( D r ) f ( x )
(2.115)
(2.115)
Invers Operator.
Kita tahu bahwa integrasi merupakan invers dari diferensiasi.
d
dx
f ( x) dx D f ( x) dx
f ( x)
(2.116)
f ( x) dx D f ( x) D
f ( x)
(2.117)
77
diperlakukan seperti besaran aljabar lainnya, asalkan mengikuti
aturan-aturan aljabar seperti yang disebutkan di atas.
Ada dua aturan yang berlaku untuk invers operator.
Aturan 1 Invers Operator:
Pada umumnya polinomial D, P(D), yang terdapat dipenyebut dapat
dioperasikan berdasarkan Aturan 1 [Pers. (2.111)].
1
1
er x
er x
P ( D)
P(r )
(2.118)
P (D)
(D r ) g (D)
(2.119)
n
P ( D)
g ( D)
(D r )
(2.120)
Dari Pers. (2.120) terlihat g(D) tidak mengandung akar r, jadi Aturan
1 dapat digunakan. Namun, kita harus memodifikasi operasi
1 (D r) n bila dioperasikan terhadap exp(rx). Polinomial D, P(D),
yang terdapat dalam penyebut dapat juga dioperasikan berdasarkan
Aturan 2 [Pers. (2.115)].
78
1
1
[ f ( x) e r x ] e r x
f ( x)
P (D)
P(D r )
(2.121)
Jika P (D) (D r ) n ,
1
1
[ f ( x) e r x ] e r x
f ( x)
n
(D r )
(D) n
(2.122)
Contoh 2.16.
Ulangi Contoh 2.12, tentukan penyelesaian partikulir dengan
menggunakan metode invers operator.
Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya
d2y
dy
2
3 y 3 e2x
2
dx
dx
( D 2 2 D 3) y p ( D 1)( D 3) y p 3 e 2 x
yp
1
3e2x
( D 1)( D 3)
1
3 e 2 x e 2 x
(2 1)(2 3)
79
Bandingkan hasil ini dengan Pers. (2.76). Terlihat jelas
kecepatan dan efisiensi dari metode ini dibandingkan dengan
metode sebelumnya, yaitu metode undetermined coeffocients.
Contoh 2.17.
Tentukan penyelesaian partikulir pada Contoh 2.15 dengan
menggunakan metode invers operator.
Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya adalah
d2y
dy
5
6 y exp(2 x)
2
dx
dx
( D 2 5D 6) y p ( D 2)( D 3) y p e 2 x
yp
1
e2x
( D 2)( D 3)
1
1
e2x
( D 2)
1
80
Kemudian kita gunakan Aturan 2 dengan f ( x ) 1 ,
1
y p e 2 x
1
( D 2 2)
y p e 2 x
1
1
D
y p x e2x
Bandingkan hasilnya dengan Pers. (2.93).
Invers operator terhadap fungsi trigonometri
Fungsi trigonometri seperti sin x dan cos x dapat didekati dengan
formula Euler,
(2.123)
e i x cos x i sin x
ix
Dari Pers. (2.123) terlihat bahwa bagian Real dari e adalah cos x
dan bagian Imajiner adalah sin x
Re(e i x ) cos x
(2.124)
Im(e i x ) sin x
(2.125)
Jadi, bila cos x atau sin x muncul dalam fungsi f (x ), kita dapat
menggunakan metode invers operator untuk mendapatkan integral
partikulir.
Contoh 2.18.
Ulangi Contoh 2.14, tentukan penyelesaian partikulir dengan
menggunakan metode invers operator.
Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya
81
d 2 y dy
2 y 3 cos 2 x
dx 2 dx
( D 2 D 2) y p 3 cos 2 x
1
y p Re 2
3e2 ix
D D2
3
y p Re
e 2 i x
2
(2 i ) 2 i 2
3
6 2i 2 i x
y p Re
e
6 2i 6 2i
18 6 i 2 i x
y p Re
e
40
9 3i
y p Re
(cos 2 x i sin 2 x )
20
9i
3i
3
9
y p Re
cos 2 x sin 2 x
cos 2 x sin 2 x
20
20
20
20
3
(sin 2 x 3 cos 2 x )
20
82
Pada umumnya metode invers operator ini tidak disarankan
untuk hasil kali fungsi seperti x cos bx , exp( x ) cos x, dan lain-lain,
karena sulit dalam mengekspansi operator dalam bentuk deret.
2.4 Rangkuman
Persamaan diferensial dapat juga diklasifikasi berdasarkan tipe, orde,
dan linieriti. Klasifikasi berdasarkan tipe: persamaan diferensial dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Persamaan diferensial biasa
2. Persamaan diferensial parsial
Klasifikasi berdasarkan orde: persamaan diferensial terdiri-dari
orde satu, dua, dan seterusnya sampai orde n. Orde dari persamaan
diferensial ditentukan berdasarkan turunan tertinggi dalam persamaan
tersebut, sedangkan derajat dari suatu persamaan diferensial
ditentukan berdasarkan pangkat dari turunan tertinggi dalam
persamaan tersebut.
Klasifikasi berdasarkan linieriti dan non-linieriti: persamaan
diferensial biasa dapat dikatakan linier orde n bila dapat ditulis dalam
bentuk:
a 0 ( x)
dny
dx
a1 ( x)
d n 1 y
dx
n 1
a n 1 ( x)
dy
a n y g ( x),
dx
a 0 ( x) 0
83
3. Persamaan eksak
4. Persamaan linier orde satu
5. Persamaan Bernoulli
6. Persamaan Riccati.
Persamaan diferensial linier orde dua mempunyai bentuk umum
sebagai berikut:
d2y
dy
a1 ( x)
a 0 ( x) y f ( x)
2
dx
dx
Persamaan ini adalah persamaan diferensial linier orde dua nonhomogen. Bila f(x) = 0 persamaan di atas menjadi persamaan
homogen. Bila ao dan a1 adalah konstanta dan persamaan tersebut
menjadi persamaan diferensial linier orde dua dengan koefisien
konstan yang penyelesaian umumnya adalah gabungan dari
penyelesaian koomplementer dan penyelesaian partikulir. Persamaan
karakteristik untuk persamaan di atas adalah persamaan kuadrat dalam
bentuk r (persamaan 2.62), maka hanya ada dua akar. Ada tiga macam
akar dari persamaan kuadrat, yaitu:
1. Akar-akarnya real dan berbeda.
2. Akar-akarnya sama.
3. Akar-akarnya bilangan komplek dan berbeda.
Penyelesaian partikulir secara umum dapat diselesaikan dengan
tiga metode, yaitu:
1. Metode undetermined coefficient.
2. Metode Invers Operator.
3. Metode variasi parameter.
84
2.5
Soal-Soal
2.1. Selesaikan persamaan eksak berikut ini:
(a) (1 e x y x e x y ) dx ( x e 2 2) dy 0
(b) ( y e x sin y ) dx (e x cos y x e y ) dy 0
2.2. Tentukan penyelesaian persamaan homogen berikut ini
(a)
2
2
2
dy y x x y
dx
xy
(b)
dy x 2 3 y 2
dx
2x y
(b)
dy
2x y y 3 0
dx
dy
e2x 3y
dx
2.4. Tinjau suatu reaksi kimia order dua dengan reaksi sebagai
berikut:
P Q X
Anggap konsentrasi mula-mula P dan Q masing-masing adalah
p dan q, dan x (t ) adalah konsentrasi X pada waktu t. Laju
reaksinya adalah
dx
( p x )( q x )
dt
dengan adalah suatu konstanta.
(a) Jika x (0) 0, tentukan konsentrasi X pada waktu t.
85
(b) Bila p q dan x (0) 0, tentukan konsentrasi X pada
waktu t.
2.5. A holding tank designed to accept the effluent from a small
chemical plant operates such that the flow from the tank, q, is
proportional to h ( q b h). The feed to the tank is intermittent,
but the flow rate is constant at 80 ft 3/sec when liquid does enter.
The cylindrical tank is 30 ft in diameter and 10 ft deep.
(a) Derive the mathematical description for this situation and
express h as a function of the inlet flow qf, b, t, the tank area
A, and the initial height of liquid h0.
(b) b is found experimentally to be equal to 8 ft 2/sec when the
tank drain valve is fully open. If the tank is initially empty
and the drain valve open, how long can the feed stream flow
into the tank before it overflows?
(c) If the flow rate of the feed stream is doubled, how long will
it take for an initially empty tank to overflow if the drain
valve is fully open?
(d) If the tank contains 8 ft of liquid when the drain valve is
opened, how long will it take for the level to reach 4 ft with
no liquid entering?
(Diambil dari Introduction to Chemical
Engineering Analysis by T. W. F. Russell and
M. M. Denn, John Wiley & sons, Inc., New
York, 1972. Problem 4.4)
2.6. A tall, cylindrical tank is being filled, from an initially empty
state, by a constant inflow of q liters/sec of liquid. The flat tank
bottom has corroded and sustains a leak through a small hole of
area A0. If the cross-sectional area of the tank is denoted the by
A, and time-varying height of liquid is h(t ), then:
(a) find the dynamic relationship describing tank height, if the
volumetric
leak
rate
obeys
Torricellis
law,
q0 A0 2 g h(t ) (g is gravitational acceleration).
86
(b) determine the relationship to predict the final steady-state
liquid height in the tank.
(c) define x x , separate variables and deduce the implicit
(d)
solution for h:
qA
t 2
A0 g
q
ln
q A 2gh
0
2 A
A
h
2g
(e) sketch the curve for h versus t, and compare with the case
for a nonleaking tank.
(Diambil dari Applied Mathematics and Modeling
for Chemical Engineers by R. G. Rice and D.
D. Do, John Wiley & sons, Inc., New York,
1995. Problem 2.12)
2.7. A tank contains 100 gal of brine with 50 lb m of dissolved salt.
Pure water runs into the tank at a rate of 2 gal/min, while the
effluent flows into a second tank which is initially empty at a
rate of 3 gal/min. The second tank is emptied at a constant rate
of 2 gal/min. Develop the mathematical description that would
enable you to compute the concentration of salt in the second
tank as a function of time. Solve the equation if you are familiar
with linear first-order differential equations.
(Diambil dari Introduction to Chemical
Engineering Analysis by T. W. F. Russell and
M. M. Denn, John Wiley & sons, Inc., New
York, 1972. Problem 4.17)
2.8. The reversible set of reactions represented by
A
k1
k2
k3
k4
87
volume and temperature. Only one mole of A is present initially,
and any time t the moles are NA, NB, NC. The net rate of
disappearance of A is given by
and for B, it is
rA k1 C A k 2 C B
rB k1 C A k 2 C B k 3 C B k 4 C C
Glossarium
88
mengandung turunan-turunan dari suatu variabel terikat terhadap satu
variabel bebas.
Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan yang
mengandung turunan-turunan dari suatu variabel terikat terhadap lebih
dari satu variabel bebas.
Derajat dalam persamaan diferensial adalah pangkat dari turunan
tertinggi yang terdapat dalam PD setelah PD tersebut dirasionalkan.
Orde dalam persamaan diferensial turunan tertinggi yang terdapat
dalam PD setelah PD tersebut dirasionalkan.
PDB linier adalah PDB yang memenuhi bentuk pada persamaan
(2.2).
PDB non-linier adalah PDB yang tidak memenuhi bentuk pada
persamaan (2.2)
Persamaan diferensial biasa homogen adalah PD yang mempunyai
fungsi-fungsi M(x,y) dan N(x,y) homogen berderajat sama.
Persamaan diferensial biasa eksak adalah PD yang memenuhi
persyaratan pada persamaan (2.21).
Persamaan diferensial linier order satu adalah PD yang mempunyai
bentuk umum seperti pada persamaan (2.29).
Persamaan diferensial Bernoulli adalah PD yang mempunyai bentuk
umum seperti pada persamaan (2.35).
Persamaan diferensial linier order dua adalah PD yang mempunyai
bentuk umum seperti pada persamaan (2.57).
Daftar Pustaka
1.
2.
89
Company, California.
3.
4.
90
BAB 3
PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL (PD)
BIASA DENGAN METODE DERET DAN
FUNGSI-FUNGSI KHUSUS
91
r 2 x2 r 3 x3
r n xn
exp(rx ) 1 rx
2!
3!
n 0 n !
(3.1)
Oleh karena itu, dalam bab ini kita akan membahas penyelesaian
persamaan diferensial linier order dua dengan menggunakan deret
pangkat. Penyelesaian dengan deret ini dapat juga digunakan untuk
persamaan diferensial dengan koefisien tidak konstan (variabel). Ide
dasar dari metode ini sama dengan metode undetermined coefficients;
yaitu dengan mengasumsikan bahwa penyelesaian persamaan
diferensial tertentu mempunyai ekspansi deret pangkat, dan kemudian
kita berusaha menentukan koefisien-koefisien agar memenuhi
persamaan diferensial tersebut.
Tetapi, sebelum kita melihat bagaimana deret pangkat dapat
digunakan dalam menentukan penyelesaian persamaan diferensial,
terlebih dahulu kita lihat secara ringkas beberapa sifat dasar dari deret
pangkat.
a 0 a1 ( x x 0 ) a 2 ( x x 0 ) 2 a n ( x x 0 ) n a n ( x x 0 ) n
n 0
(3.2)
disebut deret pangkat disekitar titik x0, dengan a0, a1, a2, , an,
disebut koefisien-koefisien dari deret pangkat dan x0 adalah pusat dari
deret atau titik dimana deret akan diekspansi. Deret pangkat dalam
Pers.(3.2) dikatakan konvergen pada titik x bila
lim a n ( x x 0 ) n
n
n 0
itu ada (berhingga) pada x, kalau tidak ada disebut divergen. Deret
92
pangkat dalam Pers. (3.2) dikatakan konvergen absolut pada titik x
jika deret
n 0
a n ( x x0 ) n a n x x0
n 0
konvergen. Jadi, bila suatu deret konvergen absolut maka deret itu
pasti konvergen juga, namun tidak berlaku sebaliknya.
Untuk setiap deret pangkat ada suatu bilangan R yang harganya
lebih besar atau sama dengan nol ( R 0 ), yang disebut dengan jarijari konvergensi, dengan sifat ini bahwa deret dalam Pers. (3.2)
konvergen absolut bila x x0 R, dan divergen bila x x0 R.
Bila deret konvergen pada semua harga x, maka R . Namun,
bila deret konvergen hanya pada x0, maka R 0. Deret bisa
konvergen atau bisa divergen bila x x0 R, lihat Gambar 3.1.
Jadi bila kita dapat menentukan harga R, maka rentang
konvergensi dari suatu deret dapat diketahui, yaitu
( x0 R) x ( x0 R)
Deret
divergen
(3.3)
Deret
konvergen absolut
x0 R
x0
Deret
divergen
x0 + R
Deret bisa
konvergen atau divergen
Gambar 3.1. Interval konvergensi deret pangkat
93
Salah satu metode yang sangat berguna dalam menguji
konvergensi absolut dari suatu deret adalah test rasio. Test ini
didefinisikan dengan
lim
n
u n 1
a ( x x0 ) n 1
lim n 1
n
un
a n ( x x0 ) n
x x0 lim
n
a n 1
1
x x0
an
R
(3.4)
dimana un dan un+1 berturut turut adalah suku ke-n dan ke-(n+1), dan
R lim
n
an
a n1
(3.5)
n 0
xn
n 1
(3.6)
Penyelesaian:
Dengan menggunakan test rasio didapatkan
lim
n
x n 1 n 1
n 1
n x lim
x
n n 2
n2 x
94
menandakan jari-jari konvergensi R 1. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa deret tersebut konvergen absolut jika
1 x 1, dan divergen bila x 1; atau jika x 1 dan
x 1.
n 1 1 2 3 4
n 0
n 0
(1) n
1 1 1
1
n 1
2 3 4
(3.7)
Deret ini berkurang suku demi sukunya dan suku ke-n mendekati nol
dengan n , jadi deret tersebut adalah konvergen, tetapi tidak
konvergen absolut. Deret dalam Pers. (3.7) dikatakan konvergen
bersyarat pada x 1. Jadi deret pangkat dalam Pers. (3.6) adalah
konvergen untuk 1 x 1.
Perlu diingat bahwa dalam interval konvergensi, deret pangkat
dapat diperlakukan seperti fungsi kontinyu lainnya, misal dapat
didiferensialkan atau diintegralkan suku demi suku dari deret tersebut.
Deret hasil diferensiasi atau integrasi dijamin konvergen dan
mempunyai jari-jari konvergensi yang sama dengan deret pangkat asli.
Bila f (x ) dan g (x ) masing-masing merupakan deret
pangkat, maka dalam interval konvergensi deret-deret tersebut dapat
ditambahkan atau dikurangkan suku demi suku, yaitu
95
f ( x ) g ( x ) ( a n bn )( x x 0 ) n
(3.8)
n 0
f ( x) g ( x) a n ( x x 0 ) n bn ( x x 0 ) n c n ( x x 0 ) n (3.9)
n 0
n 0
n 0
dimana c n a 0 bn a1bn 1 a 2 bn 2 a n b0 .
g ( x 0 ) 0, deret pangkat dapat dibagi, yaitu
Selanjutnya,
f ( x)
d n ( x x0 ) n
g ( x) n 0
bila
(3.10)
n
n
n
a
(
x
x
)
d
(
x
x
)
n
0
0
n
bn ( x x0 )
n 0
n 0
n 0
d k bn k ( x x0 ) n
n 0 k 0
(3.11)
Bila deret
n 0
n 0
a n ( x x 0 ) n bn ( x x 0 ) n
(3.12)
96
d2y
dy
A 2 ( x)
A1 ( x)
A 0 ( x) y 0
2
dx
dx
(3.13)
(3.14)
dimana p ( x ) A1 ( x ) A 2 ( x ) dan q ( x ) A 0 ( x ) A 2 ( x ) .
Titik x0 dikatakan titik biasa bila kedua fungsi p (x ) dan q (x )
adalah analitik, artinya bahwa mereka kedua-duanya dapat diekspansi
dalam deret pangkat dan konvergen disekitar titik x0. Jika satu atau
kedua fungsi tersebut tidak dapat diekspansi dalam deret pangkat
disekitar titik x0, maka x0 dikatakan titik singular.
3.3
Penyelesaian Deret Disekitar Titik Biasa
Jika x0 merupakan titik biasa dari persamaan diferensial
d2y
dy
A 2 ( x)
A1 ( x)
A 0 ( x) y f ( x)
2
dx
dx
(3.15)
97
y a n ( x x0 ) n
(3.16)
n 0
Contoh 3.2.
Selesaikan persamaan diferensial berikut
d2y
4y 0
dx 2
(3.17)
y an x n
(3.18)
n 0
98
dy
n a n x n 1
dx n 0
Kita lihat suku pertama dari deret tersebut adalah nol, jadi
indeks n harus mulai dari 1.
dy
n a n x n 1
dx n 1
(3.19)
dan
d2y
n(n 1) a n x n 2
2
dx
n2
(3.20)
n(n 1) a
n2
x n2 4 a n x n 0
n 0
n 0
( n 1)( n 2) a n 2 x n 4 a n x n 0
n 0
atau
[(n 1)(n 2) a
n 0
n2
4 an ] x n 0
(3.21)
99
mempengaruhi harga penjumlahan. Persamaan (3.21) dipenuhi
untuk semua harga x, jadi koefisien dari xn harus sama dengan
nol,
(n 1)(n 2) a n 2 4 a n 0
an2
4 an
,
( n 1)( n 2)
n 0, 1, 2, .
(3.22)
,
2
2!
2 2 a0 2 4 a0
4 a2
4
,
3 4
3 4
2!
4!
2 4 a0
2 6 a0
4 a4
4
a6
,
56
5 6 4!
6!
a4
,
23
3!
2 2 a0 2 4 a1
4 a3
4
a5
,
45
4 5
3!
5!
100
2 4 a0
4 a5
2 6 a1
4
a7
,
67
6 7 5!
7!
Sisipkan koefisien-koefisien ini ke dalam Pers. (3.18),
menghasilkan
y a 0 a1 x
2 2 a 0 2 2 2 a1 3 2 4 a 0 4 2 4 a1 5
x
x
x
x
2!
3!
4!
5!
2 6 a 0 6 2 6 a1 7
x
x
6!
7!
(2 x) 2 (2 x) 4 (2 x) 6
y a0 1
2!
4!
6!
22 x 3 24 x 5 26 x 7
a1 x
3!
5!
7!
(1) n (2 x) 2 n
(1) n (2 x) 2 n 1
b0
( 2n) !
(2n 1)!
n 0
n 0
y a0
(3.23)
101
y a 0 cos 2 x b0 sin 2 x
(3.24)
Contoh 3.3.
Gunakan deret pangkat untuk menyelesaikan persamaan
diferensial berikut ini
d2y
y ex
2
dx
(3.25)
y an x n
(3.26)
n 0
dy
n a n x n 1
dx n 1
(3.27)
dan
d2y
n(n 1) a n x n 2
2
dx
n2
(3.28)
102
e
(1) n x n
n!
n 0
(3.29)
n2
(1) n x n
n!
n 0
n(n 1) a n x n 2 a n x n
n 0
(1) n n
(
n
1
)(
n
2
)
a
n2
n
x 0
n!
n 0
(1) n
0
n!
atau
an2
an
(1) n
,
(n 2)! (n 2)(n 1)
n 0, 1, 2,
(3.30)
1 a0
2! 2!
1 a1
1 a1
a3
3! 3 2 3! 3!
a2
103
a4
1 a2
1
1 1 a0 a0
4! 4 3 4! 4 3 2! 2! 4!
a5
1 a3
1 1 1 a1 a1
5! 5 4 5! 5 4 3! 3! 5!
a6
1 a4
1
1 a0 1 a0
6! 6 5 6! 6 5 4! 6! 6!
a7
1 a5
1
1 a1 1 a1
7! 7 6 7! 7 6 5! 7! 7!
1 a
1 a
a
a
y a0 a1 x 0 x 2 1 x 3 0 x 4 1 x 5
4!
5!
2! 2!
3! 3!
1 a
1 a
0 x 6 1 x 7
6! 6!
7! 7!
Dengan mengelompokkan deret-deret tersebut dalam suku a0, a1,
dan lainnya, didapatkan
1
1
1
1
1
y a0 1 x 2 x 4 x 6 a1 x x 3 x 5
4!
6!
3!
5!
2!
1
1 7
1
1
1
x x 2 x 3 x 6 x 7
7!
3!
6!
7!
2!
atau
104
1
1
1
y b0 1 x 2 x 4 x 6
4!
6!
2!
1
1
1
b1 x x 3 x 5 x 7
3!
5!
7!
1
1
1
1
1
1 x x 2 x 3 x 4 x 5
2
2!
3!
4!
5!
dengan
b0 a 0 (1 2)
dan
b1 a1 (1 2).
(3.31)
Sebelum
2x 4x3 6x5
3x 2 5 x 4 7 x 6
y b0
b1 1
4!
6!
3!
5!
7!
2!
1
2 x 3x 2 4 x 3 5 x 4
1
2
2! 3!
4!
5!
1
2
b1
1
2
1
1
1
1
1 x 2 x 4 x 6
2 2!
4!
6!
1
1
1
1
x x 3 x 5 x 7
2
3!
5!
7!
(3.32)
dan
105
1
1
1
1
1
1 x x 2 x 3 x 4 x 5
2
2!
3!
4!
5!
1
2
(1) n x 2 n 1
( 2n) !
2
n 0
(1) n x 2 n 1 1
2
n 0 ( 2n 1) !
(1) n x n
n!
n 0
1
(cos x sin x e x )
2
Contoh 3.4.
Selesaikan persamaan diferensial berikut dengan menggunakan
deret pangkat
(1 x 2 )
d2y
dy
3x
5y 0
2
dx
dx
(3.33)
y an x n
n 0
(3.34)
106
dy
n a n x n 1
dx n 1
(3.35)
d2y
n(n 1) a n x n 2
2
dx
n2
(3.36)
n2
n 1
n 0
(1 x 2 ) n( n 1) a n x n 2 3 x n a n x n 1 5 a n x n 0
atau
n2
n( n 1) a n x n 2 n( n 1) a n x n
n2
n 1
n 0
3 n an x n 5 an x n 0
n2
n( n 1) a n x n 2 [ n( n 1) 3n 5] a n x n 0
n 0
atau
n2
n( n 1) a n x n 2 ( n 2 4n 5) a n x n 0
n 0
107
pangkat x. Gantikan indeks penjumlahan n dengan n 2 ,
didapatkan
[(n 1)(n 2) a
n 0
n2
( n 2 4n 5) a n ] x n 0
atau
an2
n5
an ,
n2
n 0, 1, 2, .
(3.37)
a2
5 a0
2
a3
4 a1
3
a4
3 a2
3 5 a 15 a 0
0
4
4 2
8
a5
2 a3
2 4a 8a
1 1
5
5 3 15
y a0 a1 x
5 a0 2 4 a1 3 15 a0 4 8 a1 5
x
x
x
x
2
3
8
15
108
dan a1, didapatkan
15
4
8
5
y a 0 1 x 2 x 4 a1 x x 3 x 5
8
3
15
2
(3.38)
Dengan memasukkan kondisi awal y (0) 0 ke dalam Pers.
(3.38), menghasilkan
a0 0
y a1 x x 3 x 5
3
15
(3.39)
y a1 1 4 x 2 x 4
3
(3.40)
a1 1
Jadi penyelesaian umumnya adalah
y x
4 3 8 5
x x
3
15
109
singuler tertentu. Tinjau bentuk umum persamaan diferensial linier
homogen order dua berikut ini
A 2 ( x)
d2y
dy
A1 ( x)
A 0 ( x) y 0
2
dx
dx
(3.41)
(3.42)
dimana p ( x ) A1 ( x ) A 2 ( x ) dan q ( x ) A 0 ( x ) A 2 ( x ) .
Persamaan (3.42) dikatakan singuler pada titik x0 jika baik
(atau kedua-duanya)
lim p( x)
atau
x x 0
lim q( x) .
x x 0
(3.43)
lim ( x x0 ) p( x)
x x 0
dan
lim ( x x0 ) 2 q ( x)
x x 0
(3.44)
dan
( x x0 ) 2 q( x)
(3.45)
dapat diekspansi dalam deret pangkat disekitar titik x0. Jika tidak
dapat diekspansi titik tersebut dikatakan irregular.
110
Jika x0 merupakan titik singuler reguler dari Pers. (3.41), maka
penyelesaiannya dapat dinyatakan dalam bentuk
y ( x x0 ) r
n 0
a n ( x x 0 ) n a n ( x x 0 ) n r , a0 0
(3.46)
n 0
Deret ini disebut deret Frobenius dengan indeks r. Indeks r ini tidak
mesti suatu bilangan bulat. Adapun prosedur penyelesaian Pers. (3.41)
adalah sebagai berikut:
1. Anggap penyelesaiannya dalam bentuk deret Frobenius, Pers.
(3.46).
2. Sisipkan deret Frobenius dan turunan-turunanya ke dalam
persamaan diferensial dan sederhanakan.
3. Set koefisien dari pangkat ( x x 0 ) terkecil sama dengan
nol. Persamaan yang diperoleh disebut persamaan indicial,
dan tentukan harga-harga r. Pada umumnya persamaan
indicial berupa persamaan kuadrat. Jadi ada dua akar dari
persamaan indicial, yaitu r1 dan r2, yang dikenal dengan
pangkat singulariti.
4. Untuk setiap harga r, tentukan koefisien-koefisien an dengan
menggunakan hubungan rekursi.
Dengan menggunakan deret Frobenius dalam menyelesaikan
Pers. (3.41), maka dapat dipastikan bahwa penyelesaian pertama
selalu ada, umumnya untuk akar persamaan indicial yang lebih besar.
Namun, dalam mendapatkan penyelesaian kedua yang linearly
independent akan tergantung pada sifat dari akar-akar persamaan
indicial, yaitu r1 dan r2. Ada tiga kasus yang terjadi dalam
permasalahan ini:
Kasus I.
111
Kasus III. Harga r berbeda dan selisihnya bilangan bulat
(differ by an integer); ada dua keadaan dalam kasus
ini, yang ditunjukkan dalam Kasus IIIa dan IIIb.
3.4.1
y1 ( x ) x
r1
y 2 ( x) x
r2
a
n 0
a
n 0
( r1 ) x n
(3.47)
( r2 ) x n
(3.48)
y y1 ( x) y 2 ( x)
(3.49)
Contoh 3.5.
Tentukan penyelesaian umum dengan deret disekitar x 0 dari
persamaan diferensial berikut ini
2x
d2y
dy
(1 x)
2y 0
2
dx
dx
(3.50)
Penyelesaian:
Bila persamaan ini dirubah dalam bentuk normal seperti Pers.
(3.42), didapatkan
112
p( x)
1 x
2x
dan q ( x )
1
x
dan
1
lim q ( x ) lim .
x 0
x 0
x
dan
1
lim x 2 q ( x ) lim x 2 0 .
x 0
x 0
x
y a n x nr
(3.51)
n 0
dy
( n r ) a n x n r 1
dx n 0
(3.52)
d2y
(n r )(n r 1) a n x n r 2
2
dx
n 0
(3.53)
113
n 0
n 0
2 ( n r )( n r 1) a n x n r 1 ( n r ) a n x n r 1
n 0
n 0
(n r ) a n x n r 2 a n x n r 0
n 0
( n r )( 2n 2r 1) a n x n r 1 ( n r 3) a n 1 x n r 1 0
n 1
r ( 2r 1) a 0 x r 1 [( n r )( 2n 2r 1) a n
n 1
( n r 3) a n 1 ] x n r 1 0
(3.54)
(3.55)
karena a0 0 , maka
r ( 2 r 1) 0
r1 0
dan
r2 1 2
114
independent dari Pers. (3.50) dalam bentuk deret Frobenius,
seperti Pers. (3.47) dan (3.48).
Substitusikan suku pertama dalam Pers. (3.54) dengan
Pers. (3.55), diperoleh
[(n r )(2n 2r 1) a
n 1
( n r 3) a n 1 ] x n r 1 0
an
(n r 3) a n 1
, n 1, 2, 3, .
(n r )(2n 2r 1)
(3.56)
an
(3 n) a n 1
n (2n 1)
(3.57)
n 1,
a1 2 a 0
n 2,
a2
n 3,
a3 0
a
a1
0
23 3
115
a0 2 a0 x
a0 2
x 0
3
x2
a0 1 2 x
3
(3.58)
bn
(n 5 2 ) bn 1
(5 2n)
bn 1
( n 1 2 ) 2n
2n (2n 1)
(3.59)
b1
b
3
b0 0
23
2
n 2,
b2
b
1
b1 0
45
40
n 3,
b3
b0
1
b2
67
1680
b
b
b
x 1 2 b0 0 x 0 x 2 0 x 3
2
40
1680
1 2
1
1
b0 x 1 2 1 x
x
x 3
40
1680
2
116
x2
1 2
1 3
1
y a0 1 2 x b0 x1 2 1 x
x
x
3
40
1680
2
(3.60)
(a 0 b0 ) u ( x, r1 ) b0 u ( x, r2 ) u ( x, r1 )
u ( x, r2 ) u ( x, r1 )
(a0 b0 ) u ( x, r1 ) b0 (r2 r1 )
r2 r1
(3.61)
u ( x, r2 ) u ( x, r1 )
y A u ( x, r1 ) B lim
r 2 r1
r2 r1
y A u ( x, r1 ) B
r r r1
(3.62)
Persamaan (3.62) merupakan penyelesaian lengkap untuk kasus akarakar persamaan indicial sama.
117
Metode lain dalam mendapatkan penyelesaian kedua, y 2 ( x),
dalam kasus akar-akar persamaan indicial sama adalah dengan
persamaan
y 2 ( x ) y1 ( x )
exp p ( x ) dx
[ y1 ( x )]
dx
(3.63)
Contoh 3.6.
Selesaikan persamaan diferensial berikut
d2y
dy
x
2y 0
2
dx
dx
(3.64)
y a n x nr
(3.65)
n 0
n 0
( n r )( n r 1) a n x n r 1 ( n r ) a n x n r 1
n 0
2 an x nr 0
n 0
118
n 0
( n r ) 2 a n x n r 1 2 a n 1 x n r 1 0
n 1
a 0 r 2 x r 1 [( n r ) 2 a n 2 a n 1 ] x n r 1 0
(3.66)
n 1
( n r ) 2 a n 2 a n 1 0
an
2 a n 1
,
(n r ) 2
n 1, 2, 3,
(3.67)
a1
2 a0
(1 r ) 2
119
an an
a0 a n 1
a n 1
a n 2
a n 2
a n 3
a1
a0
2
2
2
2
2
2
2
( n r ) ( n r 1) ( n r 2)
(1 r ) 2
(1) n 2 n
(n r ) 2 (n r 1) 2 (n r 2) 2 (1 r ) 2
(3.68)
(1) n 2 n x n r
u ( x, r ) a 0
2
2
2
2
n 0 ( n r ) ( n r 1) ( n r 2) (1 r )
(3.69)
(1) n 2 n x n
y1 u ( x,0) a0 2
2
2
2
n 0 n ( n 1) ( n 2) 1
a0
(1) n 2 n x n
( n !) 2
n 0
(3.70)
u
y 2
r r r1
b0
(1) n 2 n x n r
2
2
2
2
r n 0 (n r ) (n r 1) (n r 2) (1 r ) r 0
(3.71)
120
hubungan:
(i)
x n r exp(n r ) ln x
(ii) g (r ) f 1 (r ) f 2 (r ) f 3 (r ) f k (r ) f k 1 (r )
(3.72)
(3.73)
(3.74)
(3.75)
dimana
d
1 dg
(ln g )
dr
g dr
dan
f
d
1 df1
(ln f1 )
1,
dr
f1 dr
f1
f
d
1 df 2
(ln f 2 )
2 , dst.
dr
f 2 dr
f2
sehingga Pers. (3.75) dapat ditulis menjadi
f
f
f
f
dg
g (r ) 1 2 k k 1
dr
f2
fk
f k 1
f1
Anggap
(3.76)
121
x nr
g (r )
(n r ) 2 (n r 1) 2 (n r 2) 2 (1 r ) 2
f 1 f 2 f n f n 1
(3.77)
1
,
(1 r ) 2
f1
2
f1 1 r
f 2 (r )
1
,
(2 r ) 2
f 3 (r )
1
,
(3 r ) 2
f 2
2
f2
2r
f 3
2
f3
3 r
f n (r )
f n
2
fn
nr
1
,
(n r ) 2
f n 1 ( r ) x n r exp( n r ) ln x ,
Sisipkan persamaan-persamaan
menghasilkan
y 2 b0
ini
f n1
ln x
f n 1
kedalam
Pers.
( 1) n 2 n x n r
2
2
2
2
n 0 ( n r ) ( n r 1) ( n r 2) (1 r )
2
2
2
2
ln x
nr
1 r 2 r 3 r
r 0
(3.71),
122
( 1) n 2 n x n
y 2 b0 2
2
2
2
n 0 n ( n 1) ( n 2) 1
2 2
2
2 ln x
2 3
n
(1) n 2 n x n
( n !) 2
n 0
y 2 b0 ln x
(1) n 1 2 n 1 x n 1 1
1
1
2
( n !)
n
2 3
n 0
b0
(3.78)
( n) 1
1 1
1
2 3
n
(3.79)
Dengan menganggap
1
1 1
(0) 0, (1) 1, ( 2) 1 , (3) 1 , dst.,
2
2 3
(3.80)
maka untuk menjadikan deret kedua Pers. (3.78) tetap mulai dari
n 0 , gantikan n dengan n 1 . Sehingga penyelesaian kedua
menjadi
(1) n 2 n x n
( n !) 2
n 0
y 2 b0 ln x
(1) n 2 2 n 2 x n 1 1 1
1
1
2
[(n 1)!]
n 1
2 3
n 0
b0
123
Untuk memudahkan pemahaman deret Harmoni dalam persamaan di
atas ditulis dengan
(1) n 2 n x n
(1) n 2 2 n 2 x n 1 n 1 1
b
0
( n !) 2
[(n 1)!] 2
n 0
n 0
k 1 k
y 2 b0 ln x
(3.81)
atau
(1) n 2 n x n
( n !) 2
n 0
y 2 b0 ln x
8 x 2 1 16 x 3 1 1
b0 4 x
1
(2!) 2 2 (3!) 2 2 3
(1) n 2 n x n
22 3
b0 4 x 3 x 2
x
2
27
( n !)
n 0
b0 ln x
(3.82)
(1) n 2 n x n
(1) n 2 n x n
b
ln
x
0
( n !) 2
( n !) 2
n 0
n 0
y a0
22 3
b0 4 x 3 x 2
x
27
(1) n 2 n x n
22 3
b0 4 x 3 x 2
x
2
27
( n !)
n 0
y (a 0 b0 ln x)
124
d 2 y 1 dy 2
y0
x dx x
dx 2
(3.83)
exp p ( x ) dx
[ y1 ( x )]
dx
1
,
x
p( x) dx x dx ln x
exp p ( x ) dx exp( ln x )
1
x
Jadi,
y 2 ( x ) y1 ( x )
dx
x [ y1 ( x )] 2
(3.84)
2 3
x
9
40 3
x
9
125
( y1 ) 2
1
1 4x 6x 2
40 3
x
9
y 2 y1 4 10 x
x dx
9
x
184 3
y1 ln x 4 x 5 x 2
x
27
2
184 3
y1 ln x b0 1 2 x x 2 x 3 4 x 5 x 2
x
9
27
22 3
y1 ln x b0 4 x 3 x 2
x
27
3.4.3
126
y A u ( x, r1 ) B
(r r2 ) u ( x, r ) r r 2
r
(3.85)
Namun, dalam Kasus III ini ada dua masalah yang timbul pada
hubungan rekursi untuk koefisien a N . Pertama, ketika harga akar r
terkecil dimasukkan ke dalam formula rekursi akan menghasilkan
koefisien a N tak berhingga. Untuk hal ini penyelesaian kedua dapat
diperoleh dari Pers. (3.85). Kedua, bila indeks harga r terkecil
dimasukkan ke dalam hubungan rekursi, maka koefisien a N tidak
dapat ditentukan. Dalam hal ini koefisien a N diperlakukan sebagai
suatu konstanta integrasi sebagaimana yang dilakukan untuk a0, dan
penyelesaian lengkap baik y1 dan y2 dapat diperoleh dengan
menggunakan harga akar terkecil r2, dengan mengambil a0 dan a N
sebagai dua konstanta integrasi sembarang.
Contoh 3.7.
Gunakan metode Frobenius untuk menyelesaikan persamaan
diferensial berikut disekitar titik x 0.
x
d2y
y0
dx 2
(3.86)
Penyelesaian:
Anggap penyelesaiannya berbentuk
y a n x nr
(3.87)
n 0
127
n 0
( n r )( n r 1) a n x n r 1 a n x n r 0
n 0
n 0
( n r )( n r 1) a n x n r 1 a n 1 x n r 1 0
n 1
r ( r 1) a 0 x r 1 [( n r )( n r 1) a n a n 1 ] x n r 1 0
(3.88)
n 1
atau
an
a n 1
,
( n r )( n r 1)
n 1, 2, 3, (3.89)
128
Akar-akar persamaan indicial di atas adalah berbeda dan
selisihnya r1 r2 N 1 , yaitu bilangan bulat positif. Dengan
demikian bila harga akar terkecil, yaitu r2 0, dimasukkan ke
dalam Pers. (3.89), ada dua kemungkinan yang terjadi untuk
koefisien a N a1 . Untuk n 1 dan r 0, hubungan rekursi
(3.89) menjadi
a1
a0
a0
(1 0)(1 0 1)
0
a1
a0
(1 r ) r
an an
a0 a n 1
a n 2
a n 3
a1
a
0
1
1
(n r )(n r 1) (n r 1)(n r 2)
a n 1
a n 2
1
1
( n r 2)( n r 3)
(1 r ) r
(1) n
(n r )(n r 1) 2 (n r 2) 2 (n r 3) 2 (1 r ) 2 r
(3.90)
129
(1) n
(n 1)! n!
(3.91)
y1
x2
x3
x4
a0 x
(2!)(1!) (3!)(2!) (4!)(3!)
1
1
1 4
a0 x x 2 x 3
x
2
12
144
u ( x, r )
(3.92)
Disini digunakan b0 untuk membedakan dengan penyelesaian
pertama. Penyelesaian kedua ditentukan dengan menggunakan
Pers. (3.85)
y2
(r r2 ) u ( x, r ) r r 2
r
r u ( x, r ) r 0
r
(3.93)
130
y2
(1) n b0 x n r
r n 1 (n r )(n r 1) 2 (n r 2) 2 (n r 3) 2 (1 r ) 2 r 0
(3.94)
Misal,
g (r )
x nr
(n r )(n r 1) 2 (n r 2) 2 (n r 3) 2 (1 r ) 2
(3.95)
Diferensiasi persamaan ini terhadap r dilakukan seperti pada
contoh sebelumnya, yaitu
f f
f
f
dg
g (r ) 1 2 n n 1
dr
f2
fn
f n 1
f1
dimana:
f1 (r )
1
,
(1 r ) 2
f1 2
f1 1 r
f 2 (r )
1
,
(2 r ) 2
f 2
2
f2 2 r
f 3 (r )
1
,
(3 r ) 2
f 3
2
f3 3 r
f n (r )
1
,
(n r )
f n 1 ( r ) x n r exp( n r ) ln x ,
f n
1
fn n r
f n1
ln x
f n 1
131
menghasilkan
(1) n x n r
y 2 b0
2
2
2
2
n 1 ( n r )(n r 1) ( n r 2) ( n r 3) (1 r )
2
2
2
1
ln x
nr
1 r 2 r 3 r
r 0
(1) n x n
b0
2
2
2
2
n 1 n( n 1) ( n 2) ( n 3) (1)
2 2
1
2 ln x
2 3
n
(1) n x n
(1) n 2 x n 1 1
1
b0
1
n!(n 1)! 2 3
2n
n 1 n!( n 1)!
n 1
b0 ln x
(3.96)
Agar deret-deret ini mulai dari n 0, gantikan n dengan n 1
(1) n 1 x n 1
n 0 ( n 1)! n !
y 2 b0 ln x
(1) n 1 2 x n 1 1 1
1
1
b0
(n 1)! n! 2 3
2(n 1)
n 0
(1) n 1 x n 1
y 2 b0 ln x
n 0 ( n 1)! n !
(1) n 1 2 x n 1 n 1
1
(n 1)! n! k 1 k 2(n 1)
n 0
b0
(3.97)
132
(1) n 1 x n 1
y 2 b0 ln x
n 0 ( n 1) ! n !
2 x 1 2 x 2 1 2 x3 1 1
b0
1
1
1! 2 2! 4 3! 2! 2 6
(1) n 1 x n 1
5
5
b0 x x 2 x 3
4
18
n 0 ( n 1) ! n !
b0 ln x
a 0 (1) n x n 1
(1) n 1 x n 1
b0 ln x
n 0 ( n 1)! n !
n 0 ( n 1) ! n !
5
5
b0 x x 2 x 3
4
18
Contoh 3.8.
Selesaikan persamaan diferensial berikut dengan metode
Frobenius disekitar titik x 0.
x
d2y
dy
( x 3)
2y 0
2
dx
dx
(3.98)
Penyelesaian:
Anggap penyelesaiannya berbentuk
y an x nr
(3.99)
n 0
133
n 0
( n r )( n r 1) a n x n r 1 ( x 3) ( n r ) a n x n r 1
n 0
2 an x n r 0
n 0
(n r )(n r 4) a
n 0
n r 1
( n r 2) a n x n r 0
nx
n 0
(n r )(n r 4) a
n 0
x n r 1 ( n r 3) a n 1 x n r 1 0
n 1
r ( r 4) a 0 x r 1 ( n r )( n r 4) a n ( n r 3) a n 1 x n r 1 0
n 1
Bila koefisien x
r 1
(3.100)
r ( r 4) a 0 0
atau
an
nr 3
a n 1 ,
(n r )(n r 4)
n 1, 2, 3,
(3.101)
134
Bila r 0,
an
n3
a0
n ( n 4)
a1
2
2
a0 a0
(1) ( 3)
3
(3.102)
Untuk n 1,
n 2:
a2
1
1
a1 a 0
( 2) ( 2)
6
n 3:
a3
0
a2 0
(3) ( 1)
n 4:
a4
1
0
a3
( 4) ( 0)
0
2
2
a4 a4
(5) (1)
5
n 6 : a6
3
1
a5 a 4
( 6) ( 2)
10
n 7 : a7
4
2
a6
a4
(7) (3)
105
135
y x r ( a 0 a1 x a 2 x 2 a 3 x 3 a 4 x 4 a 5 x 5 a 6 x 6 a 7 x 7 )
y a 0 1 x x 2 a 4 x 4 x 5 x 6
x
6
5
10
105
3
d2y
dy
x
(x 2 p 2 ) y 0
2
dx
dx
d2y
dy
x (1 x)
[a (1 b) x]
n (b n) y 0
2
dx
dx
(1 x 2 )
d2y
dy
2x
n (n 1) y 0
2
dx
dx
(3.103)
(3.104)
(3.105)
136
p, dimana p adalah konstanta positif atau nol ( p 0) . Penyelesaian
dari persamaan Bessel order p dinamakan fungsi Bessel order p.
Karena x 0 merupakan titik singuler reguler dari persamaan
Bessel, kita tahu bahwa sekurang-kurangnya ada satu penyelesaian
dalam bentuk deret Frobenius
y an x nr .
(3.106)
n 0
n 0
n 0
n 0
(n r )(n r 1) a n x n r (n r ) a n x n r a n x n r 2
p 2 an x n r 0
n 0
n 0
n2
[(n r )(n r ) p 2 ] a n x n r a n2 x n r 0
dan bila dua suku pertama dikeluarkan dari deret pertama, kedua deret
tersebut akan mulai dari n yang sama, yaitu n 2, kemudian kedua
deret tersebut dapat digabungkan
( r 2 p 2 ) a 0 x r [(1 r ) 2 p 2 ] a1 x 1 r
[( n r ) 2 p 2 ] an an 2 x n r 0
(3.107)
n2
137
(r 2 p 2 ) a 0 0
karena a0 0 , maka
r 2 p 2 0 r1 p
dan
r2 p
(3.108)
(3.109)
a1 0
(3.110)
Dan bila koefisien x n r dalam Pers. (3.107) juga diset sama dengan
nol, diperoleh hubungan rekursi
[( n r ) 2 p 2 ] a n a n 2 0
atau
an
a n2
, n 2, 3, 4,
( n r p )( n r p )
(3.111)
a1 0 ,
Dari Pers. (3.111) terlihat bahwa bila
maka
a3 a5 a 7 0 . Jadi semua koefisien ganjil sama dengan nol,
sehingga kedua penyelesaian Pers. (3.103) hanya terdiri dari fungsi
genap. Dengan demikian, n diganti dengan 2m dan hubungan
rekursinya menjadi
138
a2m
a 2m2
, m 1, 2, 3,
( 2m r p )( 2m r p )
(3.112)
a2m
a2m2
a
2 2m2
2m ( 2m 2 p )
2 m (m p)
(3.113)
Untuk m 1 ,
a2
a0
2 (1 p)
2
a2m a2m
a0
a2m2
a 2 m 2
a 2 m 4
a2
a0
1
1
1
1
2
2
2
2 m ( m p ) 2 ( m 1)( m 1 p )
2 2 (1 p ) 2 (1 p )
1
1
1
2
2
2 m ( m p ) 2 ( m 1)( m 1 p )
2 (1 p )
(1) m p!
2m
2 m! (m p)!
p ( p 1) (2)(1)
p ( p 1) (2)(1)
139
a2m
(1) m a 0 ( p 1)
2m
2 m! (m p 1)
(3.114)
y1
m 0
(1) m a 0 ( p 1)
x 2m p
2m
2 m! (m p 1)
y1 2 a0 ( p 1)
p
m 0
y1 C1
m 0
(1) m
x
m! (m p 1) 2
(1) m
x
m! (m p 1) 2
2 m p
2 m p
(3.115)
J p ( x)
m 0
(1) m
x
m! (m p 1) 2
2 m p
(3.116)
(3.117)
(3.118)
140
dimana
J p ( x)
m 0
(1) m
x
m! (m p 1) 2
2m p
(3.119)
(3.120)
2. Kasus II (p 0)
Persamaan (3.103) menjadi
x2
d2y
dy
x
x2 y 0
2
dx
dx
(3.121)
J 0 ( x)
m 0
(1) m
( m !) 2
x
2
(3.116),
2m
(3.122)
(3.123)
141
a2m
a 2 m2
( 2m r ) 2
(3.124)
Bila m 1,
a0
(r 2) 2
Sehingga hubungan antara a 2 m dan a 0 adalah
a2
a2m
(1) m
a0
( 2 m r ) 2 ( 2 m r 2) 2 ( r 2) 2
(3.125)
y2
r 0
dimana
u ( x, r )
m 0
(1) m b0 x 2 m r
( 2 m r ) 2 ( 2 m r 2) 2 ( r 2) 2
(3.126)
(1) m
y 2 b0 J 0 ( x) ln x
2
m 0 ( m!)
2m
x
1 1
1
1
2 3
m
2
(3.127)
dimana seperti sebelumnya
( m) 1
m
1 1
1
1
2 3
m k 1 k
(3.128)
142
harga untuk m 0 dianggap (0) 0 . Karena itu agar deret kedua
dari Pers. (3.127) dapat mulai dari m 0 , gantikan m dengan m 1 ,
menghasilkan
(1) m1
y 2 b0 J 0 ( x) ln x
2
m 0 ( m 1)!
x
2
2 m 2
m1 1
k 1 k
(3.128)
2 x
2
Y0 ( x)
ln J 0 ( x)
2
(1) m1
(m 1)!
m 0
x
2
2m 2
(m 1)
(3.129)
lim 1
ln m 0,577 215 665
m
2 3
m
(m 1) 1
m 1
1 1
1
1
2 3
m 1 k 1 k
(3.130)
(3.131)
(3.132)
(3.133)
143
3. Kasus III (p bilangan bulat)
Bila m 1 , hubungan rekursi (3.112) menjadi
a2
a0
( 2 r p )( 2 r p )
a0
(2m r p )(2m r p )(2m r p 2)(2m r p 2)
1
(2 r p )(2 r p )
(3.134)
a2m
a 2 m2
2m ( 2m 2 p )
y 2 C 2 Y p ( x)
dengan
2 x
1
Y p ( x)
ln J p ( x)
2
m 0
( 1) m
m !( m p )!
x
2
p 1
m 0
2m p
( p m 1)!
m!
x
2
( m) ( m p )
2 m p
(3.136)
144
(m) 1
1 1
1
2 3
m
(m p) 1
1 1
1
2 3
m p
(3.137)
(3.138)
d2y
dy
x
(x 2 p 2 ) y 0
2
dx
dx
(3.139)
(3.140)
(3.141)
145
Pada persamaan diferensial order dua dengan koefisien konstan
apabila persamaan pembantu mempunyai akar-akar kompleks, maka
penyelesaian komple-menternya lebih baik dinyatakan dalam fungsifungsi trigonometri yang riil daripada dinyatakan dalam fungsi-fungsi
eksponensial yang kompleks. Misal, akar-akar persamaan
karakteristik: m1 a ib dan m2 a ib . Fungsi komplementernya adalah
y c C1 e ( a i b ) x C 2 e ( a i b ) x
e ibx e ibx
e ax (C1 C 2 )
2
e ibx e ibx
(C1 C 2 )
2
e ax C 3 cos bx C 4 sin bx
x 2 2 m p
J p (ix )
m 0
m ! ( m p 1)!
(3.142)
p 1
i P 1 J p (ix ) i Y p (ix )
1
ln I p ( x)
2
2
p 1
m 0
(1) m ( p m 1)!
m!
(3.143)
x
2
2m p
146
1
m 0
( 1) m x 2
m !( m p )!
2m p
( m) ( m p )
(3.144)
y C1 I p ( x ) C 2 I p ( x )
y C1 I p ( x ) C 2 K p ( x )
d2y
dy
x (a 2bx r )
c dx 2 s b(1 a r ) x r b 2 x 2 r y 0
2
dx
dx
(3.147)
Persamaan ini dapat direduksi menjadi persamaan Bessel (3.103)
dengan jalan mentransformasikan variabel-variabelnya.Dengan menggambarkan Z p (x ) sebagai salah satu dari fungsi Bessel, maka
penyelesaian umumnya dapat ditulis
yx
1 a
dimana
b xr
C1 Z p
d
s
x C2 Z p
d
s
(3.148)
147
1
p
s
1 a
c
2
(3.149)
Zp Jp
dan
Zp Jp .
p0
Zp Ip
dan
Zp Ip .
Contoh 3.8.
Selesaikan persamaan berikut ini
d2y
dy
x
x (1 2 )
2 x 2 y 0
2
dx
dx
2
(3.150)
Penyelesaian:
Dengan menyamakan persamaan ini dengan bentuk umum
persamaan Bessel, Pers. (3.147), diperoleh
koefisien dy dx :
1 2 a 2bx r ;
b 0 , a 1 2
148
koefisien
y: 2 x 2 c dx 2 s b (1 a r ) x r b 2 x 2 r ;
1 (1 2 )
0 1 (bilangan bulat)
2
d
s
2
1
(bilangan riil)
y x
J 1 ( x ) C 2 Y1 ( x )
y x C1 J 1 ( x ) C 2 Y1 ( x )
149
1
xp
J p ( x) p
;
( p 1)
2
2 p xp
J p ( x)
(1 p)
(3.151)
2 p ( p 1)!
xp
( p 0)
(3.152)
(3.153)
ln x
J 0 ( x)
Y0 ( x )
K 0 ( x)
0.0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
1,000 000
0,938 470
0,765 198
0,511 828
0,223 891
-0,048 384
-0,260 052
-0,380 128
-0,444 519
0,088 257
0,382 449
0,510 376
0,498 070
0,376 850
0,189 022
0,924 419
0,421 024
0,213 806
0,113 894
0,062 348
0,034 740
0,019 599
4,0
4,5
5,0
5,5
-0,397 150
-0,320 543
-0,177 597
-0,006 844
-0,016 941
-0,194 705
-0,308 518
-0,339 481
0,011 160
0,006 400
0,003 691
0,002 139
6,0
6,5
7,0
7,5
8,0
0,150 645
0,260 095
0,300 079
0,266 340
0,171 651
-0,288 195
-0,173 242
-0,025 950
0,117 313
0,223 521
0,001 244
0,000 726
0,000 425
0,000 249
8,5
9,0
9,5
10,0
0,041 939
-0,090 334
-0,193 929
-0,245 936
0,270 205
0,249 937
0,171 211
0,055 671
150
Fungsi-fungsi Bessel yang dimodifikasi untuk harga x kecil adalah
I p ( x)
I p ( x)
1
xp
;
2 p ( p 1)
2 p xp
(1 p )
K p ( x) 2 p 1 ( p 1)! x p
K 0 ( x ) ln x
(3.154)
( p 0)
(3.155)
(3.156)
bila p 0 ,
(3.157)
(3.158)
(3.159)
(3.160)
I p ( x)
ex
2 x
(3.161)
151
K p ( x) e x
(3.162)
2x
J 1 ( x)
Y1 ( x)
I 1 ( x)
K1 ( x)
0.0
0,5
1,0
1,5
0,000 000
0,242 268
0,440 051
0,557 937
-1,471 472
-0,781 213
-0,412 309
0,000 000
0,257 894
0,565 159
0,981 666
1,656 441
0,601 907
0,277 388
2,0
2,5
3,0
3,5
0,576 725
0,497 094
0,339 059
0,137 378
-0,107 032
0,145 918
0,324 674
0,410 188
1,590 637
2,516 716
3,953 4
6,205 8
0,139 866
0,073 891
0,040 156
0,022 239
4,0
4,5
5,0
5,5
-0,066 043
-0,231 060
-0,327 579
-0,341 438
0,397 926
0,300 997
0,147 863
-0,023 758
9,759 5
15,389 2
24,335 6
38,588 2
0,012 483
0,007 078
0,004 045
0,002 326
6,0
6,5
7,0
7,5
-0,276 684
-0,153 841
-0,004 683
0,135 248
-0,175 010
-0,274 091
-0,302 667
-0,259 129
61,342
97,735
156,039
249,584
0,001 344
0,000 780
0,000 454
0,000 265
8,0
8,5
9,0
9,5
10,0
0,234 636
0,273 122
0,245 312
0,161 264
0,043 473
-0,158 060
-0,026 169
0,104 315
0,203 180
0,249 015
399,873
641,620
1030,915
1658,453
2670,988
152
J p ( x)
p
2
cos x
x
4
2
(3.163)
Y p ( x)
p
2
sin x
x
4
2
(3.164)
n=1
2,4048
5,5201
8,6537
11,7915
14,9309
18,0711
21,2116
3,8317
7,0156
10,1735
13,3237
16,4706
19,6159
22,7601
J 1 2 ( x)
J 1 2 ( x)
2
sin x
x
2
cos x
x
(3.165)
(3.166)
153
Dengan cara yang sama diperoleh untuk
I 1 2 ( x)
I 1 2 ( x)
2
sinh x
x
(3.167)
2
cosh x
x
(3.168)
n=1
0,8936
3,9577
7,0861
10,2223
13,3611
16,5009
19,6413
2,1971
5,4297
8,5960
11,7492
14,8974
18,0434
21,1881
Sifat-Sifat Diferensial
Dengan mendiferensialkan deret-deret (3.116), (3.136), (3.142),
dan (3.144) suku demi suku, dapat dibuktikan bahwa
x p Z p 1 ( x ) ,
d
p
x Z p ( x )
p
dx
x Z p 1 ( x ) ,
Z J, Y, I
x p Z p 1 ( x ) ,
d p
x Z p ( x )
p
dx
x Z p 1 ( x ) ,
Z J, Y, K
ZK
ZI
(3.169)
(3.170)
154
p
Z p 1 ( x) Z p ( x) ,
Z J, Y, I
x
d
Z p ( x )
dx
Z ( x ) p Z ( x ) , Z K
p 1
p
(3.171)
Z
(
x
)
Z p ( x) ,
p
d
x
Z p ( x)
p
dx
Z p 1 ( x) Z p ( x) ,
x
Z J, Y, K
ZI
(3.172)
Sifat-Sifat Integral
Dengan mengintegrasikan deret-deret (3.116), (3.136), (3.142), dan
(3.144) suku demi suku, dapat dibuktikan bahwa
1
Z p 1 ( x ) dx
K p 1 ( x ) dx
I p 1 ( x ) dx
x p Z p ( x ) C , Z J , Y , I
1
x p K p ( x ) C
x p I p ( x ) C
(3.173)
(3.175)
(3.176)
x
0
t Z p ( t ) Z p ( t ) dt
155
x
Z p ( x) Z p 1 ( x) Z p ( x) Z p 1 ( x), Z J , I
2
2
(3.177)
dan jika , menghasilkan
t Z p ( t ) dt
x2
Z p2 ( x) Z p 1 ( x) Z p 1 ( x) ,
2
Z J, I
(3.178)
Tabel fungsi Bessel hanya diberikan untuk order nol dan order positif,
fungsi Bessel order negatif dapat dihitung dari hubungan rekursi
(3.179) hingga (3.181). Dengan menyisipkan Pers. (3.172) kedalam
Pers. (3.171) didapatkan
Z p 1 ( x )
2p
Z p ( x ) Z p 1 ( x ) ,
x
I p 1 ( x )
2p
I p ( x ) I p 1 ( x ) ,
x
K p 1 ( x )
2p
K p ( x ) K p 1 ( x ) ,
x
Z J, Y
(3.179)
(3.180)
(3.181)
J p ( x) (1) p J p ( x)
(3.182)
Y p ( x) (1) p Y p ( x)
(3.183)
I p ( x ) I p ( x )
(3.184)
156
K p ( x ) K p ( x )
(3.185)
Contoh 3.9.
Pada Contoh 1.4 persamaan diferensial yang dihasilkan dari
analisis aliran panas melalui dan dari sirip telah diturunkan.
Persamaannya adalah:
x
dimana:
d2y
dy
2 h L sec
y0
2
dx
kW
dx
(3.186)
dengan
d2y
dy
x
x y 0
2
dx
dx
2 h L sec
kW
(3.187)
(3.188)
157
Bila Pers. (3.187) dibandingkan dengan Pers. (3.147) didapatkan
koefisien dy dx :
1 a 2 b x r a 1; b 0
koefisien y:
x c d x 2 s b (1 a r ) x r b 2 x 2 r
c 0;
s 1 2
1 a
c
2
1
p
s
0
2 0
2
dan
d
s
12
2 2i
(imajiner)
y T Ta C1 I 0 2 x C 2 K 0 2 x
(3.189)
K.B. 1:
pada x 0,
K.B. 2:
pada x L 1, T 200oF
158
(3.189) tereduksi menjadi
T Ta C1 I 0 2 x
(3.190)
2 2 1 1 12
0,218
220 1
T Ta C1 I 0 0,934 x
(3.191)
100 C1 (1,230)
C1 81,2
Persamaan (3.191) menjadi
(3.192)
0,934 x
I 0 0,934 x
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0,000
0,417
0,590
0,722
0,832
0,934
1,000
1,043
1,089
1,134
1,180
1,230
T, oF
181,2
184,8
188,5
192,2
195,9
200,0
159
pendekatan langsung, yaitu dengan
persamaan laju perpindahan panas lokal
A
mengintegrasi
Q h (T Ta ) dA h (T Ta ) d ( 2 z x sec )
0
2 h z sec
L
0
(3.193)
(T Ta ) dx
L
0
I 0 ( 2 x ) dx
(3.194)
L
0
I 0 ( 2 x ) dx
1
2
I1 ( ) 0
2
2
1
2 0
I 0 ( ) d
I 1 (2 L )
(3.195)
2 C1 h L z sec
I 1 (2 L )
(3.196)
160
dT
Q kW z
dx x L
(3.197)
dT
d
C1
I 0 (2 x )
dx
dx
C1 2
d
I 0 ( )
d
(3.198)
I1 ( ) 1
I 1 (2 x )
dx
x
dT
dx
xL
C1
I 1 (2 L )
C1
I 1 (2 L )
(3.199)
2 C1 h L z sec
I 1 (2 L )
161
3.6 Rangkuman
Penyelesaian persamaan diferensial biasa dapat juga diselesaikan
dengan menggunakan metode deret dan fungsi-fungsi khusus. Deret
pangkat adalah salah satu metode penyelesaian persamaan diferensial
linier orde dua dengan koefisien konstan atau koefisien tidak konstan.
Ada beberapa bentuk khusus dari persamaan diferensial biasa dengan
koefisien variabel. Beberapa bentuk khusus diantaranya adalah
persamaan Bessel orde p, polynomial Jacobi orde n, dan persamaan
Legendre orde n. Bentuk khusus dari masing-masing persamaan
tersebut adalah sebagai berikut:
x2
d2y
dy
x
(x 2 p 2 ) y 0
2
dx
dx
x (1 x)
d2y
dy
[a (1 b) x]
n (b n) y 0
2
dx
dx
(1 x 2 )
d2y
dy
2x
n (n 1) y 0
2
dx
dx
3.7
Soal-Soal
x0 0
d 2 y 3 dy
x
x
(1 x) y 0
dx 2 2 dx
2
162
dan buktikan bahwa penyelesaian umumnya adalah
y ( x ) 6a 0 x 2
(1) n (n 1)2 2 n x n
(2n 3)!
n 0
1 (1) n 2 2 n x n
b0 x1 2 1 2 x
4
n
(
n
1
)(
2
n
3
)
!
n
2
Glossarium
163
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
164
BAB 4
FUNGSI-FUNGSI INTEGRAL
165
erf ( x)
x
0
exp( z 2 ) dz
(4.1)
erf ( ) 1
d
erf (kx) 2 d
dx
dx
Untuk mendiferensialkan
Leibnitz, yaitu
kx
0
exp( 2 ) d
integral
menggunakan
(4.3)
formula
a 2 ( t ) f ( x, t )
da2
da1
d a2 ( t )
f
(
x
,
t
)
dx
f
(
a
,
t
)
f
(
a
,
t
)
dx
2
1
dt a1 (t )
dt
dt a1 (t )
t
(4.4)
Dengan membandingkan ruas kanan Pers. (4.3) dengan Pers.
(4.4) diperoleh
a1 (t ) 0,
a2 (t ) kx,
t x,
x , f ( x, t ) exp( 2 )
166
2
kx
d
erf (kx) 2 exp[(kx) 2 ] k 0 0 [exp( )] d
dx
x
2k
exp[(kx) 2 ]
(4.5)
2. Bila diintegralkan
Integral erf ( k x ) dapat dilakukan dengan integral parsial.
erf (kx ) dx ?
misal:
dv dx
u erf ( k x )
du
2k
vx
exp[ (k x) 2 ] dx
erf (k x) dx x erf (k x)
x erf (k x)
x erf (k x)
2k
x exp[(k x)
] dx
exp[(k x)
] d (kx) 2
1
k
1
k
exp[(k x) 2 ] C
Jadi,
erf (k x) dx x erf (k x) k
exp[(k x) 2 ] C
(4.6)
(4.7)
167
Fungsi lain yang berhubungan dengan fungsi kesalahan yang
kadang-kadang ditabelkan adalah fungsi kesalahan komplementer
(complementary error function) yang didefinisikan dengan:
erfc ( x) 1 erf ( x)
exp( z 2 ) dz
(4.8)
erf ( x)
x
0
exp( z 2 ) dz 1
2.
erf ( x ) erf ( x )
3.
erf (0) 0
4.
erf ( ) 1
5.
erf (i x)
6.
erfc ( x) 1 erf ( x)
2i
x
0
exp( z 2 ) dz,
2
exp( z 2 ) dz
i 1
exp( z 2 ) dz
dimana:
(4.9)
168
t
1
1 p x
p 0,3275911
a3 1,421413741
a1 0,254829592
a4 1,453152027
a 2 0,284496736
a5 1,061405429
1,5 10 7
erf (x )
erf (x )
0,00000000
1,1
0,88020504
0,01
0,01128348
1,2
0,91031404
0,05
0,05637212
1,3
0,93400806
0,1
0,11246297
1,4
0,95228526
0,2
0,22270246
1,5
0,96610527
0,3
0,32862668
1,6
0,97634846
0,4
0,42839242
1,7
0,98379047
0,5
0,52050002
1,8
0,98909045
0,6
0,60385619
1,9
0,99279033
0,7
0,67780118
2,0
0,99532214
0,8
0,74210086
2,5
0,99959297
0,9
0,79690808
3,0
0,99997790
1,0
0,84270069
1,00000000
169
4.2
Fungsi Gamma
Fungsi gamma (n ) didefinisikan dengan
( n) x n 1 e x dx ,
n0
(4.10)
(1) x 0 e x dx e x
0 ( 1) 1
(4.11)
( n) x n 1 e x dx
0
misal:
dv e x dx
u x n 1
du (n 1) x n 2 dx
( n) x n 1 e x
v ex
( n 1) x n 2 e x dx
0
( 0 0 1) ( n 1) x ( n 1) 1 e x dx
0
( n 1) ( n 1)
Jadi,
( n ) ( n 1) ( n 1) ,
n 1
(4.12)
170
( n ) ( n 1) ( n 1)
( n 1)( n 2) ( n 2)
( n 1)( n 2)( n 3) ( n 3)
Jadi,
(4.13)
( n ) ( n 1) !
( n 1) x ( n 1) 1 e x dx x n e x dx
0
misal:
dv e x dx
u xn
du n x n 1 dx
( n 1) x n e x
v ex
n x n 1 e x dx
0
( 0 0 1) n x n 1 e x dx
0
n (n )
Jadi,
( n 1) n ( n )
(4.14)
(n 1)
n
(4.15)
atau
( n)
171
terletak dalam kisaran 1 n 2, lihat Tabel 4.3.
Catatan:
1. Untuk n bilangan bulat positif dapat menggunakan Pers. (4.13).
2. Untuk n bilangan pecahan positif dapat menggunakan Pers. (4.12)
atau Pers. (4.15).
Integral yang didefinisikan pada Pers. (4.10) tidak berlaku
untuk harga n negatif, tetapi fungsi gamma dari harga negatif dapat
diperoleh dengan mengembangkan Pers. (4.12), yaitu:
( n 1)
(n)
( n 1)
( n 1)
n ( n 1)
(4.16)
proses ini diulangi hingga fungsi gamma pada sisi ruas kanan mempu-
Tabel 4.3.
(n )
(n )
1,00
1,00000000
1,50
0,88622693
1,01
0,99432585
1,55
0,88886835
1,05
0,97350427
1,60
0,89351535
1,10
0,95135077
1,65
0,90011682
1,15
0,93304093
1,70
0,90863873
1,20
0,91816874
1,75
0,91906253
1,25
0,90640248
1,80
0,93138377
1,30
0,89747070
1,85
0,94561118
1,35
0,89115144
1,90
0,96176583
1,40
0,88726382
1,95
0,97988065
1,45
0,88566138
2,00
1,00000000
172
(1) 1
0
0
x (1 2 ) 1 e x dx
x 1 2 e x dx
(4.17)
Akar kuadrat negatif dari ruas kanan Pers. (4.17) dapat dihilangkan
dengan substitusi:
x z2
dx 2 z dz
x 0,
z0
x ,
exp( z 2 ) dz
(4.18)
Karena sisi ruas kanan merupakan bentuk dari fungsi kesalahan, maka
Pers. (4.18) dapat ditulis
( 1 2 )
exp( z 2 ) dz
Contoh 4.1.
Hitunglah (9 2).
Penyelesaian:
Persamaan (4.12):
erf ()
(4.19)
173
( n ) ( n 1) ( n 1)
(9 2 )
7
( 7 2)
2
7 5
(5 2 )
2 2
7 5 3 1
(1 2)
2 2 2 2
7 5 3 1
24
7 5 3 1
24
Contoh 4.2.
Hitunglah
a) (6)
c) (3,8)
b) (0,25)
d) (0,7 )
Penyelesaian:
a) Dari Pers. (4.13):
( n ) ( n 1) !
(6) 5! 5 4 3 2 1 120
(4.20)
174
b) Dari Pers. (4.15) dan Tabel 4.3:
( n)
(n 1)
n
(0,25)
(1,25)
0,90640248
3,62560992
0,25
0,25
(n)
( n 1)
( n 1)
n ( n 1)
(0,3 1)
0,89747070
4,27367
(0,3)(0,3 1)
0,21
B ( m, n) x m 1 (1 x ) n 1 dx ,
0
Substitusikan:
x 1 y
m 0, n 0
dx dy
(4.21)
175
limit-limit integrasi: x 0,
y 1
x 1,
y0
0
1
1
0
(1 y ) m 1 y n 1 ( dy )
y n 1 (1 y ) m 1 dy
(4.22)
B ( n, m )
(4.23)
dx 2 sin cos d
B ( m, n) 2 sin 2 m 1 cos 2 n 1 d
2
(4.24)
Substitusi: x y a
B ( m, n )
Substitusi: x
1
a
m n 1
a
0
y m 1 ( a y ) n 1 dy
(4.25)
y
1 y
B(m, n)
y m1
dy
(1 y ) m n
(4.26)
176
B ( m, n )
( m) ( n)
( m n)
(4.27)
Contoh 4.3.
Hitunglah
a)
b)
1
0
c)
x 3 (1 x ) 2 dx
2
0
sin 5 x cos 6 x dx
dx
( x 2)(5 x)
5
2
Penyelesaian:
a) Dengan membandingkan dengan Pers. (4.21), diperoleh
m 4 dan n 3. Jadi,
1
( 4) (3) 3! 2!
1
3
2
0 x (1 x) dx B(4,3) (7) 6! 60
b) Misalkan: y x 2
(atau y 5 x )
x y2
Batas integrasi:
5
2
dx
( x 2)(5 x)
dx dy
x 2,
y0
x 5,
y3
3
0
dy
y (3 y )
y 1 2 (3 y ) 1 2 dy
0
(4.28)
Dengan membandingkan Pers. (4.25) dan (4.28), didapatkan
a 3, m 1 2 , dan n 1 2 . Jadi,
3
0
y 1 2 (3 y ) 1 2 dy 3
1 1 1
2 2
B( 1 2 , 1 2 )
( 1 2 ) ( 1 2 )
(1)
177
c) Dengan membandingkan dengan Pers. (4.24), diperoleh
m 3 dan n 7 2 . Jadi
sin 5 x cos 6 x dx
1 7
B 3,
2 2
1 (3) (7 2)
2 [3 (7 2)]
8
693
2! 5 2 3 2 1 2 ( 1 2 )
11 9 7 5 3 1 ( 1 )
2
2
2
2
2
2
2
4.4 Rangkuman
Integral suatu persamaan diferensial dapat menghasilkan integral
dalam bentuk tidak tertutup. Bentuk integral seperti ini biasa
dinyatakan dalam bentuk fungsi-fungsi baru, seperti error function,
Gamma function, dan Beta function. Bentuk integral dari fungsifungsi diatas masing-masing adalah sebagai berikut:
erf ( x)
x
0
exp( z 2 ) dz
( n) x n 1 e x dx
0
B ( m, n) x m 1 (1 x ) n 1 dx
0
178
4.5 Soal-soal:
4.1 The complementary error function can be expressed as
erfc ( x) 1 erf ( x)
exp( z 2 ) dz
exp( z 2 ) dz
1
ex
exp( z 2 ) dz
2
x
2x
2z
1
ex
3 1
2
exp(
z
)
dz
4 exp( z 2 ) dz
2
3
4 x z
2z
4x
a. Show that
1 t cos 2
B ( x, y ) 2
/2
0
sin 2 x 1 y n 1 cos
2 y 1
b. Now, use the substitution t cos 2 , repeat the in (a) and thereby
prove
B ( x, y ) B ( y , x )
4.3. Evaluate the derivative of Gamma function and see
179
( x)
d ( x )
t x 1 (ln t ) e t dt
0
dx
lim 1
n
1 1 1
1
... ln( n)
2 3 4
n
Glossarium
erf ( x)
x
0
exp( z 2 ) dz
In mathematics, the beta function, also called the Euler integral of the
first kind, is a special function defined by
180
1
B (m, n) x m 1 (1 x ) n 1 dx
0
( n) x n 1 e x dx
0
Daftar Pustaka
1.
2.
181
BAB 5
PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL
5.1 Pendahuluan
Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan diferensial
(PD) yang terdiri dari dua atau lebih variabel bebas. Order suatu PDP
adalah order turunan tertinggi yang terdapat dalam persamaan itu.
Contohnya
2u
2x y
x y
(5.1)
182
variabel x1 , x 2 , , x n yang dapat ditulis dalam bentuk
u f ( x1 , x 2 , , x n )
f
f
dx1
du
x1
x 2
dx2
x n
dxn
y
0
x t
y g (t )
2z
2z
2z
R
S
xy
x 2
y 2
(5.2)
183
Dengan menganalogikan dengan tatanama yang digunakan untuk
menggam-barkan bagian konis, Pers. (6.2) dapat ditulis sebagai
berikut:
ax 2 2bxy cy 2 d
(5.3)
b 2 4 ac
(5.4)
0 :persamaan eliptik
(5.5)
0 :persamaan parabolik
(5.6)
0 :persamaan hiperbolik
(5.7)
c
2c
D 2
t
x
termasuk dalam persamaan parabolik, karena a D , b 0, dan c 0,
sehingga 0. Hukum Newton untuk gerakan gelombang
2u
2u
t 2
y 2
termasuk dalam persamaan hiperbolik, karena a 1, b 0, dan
c , sehingga 0. Persamaan Laplace untuk konduksi panas
2T
2T
0
x2
y 2
184
termasuk dalam persamaan eliptik, karena a 1, b 0, dan c 1 ,
sehingga 0 .
Persamaan diferensial parsial linier homogen order dua sering
kali terjadi. Bila S 0, Pers. (5.2) dikatakan PDP homogen.
t 0,
T f (x )
(5.8)
(ii) pada
x 0,
T g (x )
(5.9)
(5.10)
(5.11)
Kondisi batas pada kedua contoh ini merupakan kondisi batas nonhomogen. Namun, jika harga batasnya adalah suatu konstanta, misal
185
T (t ,0) T0
(5.12)
(t ,0 ) 0
(5.13)
r 0,
pada
r R, k
T
0
r
T
Q
r
(5.14)
(5.15)
r R, k
T
0
r
T
0
r
(5.16)
186
mungkin mengubah kondisi batas (5.15) menjadi kondisi homogen
untuk T.
3. Fungsi campuran pada harga batas
Tipe ketiga ini terjadi pada interface padat-fluida, dimana fluksi panas
dapat dihubungkan dengan selisih antara temperatur pada interface
dan fluida. Misalnya,
dT
pada r R , k
(5.17)
h (T T f )
dr
Sisi ruas kanan Pers. (5.17) merupakan hukum pendinginan Newton.
Persamaan (5.17) merupakan kondisi batas homogen. Dengan
mendefinisikan T T f ( T f harganya ditetapkan dan konstan),
menghasilkan
pada
r R, k
h
r
(5.18)
N A m A D
x(r , t )
r
N A m ( 4R 2 ) D
r R
x ( R, t )
r
(5.19)
187
biji-bijian, m adalah jumlah biji-bijian. Dari neraca massa minyak di
dalam fase solven didapatkan
V
dc
x ( R, t )
m ( 4R 2 ) D
dt
r
(5.20)
m (4R 2 ) D
V
t
0
x( R, t )
dt
r
(5.21)
pada r R , x c.
Untuk PDB, jumlah kondisi batas dan awal yang diperlukan
sama dengan jumlah konstanta integrasi yang dihasilkan. Sedangkan
jumlah konstanta-konstanta integrasi dari suatu penyelesaian PD sama
dengan order PD. Namun, aturan ini tidak sesuai untuk PDP. Tinjau
suatu PDP berikut ini:
v0
c A
1 c A
DA
r
z
r r r
v0
2cA
c A
1 c A
D A
2
z
r r
r
(5.22)
Jumlah kondisi batas yang diperlukan untuk Pers. (5.22) adalah dua
untuk r (katakanlah, pada r 0 dan r R ) dan satu untuk z
(misalnya, pada z 0 ). Dari Pers. (5.22) terlihat bahwa banyaknya
kondisi batas yang diperlukan adalah jumlah order dari tiap-tiap
turunan parsial. Tetapi aturan ini tidak berlaku, misalnya, jika
penyelesaian yang dicari dalam time-periodic, yaitu kondisi awal tidak
diperlukan, yang diperlukan adalah kondisi-kondisi pada batasanbatasannya (katakanlah pada r 0 dan r R ).
Kisaran variabel-variabel bebas dapat terbuka (tak berhingga)
188
ataupun tertutup (berhingga). Bila kisaran untuk setiap variabelvariabel bebas tertutup, maka persamaan tersebut digolongkan dalam
masalah harga batas. Jika kisaran dari sembarang variabel bebas
terbuka, persamaan tersebut digolongkan dalam masalah harga
awal. Klasifikasi ini mempengaruhi pemilihan metode penyelesaian.
5.3
189
Contoh 5.1.
Selesaikan persamaan konduksi panas satu dimensi berikut ini:
2T
T
2
t
x
(5.23)
Penyelesaian:
Bentuk variabel penyatu (variabel yang menyatukan variabelvariabel bebas) yang disarankan adalah:
x
(t )
(5.24)
dimana (t ) adalah jarak penetrasi, yaitu yang menggambarkan jarak dari permukaan saat perubahan temperatur terjadi.
Anggap penyelesaian Pers. (5.23) adalah:
T ( x, t ) f ( )
(5.25)
x
d x
(t ) d
2T
T
df
1
2
x x x d (t )
x
df
1
d
d (t )
d
d2 f
1
2 (t ) d 2
(5.26)
190
dan
T
df
df
d (t )
x
t
d t
d (t )
dt
(5.27)
T
df
d (t )
t
d (t )
dt
(5.28)
d2 f
df (t ) d (t )
2
d
dt
d
(5.29)
(t ) d (t )
dt
(5.30)
(t )
0
(t ) d (t ) 2
t
0
dt
(t ) 4 t
(5.31)
x
4 t
(5.32)
191
Substitusikan Pers. (5.30) ke dalam Pers. (5.29)
d2 f
df
2
0
2
d
d
(5.33)
dp
d2 f
d
d 2
df
,
d
df
C1 exp( 2 )
d
(5.34)
f ( ) C1 exp( 2 ) d C 2
0
(5.35)
erf ( )
exp( z 2 ) dz
(5.36)
(5.37)
192
atau
T ( x, t ) C 3 erf
C2
4 t
x
(5.38)
karena
konveksi
m C
karena karena
konduksi konveksi
T x Qy
m C
x x
karena
0
konduksi
Qy
y y
193
v C y z T k x z T
x
x p
y
v x C p y z T
v x C p y z T
x x
x x
k x z
T
y
k x z Ty
y y
y y
T
y
vx C p
T
T
k
x
y y
T
2T
k
x
C p y y 2
(5.39)
atau
T
A 2T
x
y y 2
(5.40)
dimana:
k
Cp
(5.41)
Kondisi batasnya:
pada
x 0, y 0,
T T1
(5.42)
pada
y , x x,
T T1
(5.43)
pada
y 0, x x,
T T0
(5.44)
194
Untuk menyederhanakan kondisi batas temperatur diubah dalam
besaran tak berdimensi , yaitu:
T T1
T0 T1
(5.45)
T (T0 T1 )
(5.46)
2T (T0 T1 ) 2
A 2
2
y y
x
(5.47)
x 0, y 0,
y , x x,
0
0
(5.48)
(5.49)
pada
y 0, x x,
(5.50)
( x, y ) f ( )
(5.51)
y
(x )
(5.52)
195
y
(9 A x ) 1 3
(5.53)
df
df
1
13
y
d y
d (9 A x)
2
2
y
y
(5.54)
d df
1
13
y d d (9 A x) y
d2 f
1
(9 A x) 2 3 d 2
(5.55)
dan
df
df (1 3) (9 A x) 2 3 9 A y
x
d x
d
(9 A x) 2 3
1
y
1 df
13
3 (9 A x )
x d
df
x
3 x d
(5.56)
d2 f
A
1
df
13
23
2
3 x d
(9 A x)
(9 A x)
d
196
d2 f
df
3 2
0
2
d
d
(5.57)
dp
d2 f
d
d 2
df
,
d
df
C1 exp( 3 )
d
(5.58)
exp( 3 ) d C 2
(5.59)
Kondisi batasnya:
pada
x 0, y 0,
(5.60)
pada
y , x x,
(5.61)
pada
y 0, x x,
0,
(5.62)
197
Dari Kondisi Batas (5.62) dan Pers. (5.59) didapatkan:
1 C1
0
0
exp( 3 ) d C 2
C 2 1
( x , y ) C1
exp( 3 ) d 1
(5.63)
0 C1
exp( 3 ) d 1
C1
(5.64)
exp( 3 ) d
( x, y )
exp( 3 ) d
exp( ) d
3
exp( 3 ) d exp( 3 ) d
0
exp( 3 ) d
T T1
( x, y )
T0 T1
exp(
exp(
3
3
) d
) d
(5.65)
198
misal: t 3
dt 3 2 d ,
d
1 2
1
dt t 2 3 dt
3
3
1 2 3
t
dt
3
exp( 3 ) d
1
3
1 1
4
3 3
3
e t
e t t 1 3 1 dt
(5.66)
T T1
T0 T1
exp(
) d
(4 3)
(5.67)
T
k
y
h (T1 T0 )
y 0
(5.68)
(T0 T1 )
y
y
(5.69)
199
Substitusikan Pers. (5.54) ke dalam Pers. (5.69):
T
f
1
(T0 T1 )
1 3
y
(9 A x )
(5.70)
T
1
(T0 T1 )
1 3
y
(9 A x)
(5.71)
3
exp(
)
d
exp( 3 )
exp( 3 )
T
1
(T0 T1 )
y
(9 A x)1 3 (4 3)
(5.72)
Dari kondisi batas (5.62) dan Pers. (5.72):
T
y
y 0
T0 T1
1
1 3
(4 3)
(9 A x)
k (T0 T1 )
1
h (T0 T1 )
13
(4 3)
(9 A x)
h
k
1
( 4 3) (9 A x )1 3
k
h
( 4 3)
Cp
9k x
13
(5.73)
200
5.3.2 Fungsi-Fungsi Orthogonal dan Persamaan Sturm-Liouville
Sebelum membahas metode pemisahan variabel untuk penyelesaian
PDP terlebih dahulu diperkenalkan dengan fungsi-fungsi orthogonal.
Metode pemisahan variabel biasanya menghasilkan penyelesaian
berupa penjumlahan tak berhingga dari sekumpulan fungsi-fungsi
yang berhubungan. Sifat orthogonal ini sangat bermanfaat dalam
menentukan konstanta-konstanta dari sekumpulan fungsi-fungsi
tersebut.
Dua fungsi m (x) dan n (x ) dikatakan orthogonal terhadap
fungsi pembobot (weighting function) r (x ) pada kisaran dari a
hingga b jika
b
a
r ( x ) m ( x ) n ( x ) dx 0 ,
(untuk m n )
(5.74)
(5.75)
201
2
sin m x sin n x dx
cos( m n ) x dx cos( m n ) x dx
0
(5.76)
1
1
sin( m n) x 0
sin( m n) x 0
mn
mn
0
jika m n , dari Pers. (5.76) diperoleh
(sin m x ) 2 dx dx
0
cos 2m x dx
sin 2m x 0
2m
Jadi,
0
sin m x sin n x dx
2
bila m n
0
cos m x cos n x dx
2
bila m n
bila mn
(5.77)
dan
bila mn
(5.78)
202
Persamaan Sturm-Liouville
Setiap persamaan diferensial biasa linier order dua yang dapat ditulis
dalam bentuk umum
d
dx
dy
p( x) dx q( x) r ( x) y 0
(5.79)
d
dx
d n
p( x) dx q( x) n r ( x) n 0
(5.80)
d
dx
d m
p ( x) dx q ( x) m r ( x) m 0
(5.81)
d
dx
d n
d m
d
p( x) dx n dx p( x) dx n m r ( x) n m 0
203
b
( n m ) r ( x) n m dx n
d
dx
b
d m ( x)
p( x) dx dx
m
a
d
dx
d n ( x)
p( x) dx
dx
(5.82)
Jelas terlihat bahwa ruas kiri hampir sama dengan Pers. (5.74).
Dengan menghitung masing-masing integral pada ruas kanan secara
parsial, diperoleh
b
b
d
d
d
( n m ) r ( x) n m dx n p( x) m p( x) m n dx
a
a
dx a
dx
dx
b
d
d
d
m p( x) n p( x) n m dx
a
dx a
dx
dx
d n
d m
p( x) n
m
dx
dx
(5.83)
b,
y0
n m 0
ii. x a atau
b,
dy
0
dx
iii. x a atau
b,
dy
Ny
dx
d n
d m
0
dx
dx
d n
d m
N n ,
N m .
dx
dx
204
5.3.3 Metode Pemisahan Variabel
Metode pemisahan variabel merupakan suatu metode yang paling luas
penggunaannya dalam matematika terapan. Strategi dari metode ini
adalah memecahkan variabel terikat sebanyak variabel bebas, dimana
masing-masing variabel terikat hanya mengandung satu variabel bebas
saja; akibatnya, akan menghasilkan sekumpulan PDB. Karena hanya
persamaan-persamaan linier yang sesuai dengan metode ini, maka
dengan jelas prinsip-prinsip superposisi dapat dipakai. Ini berarti
bahwa sederetan penyelesaian PDB dapat dijumlahkan untuk
menghasilkan penyelesaian lengkap. Kumpulan persamaan-persamaan
ini akan menimbulkan konstanta-konstanta integrasi dengan jumlah
tak berhingga. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bagaimana
menentukan konstanta-konstanta integrasi yang jumlahnya tak
berhingga. Masalah ini dapat diselesaikan, untuk kondisi-kondisi batas
homogen, dengan menggunakan suatu kondisi yang disebut
orthogonaliti. Sifat-sifat fungsi orthogonal akan dapat menghitung
konstanta-konstanta integrasi satu per satu.
Berikut ini akan didemonstrasikan pemakaian metode ini
dengan contoh praktis.
Contoh 5.4.
Suatu slab mempunyai panjang dan lebar (arah y dan z) tak
terhingga. Temperatur mula-mula adalah T1 , kedua permukaan
slab tersebut didinginkan tiba-tiba menjadi temperatur T0 . Tebal
slab 2R. Bagaimana hubungan antara temperatur terhadap waktu
dan posisi dalam slab sesudah proses pendinginan? Ambil
sistem koordinat pada salah satu permukaan slab.
Penyelesaian:
Neraca panas pada elemen volum:
( L. masuk ) ( L. keluar ) ( L. akumulasi )
205
2R
Anggap: k, , C p = konstan.
dx
z
x
Gambar 5.1. Slab tak terhingga.
qx x A qx
x x
d
A x C p T
dt
Dengan
(q x ) C p
x
t
menggunakan
hukum
Fourier,
q x k T x,
didapatkan
2T
T
2
t
x
(5.84)
dimana
k
Cp
(5.85)
206
K.A.: Temperatur disemua tempat pada keadaan awal adalah
T1
T ( x,0) T1
(5.86)
K.B.1: Temperatur pada x 0 setiap saat dijaga konstan T0
T (0, t ) T0
(5.87a)
(5.87b)
(5.87c)
Dari Pers. (5.87) terlihat bahwa kondisi batas adalah nonhomogen. Jadi, untuk menghomogenkan kondisi batas
temperatur T diubah menjadi besaran tak berdimensi , yaitu
T T0
T1 T0
(5.88)
T (T1 T0 )
2T (T1 T0 ) 2
Persamaan ini
menghasilkan
disubstitusikan
ke
2
t
x
dalam
Pers.
(5.84),
(5.89)
( x ,0 ) 1
(5.90)
207
K.B.1:
( 0, t ) 0
(5.91a)
K.B.2:
K.B.3:
(2 R, t ) 0
( x, ) 0
(5.91b)
(5.91c)
( x , t ) f ( x ) g (t )
(5.92)
df
g (t )
x
dx
2
2
d df
d f
g
(
t
)
2
x x dx dx
x 2
dx
(5.93)
dan
dg
f ( x)
t
dt
(5.94)
d2 f
dg
f
2
dt
dx
(5.95)
208
Variabel-variabel terikat dapat dipisahkan dengan membagi Pers.
(5.95) dengan f g , menghasilkan
dg
1 d2 f
1
2
f dx
g dt
(5.96)
dg
1 d2 f
1
2
2
f dx
g dt
(5.97)
(5.98)
dg
2 g 0
dt
(5.99)
dan
209
d2 f
2 f 0
2
dx
Persamaan karakteristiknya:
m 2 2 0
m1, 2 i
f ( x) C1 cos x C 2 sin x
(5.100)
Persamaan karakteristiknya:
m 2 0
m 2
(5.101)
( x , t ) f ( x ) g (t )
(C1 cos x C 2 sin x ) C 3 exp( 2 t )
(C 4 cos x C 5 sin x ) exp( 2 t )
b) Untuk 2 0
Persamaan (5.98) menjadi
d2 f
0
dx 2
(5.102)
210
integrasikan dua kali terhadap x, diperoleh
f ( x) C 6 x C 7
(5.103)
dg
0
dt
g (t ) C 8
(5.104)
( x , t ) f ( x ) g (t )
(C 6 x C 7 ) C 8
C 9 x C10
(5.105)
(5.107)
211
0 (C 4 cos 0 C 5 sin 0) exp( 2 t )
C4 0
( x, t ) C 5 sin x exp( 2 t )
(5.108)
n
,
2R
n 0, 1, 2,
n 0, 1, 2,
(5.109)
n2 2
n x
exp
t
2
2R
4R
( x, t ) C5 sin
(5.110)
n x
1 C5 sin
2R
Ini menunjukkan bahwa harga C 5 tidak hanya satu untuk
memenuhi kon-disi awal tersebut. Jadi jawaban paling umum
dari tipe ini dapat diperoleh dengan superposisi penyelesaian
partikulir Pers. (5.110).
212
n2 2
n x
exp
t
2
2R
4R
( x, t ) An sin
n 1
5.111)
n x
1 An sin
n 1
2R
(5.112)
2R
0
2R
m x
m x
n x
dx sin
An sin
sin
dx
0
2
R
2
R
2
R
n
1
(5.113)
Integral jumlah sama dengan jumlah dari integral, maka Pers.
(5.113) menjadi
2R
0
m x
dx An
sin
n 1
2R
2R
0
m x n x
sin
dx
sin
2R 2R
(5.114)
213
Dari properti orthogonal diperoleh bahwa integral pada ruas
kanan Pers. (5.114) adalah nol, kecuali untuk kasus m n . Bila
m n , maka
2R
0
n x
dx An
sin
n 1
2R
2R
0
n x
dx
sin
2R
(5.115)
2R
0
n x
dx An R
sin
2
R
n x
sin
2R
An
2
n
An
2
1 ( 1) n ,
n
n
0
n x
d
2R
n 1, 2, 3,
(5.116)
( x, t )
n2 2 t
n x
1 (1) n
sin
exp
n
2R
n 1
4 R2
atau
T T0
2
T1 T0
n2 2 t
n x
1 (1) n
sin
exp
2R
n
4 R2
n 1
(5.117)
214
5.4 Rangkuman
Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang
mempunyai lebih dari satu variabel bebas. Secara analitik persamaan
diferensial parsial dapat diselesaikan dengan menggunakan metode
penyatuan variabel, metode pemisahan variabel, dan transformasi
Laplace. Hasil dari penyelesaian persamaan diferensial parsial sangat
ditentukan oleh kondisi awal dan kondisi batas. Kondisi awal dan
kondisi batas merupakan pernyataan dari fenomena fisik pada hargaharga yang ditentukan dari variabel bebas. Ada tiga tipe kondisi awal
dan kondisi batas yang biasanya muncul dalam suatu permasalahan,
yaitu:
1. Fungsi yang ditetapkan pada harga batas.
2. Turunan fungsi yang ditetapkan pada harga batas.
3. Fungsi campuran pada harga batas.
5.5
Soal-Soal
pada
t 0,
x x,
K.B.1:
pada
x 0,
t t,
K.B.2:
pada
x 2R,
t t,
215
contact time. Ignoring axial conduction, the steady-state heat
balance was shown for parabolic velocity profile
r 2 T
1
2 v0 1
r r
R z
T
r
r
1 T
r
r r r
2T
2
y
y
v z 4 v0
R
(a) By analogy with the CVD-reactor problem (Example 10.2),
use the combined variable
y
9 R z
4 v0
13
(T TW ) f ( )
T TW
1
T0 TW
(4 3)
exp( 3 ) d
216
T
q 0 k
y
y 0
Rz
4
1 3
L
1
h0 ( z ) dz
L 0
Nu 1.62 Re Pr
1 3
8
1 .5
9
1.62
4
3
where
Nu
h0 D
,
k
Re
v0 D
,
Pr
Cp
k
D 2R
217
(Problem taken from Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers by R. G.
Rice and D. D. Do, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1995. Problem 10.23)
5.3. As a design engineer, you are asked by your boss to design a
wetted wall tower to reduce a toxic gas in an air stream down to
some acceptable level. At your disposal are two solvents, which
you can use in the tower; one is nonreactive with the toxic gas
but is cheap, whereas the other is reactive and quite expensive.
In order to choose which solvent to use, you will need to
analyze a model to describe the absorption of the toxic gas into
the flowing solvent (see Fig. 5.1).
(a) For the nonreactive solvent, derive from first principles the
mass balance equation for the absorbed toxic gas into the
solvent and show
x 2 C
2C
v maks 1
D
x2
z
(b) What are the boundary conditions for the mass balance
equation obtained in part (a).
(c) For the reactive solvent, derive from the first principles the
mass balance for the absorbed toxic species and the solvent
follows first order kinetics.
x 2 C
2C
v maks 1
D
kC
x2
z
(d) Assuming that you have obtained the solution for the
distribution of absorbed concentration of the toxic species,
obtain a formula to calculate the mass flux (mole/area-time)
into the falling film as a function of z.
218
N ( z ) D
C
x
x 0
Mass flux W N ( z ) dz W D
C
x
dz
x 0
(e) For a given length and width and a given flow rate of liquid,
which solvent do you expect to give higher absorption rate
and why?
(Problem taken from Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers by R. G.
Rice and D. D. Do, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1995. Problem 10.12*)
5.4. Metode tabung kapiler untuk menentukan difusivitas cairan
biner telah dilaporkan dalam Mickley dkk. (1957). Tabung
kapiler panjangnya L, salah satu ujungnya tertutup, ujung yang
lainnya terbuka, mula-mula berisi larutan A dengan konsentrasi
C0. Kapiler tersebut diletakkan dalam posisi tegak dengan ujung
terbuka menghadap ke atas. Kemudian solven murni (B)
dialirkan secara perlahan dan kontinyu melewati ujung kapiler
terbuka. Setelah waktu tertentu, , kapiler tersebut dikeluarkan
dan larutan A sisa dianalisa komposisinya, untuk menentukan
berapa banyak solut A yang telah terekstrak. Percobaan ini
dilakukan beberapa kali pada harga berbeda. Konsentrasi A
pada ujung kapiler terbuka dianggap selalu nol.
Anggap difusivitas tidak terlalu banyak berubah terhadap
komposisi (sebe-narnya difusivitas rata-rata dihitung sesuai
dengan komposisi rata-rata antara keadaan awal dan akhir).
Kondisi awal dan batas adalah:
pada
t 0,
C A C0
219
pada
z 0,
N Az 0
pada
z L,
CA 0
N A z DAB
dC A
dz
mol
luas waktu
C A
2C A
DAB
t
d z2
(b) Selesaikan persamaan dalam bagian (a) dengan
menggunakan metode pemisahan variabel, dan buktikan
bahwa
C A ( z, t )
4C 0
n 1
(1) n 1
(2n 1) z
cos
(2n 1)
2L
(2n 1) 2 2 DAB t
exp
2
4
L
1
L
L
0
C A ( z, t )
dz
C0
220
n 1
(2n 1) 2 2 DAB t
1
exp
2
4
(2n 1) 2
L
Glossarium
Daftar Pustaka
1.
2.
221
Mathematics in Chemical Engineering, McGraw-Hill Book
Company, New York.
4.
5.
6.
7.
222
BAB 6
TRANSFORMASI LAPLACE
223
dikembalikan ke masalah orisinal. Salah satu contoh dari proses ini
adalah ide tentang logaritma. Ide ini digunakan untuk membantu
perhitungan. Misal, masalah perkalian yang rumit, dengan
menggunakan ide ini kita dapat mentransformasikannya ke dalam
masalah penjumlahan, kemudian dilakukan penjumlahan, dan setelah
itu jawaban tersebut ditransformasikan kembali ke dalam masalah
aslinya. Proses yang bergerak dari hasil transformasi kembali ke hasil
aslinya disebut transformasi invers. Misalnya, kita tahu bahwa invers
dari transformasi logaritma adalah transformasi eksponensial.
f
f-1
y ylog
= log
a xa x
a y a log a x
Di dalam kalkulus dasar juga kita telah mempelajari bagaimana suatu
integral tertentu dapat dengan mudah diselesaikan dengan merubah
variabel-variabelnya, yaitu dengan mentransformasikan, katakanlah,
suatu integral dalam bentuk x menjadi dalam bentuk integral yang
lebih sederhana dalam variabel lainnya, katakanlah u. Kemudian
bentuk integral yang lebih sederhana dalam variabel u diselesaikan,
dan hasilnya dikembalikan lagi dalam variabel x. Jadi, filosofi dalam
melakukan transformasi untuk menyelesaikan suatu masalah dapat
dinyatakan secara sederhana: 1. Transformasi; 2. Selesaikan; dan 3.
Invers.
Dalam bab ini kita akan mempelajari suatu tipe khusus dari
transformasi integral yang disebut transformasi Laplace. Transformasi
ini akan berguna bagi kita karena dapat menghilangkan turunanturunan dari persamaan diferensial dan menggantikannya dengan
persamaan aljabar.
224
6.2
L [ f (t )] F ( s ) e s t f (t ) dt
(6.1)
6.2.1
1. Bila f (t ) C konstanta
L [C ] F ( s ) e s t C dt
0
C st
e
s
C
(0 1)
s
C
s
2. Bila f (t ) t
L [t ] F ( s )
e s t t dt
misal: u t
dv e s t dt
(6.2)
225
du dt
L [t ]
1
t e st
s
1
s
1
1
(0 0) 2 e s t
s
s
e s t dt
1 st
e
s
1
(0 1)
s2
1
s2
(6.3)
3. Bila f (t ) t n
L [t n ] F ( s ) e s t t n dt
0
u st ;
du s dt
sehingga
L [t ] e
n
1
u 1
du n 1
s
s s
1
s n 1
n!
s n 1
e u u n du
( n 1)
4. Bila f (t ) e a t
L [e a t ] F ( s )
e s t e a t dt
e ( s a ) t dt
(6.4)
226
1
e ( sa ) t
sa
1
(0 1)
sa
1
sa
(6.5)
at
1
sa
(6.6)
5. Bila f (t ) cos a t
L [cos a t ] F ( s ) e s t cos a t dt
0
u cos at
misal:
dv e s t dt
du a sin a t dt
1 st
e
s
sehingga
L [cos at ]
1 st
e cos at
s
1
a
(0 1)
s
s
a
s
e s t sin at dt
e s t sin at dt
u sin a t
dv e s t dt
227
L [cos at ]
1
a 1
e s t sin at
s
s s
1 st
e
s
du a cos a t dt
a
s
e s t cos at dt
1
a
a2
2 (0 0) 2 L [cos at ]
s
s
s
a2
1
1 2 L [cos at ]
s
s
L [cos at ]
1
s2
s
2
2
2
s s a
s a2
(6.7)
Metode lain:
Formula Euler:
e i a t cos at i sin at
L [cos a t ] e s t cos a t dt Re
0
e s t e i a t dt
1
Re
e ( s i a ) t
s
i
a
Re
(0 1)
s ia
1
s ia
Re
s ia s ia
s ia
Re 2 2 2
s i a
s
s a2
2
228
Hasilnya sama dengan Pers. (6.7). Dengan cara yang sama diperoleh
untuk
a
(6.8)
L [sin a t ] 2
s a2
Transformasi Laplace dari beberapa fungsi sederhana diberikan dalam
Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Transformasi Laplace dari beberapa fungsi sederhana
No.
f (t )
1.
2.
3.
tn
F (s )
C s
1
s2
( n 1)
s n 1
n!
s n 1
4.
e at
5.
t n e at
, 0! 1
n!
6.
cos at
7.
sin a t
8.
cosh a t
9.
sinh a t
s0
s0
s0
sa
sa
s0
s0
s a
s a
229
6.2.2
1. Sifat Linier
Jika C1 dan C2 adalah konstanta-konstanta sembarang, sedangkan
f1 (t ) dan f 2 (t ) adalah fungsi-fungsi dengan transformasi
Laplacenya masing-masing F1 ( s) dan F2 (s) , maka
L [C1 f 1 (t ) C 2 f 2 (t )] C1 L [ f 1 (t )] C 2 L [ f 2 (t )]
C1 F1 ( s) C 2 F2 ( s)
(6.9)
L [ f (at )]
1 s
F
a a
(6.10)
Bukti:
L [ f ( at )] e s t f ( at ) dt
0
u at ;
du a dt
sehingga
L [ f (at )]
1
a
e ( s a ) u f (u ) du
1 s
F
a a
230
Contoh 6.1.
Carilah L [cos a t ].
Penyelesaian:
Misalkan:
f (t ) cos t
L [cos t ]
s
F (s)
s 1
2
maka
L [cos at ]
1
sa
1
s a2
s
2
2
2
2
2
a ( s a) 1 a
s a
s a2
df (t )
dt
s t df (t )
dt
e s t df (t )
0
0
dt
misal:
dv df (t )
du s e s t dt
v f (t )
sehingga
df (t )
dt
st
f (t ) e
s e s t f (t ) dt
0
{0 f (0)} s L [ f (t )]
s F ( s ) f (0)
(6.11)
231
Transformasi Laplace dari turunan kedua didefinisikan:
d 2 f (t )
2
dt
d 2 f (t )
df (t )
st
dt e s t d
0
2
0
dt
dt
df (t )
dv d
dt
u e st
du s e s t dt
d 2 f (t )
L
2
dt
df (t ) s t
e
dt
df (t )
dt
s e st
0
df (t )
dt
dt
df (0)
df (t )
0
s L
dt
dt
s [ s F ( s) f (0)]
df (0)
dt
s 2 F ( s ) s f (0) f (0)
(6.12)
d n f (t )
L
n
dt
n
n 1
n2
s F ( s) s f (0) s f (0) f
n 1
(0)
(6.13)
232
membutuhkan kondisi-kondisi awal dari fungsi dan turunan-turunan
suksesifnya. Ini berarti bahwa hanya masalah-masalah kondisi awal
dapat diselesaikan dengan transformasi Laplace. Secara implisit juga
menyatakan bahwa turunan fungsi-fungsi yang ditinjau hanya berlaku
untuk fungsi kontinyu. Jika tidak kontinyu, maka transformasi
Laplace dari turunan harus dimodifikasi untuk memperhitungkan
ketidak-kontinyuannya.
Transformasi dari turunan dapat digunakan untuk mendapatkan
transformasi Laplace dari suatu fungsi tanpa menggunakan prosedur
integrasi.
Contoh 6.2.
Carilah L [e a t ].
Penyelesaian:
f (t ) e a t ,
Misalkan:
f (t ) a e a t
L [ f (t )] s F ( s ) f (0)
L [ a e a t ] s L [ f (t )] 1
( s a ) L [e a t ] 1
L [e a t ]
1
sa
f ( 0) 1
233
Contoh 6.3.
Hitunglah L [cos a t ].
Penyelesaian:
Misalkan:
f (t ) cos a t ,
f (t ) a sin a t ,
f ( 0) 1
f (0) 0
f (t ) a 2 cos at
L [ f (t )] s 2 F ( s ) s f (0) f (0)
L [ a 2 cos at ] s 2 L [cos at ] s (1) 0
( s 2 a 2 ) L [cos at ] s
L [cos a t ]
s
s a2
2
L [ f (t )] F ( s ) e s t f (t ) dt
0
dF ( s)
d
ds
ds
e s t f (t ) dt
(6.14)
234
Diferensial pada ruas kanan Pers. (6.14) dapat dilakukan dengan
menggunakan formula Leibnitz, diferensial dibawah tanda integral,
yaitu
u 2 ( a ) f ( x, a )
du 2
du1
d u2 ( a )
f
(
x
,
a
)
dx
f
(
u
,
a
)
f
(
u
,
a
)
dx
2
1
da u1 ( a )
da
da u1 ( a )
a
(6.15)
u1 ( a ) 0
dx dt
u 2 (a)
f ( x , a ) e s t f (t )
e s t t f (t ) dt
L [t f (t )]
Jadi
L [t f (t )]
dF ( s)
ds
(6.16)
d n F (s)
ds n
(6.17)
235
Contoh 6.4.
Hitunglah L [ t sin a t ].
Penyelesaian:
Misalkan:
f (t ) sin a t
L [sin at ]
a
F (s)
s a2
2
L [t sin at ]
d
ds
2a s
a
2
2
2
2 2
s a (s a )
L [t n f (t )] e s t t n f (t ) dt ( 1) n
0
d n F (s)
ds n
karena itu, transformasi Laplace dari hasil kali turunan dapat ditulis
m
d n f (t )
m d n f (t )
m d
L t
L
( 1)
dt n
ds m dt n
d df (t )
df (t )
L t
(1) L
ds dt
dt
d
s F ( s) f (0)
ds
(6.18)
236
dF ( s )
s
F ( s ) 0
ds
Jadi,
dF ( s )
df (t )
L t
F (s)
dt
ds
(6.19)
df (t )
dt
t2
df (t )
dt
d 2 f (t )
t
dt 2
t2
d 2 f (t )
dt 2
L [ f (t )] F ( s )
s
s
s2
s2
dF ( s )
F (s)
ds
d 2 F ( s)
dF ( s )
2
ds
ds
dF ( s)
2 s F ( s) f (0)
ds
d 2 F (s)
dF ( s )
4s
2 F (s)
2
ds
ds
t
L f (t ) dt e s t f ( z ) dz dt
0
(6.20)
237
t
u f ( z ) dz
misalkan:
du
d
dt
dt
t
0
f ( z ) dz
1
v e st
s
dv e s t dt
sehingga
t
t
1
1
L f (t ) dt e s t f ( z ) dz
0
s
0
s
0
0 0
e s t f (t ) dt
1
L [ f (t )]
s
F ( s)
s
Contoh 6.5.
t
Carilah L cos a z dz
0
(6.21)
238
Penyelesaian:
Misal:
f (t ) cos a t ,
L [cos at ]
s
F (s)
s a2
2
maka,
t
1
s
1
L cos a z dz 2
2
2
0
s s a
s a2
6. Pembagian Oleh t
Jika L [ f (t )] F ( s ), maka
f (t )
L
t
s F (u ) du
(6.22)
Bukti:
Misalkan:
g (t )
f (t )
t
f (t ) t g (t ) ,
L [ f (t )] L [t g (t )]
F (s)
dG ( s )
ds
s
dG ( s ) F (u ) du
G ( s ) G ( )
F (u ) du
239
karena lim G ( s ) 0, maka
s
G ( s ) F (u ) du
s
Jadi,
f (t )
L
t
s F (u ) du
(6.23)
Contoh 6.6.
sin t
Hitunglah L
t
Penyelesaian:
Misalkan:
lim
t 0
f (t ) sin t , L [sin t ]
f (t )
sin t
lim
lim
t 0
t 0
t
t
1
F (s)
s 1
2
d
sin t
dt
cos t
lim
1
t 0
d
1
t
dt
maka
1
f (t )
sin t
L
du
2
s
u 1
t
t
tg 1 (u )
ada
240
tg 1 ( ) tg 1 ( s )
tg 1 ( s)
tg 1 1 s
7. Teorema Shifting
Teorema ini sangat berguna dalam menentukan transformasi dari suatu
tipe fungsi eksponensial dan juga dalam melakukan transformasi
invers. Teorema shifting dapat dinyatakan sebagai berikut:
Jika transformasi Laplace
f (t ) adalah F (s ), maka
dengan
e at
mempengaruhi
pergeseran
asal
(origin) s menjadi ( s a ) .
Teorema ini dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:
Jika
L [ f (t )] F ( s ), maka
L [e a t f (t )] F ( s a )
Bukti:
L [e a t f (t )] e s t e a t f (t ) dt
0
e ( s a ) t f (t ) dt
0
F (s a)
(6.24)
241
Contoh 6.7.
Tentukan L [e a t cos bt ].
Penyelesaian:
Misalkan:
f (t ) cos bt
L [cos bt ]
s
F (s)
s b2
2
sa
(s a) 2 b 2
L [e a t cos bt ] e s t e a t cos bt dt
0
Re
e ( s a i b ) t dt
e ( s a i b ) t
Re
s a ib 0
1
Re 0
s a ib
s a ib
1
Re
s a ib s a ib
s a ib
Re
2
2 2
( s a) i b
sa
(s a) 2 b 2
242
6.3
Definisi:
Jika transformasi Laplace suatu fungsi f (t ) adalah F (s ) , yaitu jika
L [ f (t )] F ( s ), maka f (t ) disebut transformasi Laplace invers dari
F (s ) dan secara simbolis dapat ditulis:
f (t ) L 1 [ F ( s )]
(6.25)
6.3.1
1. Sifat Linier
Teorema 1: Jika C1 dan C2 adalah konstanta-konstanta sembarang,
sedangkan F1 ( s) dan F2 (s) adalah transformasi
Laplace dari f1 (t ) dan f 2 (t ) , maka
L 1 [C1 F1 ( s ) C 2 F2 ( s )] C1 L 1 [ F1 ( s )] C 2 L 1 [ F2 ( s )]
(6.26)
C1 f1 (t ) C 2 f 2 (t )
2. Teorema Shifting
Teorema 2:
Jika
L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka
L 1 [ F ( s a )] e a t f (t )
(6.27)
243
Contoh 6.8.
6s 4
Tentukan L 1 2
.
s 4 s 20
Penyelesaian:
6s 4
1 6 ( s 2) 8
L 1 2
L
2
( s 2) 16
s 4 s 20
s2
4
1
6 L 1
2L
2
2
( s 2) 16
( s 2) 16
(6.28)
II
s2
I L 1
2
( s 2) 16
F (s)
s2
,
( s 2) 2 16
F ( s 2)
s
s 16
F ( s 2)
4
s 16
L 1 [ F ( s 2)] e 2 t f (t )
s
L 1 2
e 2 t f (t )
s 16
f (t ) e 2 t cos 4t
4
II L 1
2
( s 2) 16
F (s)
4
,
( s 2) 2 16
244
L 1 [ F ( s 2)] e 2 t f (t )
4
2t
L 1 2
e f (t )
s
16
f (t ) e 2 t sin 4t
Jadi,
6s 4
2t
2t
L 1 2
6 e cos 47 2 e sin 4t
s
4
s
20
2 e 2 t (3 cos 4t sin 4t )
Jika
L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka
L 1 [ F ( k s )]
1 t
f
k k
(6.29)
Contoh 6.9.
6
Tentukan L 1 2
.
9 s 36
Penyelesaian:
Misal:
F (s)
6
s 36
2
6
L 1 [ F ( s )] L 1 2
s 36
f (t ) sin 6t
245
F (3 s )
6
9 s 36
2
L 1 [ F (3 s )]
t
f
3
1
6
6t
L 1 2
sin
3
9 s 36 3
1
sin 2t
3
L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka
Jika
1
L [F
(n)
d n F ( s)
n n
( s)] L
(1) t f (t )
n
ds
1
Contoh 6.10.
s
Carilah L 1 2
.
2 2
(s a )
Penyelesaian:
Misal:
F (s)
1
s a2
2
1
L 1 [ F ( s )] L 1 2
2
s a
f (t )
1
sin at
a
(6.30)
246
2s
dF ( s) d 1
2
2
2
ds
ds s a ( s a 2 ) 2
Jadi,
dF ( s )
L 1
t f (t )
ds
2s
t
L 1 2
sin at
2 2
a
(s a )
t
s
L 1 2
sin at
2 2
(s a ) 2 a
Jika
L 1 [ s F ( s )] f (t )
Contoh 6.11.
s
Carilah L 1 2
.
2
s a
Penyelesaian:
Misal:
F (s)
1
s a2
2
1
L 1 [ F ( s )] L 1 2
2
s a
(6.31)
247
f (t )
1
sin at
a
f (0) 0
s
s a2
df (t )
L 1 [ s F ( s )]
dt
s F (s)
s 1 d
L 1 2
(sin at ) cos at
2
s a a dt
Jika
L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka
F (s)
L 1
t
0
f ( h) dh
Contoh 6.12.
1
Carilah L 1
.
3
s ( s 1)
Penyelesaian:
Misal:
F (s)
1
( s 1) 3
(6.32)
248
1
L 1 [ F ( s)] L 1
3
( s 1)
f (t )
1 2 t
t e
2
F (s)
1
s
s ( s 1) 3
F (s) 1 t 2 h
L 1
h e dh
s 2 0
1
1
L 1
h 2 e h
3
s ( s 1) 2
t
0
2 h e h dh
0
1
2
1
t 2 e t 2 t e t 0 2 e h
2
1
t 2 e t 2 t e t 2 e t 2
2
t 2 e t 0 2 h e h
t
0
t
0
e h dh
1 e t (1 t 12 t 2 )
Contoh 6.13.
1
Carilah L 1
.
2
s ( s 4)
249
Penyelesaian:
Misal:
F (s)
1
s 4
2
1
L 1 [ F ( s )] L 1 2
s 4
f (t )
1
sin 2t
2
F (s)
1
2
s
s ( s 4)
F (s) 1 t
L 1
sin 2h dh
s 2 0
1
1
L 1
cos 2h
2
4
s ( s 4)
6.4
t
0
1
(1 cos 2t )
4
250
6. Metode residu; teori ini merupakan suatu metode yang sangat
6.4.1
P(s)
( s b1 )( s b2 ) ( s bn )
A1
s b1
A2
s b2
An
s bn
(6.34)
251
1. Faktor Tunggal ( s b )
A
sb
F (s)
(6.35)
A lim {F ( s) ( s b)}
(6.36)
s b
2. Faktor Ganda ( s b) n
F ( s)
An
( s b) n
A n 1
( s b) n 1
A1
( s b) 1
(6.37)
(5.38)
s b
A nk
1
dk
lim k F ( s)( s b) n ,
k! s b ds
k 1, 2, , n 1
(6.39)
(a s b) n , maka
(6.40)
s (b a )
A nk
1
a k k!
lim
s (b a )
dk
F ( s)(a s b) n , k 1, 2, .., n 1
k
ds
(6.41)
252
b. Q ( s ) (a s 2 b s c ) n
Persamaan (6.33) menjadi:
F (s)
P(s)
(a s b s c) n
2
A n s Bn
2
(a s b s c)
A n 1 s Bn 1
2
(a s b s c)
Konstanta-konstanta
n 1
A n , A n 1 , , A1
A1 s B1
(a s 2 b s c)
dan
(6.42)
B n , B n 1 , , B1
3 s 16
Tentukan L 1 2
.
s s 6
Penyelesaian:
F ( s)
3 s 16
s2 s 6
3 s 16
A
B
2
s s6 s3 s2
(6.43)
Metode 1:
Dengan mengalikan kedua
( s 3)( s 2), didapatkan
ruas
Pers.
(6.43)
dengan
253
3 s 16 A ( s 2) B ( s 3)
(6.44)
( A B ) s 2 A 3B
Koefisien s:
3 A B
B 3 A
Konstanta:
16 2 A 3 B
16 2 A 3(3 A)
25 5 A
A 5 dan
B 2
Jadi,
3 s 16
1
1
L 1 2
5 L 1
2 L 1
s 3
s 2
s s 6
5 e 3 t 2 e 2 t
Metode 2:
Menggunakan rumus (6.36),
3 s 16
3 s 16
A lim
( s 3) lim
5
s 3 ( s 3)( s 2)
s 3 s 2
3 s 16
B lim
( s 2) 2
s 2 ( s 3)( s 2)
254
Metode 3:
Sedikit modifikasi dari Metode 2, gunakan Pers. (6.44). Untuk
menentukan A set s 3 dan untuk menentukan B set s 2 .
s 3:
9 16 A (5) B (0)
A5
s 2 :
6 16 A (0) B ( 5)
B 2
Contoh 6.15.
s2 2 s 3
Carilah L 1
.
2
(
s
1
)
(
s
1
)
Penyelesaian:
A1
A2
A3
s2 2 s 3
( s 1) 2 ( s 1) s 1 ( s 1) 2 s 1
(6.45)
s2 2 s 3
s2 2 s 3
2
1
A 2 lim
( s 1) lim
s 1 ( s 1) 2 ( s 1)
s 1
s
1
d s2 2 s 3
A1 lim
( s 1) 2
2
1! s 1 ds ( s 1) ( s 1)
lim
s 1
d s2 2 s 3
ds
s 1
(2 s 2)(s 1) ( s 2 2 s 3 )
lim
s 1
( s 1) 2
255
1
2
s2 2 s 3
3
A 3 lim
( s 1)
2
s 1 ( s 1) ( s 1)
2
Jadi,
s2 2 s 3
1 1 1
1 3 1 1
1
L
L
L
2
2
s 1
s 1
( s 1) 2
( s 1) ( s 1)
1
1 t
3
e t e t e t
2
2
Metode 2:
Dengan mengalikan kedua ruas Pers. (6.45) dengan
2
( s 1) ( s 1) , didapatkan
s 2 2 s 3 A1 ( s 1)(s 1) A 2 ( s 1) A3 ( s 1) 2
Untuk menentukan A2 set s 1 dan untuk menentukan A3 set
s 1.
s 1:
2 A1 ( 0) A 2 ( 2) A 3 ( 0)
A2 1
s 1 :
6 A1 ( 0) A 2 ( 2) A 3 ( 4)
A3 3 2
256
sama dengan nol, tetapi dipilih yang menghasilkan harga-harga
tersebut kecil.
Misal s 0 :
3 A1 ( 1) A 2 (1) A 3 (1)
3 A1 1
A1
3
2
1
2
s 1
Carilah L 1
.
2
( s 3)(s 2 s 2)
Penyelesaian:
Bs C
s 1
A
2
2
( s 3)(s 2 s 2) s 3 s 2 s 2
(6.46)
(6.47)
( A B ) s 2 ( 2 A 3B C ) s ( 2 A 3C )
Koefisien s 2 :
0 A B
B A
(6.48)
257
Koefisien s:
1 2 A 3B C
Konstanta:
1 2 A 3C
1 2A
3
(6.49)
(6.50)
1 2
A
3 3
4
5
4
5
1
5
Jadi,
s 1
4 1 1 1 1 4 s 1
L 1
L
2
L s2 2 s 2
5
s 3 5
( s 3)(s 2 s 2)
4 1 1 4 1 ( s 1) 3 1
1
L
2
2
5
s 3 5
( s 1) 1 5
( s 1) 1
4 3t 4 t
3
e e cos t e t sin t
5
5
5
258
6.4.2
4 3t 1 t
e e ( 4 cos t 3 sin t )
5
5
Metode Konvolusi
u
0
g (u ) h (t u ) du
u
0
g (t u ) h (u ) du
(6.51)
s2
Carilah L 1 2
.
2
(s 1)
259
Penyelesaian:
Misal:
G ( s)
s
s 1
2
dan
H (s)
s
s 1
2
s
g (t ) L 1 [G ( s )] L 1 2
cos t
s 1
s
h(t ) L 1 [ H ( s )] L 1 2
cos t
s 1
f (t )
t
0
cos u cos (t u ) du
1
2
u cos t 2 sin (2 u t )
6.5
1
t cos t sin t
2
260
Contoh 6.18.
Gunakan transformasi Laplace untuk menyelesaikan masalah
harga awal berikut ini
dy
y e 2t ,
dt
y (0) 2
Penyelesaian:
Pertama kita melakukan transformasi Laplace pada kedua sisi
dari persamaan diferensial di atas:
dy
y L [e 2t ]
dt
dt
Y (s)
1
2s 5
2
s2
s2
2s 5
( s 1)( s 2)
(6.52)
261
Dengan menggunakan fraksi pecahan kita dapat menulis Y(s)
dalam bentuk
Y (s)
2s 5
A
B
( s 1)( s 2) s 1 s 2
A3
Set s 2 :
1 A (0) B ( 1)
B 1
s 1 s 2
Dengan menggunakan transformasi Laplace invers, menghasilkan
Y (s)
3
1
y (t ) L 1
L 1
s 1
s 2
3 e t e 2t
262
Contoh 6.19.
Selesaikan persamaan diferensial order dua berikut ini
d 2 y dy
2 y 5 sin t ,
dt 2 dt
y (0) 1,
y (0) 1.
Penyelesaian:
Seperti pada contoh sebelumnya, pertama kita melakukan
transformasi Laplace pada kedua sisi persamaan diferensial,
d 2 y
dy
L 2 L [ y ] 5 L [sin t ]
2
dt
dt
5
s 1
2
5
s 1
2
Y (s)
s 3 2s 2 s 3
( s 2 s 2)( s 2 1)
(6.53)
Ruas kanan Pers. (6.53) dapat ditulis dalam bentuk fraksi pecahan
berikut ini
s 3 2s 2 s 3
A
B
Cs D
2
2
2
( s s 2)( s 1) s 1 s 2 s 1
Dengan
mengalikan
2
kedua
ruas
persamaan
ini
dengan
263
s 3 2 s 2 s 3 A ( s 2)( s 2 1) B ( s 1)( s 2 1)
(Cs D )( s 1)( s 2)
s 1 :
s 2:
1
6
1
3
s 0:
1
1
( 2) (1) 2 D
6
3
3
D
2
s 1:
3 2 A 4B 2C 2D
3 ( 2)
1
1
3
( 4) 2C ( 2)
6
3
2
264
C
1
2
16
13 1
s
3
1
2
2
s 1 s 2 2 s 1 2 s 1
y (t )
1 1 1 1 1 1 1 1 s 3 1 1
L
L
L 2
L 2
6
s 1 3
s 2 2
s 1 2
s 1
1 t 1 2t 1
3
e e cos t sin t
6
3
2
2
(6.54a)
265
dy
4x 5 y
dt
(6.54b)
(6.55a)
5 Y ( s ) 1
(6.55b)
4 X ( s ) ( s 5) Y ( s ) 2
(s 1)(s 5) 20 X (s)
X (s)
5s
( s 1)( s 5) 20
10 ( s 5)
266
X (s)
5s
s 6 s 25
(6.56)
X (s)
8
s3
2
2
( s 3) 4
( s 3) 2 4 2
(6.57)
4
s3
L 1 [ X ( s)] 2 L 1
L 1
2
2
2
2
( s 3) 4
( s 3) 4
x (t ) 2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t
(6.58)
5s
( s 5) Y ( s) 2 4 2
s 6 s 25
Y (s)
4 s 20
2
s 5 ( s 5)( s 2 6 s 25)
(6.59)
Karena penyebut pada suku kedua dari ruas kanan Pers. (6.59)
mengandung term kuadratik yang tidak dapat difaktorkan
menjadi faktor linier, maka suku kedua tersebut harus
didekomposisi secara fraksi parsial, yaitu
4 s 20
BsC
A
2
2
( s 5)( s 6 s 25) s 5 s 6 s 25
Bila
kedua
ruas
dari
persamaan
ini
dikali
dengan
267
set s 5 :
40 A ( 25 30 25) ( B s C )( 0)
A 2
s 0:
20 A ( 25) (C )(5)
5 C 20 ( 2)( 25)
C6
s 1 :
24 A ( 20 ) ( B C )( 4)
4 B ( 2)( 20 ) (6)( 4) 24
B2
2s 6
2
2
2
s 5 s 5 s 6 s 25
2 ( s 3)
( s 3) 2 4 2
s3
L 1 [Y ( s)] 2 L 1
2
2
( s 3) 4
y (t ) 2 e 3 t cos 4t
268
Cara lain: y (t ) dapat juga diperoleh dengan menyisipkan
penyelesaian x (t ), Pers. (6.58), ke dalam persamaan pertama
dari sistem persamaan diferensial orisinal, Pers. (6.54a):
5 y (t )
dx
x
dt
d
2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t 2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t
dt
Contoh 6.21.
Selesaikan sistem persamaan diferensial order dua berikut
d 2x
dy
3
3y 0
2
dt
dt
d 2x
dt 2
3y t e t
(6.60a)
(6.60b)
269
melalui Pers. (6.13), dalam masalah ini dengan Pers. (6.12).
Dengan menggunakan transformasi Laplace pada kedua sisi dari
kedua persamaan di atas, Pers. (6.60), menghasilkan
X ( s ) s x (0) x (0)
3Y (s)
1
( s 1) 2
3 Y (s) 2
(6.61a)
1
( s 1) 2
(6.61b)
1
( s 1) 2
Y (s)
13
s ( s 1) 2
(6.62)
13
A
B
C
2
s s 1 ( s 1) 2
s ( s 1)
set s 0 :
270
A 1 3
s 1 :
s 1:
13 13
13
s
s 1 ( s 1) 2
(6.63)
L 1 [Y ( s)]
y (t )
1 1 1
1
1
L
2
3
s s 1 ( s 1)
1
1 e t t e t
3
(6.64)
13 13
13
s 2 X ( s) 2 3 ( s 1)
2
s s 1 ( s 1)
2
X (s)
1
1
s s 1
2
1
1
3 2
2
s
s
s ( s 1)
(6.65)
271
1
D E
F
2
s s 1
s ( s 1) s
2
set s 1 :
s 0:
s 1:
1 D ( 2) E ( 2) F (1)
1 2 2 E 1
E 1
2
1 1 1
1
3 2
2
s s 1
s
s
s
X (s)
1
1 1
1
2
3
s s 1
s
s
1 2
t t 1 e t
2
272
Jadi, penyelesaian dari Pers. (5.40) adalah
x (t )
1 2
t t 1 e t
2
y (t )
1
1 e t t e t
3
6.6 Rangkuman
Transformasi Laplace adalah tipe khusus dari transformasi integral.
Transformasi ini sangat berguna karena dapat menghilangkan tuturanturunan dari persamaan diferensial dan menggantikannya dengan
persamaan aljabar. Transformasi Laplace dapat didefinikan sebagai
berikut:
L [ f (t )] F ( s ) e s t f (t ) dt
0
273
Ada beberapa cara menentukan Transformasi Laplace Invers, diantaranya adalah
1. Penggunaan tabel.
2. Metode-metode yang menggunakan teorema.
3. Metode pecahan parsial.
4. Metode konvolusi.
5. Metode deret.
6. Metode residu.
6.7
Soal-soal
6.1
Tentukan fungsi
a.
6.2
1
s ( s 1) 3
b.
6.3
s
( s 1)( s 2 4)
2
/s
274
V
a.
dC n
qC n 1 qC n kVC n
dt
C n (t ) C n C n (t )
and show that
dC n
C n C n 1
dt
where
q
V
;
kV q
kV q
C ( s )
C n ( s ) n1
s 1
c. Solve the linear of the finite difference equation by
assuming a solution of the form
C n ( s) A(r ) n
and show that
C n ( s ) C 0 ( s )
s 1
275
where C 0 ( s) denotes the transform of the composition
perturbation entering the first reactor.
d. For the case of two reactors, show that the exit
perturbation is
t
C 2 (t ) 2 C 0 1 exp( t / ) exp( t / )
where
0 1
Glossarium
Transformasi Laplace adalah suatu teknik untuk menyederhanakan
permasalahan dalam suatu sistem yang mengandung masukan dan
keluaran, dengan melakukan transformasi dari suatu domain
pengamatan ke domain pengamatan yang lain. Dalam matematika
jenis transformasi ini merupakan suatu konsep yang penting sebagai
bagian dari analisa fungsional, yang dapat membantu dalam
melakukan analisa sistem invarian-waktu linier. Transformasi Laplace
dari suatu fungsi f(t), yang terdefinisi untuk semua nilai t riil dengan t
0, adalah fungsi F(s), yang didefinisikan sebagai:
L [ f (t )] F ( s) e s t f (t ) dt
0
276
function y (baca di Bab 2),
Daftar Pustaka
1. Boyce, W. E. and R. C. DiPrima, 2001, Elementary Differential
Equations and Boundary Value Problems, John Wiley & Sons, Inc.,
New York.
2. Kresyszig, E., 1993, Advanced Engineering Mathematics, 7th Ed.,
John Wiley & sons, Inc., New York.
3. Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc., New
York.
4. Ricardo, H.J., 2009, A Modern introduction to Differential
Equations, 2nd Ed., Elsevier Academic Press, Canada.
5. Zill, D.G., 2005, First Course in Differential equations with
Modeling Applications, 8th Ed., Brooks/Cole-Thompson Lerning
Inc. Canada.
277
INDEX
Antoine 28
B
Bessel 22, 56, 138, 139, 142,
143, 145, 147, 148, 149, 150,
151, 152, 153, 154, 155, 157,
158, 164, 165, 166
D
Daftar Pustaka 39, 91, 166, 183,
225, 282
84, 255
Deret 94, 95, 97, 98, 99, 103, 104,
105, 108, 113, 164, 165
deret pangkat 93, 94, 95, 97, 98, 99,
100, 101, 104, 108, 112, 113
E
Eksak 49, 50
Error Function 168
F
Fungsi Beta 178
Fungsi Gamma 172
Fungsi Kesalahan 168
FUNGSI-FUNGSI In 167
H
Harga batas 188, 189, 190, 192,
218
Harga K 29
Homogen 17, 37, 43, 46, 47, 48,
Hukum-hukum kesetimbangan
3, 36
Hukum-hukum perpindahan 2,
36
I
Invers Operator 78, 79
K
Kekekalan energi 2, 36, 39
Kekekalan massa 2, 36, 38
278
Kesetimbangan fase 3
Kesetimbangan kimia 3, 39
Koefisien aktivitas 29
Komplementer 61, 62, 66, 68, 71,
73, 74, 79, 93, 148, 170
Kondisi batas 63, 160, 188, 189,
190, 191, 192, 196, 198, 201, 203,
206, 207, 208, 210, 211, 218, 219
Konvergensi 94, 95, 96, 97, 101
Perpindahan momentum 2, 13
Perpindahan panas 5, 14, 15, 19,
21, 22, 159, 162, 196, 202
Perpindahan panas 2, 14, 15, 20,
196
Persamaan Arrhenius 19
Persamaan diferensial 2, 11, 22,
24, 27, 36, 41, 44, 56, 67, 84, 85,
86, 90, 93, 94, 99, 100, 102, 104,
108, 112, 113, 115, 120, 127, 129,
135, 138, 147, 148, 157, 159, 164,
165, 167, 181, 185, 192, 206, 218,
224, 228, 264, 265, 267, 269, 270,
273, 274, 278
L
Linier 24, 27, 42, 43, 52, 53, 55,
M
Metode Frobenius 112
Metode Invers Operator 67, 75,
86
208
Relatif volatiliti 29
O
Operasi terhadap eksponensial
77
Order 42, 44, 52, 60, 158, 185
P
Partikulir, 61, 66, 67, 68, 74
Perpindahan massa 2, 15, 16
218, 277
S
Sifat-Sifat Diferensial 156
Sifat-Sifat Integral 157
Soal-soal 36 86, 164 181, 218
279
T
Teorema Shifting 245, 247
Transformasi Laplace 228,
229, 232, 233, 235, 241, 247,
279
250, 254, 264, 270, 273, 276,
277, 278, 281 226
U
Undetermined Coefficients
67