Anda di halaman 1dari 279

1

BAB 1
PERUMUSAN MATEMATIKA
DARI MASALAH-MASALAH FISIKA DAN KIMIA

Tujuan instruksional umum:


Setelah mengikuti pokok bahasan (PB) ini mahasiswa dapat
mengaplikasikan hukum-hukum kekekalan dalam membuat perumusan matematik dari persoalan fisika dan kimia.

Tujuan instruksional khusus:


Mengingatkan kembali tentang hukum-hukum kekekalan, perpindahan, dan keseimbangan.
Mengingatkan kembali tentang neraca massa dan energi
Memperkenalkan langkah-langkah perumusan masalah dalam
teknik kimia ke dalam bahasa matematik.

1.1
Pendahuluan
Dalam penyelesaian masalah-masalah fisika dan kimia sering
dijumpai bahwa pendekatan secara matematis merupakan jalan terbaik
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Salah satu keuntungan
pendekatan matematis adalah diperolehnya gambaran yang bersifat
kuantitatif. Gambaran kuantitatif ini dapat mempermudah pemahaman
yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah yang ditinjau dan
juga mempermudah pencarian penyelesaian masalah yang dihadapi.
Penyusunan masalah-masalah fisika dan kimia secara matematis
melalui tiga tahapan dasar, yaitu:
1. Menjabarkan masalah-masalah (atau fenomena-fenomena) fisika
dan kimia ke dalam bahasa matematika, sehingga diperoleh
persamaan matematis yang dapat mendekati peristiwa yang
ditinjau (model matematis).

2
2. Menyelesaikan persamaan matematis yang diperoleh.
3. Menginterpretasikan hasil yang didapatkan.
Tipe persamaan matematis yang diperoleh (persamaan aljabar,
persamaan diferensial, persamaan beda hingga, dll.) akan tergantung
baik pada sistem dari peristiwa yang ditinjau maupun pada detail
modelnya.
Penyusunan persamaan matematis memerlukan pemahaman
teori-teori dasar dari peristiwa yang dihadapi, pemahaman konsepkonsep matematika, dan kemam-puan melakukan asumsi-asumsi.
Asumsi-asumsi ini adalah untuk menentukan batasan-batasan model
yang harus selalu diingat saat mengevaluasi hasil yang diperoleh.
Dalam menyusun model matematis dari suatu fenomena fisika dan
kimia digunakan hukum-hukum dasar fisika dan kimia, yaitu
1) Hukum-hukum kekekalan: kekekalan massa
kekekalan energi
kekekalan momentum
2) Hukum-hukum perpindahan (persamaan-persamaan kecepatan)
Proses fisika: Perpindahan massa
Perpindahan panas
Perpindahan momentum
Proses kimia: Kinetika kimia
3) Hukum-hukum kesetimbangan: Kesetimbangan fase
Kesetimbangan kimia

1.2 Hukum-Hukum Kekekalan


1.2.1 Neraca Massa
Neraca massa total untuk suatu sistem dalam tiap satuan waktu
adalah:
laju massa masuk laju massa keluar laju akumulasi massa

ke dalam sistem dari sistem


di dalam sistem

(1.1)
Satuan dari persamaan ini adalah massa per waktu. Jadi besarnya laju
massa masuk atau keluar sistem dapat didekati dengan persamaan:

3
m F

(1.2)

adalah laju alir massa, adalah densiti fluida dan F


dimana m
adalah laju alir volumetris. Hanya ada satu persamaan neraca massa
total untuk satu sistem.
Bila massa terdiri dari banyak komponen (kimia, fase) dan tidak
terjadi reaksi kimia, yaitu tidak terjadi perubahan suatu komponen
menjadi komponen lainnya, maka massa tiap-tiap komponen adalah
tetap, sehingga neraca massa komponen dapat disusun seperti Pers.
(1.1). Tetapi bila terjadi reaksi kimia di dalam sistem, massa dari tiaptiap komponen akan bertambah jika komponen tersebut merupakan
produk reaksi atau berkurang jika komponen tersebut adalah reaktan.
Oleh karena itu, neraca massa komponen i dapat ditulis sebagai
berikut:
i
lajumassakomponen

i lajumassakomponen
i
lajumassakomponen


yangtimbuldidalamsistem
masukkedalamsistem keluardarisistem
karenareaksikimia

laju massa komponen i

laju akumulasi massa

yang terpakai di dalam sistem

karena reaksi kimia


komponen i di dalam sistem

(1.3)
Satuan persamaan ini adalah massa komponen i per satuan waktu. Jadi
besarnya laju massa komponen i masuk atau keluar sistem dapat
didekati dengan persamaan:

laju massa komponen i C i F

(1.4)

dimana Ci adalah konsentrasi komponen i. Persamaan (1.3) dapat juga


ditulis dalam bentuk singkat, yaitu:
L. masuk L. keluar L. genera si L. akumul asi
Pada keadaan tunak, akumulasi adalah nol.

(1.5)

4
Catatan: bila suatu komponen terpakai di dalam sistem, +
generasi diganti dengan deplesi dalam Pers. (1.5).
Aliran massa masuk dan keluar sistem bisa secara konveksi
(karena badan aliran) dan secara molekular (karena difusi). Hanya ada
satu persamaan neraca massa komponen untuk setiap komponen
didalam sistem. Jika ada n komponen didalam suatu sistem, ada n
persamaan neraca massa komponen untuk sistem tersebut. Namun,
satu persamaan neraca massa total dan n persamaan neraca massa
komponen tidak linearly independent, karena jumlah dari tiap-tiap
massa komponen sama dengan massa total. Oleh karena itu, untuk
sistem dengan n komponen hanya mempunyai n persamaan neraca
massa yang linearly independent. Biasanya, digunakan satu
persamaan neraca massa total dan n 1 neraca massa komponen.
Misal, untuk sistem biner (dua komponen), ada satu neraca massa
total dan satu neraca massa komponen.

1.2.2 Neraca Energi


Neraca energi untuk suatu sistem adalah:
lajuenergimasuk lajuenergikeluar net lajupenambahanpanas

ke
dalam
sistem
dari
sistem
ke
dalam
sistem
dari
lingkungan

net laju kerja yang dilakukan


laju akumulasi energi

(1.6)
oleh
sistem
terhadap
lingkungan

di dalam sistem

Energi disini bisa dalam berbagai bentuk, beberapa diantaranya adalah


energi dalam, energi kinetik, energi potensial, energi mekanik, dan
panas. Dalam bidang teknik kimia, bentuk persamaan neraca energi
yang banyak dijumpai adalah persamaan energi panas.
Besarnya laju panas yang masuk atau keluar sistem secara
konveksi (aliran) dapat didekati dengan persamaan:

5
(1.7)

Q m C p T

dimana Q adalah laju perpindahan panas, Cp adalah kapasitas panas


dan T adalah temperatur.
1.2.3 Neraca Momentum
Neraca momentum untuk suatu sistem adalah:
masuk lajumomentum
keluar jumlahgaya- gayayang
lajumomentum

ke
dalam
sistem
dari
sistem


bekerjapadasistem
laju akumulasi momentum

di dalam sistem

(1.8)

Gaya-gaya ini bisa berupa gaya tekanan dan gaya gravitasi.


Contoh 1.1.
Suatu tangki yang mula-mula berisi cairan dengan tinggi h 0
dikosongkan dengan mengalirkan cairan melalui orifice yang
ada di dasar tangki. Laju alir volumetris cairan keluar adalah
F ( F k h 1 2 ). Tangki berbentuk silinder dengan diameter
dalam 50 cm.
a) Jabarkanlah model matematis yang menyatakan tinggi cairan
sebagai fungsi waktu.
b) Bila k 34,21 cm 5 2 det dan h0 40 cm, berapa waktu
yang diperlukan agar tangki tersebut kosong?
Penyelesaian:
Anggap:

A = konstan,

= konstan

h0

Gambar 1.1. Pengosongan tangki.


a) Neraca massa total:

L. masuk L. keluar L. akumulasi


0 F

d ( V )
dt

karena dan A konstan, persamaan di atas menjadi:


k h1

dh
dt

integrasikan persamaan di atas dari t 0 hingga t dan dari


h h0 hingga h, menghasilkan

k
1 2
t 2 h 1 2 h0
A

(1.9)

12

k
h h0
t
2A

b) Dari Pers. (1.9) diperoleh


t

2A
1 2
h0 h 1
k

(1.10)

7
bila tangki kosong berarti V 0,
diperoleh
2A
1 2
t
h0
k
A

D2

atau

h 0,

sehingga

(50) 2 1963,5 cm 2

2 1963,5
(40)1 2 726 detik 12,1 menit
34,21

Jadi waktu yang diperlukan untuk mengosongkan tangki adalah


12,1 menit.
Contoh 1.2.
Sebuah tangki silinder mula-mula berisi larutan garam dengan
volume 400 liter yang konsentrasinya 50 gr/liter. Air dialirkan
ke dalam tangki dengan laju alir 5 liter/men dan campuran
tersebut diaduk dengan sempurna. Berapa konsentrasi garam
keluar tangki sebagai fungsi waktu, bila
a) Laju alir larutan keluar adalah 5 ltr/men?
b) Laju alir larutan keluar adalah 4 ltr/men?
Penyelesaian:
air
Fi = 5 lt/men

F
C = ?

Gambar 1.2. Tangki Pengenceran

8
Anggap:
= konstan
Pengadukannya cukup sempurna, sehingga konsentrasi
larutan keluar sama dengan konsentrasi larutan dalam
tangki
a) Bila F 5 ltr/men.
Neraca massa total:

L. masuk L. keluar L. akumulasi


d ( V )
dt

Fi F
Fi F

dV
dt

(1.11)

dV
0
dt

(1.12)

V konstan 400 ltr

(1.13)

Catatan: Dengan menganggap konstan pada Pers. (1.11), ini


menyatakan bahwa net laju alir volumetris sama
dengan laju perubahan volume.
Neraca massa komponen garam:

L. masuk L. keluar L. akumulasi


Fi C g F C
5C C

d (CV )
dt

dV
dC
V
dt
dt

(1.14)

9
substitusikan Pers. (1.12) dan (1.13) ke dalam Pers. (1.14),
didapatkan:
ln C t 80 K1
(1.15)
Kondisi awal (K.A.): pada t 0, C 50 gr/ltr. Dari K.A. dan
Pers. (1.15), diperoleh K1 ln 50. Persamaan (1.15) menjadi

ln C t 80 ln 50
C 50 e t

80

(1.16)

b) Bila F 4 ltr/men.
Neraca massa total:

L. masuk L. keluar L. akumulasi


5

dV
dt

dV
1
dt

(1.17)

V t K2

(1.18)

K.A.: pada t 0, V 400 ltr. Dari K.A. dan Pers. (1.18)


didapatkan K 2 400 . Persamaan (1.18) menjadi

V t 400
Neraca massa komponen garam:
L. masuk L. keluar L. akumulasi

(1.19)

10
d (CV )
dt
dV
dC
4C C
V
dt
dt

(5 0 ) ( 4 C )

(1.20)

Substitusikan Pers. (1.17) dan (1.19) ke dalam Pers. (1.20)


5 C (t 400 )

dC
dt

Integrasikan persamaan ini, didapatkan


5 ln(t 400) ln K 3 ln C

(1.21)

K.A.: pada t 0, C 50 gr/ltr. Dengan menggunakan K.A. ini


diperoleh harga ln K 3 ln(50 400 5 ). Persamaan (1.21)
menjadi
400
C 50
t 400

Contoh 1.3.
Tinjau suatu tangki yang dilengkapi dengan heater seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.3. Cairan masuk ke dalam tangki
dengan laju alir Fi (ft3/men) dan temperatur Ti (oC), dimana
cairan tersebut dipanaskan dengan steam. Laju panas yang
diberikan oleh steam adalah Q. Laju alir cairan keluar tangki
adalah F (ft3/men). Pengadukan sempurna sehingga temperatur
cairan di dalam tangki seragam dan temperatur cairan keluar
sama dengan temperatur di dalam tangki. Turunkan persamaan
diferensial yang menggambarkan temperatur cairan sebagai
fungsi waktu.

11
Penyelesaian:
Ti
Fi

Gambar 1.3. Pemanasan cairan di dalam tangki.


Anggap:
Temperatur steam konstan di dalam coil
Luas permukaan tangki (A) konstan.
Densiti () dan kapasitas panas (cp) cairan tidak banyak
berubah dengan perubahan temperatur.
Neraca massa total:
L. masuk L. keluar = L. akumulasi
d ( A h)
dt
karena A dan konstan, Pers. (1.22) menjadi

Fi F

Fi F A

Neraca panas total:

dh
dt

(1.22)

(1.23)

L. masuk L. keluar L. panas dari steam = L. akumulasi

Fi c p Ti F c p T Q

d ( A h c p T )
dt

12

d ( hT )
Q
A
cp
dt
dT
dh
Q
Fi Ti F T
Ah
AT
cp
dt
dt

Fi Ti F T

(1.24)

Substitusikan Pers (1.23) ke dalam Pers. (1.24), menghasilkan

Fi (Ti T )

dT
Q
Ah
cp
dt

(1.25)

atau dapat juga ditulis dalam bentuk

F
dT Fi
Q
T i Ti

dt A h
Ah
Ah cp

(1.26)

1.3 Hukum-Hukum Perpindahan


Persamaan-persamaan kecepatan mencakup dua bidang pokok, yaitu,
fisis (peristiwa perpindahan) dan kimiawi (kinetika kimia). Peristiwa
perpindahan terdiri dari perpindahan momentum, energi, dan massa.
Mereka diperlukan untuk menggambarkan laju perpindahan antara
sistem dan lingkungan. Kinetika kimia dibutuhkan untuk menggambarkan laju reaksi kimia yang berlangsung di dalam suatu sistem.

1.3.1
Perpindahan Momentum
Perpindahan momentum dapat dibagi dalam dua mekanisme
perpindahan, yaitu, perpindahan momentum secara molekular dan
secara konveksi. Perpindahan momentum secara molekular dapat
terjadi disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik antar molekul yang
menimbulkan tegangan geser, dan dapat dinyatakan dengan hukum
Newton untuk viskositas, yaitu,

13

x z

dv z
dx

(1.27)

dimana: x z = tegangan geser, yaitu gaya yang bekerja per satuan


luas sejajar dengan arah z, atau
= fluksi perpindahan z-momentum ke arah x
= viskositas fluida
vz = kecepatan fluida ke arah z
Persamaan (1.27) hanya berlaku untuk fluida Newtonian.
Perpindahan momentum karena konveksi (aliran) dapat
dinyatakan dengan:
2
P m v z A v z

(1.28)

dimana: P = laju perpindahan momentum


= laju alir massa
m
A = luas penampang yang tegak lurus dengan arah aliran

1.3.2
Perpindahan Panas
Dalam subbab ini dibahas dua mekanisme perpindahan panas, yaitu,
konduksi dan konveksi (aliran dan antar fase). Perpindahan panas
konduksi (secara molekular) adalah perpindahan panas pada media
yang tidak bergerak dimana panas berpindah karena getaran molekul
dari satu molekul ke molekul lainnya. Besarnya laju perpindahan
panas konduksi dapat dinyatakan dengan hukum Fourier:
q

dengan:

Q
dT
k
A
dx

(1.29)

Q = jumlah panas yang dipindahkan per satuan waktu


q = fluksi panas, yaitu, jumlah panas yang dipindahkan

14
per satuan waktu per satuan luas.
A = luas permukaan perpindahan panas
k = koefisien konduksi panas/konduktivitas panas
T = suhu
x = posisi/jarak.
Perpindahan panas antar fase misalnya terjadi antara permukaan padatan dengan fluida disekitarnya. Fluksi panasnya dapat
dinyatakan dengan hukum pendinginan Newton:
q

dimana:

Q
h (T f Ts )
A

(1.30)

h = koefisien perpindahan panas


T f = suhu fluida
Ts = suhu permukaan padatan

fluida

padatan

Tf

Ts
Q

Gambar 1.4. Perpindahan panas dari permukaan padatan


ke fluida (Ts T f ) .

Besarnya laju perpindahan panas konveksi (aliran) dapat didekati


dengan Pers. (1.7) atau
Q
(1.31)
q
v C p T
A
Jumlah panas yang dipasok oleh coil/jacket ke cairan di dalam tangki

15
adalah:
Q U A (Tc T )

dengan:

(1.32)

U = koefisien perpindahan panas keseluruhan antara


coil/jacket dan cairan
A = luas total permukaan perpindahan panas
Tc = temperatur coil/jacket

1.3.3
Perpindahan Massa
Perpindahan massa yang dibahas dalam buku ini adalah perpindahan
massa secara difusi (molekular), perpindahan massa antar fase, dan
perpindahan massa karena konveksi. Perpindahan massa secara difusi
disebabkan oleh adanya gradien konsentrasi. Besarnya laju
perpindahan massa difusi dapat dinyatakan dengan hukum Fick
Pertama, yaitu:

N A D
dimana: NA
D
cA
x

dc A
dx

(1.33)

= laju perpindahan massa A tiap satuan luas


= koefisien difusi
= konsentrasi komponen A
= jarak

Untuk perpindahan massa antara permukaan antar fase dan


fluida disekitarnya dapat didekati dengan persamaan:
N A k A (c A s c A f )

dimana:

(1.34)

k A = koefisien perpindahan massa


c A f = konsentrasi komponen A pada permukaan antar fase
c A s = konsentrasi komponen A pada bada fluida

16
Perpindahan massa karena konveksi dapat dinyatakan dengan

N A vz c A
dimana: vz

(1.35)

= kecepatan fluida dalam arah z.

1.3.4 Kinetika Kimia


Kinetika kimia merupakan studi mengenai laju dan mekanisme
dimana satu komponen kimia diubah menjadi komponen lainnya. Laju
adalah massa (dalam mol) dari suatu produk yang dihasilkan atau
reaktan yang dipakai per satuan waktu. Dalam pemodelan seringkali
berhadapan dengan reaktor-reaktor kimia, karena itu kita harus
familiar dengan hubungan-hubungan dasar dan terminologi yang
digunakan dalam menggambarkan kinetika (laju reaksi) dari reaksi
kimia.
1. Hukum Aksi Massa
Tinjau reaksi kimia homogen irreversibel umum berikut ini:
aA

+ bB

cC

+ dD

(1.36)

Bila A diambil sebagai basis perhitungan dan Pers. (1.36) dibagi


dengan koefisien stoikhiometri dari komponen A, diperoleh
A

b
c
d
B
C
D
a
a
a

(1.37)

Dari Reaksi (1.37) terlihat bahwa untuk setiap mol A yang dikonsumsi,
c a mol C yang terbentuk. Dengan kata lain:
c
laju pembentukan C
(laju pengurangan A)
a

17

dnC
c dn
A
dt
a dt
Dengan cara yang sama, hubungan antara laju pembentukan D dan
laju pengurangan A adalah
dnD
d dn
A
dt
a dt
Hubungan ini secara umum dapat ditulis:

1 dn
1 dn A
1 dn
1 dn

B C D
a dt
b dt
c dt
d dt

(1.38)

Laju reaksi keseluruhan r didefinisikan sebagai laju perubahan


mol dari suatu reaktan atau produk akibat reaksi kimia per satuan
volum per koefisien stoikhiometri komponen:

r
dimana:

1 1 dn j

V j dt

(1.39)

r = laju reaksi per satuan volume


V = volume dari campuran reaksi
j = koefisien stoikhiometri dari komponen j; ambil positif
untuk produk dan negatif untuk reaktan
n j = mol komponen j

Bila reaksi terjadi pada volume konstan dan karena c j n j V j ,


maka Pers. (1.39) menjadi:

1 dc j

j dt

(1.40)

Hukum aksi massa mengatakan bahwa laju reaksi kimia r


berubah dengan temperatur (karena k tergantung pada temperatur) dan
konsentrasi reaktan pangkat bilangan tertentu. Kecepatan reaksi dari

18
Pers. (1.36) dapat dinyatakan dengan:

r k n c A cB

(1.41)

dimana: k n = ko nstanta kecepatan reaksi order n, tidak tergantung


pada konsentrasi, tetapi tergantung pada temperatur
cA = konsentrasi komponen A
cB = konsentrasi komponen B
= order reaksi terhadap A
= order reaksi terhadap B
n = = order reaksi keseluruhan
Pada umumnya, konstanta dan tidak sama dengan koefisien
stoikhiometri a dan b. Konstanta dan dapat berupa bilangan
pecahan.
Satuan dari konstanta laju reaksi k tergantung pada order reaksi.
Hal ini karena laju reaksi r selalu mempunyai satuan yang sama (mol
per satuan waktu per satuan volum).
2. Pengaruh Temperatur Persamaan Arrhenius
Pengaruh temperatur terhadap laju reaksi spesifik k biasanya
mengikuti persamaan Arrhenius,

k A eE

RT

(1.42)

k = laju reaksi spesifik


A = faktor preexponential
E = energi aktivasi; menunjukkan ketergantungan
temperatur terhadap laju reaksi, yaitu, makin besar E,
makin cepat kenaikan k dengan naiknya temperatur
T = temperatur
R = konstanta gas
Jika dalam suatu reaktor, reaksi dikendalikan oleh perpindahan massa
dan laju reaksi kimia, maka dalam model matematika kedua pengaruh
tersebut harus dimasukkan.
dimana:

19
Contoh 1.4.
Sebuah sirip tembaga mempunyai panjang L penampangnya
segitiga (lihat Gambar 1.5). Pada bagian dasar tebalnya W dan
temperaturnya dipertahankan konstan TB. Temperatur udara Ta
dan terjadi kehilangan panas dari sirip ke udara sekitarnya
secara konveksi. Koefisien perpindahan panas antara permukaan
sirip dan udara adalah h Btu/(jam ft2 oF). Bagaimanakah
hubungan antara temperatur sirip, T, dan jarak dari dasar, L-x?
Penyelesaian:
Anggap keadaan tunak, dan ambil elemen volum setebal x
(lihat Gambar 1.6). Perpindahan panas terjadi secara konduksi
dan konveksi (antar fase).
Neraca panas pada keadaan tunak:
L. masuk L. keluar L. genera si 0

qk x A x qk

x x

A x qc 2 A 0 0

Suhu
badan
konstan
TB

(1.43)

udara, Ta

Gambar 1.5. Sirip lurus dengan penampang tidak seragam.

20
L
qc

w1

qk

qk
x x

qc

x
x=0

Gambar 1.6. Elemen volum dan arah perpindahan panas pada


sirip.
Tanda negatif karena arah perpindahan panas dibalik dan notasi
artinya dihitung pada x x . Karena perpindahan
x x
panas secara konveksi (antar fase) terjadi di dua tempat, yaitu,
bagian atas sirip dan bagian bawah sirip, maka luasnya harus
dikali dengan dua. Luas penampang yang tegak lurus arah
perpindahan panas, A x , adalah:
Ax w1 z

sedangkan:

(1.44)

w1
x

W
L
w1

W
x
L

(1.45)

W
zx
L

(1.46)

Jadi, Pers. (1.44) menjadi


Ax

21
Luas A pada konveksi (antar fase) adalah:

sec

A z x z sec

(1.47)

Substitusikan Pers. (1.46) dan (1.47) ke Pers. (1.43), diperoleh

W
z ( x x) q k
L

x x

W
z x qk
L

2 x z sec q c 0

Dengan membagikan persamaan ini dengan x z , kemudian


ambil limit untuk x mendekati nol, didapatkan
W d

( x q x ) 2 sec q c 0
L dx

(1.48)

Menurut hukum Fourier,

q k k

dT
dx

tanda positif karena arah perpindahan panas dibalik, dan hukum


pendinginan Newton, q c h (T Ta ), maka Pers. (1.48)
menjadi:
W d
dT

k x
2 h sec (T Ta ) 0
L dx
dx

bila konduktivitas panas k konstan, maka

22
d 2T
dT
2 h L sec
x

(T Ta ) 0
2
dx
kW
dx

(1.49)

Persamaan (1.49) merupakan persamaan Bessel dan penyelesaiannya dibahas dalam Bab 3.
Contoh 1.5.
Turunkan persamaan diferensial yang menggambarkan profil
komposisi di dalam packed bed tube reactor. Packed tube ini
merupakan reaktor katalitik heterogen yang digunakan untuk
mereaksikan komponen A dengan reaksi
A
Produk,
mol

rA k c A

waktu - volum bed

menjadi produk pada kondisi isothermal. Difusi sepanjang


sumbu dikendalikan oleh persamaan hukum Fick, dan paralel
dengan perpindahan karena konveksi yang disebabkan oleh
kecepatan superficial vo .
Penyelesaian:

NA

z z

z z
z

z
NA

z0

23
Neraca massa pada keadaan tunak:

L. masuk L. keluar L. generasi 0


A z

A vo c A

A NA

z z

A vo c A

z z

A rA A z 0

Bagikan persamaan ini dengan volume dari elemen volum, A z ,


dan ambil limit untuk z mendekati nol, menghasilkan

dN A
dc A
vo
k cA 0
dz
dz

(1.50)

Menurut hukum Fick fluksi molar adalah

N A De

dc A
dz

Dengan menyisipkan N A ini ke Pers. (1.50), menghasilkan


v
d 2cA
dc
k
o A
cA 0
2
De
dz
De
dz

(1.51)

Persamaan ini merupakan persamaan diferensial biasa linier order dua.


Contoh 1.6.
Reaksi reversibel yang diberikan berikut ini
A

k1

k3

C
k4
k2
berjalan dalam suatu reaktor batch pada kondisi volume dan
suhu konstan. Pada keadaan mula-mula hanya ada satu mol A
dan setiap waktu t ada nA, nB, dan nC mol dari A, B, dan C.
Tentukan perilaku n A (t ) yang digambarkan oleh PDB order
dua.

24
Penyelesaian:
Net laju pengurangan A adalah:

rA k1 c A k 2 c B

(1.52)

Net laju pengurangan B adalah:


rB k1 c A k 2 c B k 3 c B k 4 cC

(1.53)

Net laju pembentukan C adalah:


rC k 3 c B k 4 cC

(1.54)

Neraca massa komponen:


L. masuk L. keluar L. generasi L. akumulasi

(1.55)

Untuk reaktor batch tidak ada aliran masuk dan keluar reaktor,
sehingga Pers. (1.55) menjadi
L. akumulasi L. generasi

Komponen A:

d (c A V )
rA V
dt
dn A
k1 n A k 2 n B
dt

Komponen B:

(1.56)

(1.57)

d (c B V )
rB V
dt
dn B
k1 n A k 2 n B k 3 n B k 4 nC
dt

(1.58)

25
Komponen C:

d (c C V )
rC V
dt
dn A
k 3 n B k 4 nC
dt

(1.59)

Dari Pers. (1.58) didapatkan:

dnB
(k1 n A k 2 n B ) (k 3 n B k 4 nC )
dt

(1.60)

Substitusikan Pers. (1.57) dan (1.59) ke dalam Pers. (1.60),


menghasilkan

dn
dn B
dn
A C
dt
dt
dt
dn B dn A dnC

bila diintegrasikan diperoleh


n A n B nC n A 0 n B 0 nC 0

(1.61)

Karena n A 0 1 dan n B 0 nC 0 0, maka Pers. (1.61) menjadi


n A n B nC 1

(1.62)

Diferensialkan Pers. (1.57) terhadap t,


d 2nA
dn A
dn B
k1
k2
2
dt
dt
dt

Substitusikan dn B dt dengan Pers. (1.58)

(1.63)

26
d 2nA
dn A
k1
k1 k 2 n A k 2 ( k 2 k 3 ) n B k 2 k 4 n C
2
dt
dt

Dengan menggantikan nC dengan Pers. (1.62) diperoleh


d 2nA
dn A
k1
( k1 k 2 k 2 k 4 ) n A ( k 2 k 3 k 4 ) k 2 n B k 2 k 4
2
dt
dt

Eliminasikan k 2 n B dalam persamaan ini dengan Pers. (1.57),


menghasilkan
d 2nA
dn
( k1 k 2 k 3 k 4 ) A ( k1 k 3 k1 k 4 k 2 k 4 ) n A k 2 k 4
2
dt
dt
(1.64)

Ini merupakan persamaan diferensial linier order dua dengan


koefisien konstan.

1.4 Hukum-Hukum Kesetimbangan


Hukum thermodinamika kedua merupakan dasar untuk persamaanpersamaan yang menjelaskan kondisi-kondisi dari suatu sistem bila
kondisi kesetimbangan berlaku.

1.4.1 Kesetimbangan Kimia


Kriteria kesetimbangan untuk reaksi kimia adalah
n

v
j 1

j 0

(1.65)

dimana: v j = koefisien stoikhiometri dari komponen j, tanda negatif

27

untuk reaktan dan positif untuk produk


= potensial kimia dari komponen j.

Namun dalam aplikasinya, kesetimbangan suatu reaksi kimia biasanya


dinyatakan dalam konstanta kesetimbangan. Misal, tinjau suatu reaksi
kimia fase-gas reversibel berikut ini
aA

k1
k2

+ bB

cC

+ dD

(1.66)

Pada keadaan kesetimbangan ada suatu persamaan matematis yang


menghubungkan konsentrasi satu komponen dengan komponen
lainnya dalam satu fasa, yaitu

CC C D
C A CB

(1.67)

dimana K adalah konstanta kesetimbangan dan Ci adalah konsentrasi


komponen i.

1.4.2 Kesetimbangan Fasa


Kesetimbangan antara dua fasa terjadi bila potensial kimia dari tiaptiap komponen adalah sama dalam kedua fasa:

Ij IIj
dimana: Ij

II
j

(1.68)

= potensial kimia komponen j dalam fase I


= potensial kimia komponen j dalam fase II

Ada beberapa persamaan matematis yang menghubungkan komposisi


suatu fase dengan fase lainnya dalam keadaan kesetimbangan.
Diantaranya adalah:
Hukum Raoult. Cairan yang mengikuti hukum Raoult disebut cairan
ideal

28

yj

x j Pjs
P

(1.69)

dimana Pjs adalah tekanan uap komponen murni j. Tekanan uap


hanya merupakan fungsi temperatur. Ketergantungan ini sering
digambarkan dengan persamaan Antoine
Bj
(1.70)
ln Pjs A j
T Cj
Relatif volatiliti. Relatif volatiliti komponen i terhadap komponen j
didefinisikan
y x
i j i i
(1.71)
yj xj
Untuk sistem biner, relative volatiliti A B adalah

AB

yA xA
(1 y A ) (1 x A )

dengan menyusun kembali diperoleh

yA

xA
,
1 ( 1) x A

AB

(1.72)

Harga K. Rasio penguapan kesetimbangan atau harga K digunakan


secara luas, terutama pada industri petroleum.
Kj

yj
xj

Pjs
P

(1.73)

Koefisien aktivitas. Untuk cairan non ideal, hukum Raoult mesti


dimodifikasi untuk memperhitungkan ketidakidealan dalam fase cair.

29

yj
dimana

j x j Pjs
P

(1.74)

adalah koefisien aktivitas untuk komponen j. Koefisien

aktivitas sama dengan satu bila komponen adalah ideal.


Untuk kesetimbangan cair-cair, hubungan antara kedua fase
dapat dinyatakan dengan persamaan
K Di

xiI
xiII

(1.75)

dimana: K D i = Koefisien distrbusi komponen i


x iI

= fraksi mol komponen i dalam fase I

x iII

= fraksi mol komponen i dalam fase II

Contoh 1.7.
Suatu alat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.7 digunakan
untuk ekstraksi kontinyu asam benzoat dari toluen menggunakan air sebagai pelarut (solvent). Kedua aliran diumpankan
ke dalam tangki pencampur dimana keduanya diaduk sempurna,
dan kemudian dialirkan ke tangki pemisah dimana terjadi
pemisahan menjadi dua lapisan. Lapisan atas adalah lapisan
toluen dan lapisan bawah adalah lapisan air. Kedua lapisan
dikeluarkan dari tangki pemisah sendiri-sendiri. Laju alir
campuran toluen+asam benzoat masuk tangki pencampuran
adalah R m3/det dengan konsentrasi C kg/m3 asam benzoat dan
laju alir air masuk tangki pencampuran adalah S m3/det. Laju
alir lapisan toluen dan air keluar tangki pemisah masing-masing
R dan S m3/det. Konsentrasi asam benzoat dalam lapisan toluen
adalah x kg/m3 dan dalam lapisan air adalah y kg/m3. Kedua
aliran yang keluar dari tangki pemisah selalu dalam
kesetimbangan satu dengan yang lainnya, dan dapat dinyatakan
secara matematis dengan

30
ymx

dimana m adalah koefisien distribusi. Tentukan rumusan bagian


asam benzoat yang terekstrak.
Penyelesaian:
Persoalan ini dapat diilustrasikan seperti dalam Gambar 1.8,
dimana dua buah tangki digabung menjadi satu tahap.
Toluen
+
asam benzoat

Toluen
+
asam benzoat

air

air
+
asam benzoat

Gambar 1.7. Mixer settler satu tahap

R m3/det toluen
C kg/m3 as. benzoat
air
S m3/det air
y kg/m3 as. benzoat
air

R m3/det toluen
x kg/m3 as.benzoat
air
S m3/det air

Gambar 1.8. Ekstraksi satu tahap

31
Anggap:
semua laju alir adalah mantap; karena kedua aliran
masuk dan keluar tahap dengan laju yang sama.
toluen dan air tidak saling campur (immiscible).
Neraca massa asam benzoat pada keadaan tunak:

L. masuk L. keluar 0
R C (R x S y) 0

(1.76)

Hubungan kesetimbangan antara x dan y adalah


ymx

(1.77)

Eliminasikan y pada Pers. (1.76) dengan Pers. (1.77),


menghasilkan
RC
x
(1.78)
R mS
dan sisipkan persamaan ini kedalam Pers. (1.77) diperoleh

m RC
R mS

(1.79)

Jadi, bagian asam benzoat yang terekstrak adalah

Sy
S m RC
mS

RC
R C (R m S )
R mS
R
Bila

mS
Persamaan (1.80) menjadi
1
E
1
E

(1.80)
(1.81)

(1.82)

32
yaitu bagian asam benzoat yang terekstrak dalam kelompok
tanpa dimensi . Bila S 12R , m 1 8, dan C 1, maka
x

R 1
0,4
R (1 8) 12 R

(1 8) R 1
0,05
R (1 8) 12 R

dan

dan bagian asam benzoat yang terekstrak adalah


Sy
(12 R)(0,05)
E

100% 60%
RC
R 1
Contoh 1.8.
Kerjakan kembali Contoh 1.7, namun sekarang jumlah tahap
yang digunakan untuk ekstraksi asam benzoat dari toluen adalah
dua tahap. Masing-masing tahap masih terdiri dari dua tangki,
yaitu tangki pencampuran dan tangki pe-misah, dengan aliran
counter-current. Sistem aliran ditunjukkan pada Gambar 1.9.
R,C
S

R , x1
Tahap 1

y1

R , x2
Tahap 2

S
y=0

S, y2

Gambar 1.9. Ekstraksi dua tahap


Penyelesaian:
Anggapan yang dibuat sama dengan pada Contoh 1.7.
Hubungan kesetimbangan antara x dan y, Pers. (1.82), masih
berlaku untuk tiap-tiap tahap, yaitu

y1 m x1

dan

y 2 m x2

(1.83)

33
Neraca massa asam benzoat pada keadaan tunak untuk tahap 1:

L. masuk L. keluar 0
( R C S y 2 ) ( R x1 S y1 ) 0

(1.84)

Neraca massa asam benzoat pada keadaan tunak untuk tahap 2:

L. masuk L. keluar 0
( R x1 0) ( R x 2 S y 2 ) 0

(1.85)

Eliminasikan x1 dan y 2 pada Pers. (1.84) dan (1.85)


menggunakan Pers. (1.83), menghasilkan
R mS
R C m S x 2 y1

dan

y1

m
x2 (R m S )
R

(1.86)

(1.87)

Substitusikan Pers. (1.87) ke dalam Pers. (1.86), didapatkan


R C m S x2

x2

m
R mS
x2 (R m S )

R
m

R 2C
R2 R m S m2S 2

(1.88)

Dari Pers. (1.87) diperoleh


y1

m R C (R m S )
R2 R m S m2S 2

(1.89)

34
Bagian asam benzoat yang terekstrak adalah:

S y1
m S (R m S )
2
RC
R R m S m2S 2

(1.90)

Bila pembilang dan penyebut pada ruas kanan Pers. (1.90)


dibagi dengan m 2 S 2 , menghasilkan

R
1
mS
R2
R

1
2
2
mS
m S

1
1

1 1
2

2 1
E 3
1

(1.91)

Dengan menggunakan harga numerik yang sama dengan Contoh


1.7, yaitu, S 12R , m 1 8, dan C 1 didapatkan x 2 0,211
dan y1 0,066; dan bagian asam benzoat yang terekstrak
adalah

S y1
(12 R)(0,066)

100% 79,2%
RC
R 1

Jadi asam benzoat yang terekstrak dengan menggunakan dua


tahap lebih besar dibandingkan dengan menggunakan satu tahap
pada kondisi yang sama.

35
1-5 Rangkuman
Formulasi peristiwa fisika dan kimia kedalam bahasa matematis
dilakukan dengan menggunakan hokum-hukum dasar fisika atau
kimia. Hukum-hukum dasar tersebut adalah
1. Hukum-hukum kekekalan
kekekalan massa
kekekalan energi
kekekalan momentum
2. Hukum-hukum perpindahan
perpindahan massa
perpindahan energi
perpindahan momentum
3. Hukum-hukum kesetimbangan
kesetimbangan fisika
kesetimbangan kimia
Formulasi peristiwa-peristiwa fisika dan kimia secara matematis
ini melalui tiga tahapan dasar, yaitu:
1. Penjabaran permasalahan fisika dan kimia kedalam bahasa
matematis, sehingga diperoleh persamaan matematis yang
mendekati peristiwa yang ditinjau (model matematis).
2. Penyelesaian model matematis (persamaan aljabar,
persamaan diferensial, persamaan beda hingga, dll).
Analitis
Numeris
3. Interpretasi hasil

1.6
Soal-soal
1.1. Kerjakan kembali Contoh 1.7. Namun, jumlah tahap yang
digunakan untuk ekstraksi asam benzoat dari toluen adalah tiga
tahap. Masing-masing tahap masih terdiri dari dua tangki, yaitu

36
tangki pencampuran dan tangki pemisah, dengan aliran countercurrent.
1.2. Tangki A mula-mula berisi 500 ltr air. Larutan garam yang
konsentrasinya 40 gr/ltr mengalir kedalam tangki A dengan laju
10 ltr/men. Larutan garam yang keluar dari tangki A masuk ke
tangki B dengan laju 10 ltr/men. Ke dalam tangki B juga
ditambahkan make up larutan garam yang konsentrasinya 40
gr/ltr dengan laju 2 ltr/men. Laju alir larutan keluar tangki B
adalah 12 ltr/men. Tangki B mula-mula diisi dengan larutan
garam sebanyak 400 ltr dengan konsentrasi 5 gr/ltr. Anggap
kedua tangki tersebut diaduk sempurna sehingga konsentrasi
garam didalam tangki sama dengan konsentrasi keluar tangki.
Tentukan
(a) Konsentrasi garam keluar tangki B pada waktu 1 jam
(b) Waktu yang diperlukan agar konsentrasi garam pada tangki
A sama dengan konsentrasi garam pada tangki B.
1.3

Suatu tangki berisi 100 ft3 air. 2 ft3 larutan garam dengan
konsentrasi 1 lb/ft3 garam dialirkan ke tangki setiap menit dan
campuran tersebut dijaga homogen dengan pengadukan. Aliran
keluar tangki dengan kecepatan 1 ft 3/menit. Berapakah
konsentrasi larutan garam keluar tangki pada saat volume
larutan garam dalam tangki 150 ft 3.

1.4

Dua buah tangki berpengaduk dihubungkan secara seri se-perti


yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Kedua tangki tersebut digunakan untuk melarutkan bahan B
dengan pelarut air. Air masuk ke tangki dengan laju alir volume
10 L/menit dan larutan yang keluar dari tangki pertama dan
tangki ke dua juga dengan laju alir volume yang sama, yaitu 10
L/menit. Bila pada keadaan mula-mula tangki hanya berisi air
saja (anggap ukuran tangki pertama dan kedua sama dengan
kapasitas 100 L):

37
a)
b)
c)

Hitung konsentrasi larutan B yang keluar dari tangki ke dua


sebagai fungsi waktu
Berapa waktu yang diperlukan agar konsentrasi B yang keluar
dari tangki ke dua sudah mencapai 0.3 kg/L.
Bila kondisi b) telah tercapai, berapa lama waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi 0.2 kg/L, bila laju alir
air dan larutan keluar tangki tetap 10 L/menit.

Bahan B
2 kg/menit

Air
10 L/menit

10 L/menit

Bahan B
1kg/menit

10 L/menit

Glossarium

Hukum kekekalan massa dikenal juga sebagai hukum LomonosovLavoisier adalah suatu hukum yang menyatakan massa dari suatu
sistem tertutup akan konstan meskipun terjadi berbagai macam proses
di dalam sistem tersebut(dalam sistem tertutup Massa zat sebelum dan

38
sesudah reaksi adalah sama (tetap/konstan) ). Pernyataan yang umum
digunakan untuk menyatakan hukum kekekalan massa adalah massa
dapat berubah bentuk tetapi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
Hukum kekekalan energi adalah salah satu dari hukum-hukum
kekekalan yang meliputi energi kinetik dan energi potensial. Hukum
ini adalah hukum pertama termodinamika. Hukum Kekekalan Energi
(Hukum I Termodinamika) berbunyi: "Energi dapat berubah dari satu
bentuk ke bentuk yang lain tapi tidak bisa diciptakan ataupun
dimusnahkan".
Momentum merupakan hasil kali antara massa benda dengan
kecepatan gerak benda tersebut. Jadi momentum suatu benda selalu
dihubungkan dengan massa dan kecepatan benda.
Kinetika kimia atau kinetika reaksi mempelajari laju reaksi dalam
suatu reaksi kimia.
Kesetimbangan kimia adalah keadaan di mana kegiatan kimia atau
konsentrasi reaktan dan produk tidak memiliki perubahan dari waktu
ke waktu.
Hukum Raoult menyatakan bahwa tekanan uap dari suatu larutan
ideal tergantung tekanan uap dari setiap komponen kimia dan fraksi
mol komponen dalam larutan.

Daftar Pustaka
1. Mickley, H. S., T. S. Sherwood, and C. E. Reed, 1975, Applied
Mathematics in Chemical Engineering, McGraw-Hill Book
Company, New York
2. Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc., New
York.

39

BAB 2
REVIEW
PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

Tujuan instruksional umum:


Mengingat kembali tentang persamaan diferensial biasa.
Mengidentifikasi tipe, order, dan linierity persamaan diferensial
biasa.
Mengindentifikasi cara penyelesaian persamaan diferensial biasa.
order satu dan dua linier

Tujuan instruksional khusus:


Mahasiswa dapat menyelesaikan persamaan diferensial biasa
eksak
Mahasiswa dapat menyelesaikan persamaan diferensial biasa
order satu linier.
Mahasiswa dapat menyelesaikan persamaan diferensial biasa
order dua linier dengan koefisien konstan.

Dalam kalkulus telah dipelajari bagaimana mencari turunan dy dx


dari suatu fungsi y f (x ). Misalnya, jika y e ax , maka
dy dx a e ax . Dengan menggantikan e ax dengan y, menghasilkan
dy
ay
dx

(2.1)

40
Permasalahannya sekarang adalah bukan bagaimana menentukan
turunan dari fungsi y f (x ) ? Tetapi masalahnya adalah jika
diberikan persamaan diferensial (PD) seperti Pers. (2.1), bagaimana
cara menentukan fungsi y f (x ) ?

2.1 Definisi dan Klasifikasi Persamaan Diferensial


Suatu persamaan yang mengandung turunan-turunan dari suatu
variabel terikat terhadap satu atau lebih variabel-variabel bebas
disebut persamaan diferensial. Persamaan diferensial dapat
diklasifikasikan berdasarkan tipe, order, dan linieriti.
Klasifikasi Berdasarkan Tipe: Jika suatu persamaan hanya
mengandung turunan-turunan biasa dari suatu variabel terikat terhadap
satu variabel bebas disebut persamaan diferensial biasa (PDB).
Contohnya:
dy
y y2
dx
d2y
dy

6 y 0
2
dx
dx

Dalam contoh ini, y disebut variabel terikat dan x disebut variabel


bebas.
Suatu persamaan yang mengandung turunan-turunan parsial
dari suatu variabel terikat terhadap lebih dari satu variabel-variabel
bebas disebut persamaan diferensial parsial (PDP). Contohnya:
c
2c

t
x 2
2T
2T

0
x 2
y 2

41
Klasifikasi Berdasarkan Order: Order suatu PD, baik PDB maupun
PDP, adalah order dari turunan tertinggi dalam persamaan tersebut.
Sedangkan derajat suatu PD adalah pangkat tertinggi dari turunan
order tertinggi yang terdapat dalam PD setelah PD tersebut
dirasionalkan dan dibulatkan. Contohnya:

dy
5 y 0
dx

(order satu, derajat pertama)

d2y
dy
x
3 y 0
2
dx
dx

(order dua, derajat pertama)

d 2y
dy
5
4 y e x (order dua, derajat pertama)
2
dx
dx

d2y
dy

dx
dx 2

32

(order dua, derajat kedua)

Klasifikasi Berdasarkan Linieriti dan Nonlinieriti


Persamaan diferensial biasa order n adalah linier bila dapat ditulis
dalam bentuk

a 0 ( x)

dny
dx n

a 0 ( x) 0

a1 ( x)

d n 1 y
dx n 1

a n 1 ( x)

dy
a n y g ( x),
dx
(2.2)

Fungsi-fungsi a 0 ( x), a1 ( x), , a n ( x) disebut koefisien-koefisien


PD, dan g (x ) disebut suku non homogen. Bila koefisien-koefisien
tersebut adalah fungsi-fungsi konstan, PD dinamakan mempunyai
koefisien-koefisien konstan. Persamaan disebut homogen bila
g ( x ) 0 dan non homogen bila g ( x ) 0. Dari persamaan di atas

42
ter-lihat dua sifat karakteristik dari PD linier:
Variabel terikat y dan semua turunan-turunannya adalah derajat
satu, yaitu, pangkat dari tiap-tiap suku yang melibatkan y adalah 1.
Masing-masing koefisien hanya tergantung pada variabel bebas x.
Persamaan diferensial biasa yang tidak dapat ditulis dalam
bentuk umum di atas dinamakan PDB nonlinier. Misalnya:

d2y
dx 2

dy
y2 0
dx

d2y

sin y 0
dx 2
d2y
dy
y

y0
2
dx
dx

(2.3a)

(2.3b)
(2.3c)

Ketiga persamaan ini adalah PDB order dua nonlinier, karena pada
Pers. (2.3a) pangkat dari y bukan satu, pada Pers. (2.3b) terdapat
fungsi nonlinier dari y; yaitu sin y , dan pada Pers. (2.3c) koefisien
tergantung pada variabel terikat y.

2.2
Persamaan Diferensial Biasa Order Satu
Bentuk umum persamaan diferensial (PD) order satu dan derajat satu
adalah
M ( x, y ) dx N ( x, y ) dy 0

(2.4)

2.2.1
PD Dengan Variabel-Variabel Terpisah
Pada umumnya PD order satu dapat direduksi dengan manipulasi
aljabar menjadi bentuk:
f ( x ) dx g ( y ) dy 0

(2.5)

43
Persamaan ini dikatakan terpisah karena variabel x dan y terpisah
satu sama lainnya, sehingga x hanya ada pada koefisien dx dan y
hanya ada pada koefisien dy. Penyelesaian umumnya adalah

f ( x) dx g ( y ) dy C

(2.6)

dimana C adalah konstanta integrasi.

2.2.2 Reduksi Menjadi Variabel-Variabel Terpisah


Kadang-kadang pemisahan variabel tidak kelihatan dengan segera,
tetapi dapat dilakukan berdasarkan pengalaman. Ada beberapa bentuk
PD yang dapat direduksi menjadi variabel-variabel terpisah,
diantaranya adalah:

dan

f1 ( x) g 2 ( y) dx f 2 ( x) g1 ( y) dy 0

(2.7)

dy
f ( x) g ( y ) 0
dx

(2.8)

Penyelesaian umum Pers. (2.7) dapat diperoleh dengan


mengalikan persamaan tersebut dengan 1 f 2 ( x) g 2 ( y ) untuk
memisahkan variabel-variabel dan kemudian diintegrasikan:

f1 ( x)
g ( y)
dx 1
dy C
f 2 ( x)
g 2 ( y)

(2.9)

Penyelesaian umum Pers. (2.8) dapat diperoleh dengan


mengalikan persamaan tersebut dengan dx g ( y) kemudian
diintegrasikan:

f ( x) dx

dy
C
g ( y)

(2.10)

44
Jadi proses penyelesaian suatu persamaan yang dapat
dipisahkan seringkali meliputi perkalian dengan faktor pengintegral,
yaitu faktor pengali sehingga PD dapat dipisahkan.
Contoh 2.1.
Selesaikan PD berikut:

x ( y 2 9) dx y (1 x) dy 0

Penyelesaian:
PD di atas dapat direduksi menjadi PD variabel terpisah dengan
mengalikan dengan faktor pengintegral 1 ( y 2 9)(1 x),
hasilnya adalah
x dx
y dy
2
0
1 x
y 9

Dengan mengintegralkan persamaan ini menghasilkan


1
x ln(1 x ) ln( y 2 9) C1
2
Ada berbagai bentuk ekivalen yang dapat ditulis untuk
penyelesaian umum:
2 x 2 ln(1 x) ln( y 2 9) ln C ,

dimana

ln C 2 C1
C (1 x) 2
e2 x
2
y 9

Contoh 2.2.
Selesaikan PD berikut ini:

dC A
k1 C A
dt

(2.11)

45
Penyelesaian:
Bila Pers. (2.11) dikalikan dengan faktor pengintegral dt C A ,
diperoleh

dC A
k1 dt
CA

ln C A k1 t ln C
C A C exp(k1 t )
Kadang-kadang sangat dianjurkan menggunakan konstanta
integrasi dalam bentuk logaritma bila sebagian besar hasil integrasi
dalam bentuk logaritma.
2.2.3
Persamaan Homogen
Definisi umum dari suatu fungsi homogen x dan y derajat n adalah
gantikan x dengan tx dan y dengan ty, dan sederhanakan persamaan
tersebut. Jika hasilnya merupakan fungsi asli dikalikan dengan tn,
maka fungsi tersebut adalah homogen derajat n.
Dalam bentuk simbolis, fungsi f ( x , y ) disebut homogen
derajat n jika f (tx , ty ) t n f ( x, y ), dimana t adalah sembarang
bilangan selain nol.
Contoh 2.3.
Apakah

fungsi

f ( x, y ) x ln x 2 y 2 ln y y e x y

homogen?
Penyelesaian:
Untuk menjawab pertanyaan ini, gantikan x dengan tx dan y
dengan ty, menghasilkan

46

f (tx , ty ) t x ln t 2 x 2 t 2 y 2 ln t y t y e t x t y

t x ln t x 2 y 2 ln t y t y e x y

t x ln x 2 y 2 ln y y e x y

t f ( x, y )

Jadi fungsi tersebut adalah homogen derajat satu.


Persamaan diferensial
M ( x, y ) dx N ( x, y ) dy 0

(2.12)

disebut homogen bila M ( x, y ) dan N ( x, y ) merupakan fungsifungsi homogen berderajat sama. Dengan menggunakan transformasi
y vx atau x vy , maka PD Homogen dapat direduksi menjadi PD
dengan variabel terpisah.
Contoh 2.4.
Selesaikan PD berikut:
( x 2 y 2 ) dx x y dy 0

(2.13)

Penyelesaian:
Persamaan ini adalah homogen, karena seluruh suku-suku dalam
koefisien dari tiap-tiap diferensial adalah derajat dua. Karena itu
substitusikan
y vx ,

dan Pers. (2.13) menjadi

dy v dx x dv

47
( x 2 v 2 x 2 ) dx v x 2 (v dx x dv) 0
(1 2v 2 ) dx v x dv 0

Bila persamaan ini dikalikan dengan faktor pengintegral


1 x (1 2v 2 ) , meng-hasilkan
dx
v dv

0
x
1 2v 2

Dengan mengintegrasikan tiap-tiap suku persamaan di atas,


diperoleh
1
ln x ln (1 2v 2 ) C1
4
Gantilah v dengan y x untuk mendapatkan kembali variabel
semula.
x2 2y2
ln C ,
ln x 4 ln
x2

dimana

ln C 4 C1
x 4 2x 2 y 2 C

2.2.4
Persamaan Eksak
Bentuk umum PD order satu dan derajat satu adalah
M ( x, y ) dx N ( x, y ) dy 0

(2.14)

Umumnya suatu penyelesaian ada bila diferensial eksak


d ( x , y ) 0

(2.15)

48
Integrasi persamaan ini menghasilkan
( x, y) C1

(2.16)

Jika fungsi tersebut ada, maka dengan menggunakan aturan rantai


diferensial total adalah
d

dx
dy 0
x
y

(2.17)

Namun, bagaimana kita menggunakan informasi ini untuk menentukan y sebagai fungsi x? Sebenarnya, petunjuk dalam menemukan
adanya penyelesaian eksak terletak pada sifat fungsi kontinyu, yaitu

y x x y

(218)

Dengan membandingkan Pers. (2.14) dan Pers. (2.17), didapatkan


M ( x, y )

(2.19)

N ( x, y )

(2.20)

dan

Dengan menggunakan sifat fungsi kontinyu, Pers. (2.18), maka syarat


perlu dan cukup agar ada adalah
M
N

y
x

(2.21)

Jadi, Pers. (2.14) dikatakan eksak bila memenuhi persamaan berikut.


Langkah-langkah penyelesaian Persamaan Eksak adalah:
1. Integrasikan M ( x, y ) , Pers. (2.19), terhadap x dengan menjaga y
konstan. Hasilnya adalah

49

M ( x, y) dx

(2.22)

F ( y)

dengan F ( y ) adalah konstanta integrasi dari fungsi y saja.


2. Tentukan F ( y ) dari Pers. (2.20), dengan menyisipkan Pers. (2.22)
kedalam Pers. (2.20),

y
y

atau

M ( x, y) dx

dF ( y )

N ( x, y )
dy
y

dF ( y )
N ( x, y )
dy

M ( x, y) dx

(2.23)

1. Integrasikan Pers. (2.23), diperoleh

F ( y ) N ( x, y )
y

M ( x, y) dx dy
y

(2.24)

2. Jadi, penyelesaian umumnya diperoleh dengan menyisipkan Pers.


(2.24) ke dalam Pers. (2.22).
Contoh 2.5.
Buktikan bahwa
(3 x 2 6 xy ) dx (3 x 2 2 y ) dy 0

(2.25)

adalah eksak dan tentukan penyelesaian umumnya.


Penyelesaian:
M ( x, y )

3 x 2 6 xy
x

(2.26a)

50
N ( x, y )

(3 x 2 2 y )
y

(2.26b)

Persamaan (2.25) adalah eksak, karena


M
N
6 x
y
x

Integrasikan M ( x, y ) terhadap x dengan menjaga y konstan,


diperoleh

(3 x 2 6 xy ) dx x 3 3 x 2 y F ( y )
y

(2.27)

Sisipkan persamaan ini ke dalam Pers. (2.26b),

[ x 3 x 2 y F ( y )] (3 x 2 2 y )
y y
dF ( y )
2 y
dy

Dengan mengintegrasikan persamaan ini, didapatkan


F ( y) y 2 C2

Dengan mensubstitusikan persamaan ini ke dalam Pers. (2.27),


menghasilkan
(2.28)
x 3 3x 2 y y 2 C 2
Persamaan (2.28) bukan merupakan bentuk penyelesaian umum.
Karena juga sama dengan konstanta sembarang C1. Dengan
menggabungkan konstanta-konstanta sembarang tersebut
menghasilkan penyelesaian umum, yaitu

51
x 3 3x 2 y y 2 C ,

dimana

C C1 C 2

2.2.5
Persamaan Linier Order Satu
Bentuk umum PD linier order satu adalah
dy
P( x) y Q( x)
dx

(2.29)

dimana P(x) dan Q(x) adalah konstanta-konstanta atau hanya fungsi x.


Bila Pers. (2.29) dikali dengan faktor pengintegral, yaitu I (x ),
diperoleh
dy
(2.30)
I ( x)
I ( x) P( x) y I ( x) Q( x)
dx
Jika kita dapat mengetahui faktor pengintegral, I (x ), sehingga ruas
kiri Pers. (2.30) merupakan turunan dari persamaan tertentu, maka
kita dapat langsung meng-integrasikan persamaan tersebut. Sekarang
marilah kita coba menentukan I (x ). Perhatikan diferensiasi berikut
ini
d
(2.31)
I ( x) y I ( x) dy dI ( x) y
dx
dx
dx
Bandingkan hasil diferensiasi ini dengan ruas kiri Pers. (2.30). Kita
lihat bahwa suku pertama sama dan agar suku kedua juga identik,
maka
dI ( x )
(2.32)
I ( x) P( x)
dx
Bila persamaan ini diselesaikan diperoleh

I ( x) C e

P ( x ) dx

Karena kita tidak perlu faktor pengintegral yang lebih umum, maka

52
kita pilih C sama dengan satu sehingga faktor pengintegralnya
menjadi
(2.33)
I ( x ) exp P ( x ) dx

Jadi, penyelesaian umum Pers. (2.29) adalah


y

1
C
I ( x) Q ( x) dx
I ( x)
I ( x)

Contoh 2.6.
Selesaikan PD linier berikut ini
dy
2 y 3ex
dx

Penyelesaian:
P ( x ) 2 ,

I exp

2 dx exp(2 x)

Jadi, penyelesaian umumnya adalah


y

1
e

2 x

e 2 x 3 e x dx

C
e 2 x

y e 2 x 3 e x dx C e 2 x

y 3 e x C e 2 x

Contoh 2.7.
Selesaikan PD berikut

dc R
k1 c A0 exp(k1 t ) k 2 c R
dt

(2.34)

53
Penyelesaian:
Persamaan ini dapat ditulis dalam bentuk

dc R
k 2 c R k1 c A0 exp(k1 t )
dt

P(t ) k 2 ,

I ( x ) exp

k dt exp( k t )
2

Jadi penyelesaian umumnya adalah


cR

1
C
exp( k 2 t ) k1 c A0 exp( k1 t ) dt
exp( k 2 t )
exp( k 2 t )
k1 c A 0 exp( k 2 t ) exp[( k 2 k1 )t ] dt C exp( k 2 t )

k1 c A0
exp(k 2 t ) exp[(k 2 k1 ) t ] C exp(k 2 t )
k 2 k1

k1 c A0
exp(k1 t ) C exp(k 2 t )
k 2 k1

2.2.6
Persamaan Bernoulli
Bentuk umum Persamaan Bernoulli adalah
dy
P( x) y Q( x) y n ;
dx

(2.35)

Bila Pers. (2.35) dibagi dengan y n , diperoleh


y n

dy
P ( x ) y 1 n Q ( x )
dx

(2.36)

54
Persamaan (2.36) dapat direduksi menjadi persamaan linier dengan
mensubstitusikan:
z y 1 n ,

dz
dy
(1 n) y n
dx
dx

Dengan mensubstitusikan harga-harga ini ke dalam Pers. (2.36),


menghasilkan
dz
(1 n) P ( x ) z (1 n) Q ( x )
dx

(2.37)

Persamaan (2.37) merupakan persamaan linier order satu dan


penyelesaiannya sama dengan sub bab sebelumnya.

2.2.7
Persamaan Riccati
Persamaan Riccati adalah PD nonlinier. Bentuk umum persamaannya:
dy
P( x) y 2 Q( x) y R( x)
dx

(2.38)

Bentuk khusus yang sering muncul adalah bila P ( x ) 1


dy
y 2 Q( x) y R( x)
dx

(2.39)

Transformasikan variabel y dengan


y

1 du

u dx

dy
1 d 2u
1 du
2 2

dx
u dx
u dx

(2.40)
2

(2.41)

55
Suku nonlinier pada Pers. (2.39) dapat dihilangkan dengan
menyisipkan Pers. (2.40) dan Pers. (2.41) ke dalam Pers. (2.39),
menghasilkan
d 2u
du
Q( x)
R( x) u 0
2
dx
dx

(2.42)

Ini merupakan persamaan diferensial linier order dua dengan koefisien


tidak konstan. Persamaan ini dapat diselesaikan dengan metode deret
Frobenius atau fungsi Bessel.
Contoh 2.8.
Dalam suatu reaktor batch dengan volume konstan berlangsung
reaksi seri berikut:
A

k1

k2

Konsentrasi A mula-mula adalah C A0 , sedangkan konsentrasi


B dan C mula-mula adalah nol. Laju reaksi per satuan volume
reaktor dinyatakan dengan
rA k1 C An ,

rB k1 C An k 2 C Bm

Tentukan konsentrasi B sebagai fungsi waktu untuk kasus


berikut ini:
a) n 1, m 2
b) n 1, m 1
Penyelesaian:
a)

Untuk n 1 dan m 2 . Dari neraca massa didapatkan:

dC A
k1 C A
dt

(2.43)

56

dC B
k1 C A k 2 C B2
dt

(2.44)

Penyelesaian Pers. (2.43) adalah

C A C exp(k1 t )

(2.45)

Konstanta integrasi C ditentukan dari kondisi awal. Dari K.A.


didapatkan C C A0 . Persamaan (2.45) menjadi
C A C A0 exp(k1 t )

(2.46)

Substitusikan CA ini ke dalam Pers. (2.44)

dC B
k1 C A0 exp(k1 t ) k 2 C B2
dt
Bila kedua ruas dibagi dengan k2 dan waktu diganti dengan
k 2 t , didapatkan

k
dC B
k
C B2 1 C A0 exp 1
d
k2
k2

(2.47)

Persamaan ini identik dengan bentuk khusus dari persamaan


Riccati. Bandingkan Pers. (2.47) dengan Pers. (2.39),
didapatkan
Q ( ) 0,

Tansformasikan CB dengan

R( )

k
k1
C A0 exp 1
k2
k2

57
CB

1 du

u d

dC B
1 d 2u
1

2
2
d
u d
u

(2.48)

du

(2.49)

Dengan mensubstitusikan Pers. (2.48) dan (2.49) ke dalam Pers.


(2.47) diperoleh

k
k
d 2 u ( )
1 C A0 exp 1 u ( ) 0
2
k2
d
k2

(2.50)

Ini adalah PD order dua linier.


b) Untuk n 1 dan m 1 . Dari neraca massa didapatkan:

dC A
k1 C A ,
dt

persamaan (2.43)

dC B
k1 C A k 2 C B
dt

(2.51)

Penyelesaian Pers. (2.43) adalah


C A C A0 exp( k1 t ) , persamaan (2.46)

Substitusikan persamaan ini ke dalam Pers. (2.51), kita dapatkan

dC B
k 2 C B k1 C A0 exp(k1 t )
dt

(2.52)

Ini adalah persamaan linier order satu. Coba anda selesaikan


sendiri, hasilnya adalah

58
CB

k1 C A 0

[exp( k1 t ) exp( k 2 t )]

k 2 k1

(2.53)

Namun, seringkali diinginkan hubungan antara CA dan CB,


sehingga kita dapat menggunakan pendekatan yang berbeda,
yaitu dengan membagi Pers. (2.51) dengan (2.43)

dC B
k C
1 2 B
dC A
k1 C A

(2.54)

Ini merupakan persamaan homogen, substitusikan

dC B
dv
v CA
dC A
dC A

CB v C A ,
Persamaan (2.54) menjadi

v CA

k
dv
1 2 v
dC A
k1

dv
k2

1 v 1
k1

dC A
CA

k1

k2
k2 k1

v
1

1
CA C

k
1

(2.55)

K.A. pada t 0, C A C A0 dan C B 0 , sehingga v 0 .


Dari K.A. dan Pers. (2.55) didapatkan C 1 C A0 . Persamaan
(2.55) menjadi

C
k

1 2 1 v A
C A0
k1

( k 2 k 1) 1

59

C
k2

1 v 1 A
C A0
k1

( k 2 k 1) 1

Gantikan v dengan C B C A , didapatkan


CB
k1 C A
1

CA
k 2 k1 C A0

2.3

( k 2 k 1) 1

(2.56)

Persamaan Diferensial Linier Order Dua

Bentuk umum PD linier order dua adalah

d2y
dy
a1 ( x)
a 0 ( x) y f ( x)
2
dx
dx

(2.57)

Persamaan (2.57) ini adalah persamaan nonhomogen. Bila f ( x ) 0 ,


Pers. (2.57) menjadi persamaan homogen.
Dalam bagian ini, kita hanya mempelajari kasus-kasus dengan
koefisien konstan, yaitu a0 dan a1 adalah konstanta. Prosedur penyelesain Pers. (2.57) adalah sebagai berikut:
1. Pertama diset f ( x ) 0 . Persamaannya tereduksi menjadi
persamaan homogen. Penyelesaiannya disebut penyelesaian
komplementer atau homogen, dinotasikan dengan y c (x) .
2. Selesaikan PD bila
f ( x ) 0 . Penyelesaiannya disebut
penyelesaian partikulir, dinotasikan dengan y p (x ) .
3. Penyelesaian lengkap adalah: y y c ( x ) y p ( x ) .
Pertama kita membahas persamaan homogen. Untuk persamaan
linier homogen jelas terlihat bahwa gabungan dari tiap-tiap
penyelesaian juga merupakan suatu penyelesaian, asalkan tiap-tiap
penyelesaian adalah linearly independent dengan penyelesaian lainnya.
Maksud linearly independent adalah suatu penyelesai-an tidak dapat

60
diperoleh dari penyelesaian lain dengan mengalikan penyelesaian
tersebut dengan suatu konstanta. Misalnya, penyelesaian
y1 C1 exp(2 x)
adalah
linearly
independent
dengan
y 2 C2 exp(3x) , karena kita tidak dapat mengalikan y2 dengan suatu
konstanta untuk mendapatkan y1. Namun, penyelesaian y 3 6 x 2
adalah tidak linearly independent dengan y 4 2 x 2 , karena jelas
terlihat bahwa y3 dapat diperoleh dengan mengalikan y4 dengan 3.
Jadi, untuk persamaan homogen order dua dan linier
penyelesaian umumnya adalah
y c C1 y1 ( x) C 2 y 2 ( x)

(2.58)

Penyelesaian partikulir (yp) juga harus linearly independent


dengan tiap-tiap penyelesaian komplementer (yc), agar yp dapat
digabungkan dengan yc. Bila tidak, maka yp dapat menghasilkan
kembali salah satu dari penyelesaian komplementer, sehingga tidak
ada informasi baru yang ditambahkan ke hasil akhir.

2.3.1
Penyelesaian Komplementer
Bentuk PD linier order dua homogen dengan koefisien konstan
d2y
dy
a1
a0 y 0
2
dx
dx

(2.59)

Anggap penyelesaian komplementer dari Pers. (2.59) adalah


y c C exp(rx )

(2.60)

dimana C adalah konstanta integrasi dan r adalah akar karakteristik


(atau eigenvalue) dari persamaan. Diferensialkan Pers. (2.60) dua kali
terhadap x. Sisipkan yc tersebut dan turunan-turunannya ke dalam Pers.
(2.59), menghasilkan

61
C ( r 2 a1 r a 0 ) exp( rx ) 0

(2.61)

Bila C 0 maka tidak ada penyelesaian dan exp(rx ) tidak boleh


nol. Jadi per-samaan ini dipenuhi bila
r 2 a1 r a 0 0

(2.62)

Persamaan (2.62) disebut persamaan karakteristik untuk Pers. (2.59).


Karena Pers. (2.62) adalah persamaan kuadrat, maka hanya ada dua
akar. Ada tiga macam akar dari persamaan kuadrat:
1. Akar-akarnya real dan berbeda
2. Akar-akarnya sama
3. Akar-akarnya bilangan komplek dan berbeda.
Bila akar-akarnya real dan berbeda, katakanlah r1 dan r2, maka
penyelesaian umum Pers. (2.59) adalah
y c C1 exp(r1 x) C 2 exp(r2 x)

(2.63)

Untuk akar-akar yang agak rumit, katakanlah r1 a b dan


r2 a b , seringkali penyelesaiannya ditulis dengan menggunakan
fungsi hiperbolik, supaya lebih mudah dalam menentukan konstantakonstanta integrasi dengan menggunakan kondisi batas.
cosh (bx )

exp(bx ) exp( bx )
2

(2.64)

sinh (bx )

exp( bx ) exp( bx )
2

(2.65)

Jadi, penyelesaian di atas dapat ditulis dalam bentuk


y c exp(ax) C1 exp(bx) C 2 exp(bx)

62

exp(bx) exp(bx)
exp(bx) exp(bx)
yc exp(ax) (C1 C2 )
(C1 C2 )

2
2

y c exp(ax) C 3 cosh (bx) C 4 sinh (bx)

Bila akar-akarnya sama, katakanlah


penyelesaian umum Pers. (2.59) adalah

(2.66)

r1 r2 r , maka

y c (C1 C 2 x) exp( r x)

(2.67)

Pada Pers. (2.67) penyelesaian kedua dikali dengan variabel bebas x,


agar penyelesaiannya linearly independent.
Bila akar-akarnya bilangan kompleks, katakanlah r1 a b i
dan r2 a b i , maka penyelesaian umum Pers. (2.59) adalah
y c exp(ax) C 3 exp(ibx) C 4 exp(ibx)

(2.68)

Bentuk penyelesaian ini sama sekali tidak efektif untuk tujuan


komputasi, karena itu perlu dimasukkan bentuk yang lebih efektif
dengan menggunakan formula Euler, yaitu
e i x cos x i sin x

(2.69)

Dengan mensubstitusikan Pers. (2.69) ke dalam Pers. (2.68)


menghasilkan
y c exp(ax) C 3 (cos bx i sin bx) C 4 (cos bx i sin bx)
exp(ax) (C 3 C 4 ) cos bx (C 3 C 4 ) i sin bx
y c exp(ax) (C1 cos bx C 2 sin bx)

dengan C 3 C 4 C1 dan (C 3 C 4 ) i C 2 .

(2.70)

63
Contoh 2.9.
Selesaikan PD berikut ini
d2y
dy

6y 0
2
dx
dx

Penyelesaian:
Persamaan karakteristik (PK) dapat diperoleh dengan
menggantikan d 2 y dx 2 dengan r 2 dan dy dx dengan r,
sehingga
r2 r 6 0
( r 2)( r 3) 0

r1 2

dan r2 3

Karena akarnya real dan berbeda, maka penyelesaian umumnya


adalah
y C1 exp(2 x) C 2 exp(3 x)
Contoh 2.10.
Selesaikan persamaan order dua berikut ini
d2y
dy
6
9y 0
2
dx
dx

Penyelesaian:
Persamaan karakteristiknya
r2 6r 9 0
( r 3) 2 0
r1, 2 3

64
Karena akarnya sama, maka penyelesaian umumnnya adalah
y c (C1 C 2 x) exp(3 x)

Contoh 2.11.
Selesaikan PD berikut ini
d2y
dy
2
5y 0
2
dx
dx

Penyelesaian:
Persamaan karakteristiknya
r2 2r 5 0

r1, 2

4 (4 5)
2

2 4i
1 2i ; 1 2i
2

Karena akarnya imajiner dan berbeda, maka penyelesaian


umumnya adalah
y c exp( x) C1 cos 2 x C 2 sin 2 x

2.3.2
Penyelesaian Partikulir
Bentuk PD linier order dua dengan koefisien konstan adalah
d2y
dy
a1
a 0 y f ( x)
2
dx
dx

(2.71)

Penyelesaian umum dari Pers. (2.71) merupakan jumlah dari


penyelesaian komplementer dan penyelesaian partikulir, yaitu

65
y y c ( x) y p ( x)

(2.72)

Penyelesaian komplementer, y c (x) , telah kita pelajari, sekarang kita


akan membahas metode umum untuk menentukan integral partikulir,
y p (x ).
Ada tiga metode yang umum digunakan untuk menentukan
y p (x ) :
1. Metode Undetermined Coefficients.
2. Metode Invers Operator.
3. Metode Variasi Parameter.
Dua metode pertama hanya dapat digunakan untuk PD dengan
koefisien konstan, sedangkan metode ketiga dapat digunakan baik
untuk koefisien konstan maupun koefisien tidak konstan.
1. Metode Undetermined Coefficients
Metode ini digunakan secara luas, juga mudah dikerjakan. Tahap
pertama adalah mengasumsi bentuk awal dari penyelesaian partikulir
yp dengan koefisien-koefisiennya belum diketahui. Koefisienkoefisien yang belum diketahui ini ditentukan dengan menyisipkan
bentuk awal penyelesaian partikulir yp dan turunan-turunannya ke
dalam persamaan diferensial. Untuk PD order dua diperlukan dua kali
diferensiasi, sedangkan untuk PD order n diperlukan n kali
diferensiasi (suatu kelemahan dari metode ini). Kemudian ditentukan
koefisien-koefisiennya sehingga memenuhi persamaan diferensial.
Jika berhasil, maka kita telah mendapatkan penyelesaian partikulir yp.
Jika koefisien-koefisiennya tidak dapat ditentukan, ini artinya kita
tidak mendapatkan penyelesaian dari bentuk yang diasumsikan tadi.
Jadi kita perlu memodifikasi asumsinya dan kita coba lagi.
Sebagai pedoman dalam mengasumsi bentuk awal dari
penyelesaian partikulir yp adalah dengan melihat fungsi f (x ) dan
hasil diferensial berulang dari fungsi f (x ). Berdasarkan pengamatan
pada fungsi f (x ) dan turunan-turunannya, maka kita dapat
menyarankan bentuk integral partikulir dengan koefisien-koefisien
yang belum diketahui.

66
Contoh 2.12.
Tentukan penyelesaian umum dari PD linier order dua berikut
ini
d2y
dy
2
3 y 3 e2x
(2.73)
2
dx
dx
Penyelesaian:
Pertama adalah menentukan penyelesaian komplementer dengan
menset f ( x ) 0 . Persamaan karakteristik dari persamaan
homogen di atas adalah
r2 2r 3 0
( r 3)( r 1) 0

r1 3

dan

r2 1

Karena akarnya real dan berbeda, penyelesaian komplementernya adalah


y c C1 exp(3 x) C 2 exp( x)

(2.74)

Untuk membangun bentuk integral partikulir, kita harus


berpedoman pada fungsi f (x ) dan hasil diferensial berulang
dari fungsi f (x ). Bila order dari PD adalah dua, maka kita
harus mendiferensialkan hingga dua kali fungsi f (x ) tersebut.
Dalam contoh ini f ( x ) 3 exp( 2 x ). Turunan pertama dan
kedua dari fungsi tersebut tetap fungsi eksponensial, yaitu
exp( 2 x ). Oleh karena itu, bentuk integral partikulir yang
diusulkan adalah fungsi eksponensial itu sendiri dikali dengan
suatu koefisien, yaitu
y p B exp( 2 x )

(2.75)

67
dimana B adalah koefisien yang akan ditentukan. Caranya
dengan mendiferen-sialkan yp ini dua kali terhadap x, kemudian
sisipkan Pers. (2.75) dan turunan-turunannya ke dalam Pers.
(2.73), kita dapatkan
4 B exp( 2 x ) 4 B exp( 2 x ) 3 B exp( 2 x ) 3 exp( 2 x )
B 1

Penyelesaian partikulirnya adalah


(2.76)

y p exp( 2 x )

Jadi penyelesaian lengkapnya adalah

y C1 exp(3x) C 2 exp( x) exp(2 x)

(2.77)

Contoh 2.13.
Selesaikan PD linier order dua berikut ini
d 2 y dy

2 y x2
dx 2 dx

(2.78)

Penyelesaian:
Persamaan karakteristik dari persamaan homogen di atas adalah
r2 r 2 0
( r 1)( r 2) 0
r1 1
dan

r2 2

Penyelesaian komplementernya adalah


y c C1 exp( x) C 2 exp(2 x)

(2.79)

68
Perhatikan bahwa turunan pertama dan kedua dari f ( x ) x 2
adalah 2 x dan 2, sehingga kita dapat membentuk integral
partikulirnya berupa gabungan linier dari f (x ) dan turunanturunannya dikali dengan suatu koefisien, yaitu

y p A 2 x 2 A1 x A0

(2.80)

dimana koefisien-koefisien A2, A1, dan A0 akan ditentukan.


Diferensialkan yp ini dua kali terhadap x. Kemudian sisipkan yp
dan turunan-turunannya ke dalam Pers. (2.78), menghasilkan

2 A 2 (2 A 2 x A1 ) 2 ( A 2 x 2 A1 x A0 ) x 2
2 A 2 x 2 (2 A 2 2 A1 ) x (2 A 2 A1 2 A0 ) x 2

(2.81)

Untuk memenuhi Pers. (2.81) kita harus menyamakan tiap-tiap


koefisien dari polinomial tersebut antara ruas kiri dan ruas
kanan persamaan, sehingga didapatkan
koefisien x 2 :

2 A2 1

A 2 1 2

koefisien x

2 A 2 2 A1 0

A1 A 2 1 2

konstanta

2 A 2 A1 2 A 0 0

A0

1
1 1
3
( A1 2 A 2 ) 1
2
2 2
4

Jadi penyelesaian partikulirnya adalah


1
1
3
yp x2 x
2
2
4

(2.82)

69
Dan penyelesaian lengkapnya adalah

1
y C1 exp( x ) C 2 exp( 2 x ) x 2 x
2

(2.83)

Contoh 2.14.
Tentukan penyelesaian umum dari PD linier order dua berikut
ini
d 2 y dy

2 y 3 cos 2 x
(2.84)
dx 2 dx
Penyelesaian:
Penyelesaian komplementer sama dengan contoh sebelumnya.
Sekarang perhatikan turunan pertama dan kedua dari
f ( x ) cos 2 x , yaitu sin 2 x dan cos 2 x. Karena dari fungsi
f (x ) dan hasil turunan berulang muncul suku cosinus dan
sinus, maka bentuk integral partikulir yang disarankan adalah
y p A cos 2 x B sin 2 x

(2.85)

dimana A dan B adalah koefisien-koefisien yang akan dicari.


Diferensialkan yp ini dua kali terhadap x, diperoleh
dy p

2 A sin 2 x 2 B cos 2 x ,
dx
d 2 yp
4 A cos 2 x 4 B sin 2 x .
dx 2

Kemudian sisipkan yp dan turunan-turunannya ini ke dalam Pers.


(2.84), meng-hasilkan
( 6 A 2 B ) cos 2 x ( 2 A 6 B ) sin 2 x 3 cos 2 x (2.86)
Berikutnya samakan tiap-tiap koefisien dari sin 2 x dan cos 2 x
antara kedua sisi Pers. (2.86).

70
koefisien cos 2 x :
koefisien sin 2 x :

6 A 2B 3
2 A 6B 0

(2.87a)
(2.87b)

Dengan menyelesaikan secara simultan Pers. (2.87) diperoleh


A

9
20

dan

3
20

Sehingga penyelesaian partikulirnya adalah


yp

3
(sin 2 x 3 cos 2 x )
20

(2.88)

Jadi penyelesaian lengkapnya adalah


3
(2.89)
(sin 2 x 3 cos 2 x )
20
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari contoh-contoh di
atas mengenai bentuk standard integral partikulir dirangkum dalam
Tabel 2.1.
y C1 exp( x ) C 2 exp( 2 x )

Tabel 2.1. Bentuk standard integral partikulir.


Bentuk f (x )
Ae

Eksponensial
Polinomial

Bentuk integral partikulir


B er x

rx

Anx An1xn1
A1xA0 Bn xn Bn1 xn1 B1 x B0
(beberapa harga

Ai

boleh sama dengan nol)

Trigonometri

A1 sin rx A 2 cos rx

(harga

B 1 sin rx B 2 cos rx

A1 atau

A2
boleh sama dengan nol)

Bila suku nonhomogen f (x ) merupakan jumlah dari fungsi-fungsi


di atas (fungsi eksponensial, polinomial, dan trigonometri), maka

71
bentuk integral partikulir juga merupakan jumlah dari bentuk standard
masing-masing integral partikulirnya. Bila f (x ) merupakan hasil
kali dari fungsi-fungsi di atas, maka bentuk integral partikulirnya juga
merupakan hasil kali dari masing-masing bentuk standard integral
partikulir tersebut.
Namun, bila salah satu suku pada penyelesaian komplementer
sama dengan salah satu suku pada fungsi f (x ), maka bentuk
standard integral partikulir seperti pada Tabel 2.1 tidak dapat
digunakan langsung, karena nantinya penyelesaian partikulir tidak
linearly independent dengan penyelesaian komplementer. Oleh karena
itu, bentuk integral partikulirnya harus dimodifikasi. Caranya: Bentuk
standard integral partikulir seperti pada Tabel 2.1 dikalikan dengan
variabel bebas, bila hasilnya masih sama dengan salah satu
penyelesaian komplementer, maka harus dikalikan lagi dengan
variabel bebas, sehingga bentuk integral partikulirnya tidak sama lagi
dengan salah satu penyelesaian komplementer.
Kadangkala koefisien yang ingin dicari tidak dapat ditentukan.
Bila hal ini terjadi maka kita harus mengalikan lagi bentuk integral
partikulirnya dengan variabel bebas, dan begitu seterusnya hingga
koefisien tersebut dapat ditentukan.
Contoh 2.15.
Tentukan penyelesaian komplementer dan partikulir dari PD
berikut ini
d2y
dy
5
6 y exp(2 x)
(2.90)
2
dx
dx
Penyelesaian:
Pertama kita set ruas kanan Pers. (2.90) sama dengan nol,
sehingga persamaan karakteristiknya adalah
r2 5r 6 0
( r 3)( r 2) 0

72

r1 3

dan

r2 2

Penyelesaian komplementernya adalah


y c C1 exp(3 x) C 2 exp(2 x)

(2.91)

Perhatikan salah satu suku pada penyelesaian komplementer ini


sama dengan fungsi f (x ), yaitu exp( 2 x ). Sehingga kita tidak
boleh langsung mencoba bentuk standard integral partikulir,
yaitu y p B exp( 2 x ), karena nantinya yp ini tidak linearly
independent dengan salah satu suku penyelesaian komplementer.
Oleh karena itu kita harus mencoba memodifikasi yaitu dengan
mengalikan yp standard dengan variabel bebas, sehingga
menjadi
(2.92)

y p B x exp( 2 x )

Sekarang jelas terlihat bentuk integral partikulir ini sudah


linearly independent dengan penyelesaian komplementer.
Diferensialkan Pers. (2.92) dua kali terhadap x, menghasilkan
y p B exp( 2 x ) 2 B x exp( 2 x )
y p 4 B exp( 2 x ) 4 B x exp( 2 x )

Kemudian substitusikan yp dan turunan-turunannya ini ke dalam


Pers. (2.90), kita dapatkan
[ 4 B exp( 2 x ) 4 B x exp( 2 x )] [5 B exp( 2 x ) 10 B x exp( 2 x )]
6 B x exp( 2 x ) exp( 2 x )
B exp( 2 x ) exp( 2 x )
B 1

Sisipkan harga B ini ke dalam Pers. (2.92), diperoleh

73
(2.93)

y p x exp( 2 x )

Penyelesaian lengkapnya adalah


y c C1 exp(3 x) C 2 exp(2 x) x exp(2 x)

(2.94)

2. Metode Invers Operator


Metode ini dibangun dari operator diferensial Heaviside, yang
didefinisikan dengan
dy
(2.95)
Dy
dx
dimana D adalah operasi elementer d dx . Operator ini mengikuti
hukum-hukum aljabar tertentu, dan letaknya harus selalu sebelum
suatu fungsi yang akan dioperasikan. Turunan kedua, ketiga, dan
seterusnya dari operator D ini dapat ditulis dengan
D( D y ) D 2 y

d2y
dx 2

(2.96)

D( D 2 y ) D 3 y

d3y
dx 3

(2.97)

Dn y

dny
dx n

(2.98)

Karena operator D merupakan operator linier, maka operator D dapat


dijumlahkan dan difaktorkan, misalnya
d2y
dy
6
9 y D 2 y 6 Dy 9 y (D 3) 2 y 0
2
dx
dx

Hukum-hukum dasar yang berlaku untuk operator D adalah:

74
(a) Hukum Distributif.
Hukum ini menyatakan bahwa
(2.99)

A ( B C ) AB AC

Operator D mengikuti hukum distributive


( D 2 5 D 6) y D 2 y 5 D y 6 y

(2.100)

(b) Hukum Komutatif


Hukum ini menerangkan tentang aturan pertukaran operasi, yaitu
AB BA

(2.101)

Pada umumnya operator D tidak mengikuti hukum ini, karena jelas


bahwa
(2.102)
D y yD
Namun, operator D dapat bertukar kedudukan sesamanya, karena
(2.103)
( D 3)( D 2) ( D 2)( D 3)
(c)
Hukum Asosiatif
Hukum ini menjelaskan mengenai aturan urutan operasi, yaitu
A ( BC ) ( AB )C

(2.104)

Secara umum hukum ini tidak berlaku untuk operator D, karena


D( x y ) (D x) y
sebab kita tahu bahwa
D ( x y ) ( D x ) y x D y.

Namun, operator D berasosiatif sesama mereka sendiri

(2.105)

(2.106)

75
(2.107)

D ( D y ) ( DD) y

Bila operator D digunakan dalam bentuk invers, maka ada dua


aturan yang perlu diperhatikan.
Operasi terhadap eksponensial.

Diferensial exp(rx ) adalah

D(e r x ) r e r x

(2.108)

D 2 (e r x ) D ( D e r x ) r 2 e r x

(2.109)

D 3 (e r x ) D( D 2 e r x ) r 3 e r x

n
rx
n 1 r x
n rx
D (e ) D( D e ) r e

(2.110)

Bila persamaan-persamaan ini dijumlahkan, menghasilkan


2
3
n
rx
3
(D
D

D
r 2r

r n ) er x

) e (r

P ( D)

atau

P(r )

P ( D) e r x P ( r ) e r x

(2.111)

dengan P ( D ) dan P (r ) adalah persamaan polinomial dalam D dan


r. Persamaan ini merupakan Aturan 1.
Operasi terhadap hasil kali dengan eksponensial. Bentuk kedua
dalam mengunakan operator D adalah operasi terhadap hasil kali
fungsi f (x ) dengan eksponensial. Diferensial dari hasil kali f (x )
dan exp(rx ) adalah
D( f ( x ) e r x ) e r x D f ( x ) f ( x ) r e r x e r x ( D r ) f ( x )

D 2 ( f ( x) e r x ) D e r x [D f ( x) r f ( x)]

(2.112)

76
e rx ( D 2 rD) f ( x) r e rx ( D r ) f ( x) e rx ( D r ) 2 f ( x)

(2.113)

D 3 ( f ( x) e r x ) D e r x ( D 2 2 r D r 2 ) f ( x) e r x (D r ) 3 f ( x)

n
rx
D ( f ( x) e )

e r x (D r ) n f ( x)
(2.114)
Bila operator-operator D ini dijumlahkan, menghasilkan
P ( D) ( f ( x ) e r x ) e r x P ( D r ) f ( x )

(2.115)

Kita dapat menyimpulkan bahwa operasi polinomial D terhadap hasil


kali f ( x) e r x akan menghasilkan pergeseran eksponensial ke bagian
depan dikali dengan operasi polinomial ( D r ) terhadap f (x ) .
Bentuk ini merupakan Aturan 2.
Jadi ada dua aturan penting dalam menggunakan operator D ini,
yaitu:
1. Aturan 1: P(D) e r x P(r ) e r x
(2.111)
2. Aturan 2: P (D) ( f ( x) e r x ) e r x P (D r ) f ( x) .

(2.115)

Invers Operator.
Kita tahu bahwa integrasi merupakan invers dari diferensiasi.
d
dx

f ( x) dx D f ( x) dx

f ( x)

(2.116)

Hal ini menyatakan bahwa


1

f ( x) dx D f ( x) D

f ( x)

(2.117)

Jadi, operasi D 1 f ( x ) menyatakan integrasi terhadap x, sedangkan


D f ( x ) menyatakan diferensiasi terhadap x. Integrator, D 1 , dapat

77
diperlakukan seperti besaran aljabar lainnya, asalkan mengikuti
aturan-aturan aljabar seperti yang disebutkan di atas.
Ada dua aturan yang berlaku untuk invers operator.
Aturan 1 Invers Operator:
Pada umumnya polinomial D, P(D), yang terdapat dipenyebut dapat
dioperasikan berdasarkan Aturan 1 [Pers. (2.111)].
1
1
er x
er x
P ( D)
P(r )

(2.118)

Bila P ( r ) 0 aturan ini tidak dapat digunakan. Keadaan ini terjadi


karena salah satu fungsi f (x ) sama dengan salah satu suku pada
penyelesaian komplementer.
Aturan 2 Invers Operator:
Kesulitan di atas dapat diatasi dengan menggunakan Aturan 2 [Pers.
(2.115)]. Jika P ( r ) 0 , jelas bahwa P(D) mengandung akar sama
dengan r; misal kita dapat memfaktorkan P(D) dengan
1
1
1

P (D)
(D r ) g (D)

(2.119)

Untuk n akar yang sama, persamaan ini dapat ditulis


1
1
1

n
P ( D)
g ( D)
(D r )

(2.120)

Dari Pers. (2.120) terlihat g(D) tidak mengandung akar r, jadi Aturan
1 dapat digunakan. Namun, kita harus memodifikasi operasi
1 (D r) n bila dioperasikan terhadap exp(rx). Polinomial D, P(D),
yang terdapat dalam penyebut dapat juga dioperasikan berdasarkan
Aturan 2 [Pers. (2.115)].

78
1
1
[ f ( x) e r x ] e r x
f ( x)
P (D)
P(D r )

(2.121)

Jika P (D) (D r ) n ,
1
1
[ f ( x) e r x ] e r x
f ( x)
n
(D r )
(D) n

(2.122)

(1 D n ) f ( x ) artinya integrasi n kali terhadap f (x ) .

Contoh 2.16.
Ulangi Contoh 2.12, tentukan penyelesaian partikulir dengan
menggunakan metode invers operator.
Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya
d2y
dy
2
3 y 3 e2x
2
dx
dx

Dengan menggunakan operator D dan memfaktorkannya


diperoleh

( D 2 2 D 3) y p ( D 1)( D 3) y p 3 e 2 x
yp

1
3e2x
( D 1)( D 3)

Kita dapat menggunakan Aturan 1 secara langsung, karena


r 2 , didapatkan
yp

1
3 e 2 x e 2 x
(2 1)(2 3)

79
Bandingkan hasil ini dengan Pers. (2.76). Terlihat jelas
kecepatan dan efisiensi dari metode ini dibandingkan dengan
metode sebelumnya, yaitu metode undetermined coeffocients.
Contoh 2.17.
Tentukan penyelesaian partikulir pada Contoh 2.15 dengan
menggunakan metode invers operator.
Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya adalah
d2y
dy
5
6 y exp(2 x)
2
dx
dx

Dengan menggunakan operator D bentuk integral partikulirnya


adalah

( D 2 5D 6) y p ( D 2)( D 3) y p e 2 x
yp

1
e2x
( D 2)( D 3)

Jika kita langsung menggunakan Aturan 1 diperoleh


P ( r ) (0)( 1) 0. Jadi dalam contoh ini kita harus hati-hati
karena tidak boleh langsung menggunakan Aturan 1. Untuk
mengatasi agar P ( r ) 0 , pertama kita gunakan Aturan 1
terhadap faktor yang tidak menghasilkan nol, yaitu ( D 3);
kemudian kita gunakan Aturan 2 untuk operasi exp( 2 x )
dengan ( D 2). Tahap pertama adalah
yp

1
1
e2x
( D 2)
1

80
Kemudian kita gunakan Aturan 2 dengan f ( x ) 1 ,
1
y p e 2 x
1
( D 2 2)
y p e 2 x

1
1
D

y p x e2x
Bandingkan hasilnya dengan Pers. (2.93).
Invers operator terhadap fungsi trigonometri
Fungsi trigonometri seperti sin x dan cos x dapat didekati dengan
formula Euler,
(2.123)
e i x cos x i sin x
ix
Dari Pers. (2.123) terlihat bahwa bagian Real dari e adalah cos x
dan bagian Imajiner adalah sin x
Re(e i x ) cos x

(2.124)

Im(e i x ) sin x

(2.125)

Jadi, bila cos x atau sin x muncul dalam fungsi f (x ), kita dapat
menggunakan metode invers operator untuk mendapatkan integral
partikulir.
Contoh 2.18.
Ulangi Contoh 2.14, tentukan penyelesaian partikulir dengan
menggunakan metode invers operator.
Penyelesaian:
Persamaan diferensialnya

81
d 2 y dy

2 y 3 cos 2 x
dx 2 dx

Dengan menggunakan operator D bentuk integral partikulirnya


adalah

( D 2 D 2) y p 3 cos 2 x
1

y p Re 2
3e2 ix
D D2

3
y p Re
e 2 i x
2
(2 i ) 2 i 2

3
6 2i 2 i x
y p Re

e
6 2i 6 2i

18 6 i 2 i x
y p Re
e
40

9 3i

y p Re
(cos 2 x i sin 2 x )
20

9i
3i
3
9

y p Re
cos 2 x sin 2 x
cos 2 x sin 2 x
20
20
20
20

Dengan mengambil bagian Realnya saja maka penyelesaian


partikulirnya adalah
yp

3
(sin 2 x 3 cos 2 x )
20

Bandingkan hasil ini dengan Pers. (2.88).

82
Pada umumnya metode invers operator ini tidak disarankan
untuk hasil kali fungsi seperti x cos bx , exp( x ) cos x, dan lain-lain,
karena sulit dalam mengekspansi operator dalam bentuk deret.

2.4 Rangkuman
Persamaan diferensial dapat juga diklasifikasi berdasarkan tipe, orde,
dan linieriti. Klasifikasi berdasarkan tipe: persamaan diferensial dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Persamaan diferensial biasa
2. Persamaan diferensial parsial
Klasifikasi berdasarkan orde: persamaan diferensial terdiri-dari
orde satu, dua, dan seterusnya sampai orde n. Orde dari persamaan
diferensial ditentukan berdasarkan turunan tertinggi dalam persamaan
tersebut, sedangkan derajat dari suatu persamaan diferensial
ditentukan berdasarkan pangkat dari turunan tertinggi dalam
persamaan tersebut.
Klasifikasi berdasarkan linieriti dan non-linieriti: persamaan
diferensial biasa dapat dikatakan linier orde n bila dapat ditulis dalam
bentuk:

a 0 ( x)

dny
dx

a1 ( x)

d n 1 y
dx

n 1

a n 1 ( x)

dy
a n y g ( x),
dx

a 0 ( x) 0

Sedangkan persamaan diferensial biasa yang tidak dapat ditulis dalam


bentuk di atas dikatakan persamaan diferensial non-linier.
Persamaan diferensial biasa orde satu dapat diklasifikasikan
dalam bentuk:
1. Persamaan diferensial dengan variable-variabel terpisah.
2. Persamaan homogeny.

83
3. Persamaan eksak
4. Persamaan linier orde satu
5. Persamaan Bernoulli
6. Persamaan Riccati.
Persamaan diferensial linier orde dua mempunyai bentuk umum
sebagai berikut:
d2y
dy
a1 ( x)
a 0 ( x) y f ( x)
2
dx
dx

Persamaan ini adalah persamaan diferensial linier orde dua nonhomogen. Bila f(x) = 0 persamaan di atas menjadi persamaan
homogen. Bila ao dan a1 adalah konstanta dan persamaan tersebut
menjadi persamaan diferensial linier orde dua dengan koefisien
konstan yang penyelesaian umumnya adalah gabungan dari
penyelesaian koomplementer dan penyelesaian partikulir. Persamaan
karakteristik untuk persamaan di atas adalah persamaan kuadrat dalam
bentuk r (persamaan 2.62), maka hanya ada dua akar. Ada tiga macam
akar dari persamaan kuadrat, yaitu:
1. Akar-akarnya real dan berbeda.
2. Akar-akarnya sama.
3. Akar-akarnya bilangan komplek dan berbeda.
Penyelesaian partikulir secara umum dapat diselesaikan dengan
tiga metode, yaitu:
1. Metode undetermined coefficient.
2. Metode Invers Operator.
3. Metode variasi parameter.

84
2.5
Soal-Soal
2.1. Selesaikan persamaan eksak berikut ini:
(a) (1 e x y x e x y ) dx ( x e 2 2) dy 0
(b) ( y e x sin y ) dx (e x cos y x e y ) dy 0
2.2. Tentukan penyelesaian persamaan homogen berikut ini
(a)

2
2
2
dy y x x y

dx
xy

(b)

dy x 2 3 y 2

dx
2x y

2.3. Selesaikan persamaan diferensial berikut ini


(a) x 2

(b)

dy
2x y y 3 0
dx

dy
e2x 3y
dx

2.4. Tinjau suatu reaksi kimia order dua dengan reaksi sebagai
berikut:
P Q X
Anggap konsentrasi mula-mula P dan Q masing-masing adalah
p dan q, dan x (t ) adalah konsentrasi X pada waktu t. Laju
reaksinya adalah
dx
( p x )( q x )
dt
dengan adalah suatu konstanta.
(a) Jika x (0) 0, tentukan konsentrasi X pada waktu t.

85
(b) Bila p q dan x (0) 0, tentukan konsentrasi X pada
waktu t.
2.5. A holding tank designed to accept the effluent from a small
chemical plant operates such that the flow from the tank, q, is
proportional to h ( q b h). The feed to the tank is intermittent,
but the flow rate is constant at 80 ft 3/sec when liquid does enter.
The cylindrical tank is 30 ft in diameter and 10 ft deep.
(a) Derive the mathematical description for this situation and
express h as a function of the inlet flow qf, b, t, the tank area
A, and the initial height of liquid h0.
(b) b is found experimentally to be equal to 8 ft 2/sec when the
tank drain valve is fully open. If the tank is initially empty
and the drain valve open, how long can the feed stream flow
into the tank before it overflows?
(c) If the flow rate of the feed stream is doubled, how long will
it take for an initially empty tank to overflow if the drain
valve is fully open?
(d) If the tank contains 8 ft of liquid when the drain valve is
opened, how long will it take for the level to reach 4 ft with
no liquid entering?
(Diambil dari Introduction to Chemical
Engineering Analysis by T. W. F. Russell and
M. M. Denn, John Wiley & sons, Inc., New
York, 1972. Problem 4.4)
2.6. A tall, cylindrical tank is being filled, from an initially empty
state, by a constant inflow of q liters/sec of liquid. The flat tank
bottom has corroded and sustains a leak through a small hole of
area A0. If the cross-sectional area of the tank is denoted the by
A, and time-varying height of liquid is h(t ), then:
(a) find the dynamic relationship describing tank height, if the
volumetric
leak
rate
obeys
Torricellis
law,
q0 A0 2 g h(t ) (g is gravitational acceleration).

86
(b) determine the relationship to predict the final steady-state
liquid height in the tank.
(c) define x x , separate variables and deduce the implicit
(d)

solution for h:

qA
t 2
A0 g


q
ln
q A 2gh

0

2 A
A

h
2g

(e) sketch the curve for h versus t, and compare with the case
for a nonleaking tank.
(Diambil dari Applied Mathematics and Modeling
for Chemical Engineers by R. G. Rice and D.
D. Do, John Wiley & sons, Inc., New York,
1995. Problem 2.12)
2.7. A tank contains 100 gal of brine with 50 lb m of dissolved salt.
Pure water runs into the tank at a rate of 2 gal/min, while the
effluent flows into a second tank which is initially empty at a
rate of 3 gal/min. The second tank is emptied at a constant rate
of 2 gal/min. Develop the mathematical description that would
enable you to compute the concentration of salt in the second
tank as a function of time. Solve the equation if you are familiar
with linear first-order differential equations.
(Diambil dari Introduction to Chemical
Engineering Analysis by T. W. F. Russell and
M. M. Denn, John Wiley & sons, Inc., New
York, 1972. Problem 4.17)
2.8. The reversible set of reactions represented by
A

k1
k2

k3
k4

is carried out in a batch reactor under conditions of constant

87
volume and temperature. Only one mole of A is present initially,
and any time t the moles are NA, NB, NC. The net rate of
disappearance of A is given by

and for B, it is

rA k1 C A k 2 C B
rB k1 C A k 2 C B k 3 C B k 4 C C

The net rate of production of C is given by


rC k 3 C B k 4 C C

(a) Show that the behavior of N A (t ) is described by the


second order ODE
d 2NA
dN A
( k1 k 2 k 3 k 4 )
( k1 k 3 k1 k 4 k 2 k 4 ) N A k 2 k 4
2
dt
dt
One initial condition for the second order equation in part (a) is
N A (0) 1 ; what is the second necessary initial condition?

(b) Find the complete solution for N A (t ) , using the conditions


in part (b) to evaluate the arbitrary constants of integration.
(Diambil dari Applied Mathematics and Modeling
for Chemical Engineers by R. G. Rice and D.
D. Do, John Wiley & sons, Inc., New York,
1995. Problem 2.6*)

Glossarium

Persamaan diferensial (PD) adalah persamaan yang mengandung


turunan-turunan dari suatu variabel terikat terhadap satu atau lebih
variabel-variabel bebas.
Persamaan diferensial biasa (PDB) adalah persamaan yang

88
mengandung turunan-turunan dari suatu variabel terikat terhadap satu
variabel bebas.
Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan yang
mengandung turunan-turunan dari suatu variabel terikat terhadap lebih
dari satu variabel bebas.
Derajat dalam persamaan diferensial adalah pangkat dari turunan
tertinggi yang terdapat dalam PD setelah PD tersebut dirasionalkan.
Orde dalam persamaan diferensial turunan tertinggi yang terdapat
dalam PD setelah PD tersebut dirasionalkan.
PDB linier adalah PDB yang memenuhi bentuk pada persamaan
(2.2).
PDB non-linier adalah PDB yang tidak memenuhi bentuk pada
persamaan (2.2)
Persamaan diferensial biasa homogen adalah PD yang mempunyai
fungsi-fungsi M(x,y) dan N(x,y) homogen berderajat sama.
Persamaan diferensial biasa eksak adalah PD yang memenuhi
persyaratan pada persamaan (2.21).
Persamaan diferensial linier order satu adalah PD yang mempunyai
bentuk umum seperti pada persamaan (2.29).
Persamaan diferensial Bernoulli adalah PD yang mempunyai bentuk
umum seperti pada persamaan (2.35).
Persamaan diferensial linier order dua adalah PD yang mempunyai
bentuk umum seperti pada persamaan (2.57).

Daftar Pustaka
1.

Boyce, W. E. and R. C. DiPrima, 2001, Elementary Differential


Equations and Boundary Value Problems, John Wiley & Sons,
Inc., New York.

2.

Rice, B. J. and J. D. Strange, 1994, Ordinary Differential


Equations with Applications, 3rd Ed., Brooks/Cole Publishing

89
Company, California.
3.

Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and


Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc., New
York.

4.

Russel, T.W.F. and Denn, M.M. 1972. Introduction to Chemical


Engineering Analysis John Wiley & sons, Inc., New York, 1972.

90

BAB 3
PENYELESAIAN PERSAMAAN DIFERENSIAL (PD)
BIASA DENGAN METODE DERET DAN
FUNGSI-FUNGSI KHUSUS

Tujuan instruksional umum:


Mengingat kembali tentang deret pangkat.
Memperkenalkan tentang titik biasa dan singular.
Mengaplikasikan metode Frobenius dalam penyelesaian PD biasa
Mengaplikasikan persamaan Bessel dalam penyelesaian PD biasa
Mengaplikasikan fungsi-fungsi khusus untuk menyelesaikan PD
biasa.

Tujuan instruksional khusus:


Mahasiswa dapat mengaplikasikan deret untuk menyelesaikan PD
biasa
Mahasiswa dapat menerapkan Persamaan Bessel untuk
menyelesaikan PD biasa
Mahasiswa dapat mengaplikasikan Persamaan Bessel yang dimodifikasi untuk menyelesaikan PD biasa
Mahasiswa dapat memahami sifat-sifat fungsi Bessel

Pada Bab 2 kita telah mempelajari prosedur sistematik dalam


membangun penyelesaian persamaan diferensial linier order dua
dengan koefisien konstan. Pada dasarnya, penyelesaian komplementer
berbentuk fungsi eksponensial; yaitu exp(rx), dan fungsi ini
merupakan representasi dari deret pangkat, yaitu

91

r 2 x2 r 3 x3
r n xn
exp(rx ) 1 rx


2!
3!
n 0 n !

(3.1)

Oleh karena itu, dalam bab ini kita akan membahas penyelesaian
persamaan diferensial linier order dua dengan menggunakan deret
pangkat. Penyelesaian dengan deret ini dapat juga digunakan untuk
persamaan diferensial dengan koefisien tidak konstan (variabel). Ide
dasar dari metode ini sama dengan metode undetermined coefficients;
yaitu dengan mengasumsikan bahwa penyelesaian persamaan
diferensial tertentu mempunyai ekspansi deret pangkat, dan kemudian
kita berusaha menentukan koefisien-koefisien agar memenuhi
persamaan diferensial tersebut.
Tetapi, sebelum kita melihat bagaimana deret pangkat dapat
digunakan dalam menentukan penyelesaian persamaan diferensial,
terlebih dahulu kita lihat secara ringkas beberapa sifat dasar dari deret
pangkat.

3.1 Review Deret Pangkat


Bentuk deret tak berhingga berikut ini

a 0 a1 ( x x 0 ) a 2 ( x x 0 ) 2 a n ( x x 0 ) n a n ( x x 0 ) n
n 0

(3.2)
disebut deret pangkat disekitar titik x0, dengan a0, a1, a2, , an,
disebut koefisien-koefisien dari deret pangkat dan x0 adalah pusat dari
deret atau titik dimana deret akan diekspansi. Deret pangkat dalam
Pers.(3.2) dikatakan konvergen pada titik x bila

lim a n ( x x 0 ) n
n

n 0

itu ada (berhingga) pada x, kalau tidak ada disebut divergen. Deret

92
pangkat dalam Pers. (3.2) dikatakan konvergen absolut pada titik x
jika deret

n 0

a n ( x x0 ) n a n x x0

n 0

konvergen. Jadi, bila suatu deret konvergen absolut maka deret itu
pasti konvergen juga, namun tidak berlaku sebaliknya.
Untuk setiap deret pangkat ada suatu bilangan R yang harganya
lebih besar atau sama dengan nol ( R 0 ), yang disebut dengan jarijari konvergensi, dengan sifat ini bahwa deret dalam Pers. (3.2)
konvergen absolut bila x x0 R, dan divergen bila x x0 R.
Bila deret konvergen pada semua harga x, maka R . Namun,
bila deret konvergen hanya pada x0, maka R 0. Deret bisa
konvergen atau bisa divergen bila x x0 R, lihat Gambar 3.1.
Jadi bila kita dapat menentukan harga R, maka rentang
konvergensi dari suatu deret dapat diketahui, yaitu
( x0 R) x ( x0 R)
Deret
divergen

(3.3)

Deret
konvergen absolut
x0 R

x0

Deret
divergen
x0 + R

Deret bisa
konvergen atau divergen
Gambar 3.1. Interval konvergensi deret pangkat

Juga kita dapat menganalisa titik-titik ujung dari rentang konvergensi


secara terpisah untuk mengetahui konvergensi dari deret dalam Pers.
(3.2)

93
Salah satu metode yang sangat berguna dalam menguji
konvergensi absolut dari suatu deret adalah test rasio. Test ini
didefinisikan dengan

lim
n

u n 1
a ( x x0 ) n 1
lim n 1
n
un
a n ( x x0 ) n
x x0 lim
n

a n 1
1
x x0
an
R

(3.4)

dimana un dan un+1 berturut turut adalah suku ke-n dan ke-(n+1), dan

R lim
n

an
a n1

(3.5)

Bila 1 deret adalah konvergen; bila 1 deret adalah


divergen; dan bila 1 maka test gagal, maksudnya perilaku deret
tidak dapat ditentukan dengan test ini dan harus dicari metode
pengujian lainnya.
Contoh 3.1.
Tentukanlah jari-jari konvergensi dari deret berikut

n 0

xn
n 1

(3.6)

Penyelesaian:
Dengan menggunakan test rasio didapatkan

lim
n

x n 1 n 1
n 1
n x lim
x
n n 2
n2 x

Jadi deret dalam Pers. (3.6) konvergen absolut bila x 1. Ini

94
menandakan jari-jari konvergensi R 1. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa deret tersebut konvergen absolut jika
1 x 1, dan divergen bila x 1; atau jika x 1 dan

x 1.

Kita dapat menguji titik-titik ujung dari rentang


konvergensi secara terpisah, yaitu pada x 1 dan x 1.
Pertama kita amati pada x 1 deret menjadi

n 1 1 2 3 4
n 0

Ini merupakan deret harmoni positif dan suku ke-n tidak


mendekati nol dengan n , jadi deret tersebut adalah
divergen. Dan pada titik ujung yang lain, yaitu pada x 1
deret menjadi

n 0

(1) n
1 1 1
1
n 1
2 3 4

(3.7)

Deret ini berkurang suku demi sukunya dan suku ke-n mendekati nol
dengan n , jadi deret tersebut adalah konvergen, tetapi tidak
konvergen absolut. Deret dalam Pers. (3.7) dikatakan konvergen
bersyarat pada x 1. Jadi deret pangkat dalam Pers. (3.6) adalah
konvergen untuk 1 x 1.
Perlu diingat bahwa dalam interval konvergensi, deret pangkat
dapat diperlakukan seperti fungsi kontinyu lainnya, misal dapat
didiferensialkan atau diintegralkan suku demi suku dari deret tersebut.
Deret hasil diferensiasi atau integrasi dijamin konvergen dan
mempunyai jari-jari konvergensi yang sama dengan deret pangkat asli.
Bila f (x ) dan g (x ) masing-masing merupakan deret
pangkat, maka dalam interval konvergensi deret-deret tersebut dapat
ditambahkan atau dikurangkan suku demi suku, yaitu

95

f ( x ) g ( x ) ( a n bn )( x x 0 ) n

(3.8)

n 0

Deret-deret pangkat tersebut juga dapat dikalikan, yaitu


f ( x) g ( x) a n ( x x 0 ) n bn ( x x 0 ) n c n ( x x 0 ) n (3.9)
n 0
n 0
n 0

dimana c n a 0 bn a1bn 1 a 2 bn 2 a n b0 .
g ( x 0 ) 0, deret pangkat dapat dibagi, yaitu

Selanjutnya,

f ( x)
d n ( x x0 ) n
g ( x) n 0

bila

(3.10)

Koefisien dn dapat diperoleh dengan menyamakan koefisien-koefisien


dalam hubungan yang ekuivalen,

n
n
n
a
(
x

x
)

d
(
x

x
)

n
0
0
n
bn ( x x0 )
n 0
n 0
n 0

d k bn k ( x x0 ) n
n 0 k 0

(3.11)

Bila deret

n 0

n 0

a n ( x x 0 ) n bn ( x x 0 ) n

(3.12)

untuk setiap x. Maka a n bn untuk setiap n. Bila ruas kanan Pers.


(3.12) sama dengan nol maka a n 0 untuk semua n.

3.2 Titik Biasa dan Singular


Bentuk umum persamaan diferensial linier homogen order dua adalah

96
d2y
dy
A 2 ( x)
A1 ( x)
A 0 ( x) y 0
2
dx
dx

(3.13)

dengan A 0 ( x ), A1 ( x ), dan A 2 ( x ) adalah koefisien-koefisien dari


persamaan diferensial. Misal koefisien-koefisien A0, A1, dan A2
semuanya polinomial yang tidak mempunyai faktor umum, maka titik
x0 dikatakan titik biasa (ordinary) dari Pers. (3.13) bila A 2 ( x 0 ) 0.
Namun, jika A 2 ( x 0 ) 0, maka x0 dikatakan titik singular. Titik
singular bisa bilangan kompleks.
Bila koefisien-koefisien dari persamaan diferensial bukan dalam
bentuk polinomial, maka kita perlu memodifikasi definisi titik biasa
dan singular. Untuk tujuan ini bagikan Pers. (3.13) dengan A 2 ( x )
sehingga persamaan diferensial menjadi dalam bentuk normal, yaitu
d2y
dy
p( x)
q( x) y 0
2
dx
dx

(3.14)

dimana p ( x ) A1 ( x ) A 2 ( x ) dan q ( x ) A 0 ( x ) A 2 ( x ) .
Titik x0 dikatakan titik biasa bila kedua fungsi p (x ) dan q (x )
adalah analitik, artinya bahwa mereka kedua-duanya dapat diekspansi
dalam deret pangkat dan konvergen disekitar titik x0. Jika satu atau
kedua fungsi tersebut tidak dapat diekspansi dalam deret pangkat
disekitar titik x0, maka x0 dikatakan titik singular.

3.3
Penyelesaian Deret Disekitar Titik Biasa
Jika x0 merupakan titik biasa dari persamaan diferensial
d2y
dy
A 2 ( x)
A1 ( x)
A 0 ( x) y f ( x)
2
dx
dx

maka penyelesaiannya dapat dinyatakan dalam

(3.15)

97

y a n ( x x0 ) n

(3.16)

n 0

Untuk menyelesaikan Pers. (3.15), kita sisipkan Pers. (3.16) dan


turunan-turunannya ke dalam Pers. (3.15), dan fungsi f (x )
diekspansi ke dalam deret Maclaurin (atau deret Taylor). Kemudian
harga an ditentukan dengan menyamakan koefisien-koefisien dari
pangkat x yang sama. Untuk persamaan diferensial order dua, a0 dan
a1 adalah konstanta-konstanta sembarang, dan an ditentukan untuk
n 2.

Contoh 3.2.
Selesaikan persamaan diferensial berikut
d2y
4y 0
dx 2

(3.17)

dengan menggunakan deret pangkat disekitar x 0.


Penyelesaian:
Bandingkan persamaan ini dengan Pers. (3.13), diperoleh
A 2 ( x ) 1, A1 ( x ) 0 , dan A 0 ( x ) 4 ; dengan demikian setiap
titik adalah titik biasa. Anggap x terletak dalam jari-jari
konvergensi dari deret pangkat dan penyelesaiannya berbentuk

y an x n

(3.18)

n 0

dengan a0 dan a1 adalah konstanta-konstanta sembarang, yang


akan konvergen untuk semua harga x. Diferensialkan Pers.
(3.18) dua kali terhadap x, didapatkan

98

dy
n a n x n 1
dx n 0

Kita lihat suku pertama dari deret tersebut adalah nol, jadi
indeks n harus mulai dari 1.

dy
n a n x n 1
dx n 1

(3.19)

dan

d2y
n(n 1) a n x n 2
2
dx
n2

(3.20)

Karena suku pertama adalah nol, maka indeks n mulai dari 2.


Dengan mensubstitusikan y dan y dalam Pers. (3.17) dengan
Pers. (3.18) dan (3.20), diperoleh

n(n 1) a
n2

x n2 4 a n x n 0
n 0

Untuk menggabungkan kedua deret tersebut, kita perlu menulis


ulang deret pertama sehingga indeks dari pangkat x sama. Jadi
dalam deret pertama, kita merubah indeks penjumlahan n
dengan n 2 dan n mulai dari nol. Kita dapatkan

n 0

( n 1)( n 2) a n 2 x n 4 a n x n 0
n 0

atau

[(n 1)(n 2) a
n 0

n2

4 an ] x n 0

(3.21)

Indeks penjumlahan n adalah dummy variable, seperti variabel


dalam suatu integrasi, sehingga kita dapat merubahnya tanpa

99
mempengaruhi harga penjumlahan. Persamaan (3.21) dipenuhi
untuk semua harga x, jadi koefisien dari xn harus sama dengan
nol,
(n 1)(n 2) a n 2 4 a n 0
an2

4 an
,
( n 1)( n 2)

n 0, 1, 2, .

(3.22)

Persamaan ini disebut hubungan rekursi. Pada Pers. (3.22),


setiap persamaan dihubungkan dengan dua persamaan
sebelumnya. Karena Pers. (3.17) adalah persamaan diferensial
order dua maka ada dua konstanta sembarang, yaitu a0 dan a1.
Jadi bila a0 diketahui maka an dapat ditentukan untuk semua x
genap, dan bila a1 diketahui maka an juga dapat ditentukan
untuk semua x ganjil. Pertama kita lihat untuk koefisienkoefisien genap,
4 a0
2 2 a0
a2

,
2
2!

2 2 a0 2 4 a0
4 a2
4


,
3 4
3 4
2!
4!
2 4 a0
2 6 a0
4 a4
4

a6

,
56
5 6 4!
6!

a4

Untuk koefisien-koefisien ganjil,


4 a1
2 2 a1
a3

,
23
3!

2 2 a0 2 4 a1
4 a3
4

a5

,
45
4 5
3!
5!

100

2 4 a0
4 a5
2 6 a1
4

a7


,
67
6 7 5!
7!
Sisipkan koefisien-koefisien ini ke dalam Pers. (3.18),
menghasilkan

y a 0 a1 x

2 2 a 0 2 2 2 a1 3 2 4 a 0 4 2 4 a1 5
x
x
x
x
2!
3!
4!
5!
2 6 a 0 6 2 6 a1 7

x
x
6!
7!

Dengan mengelompokkan deret-deret yang melibatkan a0 dan a1,


diperoleh

(2 x) 2 (2 x) 4 (2 x) 6

y a0 1


2!
4!
6!

22 x 3 24 x 5 26 x 7
a1 x


3!
5!
7!

Deret-deret tersebut dapat ditulis dalam bentuk kompak sebagai


berikut

(1) n (2 x) 2 n
(1) n (2 x) 2 n 1
b0
( 2n) !
(2n 1)!
n 0
n 0

y a0

(3.23)

dengan b0 a1 2 . Ini adalah penyelesaian Pers. (3.17) dalam


bentuk deret pangkat yang linearly independent. Deret pangkat
tersebut dapat diuji konvergensinya dengan rasio test. Kita dapat
mengenal bahwa deret pertama dan kedua dalam Pers. (3.23)
masing-masing adalah sebagai cos 2 x dan sin 2 x , sehingga
Pers. (3.23) dapat ditulis dengan

101
y a 0 cos 2 x b0 sin 2 x

(3.24)

Contoh 3.3.
Gunakan deret pangkat untuk menyelesaikan persamaan
diferensial berikut ini
d2y
y ex
2
dx

(3.25)

dengan kondisi awal: y (0) 1 dan y (0) 0 .


Penyelesaian:
Persamaan ini mempunyai titik biasa disemua titik, dan anggap
penyelesaiannya berbentuk

y an x n

(3.26)

n 0

Turunan pertama dan kedua dari Pers. (3.26) adalah

dy
n a n x n 1
dx n 1

(3.27)

dan

d2y
n(n 1) a n x n 2
2
dx
n2

(3.28)

Persamaan (3.27) mulai dari n 1 , karena suku pertama dari


deret tersebut adalah nol. Dan Pers. (3.28) mulai dari n 2 ,
karena suku pertama dan kedua dari deret tersebut adalah nol.
Deret Maclaurin dari exp( x ) adalah

102
e

(1) n x n

n!
n 0

(3.29)

Dengan menyisipkan Pers. (3.26), (3.28) dan (3.29) ke dalam


Pers. (3.25), diperoleh

n2

(1) n x n
n!
n 0

n(n 1) a n x n 2 a n x n
n 0

Agar deret-deret ini dapat digabungkan, maka deret pertama


perlu ditulis ulang untuk menyamakan indeks dari pangkat x.
Gantikan indeks penjumlahan n dengan n 2 , didapatkan

(1) n n
(
n

1
)(
n

2
)
a

n2
n

x 0
n!
n 0

Persamaan ini dipenuhi bila


(n 1)(n 2) a n 2 a n

(1) n
0
n!

atau
an2

an
(1) n

,
(n 2)! (n 2)(n 1)

n 0, 1, 2,

(3.30)

Dengan menset n 0, 1, 2, 3, dalam hubungan rekursi di atas


diperoleh

1 a0

2! 2!
1 a1
1 a1
a3

3! 3 2 3! 3!

a2

103

a4

1 a2
1
1 1 a0 a0


4! 4 3 4! 4 3 2! 2! 4!

a5

1 a3
1 1 1 a1 a1


5! 5 4 5! 5 4 3! 3! 5!
a6

1 a4
1
1 a0 1 a0


6! 6 5 6! 6 5 4! 6! 6!

a7

1 a5
1
1 a1 1 a1

7! 7 6 7! 7 6 5! 7! 7!

Dengan demikian, penyelesaian umumnya adalah

1 a
1 a
a
a
y a0 a1 x 0 x 2 1 x 3 0 x 4 1 x 5
4!
5!
2! 2!
3! 3!
1 a
1 a
0 x 6 1 x 7
6! 6!
7! 7!
Dengan mengelompokkan deret-deret tersebut dalam suku a0, a1,
dan lainnya, didapatkan

1
1
1
1
1
y a0 1 x 2 x 4 x 6 a1 x x 3 x 5
4!
6!
3!
5!
2!

1
1 7
1
1
1
x x 2 x 3 x 6 x 7
7!
3!
6!
7!
2!

atau

104

1
1
1
y b0 1 x 2 x 4 x 6
4!
6!
2!

1
1
1
b1 x x 3 x 5 x 7
3!
5!
7!

1
1
1
1
1
1 x x 2 x 3 x 4 x 5
2
2!
3!
4!
5!

dengan

b0 a 0 (1 2)

dan

b1 a1 (1 2).

(3.31)
Sebelum

memasuk-kan kondisi awal ke Pers. (3.31), kita lihat bahwa


diferensial terhadap x adalah

2x 4x3 6x5

3x 2 5 x 4 7 x 6

y b0

b1 1


4!
6!
3!
5!
7!
2!

1
2 x 3x 2 4 x 3 5 x 4
1


2
2! 3!
4!
5!

Dengan memasukkan kondisi awal, yaitu y (0) 1


y (0) 0 , ke dalam Pers. (3.31) dan (3.32), diperoleh
b0

1
2

b1

1
2

Oleh karena itu, Pers. (3.31) menjadi

1
1
1
1
1 x 2 x 4 x 6
2 2!
4!
6!

1
1
1
1
x x 3 x 5 x 7
2
3!
5!
7!

(3.32)
dan

105

1
1
1
1
1
1 x x 2 x 3 x 4 x 5
2
2!
3!
4!
5!

Deret-deret ini dapat ditulis dalam bentuk kompak sebagai


berikut
y

1
2

(1) n x 2 n 1

( 2n) !
2
n 0

(1) n x 2 n 1 1

2
n 0 ( 2n 1) !

(1) n x n

n!
n 0

yang dikenal dengan


y

1
(cos x sin x e x )
2

Contoh 3.4.
Selesaikan persamaan diferensial berikut dengan menggunakan
deret pangkat
(1 x 2 )

d2y
dy
3x
5y 0
2
dx
dx

(3.33)

Kondisi awalnya adalah y (0) 0 dan y (0) 1 .


Penyelesaian:
Koefisien dari Pers. (3.33) adalah polinomial maka singularitas
terjadi bila 1 x 2 0, atau x 1. Oleh karena itu, x 0
merupakan titik biasa. Anggap bentuk penyelesaiannya adalah

y an x n
n 0

Turunan pertama dan kedua dari Pers. (3.34) adalah

(3.34)

106

dy
n a n x n 1
dx n 1

(3.35)

d2y
n(n 1) a n x n 2
2
dx
n2

(3.36)

Dengan menyisipkan y dan turunan-turunannya ke dalam Pers.


(3.33), menghasilkan

n2

n 1

n 0

(1 x 2 ) n( n 1) a n x n 2 3 x n a n x n 1 5 a n x n 0

atau

n2

n( n 1) a n x n 2 n( n 1) a n x n
n2

n 1

n 0

3 n an x n 5 an x n 0

Indeks penjumlahan dari deret kedua dan ketiga dapat dirubah


agar mulai dari n 0 , karena deret kedua adalah nol untuk
n 0 dan n 1 sedangkan deret ketiga nol untuk n 0.
Kemudian tiga deret terakhir dapat digabungkan menjadi

n2

n( n 1) a n x n 2 [ n( n 1) 3n 5] a n x n 0
n 0

atau

n2

n( n 1) a n x n 2 ( n 2 4n 5) a n x n 0
n 0

Agar deret-deret ini dapat digabungkan, maka indeks dalam


deret pertama harus digeser untuk menyamakan indeks dari

107
pangkat x. Gantikan indeks penjumlahan n dengan n 2 ,
didapatkan

[(n 1)(n 2) a
n 0

n2

( n 2 4n 5) a n ] x n 0

Persamaan ini dipenuhi bila


( n 1)( n 2) a n 2 ( n 2 4 n 5) a n 0

atau
an2

n5
an ,
n2

n 0, 1, 2, .

(3.37)

Dengan mengiterasi Pers. (3.37) untuk n 0, 1, 2, 3, , diperoleh

a2

5 a0
2

a3

4 a1
3

a4

3 a2
3 5 a 15 a 0
0
4
4 2
8

a5

2 a3
2 4a 8a
1 1
5
5 3 15

Penyelesaian umumnya adalah

y a0 a1 x

5 a0 2 4 a1 3 15 a0 4 8 a1 5
x
x
x
x
2
3
8
15

Dengan mengelompokkan deret-deret tersebut dalam suku a0

108
dan a1, didapatkan
15
4
8
5

y a 0 1 x 2 x 4 a1 x x 3 x 5
8
3
15
2

(3.38)
Dengan memasukkan kondisi awal y (0) 0 ke dalam Pers.
(3.38), menghasilkan
a0 0

Sehingga Pers. (3.38) menjadi


4
8

y a1 x x 3 x 5
3
15

(3.39)

Bila Pers. (3.39) didiferensialkan terhadap x, diperoleh


8

y a1 1 4 x 2 x 4
3

(3.40)

Dengan memasukkan kondisi awal y (0) 1 ke dalam Pers.


(3.40), menghasilkan

a1 1
Jadi penyelesaian umumnya adalah
y x

4 3 8 5
x x
3
15

3.4 Metode Frobenius


Kita tidak dapat menyelesaikan persamaan diferensial dengan deret
pangkat disekitar titik singuler. Namun, modifikasi deret pangkat
dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan disekitar titik

109
singuler tertentu. Tinjau bentuk umum persamaan diferensial linier
homogen order dua berikut ini
A 2 ( x)

d2y
dy
A1 ( x)
A 0 ( x) y 0
2
dx
dx

(3.41)

Dengan membagi persamaan tersebut dengan A 2 ( x ) , diperoleh


persamaan dalam bentuk normal
d2y
dy
p( x)
q( x) y 0
2
dx
dx

(3.42)

dimana p ( x ) A1 ( x ) A 2 ( x ) dan q ( x ) A 0 ( x ) A 2 ( x ) .
Persamaan (3.42) dikatakan singuler pada titik x0 jika baik
(atau kedua-duanya)

lim p( x)

atau

x x 0

lim q( x) .

x x 0

(3.43)

Dengan kata lain, suatu titik x0 dikatakan singuler jika fungsi p (x )


atau q (x ) atau kedua fungsi tersebut tidak dapat diekspansi dalam
deret pangkat disekitar titik x0.
Titik singuler dapat dikelompokkan dalam titik singuler reguler
dan titik singuler irreguler. Titik singuler x0 dikatakan reguler jika
kedua

lim ( x x0 ) p( x)

x x 0

ada (berhingga) pada

dan

lim ( x x0 ) 2 q ( x)

x x 0

(3.44)

x x0 . Sebaliknya, titik x0 dikatakan

irregular. Dengan kata lain, titik singuler x0 dikatakan reguler jika


kedua fungsi
( x x0 ) p( x)

dan

( x x0 ) 2 q( x)

(3.45)

dapat diekspansi dalam deret pangkat disekitar titik x0. Jika tidak
dapat diekspansi titik tersebut dikatakan irregular.

110
Jika x0 merupakan titik singuler reguler dari Pers. (3.41), maka
penyelesaiannya dapat dinyatakan dalam bentuk
y ( x x0 ) r

n 0

a n ( x x 0 ) n a n ( x x 0 ) n r , a0 0

(3.46)

n 0

Deret ini disebut deret Frobenius dengan indeks r. Indeks r ini tidak
mesti suatu bilangan bulat. Adapun prosedur penyelesaian Pers. (3.41)
adalah sebagai berikut:
1. Anggap penyelesaiannya dalam bentuk deret Frobenius, Pers.
(3.46).
2. Sisipkan deret Frobenius dan turunan-turunanya ke dalam
persamaan diferensial dan sederhanakan.
3. Set koefisien dari pangkat ( x x 0 ) terkecil sama dengan
nol. Persamaan yang diperoleh disebut persamaan indicial,
dan tentukan harga-harga r. Pada umumnya persamaan
indicial berupa persamaan kuadrat. Jadi ada dua akar dari
persamaan indicial, yaitu r1 dan r2, yang dikenal dengan
pangkat singulariti.
4. Untuk setiap harga r, tentukan koefisien-koefisien an dengan
menggunakan hubungan rekursi.
Dengan menggunakan deret Frobenius dalam menyelesaikan
Pers. (3.41), maka dapat dipastikan bahwa penyelesaian pertama
selalu ada, umumnya untuk akar persamaan indicial yang lebih besar.
Namun, dalam mendapatkan penyelesaian kedua yang linearly
independent akan tergantung pada sifat dari akar-akar persamaan
indicial, yaitu r1 dan r2. Ada tiga kasus yang terjadi dalam
permasalahan ini:
Kasus I.

Harga r berbeda dan selisihnya bukan bilangan bulat


(do not differ by an integer)

Kasus II. Harga r sama

111
Kasus III. Harga r berbeda dan selisihnya bilangan bulat
(differ by an integer); ada dua keadaan dalam kasus
ini, yang ditunjukkan dalam Kasus IIIa dan IIIb.

3.4.1

Kasus I: Akar-akarnya berbeda dan selisihnya bukan


bilangan bulat
Bila r1 r2 N , dengan N adalah bilangat bulat (yaitu
N 0, 1, 2, ), selalu akan menghasilkan dua penyelesaian yang
linearly independent dalam bentuk

y1 ( x ) x

r1

y 2 ( x) x

r2

a
n 0

a
n 0

( r1 ) x n

(3.47)

( r2 ) x n

(3.48)

Koefisien-koefisien a n ( r1 ) dan a n (r2 ) masing-masing dihitung


pada harga akar r1 dan r2. Karena y1 dan y2 adalah linearly independent,
maka penyelesaian umumnya adalah

y y1 ( x) y 2 ( x)

(3.49)

Contoh 3.5.
Tentukan penyelesaian umum dengan deret disekitar x 0 dari
persamaan diferensial berikut ini
2x

d2y
dy
(1 x)
2y 0
2
dx
dx

(3.50)

Penyelesaian:
Bila persamaan ini dirubah dalam bentuk normal seperti Pers.
(3.42), didapatkan

112
p( x)

1 x
2x

dan q ( x )

1
x

Jelas terlihat bahwa pada x 0 adalah titik singuler, karena


1 x
lim p ( x ) lim
,
x 0
x 0
2x

dan

1
lim q ( x ) lim .
x 0
x 0
x

Juga dapat dibuktikan bahwa titik x 0 adalah titik singular


reguler, karena
1 x 1
lim x p ( x ) lim x
,
x0
x0
2x 2

dan

1
lim x 2 q ( x ) lim x 2 0 .
x 0
x 0
x

Anggap penyelesaian deretnya berbentuk

y a n x nr

(3.51)

n 0

Diferensialkan Pers. (3.51) dua kali terhadap x, didapatkan

dy
( n r ) a n x n r 1
dx n 0

(3.52)

d2y
(n r )(n r 1) a n x n r 2
2
dx
n 0

(3.53)

Dengan menyisipkan y dan turunan-turunannya ke dalam Pers.


(3.50), diperoleh

113

n 0

n 0

2 ( n r )( n r 1) a n x n r 1 ( n r ) a n x n r 1

n 0

n 0

(n r ) a n x n r 2 a n x n r 0

Dengan menggeser indeks dalam deret ketiga dan keempat dari


n menjadi n 1 , kemudian menggabungkannya dengan dua
deret pertama menghasilkan

n 0

( n r )( 2n 2r 1) a n x n r 1 ( n r 3) a n 1 x n r 1 0
n 1

Jika satu suku pertama dikeluarkan dari deret pertama dan


kemudian deret-deretnya digabungkan, didapatkan

r ( 2r 1) a 0 x r 1 [( n r )( 2n 2r 1) a n
n 1

( n r 3) a n 1 ] x n r 1 0

(3.54)

Dengan menyamakan koefisien dari pangkat x terkecil, x r 1 ,


sama dengan nol menghasilkan persamaan indicial
r (2r 1) a 0 0

(3.55)

karena a0 0 , maka
r ( 2 r 1) 0

r1 0

dan

r2 1 2

Karena akar-akarnya berbeda dan r1 r2 bukan bilangan bulat,


kita dapat memperoleh dua penyelesaian yang linearly

114
independent dari Pers. (3.50) dalam bentuk deret Frobenius,
seperti Pers. (3.47) dan (3.48).
Substitusikan suku pertama dalam Pers. (3.54) dengan
Pers. (3.55), diperoleh

[(n r )(2n 2r 1) a
n 1

( n r 3) a n 1 ] x n r 1 0

Persamaan ini dipenuhi bila


(n r )(2n 2r 1) a n (n r 3) a n 1 0

an

(n r 3) a n 1
, n 1, 2, 3, .
(n r )(2n 2r 1)

(3.56)

Persamaan ini merupakan hubungan rekursi. Bila r r1 0,


menghasilkan

an

(3 n) a n 1
n (2n 1)

(3.57)

Iterasi dari formula an diperoleh

n 1,

a1 2 a 0

n 2,

a2

n 3,

a3 0

a
a1
0
23 3

Karena a3 0, maka a n 0 untuk n 3. Jadi penyelesaian


pertama adalah
y1 ( x ) a 0 a1 x a 2 x 2 a 3 x 3

115

a0 2 a0 x

a0 2
x 0
3

x2
a0 1 2 x
3

(3.58)

Untuk penyelesaian kedua yang linearly independent ambil


r r2 1 2 , menghasilkan hubungan rekursi, dari Pers. (3.56)

bn

(n 5 2 ) bn 1
(5 2n)

bn 1
( n 1 2 ) 2n
2n (2n 1)

(3.59)

Disini digunakan bn (pengganti a n ) untuk membedakan


penyelesaian kedua dengan penyelesaian pertama.
Untuk n 1 ,

b1

b
3
b0 0
23
2

n 2,

b2

b
1
b1 0
45
40

n 3,

b3

b0
1
b2
67
1680

Jadi penyelesaian kedua adalah


y 2 ( x ) x 1 2 (b0 b1 x b2 x 2 )

b
b
b

x 1 2 b0 0 x 0 x 2 0 x 3
2
40
1680

1 2
1
1

b0 x 1 2 1 x
x
x 3
40
1680
2

Akhirnya, penyelesaian umum dari Pers. (3.47) adalah

116

x2
1 2
1 3
1

y a0 1 2 x b0 x1 2 1 x
x
x
3
40
1680
2

3.4.2 Kasus II: Akar-akarnya sama


Bila akar-akar persamaan indicial sama, r1 r2 , jelas bahwa
prosedur yang digunakan di atas hanya akan menghasilkan satu
penyelesaian dalam bentuk deret Frobenius, yaitu penyelesaian
pertama. Penyelesaian kedua dapat diperoleh dengan menganggap
bahwa dua akar tersebut berbeda dan mengambil limit untuk akar
kedua mendekati akar pertama melalui variabel r. Penyelesaian
lengkap untuk akar-akar berbeda dapat ditulis
y a 0 u ( x, r1 ) b0 u ( x, r2 )

(3.60)

(a 0 b0 ) u ( x, r1 ) b0 u ( x, r2 ) u ( x, r1 )

u ( x, r2 ) u ( x, r1 )
(a0 b0 ) u ( x, r1 ) b0 (r2 r1 )

r2 r1

(3.61)

Dengan menganggap konstanta-konstanta


a0 b0 A dan b0 (r2 r1 ) B

Persamaan (3.61) menjadi

u ( x, r2 ) u ( x, r1 )
y A u ( x, r1 ) B lim

r 2 r1
r2 r1

y A u ( x, r1 ) B
r r r1

(3.62)

Persamaan (3.62) merupakan penyelesaian lengkap untuk kasus akarakar persamaan indicial sama.

117
Metode lain dalam mendapatkan penyelesaian kedua, y 2 ( x),
dalam kasus akar-akar persamaan indicial sama adalah dengan
persamaan
y 2 ( x ) y1 ( x )

exp p ( x ) dx
[ y1 ( x )]

dx

(3.63)

Contoh 3.6.
Selesaikan persamaan diferensial berikut
d2y
dy
x

2y 0
2
dx
dx

(3.64)

dengan metode Frobenius disekitar titik x 0.


Penyelesaian:
Dengan memasukkan deret Frobenius

y a n x nr

(3.65)

n 0

dan turunan-turunannya, Pers. (3.52) dan Pers. (3.53), ke dalam


Pers. (3.64), didapatkan

n 0

( n r )( n r 1) a n x n r 1 ( n r ) a n x n r 1
n 0

2 an x nr 0
n 0

Dengan menggeser indeks dalam deret ketiga dari n menjadi


n 1 , diperoleh

118

n 0

( n r ) 2 a n x n r 1 2 a n 1 x n r 1 0
n 1

Jika satu suku pertama dikeluarkan dari deret pertama, persamaannya


menjadi

a 0 r 2 x r 1 [( n r ) 2 a n 2 a n 1 ] x n r 1 0

(3.66)

n 1

Dengan menset koefisien x r 1 sama dengan nol, menghasilkan


persamaan indicial
a0 r 2 0

karena a0 0 , maka r 2 0, sehingga r1 r2 0. Bila koefisien


x n r 1 dalam Pers. (3.66) diset sama dengan nol menghasilkan
hubungan rekursi

( n r ) 2 a n 2 a n 1 0

an

2 a n 1
,
(n r ) 2

n 1, 2, 3,

(3.67)

Karena pada penyelesaian kedua menurut Pers. (3.62) memerlukan


turunan terhadap r, sekarang kita tidak akan menggantikan harga
r 0 ke dalam formula rekursi (3.67). Bila n 1, Pers. (3.67)
menjadi

a1

2 a0
(1 r ) 2

Untuk mendapatkan hubungan umum antara an dan a0, dapat ditulis


dalam bentuk perkalian berikut ini

119

an an

a0 a n 1

a n 1

a n 2

a n 2

a n 3

a1

a0

2
2
2
2


2
2
2
( n r ) ( n r 1) ( n r 2)
(1 r ) 2

(1) n 2 n

(n r ) 2 (n r 1) 2 (n r 2) 2 (1 r ) 2

(3.68)

Fungsi u ( x, r ) dapat diperoleh dengan memasukkan Pers. (3.68)


kedalam deret umum (3.65), diperoleh

(1) n 2 n x n r
u ( x, r ) a 0
2
2
2
2
n 0 ( n r ) ( n r 1) ( n r 2) (1 r )

(3.69)

Bila r 0 , u (x,0) merupakan penyelesaian pertama dari Pers.


(3.64), yaitu

(1) n 2 n x n
y1 u ( x,0) a0 2
2
2
2
n 0 n ( n 1) ( n 2) 1

a0

(1) n 2 n x n

( n !) 2
n 0

(3.70)

Penyelesaian kedua dapat diperoleh dari Pers. (3.62), yaitu

u
y 2
r r r1
b0


(1) n 2 n x n r

2
2
2
2
r n 0 (n r ) (n r 1) (n r 2) (1 r ) r 0

(3.71)

Disini digunakan b0 untuk membedakan dari penyelesaian pertama.


Diferensial Pers. (3.71) dapat diselesaikan dengan menggunakan dua

120
hubungan:
(i)

x n r exp(n r ) ln x

(ii) g (r ) f 1 (r ) f 2 (r ) f 3 (r ) f k (r ) f k 1 (r )

(3.72)
(3.73)

Untuk mendiferensialkan hasil kali fungsi seperti pada Pers. (3.73)


dapat menggunakan properti logaritma, yaitu
ln g ln f 1 ln f 2 ln f 3 ln f k ln f k 1

(3.74)

Persamaan ini dapat didiferensialkan satu per satu


d
d
(ln g ) ln f 1 ln f 2 ln f 3 ln f k ln f k 1
dr
dr

(3.75)

dimana
d
1 dg
(ln g )
dr
g dr

dan

f
d
1 df1
(ln f1 )

1,
dr
f1 dr
f1
f
d
1 df 2
(ln f 2 )

2 , dst.
dr
f 2 dr
f2
sehingga Pers. (3.75) dapat ditulis menjadi

f
f
f
f
dg
g (r ) 1 2 k k 1
dr
f2
fk
f k 1
f1
Anggap

(3.76)

121
x nr
g (r )
(n r ) 2 (n r 1) 2 (n r 2) 2 (1 r ) 2
f 1 f 2 f n f n 1

(3.77)

dan bandingkan Pers. (3.77) dengan Pers. (3.73), didapatkan (mulai


dari fungsi yang terkecil)
f1 (r )

1
,
(1 r ) 2

f1
2

f1 1 r

f 2 (r )

1
,
(2 r ) 2

f 3 (r )

1
,
(3 r ) 2

f 2
2

f2
2r
f 3
2

f3
3 r

f n (r )

f n
2

fn
nr

1
,
(n r ) 2

f n 1 ( r ) x n r exp( n r ) ln x ,

Sisipkan persamaan-persamaan
menghasilkan

y 2 b0

ini

f n1
ln x
f n 1

kedalam

Pers.

( 1) n 2 n x n r

2
2
2
2
n 0 ( n r ) ( n r 1) ( n r 2) (1 r )

2
2
2
2


ln x
nr
1 r 2 r 3 r
r 0

(3.71),

122

( 1) n 2 n x n
y 2 b0 2
2
2
2
n 0 n ( n 1) ( n 2) 1

2 2
2

2 ln x
2 3
n

(1) n 2 n x n
( n !) 2
n 0

y 2 b0 ln x

(1) n 1 2 n 1 x n 1 1
1
1
2
( n !)
n
2 3
n 0

b0

(3.78)

Fungsi penjumlahan parsial, fungsi di dalam kurung pada deret kedua


Pers. (3.78), dikenal dengan deret Harmoni

( n) 1

1 1
1

2 3
n

(3.79)

Dengan menganggap
1
1 1
(0) 0, (1) 1, ( 2) 1 , (3) 1 , dst.,
2
2 3

(3.80)

maka untuk menjadikan deret kedua Pers. (3.78) tetap mulai dari
n 0 , gantikan n dengan n 1 . Sehingga penyelesaian kedua
menjadi
(1) n 2 n x n
( n !) 2
n 0

y 2 b0 ln x

(1) n 2 2 n 2 x n 1 1 1
1
1

2
[(n 1)!]
n 1
2 3
n 0

b0

123
Untuk memudahkan pemahaman deret Harmoni dalam persamaan di
atas ditulis dengan

(1) n 2 n x n
(1) n 2 2 n 2 x n 1 n 1 1

b

0
( n !) 2
[(n 1)!] 2
n 0
n 0
k 1 k

y 2 b0 ln x

(3.81)

atau
(1) n 2 n x n
( n !) 2
n 0

y 2 b0 ln x

8 x 2 1 16 x 3 1 1
b0 4 x
1

(2!) 2 2 (3!) 2 2 3

(1) n 2 n x n
22 3

b0 4 x 3 x 2
x
2
27
( n !)

n 0

b0 ln x

(3.82)

Penyelesaian lengkap dari Pers. (3.64) adalah

(1) n 2 n x n
(1) n 2 n x n

b
ln
x

0
( n !) 2
( n !) 2
n 0
n 0

y a0

22 3

b0 4 x 3 x 2
x
27

(1) n 2 n x n
22 3

b0 4 x 3 x 2
x
2
27
( n !)

n 0

y (a 0 b0 ln x)

Penyelesaian kedua juga dapat ditentukan dengan menggunakan


Pers. (3.63). Namun, sebelumnya persamaan diferensial (3.64)
dirubah dulu ke dalam bentuk normal (standard), menjadi

124
d 2 y 1 dy 2

y0
x dx x
dx 2

(3.83)

Persamaan (3.63) adalah


y 2 ( x ) y1 ( x )

exp p ( x ) dx
[ y1 ( x )]

dx

Dengan membandingkan Pers. (3.83) dengan persamaan diferensial


normal diperoleh
p( x)

1
,
x

p( x) dx x dx ln x

exp p ( x ) dx exp( ln x )

1
x

Jadi,
y 2 ( x ) y1 ( x )

dx
x [ y1 ( x )] 2

(3.84)

Dengan menguraikan y1 tanpa menggunakan konstanta integrasi,


didapatkan
y1 1 2 x x 2

2 3
x
9

Bila dikuadratkan menghasilkan


y12 1 4 x 6 x 2

dan bila hasil ini dibagi oleh satu

40 3
x
9

125

( y1 ) 2

1
1 4x 6x 2

40 3
x
9

Jika ruas kanan persamaan ini dibagi, didapatkan


1
184 3
1 4 x 10 x 2
x
2
9
( y1 )

Dengan menyisipkan persamaan ini ke dalam Pers. (3.84), diperoleh


184 2
1

y 2 y1 4 10 x
x dx
9
x

184 3

y1 ln x 4 x 5 x 2
x
27

2
184 3

y1 ln x b0 1 2 x x 2 x 3 4 x 5 x 2
x
9
27

22 3

y1 ln x b0 4 x 3 x 2
x
27

Bandingkan hasil ini dengan metode sebelumnya, Pers. (3.82).

3.4.3

Kasus III: Akar-akarnya berbeda dan selisihnya


bilangan bulat
Anggap bahwa r1 r2 dan r1 r2 N , dimana N adalah bilangan
bulat positif (yaitu N 1, 2, 3, ). Dalam kasus ini kita selalu
mendapatkan satu penyelesaian dalam deret Frobenius, yaitu
penyelesaian pertama, dengan menggunakan akar r1 yang lebih besar.
Sedangkan penyelesaian kedua dapat diperoleh baik dengan
menggunakan Pers. (3.63) ataupun prosedur yang sama dengan Kasus
II, yaitu

126
y A u ( x, r1 ) B

(r r2 ) u ( x, r ) r r 2
r

(3.85)

Namun, dalam Kasus III ini ada dua masalah yang timbul pada
hubungan rekursi untuk koefisien a N . Pertama, ketika harga akar r
terkecil dimasukkan ke dalam formula rekursi akan menghasilkan
koefisien a N tak berhingga. Untuk hal ini penyelesaian kedua dapat
diperoleh dari Pers. (3.85). Kedua, bila indeks harga r terkecil
dimasukkan ke dalam hubungan rekursi, maka koefisien a N tidak
dapat ditentukan. Dalam hal ini koefisien a N diperlakukan sebagai
suatu konstanta integrasi sebagaimana yang dilakukan untuk a0, dan
penyelesaian lengkap baik y1 dan y2 dapat diperoleh dengan
menggunakan harga akar terkecil r2, dengan mengambil a0 dan a N
sebagai dua konstanta integrasi sembarang.
Contoh 3.7.
Gunakan metode Frobenius untuk menyelesaikan persamaan
diferensial berikut disekitar titik x 0.
x

d2y
y0
dx 2

(3.86)

Penyelesaian:
Anggap penyelesaiannya berbentuk

y a n x nr

(3.87)

n 0

Dengan menyisipkan Pers. (3.87) dan turunan-turunannya, Pers.


(3.52) dan (3.53), ke dalam Pers. (3.86) menghasilkan

127

n 0

( n r )( n r 1) a n x n r 1 a n x n r 0
n 0

Dengan menggeser indeks dalam deret kedua dari n menjadi


n 1 , diperoleh

n 0

( n r )( n r 1) a n x n r 1 a n 1 x n r 1 0
n 1

dan bila satu suku pertama dari deret pertama dikeluarkan,


kedua deret tersebut akan mulai dari n yang sama, yaitu n 1,
kemudian dapat digabungkan menjadi

r ( r 1) a 0 x r 1 [( n r )( n r 1) a n a n 1 ] x n r 1 0

(3.88)

n 1

Persamaan indicial diperoleh dengan menyamakan koefisien


x r 1 sama dengan nol,
r (r 1) a 0 0

Persamaan ini dipenuhi bila


r ( r 1) 0

sehingga akar-akarnya adalah r1 1 dan r2 0. Dan bila


koefisien x n r 1 dalam Pers. (3.88) juga diset sama dengan nol,
diperoleh hubungan rekursi
(n r )(n r 1) a n a n 1 0

atau
an

a n 1
,
( n r )( n r 1)

n 1, 2, 3, (3.89)

128
Akar-akar persamaan indicial di atas adalah berbeda dan
selisihnya r1 r2 N 1 , yaitu bilangan bulat positif. Dengan
demikian bila harga akar terkecil, yaitu r2 0, dimasukkan ke
dalam Pers. (3.89), ada dua kemungkinan yang terjadi untuk
koefisien a N a1 . Untuk n 1 dan r 0, hubungan rekursi
(3.89) menjadi
a1

a0
a0

(1 0)(1 0 1)
0

Namun, untuk harga akar yang lebih besar, yaitu r1 1,


hubungan rekursi (3.89) tetap berlaku.
Bila n 1, hubungan rekursi (3.89) menjadi

a1

a0
(1 r ) r

Hubungan antara an dan a0 adalah

an an

a0 a n 1

a n 2

a n 3

a1

a
0

1
1

(n r )(n r 1) (n r 1)(n r 2)

a n 1

a n 2

1
1

( n r 2)( n r 3)
(1 r ) r

(1) n
(n r )(n r 1) 2 (n r 2) 2 (n r 3) 2 (1 r ) 2 r

Bila r 1, Pers. (3.90) menjadi


an
(1) n

a 0 (n 1)(n) 2 (n 1) 2 (n 2) 2 (2) 2 (1)

(3.90)

129
(1) n

(n 1)! n!

(3.91)

Jadi penyelesaian pertamanya adalah


a 0 (1) n x n 1
n 0 ( n 1)! n !

y1

x2
x3
x4
a0 x


(2!)(1!) (3!)(2!) (4!)(3!)

1
1
1 4

a0 x x 2 x 3
x
2
12
144

Fungsi u ( x, r ) dapat diperoleh dengan memasukkan Pers. (3.90)


kedalam deret umum (3.87), diperoleh
(1) n b0 x n r
2
2
2
2
n 1 ( n r )( n r 1) ( n r 2) ( n r 3) (1 r ) r

u ( x, r )

(3.92)
Disini digunakan b0 untuk membedakan dengan penyelesaian
pertama. Penyelesaian kedua ditentukan dengan menggunakan
Pers. (3.85)
y2

(r r2 ) u ( x, r ) r r 2
r

r u ( x, r ) r 0
r

(3.93)

Substitusikan u ( x, r ) dalam Pers. (3.93) dengan Pers. (3.92),


didapatkan

130
y2

(1) n b0 x n r


r n 1 (n r )(n r 1) 2 (n r 2) 2 (n r 3) 2 (1 r ) 2 r 0

(3.94)
Misal,
g (r )

x nr
(n r )(n r 1) 2 (n r 2) 2 (n r 3) 2 (1 r ) 2

(3.95)
Diferensiasi persamaan ini terhadap r dilakukan seperti pada
contoh sebelumnya, yaitu

f f
f
f
dg
g (r ) 1 2 n n 1
dr
f2
fn
f n 1
f1
dimana:
f1 (r )

1
,
(1 r ) 2

f1 2

f1 1 r

f 2 (r )

1
,
(2 r ) 2

f 2
2

f2 2 r

f 3 (r )

1
,
(3 r ) 2

f 3
2

f3 3 r

f n (r )

1
,
(n r )

f n 1 ( r ) x n r exp( n r ) ln x ,

f n
1

fn n r
f n1
ln x
f n 1

Sisipkan persamaan-persamaan ini ke dalam Pers. (3.94),

131
menghasilkan

(1) n x n r
y 2 b0
2
2
2
2
n 1 ( n r )(n r 1) ( n r 2) ( n r 3) (1 r )

2
2
2
1


ln x
nr
1 r 2 r 3 r
r 0

(1) n x n
b0
2
2
2
2
n 1 n( n 1) ( n 2) ( n 3) (1)

2 2
1

2 ln x
2 3
n

(1) n x n
(1) n 2 x n 1 1
1
b0
1
n!(n 1)! 2 3
2n
n 1 n!( n 1)!
n 1

b0 ln x

(3.96)
Agar deret-deret ini mulai dari n 0, gantikan n dengan n 1
(1) n 1 x n 1
n 0 ( n 1)! n !

y 2 b0 ln x

(1) n 1 2 x n 1 1 1
1
1

b0
(n 1)! n! 2 3
2(n 1)
n 0

(1) n 1 x n 1
y 2 b0 ln x
n 0 ( n 1)! n !

(1) n 1 2 x n 1 n 1
1

(n 1)! n! k 1 k 2(n 1)
n 0

b0

(3.97)

132
(1) n 1 x n 1
y 2 b0 ln x
n 0 ( n 1) ! n !

2 x 1 2 x 2 1 2 x3 1 1

b0

1
1
1! 2 2! 4 3! 2! 2 6

(1) n 1 x n 1
5
5

b0 x x 2 x 3
4
18

n 0 ( n 1) ! n !

b0 ln x

Penyelesaian lengkapnya adalah

a 0 (1) n x n 1
(1) n 1 x n 1
b0 ln x
n 0 ( n 1)! n !
n 0 ( n 1) ! n !

5
5

b0 x x 2 x 3
4
18

Contoh 3.8.
Selesaikan persamaan diferensial berikut dengan metode
Frobenius disekitar titik x 0.
x

d2y
dy
( x 3)
2y 0
2
dx
dx

(3.98)

Penyelesaian:
Anggap penyelesaiannya berbentuk

y an x nr

(3.99)

n 0

Dengan mendiferensialkan deret ini dua kali terhadap x,


kemudian menyisipkan y dan turunan-turunannya tersebut ke
dalam Pers. (3.98), diperoleh

133

n 0

( n r )( n r 1) a n x n r 1 ( x 3) ( n r ) a n x n r 1
n 0

2 an x n r 0
n 0

(n r )(n r 4) a
n 0

n r 1
( n r 2) a n x n r 0
nx
n 0

Dengan menggeser indeks dalam deret kedua dari n menjadi


n 1 , didapatkan

(n r )(n r 4) a
n 0

x n r 1 ( n r 3) a n 1 x n r 1 0
n 1

dan dengan mengeluarkan satu suku pertama dari deret pertama,


persamaannya menjadi

r ( r 4) a 0 x r 1 ( n r )( n r 4) a n ( n r 3) a n 1 x n r 1 0
n 1

Bila koefisien x

r 1

diset sama dengan nol, diperoleh

(3.100)

r ( r 4) a 0 0

karena a0 0, maka didapatkan akar-akarnya adalah r1 4


dan r2 0. Bila koefisien x n r 1 dalam Pers. (3.100) juga
diset sama dengan nol menghasilkan hubungan rekursi
(n r )(n r 4) a n (n r 3) a n 1 0

atau
an

nr 3
a n 1 ,
(n r )(n r 4)

n 1, 2, 3,

(3.101)

134
Bila r 0,
an

n3
a0
n ( n 4)

a1

2
2
a0 a0
(1) ( 3)
3

(3.102)

Untuk n 1,

n 2:

a2

1
1
a1 a 0
( 2) ( 2)
6

n 3:

a3

0
a2 0
(3) ( 1)

n 4:

a4

1
0
a3
( 4) ( 0)
0

Karena selisih akar-akar persamaan indicial adalah


r1 r2 N 4, yaitu bilangan bulat positif, dan a N a 4
tidak dapat didefinisikan, maka a4 dianggap sebagai suatu
konstanta integrasi. Penyelesaian lengkap untuk kasus ini dapat
diperoleh dengan hanya menggunakan akar persamaan indicial
yang terkecil, yaitu r 0.
Iterasi hubungan rekursi (3.102) untuk n 5 :
Untuk n 5 : a 5

2
2
a4 a4
(5) (1)
5

n 6 : a6

3
1
a5 a 4
( 6) ( 2)
10

n 7 : a7

4
2
a6
a4
(7) (3)
105

Penyelesaian lengkapnya adalah

135
y x r ( a 0 a1 x a 2 x 2 a 3 x 3 a 4 x 4 a 5 x 5 a 6 x 6 a 7 x 7 )

Karena a4 dianggap sebagai suatu konstanta integrasi, maka


mulai dari n 4 konstanta integrasi ditulis dalam term a4. Jadi,
penyelesaiannya adalah
1
2
1
2 7
2

y a 0 1 x x 2 a 4 x 4 x 5 x 6
x
6
5
10
105
3

3.5 Fungsi-Fungsi Khusus


Ada beberapa bentuk khusus dan nama tertentu dari persamaan
diferensial biasa dengan koefisien variabel dimana penyelesaiannya
sering ditabulasi di dalam handbook matematika. Beberapa bentuk
diantaranya adalah
x2

d2y
dy
x
(x 2 p 2 ) y 0
2
dx
dx

d2y
dy
x (1 x)
[a (1 b) x]
n (b n) y 0
2
dx
dx
(1 x 2 )

d2y
dy
2x
n (n 1) y 0
2
dx
dx

(3.103)
(3.104)
(3.105)

Persamaan ini berturut-turut disebut persamaan Bessel order p,


polinomial Jacobi order n, dan persamaan Legendre order n. Karena
persamaan Bessel seringkali ditemui dalam bidang Teknik Kimia,
maka untuk selanjutnya kita hanya akan mempelajari persamaan
Bessel dan penyelesaiannya.

3.5.1 Persamaan Bessel


Persamaan diferensial (3.103) dikenal sebagai persamaan Bessel order

136
p, dimana p adalah konstanta positif atau nol ( p 0) . Penyelesaian
dari persamaan Bessel order p dinamakan fungsi Bessel order p.
Karena x 0 merupakan titik singuler reguler dari persamaan
Bessel, kita tahu bahwa sekurang-kurangnya ada satu penyelesaian
dalam bentuk deret Frobenius

y an x nr .

(3.106)

n 0

Dengan mendiferensialkan persamaan ini dua kali terhadap x,


kemudian memasukkan y dan turunan-turunanya ke dalam Pers.
(3.103), diperoleh

n 0

n 0

n 0

(n r )(n r 1) a n x n r (n r ) a n x n r a n x n r 2

p 2 an x n r 0
n 0

Dengan menggeser indeks dalam deret ketiga dari n menjadi n 2 ,


didapatkan

n 0

n2

[(n r )(n r ) p 2 ] a n x n r a n2 x n r 0
dan bila dua suku pertama dikeluarkan dari deret pertama, kedua deret
tersebut akan mulai dari n yang sama, yaitu n 2, kemudian kedua
deret tersebut dapat digabungkan
( r 2 p 2 ) a 0 x r [(1 r ) 2 p 2 ] a1 x 1 r

[( n r ) 2 p 2 ] an an 2 x n r 0

(3.107)

n2

Dengan menyamakan koefisien dari pangkat x terkecil, x r , sama


dengan nol menghasilkan persamaan indicial

137
(r 2 p 2 ) a 0 0

karena a0 0 , maka
r 2 p 2 0 r1 p

dan

r2 p

(3.108)

Selisih antara dua akar persamaan indicial, r1 r2 , adalah 2 p dan


jenis penyelesaiannya akan tergantung pada sifat harga p.
Harga a1 diperoleh dengan menyamakan koefisien x 1 r
sama dengan nol.
[(r 1) 2 p 2 ] a1 0
(r 1 p )(r 1 p ) a 0 0

(3.109)

Karena r p dan p 0 , maka r 1 p 0, namun untuk kasus


khusus bila p 1 2 dan r 1 2 , r 1 p 0 . Oleh karena itu,
untuk memenuhi Pers. (3.109)

a1 0

(3.110)

Dan bila koefisien x n r dalam Pers. (3.107) juga diset sama dengan
nol, diperoleh hubungan rekursi
[( n r ) 2 p 2 ] a n a n 2 0

atau
an

a n2
, n 2, 3, 4,
( n r p )( n r p )

(3.111)

a1 0 ,
Dari Pers. (3.111) terlihat bahwa bila
maka
a3 a5 a 7 0 . Jadi semua koefisien ganjil sama dengan nol,
sehingga kedua penyelesaian Pers. (3.103) hanya terdiri dari fungsi
genap. Dengan demikian, n diganti dengan 2m dan hubungan
rekursinya menjadi

138
a2m

a 2m2
, m 1, 2, 3,
( 2m r p )( 2m r p )

(3.112)

Penyelesaian pertama untuk r p , dan karena m adalah


bilangan bulat positif, penyebut dari persamaan diatas tidak akan
menjadi nol untuk setiap harga m. Jadi hubungan rekursi untuk r p
adalah

a2m

a2m2
a
2 2m2
2m ( 2m 2 p )
2 m (m p)

(3.113)

Untuk m 1 ,

a2

a0
2 (1 p)
2

Hubungan antara a 2 m dan a 0 adalah

a2m a2m

a0
a2m2

a 2 m 2

a 2 m 4

a2

a0

1
1
1
1
2
2
2
2 m ( m p ) 2 ( m 1)( m 1 p )
2 2 (1 p ) 2 (1 p )

1
1
1
2
2
2 m ( m p ) 2 ( m 1)( m 1 p )
2 (1 p )

(1) m p!
2m
2 m! (m p)!

atau dapat juga ditulis

p ( p 1) (2)(1)
p ( p 1) (2)(1)

139
a2m

(1) m a 0 ( p 1)
2m
2 m! (m p 1)

(3.114)

dimana ( p 1) adalah fungsi Gamma (akan dibahas dalam Bab 4).


Penyelesaian pertama persamaan Bessel adalah

y1

m 0

(1) m a 0 ( p 1)
x 2m p
2m
2 m! (m p 1)

y1 2 a0 ( p 1)
p

m 0

y1 C1

m 0

(1) m
x

m! (m p 1) 2

(1) m
x

m! (m p 1) 2

2 m p

2 m p

(3.115)

Fungsi Bessel jenis pertama order p didefinisikan dengan

J p ( x)

m 0

(1) m
x

m! (m p 1) 2

2 m p

(3.116)

Jadi penyelesaian pertama Pers. (3.103) adalah


y1 ( x ) C 1 J p ( x )

(3.117)

Bentuk penyelesaian kedua, untuk r p , tergantung apakah


harga p bilangan bulat atau bukan, dan ada tiga kemungkinan
penyelesaiannya, yang sesuai dengan kasus pada metode Frobenius.
1. Kasus I (2p bukan bilangan bulat maupun nol)
Dalam hal ini penyelesaian kedua diperoleh dari penyelesaian pertama
dengan menggantikan p pada Pers. (3.117) dengan p.
y 2 ( x) C 2 J p ( x)

(3.118)

140
dimana

J p ( x)

m 0

(1) m
x

m! (m p 1) 2

2m p

(3.119)

Jadi, penyelesaian lengkap persamaan Bessel (3.103) adalah


y C1 J p ( x ) C 2 J p ( x )

(3.120)

2. Kasus II (p 0)
Persamaan (3.103) menjadi
x2

d2y
dy
x
x2 y 0
2
dx
dx

(3.121)

Persamaan ini disebut persamaan Bessel order nol. Penyelesaian


persamaan ini kembali ke Pers. (3.108) dan ambil harga p 0,
diperoleh
r2 0

yang mana mempunyai akar-akar sama, yaitu, r1 r2 0.


Dengan memasukkan p 0 ke dalam Pers.
didapatkan

J 0 ( x)

m 0

(1) m
( m !) 2

x

2

(3.116),

2m

(3.122)

Persamaan (3.122) merupakan fungsi Bessel jenis pertama order nol.


Penyelesaian pertama persamaan Bessel order nol adalah
y1 ( x) C1 J 0 ( x)

(3.123)

Hubungan rekursi untuk p 0 diperoleh dari Pers. (3.112), yaitu

141

a2m

a 2 m2
( 2m r ) 2

(3.124)

Bila m 1,

a0
(r 2) 2
Sehingga hubungan antara a 2 m dan a 0 adalah
a2

a2m
(1) m

a0
( 2 m r ) 2 ( 2 m r 2) 2 ( r 2) 2

(3.125)

Dengan menggunakan metode Frobenius untuk kasus akar-akar r


sama, dalam hal ini r1 r2 0 , penyelesaian kedua didapatkan dari
u ( x, r )
r

y2

r 0

dimana

u ( x, r )

m 0

(1) m b0 x 2 m r
( 2 m r ) 2 ( 2 m r 2) 2 ( r 2) 2

(3.126)

dan hasilnya adalah

(1) m
y 2 b0 J 0 ( x) ln x
2
m 0 ( m!)

2m
x
1 1
1

1
2 3
m
2

(3.127)
dimana seperti sebelumnya

( m) 1

m
1 1
1
1

2 3
m k 1 k

(3.128)

142
harga untuk m 0 dianggap (0) 0 . Karena itu agar deret kedua
dari Pers. (3.127) dapat mulai dari m 0 , gantikan m dengan m 1 ,
menghasilkan

(1) m1
y 2 b0 J 0 ( x) ln x
2
m 0 ( m 1)!

x

2

2 m 2

m1 1

k 1 k

(3.128)

Pernyataan dalam kurung kurawal Pers. (3.128) merupakan bentuk


Neumann dari penyelesaian kedua, tetapi bentuk yang sering
digunakan dan ditabulasikan adalah bentuk Weber. Bentuk Weber
didapatkan dengan jalan menambahkan ( ln 2) J 0 ( x) kedalam
bentuk Neumann dan hasilnya dikalikan dengan 2 .

2 x
2
Y0 ( x)
ln J 0 ( x)
2

(1) m1

(m 1)!

m 0

x

2

2m 2

(m 1)
(3.129)

dimana: Y0 ( x) bentuk Weber dari fungsi Bessel jenis kedua order


nol
konstanta Euler, yang didefinisikan

lim 1
ln m 0,577 215 665
m
2 3
m

(m 1) 1

m 1
1 1
1
1

2 3
m 1 k 1 k

(3.130)
(3.131)

Penyelesaian kedua adalah


y 2 C 2 Y0 ( x)

(3.132)

dan penyelesaian lengkap Pers. (3.121):


y C1 J 0 ( x) C 2 Y0 ( x)

(3.133)

143
3. Kasus III (p bilangan bulat)
Bila m 1 , hubungan rekursi (3.112) menjadi
a2

a0
( 2 r p )( 2 r p )

sehingga hubungan antara a 2 m dan a 0 adalah


a 2m
(1) m

a0
(2m r p )(2m r p )(2m r p 2)(2m r p 2)

1
(2 r p )(2 r p )

(3.134)

Bila r p disubstitusikan ke dalam hubungan rekursi


(3.112) didapatkan

a2m

a 2 m2
2m ( 2m 2 p )

Untuk m 1, a2 . Oleh karena itu penyelesaian kedua Pers.


(3.103) diperoleh dengan menggunakan metode Frobenius untuk
Kasus III. Hasilnya adalah
(3.135)

y 2 C 2 Y p ( x)

dengan

2 x
1
Y p ( x)
ln J p ( x)
2

m 0

( 1) m
m !( m p )!

dimana seperti sebelumnya

x

2

p 1

m 0

2m p

( p m 1)!
m!

x

2

( m) ( m p )

2 m p

(3.136)

144

(m) 1

1 1
1

2 3
m

harga untuk m 0 dianggap (0) 0 , dan

(m p) 1

1 1
1

2 3
m p

(3.137)

Y p (x ) adalah bentuk Weber dari fungsi Bessel jenis kedua order p.

Bila p 0 , jumlah dari suku kedua Pers. (3.136) dianggap sama


dengan nol, dan Pers. (3.136) tereduksi menjadi Pers. (3.129).
Penyelesaian lengkap Pers. (3.103) adalah
y C1 J p ( x ) C 2 Y p ( x )

(3.138)

3.5.2 Persamaan Bessel Yang Dimodifikasi


Bentuk lain dari persamaan diferensial yang dapat diselesaikan
dengan bantuan fungsi Bessel adalah
x2

d2y
dy
x
(x 2 p 2 ) y 0
2
dx
dx

(3.139)

Persamaan ini diperoleh dari persamaan Bessel (3.103) dengan


menggantikan x dengan ix, dimana i 2 1 . Penyelesaian Pers.
(3.139) dapat ditulis sebagai berikut:
Bila p bukan bilangan bulat maupun nol, maka
y C1 J p (ix ) C 2 J p (ix )

(3.140)

Bila p 0 atau bilangan bulat, maka


y C1 J p (ix ) C 2 Y p (ix )

(3.141)

145
Pada persamaan diferensial order dua dengan koefisien konstan
apabila persamaan pembantu mempunyai akar-akar kompleks, maka
penyelesaian komple-menternya lebih baik dinyatakan dalam fungsifungsi trigonometri yang riil daripada dinyatakan dalam fungsi-fungsi
eksponensial yang kompleks. Misal, akar-akar persamaan
karakteristik: m1 a ib dan m2 a ib . Fungsi komplementernya adalah
y c C1 e ( a i b ) x C 2 e ( a i b ) x

e ibx e ibx
e ax (C1 C 2 )
2

e ibx e ibx
(C1 C 2 )
2

e ax C 3 cos bx C 4 sin bx

Dalam masalah ini daripada menggunakan fungsi-fungsi Bessel


dengan variabel kompleks, lebih baik mendefinisikan fungsi Bessel
yang dimodifikasi dengan variabel riil, sehingga Pers. (3.140) dan
(3.141) dapat dinyatakan dalam bentuk riil.
Fungsi Bessel yang dimodifiksi jenis pertama order p
didefinisikan sebagai I p (x ), yaitu
I p ( x) i

x 2 2 m p

J p (ix )

m 0

m ! ( m p 1)!

(3.142)

Fungsi Bessel yang dimodifikasi jenis kedua order p


didefinisikan sebagai K p (x ), yaitu
K p ( x)
K p ( x) (1)

p 1

i P 1 J p (ix ) i Y p (ix )

1
ln I p ( x)
2
2

p 1

m 0

(1) m ( p m 1)!
m!

(3.143)
x

2

2m p

146
1

m 0

( 1) m x 2
m !( m p )!

2m p

( m) ( m p )

(3.144)

Bila p 0 , jumlah dari suku kedua Pers. (3.144) dianggap sama


dengan nol.
Jadi, penyelesaian umum Pers. (3.139) adalah
Bila p bukan bilangan bulat maupun nol, maka
(3.145)

y C1 I p ( x ) C 2 I p ( x )

Bila p 0 atau bilangan bulat, maka


(3.146)

y C1 I p ( x ) C 2 K p ( x )

3.5.3 Bentuk Umum Persamaan Bessel


Bentuk umum persamaan Bessel dapat ditulis
x2

d2y
dy
x (a 2bx r )
c dx 2 s b(1 a r ) x r b 2 x 2 r y 0
2
dx
dx

(3.147)
Persamaan ini dapat direduksi menjadi persamaan Bessel (3.103)
dengan jalan mentransformasikan variabel-variabelnya.Dengan menggambarkan Z p (x ) sebagai salah satu dari fungsi Bessel, maka
penyelesaian umumnya dapat ditulis
yx

1 a

dimana

b xr

C1 Z p

d
s

x C2 Z p

d
s

(3.148)

147
1
p
s

1 a

c
2

(3.149)

Jenis fungsi-fungsi Bessel yang timbul tergantung pada karakter


( d )1 2 s dan harga-harga p.
1. Jika

d s adalah riil dan

p 0 atau bukan bilangan bulat, maka

Zp Jp

dan

Zp Jp .

p 0 atau bilangan bulat, maka Z p J p dan Z p Y p .


2. Jika

d s adalah imajiner dan

p0

atau bukan bilangan bulat, maka

Zp Ip

dan

Zp Ip .

p 0 atau bilangan bulat, maka Z p I p dan Z p K p .

Contoh 3.8.
Selesaikan persamaan berikut ini
d2y
dy
x
x (1 2 )
2 x 2 y 0
2
dx
dx
2

(3.150)

Penyelesaian:
Dengan menyamakan persamaan ini dengan bentuk umum
persamaan Bessel, Pers. (3.147), diperoleh
koefisien dy dx :

1 2 a 2bx r ;

b 0 , a 1 2

148
koefisien

y: 2 x 2 c dx 2 s b (1 a r ) x r b 2 x 2 r ;

dipenuhi bila: c 0 , d 2 , s . Dari Pers. (3.149) didapatkan


p

1 (1 2 )

0 1 (bilangan bulat)
2

d
s

2
1

(bilangan riil)

sehingga Z p J p , dan Z p Y p . Jadi, penyelesaian Pers.


(3.150) adalah
1 (1 2 )

y x

J 1 ( x ) C 2 Y1 ( x )

y x C1 J 1 ( x ) C 2 Y1 ( x )

3.5.4 Sifat-Sifat Fungsi Bessel


Sebagaimana fungsi-fungsi trigonometri, fungsi Bessel juga mempunyai sifat-sifat dan hubungan-hubungan, meskipun tidak banyak
yang diketahui. Dalam sub bab ini hanya beberapa sifat penting saja
yang dibahas, yaitu, perilaku fungsi Bessel, sifat-sifat diferensial, dan
sifat-sifat integral.
Perilaku Fungsi Bessel
Bila harga x kecil ( x 0), fungsi Bessel cenderung sama dengan
limit suku pertama saja. Penyelesaian pendekatannya adalah

149
1
xp
J p ( x) p
;
( p 1)
2

2 p xp
J p ( x)
(1 p)

(3.151)

dan untuk order bilangan bulat dan nol,


Y p ( x)
Y0 ( x )

2 p ( p 1)!

xp

( p 0)

(3.152)
(3.153)

ln x

Tabel 3.1. Harga-harga numerik dari fungsi Bessel order nol


x

J 0 ( x)

Y0 ( x )

K 0 ( x)

0.0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5

1,000 000
0,938 470
0,765 198
0,511 828
0,223 891
-0,048 384
-0,260 052
-0,380 128

-0,444 519
0,088 257
0,382 449
0,510 376
0,498 070
0,376 850
0,189 022

0,924 419
0,421 024
0,213 806
0,113 894
0,062 348
0,034 740
0,019 599

4,0
4,5
5,0
5,5

-0,397 150
-0,320 543
-0,177 597
-0,006 844

-0,016 941
-0,194 705
-0,308 518
-0,339 481

0,011 160
0,006 400
0,003 691
0,002 139

6,0
6,5
7,0
7,5
8,0

0,150 645
0,260 095
0,300 079
0,266 340
0,171 651

-0,288 195
-0,173 242
-0,025 950
0,117 313
0,223 521

0,001 244
0,000 726
0,000 425
0,000 249

8,5
9,0
9,5
10,0

0,041 939
-0,090 334
-0,193 929
-0,245 936

0,270 205
0,249 937
0,171 211
0,055 671

150
Fungsi-fungsi Bessel yang dimodifikasi untuk harga x kecil adalah
I p ( x)
I p ( x)

1
xp

;
2 p ( p 1)
2 p xp
(1 p )

K p ( x) 2 p 1 ( p 1)! x p
K 0 ( x ) ln x

(3.154)
( p 0)

(3.155)
(3.156)

Oleh karena itu,


J 0 (0) I 0 (0) 1

bila p 0 ,

bila p 0 dan bilangan bulat,


J p (0) I p (0) 0

bila p 0 dan bukan bilangan bulat,


J p (0) I p (0)

(3.157)

(3.158)
(3.159)

Fungsi Bessel Y p (x ) dan K p (x ) untuk harga x kecil ( x 0) akan


menjadi tak berhingga pada titik asal untuk semua harga p. Jika
p 0, tak berhingga disebabkan pangkat x negatif; jika p 0, tak
berhingga disebabkan suku ln x. Jadi untuk setiap harga p
Y p ( 0) K p ( 0)

(3.160)

Untuk harga x besar, fungsi Bessel yang dimodifikasi


berperilaku dengan tipe eksponensial dan tidak tergantung pada order
(p dapat bilangan bulat atau nol).

I p ( x)

ex
2 x

(3.161)

151

K p ( x) e x

(3.162)

2x

Namun, untuk harga x besar, fungsi Bessel J p (x ) dan Y p (x )


beroskilasi dengan periode 2 .
Tabel 3.2. Harga-harga numerik dari fungsi Bessel order satu
x

J 1 ( x)

Y1 ( x)

I 1 ( x)

K1 ( x)

0.0
0,5
1,0
1,5

0,000 000
0,242 268
0,440 051
0,557 937

-1,471 472
-0,781 213
-0,412 309

0,000 000
0,257 894
0,565 159
0,981 666

1,656 441
0,601 907
0,277 388

2,0
2,5
3,0
3,5

0,576 725
0,497 094
0,339 059
0,137 378

-0,107 032
0,145 918
0,324 674
0,410 188

1,590 637
2,516 716
3,953 4
6,205 8

0,139 866
0,073 891
0,040 156
0,022 239

4,0
4,5
5,0
5,5

-0,066 043
-0,231 060
-0,327 579
-0,341 438

0,397 926
0,300 997
0,147 863
-0,023 758

9,759 5
15,389 2
24,335 6
38,588 2

0,012 483
0,007 078
0,004 045
0,002 326

6,0
6,5
7,0
7,5

-0,276 684
-0,153 841
-0,004 683
0,135 248

-0,175 010
-0,274 091
-0,302 667
-0,259 129

61,342
97,735
156,039
249,584

0,001 344
0,000 780
0,000 454
0,000 265

8,0
8,5
9,0
9,5
10,0

0,234 636
0,273 122
0,245 312
0,161 264
0,043 473

-0,158 060
-0,026 169
0,104 315
0,203 180
0,249 015

399,873
641,620
1030,915
1658,453
2670,988

152

J p ( x)

p
2

cos x
x
4
2

(3.163)

Y p ( x)

p
2

sin x
x
4
2

(3.164)

dimana p dapat sembarang harga riil termasuk bilangan bulat maupun


nol. Perilaku oskilasi ini menyebabkan J p (x ) dan Y p (x ) melewati
nol (disebut penol J p (x ) ) dan ini dipisahkan oleh untuk x besar.
Harga beberapa fungsi Bessel order nol dan satu ditabulasi dalam
Tabel 3.1 dan Tabel 3.2. Beberapa penol J p (x ) dan Y p (x )
ditabulasi dalam Tabel 3.3 dan Tabel 3.4.
Tabel 3.3. Penol untuk J n (x); Harga-harga x yang menghasilkan
J n ( x) 0
n=0

n=1

2,4048
5,5201
8,6537
11,7915
14,9309
18,0711
21,2116

3,8317
7,0156
10,1735
13,3237
16,4706
19,6159
22,7601

Fungsi Bessel order 1 2 diperoleh dengan cara menyelesaikan


beberapa suku pertama dari deret (3.116).

J 1 2 ( x)

J 1 2 ( x)

2
sin x
x
2
cos x
x

(3.165)

(3.166)

153
Dengan cara yang sama diperoleh untuk

I 1 2 ( x)

I 1 2 ( x)

2
sinh x
x

(3.167)

2
cosh x
x

(3.168)

Tabel 3.4. Penol untuk Yn (x ); Harga-harga x yang menghasilkan


Yn ( x) 0
n=0

n=1

0,8936
3,9577
7,0861
10,2223
13,3611
16,5009
19,6413

2,1971
5,4297
8,5960
11,7492
14,8974
18,0434
21,1881

Sifat-Sifat Diferensial
Dengan mendiferensialkan deret-deret (3.116), (3.136), (3.142),
dan (3.144) suku demi suku, dapat dibuktikan bahwa
x p Z p 1 ( x ) ,
d
p
x Z p ( x )
p
dx
x Z p 1 ( x ) ,

Z J, Y, I

x p Z p 1 ( x ) ,
d p
x Z p ( x )
p
dx
x Z p 1 ( x ) ,

Z J, Y, K

ZK

ZI

(3.169)

(3.170)

154
p

Z p 1 ( x) Z p ( x) ,
Z J, Y, I

x
d

Z p ( x )
dx
Z ( x ) p Z ( x ) , Z K
p 1
p

(3.171)

Dengan menggunakan hubungan recurrence , Pers. (3.171) dapat juga


ditulis dalam bentuk
p

Z
(

x
)

Z p ( x) ,
p

d
x
Z p ( x)
p
dx
Z p 1 ( x) Z p ( x) ,
x

Z J, Y, K
ZI

(3.172)

Sifat-Sifat Integral
Dengan mengintegrasikan deret-deret (3.116), (3.136), (3.142), dan
(3.144) suku demi suku, dapat dibuktikan bahwa
1

Z p 1 ( x ) dx

K p 1 ( x ) dx

I p 1 ( x ) dx

x p Z p ( x ) C , Z J , Y , I
1

x p K p ( x ) C

x p I p ( x ) C

(3.173)
(3.175)
(3.176)

Properti orthogonaliti sangat diperlukan dalam penyelesaian


persamaan diferensial parsial dengan metode pemisahan variabel.
Karena harga J p (x ) dan I p (x ) berhingga pada titik asal (origin),
integral orthogonaliti fungsi Bessel hanya ada untuk dua fungsi
tersebut.

x
0

t Z p ( t ) Z p ( t ) dt

155

x
Z p ( x) Z p 1 ( x) Z p ( x) Z p 1 ( x), Z J , I
2
2

(3.177)
dan jika , menghasilkan

t Z p ( t ) dt

x2
Z p2 ( x) Z p 1 ( x) Z p 1 ( x) ,
2

Z J, I

(3.178)

Fungsi Bessel Order Negatif

Tabel fungsi Bessel hanya diberikan untuk order nol dan order positif,
fungsi Bessel order negatif dapat dihitung dari hubungan rekursi
(3.179) hingga (3.181). Dengan menyisipkan Pers. (3.172) kedalam
Pers. (3.171) didapatkan
Z p 1 ( x )

2p
Z p ( x ) Z p 1 ( x ) ,
x

I p 1 ( x )

2p
I p ( x ) I p 1 ( x ) ,
x

K p 1 ( x )

2p
K p ( x ) K p 1 ( x ) ,
x

Z J, Y

(3.179)
(3.180)
(3.181)

Jika p bilangan bulat atau nol, substitusikan ke dalam Pers.


(3.116) dan dengan menggunakan sifat-sifat fungsi gamma diperoleh

J p ( x) (1) p J p ( x)

(3.182)

Dengan cara yang sama didapatkan

Y p ( x) (1) p Y p ( x)

(3.183)

I p ( x ) I p ( x )

(3.184)

156
K p ( x ) K p ( x )

(3.185)

Contoh 3.9.
Pada Contoh 1.4 persamaan diferensial yang dihasilkan dari
analisis aliran panas melalui dan dari sirip telah diturunkan.
Persamaannya adalah:
x

dimana:

d2y
dy
2 h L sec

y0
2
dx
kW
dx

(3.186)

x = jarak dari ujung sirip, ft


y = T Ta
T = temperatur lokal sirip pada x
Ta = temperatur udara sekitarnya, 100oF
h = koefisien perpindahan panas dari permukaan luar
sirip ke udara sekitarnya, 2 BTU/jam ft2 oF
k = konduktivitas thermal sirip, 220 BTU/jam ft oF
L= panjang total sirip, 1 ft
W = tebal sirip pada sirip, 1 12 ft
= sudut setengah dari ujung siirip, sec = 1

Bila temperatur pada x L adalah 200oF, tentukan


a) Temperatur sirip sepanjang x.
b) Laju perpindahan panas dari sirip ke udara sekitarnya.
Penyelesaian:
a) Dengan mengalikan Pers. (3.186) dengan x diperoleh
x2

dengan

d2y
dy
x
x y 0
2
dx
dx

2 h L sec
kW

(3.187)

(3.188)

157
Bila Pers. (3.187) dibandingkan dengan Pers. (3.147) didapatkan
koefisien dy dx :

1 a 2 b x r a 1; b 0

koefisien y:

x c d x 2 s b (1 a r ) x r b 2 x 2 r

c 0;

s 1 2

Dari Pers. (3.149) diperoleh:


2

1 a

c
2

1
p
s

0
2 0
2

dan

d
s

12

2 2i

(imajiner)

Sehingga Z p I p dan Z p K p . Jadi penyelesaian Pers.


(3.187) adalah

y T Ta C1 I 0 2 x C 2 K 0 2 x

(3.189)

Konstanta-konstanta integrasi C1 dan C2 diperoleh dari kondisi


batas.
T berhingga

K.B. 1:

pada x 0,

K.B. 2:

pada x L 1, T 200oF

Dari Pers. (3.189) dan K.B. 1 didapatkan


berhingga C1 I 0 (0) C 2 K 0 (0)
karena K 0 (0) ~

dan I 0 (0) 1 , maka agar jawabannya

berhingga C2 harus sama dengan nol (C 2 0) . Persamaan

158
(3.189) tereduksi menjadi

T Ta C1 I 0 2 x

(3.190)

Dari Pers. (3.188) diperoleh

2 2 1 1 12
0,218
220 1

sehingga Pers. (3.190) berubah menjadi

T Ta C1 I 0 0,934 x

(3.191)

Dengan memasukkan K.B. 2 ke dalam Pers. (3.191) didapatkan


200 100 C1 I 0 (0,934)

100 C1 (1,230)
C1 81,2
Persamaan (3.191) menjadi

T 100 81,2 I 0 0,934 x

(3.192)

Temperatur sirip sepanjang x ditabelkan pada tabel berikut ini:

0,934 x

I 0 0,934 x

0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0

0,000
0,417
0,590
0,722
0,832
0,934

1,000
1,043
1,089
1,134
1,180
1,230

T, oF
181,2
184,8
188,5
192,2
195,9
200,0

b) Panas yang dipindahkan dari sirip ke udara sekelilingnya


dapat ditentukan dengan dua cara. Pertama, dengan

159
pendekatan langsung, yaitu dengan
persamaan laju perpindahan panas lokal
A

mengintegrasi

Q h (T Ta ) dA h (T Ta ) d ( 2 z x sec )
0

2 h z sec

L
0

(3.193)

(T Ta ) dx

Eliminasi (T Ta) dalam Pers. (3.193) dengan Pers. (3.190),


menghasilkan
Q 2 C1 h z sec

L
0

I 0 ( 2 x ) dx

(3.194)

Integral dalam Pers. (3.194) ditentukan dengan menggunakan


Pers. (3.173) dan dengan mentransformasikan 2 x .

L
0

I 0 ( 2 x ) dx
1
2
I1 ( ) 0
2

2
1

2 0

I 0 ( ) d

I 1 (2 L )

(3.195)

Jadi, laju perpindahan panas dari sirip ke udara adalah:


Q

2 C1 h L z sec

I 1 (2 L )

(3.196)

Cara kedua adalah dengan menggunakan fakta bahwa pada


keadaan mantap panas yang berpindah ke sirip secara konduksi
pada x L sama dengan panas yang berpindah dari sirip ke
udara.

160

dT
Q kW z

dx x L

(3.197)

Diferensialkan Pers. (3.190) terhadap x, menghasilkan

dT
d
C1
I 0 (2 x )
dx
dx

C1 2

d
I 0 ( )
d

(3.198)

Diferensial pada ruas kanan Pers. (3.198) ditentukan dengan


menggunakan Pers. (3.169) dan dengan mentransformasikan
2 x .
2 C1
C
dT

I1 ( ) 1
I 1 (2 x )
dx

x
dT
dx

xL

C1

I 1 (2 L )

Substitusikan persamaan ini ke dalam Pers. (3.197)


Q kW z

C1

I 1 (2 L )

(3.199)

Eliminasikan kW dalam Pers. (3.199) dengan Pers. (3.188),


menghasilkan
Q

2 C1 h L z sec

I 1 (2 L )

161
3.6 Rangkuman
Penyelesaian persamaan diferensial biasa dapat juga diselesaikan
dengan menggunakan metode deret dan fungsi-fungsi khusus. Deret
pangkat adalah salah satu metode penyelesaian persamaan diferensial
linier orde dua dengan koefisien konstan atau koefisien tidak konstan.
Ada beberapa bentuk khusus dari persamaan diferensial biasa dengan
koefisien variabel. Beberapa bentuk khusus diantaranya adalah
persamaan Bessel orde p, polynomial Jacobi orde n, dan persamaan
Legendre orde n. Bentuk khusus dari masing-masing persamaan
tersebut adalah sebagai berikut:
x2

d2y
dy
x
(x 2 p 2 ) y 0
2
dx
dx

x (1 x)

d2y
dy
[a (1 b) x]
n (b n) y 0
2
dx
dx

(1 x 2 )

d2y
dy
2x
n (n 1) y 0
2
dx
dx

3.7

Soal-Soal

3.1. Selesaikan persamaan diferensial berikut ini


d2y
y x2 ,
dx 2

3.2. Buktikan bahwa


persamaan

x0 0

x 0 adalah titik singuler reguler dari

d 2 y 3 dy
x
x
(1 x) y 0
dx 2 2 dx
2

162
dan buktikan bahwa penyelesaian umumnya adalah
y ( x ) 6a 0 x 2

(1) n (n 1)2 2 n x n

(2n 3)!
n 0

1 (1) n 2 2 n x n

b0 x1 2 1 2 x
4
n
(
n

1
)(
2
n

3
)
!
n
2

Glossarium

Deret adalah jumlah dari bilangan dalam suatu barisan.


Titik biasa adalah apabila koefisien dari PD pada persamaan (3.13)
A2(xo) 0
Titik singular adalah apabila koefisien dari PD pada persamaan
(3.13) A2(xo) = 0
Ferdinand Georg Frobenius (26 Oktober 1849 3 Agustus 1917)
adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Jerman, kontribusinya
yang sangat terkenal adalah teori dari persamaan diferensial dan group
theory.
Friedrich Wilhelm Bessel (22 Juli 1784 17 Maret 1846) adalah
seorang ahli matematika dan astronomi berkebangsaan Jerman, dan
systematizer of the Bessel functions (which were discovered by Daniel
Bernoulli).
Fungsi Bessel, dalam matematika, pertama sekali didefinisikan oleh
ahli matematika Daniel Bernoulli dan digeneralisasi oleh Friedrich
Bessel, adalah canonical solutions y(x) of Bessel's differential
equation

163

Daftar Pustaka
1.

Boyce, W. E. and R. C. DiPrima, 2001, Elementary Differential


Equations and Boundary Value Problems, John Wiley & Sons,
Inc., New York.

2.

Rice, B. J. and J. D. Strange, 1994, Ordinary Differential


Equations with Applications, 3rd Ed., Brooks/Cole Publishing
Company, California.

3.

Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and


Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc., New
York.

164

BAB 4
FUNGSI-FUNGSI INTEGRAL

Tujuan instruksional umum:


Memperkenalkan fungsi-fungsi integral. Seperti Error Function,
Fungsi Gamma, dan Fungsi Beta

Tujuan instruksional khusus:


Mahasiswa dapat mengaplikasikan Error Function.
Mahasiswa dapat mengaplikasikan Fungsi Gamma
Mahasiswa dapat mengaplikasikan Fungsi Beta

Integrasi suatu persamaan diferensial (PD) biasanya menghasil-kan


fungsi-fungsi elementer, seperti: eksponensial, trigonometri,
hiperbolik, polinomial, dan logaritmik yang menunjukkan hubungan
antara variabel terikat (y) dan variabel bebas (x). Namun, sering juga
terjadi bahwa hasil integrasi dari suatu PD dalam bentuk integral,
dimana integral ini tidak dapat diperoleh dalam bentuk tertutup
(closed). Biasanya, bentuk integral ini dapat dinyatakan dalam fungsifungsi baru, misalnya, fungsi kesalahan (error), fungsi gamma, dll.,
dan hasilnya dapat ditentukan dari tabel.

4.1 Fungsi Kesalahan (Error Function)


Fungsi ini sering dijumpai dalam teori probabilitas, distribusi waktu
tinggal, konduksi panas, dan perpindahan massa secara difusi, yang
didefinisikan dengan integral

165

erf ( x)

x
0

exp( z 2 ) dz

(4.1)

Pada Pers. (4.1) z merupakan dummy variable. Dummy variable


dalam integrand digunakan untuk mencegah kemungkinan kesalahan
dalam mendiferensialkan erf (x ). Faktor 2 dimasuk-kan
sehingga diperoleh
(4.2)

erf ( ) 1

4.1.1 Sifat-sifat fungsi kesalahan:


1. Bila didiferensialkan:

d
erf (kx) 2 d
dx
dx
Untuk mendiferensialkan
Leibnitz, yaitu

kx
0

exp( 2 ) d

integral

menggunakan

(4.3)
formula

a 2 ( t ) f ( x, t )
da2
da1
d a2 ( t )
f
(
x
,
t
)
dx

f
(
a
,
t
)

f
(
a
,
t
)

dx
2
1
dt a1 (t )
dt
dt a1 (t )
t

(4.4)
Dengan membandingkan ruas kanan Pers. (4.3) dengan Pers.
(4.4) diperoleh

a1 (t ) 0,

a2 (t ) kx,

t x,

x , f ( x, t ) exp( 2 )

Jadi, Pers. (4.3) menjadi

166
2
kx

d
erf (kx) 2 exp[(kx) 2 ] k 0 0 [exp( )] d
dx
x

2k

exp[(kx) 2 ]

(4.5)

2. Bila diintegralkan
Integral erf ( k x ) dapat dilakukan dengan integral parsial.

erf (kx ) dx ?
misal:

dv dx

u erf ( k x )

du

2k

vx

exp[ (k x) 2 ] dx

erf (k x) dx x erf (k x)
x erf (k x)
x erf (k x)

2k

x exp[(k x)

] dx

exp[(k x)

] d (kx) 2

1
k
1
k

exp[(k x) 2 ] C

Jadi,

erf (k x) dx x erf (k x) k

exp[(k x) 2 ] C

(4.6)

dimana C adalah konstanta integrasi.


Persamaan (4.6) kadang-kadang ditabelkan dalam simbol
i erf (x ) , dimana i adalah integral, dengan C 1 , sehingga
diperoleh
i erf (0) 0

(4.7)

167
Fungsi lain yang berhubungan dengan fungsi kesalahan yang
kadang-kadang ditabelkan adalah fungsi kesalahan komplementer
(complementary error function) yang didefinisikan dengan:

erfc ( x) 1 erf ( x)

exp( z 2 ) dz

(4.8)

Tabel 4.1 menyajikan beberapa definisi dan harga dari fungsi


kesalahan.
Tabel 4.1. Fungsi kesalahan
1.

erf ( x)

x
0

exp( z 2 ) dz 1

2.

erf ( x ) erf ( x )

3.

erf (0) 0

4.

erf ( ) 1

5.

erf (i x)

6.

erfc ( x) 1 erf ( x)

2i

x
0

exp( z 2 ) dz,
2

exp( z 2 ) dz

i 1

exp( z 2 ) dz

Untuk tujuan komputasi pendekatan berikut ini dapat digunakan


untuk menghitung erf (x ) (Zhang dan Jin, 1996):
erf ( x ) 1 ( a1 t a 2 t 2 a 3 t 3 a 4 t 4 a 5 t 5 ) exp( x 2 )

dimana:

(4.9)

168
t

1
1 p x

p 0,3275911

a3 1,421413741

a1 0,254829592

a4 1,453152027

a 2 0,284496736

a5 1,061405429

1,5 10 7

Tabel 4.2 mengilustrasikan beberapa harga erf (x ).

Tabel 4.2. Harga-harga fungsi kesalahan


x

erf (x )

erf (x )

0,00000000

1,1

0,88020504

0,01

0,01128348

1,2

0,91031404

0,05

0,05637212

1,3

0,93400806

0,1

0,11246297

1,4

0,95228526

0,2

0,22270246

1,5

0,96610527

0,3

0,32862668

1,6

0,97634846

0,4

0,42839242

1,7

0,98379047

0,5

0,52050002

1,8

0,98909045

0,6

0,60385619

1,9

0,99279033

0,7

0,67780118

2,0

0,99532214

0,8

0,74210086

2,5

0,99959297

0,9

0,79690808

3,0

0,99997790

1,0

0,84270069

1,00000000

169
4.2

Fungsi Gamma
Fungsi gamma (n ) didefinisikan dengan

( n) x n 1 e x dx ,

n0

(4.10)

konvergen bila n 0. x adalah dummy variable karena harga integral


tertentu tersebut bebas terhadap x. Variabel x digunakan hanya untuk
menyatakan fungsi yang akan diintegrasi. Sebagai contoh, ambil kasus
khusus untuk n 1. Jadi,

(1) x 0 e x dx e x

0 ( 1) 1

(4.11)

yang mana bebas terhadap x.


Sifat-sifat fungsi gamma dapat diturunkan dengan mengintegralkan Pers. (4.10) secara parsial.

( n) x n 1 e x dx
0

misal:

dv e x dx

u x n 1

du (n 1) x n 2 dx
( n) x n 1 e x

v ex

( n 1) x n 2 e x dx
0

( 0 0 1) ( n 1) x ( n 1) 1 e x dx
0

( n 1) ( n 1)

Jadi,
( n ) ( n 1) ( n 1) ,

n 1

(4.12)

Persamaan (4.12) dapat dikembangkan untuk harga n bilangan bulat


positif.

170
( n ) ( n 1) ( n 1)
( n 1)( n 2) ( n 2)
( n 1)( n 2)( n 3) ( n 3)

( n 1)( n 2)( n 3) ( 2)(1) (1)


( n 1) !

Jadi,
(4.13)

( n ) ( n 1) !

Persamaan (4.10) dapat juga dikembangkan menjadi:

( n 1) x ( n 1) 1 e x dx x n e x dx
0

misal:

dv e x dx

u xn

du n x n 1 dx
( n 1) x n e x

v ex

n x n 1 e x dx
0

( 0 0 1) n x n 1 e x dx
0

n (n )

Jadi,
( n 1) n ( n )

(4.14)

(n 1)
n

(4.15)

atau
( n)

Sebenarnya harga fungsi gamma yang ditabelkan biasanya

171
terletak dalam kisaran 1 n 2, lihat Tabel 4.3.
Catatan:
1. Untuk n bilangan bulat positif dapat menggunakan Pers. (4.13).
2. Untuk n bilangan pecahan positif dapat menggunakan Pers. (4.12)
atau Pers. (4.15).
Integral yang didefinisikan pada Pers. (4.10) tidak berlaku
untuk harga n negatif, tetapi fungsi gamma dari harga negatif dapat
diperoleh dengan mengembangkan Pers. (4.12), yaitu:
( n 1)

(n)
( n 1)

( n 1)
n ( n 1)

(4.16)

proses ini diulangi hingga fungsi gamma pada sisi ruas kanan mempu-

Tabel 4.3.

Harga-harga fungsi gamma

(n )

(n )

1,00

1,00000000

1,50

0,88622693

1,01

0,99432585

1,55

0,88886835

1,05

0,97350427

1,60

0,89351535

1,10

0,95135077

1,65

0,90011682

1,15

0,93304093

1,70

0,90863873

1,20

0,91816874

1,75

0,91906253

1,25

0,90640248

1,80

0,93138377

1,30

0,89747070

1,85

0,94561118

1,35

0,89115144

1,90

0,96176583

1,40

0,88726382

1,95

0,97988065

1,45

0,88566138

2,00

1,00000000

nyai argumen yang terletak dalam kisaran 1 hingga 2. Namun, bila

172

n 0 atau bilangan bulat negatif, fungsi gamma adalah tak berhingga.


Contoh, bila n 1, dari Pers. (4.16) diperoleh:
( 0)

(1) 1

0
0

Gamma setengah ( 1 2) dapat juga dihitung secara analitik


dengan menggunakan Pers. (4.10).
( 1 2)

x (1 2 ) 1 e x dx

x 1 2 e x dx

(4.17)

Akar kuadrat negatif dari ruas kanan Pers. (4.17) dapat dihilangkan
dengan substitusi:
x z2
dx 2 z dz

x 0,

z0

x ,

Pers. (4.17) menjadi:


( 1 2) 2

exp( z 2 ) dz

(4.18)

Karena sisi ruas kanan merupakan bentuk dari fungsi kesalahan, maka
Pers. (4.18) dapat ditulis

( 1 2 )

exp( z 2 ) dz

Contoh 4.1.
Hitunglah (9 2).
Penyelesaian:
Persamaan (4.12):

erf ()

(4.19)

173
( n ) ( n 1) ( n 1)

(9 2 )

7
( 7 2)
2

7 5
(5 2 )
2 2

7 5 3 1
(1 2)
2 2 2 2

7 5 3 1

24

atau dapat juga ditulis:


(4 1 2)

7 5 3 1

24

Jadi, untuk n bilangan bulat positif dapat ditulis:


(n 1 2)

( 2n 1)( 2n 3)( 2n 5) (3)(1)



2n

Contoh 4.2.
Hitunglah
a) (6)

c) (3,8)

b) (0,25)

d) (0,7 )

Penyelesaian:
a) Dari Pers. (4.13):
( n ) ( n 1) !
(6) 5! 5 4 3 2 1 120

(4.20)

174
b) Dari Pers. (4.15) dan Tabel 4.3:
( n)

(n 1)
n

(0,25)

(1,25)
0,90640248

3,62560992
0,25
0,25

c) Dari Pers. (4.12) dan Tabel 4.3:


( n ) ( n 1) ( n 1)
(3,8) ( 2,8)(1,8) (1,8)
( 2,8)(1,8)(0,93138377 )
4,694174

d) Dari Pers. (4.16) dan Tabel 4.3:


( n 1)
(0,3 1)

(n)
( n 1)

( n 1)
n ( n 1)
(0,3 1)
0,89747070

4,27367
(0,3)(0,3 1)
0,21

4.3 Fungsi Beta


Fungsi beta mengandung dua argumen, dan didefinisikan
dengan
1

B ( m, n) x m 1 (1 x ) n 1 dx ,
0

Substitusikan:

x 1 y

m 0, n 0
dx dy

(4.21)

175
limit-limit integrasi: x 0,

y 1

x 1,

y0

sehingga Pers. (4.21): menjadi:


B ( m, n )

0
1

1
0

(1 y ) m 1 y n 1 ( dy )
y n 1 (1 y ) m 1 dy

(4.22)

B ( n, m )

dimana y dalam Pers. (4.22) adalah dummy variable. Jadi,


B ( m, n ) B ( n, m )

(4.23)

Bentuk-bentuk lain fungsi beta:


Substitusi: x sin 2

dx 2 sin cos d

B ( m, n) 2 sin 2 m 1 cos 2 n 1 d
2

(4.24)

Substitusi: x y a
B ( m, n )

Substitusi: x

1
a

m n 1

a
0

y m 1 ( a y ) n 1 dy

(4.25)

y
1 y

B(m, n)

y m1
dy
(1 y ) m n

Hubungan fungsi beta dan gamma adalah:

(4.26)

176
B ( m, n )

( m) ( n)
( m n)

(4.27)

Contoh 4.3.
Hitunglah
a)
b)

1
0

c)

x 3 (1 x ) 2 dx

2
0

sin 5 x cos 6 x dx

dx
( x 2)(5 x)

5
2

Penyelesaian:
a) Dengan membandingkan dengan Pers. (4.21), diperoleh
m 4 dan n 3. Jadi,
1
( 4) (3) 3! 2!
1
3
2
0 x (1 x) dx B(4,3) (7) 6! 60
b) Misalkan: y x 2

(atau y 5 x )

x y2

Batas integrasi:

5
2

dx
( x 2)(5 x)

dx dy

x 2,

y0

x 5,

y3

3
0

dy
y (3 y )

y 1 2 (3 y ) 1 2 dy
0

(4.28)
Dengan membandingkan Pers. (4.25) dan (4.28), didapatkan
a 3, m 1 2 , dan n 1 2 . Jadi,

3
0

y 1 2 (3 y ) 1 2 dy 3

1 1 1
2 2

B( 1 2 , 1 2 )

( 1 2 ) ( 1 2 )

(1)

177
c) Dengan membandingkan dengan Pers. (4.24), diperoleh
m 3 dan n 7 2 . Jadi

sin 5 x cos 6 x dx

1 7
B 3,
2 2

1 (3) (7 2)

2 [3 (7 2)]

8
693

2! 5 2 3 2 1 2 ( 1 2 )
11 9 7 5 3 1 ( 1 )
2
2
2
2
2
2
2

4.4 Rangkuman
Integral suatu persamaan diferensial dapat menghasilkan integral
dalam bentuk tidak tertutup. Bentuk integral seperti ini biasa
dinyatakan dalam bentuk fungsi-fungsi baru, seperti error function,
Gamma function, dan Beta function. Bentuk integral dari fungsifungsi diatas masing-masing adalah sebagai berikut:

erf ( x)

x
0

exp( z 2 ) dz

( n) x n 1 e x dx
0

B ( m, n) x m 1 (1 x ) n 1 dx
0

178
4.5 Soal-soal:
4.1 The complementary error function can be expressed as

erfc ( x) 1 erf ( x)

exp( z 2 ) dz

We wish to develop an asymptotic expression for erfc (x), valid for


large arguments.
a. Use integration by parts to show

exp( z 2 ) dz

1
ex

exp( z 2 ) dz
2
x
2x
2z

b. Repeat this process again on the new integral to get

1
ex
3 1
2
exp(

z
)
dz

4 exp( z 2 ) dz
2
3
4 x z
2z
4x

4.2. The Beta function can be expressed in alternative form by


substituting
t sin 2 ;

a. Show that

1 t cos 2

B ( x, y ) 2

/2
0

sin 2 x 1 y n 1 cos

2 y 1

b. Now, use the substitution t cos 2 , repeat the in (a) and thereby
prove
B ( x, y ) B ( y , x )
4.3. Evaluate the derivative of Gamma function and see

179

( x)

d ( x )
t x 1 (ln t ) e t dt
0
dx

and then show that at x = 1


(1)

where = 0.5772 is Eulers constant

lim 1
n

1 1 1
1

... ln( n)
2 3 4
n

(Problem taken from Applied Mathematics and


Modeling for Chemical Engineers by R. G.
Rice and D. D. Do, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1995.Problem 4.3, 4.4, and 4.6)

Glossarium

In mathematics, the error function (also called the Gauss error


function or probability integral) is a special function (nonelementary) of sigmoid shape which occurs in probability, statistics
and partial differential equations. It is defined as:

erf ( x)

x
0

exp( z 2 ) dz

In mathematics, the beta function, also called the Euler integral of the
first kind, is a special function defined by

180
1

B (m, n) x m 1 (1 x ) n 1 dx
0

In mathematics, the Gamma function (represented by the capital


Greek letter ) is an extension of the factorial function, with its
argument shifted down by 1, to real and complex numbers. It is
defined as:

( n) x n 1 e x dx
0

Daftar Pustaka
1.

Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and


Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc.,
New York.

2.

Zhang, S. and J. Jin, 1996, Computation of Special Functions,


John Wiley and Sons, New York.

181

BAB 5
PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL

Tujuan intruksional umum:


Mahasiswa dapat membedakan antara persamaan diferensial
parsial (PDP) dan persamaan diferensial biasa.
Mahasiswa dapat membedakan antara kondisi awal dan batas.
Mahasiswa dapat menjelaskan metode penyelesaian PDP secara
analitik.

Tujuan intruksional umum:


Mahasiswa dapat menggunakan teknik-teknik penyelesaian PDP
secara analitik.
Mahasiswa dapat menentukan kondisi awal dan kondisi batas.
Mahasiswa dapat menggunakan kondisi awal dan kondisi batas

5.1 Pendahuluan
Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan diferensial
(PD) yang terdiri dari dua atau lebih variabel bebas. Order suatu PDP
adalah order turunan tertinggi yang terdapat dalam persamaan itu.
Contohnya

2u
2x y
x y

(5.1)

dimana u adalah variabel terikat; x dan y adalah variable bebas.


Persamaan (5.1) adalah PDP order dua.
Pada umumnya, bila u merupakan fungsi dari beberapa

182
variabel x1 , x 2 , , x n yang dapat ditulis dalam bentuk
u f ( x1 , x 2 , , x n )

maka dengan menggunakan aturan rantai diferensial total u adalah

f
f
dx1
du
x1
x 2

dx2

x n

dxn

Perlu diperhatikan bahwa saat mengintegralkan turunan-turunan


parsial, misalnya (f x1 ) seluruh variabel bebas lainnya,
x 2 , x3 , , x n harus dijaga konstan.
Kita ketahui bahwa untuk turunan biasa, integral (dy dx) 0
menghasilkan y (x ) konstan. Namun, untuk turunan-turunan parsial
harus diperhitungkan properti-properti yang tersirat.

y
0
x t

y g (t )

subscript t menunjukkan bahwa variabel bebas t konstan selama


diferensial terhadap x. Jadi, dalam hal ini pengganti menambahkan
suatu konstanta sembarang harus ditambahkan suatu fungsi sembarang
dari variabel bebas yang dipertahankan konstan selama integrasi.
Klasifikasi dan Karakteristik Persamaan Linier
Persamaan diferensial parsial linier order dua umum dapat dinyatakan

2z
2z
2z

R
S
xy
x 2
y 2

(5.2)

dimana P, Q, R hanya tergantung pada x dan y, sedangkan S


tergantung pada x, y, z, z x , z y . Suku-suku yang meliputi
turunan kedua merupakan salah satu hal penting, karena suku-suku
tersebut memberikan dasar untuk mengklasifikasikan tipe PDP.

183
Dengan menganalogikan dengan tatanama yang digunakan untuk
menggam-barkan bagian konis, Pers. (6.2) dapat ditulis sebagai
berikut:
ax 2 2bxy cy 2 d

(5.3)

Persamaan (5.3) dapat diklasifikasikan untuk koefisien-koefisien


konstan bila P, Q, dan R masing-masing berharga a, b, dan c.
Diskriminan untuk koefisien-koefisien a, b, dan c konstan adalah
Bila,

b 2 4 ac

(5.4)

0 :persamaan eliptik

(5.5)

0 :persamaan parabolik

(5.6)

0 :persamaan hiperbolik

(5.7)

Contoh-contoh tipikal yang sering terjadi dalam Teknik Kimia adalah:


hukum kedua Fick untuk difusi

c
2c
D 2
t
x
termasuk dalam persamaan parabolik, karena a D , b 0, dan c 0,
sehingga 0. Hukum Newton untuk gerakan gelombang

2u
2u

t 2
y 2
termasuk dalam persamaan hiperbolik, karena a 1, b 0, dan
c , sehingga 0. Persamaan Laplace untuk konduksi panas

2T
2T

0
x2
y 2

184
termasuk dalam persamaan eliptik, karena a 1, b 0, dan c 1 ,
sehingga 0 .
Persamaan diferensial parsial linier homogen order dua sering
kali terjadi. Bila S 0, Pers. (5.2) dikatakan PDP homogen.

5.2 Kondisi-Kondisi Batas dan Awal


Hasil integrasi dari PDP akan mengandung beberapa konstanta
integrasi, dimana jumlah konstanta-konstanta ini sama dengan order
dari PDP tersebut. Konstanta-konstanta integrasi dapat ditentukan dari
kondisi batas, yaitu, pernyataan dari fenomena-fenomena fisik pada
harga-harga yang ditentukan dari variabel bebas. Ada tiga tipe kondisi
batas dan awal yang sering timbul di dalam setiap permasalahan.
1. Fungsi yang ditetapkan pada harga batas
Pada tipe ini, harga variabel terikat ditetapkan disepanjang titik-titik
pada batasan tertentu. Misalnya, untuk T (t , x )
(i) pada

t 0,

T f (x )

(5.8)

(ii) pada

x 0,

T g (x )

(5.9)

Persamaan (5.8) termasuk kondisi awal, yang dapat ditulis untuk


T (t , x )
T ( 0, x ) f ( x )

(5.10)

Ini berarti pada waktu sama dengan nol, temperatur T sepanjang x


terdistribusi menurut fungsi f (x ). Adakalanya, variasi waktu juga
dapat terjadi pada harga batas, seperti
T (t ,0 ) g (t )

(5.11)

Kondisi batas pada kedua contoh ini merupakan kondisi batas nonhomogen. Namun, jika harga batasnya adalah suatu konstanta, misal

185
T (t ,0) T0

(5.12)

maka kondisi batas tersebut dapat diubah menjadi homogen dengan


mendefinisikan suatu variabel baru T T0 , sehingga menghasilkan

(t ,0 ) 0

(5.13)

2. Turunan fungsi yang ditetapkan pada harga batas


Pada umumnya, yang termasuk dalam tipe kedua ini adalah bila fluksi
panas (misalnya) diketahui namun temperatur permukaan tidak
diketahui, maka fluksi panas dapat dihubungkan dengan gradien
temperatur. Misalnya,
pada

r 0,

pada

r R, k

T
0
r
T
Q
r

(5.14)
(5.15)

Persamaan (5.14) adalah kondisi simetris yang hampir selalu muncul


dalam sistem koordinat silinder dan bola. Tipe kedua ini dapat juga
terjadi pada pemanasan atau pendinginan suatu permukaan, atau pada
permukaan dinding yang diisolasi. Persamaan (5.15) terjadi pada
kondisi dimana dinding pipa dipanaskan secara elektrik, panas yang
masuk merata dan konstan. Untuk dinding pipa yang diisolasi, fluksi
panas cenderung nol, sehingga kondisi batasnya dapat ditulis
pada

r R, k

T
0
r
T
0
r

(5.16)

Persamaan (5.14) dan (5.16) merupakan kondisi batas homogen,


sedangkan Pers. (5.15) merupakan kondisi batas non-homogen. Tidak

186
mungkin mengubah kondisi batas (5.15) menjadi kondisi homogen
untuk T.
3. Fungsi campuran pada harga batas
Tipe ketiga ini terjadi pada interface padat-fluida, dimana fluksi panas
dapat dihubungkan dengan selisih antara temperatur pada interface
dan fluida. Misalnya,
dT
pada r R , k
(5.17)
h (T T f )
dr
Sisi ruas kanan Pers. (5.17) merupakan hukum pendinginan Newton.
Persamaan (5.17) merupakan kondisi batas homogen. Dengan
mendefinisikan T T f ( T f harganya ditetapkan dan konstan),
menghasilkan
pada

r R, k

h
r

(5.18)

Persamaan (5.18) merupakan kondisi batas homogen juga.


Kadang-kadang kondisi campuran ini timbul dari neraca
integro-differential. Kondisi ini paling sering muncul dalam studi
perpindahan massa saat material melewati suatu permukaan batas baik
memasuki permukaan tersebut maupun keluar. Andaikan suatu reaktor
batch digunakan untuk mengektraks minyak dari biji-bijian berpori
dengan suatu pelarut tertentu. Anggap biji-bijian tersebut berbentuk
bola dengan jari-jari R. Laju perpindahan massa dari padatan ke
permukaan bola berpori dapat ditentukan dari hukum Fick.

N A m A D

x(r , t )
r

N A m ( 4R 2 ) D

r R

x ( R, t )
r

(5.19)

dimana D adalah difusivitas efektif, x adalah konsentrasi solut dalam

187
biji-bijian, m adalah jumlah biji-bijian. Dari neraca massa minyak di
dalam fase solven didapatkan
V

dc
x ( R, t )
m ( 4R 2 ) D
dt
r

(5.20)

dimana V adalah volume solven, dan c adalah konsentrasi solut dalam


badan cair (solven). Jika solven mula-mula tidak mengandung minyak,
maka integrasi Pers. (5.20) menghasilkan
c(t )

m (4R 2 ) D
V

t
0

x( R, t )
dt
r

(5.21)

pada r R , x c.
Untuk PDB, jumlah kondisi batas dan awal yang diperlukan
sama dengan jumlah konstanta integrasi yang dihasilkan. Sedangkan
jumlah konstanta-konstanta integrasi dari suatu penyelesaian PD sama
dengan order PD. Namun, aturan ini tidak sesuai untuk PDP. Tinjau
suatu PDP berikut ini:

v0

c A
1 c A
DA
r

z
r r r

v0

2cA
c A
1 c A

D A

2
z
r r
r

(5.22)

Jumlah kondisi batas yang diperlukan untuk Pers. (5.22) adalah dua
untuk r (katakanlah, pada r 0 dan r R ) dan satu untuk z
(misalnya, pada z 0 ). Dari Pers. (5.22) terlihat bahwa banyaknya
kondisi batas yang diperlukan adalah jumlah order dari tiap-tiap
turunan parsial. Tetapi aturan ini tidak berlaku, misalnya, jika
penyelesaian yang dicari dalam time-periodic, yaitu kondisi awal tidak
diperlukan, yang diperlukan adalah kondisi-kondisi pada batasanbatasannya (katakanlah pada r 0 dan r R ).
Kisaran variabel-variabel bebas dapat terbuka (tak berhingga)

188
ataupun tertutup (berhingga). Bila kisaran untuk setiap variabelvariabel bebas tertutup, maka persamaan tersebut digolongkan dalam
masalah harga batas. Jika kisaran dari sembarang variabel bebas
terbuka, persamaan tersebut digolongkan dalam masalah harga
awal. Klasifikasi ini mempengaruhi pemilihan metode penyelesaian.

5.3

Penyelesaian Khusus Persamaan Diferensial Parsial

Umumnya tidak ada metode analitis yang khusus untuk


penyelesaian PDP. Penyelesaian PDP pada dasarnya merupakan suatu
cara coba-coba, yaitu menerka bentuk dari penyelesaian khusus
sehingga PDP akan tereduksi menjadi satu atau lebih persamaan
diferensial biasa (PDB). Kemudian penyelesaian PDB tersebut
digabungkan dimana harus memenuhi kondisi-kondisi batas dan PDP
asal. Jika ini ternyata tidak mungkin, berarti terkaannya salah dan
harus dicoba lagi.
Ada beberapa metode penyelesaian PDP, diantaranya adalah
metode penyatuan variabel, metode pemisahan variabel, dan
transformasi Laplace.

5.3.1 Metode Penyatuan Variabel


Metode penyatuan variabel kadang-kadang dinamakan dengan
transformasi similaritas. Tatanama ini timbul dari cara memilih
variabel penyatu. Tujuan dari metode ini adalah ingin menyatukan
variabel-variabel bebas ke dalam variabel tunggal baru, sehingga PDP
tereduksi menjadi PDB. Teknik ini hanya dapat digunakan untuk
kasus-kasus dengan variabel bebasnya tak berhingga, misalnya,
0 t , 0 x , dan hanya cocok untuk satu tipe kondisi batas
atau awal sehingga menghasilkan satu penyelesaian khusus.

189
Contoh 5.1.
Selesaikan persamaan konduksi panas satu dimensi berikut ini:

2T
T
2
t
x

(5.23)

Penyelesaian:
Bentuk variabel penyatu (variabel yang menyatukan variabelvariabel bebas) yang disarankan adalah:

x
(t )

(5.24)

dimana (t ) adalah jarak penetrasi, yaitu yang menggambarkan jarak dari permukaan saat perubahan temperatur terjadi.
Anggap penyelesaian Pers. (5.23) adalah:
T ( x, t ) f ( )

(5.25)

Bila Pers. (5.25) didiferensialkan secara parsial terhadap x dan t,


diperoleh
T
df
df
1

x
d x
(t ) d

2T
T
df
1

2
x x x d (t )
x
df
1
d

d (t )

d

d2 f
1

2 (t ) d 2

(5.26)

190
dan

T
df
df
d (t )
x

t
d t
d (t )
dt

(5.27)

Eliminasi x dari Pers. (5.27) dengan Pers. (5.24), didapatkan

T
df
d (t )

t
d (t )
dt

(5.28)

Substitusikan Pers. (5.26) dan (5.28) ke Pers. (5.23), menghasilkan

d2 f
df (t ) d (t )

2
d
dt
d

(5.29)

Kedua sisi Pers. (5.29) harus merupakan fungsi saja. Oleh


karena itu, variabel t harus dihilangkan. Agar variabel t hilang,
maka harus diset

(t ) d (t )

dt

(5.30)

Konstanta 2 dipilih adalah untuk menyederhanakan PDB yang


terbentuk. Integrasikan Pers. (5.30)

(t )
0

(t ) d (t ) 2

t
0

dt

(t ) 4 t

(5.31)

Persamaan (5.24), variabel baru sebenarnya, menjadi

x
4 t

(5.32)

191
Substitusikan Pers. (5.30) ke dalam Pers. (5.29)

d2 f
df
2
0
2
d
d

(5.33)

Persamaan (5.33) dapat diintegrasikan dua kali, pertama dengan


mengambil
p

dp
d2 f

d
d 2

df
,
d

Persamaan (5.13) tereduksi menjadi


dp
2 p 0
d

Integrasikan persamaan ini, menghasilkan


p

df
C1 exp( 2 )
d

(5.34)

Jadi sekarang jelas terlihat alasan pemilihan konstanta 2 pada


Pers. (5.30). Integrasikan sekali lagi Pers. (5.34),

f ( ) C1 exp( 2 ) d C 2
0

(5.35)

Dalam Bab 4 telah dijelaskan tentang definite integral, yaitu,


fungsi kesalahan yang bentuknya serupa dengan integral di atas

erf ( )

exp( z 2 ) dz

(5.36)

Jadi, f ( ) dapat ditulis dalam bentuk


f ( ) C 3 erf ( ) C 2

(5.37)

192
atau

T ( x, t ) C 3 erf

C2
4 t
x

(5.38)

Dimana C3 dan C2 adalah konstanta-konstanta sebarang, yang


dapat ditentukan dengan memasukkan kondisi batas ke Pers.
(5.38).
Contoh 5.2.
Sebuah plat datar yang lebarnya tak terhingga dipertahankan
pada temperatur konstan To . Plat pada ujung tak terhingga
dicelupkan dalam fluida mengalir dengan densiti konstan pada
temperatur T1 . Koordinat diambil pada tepi plat. Distribusi
kecepatannya: v x y ( = konstanta) dan v y v z 0.
Perpindahan panas secara molekular hanya ke arah-y.
Konduktivitas thermal, k, dan kapasitas panas, C p , fluida
dianggap konstan. Tentukan distribusi temperatur dalam fluida
dan koefisien perpindahan panas antara fluida dan plat. Anggap
keadaan tunak.
Penyelesaian:
Neraca panas pada keadaan tunak:
( L. panas masuk ) ( L. panas keluar ) 0

karena

konveksi

m C

karena karena

konduksi konveksi

T x Qy

m C

x x

karena
0
konduksi

Qy

y y

193

v C y z T k x z T
x
x p
y

v x C p y z T

v x C p y z T

x x

x x

k x z

T
y

k x z Ty

y y

y y

T
y

Bila, kedua ruas persamaan di atas dibagi dengan x y z ,


kemudian diambil limit untuk x 0 dan y 0 , diperoleh

vx C p

T
T

k
x
y y

T
2T
k

x
C p y y 2

(5.39)

atau

T
A 2T

x
y y 2

(5.40)

dimana:

k
Cp

(5.41)

Kondisi batasnya:
pada

x 0, y 0,

T T1

(5.42)

pada

y , x x,

T T1

(5.43)

pada

y 0, x x,

T T0

(5.44)

194
Untuk menyederhanakan kondisi batas temperatur diubah dalam
besaran tak berdimensi , yaitu:

selisih te mperatur p ada suatu posisi


selisih temperatur maksimum

T T1
T0 T1

(5.45)

T (T0 T1 )

(5.46)

2T (T0 T1 ) 2

Persamaan (5.40) menjadi

A 2

2
y y
x

(5.47)

dengan kondisi batasnya:


pada
pada

x 0, y 0,
y , x x,

0
0

(5.48)
(5.49)

pada

y 0, x x,

(5.50)

Anggap penyelesaian Pers. (5.47) adalah:

( x, y ) f ( )

(5.51)

variabel penyatu yang disarankan sama seperti sebelumnya,


yaitu

y
(x )

(5.52)

Dengan cara yang sama seperti pada Contoh 5.1 didapat


( x ) (9 A x )1 3 , sehingga Pers. (5.52) menjadi

195

y
(9 A x ) 1 3

(5.53)

Diferensiasikan Pers. (5.51) secara parsial terhadap y dan x:

df
df
1

13
y
d y
d (9 A x)
2

2
y
y

(5.54)



d df
1

13
y d d (9 A x) y

d2 f
1

(9 A x) 2 3 d 2

(5.55)

dan

df
df (1 3) (9 A x) 2 3 9 A y

x
d x
d
(9 A x) 2 3

1
y
1 df

13
3 (9 A x )
x d

Eliminasi y dari persamaan di atas dengan Pers. (5.53),


diperoleh

df

x
3 x d

(5.56)

Dengan menyisipkan Pers. (5.55) dan (5.56) ke dalam Pers.


(5.47), menghasilkan

d2 f
A
1
df

13
23
2
3 x d
(9 A x)
(9 A x)
d

196

d2 f
df
3 2
0
2
d
d

(5.57)

Persamaan (5.57) dapat diintegrasikan dengan mengambil


p

dp
d2 f

d
d 2

df
,
d

sehingga Pers. (5.57) tereduksi menjadi


dp
3 2 p 0
d

Integrasikan persamaan ini, menghasilkan


dp
3 2 d
p
p

df
C1 exp( 3 )
d

(5.58)

Integrasikan sekali lagi Pers. (5.58) menghasilkan


f ( ) ( x, y ) C1

exp( 3 ) d C 2

(5.59)

Kondisi batasnya:
pada

x 0, y 0,

(5.60)

pada

y , x x,

(5.61)

pada

y 0, x x,

0,

(5.62)

Tidak ada suatu metode khusus untuk memasukkan kondisi


batas, tergantung dari persamaannya sehingga didapatkan
persamaan yang sederhana, dan kondisi batas yang dimasukkan
tidak mesti berurutan.

197
Dari Kondisi Batas (5.62) dan Pers. (5.59) didapatkan:
1 C1

0
0

exp( 3 ) d C 2

C 2 1

Persamaan (5.59) menjadi

( x , y ) C1

exp( 3 ) d 1

(5.63)

Dari kondisi batas (5.60) dan Pers. (5.63), diperoleh

0 C1

exp( 3 ) d 1

C1

(5.64)

exp( 3 ) d

Persamaan (5.63) menjadi

( x, y )

exp( 3 ) d
exp( ) d
3

exp( 3 ) d exp( 3 ) d
0

exp( 3 ) d

T T1
( x, y )

T0 T1

exp(
exp(

3
3

) d
) d

(5.65)

Integral pada penyebut ruas kanan Pers. (5.65) dapat diperoleh


dalam suku fungsi gamma, sebagaimana yang telah dibahas
pada Bab 4.

198
misal: t 3
dt 3 2 d ,
d

1 2
1
dt t 2 3 dt
3
3

1 2 3
t
dt
3

exp( 3 ) d

1
3

1 1
4

3 3
3

e t

e t t 1 3 1 dt

(5.66)

Dengan menyisipkan Pers. (5.66) ke dalam Pers. (5.65),


diperoleh

T T1

T0 T1

exp(

) d

(4 3)

(5.67)

Koefisien perpindahan panas antara fluida dan plat didefinisikan


dengan hubungan
q konduksi q konveksi

T
k
y

h (T1 T0 )
y 0

(5.68)

Dari Pers. (5.46):


T (T0 T1 )

(T0 T1 )
y
y

(5.69)

199
Substitusikan Pers. (5.54) ke dalam Pers. (5.69):
T
f
1
(T0 T1 )
1 3
y

(9 A x )

(5.70)

Dengan menyisipkan Pers. (5.58) dan (5.64) ke Pers. (5.70),


menghasilkan

T
1

(T0 T1 )
1 3
y
(9 A x)

(5.71)

3
exp(

)
d

exp( 3 )

Eliminasikan integral pada Pers. (5.71) dengan Pers. (5.66)

exp( 3 )
T
1
(T0 T1 )

y
(9 A x)1 3 (4 3)
(5.72)
Dari kondisi batas (5.62) dan Pers. (5.72):

T
y

y 0

T0 T1
1

1 3
(4 3)
(9 A x)

Substitusikan persamaan ini ke Pers. (5.68)

k (T0 T1 )
1

h (T0 T1 )
13
(4 3)
(9 A x)
h

k
1

( 4 3) (9 A x )1 3

k
h
( 4 3)

Cp

9k x

13

(5.73)

200
5.3.2 Fungsi-Fungsi Orthogonal dan Persamaan Sturm-Liouville
Sebelum membahas metode pemisahan variabel untuk penyelesaian
PDP terlebih dahulu diperkenalkan dengan fungsi-fungsi orthogonal.
Metode pemisahan variabel biasanya menghasilkan penyelesaian
berupa penjumlahan tak berhingga dari sekumpulan fungsi-fungsi
yang berhubungan. Sifat orthogonal ini sangat bermanfaat dalam
menentukan konstanta-konstanta dari sekumpulan fungsi-fungsi
tersebut.
Dua fungsi m (x) dan n (x ) dikatakan orthogonal terhadap
fungsi pembobot (weighting function) r (x ) pada kisaran dari a
hingga b jika

b
a

r ( x ) m ( x ) n ( x ) dx 0 ,

(untuk m n )

(5.74)

dimana m dan n bilangan bulat positif. Bila m n maka integral


dalam Pers. (5.74) tidak akan sama dengan nol.
Contoh 5.3.
Buktikan bahwa fungsi sin m x dan sin n x adalah orthogonal
terhadap satu (unity) dalam kisaran 0 x , untuk m dan n
bilangan bulat.
Penyelesaian:
Dari identitas trigonometri
2 sin m x sin n x cos( m n ) x cos( m n ) x

(5.75)

dan integrasi dalam kisaran yang diberikan untuk r ( x ) 1 ,


didapatkan

201
2

sin m x sin n x dx

cos( m n ) x dx cos( m n ) x dx
0

(5.76)

1
1

sin( m n) x 0
sin( m n) x 0
mn
mn

0
jika m n , dari Pers. (5.76) diperoleh

(sin m x ) 2 dx dx
0

cos 2m x dx

sin 2m x 0
2m

Jadi,

0
sin m x sin n x dx
2

bila m n

0
cos m x cos n x dx
2

bila m n

bila mn

(5.77)

dan

bila mn

(5.78)

Sifat orthogonaliti ini sangat berguna, namun ini hanya ada


pada PDB tertentu, yang disebut persamaan Sturm-Liouville. Dengan
membandingkan persamaan tertentu dengan persamaan umum SturmLiouville akan diperoleh fungsi pembobot r (x ) .

202
Persamaan Sturm-Liouville
Setiap persamaan diferensial biasa linier order dua yang dapat ditulis
dalam bentuk umum

d
dx

dy

p( x) dx q( x) r ( x) y 0

(5.79)

dimana adalah suatu konstanta dan p, q, r adalah fungsi x,


dikelompokkan dalam tipe Sturm-Liouville.
Untuk setiap fungsi-fungsi p, q, dan r, penyelesaian Pers.
(5.79) untuk y akan tergantung pada . Oleh karena itu, bila diambil
sekumpulan harga-harga discrete
n , maka penyelesaianpenyelesaian yang berhubungan y n (x ) akan didapat. Andai untuk
dua harga berbeda, katakanlah m dan n , penyelesaiannya adalah
y m (x ) dan y n (x ). Masing-masing harga ini harus memenuhi
Pers. (5.79), sehingga

d
dx

d n

p( x) dx q( x) n r ( x) n 0

(5.80)

d
dx

d m

p ( x) dx q ( x) m r ( x) m 0

(5.81)

Tujuan utama adalah untuk menurunkan kondisi orthogonaliti Pers.


(5.74) dan kondisi batas yang sesuai. Untuk melakukannya, kalikan
Pers. (5.80) dengan m , dan Pers. (5.81) dengan n , dan kurangkan
kedua persamaan tersebut menghasilkan

d
dx

d n
d m
d

p( x) dx n dx p( x) dx n m r ( x) n m 0

Integrasikan persamaan ini terhadap x dari a hingga b, menghasilkan

203
b

( n m ) r ( x) n m dx n

d
dx
b

d m ( x)

p( x) dx dx

m
a

d
dx

d n ( x)

p( x) dx

dx

(5.82)

Jelas terlihat bahwa ruas kiri hampir sama dengan Pers. (5.74).
Dengan menghitung masing-masing integral pada ruas kanan secara
parsial, diperoleh
b

b
d
d
d

( n m ) r ( x) n m dx n p( x) m p( x) m n dx
a
a
dx a
dx
dx

b
d
d
d

m p( x) n p( x) n m dx
a
dx a
dx
dx

d n
d m
p( x) n
m
dx
dx

(5.83)

Jadi fungsi-fungsi n (x ) dan m (x) , yang berhubungan dengan dua


harga berbeda ( n dan m ), akan menjadi orthogonaliti jika sisi ruas
kanan Pers. (5.83) adalah nol. Sisi ruas kanan akan sama dengan nol
jika sembarang dua dari tiga kondisi batas homogen dimasukkan.
i. x a atau

b,

y0

n m 0

ii. x a atau

b,

dy
0
dx

iii. x a atau

b,

dy
Ny
dx

d n
d m

0
dx
dx

d n
d m
N n ,
N m .
dx
dx

204
5.3.3 Metode Pemisahan Variabel
Metode pemisahan variabel merupakan suatu metode yang paling luas
penggunaannya dalam matematika terapan. Strategi dari metode ini
adalah memecahkan variabel terikat sebanyak variabel bebas, dimana
masing-masing variabel terikat hanya mengandung satu variabel bebas
saja; akibatnya, akan menghasilkan sekumpulan PDB. Karena hanya
persamaan-persamaan linier yang sesuai dengan metode ini, maka
dengan jelas prinsip-prinsip superposisi dapat dipakai. Ini berarti
bahwa sederetan penyelesaian PDB dapat dijumlahkan untuk
menghasilkan penyelesaian lengkap. Kumpulan persamaan-persamaan
ini akan menimbulkan konstanta-konstanta integrasi dengan jumlah
tak berhingga. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bagaimana
menentukan konstanta-konstanta integrasi yang jumlahnya tak
berhingga. Masalah ini dapat diselesaikan, untuk kondisi-kondisi batas
homogen, dengan menggunakan suatu kondisi yang disebut
orthogonaliti. Sifat-sifat fungsi orthogonal akan dapat menghitung
konstanta-konstanta integrasi satu per satu.
Berikut ini akan didemonstrasikan pemakaian metode ini
dengan contoh praktis.
Contoh 5.4.
Suatu slab mempunyai panjang dan lebar (arah y dan z) tak
terhingga. Temperatur mula-mula adalah T1 , kedua permukaan
slab tersebut didinginkan tiba-tiba menjadi temperatur T0 . Tebal
slab 2R. Bagaimana hubungan antara temperatur terhadap waktu
dan posisi dalam slab sesudah proses pendinginan? Ambil
sistem koordinat pada salah satu permukaan slab.
Penyelesaian:
Neraca panas pada elemen volum:
( L. masuk ) ( L. keluar ) ( L. akumulasi )

205

2R

Anggap: k, , C p = konstan.

dx

z
x
Gambar 5.1. Slab tak terhingga.

qx x A qx

x x

d
A x C p T
dt

Bila kedua ruas dibagi dengan A x , kemudian diambil limit


x menuju nol, menghasilkan

Dengan

(q x ) C p
x
t

menggunakan

hukum

Fourier,

q x k T x,

didapatkan

2T
T
2
t
x

(5.84)

dimana

k
Cp

Kondisi batas untuk sistem ini adalah:

(5.85)

206
K.A.: Temperatur disemua tempat pada keadaan awal adalah
T1
T ( x,0) T1
(5.86)
K.B.1: Temperatur pada x 0 setiap saat dijaga konstan T0
T (0, t ) T0

(5.87a)

K.B.2: Temperatur pada x 2R setiap saat dijaga konstan T0


T (2 R, t ) T0

(5.87b)

K.B.3: Temperatur disemua tempat pada t adalah T0


T ( x, ) T0

(5.87c)

Dari Pers. (5.87) terlihat bahwa kondisi batas adalah nonhomogen. Jadi, untuk menghomogenkan kondisi batas
temperatur T diubah menjadi besaran tak berdimensi , yaitu

T T0
T1 T0

(5.88)

T (T1 T0 )
2T (T1 T0 ) 2

Persamaan ini
menghasilkan

disubstitusikan

ke

2
t
x

dalam

Pers.

(5.84),

(5.89)

Kondisi batasnya menjadi


K.A.:

( x ,0 ) 1

(5.90)

207
K.B.1:

( 0, t ) 0

(5.91a)

K.B.2:
K.B.3:

(2 R, t ) 0
( x, ) 0

(5.91b)
(5.91c)

Sekarang terlihat kondisi batasnya sudah homogen. Strategi


yang digunakan dalam metode pemisahan variabel adalah
mereduksi PDP menjadi PDB. Metode ini memerlukan dua
fungsi, karena dalam contoh ini mengandung dua variabel bebas,
yang menggambarkan penyelesaian f (x ) dan g (t ) . Variabel
f (x ) hanya tergantung pada posisi x, dan g (t ) hanya
tergantung pada waktu t. Ada beberapa kemungkinan
penggabungan variabel-variabel ini untuk membangun ( x , t ).
Biasanya menggunakan hasil kali fungsi-fungsi, yaitu

( x , t ) f ( x ) g (t )

(5.92)

Persamaan ini harus memenuhi Pers. (5.89) dan kondisi


batas/awal, yaitu Pers. (5.90) dan (5.91). Diferensialkan Pers.
(5.92) secara parsial terhadap x dan t,

df

g (t )
x
dx
2
2

d df
d f

g
(
t
)

2
x x dx dx
x 2
dx

(5.93)

dan

dg
f ( x)
t
dt

(5.94)

Substitusikan Pers. (5.93) dan (5.94) dalam Pers. (5.89)

d2 f
dg
f
2
dt
dx

(5.95)

208
Variabel-variabel terikat dapat dipisahkan dengan membagi Pers.
(5.95) dengan f g , menghasilkan

dg
1 d2 f
1

2
f dx
g dt

(5.96)

Walaupun sekarang variabel bebas sudah terpisah, tetapi


persamaan tersebut belum dipisahkan satu sama lainnya agar
mereka dapat diselesaikan secara terpisah. Ruas kiri Pers. (5.96)
tidak tergantung pada t dan harganya konstan pada setiap saat,
sedangkan ruas kanan Pers. (5.96) tidak tergantung pada x dan
harganya juga konstan pada setiap posisi. Dengan demikian,
jelas kedua sisi Pers. (5.96) harus sama dengan suatu konstanta
yang sama, katakanlah 2 . Konstanta 2 ini dapat berupa
bilangan riil, positif atau negatif, nol atau imajiner. Sehingga
Pers. (5.96) menjadi

dg
1 d2 f
1

2
2
f dx
g dt

(5.97)

Dari Pers. (5.97) diperoleh dua PDB, yaitu


d2 f
2 f 0
2
dx

(5.98)

dg
2 g 0
dt

(5.99)

dan

Persamaan (5.98) dan (5.99) merupakan PDB linier dengan


koefisien konstan dan penyelesaiannya:
a) Untuk 2 0
Dari Pers. (5.98):

209
d2 f
2 f 0
2
dx

Persamaan karakteristiknya:
m 2 2 0

m1, 2 i

Jadi penyelesaian Pers. (5.98) adalah

f ( x) C1 cos x C 2 sin x

(5.100)

Dari Pers. (5.99):


dg
2 g 0
dt

Persamaan karakteristiknya:
m 2 0

m 2

Jadi penyelesaian Pers. (5.99) adalah


g (t ) C 3 exp( 2 t )

(5.101)

Penyelesaian umum untuk 2 0 adalah

( x , t ) f ( x ) g (t )
(C1 cos x C 2 sin x ) C 3 exp( 2 t )
(C 4 cos x C 5 sin x ) exp( 2 t )

b) Untuk 2 0
Persamaan (5.98) menjadi
d2 f
0
dx 2

(5.102)

210
integrasikan dua kali terhadap x, diperoleh
f ( x) C 6 x C 7

dan Pers. (5.99) menjadi

(5.103)

dg
0
dt

g (t ) C 8

(5.104)

Penyelesaian umum untuk 2 0 adalah:

( x , t ) f ( x ) g (t )
(C 6 x C 7 ) C 8
C 9 x C10

(5.105)

Karena Pers. (5.98) dan (5.99) adalah persamaan-persamaan


linier, maka dengan jelas prinsip superposisi dapat dipakai,
sehingga penyelesaian lengkap dari Pers. (5.89) adalah

( x, t ) (C 4 cos x C 5 sin x ) exp( 2 t ) C 9 x C10


(5.106)
Dari K.B.3 dan Pers. (5.106), diperoleh
0 (C 4 cos x C 5 sin x ) exp( ) C 9 x C10
0 0 C 9 x C10

persamaan ini dipenuhi bila C 9 0 dan C10 0 . Persamaan


(5.106) menjadi

( x, t ) (C 4 cos x C 5 sin x ) exp( 2 t )


Dari K.B.1 dan Pers. (5.107), didapatkan

(5.107)

211
0 (C 4 cos 0 C 5 sin 0) exp( 2 t )

C4 0

Persamaan (5.107) tereduksi lagi menjadi

( x, t ) C 5 sin x exp( 2 t )

(5.108)

Dari K.B.2 dan Pers. (5.108):


0 C 5 sin( 2 R ) exp( 2 t )

C 5 tidak boleh sama dengan nol, karena bila C 5 0 tidak ada

jawabannya. Jadi persamaan diatas dipenuhi bila


sin 2 R 0
2 R n ,

n
,
2R

n 0, 1, 2,
n 0, 1, 2,

(5.109)

Persamaan (5.108) menjadi

n2 2

n x
exp
t
2
2R
4R

( x, t ) C5 sin

(5.110)

Dari K.A. dan Pers. (5.110),

n x

1 C5 sin
2R
Ini menunjukkan bahwa harga C 5 tidak hanya satu untuk
memenuhi kon-disi awal tersebut. Jadi jawaban paling umum
dari tipe ini dapat diperoleh dengan superposisi penyelesaian
partikulir Pers. (5.110).

212

n2 2

n x
exp
t
2
2R
4R

( x, t ) An sin
n 1

5.111)

Kemudian K.A. digunakan kembali, yaitu

n x

1 An sin
n 1
2R

(5.112)

Permasalahan sekarang adalah menentukan berapa


harga An. Harga An yang memenuhi Pers. (5.112) dapat
ditentukan dengan menggunakan properti-properti fungsi
orthogonal. Dengan membandingkan Pers. (5.98) dengan
persamaan umum Sturm-Liouville (5.79) didapatkan
p ( x ) r ( x ) 1 , q ( x ) 0 , dan 2 , maka Pers. (5.98)
adalah tipe Sturm-Liouville. Kondisi batas (5.91a) dan (5.91b)
adalah bentuk yang sesuai dengan (i) dan dengan demikian
fungsi sin(n x 2 R) adalah orthogonal terhadap r ( x ) 1
dalam kisaran 0 hingga 2R. Properti orthogonal ini
dimanfaatkan dengan mengalikan kedua sisi Pers. (5.112)
dengan fungsi sin(m x 2 R) , dan hasilnya diintegrasikan dari
0 hingga 2R. Jadi,

2R
0

2R
m x
m x
n x
dx sin
An sin
sin
dx
0
2
R
2
R
2
R
n
1

(5.113)
Integral jumlah sama dengan jumlah dari integral, maka Pers.
(5.113) menjadi

2R
0

m x
dx An
sin
n 1
2R

2R
0

m x n x
sin
dx
sin
2R 2R
(5.114)

213
Dari properti orthogonal diperoleh bahwa integral pada ruas
kanan Pers. (5.114) adalah nol, kecuali untuk kasus m n . Bila
m n , maka

2R
0

n x
dx An
sin
n 1
2R

2R
0

n x
dx
sin
2R

(5.115)

Hasil integrasi ruas kanan Pers. (5.115) adalah R (dari Pers.


(5.77)). Persamaan (5.115) menjadi

2R
0

n x
dx An R
sin
2
R

n x
sin
2R

An

2
n

An

2
1 ( 1) n ,
n

n
0

n x
d
2R

n 1, 2, 3,

(5.116)

Substitusikan Pers. (5.116) kedalam Pers. (5.111), menghasilkan

( x, t )

n2 2 t
n x
1 (1) n

sin
exp
n
2R
n 1
4 R2

atau

T T0
2

T1 T0

n2 2 t
n x
1 (1) n

sin
exp

2R
n
4 R2
n 1

(5.117)

214
5.4 Rangkuman
Persamaan diferensial parsial adalah persamaan diferensial yang
mempunyai lebih dari satu variabel bebas. Secara analitik persamaan
diferensial parsial dapat diselesaikan dengan menggunakan metode
penyatuan variabel, metode pemisahan variabel, dan transformasi
Laplace. Hasil dari penyelesaian persamaan diferensial parsial sangat
ditentukan oleh kondisi awal dan kondisi batas. Kondisi awal dan
kondisi batas merupakan pernyataan dari fenomena fisik pada hargaharga yang ditentukan dari variabel bebas. Ada tiga tipe kondisi awal
dan kondisi batas yang biasanya muncul dalam suatu permasalahan,
yaitu:
1. Fungsi yang ditetapkan pada harga batas.
2. Turunan fungsi yang ditetapkan pada harga batas.
3. Fungsi campuran pada harga batas.

5.5

Soal-Soal

5.1. Penyelesaian Pers. (5.89) dalam Contoh 5.4 dengan metode


pemisahan variabel adalah

( x, t ) (C 4 cos x C 5 sin x ) exp( 2 t ) C 9 x C10


Tentukan konstanta-konstanta integrasi (C4, C5, C9, dan C10)
dengan menggunakan kondisi awal dan kondisi batas berikut ini:
K.A.:

pada

t 0,

x x,

K.B.1:

pada

x 0,

t t,

K.B.2:

pada

x 2R,

t t,

5.2. We have seen in Example 10.2 (CVD Reactor) that conditions of


short contact time (or short penetration) can lead to considerable
simplifications, to produce practical results. Consider the case of
heat transfer for laminar tube flow, under conditions of short

215
contact time. Ignoring axial conduction, the steady-state heat
balance was shown for parabolic velocity profile

r 2 T
1
2 v0 1

r r
R z

T
r
r

where thermal diffusivity is k C p . For short penetration


from a wall of temperature TW, we introduce the wall coordinate
y R r , so that the conduction term close to the wall is
approximately

1 T
r
r r r

2T

2
y

And the velocity close to the wall is

y
v z 4 v0
R
(a) By analogy with the CVD-reactor problem (Example 10.2),
use the combined variable

y
9 R z

4 v0

13

(T TW ) f ( )

and show that, for a liquid entering at T0

T TW
1

T0 TW
(4 3)

(b) By defining the flux at the wall as

exp( 3 ) d

216
T
q 0 k
y

y 0

we can define a local heat transfer coefficient based on the


inlet temperature difference, so let
q 0 h0 ( z ) (T0 TW )

hence, show that


2
(4 9)1 3 v0 C p k
h0 ( z )

Rz
4

1 3

(c) Define the average heat transfer coefficient using


h0

L
1
h0 ( z ) dz
L 0

and thus show the dimensionless result


1 3

Nu 1.62 Re Pr

1 3

8
1 .5
9
1.62
4

3

where
Nu

h0 D
,
k

Re

v0 D
,

Pr

Cp
k

D 2R

This result, after leveque (1928), compares reasonably well


with experiments. The multiplicative constant has been
adjusted based on experimental data to give a value 1.86.

217
(Problem taken from Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers by R. G.
Rice and D. D. Do, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1995. Problem 10.23)
5.3. As a design engineer, you are asked by your boss to design a
wetted wall tower to reduce a toxic gas in an air stream down to
some acceptable level. At your disposal are two solvents, which
you can use in the tower; one is nonreactive with the toxic gas
but is cheap, whereas the other is reactive and quite expensive.
In order to choose which solvent to use, you will need to
analyze a model to describe the absorption of the toxic gas into
the flowing solvent (see Fig. 5.1).
(a) For the nonreactive solvent, derive from first principles the
mass balance equation for the absorbed toxic gas into the
solvent and show

x 2 C
2C

v maks 1
D
x2
z
(b) What are the boundary conditions for the mass balance
equation obtained in part (a).
(c) For the reactive solvent, derive from the first principles the
mass balance for the absorbed toxic species and the solvent
follows first order kinetics.

x 2 C
2C
v maks 1
D
kC
x2
z
(d) Assuming that you have obtained the solution for the
distribution of absorbed concentration of the toxic species,
obtain a formula to calculate the mass flux (mole/area-time)
into the falling film as a function of z.

218

N ( z ) D

C
x

x 0

Next, for a falling film of length L and width W, obtain a


formula the mass transfer (moles/time) into the film.
L

Mass flux W N ( z ) dz W D

C
x

dz
x 0

(e) For a given length and width and a given flow rate of liquid,
which solvent do you expect to give higher absorption rate
and why?
(Problem taken from Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers by R. G.
Rice and D. D. Do, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1995. Problem 10.12*)
5.4. Metode tabung kapiler untuk menentukan difusivitas cairan
biner telah dilaporkan dalam Mickley dkk. (1957). Tabung
kapiler panjangnya L, salah satu ujungnya tertutup, ujung yang
lainnya terbuka, mula-mula berisi larutan A dengan konsentrasi
C0. Kapiler tersebut diletakkan dalam posisi tegak dengan ujung
terbuka menghadap ke atas. Kemudian solven murni (B)
dialirkan secara perlahan dan kontinyu melewati ujung kapiler
terbuka. Setelah waktu tertentu, , kapiler tersebut dikeluarkan
dan larutan A sisa dianalisa komposisinya, untuk menentukan
berapa banyak solut A yang telah terekstrak. Percobaan ini
dilakukan beberapa kali pada harga berbeda. Konsentrasi A
pada ujung kapiler terbuka dianggap selalu nol.
Anggap difusivitas tidak terlalu banyak berubah terhadap
komposisi (sebe-narnya difusivitas rata-rata dihitung sesuai
dengan komposisi rata-rata antara keadaan awal dan akhir).
Kondisi awal dan batas adalah:
pada

t 0,

C A C0

219
pada

z 0,

N Az 0

pada

z L,

CA 0

dimana NAz adalah fluksi difusi A yang dinyatakan dengan


hukum Fick I, yaitu:

N A z DAB

dC A
dz

mol

luas waktu

dengan DAB adalah difusivitas biner untuk sistem A-B.


(a) Buat neraca massa transient dari A dan buktikan bahwa

C A
2C A
DAB
t
d z2
(b) Selesaikan persamaan dalam bagian (a) dengan
menggunakan metode pemisahan variabel, dan buktikan
bahwa

C A ( z, t )

4C 0

n 1

(1) n 1
(2n 1) z
cos

(2n 1)
2L

(2n 1) 2 2 DAB t
exp
2
4
L

(c) Fraksi solut A yang sisa (setelah percobaan) dihitung dengan


persamaan

1
L

buktikan bahwa R adalah

L
0

C A ( z, t )
dz
C0

220

n 1

(2n 1) 2 2 DAB t
1

exp
2

4
(2n 1) 2
L

(Soal ini disadur dari Applied Mathematics and


Modeling for Chemical Engineers by R. G.
Rice and D. D. Do, John Wiley & sons, Inc.,
New York, 1995. Problem 10.193)

Glossarium

Persamaan Diferensial Parsial adalah persaman diferensial yang


mengandung lebih dari satu variable bebas.
Persamaan Diferensial Parsial linier orde dua adalah persamaan
diferensial parsial yang mempunyai bentuk seperti pada persamaan
(5.2)
Kondisi Awal adalah kondisi pada waktu mula-mula t t0 pada
suatu peristiwa fisika atau kimia dari kondisi tersebut diperoleh satu
set persamaan matematika.
Kondisi Batas adalah ilustrasi dari peristiwa-peristiwa fisika atau
kimia pada harga-harga yang ditentukan dari variable bebas. Kondisi
batas diperlukan untuk menetukan konstanta-konstanta integrasi.

Daftar Pustaka
1.

Boyce, W. E. and R. C. DiPrima, 2001, Elementary Differential


Equations and Boundary Value Problems, John Wiley & Sons,
Inc., New York.

2.

Jenson, V. G. and G. V. Jeffreys, 1977, Mathematical Methods in


Chemical Engineering, 2nd ed., Academic Press., London.

3. Mickley, H. S., T. S. Sherwood, and C. E. Reed, 1975, Applied

221
Mathematics in Chemical Engineering, McGraw-Hill Book
Company, New York.
4.

Rice, B. J. and J. D. Strange, 1994, Ordinary Differential


Equations with Applications, 3rd Ed., Brooks/Cole Publishing
Company, California.

5.

Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and


Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc., New
York.

6.

Sediawan, W. B. dan A. Prasetya, 1997, Pemodelan Matematis


dan Penyelesaian Numerik dalam Teknik Kimia, Penerbit ANDI,
Yogyakarta.

7.

Zhang, S. and J. Jin, 1996, Computation of Special Functions,


John Wiley and Sons, New York.

222

BAB 6
TRANSFORMASI LAPLACE

Tujuan Intruksional Umum:


Setelah mengikuti pokok bahasan (PB) dari mata kuliah ini
mahasiswa dapat mengaplikasikan dasar-dasar Transformasi
Laplace dan Transformasi Laplace Invers.

Tujuan Intruksional Khusus:


1. Setelah mengikuti PB ini mahasiswa dapat
menggunakan Transformasi Laplace dari fungsi
sederhana dan sifat-sifat Transformasi Laplace.
2. Setelah mengikuti PB ini mahasiswa dapat menggunakan Transformasi Laplace Invers.
3. Setelah mengikuti PB ini mahasiswa dapat mengaplikasikan Transformasi Laplace dalam menyelesaikan
persamaan deferensial biasa.
.
6.1
Pendahuluan
Ide dari suatu transformasi merupakan suatu gagasan yang sangat
penting di dalam matematika dan di dalam memecahkan masalah pada
umumnya. Bila kita berhadapan dengan suatu masalah yang sulit,
seringkali ide-ide baik yang digunakan adalah dengan merubah
masalah tersebut dengan berbagai cara menjadi suatu masalah yang
lebih mudah, setelah itu masalah yang telah ditransformasikan
tersebut diselesaikan, dan kemudian penyelesaian yang didapatkan

223
dikembalikan ke masalah orisinal. Salah satu contoh dari proses ini
adalah ide tentang logaritma. Ide ini digunakan untuk membantu
perhitungan. Misal, masalah perkalian yang rumit, dengan
menggunakan ide ini kita dapat mentransformasikannya ke dalam
masalah penjumlahan, kemudian dilakukan penjumlahan, dan setelah
itu jawaban tersebut ditransformasikan kembali ke dalam masalah
aslinya. Proses yang bergerak dari hasil transformasi kembali ke hasil
aslinya disebut transformasi invers. Misalnya, kita tahu bahwa invers
dari transformasi logaritma adalah transformasi eksponensial.

f
f-1

y ylog
= log
a xa x

a y a log a x
Di dalam kalkulus dasar juga kita telah mempelajari bagaimana suatu
integral tertentu dapat dengan mudah diselesaikan dengan merubah
variabel-variabelnya, yaitu dengan mentransformasikan, katakanlah,
suatu integral dalam bentuk x menjadi dalam bentuk integral yang
lebih sederhana dalam variabel lainnya, katakanlah u. Kemudian
bentuk integral yang lebih sederhana dalam variabel u diselesaikan,
dan hasilnya dikembalikan lagi dalam variabel x. Jadi, filosofi dalam
melakukan transformasi untuk menyelesaikan suatu masalah dapat
dinyatakan secara sederhana: 1. Transformasi; 2. Selesaikan; dan 3.
Invers.
Dalam bab ini kita akan mempelajari suatu tipe khusus dari
transformasi integral yang disebut transformasi Laplace. Transformasi
ini akan berguna bagi kita karena dapat menghilangkan turunanturunan dari persamaan diferensial dan menggantikannya dengan
persamaan aljabar.

224
6.2

Definisi Transformasi Laplace

Misalkan f (t ) merupakan suatu fungsi kontinyu dari variabel bebas t


untuk t 0 , maka transformasi Laplace dari f (t ) didefinisikan
dengan:

L [ f (t )] F ( s ) e s t f (t ) dt

(6.1)

Simbol L disebut operator transformasi Laplace. Transformasi


Laplace dari f (t ) dikatakan ada apabila integral (5.1) konvergen
untuk beberapa harga s, bila tidak konvergen maka transformasi
Laplacenya tidak ada. Perhatikan bahwa setelah kita mengintegrasikan
terhadap t, hasilnya akan mempunyai parameter s didalamnyayaitu,
integral tersebut merupakan suatu fungsi parameter s, sehingga kita
dapat menulis L [ f (t )] F ( s ).

6.2.1

Transformasi Laplace dari Beberapa Fungsi Sederhana

1. Bila f (t ) C konstanta

L [C ] F ( s ) e s t C dt
0

C st
e
s

C
(0 1)
s

C
s

2. Bila f (t ) t
L [t ] F ( s )

e s t t dt

misal: u t

dv e s t dt

(6.2)

225

du dt

L [t ]

1
t e st
s

1
s

1
1
(0 0) 2 e s t
s
s

e s t dt

1 st
e
s

1
(0 1)
s2

1
s2

(6.3)

3. Bila f (t ) t n

L [t n ] F ( s ) e s t t n dt
0

Kita dapat menyelesaikan integral ini dengan memisalkan:

u st ;

du s dt

sehingga

L [t ] e
n

1
u 1
du n 1
s
s s

1
s n 1

n!
s n 1

e u u n du

( n 1)

(n = bil. bulat positif)

4. Bila f (t ) e a t
L [e a t ] F ( s )

e s t e a t dt

e ( s a ) t dt

(6.4)

226

1
e ( sa ) t
sa

1
(0 1)
sa

1
sa

(6.5)

Dengan cara yang sama diperoleh untuk


L [e

at

1
sa

(6.6)

5. Bila f (t ) cos a t

L [cos a t ] F ( s ) e s t cos a t dt
0

Integral tersebut dapat diselesaikan dengan integral parsial.

u cos at

misal:

dv e s t dt

du a sin a t dt

1 st
e
s

sehingga

L [cos at ]

1 st
e cos at
s

1
a
(0 1)
s
s

a
s

e s t sin at dt

e s t sin at dt

Untuk menyelesaikan integral tersebut, kita dapat menggunakan


integral parsial lagi
misal:

u sin a t

dv e s t dt

227

L [cos at ]

1
a 1
e s t sin at
s
s s

1 st
e
s

du a cos a t dt

a
s

e s t cos at dt

1
a
a2
2 (0 0) 2 L [cos at ]
s
s
s

a2
1
1 2 L [cos at ]
s
s

L [cos at ]

1
s2
s
2
2
2
s s a
s a2

(6.7)

Metode lain:
Formula Euler:

e i a t cos at i sin at

L [cos a t ] e s t cos a t dt Re
0

e s t e i a t dt

1
Re
e ( s i a ) t
s

i
a

Re
(0 1)
s ia

1
s ia
Re

s ia s ia
s ia
Re 2 2 2
s i a

s
s a2
2

228
Hasilnya sama dengan Pers. (6.7). Dengan cara yang sama diperoleh
untuk
a
(6.8)
L [sin a t ] 2
s a2
Transformasi Laplace dari beberapa fungsi sederhana diberikan dalam
Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Transformasi Laplace dari beberapa fungsi sederhana
No.

f (t )

1.

2.

3.

tn

F (s )

C s
1
s2
( n 1)
s n 1
n!
s n 1

4.

e at

5.

t n e at
, 0! 1
n!

6.

cos at

7.

sin a t

8.

cosh a t

9.

sinh a t

s0
s0
s0

n bil. bulat positif


1
sa
1
( s a ) n 1
s
2
s a2
a
2
s a2
s
2
s a2
a
2
s a2

sa
sa
s0
s0
s a
s a

229
6.2.2

Beberapa Sifat Penting Transformasi Laplace

1. Sifat Linier
Jika C1 dan C2 adalah konstanta-konstanta sembarang, sedangkan
f1 (t ) dan f 2 (t ) adalah fungsi-fungsi dengan transformasi
Laplacenya masing-masing F1 ( s) dan F2 (s) , maka

L [C1 f 1 (t ) C 2 f 2 (t )] C1 L [ f 1 (t )] C 2 L [ f 2 (t )]
C1 F1 ( s) C 2 F2 ( s)

(6.9)

Hasil ini dapat diperluas untuk lebih dari dua fungsi.


2. Sifat Pengubahan Skala
Jika L [ f (t )] F ( s ) , maka

L [ f (at )]

1 s
F
a a

(6.10)

Bukti:

L [ f ( at )] e s t f ( at ) dt
0

Untuk menyelesaikan integral ini, kita misalkan:

u at ;

du a dt

sehingga

L [ f (at )]

1
a

e ( s a ) u f (u ) du

1 s
F
a a

230
Contoh 6.1.
Carilah L [cos a t ].
Penyelesaian:
Misalkan:

f (t ) cos t

L [cos t ]

s
F (s)
s 1
2

maka

L [cos at ]

1
sa
1
s a2
s

2
2
2
2
2
a ( s a) 1 a
s a
s a2

3. Transformasi Laplace dari Turunan


Transformasi Laplace dari turunan pertama didefinisikan:

df (t )
dt

s t df (t )

dt

e s t df (t )

0
0
dt

Integral tersebut diselesaikan dengan integral parsial,


u e st

misal:

dv df (t )

du s e s t dt

v f (t )

sehingga

df (t )
dt

st
f (t ) e

s e s t f (t ) dt
0

{0 f (0)} s L [ f (t )]
s F ( s ) f (0)

(6.11)

231
Transformasi Laplace dari turunan kedua didefinisikan:

d 2 f (t )
2
dt

d 2 f (t )
df (t )
st

dt e s t d

0
2
0
dt
dt

dapat digunakan integral parsial untuk menyelesaikan integral ini


misal:

df (t )
dv d

dt

u e st

du s e s t dt

d 2 f (t )
L
2
dt

df (t ) s t
e

dt

df (t )
dt

s e st
0

df (t )
dt
dt

df (0)

df (t )
0
s L

dt
dt

s [ s F ( s) f (0)]

df (0)
dt

s 2 F ( s ) s f (0) f (0)

(6.12)

dimana f ( 0 ) dan f (0) adalah harga fungsi dan turunannya pada


variabel bebas sama dengan nol.
Prosedur ini dapat dikembangkan hingga turunan ke-n, yang
memerlukan ( n 1) kondisi awal.

d n f (t )
L
n
dt

n
n 1
n2
s F ( s) s f (0) s f (0) f

n 1

(0)

(6.13)

Seperti kita ketahui, transformasi Laplace dari turunan

232
membutuhkan kondisi-kondisi awal dari fungsi dan turunan-turunan
suksesifnya. Ini berarti bahwa hanya masalah-masalah kondisi awal
dapat diselesaikan dengan transformasi Laplace. Secara implisit juga
menyatakan bahwa turunan fungsi-fungsi yang ditinjau hanya berlaku
untuk fungsi kontinyu. Jika tidak kontinyu, maka transformasi
Laplace dari turunan harus dimodifikasi untuk memperhitungkan
ketidak-kontinyuannya.
Transformasi dari turunan dapat digunakan untuk mendapatkan
transformasi Laplace dari suatu fungsi tanpa menggunakan prosedur
integrasi.
Contoh 6.2.
Carilah L [e a t ].
Penyelesaian:
f (t ) e a t ,

Misalkan:

f (t ) a e a t
L [ f (t )] s F ( s ) f (0)

L [ a e a t ] s L [ f (t )] 1
( s a ) L [e a t ] 1
L [e a t ]

1
sa

Bandingkan hasil ini dengan Pers. (6.5).

f ( 0) 1

233
Contoh 6.3.
Hitunglah L [cos a t ].
Penyelesaian:
Misalkan:

f (t ) cos a t ,
f (t ) a sin a t ,

f ( 0) 1
f (0) 0

f (t ) a 2 cos at
L [ f (t )] s 2 F ( s ) s f (0) f (0)
L [ a 2 cos at ] s 2 L [cos at ] s (1) 0
( s 2 a 2 ) L [cos at ] s
L [cos a t ]

s
s a2
2

Hasil yang diperoleh sama dengan cara integrasi, Pers. (6.7).

4. Sifat Perkalian Dengan t


Kadang-kadang berguna untuk mendiferensialkan transformasi
Laplace terhadap variabel kontinyu s. Jika,

L [ f (t )] F ( s ) e s t f (t ) dt
0

maka diferensial F (s ) terhadap s adalah

dF ( s)
d

ds
ds

e s t f (t ) dt

(6.14)

234
Diferensial pada ruas kanan Pers. (6.14) dapat dilakukan dengan
menggunakan formula Leibnitz, diferensial dibawah tanda integral,
yaitu
u 2 ( a ) f ( x, a )
du 2
du1
d u2 ( a )
f
(
x
,
a
)
dx

f
(
u
,
a
)

f
(
u
,
a
)

dx
2
1
da u1 ( a )
da
da u1 ( a )
a
(6.15)

Bandingkan ruas kanan Pers. (6.14) dan Pers. (6.15), didapatkan


as

u1 ( a ) 0

dx dt

u 2 (a)

f ( x , a ) e s t f (t )

Sehingga, Pers. (6.14) menjadi


st
[e
dF ( s )
f (t )]
00
dt
0
ds
s

e s t t f (t ) dt

L [t f (t )]
Jadi

L [t f (t )]

dF ( s)
ds

(6.16)

Prosedur ini dapat dikembangkan hingga turunan ke n dari


F (s ) terhadap s, menghasilkan
L [t n f (t )] ( 1) n

d n F (s)
ds n

Persamaan (6.17) merupakan sifat perkalian dengan t n .

(6.17)

235
Contoh 6.4.
Hitunglah L [ t sin a t ].
Penyelesaian:
Misalkan:

f (t ) sin a t

L [sin at ]

a
F (s)
s a2
2

berdasarkan Pers. (6.16), diperoleh

L [t sin at ]

d
ds

2a s
a
2
2
2
2 2
s a (s a )

Proses diferensiasi terhadap s memberikan suatu teknik


penyelesaian untuk Persamaan Diferensial Biasa dengan koefisienkoefisien berubah. Dari Pers. (6.17) diketahui bahwa

L [t n f (t )] e s t t n f (t ) dt ( 1) n
0

d n F (s)
ds n

karena itu, transformasi Laplace dari hasil kali turunan dapat ditulis
m
d n f (t )
m d n f (t )
m d
L t
L
( 1)

dt n
ds m dt n

Bila m 1 dan n 1, maka

d df (t )
df (t )
L t
(1) L

ds dt
dt

d
s F ( s) f (0)
ds

(6.18)

236
dF ( s )

s
F ( s ) 0
ds

Jadi,
dF ( s )
df (t )
L t

F (s)
dt
ds

(6.19)

Proses ini dapat diselesaikan lebih lanjut seperti yang ditabulasikan


dalam tabel berikut ini:
Tabel 6.2. Transformasi Laplace dari hasil kali diferensial
f (t )

df (t )
dt

t2

df (t )
dt

d 2 f (t )
t
dt 2
t2

d 2 f (t )
dt 2

L [ f (t )] F ( s )

s
s

s2
s2

dF ( s )
F (s)
ds

d 2 F ( s)
dF ( s )

2
ds
ds

dF ( s)
2 s F ( s) f (0)
ds

d 2 F (s)
dF ( s )
4s
2 F (s)
2
ds
ds

5. Transformasi Laplace dari Integral


Transformasi Laplace dari suatu fungsi integeral didefinisikan:
t

t
L f (t ) dt e s t f ( z ) dz dt
0

(6.20)

dimana telah digunakan dummy variable untuk integral dalam kurung


siku. Ini dapat diintegrasikan secara parsial:

237
t

u f ( z ) dz

misalkan:

du
d

dt
dt

t
0

f ( z ) dz

menurut formula Leibnitz diperoleh:


du f (t ) dt ,

1
v e st
s

dv e s t dt

sehingga

t
t
1

1
L f (t ) dt e s t f ( z ) dz
0
s
0
s
0

0 0

e s t f (t ) dt

1
L [ f (t )]
s

F ( s)
s

Jadi, bila L [ f (t )] F ( s ), maka


t
F ( s)
L f ( z ) dz
0

Contoh 6.5.
t
Carilah L cos a z dz
0

(6.21)

238
Penyelesaian:
Misal:

f (t ) cos a t ,

L [cos at ]

s
F (s)
s a2
2

maka,
t
1
s
1
L cos a z dz 2
2
2
0
s s a
s a2

6. Pembagian Oleh t
Jika L [ f (t )] F ( s ), maka

f (t )
L
t

s F (u ) du

(6.22)

Bukti:
Misalkan:

g (t )

f (t )
t

f (t ) t g (t ) ,

L [ f (t )] L [t g (t )]

Dari Pers. (6.16) didapatkan transformasi Laplace dari ruas kanan


persamaan di atas.

F (s)

dG ( s )
ds
s

dG ( s ) F (u ) du

G ( s ) G ( )

F (u ) du

239
karena lim G ( s ) 0, maka
s

G ( s ) F (u ) du
s

Jadi,

f (t )
L
t

s F (u ) du

(6.23)

asalkan lim f (t ) t ada.


t 0

Contoh 6.6.

sin t
Hitunglah L
t

Penyelesaian:
Misalkan:

lim
t 0

f (t ) sin t , L [sin t ]

f (t )
sin t
lim
lim
t 0
t 0
t
t

1
F (s)
s 1
2

d
sin t
dt
cos t
lim
1
t 0
d
1
t
dt

maka

1
f (t )
sin t
L

du
2

s
u 1
t
t

tg 1 (u )

ada

240
tg 1 ( ) tg 1 ( s )

tg 1 ( s)

tg 1 1 s

7. Teorema Shifting
Teorema ini sangat berguna dalam menentukan transformasi dari suatu
tipe fungsi eksponensial dan juga dalam melakukan transformasi
invers. Teorema shifting dapat dinyatakan sebagai berikut:
Jika transformasi Laplace

f (t ) adalah F (s ), maka

transformasi Laplace dari e a t f (t ) adalah F ( s a ),


dimana a adalah konstanta berhingga. Yakni, perkalian
f (t )

dengan

e at

mempengaruhi

pergeseran

asal

(origin) s menjadi ( s a ) .
Teorema ini dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:
Jika

L [ f (t )] F ( s ), maka

L [e a t f (t )] F ( s a )

Bukti:

L [e a t f (t )] e s t e a t f (t ) dt
0

e ( s a ) t f (t ) dt
0

F (s a)

(6.24)

241
Contoh 6.7.
Tentukan L [e a t cos bt ].
Penyelesaian:
Misalkan:

f (t ) cos bt

L [cos bt ]

s
F (s)
s b2
2

Karena itu, dengan teorema shifting diperoleh


L [e a t cos bt ]

sa
(s a) 2 b 2

Hasil ini dapat dibuktikan dengan cara integrasi, yaitu

L [e a t cos bt ] e s t e a t cos bt dt
0

Re

e ( s a i b ) t dt

e ( s a i b ) t
Re

s a ib 0


1
Re 0
s a ib

s a ib
1
Re

s a ib s a ib
s a ib
Re
2
2 2
( s a) i b

sa
(s a) 2 b 2

242
6.3

Transformasi Laplace Invers

Definisi:
Jika transformasi Laplace suatu fungsi f (t ) adalah F (s ) , yaitu jika
L [ f (t )] F ( s ), maka f (t ) disebut transformasi Laplace invers dari
F (s ) dan secara simbolis dapat ditulis:

f (t ) L 1 [ F ( s )]

(6.25)

dimana L 1 disebut operator transformasi Laplace invers.

6.3.1

Beberapa Sifat Penting Transformasi Laplace Invers

1. Sifat Linier
Teorema 1: Jika C1 dan C2 adalah konstanta-konstanta sembarang,
sedangkan F1 ( s) dan F2 (s) adalah transformasi
Laplace dari f1 (t ) dan f 2 (t ) , maka
L 1 [C1 F1 ( s ) C 2 F2 ( s )] C1 L 1 [ F1 ( s )] C 2 L 1 [ F2 ( s )]

(6.26)

C1 f1 (t ) C 2 f 2 (t )
2. Teorema Shifting
Teorema 2:

Jika

L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka

L 1 [ F ( s a )] e a t f (t )

(6.27)

243
Contoh 6.8.

6s 4
Tentukan L 1 2
.
s 4 s 20
Penyelesaian:

6s 4
1 6 ( s 2) 8
L 1 2
L

2
( s 2) 16
s 4 s 20

s2
4
1
6 L 1
2L

2
2
( s 2) 16
( s 2) 16

(6.28)

II

s2
I L 1

2
( s 2) 16
F (s)

s2
,
( s 2) 2 16

F ( s 2)

s
s 16

F ( s 2)

4
s 16

L 1 [ F ( s 2)] e 2 t f (t )
s
L 1 2
e 2 t f (t )

s 16

f (t ) e 2 t cos 4t

4
II L 1

2
( s 2) 16
F (s)

4
,
( s 2) 2 16

244
L 1 [ F ( s 2)] e 2 t f (t )
4
2t
L 1 2
e f (t )
s

16

f (t ) e 2 t sin 4t

Jadi,

6s 4
2t
2t
L 1 2
6 e cos 47 2 e sin 4t
s

4
s

20

2 e 2 t (3 cos 4t sin 4t )

3. Sifat Pengubahan Skala


Teorema 3:

Jika

L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka

L 1 [ F ( k s )]

1 t
f
k k

(6.29)

Contoh 6.9.

6
Tentukan L 1 2
.
9 s 36
Penyelesaian:
Misal:

F (s)

6
s 36
2

6
L 1 [ F ( s )] L 1 2

s 36
f (t ) sin 6t

245
F (3 s )

6
9 s 36
2

L 1 [ F (3 s )]

t
f
3

1
6
6t
L 1 2
sin
3
9 s 36 3

1
sin 2t
3

4. Transformasi Laplace Invers dari Turunan


Teorema 4:

L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka

Jika
1

L [F

(n)

d n F ( s)
n n
( s)] L
(1) t f (t )
n
ds
1

Contoh 6.10.

s
Carilah L 1 2
.
2 2
(s a )
Penyelesaian:
Misal:

F (s)

1
s a2
2

1
L 1 [ F ( s )] L 1 2
2
s a
f (t )

1
sin at
a

(6.30)

246

2s
dF ( s) d 1
2
2
2
ds
ds s a ( s a 2 ) 2
Jadi,
dF ( s )
L 1
t f (t )
ds

2s
t
L 1 2
sin at
2 2
a
(s a )

t
s
L 1 2

sin at
2 2
(s a ) 2 a

5. Sifat Perkalian Dengan s


Teorema 5:

Jika

L 1 [ F ( s )] f (t ) dan f (0) 0 , maka

L 1 [ s F ( s )] f (t )

Contoh 6.11.
s
Carilah L 1 2
.
2
s a

Penyelesaian:
Misal:

F (s)

1
s a2
2

1
L 1 [ F ( s )] L 1 2
2
s a

(6.31)

247
f (t )

1
sin at
a

f (0) 0

s
s a2
df (t )
L 1 [ s F ( s )]
dt

s F (s)

s 1 d
L 1 2

(sin at ) cos at
2
s a a dt

Perluasan ke dalam bentuk L 1 [ s n F ( s )] , dengan n = 2, 3, ,


dapat juga dilakukan.

6. Sifat Pembagian Dengan s


Teorema 6:

Jika

L 1 [ F ( s )] f (t ) , maka

F (s)
L 1

t
0

f ( h) dh

Contoh 6.12.

1
Carilah L 1
.
3
s ( s 1)
Penyelesaian:
Misal:

F (s)

1
( s 1) 3

(6.32)

248

1
L 1 [ F ( s)] L 1
3
( s 1)
f (t )

1 2 t
t e
2

F (s)
1

s
s ( s 1) 3
F (s) 1 t 2 h
L 1
h e dh
s 2 0

1
1
L 1
h 2 e h
3
s ( s 1) 2

t
0

2 h e h dh
0

1
2

1
t 2 e t 2 t e t 0 2 e h
2

1
t 2 e t 2 t e t 2 e t 2
2

t 2 e t 0 2 h e h

t
0

t
0

e h dh

1 e t (1 t 12 t 2 )

Perluasan ke dalam bentuk L 1 [ F ( s ) s n ] , n 2, 3, , dapat juga


dilakukan.

Contoh 6.13.

1
Carilah L 1
.
2
s ( s 4)

249
Penyelesaian:
Misal:

F (s)

1
s 4
2

1
L 1 [ F ( s )] L 1 2

s 4
f (t )

1
sin 2t
2

F (s)
1

2
s
s ( s 4)
F (s) 1 t
L 1
sin 2h dh
s 2 0

1
1
L 1
cos 2h
2
4
s ( s 4)

6.4

t
0

1
(1 cos 2t )
4

Metode-Metode Untuk Menentukan Transformasi Laplace


Invers

Ada beberapa cara untuk menentukan transformasi Laplace invers,


diantaranya adalah:
1. Penggunaan tabel
2. Metode-metode yang menggunakan teorema di atas
3. Metode pecahan parsial
4. Metode konvolusi
5. Metode deret

250
6. Metode residu; teori ini merupakan suatu metode yang sangat

ampuh dalam menentukan transformasi Laplace invers secara


langsung.

6.4.1

Metode Pecahan Parsial

Seringkali transformasi Laplace invers muncul dalam bentuk faktor.


Misalnya:
P(s)
(6.33)
F (s)
Q(s)
dimana P (s ) dan Q (s ) adalah polinomial, dengan derajat polinomial
P (s ) lebih kecil dari derajat polinomial Q (s ).

Misal polinomial Q (s ) berbentuk:


a. Q ( s ) ( s b1 )( s b2 ) ( s bn )
dengan b1 , b2 , , bn adalah akar-akar dari polinomial Q (s ).
Persamaan (5.33) menjadi:
F (s)

P(s)
( s b1 )( s b2 ) ( s bn )

A1
s b1

A2
s b2

An
s bn

(6.34)

Ada tiga kemungkinan untuk menentukan A1 , A 2 , , A n .


1. Faktor tunggal ( s b )
2. Faktor ganda ( s b) n
3. Faktor kompleks

251
1. Faktor Tunggal ( s b )

A
sb

F (s)

(6.35)

Konstanta A dapat diperoleh dengan

A lim {F ( s) ( s b)}

(6.36)

s b

2. Faktor Ganda ( s b) n

F ( s)

An
( s b) n

A n 1
( s b) n 1

A1
( s b) 1

(6.37)

Konstanta-konstanta A n , A n 1 , , A1 dapat diperoleh dengan


A n lim {F ( s ) ( s b) n }

(5.38)

s b

A nk

1
dk
lim k F ( s)( s b) n ,
k! s b ds

k 1, 2, , n 1

Tetapi bila faktor gandanya berbentuk

(6.39)

(a s b) n , maka

konstanta-konstan-ta A n , A n 1 , , A1 diperoleh dengan


A n lim {F ( s ) (a s b) n }

(6.40)

s (b a )

A nk

1
a k k!

lim

s (b a )

dk
F ( s)(a s b) n , k 1, 2, .., n 1
k
ds

(6.41)

Konstanta-konstanta A n , A n 1 , , A1 juga dapat diperoleh dengan


menyelesaikan pecahan-pecahan dan menyamakan koefisien dari
pangkat-pangkat yang sama dari kedua ruas persamaan yang diperoleh.

252
b. Q ( s ) (a s 2 b s c ) n
Persamaan (6.33) menjadi:
F (s)

P(s)
(a s b s c) n
2

A n s Bn
2

(a s b s c)

A n 1 s Bn 1
2

(a s b s c)

Konstanta-konstanta

n 1

A n , A n 1 , , A1

A1 s B1
(a s 2 b s c)
dan

(6.42)

B n , B n 1 , , B1

diperoleh dengan menyelesaikan pecahan-pecahan tersebut dan


menyamakan koefisien-koefisien dari pangkat yang sama dari kedua
ruas persamaan yang diperoleh.
Contoh 6.14.

3 s 16
Tentukan L 1 2
.
s s 6
Penyelesaian:

F ( s)

3 s 16
s2 s 6
3 s 16
A
B

2
s s6 s3 s2

(6.43)

Metode 1:
Dengan mengalikan kedua
( s 3)( s 2), didapatkan

ruas

Pers.

(6.43)

dengan

253
3 s 16 A ( s 2) B ( s 3)

(6.44)

( A B ) s 2 A 3B

Koefisien s:

3 A B
B 3 A

Konstanta:

16 2 A 3 B
16 2 A 3(3 A)
25 5 A

A 5 dan

B 2

Jadi,

3 s 16
1
1
L 1 2
5 L 1
2 L 1

s 3
s 2
s s 6
5 e 3 t 2 e 2 t

Metode 2:
Menggunakan rumus (6.36),

3 s 16

3 s 16
A lim
( s 3) lim
5
s 3 ( s 3)( s 2)

s 3 s 2
3 s 16

B lim
( s 2) 2
s 2 ( s 3)( s 2)

Dengan menggunakan harga-harga ini didapatkan hasil yang


sama dengan Metode 1.

254
Metode 3:
Sedikit modifikasi dari Metode 2, gunakan Pers. (6.44). Untuk
menentukan A set s 3 dan untuk menentukan B set s 2 .

s 3:

9 16 A (5) B (0)

A5
s 2 :

6 16 A (0) B ( 5)
B 2

Contoh 6.15.

s2 2 s 3
Carilah L 1
.
2
(
s

1
)
(
s

1
)

Penyelesaian:

A1
A2
A3
s2 2 s 3

( s 1) 2 ( s 1) s 1 ( s 1) 2 s 1

(6.45)

s2 2 s 3
s2 2 s 3
2
1
A 2 lim
( s 1) lim
s 1 ( s 1) 2 ( s 1)
s 1
s

1
d s2 2 s 3
A1 lim
( s 1) 2
2
1! s 1 ds ( s 1) ( s 1)

lim
s 1

d s2 2 s 3

ds
s 1

(2 s 2)(s 1) ( s 2 2 s 3 )
lim

s 1
( s 1) 2

255

1
2

s2 2 s 3
3
A 3 lim
( s 1)
2
s 1 ( s 1) ( s 1)

2
Jadi,

s2 2 s 3
1 1 1
1 3 1 1
1
L

L
L

2
2
s 1

s 1
( s 1) 2
( s 1) ( s 1)
1

1 t
3
e t e t e t
2
2

Metode 2:
Dengan mengalikan kedua ruas Pers. (6.45) dengan
2

( s 1) ( s 1) , didapatkan

s 2 2 s 3 A1 ( s 1)(s 1) A 2 ( s 1) A3 ( s 1) 2
Untuk menentukan A2 set s 1 dan untuk menentukan A3 set
s 1.

s 1:

2 A1 ( 0) A 2 ( 2) A 3 ( 0)
A2 1

s 1 :

6 A1 ( 0) A 2 ( 2) A 3 ( 4)
A3 3 2

Metode ini gagal untuk menentukan A1. Untuk menentukan A1


dipilih satu harga sembarang yang tidak membuat semua harga

256
sama dengan nol, tetapi dipilih yang menghasilkan harga-harga
tersebut kecil.
Misal s 0 :
3 A1 ( 1) A 2 (1) A 3 (1)
3 A1 1
A1

3
2

1
2

Dengan menggunakan harga-harga ini didapatkan hasil yang


sama dengan Metode 1.
Contoh 6.16.

s 1
Carilah L 1
.
2
( s 3)(s 2 s 2)
Penyelesaian:

Bs C
s 1
A

2
2
( s 3)(s 2 s 2) s 3 s 2 s 2

(6.46)

Dengan mengalikan kedua ruas dengan ( s 3)( s 2 2 s 2) ,


didapatkan
s 1 A ( s 2 2 s 2) ( B s C )( s 3)

(6.47)

( A B ) s 2 ( 2 A 3B C ) s ( 2 A 3C )

Koefisien s 2 :

0 A B
B A

(6.48)

257
Koefisien s:

1 2 A 3B C

Konstanta:

1 2 A 3C

1 2A
3

(6.49)

(6.50)

Substitusikan Pers. (6.48) dan (6.50) ke dalam Pers. (6.49),


menghasilkan
1 2 A 3A
A

1 2
A
3 3

4
5

Dari Pers. (6.48) diperoleh


B

4
5

Dari Pers. (6.50) diperoleh


C

1
5

Jadi,

s 1
4 1 1 1 1 4 s 1
L 1
L
2
L s2 2 s 2
5
s 3 5
( s 3)(s 2 s 2)

4 1 1 4 1 ( s 1) 3 1
1
L

2
2

5
s 3 5
( s 1) 1 5
( s 1) 1

4 3t 4 t
3
e e cos t e t sin t
5
5
5

258

6.4.2

4 3t 1 t
e e ( 4 cos t 3 sin t )
5
5

Metode Konvolusi

Dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan transformasi Laplace


seringkali terjadi bahwa transformasi akhir dari persamaan merupakan
hasil kali dua transformasi yang dapat diidentifikasi dengan mudah,
namun ini sukar diselesaikan dalam bentuk penjumlahan. Bila ini
terjadi, transformasi Laplace invers dapat dilakukan dengan metode
konvolusi.
Jika F ( s ) G ( s ) H ( s ) dan invers dari masing-masing
diketahui, yaitu g (t ) dan h(t ), maka invers dari hasil kali diberikan
dengan integral konvolusi. Secara matematis dapat ditulis dengan
f (t ) L 1 [G ( s ) H ( s )]

u
0

g (u ) h (t u ) du

u
0

g (t u ) h (u ) du

(6.51)

Kedua bentuk ini menunjukkan bahwa integral konvolusi adalah


simetris.
Contoh 6.17.

s2
Carilah L 1 2
.
2
(s 1)

259
Penyelesaian:
Misal:

G ( s)

s
s 1
2

dan

H (s)

s
s 1
2

s
g (t ) L 1 [G ( s )] L 1 2
cos t
s 1
s
h(t ) L 1 [ H ( s )] L 1 2
cos t
s 1
f (t )

t
0

cos u cos (t u ) du

1
2

cos t cos (2u t ) du

u cos t 2 sin (2 u t )

6.5

1
t cos t sin t
2

Aplikasi Transformasi Laplace Pada Persamaan Diferensial


Biasa

Transformasi Laplace dapat digunakan untuk menyelesaikan


persamaan diferensial biasa (PDB). Karena transformasi Laplace
merupakan operator linier, maka transformasi ini tidak sesuai untuk
masalah-masalah non-linier. Selain itu metode ini hanya sesuai untuk
masalah harga awal. Dalam sub bab ini akan dibahas penggunaan
transformasi Laplace untuk menyelesaikan PDB.

260
Contoh 6.18.
Gunakan transformasi Laplace untuk menyelesaikan masalah
harga awal berikut ini
dy
y e 2t ,
dt

y (0) 2

Penyelesaian:
Pertama kita melakukan transformasi Laplace pada kedua sisi
dari persamaan diferensial di atas:
dy

y L [e 2t ]
dt

dengan menggunakan sifat linier dari transformasi Laplace, ruas


kiri persamaan di atas dapat ditulis dengan
dy
L [ y ] L [e 2t ]

dt

Kita telah menghitung transformasi Laplace dari turunan pertama


dan fungsi eksponensial. Dengan menggunakan Pers. (6.5) dan
(6.11) menghasilkan
1
{s Y ( s ) y (0)} Y ( s )
s2
Kemudian, dengan memasukkan kondisi awal dan dengan
mengumpulkan suku-suku yang sejenis didapatkan
( s 1) Y ( s )

Y (s)

1
2s 5
2
s2
s2

2s 5
( s 1)( s 2)

(6.52)

261
Dengan menggunakan fraksi pecahan kita dapat menulis Y(s)
dalam bentuk
Y (s)

2s 5
A
B

( s 1)( s 2) s 1 s 2

dengan mengalikan kedua ruas persamaan di atas dengan


( s 1)( s 2), didapatkan
2 s 5 A ( s 2) B ( s 1)

Dengan menset s 1, didapatkan


3 A (1) B (0)

A3
Set s 2 :

1 A (0) B ( 1)
B 1

Persamaan (6.52) menjadi


3
1

s 1 s 2
Dengan menggunakan transformasi Laplace invers, menghasilkan
Y (s)

3
1
y (t ) L 1
L 1

s 1
s 2

3 e t e 2t

Persamaan ini merupakan penyelesaian dari masalah harga awal


di atas.

262
Contoh 6.19.
Selesaikan persamaan diferensial order dua berikut ini
d 2 y dy

2 y 5 sin t ,
dt 2 dt

y (0) 1,

y (0) 1.

Penyelesaian:
Seperti pada contoh sebelumnya, pertama kita melakukan
transformasi Laplace pada kedua sisi persamaan diferensial,

d 2 y
dy
L 2 L [ y ] 5 L [sin t ]
2
dt
dt

{s 2 Y ( s ) s y (0) y (0)} {s Y ( s ) y (0)} 2 Y ( s )

5
s 1
2

Kemudian, masukkan harga-harga kondisi awal dan kumpilkan


suku-suku yang sejenis, menghasilkan
( s 2 s 2) Y ( s ) s 2

5
s 1
2

Y (s)

s 3 2s 2 s 3
( s 2 s 2)( s 2 1)

(6.53)

Ruas kanan Pers. (6.53) dapat ditulis dalam bentuk fraksi pecahan
berikut ini

s 3 2s 2 s 3
A
B
Cs D

2
2
2
( s s 2)( s 1) s 1 s 2 s 1
Dengan

mengalikan
2

kedua

( s 1)( s 2)( s 1), didapatkan

ruas

persamaan

ini

dengan

263
s 3 2 s 2 s 3 A ( s 2)( s 2 1) B ( s 1)( s 2 1)
(Cs D )( s 1)( s 2)

Untuk menentukan A set s 1 dan untuk menentukan B set


s 2.

s 1 :

1 A ( 3)( 2) B (0) (Cs D )( 0)

s 2:

1
6

5 A (0) B (3)(5) (Cs D )( 0)

1
3

Untuk menentukan harga C dan D masing-masing dipilih satu


harga sembarang yang tidak membuat semua harga sama dengan
nol, tetapi dipilih yang menghasilkan harga-harga tersebut kecil.
Misal set s 0 untuk menentukan harga D dan set s 1 untuk
menentukan harga C.

s 0:

3 A ( 2)(1) B (1)(1) D (1)( 2)

1
1
( 2) (1) 2 D
6
3
3
D
2

s 1:

3 A ( 1)( 2) B ( 2)( 2) (C D )( 2)( 1)

3 2 A 4B 2C 2D
3 ( 2)

1
1
3
( 4) 2C ( 2)

6
3
2

264
C

1
2

Persamaan (6.53) menjadi


Y (s)

16
13 1
s
3
1

2
2
s 1 s 2 2 s 1 2 s 1

Jadi penyelesaian persamaan diferensial order dua di atas adalah

y (t )

1 1 1 1 1 1 1 1 s 3 1 1
L
L
L 2
L 2
6
s 1 3
s 2 2
s 1 2
s 1

1 t 1 2t 1
3
e e cos t sin t
6
3
2
2

Dari contoh-contoh ini kita dapat melihat bahwa transformasi


Laplace dapat digunakan dalam menyelesaiakan persamaan
diferensial linier tunggal dengan kondisi awal. Transformasi Laplace
juga dapat digunakan dalam menyelesaikan sistem persamaan
diferensial dengan koefisien konstan. Pertama kita harus
mentransformasikan sistem persamaan diferensial menjadi sistem
persamaan aljabar. Kemudian, kita selesaikan sistem persamaan
aljabar tersebut. Akhirnya, dengan menggunakan transformasi Laplace
invers terhadap fungsi-fungsi penyelesaian akan menghasilkan
penyelesaian dari sistem persamaan diferensial.
Contoh 6.20.
Selesaiakan sistem persamaan diferensial order satu berikut
dx
x 5y
dt

(6.54a)

265
dy
4x 5 y
dt

(6.54b)

dengan kondisi awalnya adalah x (0) 1 dan y (0) 2.


Penyelesaian:
Dengan menggunakan transformasi Laplace pada kedua sisi dari
kedua persamaan di atas, Pers. (6.54), menghasilkan
s X ( s ) x (0) X ( s ) 5 Y ( s )
s Y ( s ) y (0) 4 X ( s ) 5 Y ( s )

Sekarang, masukkan kondisi awal dan sederhanakan persamaan


yang dihasilkan, didapatkan
( s 1) X ( s )

(6.55a)

5 Y ( s ) 1

(6.55b)

4 X ( s ) ( s 5) Y ( s ) 2

Kedua persamaan ini, Pers. (6.55), dapat diselesaikan secara


simultan. Misalnya, kita dapat mengeliminasi variabel Y (s )
dengan mengalikan Pers. (6.55a) dengan ( s 5) dan Pers.
(6.55b) dengan 5, kemudian kedua hasil persamaan tersebut
dijumlahkan,
( s 1)( s 5) X ( s ) 5 ( s 5) Y ( s ) ( s 5)
20 X ( s ) 5 ( s 5) Y ( s ) 10

(s 1)(s 5) 20 X (s)
X (s)

5s
( s 1)( s 5) 20

10 ( s 5)

266
X (s)

5s
s 6 s 25

(6.56)

X (s)

8
s3

2
2
( s 3) 4
( s 3) 2 4 2

(6.57)

Dengan menggunakan transformasi Laplace invers, didapatkan

4
s3
L 1 [ X ( s)] 2 L 1
L 1
2
2
2
2
( s 3) 4
( s 3) 4
x (t ) 2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t

(6.58)

Dengan menyisipkan X (s ) dari Pers. (6.56) ke dalam Pers.


(6.55b), menghasilkan

5s
( s 5) Y ( s) 2 4 2

s 6 s 25
Y (s)

4 s 20
2

s 5 ( s 5)( s 2 6 s 25)

(6.59)

Karena penyebut pada suku kedua dari ruas kanan Pers. (6.59)
mengandung term kuadratik yang tidak dapat difaktorkan
menjadi faktor linier, maka suku kedua tersebut harus
didekomposisi secara fraksi parsial, yaitu
4 s 20
BsC
A

2
2
( s 5)( s 6 s 25) s 5 s 6 s 25

Bila

kedua

ruas

dari

persamaan

ini

dikali

( s 5)( s 2 6 s 25), didapatkan


4 s 20 A ( s 2 6 s 25) ( B s C )( s 5)

dengan

267
set s 5 :

40 A ( 25 30 25) ( B s C )( 0)
A 2

s 0:

20 A ( 25) (C )(5)
5 C 20 ( 2)( 25)
C6

s 1 :

24 A ( 20 ) ( B C )( 4)
4 B ( 2)( 20 ) (6)( 4) 24
B2

Jadi, Pers. (6.59) menjadi


Y (s)

2s 6
2
2

2
s 5 s 5 s 6 s 25

2 ( s 3)
( s 3) 2 4 2

Transformasi Laplace invers dari persamaan ini, menghasilkan

s3
L 1 [Y ( s)] 2 L 1
2
2
( s 3) 4
y (t ) 2 e 3 t cos 4t

Jadi, penyelesaian dari Pers. (6.54) adalah


x (t ) 2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t
y (t ) 2 e 3 t cos 4t

268
Cara lain: y (t ) dapat juga diperoleh dengan menyisipkan
penyelesaian x (t ), Pers. (6.58), ke dalam persamaan pertama
dari sistem persamaan diferensial orisinal, Pers. (6.54a):
5 y (t )

dx
x
dt
d
2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t 2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t
dt

6 e 3t sin 4t 8 e 3t cos 4t 3 e 3t cos 4t 4 e 3t sin 4t


2 e 3t sin 4t e 3t cos 4t
5 y (t ) 10 e 3t cos 4t
y (t ) 2 e 3t cos 4t

Contoh 6.21.
Selesaikan sistem persamaan diferensial order dua berikut
d 2x
dy
3
3y 0
2
dt
dt
d 2x
dt 2

3y t e t

(6.60a)
(6.60b)

dengan kondisi awalnya adalah x (0) 0, x (0) 2, dan y (0) 0.


Penyelesaian:
Dalam masalah ini, kita tidak perlu merubah sistem persamaan di
atas menjadi suatu sistem dari empat persamaan diferensial order
pertama. Karena metode transformasi Laplace dapat digunakan
langsung terhadap turunan-turunan dengan order lebih tinggi

269
melalui Pers. (6.13), dalam masalah ini dengan Pers. (6.12).
Dengan menggunakan transformasi Laplace pada kedua sisi dari
kedua persamaan di atas, Pers. (6.60), menghasilkan

X ( s ) s x (0) x (0) 3 s Y ( s ) y (0) 3 Y ( s ) 0

X ( s ) s x (0) x (0)

3Y (s)

1
( s 1) 2

Dengan menyisipkan kondisi awal dan menyederhanakan


persamaan yang dihasilkan, didapatkan
s 2 X ( s ) 3 ( s 1) Y ( s ) 2
s 2 X (s)

3 Y (s) 2

(6.61a)
1
( s 1) 2

(6.61b)

Bila persamaan pertama kurang persamaan kedua akan


menghasilkan
3 s Y (s)

1
( s 1) 2

Y (s)

13
s ( s 1) 2

(6.62)

13
A
B
C

2
s s 1 ( s 1) 2
s ( s 1)

Bila kedua ruas persamaan ini dikalikan dengan s ( s 1) 2 ,


didapatkan
1 3 A ( s 1) 2 B s ( s 1) C s

set s 0 :

1 3 A (1) B (0) C (0)

270

A 1 3

s 1 :

1 3 A (0) B (0) C (1)


C 1 3

s 1:

1 3 A (4) B (2) C (1)


1 3 ( 4 3) 2 B (1 3)
B 1 3

Jadi, Pers. (6.62) dapat ditulis menjadi


Y (s)

13 13
13

s
s 1 ( s 1) 2

(6.63)

Transformasi Laplace invers dari persamaan ini adalah

L 1 [Y ( s)]
y (t )

1 1 1
1
1
L

2
3
s s 1 ( s 1)

1
1 e t t e t
3

(6.64)

Kemudian, sisipkan Pers. (6.63) ke dalam Pers. (6.61a) untuk


mendapatkan X (s ),

13 13
13
s 2 X ( s) 2 3 ( s 1)

2
s s 1 ( s 1)
2

X (s)

1
1

s s 1

2
1
1
3 2
2
s
s
s ( s 1)

(6.65)

271
1
D E
F
2
s s 1
s ( s 1) s
2

Bila kedua ruas persamaan ini dikalikan dengan s 2 ( s 1),


didapatkan
1 D ( s 1) E s ( s 1) F s 2

set s 1 :

1 D (0) E (0) F (1)


F 1

s 0:

1 D (1) E (0) F (0)


D 1

s 1:

1 D ( 2) E ( 2) F (1)
1 2 2 E 1
E 1

Persamaan (6.65) menjadi


X (s)

2
1 1 1
1
3 2

2
s s 1
s
s
s

X (s)

1
1 1
1
2
3
s s 1
s
s

Transformasi Laplace inversnya adalah


1 1
1
1
L 1 [ X ( s )] L 1 3 2
s s 1
s
s
x (t )

1 2
t t 1 e t
2

272
Jadi, penyelesaian dari Pers. (5.40) adalah
x (t )

1 2
t t 1 e t
2

y (t )

1
1 e t t e t
3

6.6 Rangkuman
Transformasi Laplace adalah tipe khusus dari transformasi integral.
Transformasi ini sangat berguna karena dapat menghilangkan tuturanturunan dari persamaan diferensial dan menggantikannya dengan
persamaan aljabar. Transformasi Laplace dapat didefinikan sebagai
berikut:

L [ f (t )] F ( s ) e s t f (t ) dt
0

Sifat-sifat penting Transformasi Laplace adalah sebagai berikut:


1. Sifat linier.
2. Sifat pengubah skala.
3. Transformasi Laplace dari turunan.
4. Sifat perkalian dengan t.
5. Transformasi Laplace dari integral
6. Teorema shifting.
Transformasi Laplace Invers adalah Transformasi Laplace suatu
fungsi f(t) yang menghasilkan F(s), secara matematis dapat ditulis
seperti berikut: L [ f (t )] F ( s ). f(t) disebut Transformasi Laplace
Invers dar F(s) dan dapat ditulis sebagai berikut:
L 1 [ F ( s )] f (t )

273
Ada beberapa cara menentukan Transformasi Laplace Invers, diantaranya adalah
1. Penggunaan tabel.
2. Metode-metode yang menggunakan teorema.
3. Metode pecahan parsial.
4. Metode konvolusi.
5. Metode deret.
6. Metode residu.

6.7

Soal-soal

6.1

Tentukan fungsi
a.

6.2

f (t ) dari transformasi Laplace

1
s ( s 1) 3

b.

Buktikan bahwa transformasi Laplace dari complementary


error function adalah sebagai berikut
L erfc (a / 4t ) e a

6.3

s
( s 1)( s 2 4)
2

/s

A cascade of equivolume CSTRs are connected in series and


under linier kinetics to deplete species A in
k
A products
Denoting C n (t ) as the composision of A leaving the n th reactor,
the material balance is

274

V
a.

dC n
qC n 1 qC n kVC n
dt

Introduce pertubation variables of the type

C n (t ) C n C n (t )
and show that

dC n
C n C n 1
dt

where

q
V
;
kV q
kV q

b. Take Laplace transforms and show that

C ( s )
C n ( s ) n1
s 1
c. Solve the linear of the finite difference equation by
assuming a solution of the form

C n ( s) A(r ) n
and show that

C n ( s ) C 0 ( s )

s 1

275
where C 0 ( s) denotes the transform of the composition
perturbation entering the first reactor.
d. For the case of two reactors, show that the exit
perturbation is
t

C 2 (t ) 2 C 0 1 exp( t / ) exp( t / )

where
0 1

Glossarium
Transformasi Laplace adalah suatu teknik untuk menyederhanakan
permasalahan dalam suatu sistem yang mengandung masukan dan
keluaran, dengan melakukan transformasi dari suatu domain
pengamatan ke domain pengamatan yang lain. Dalam matematika
jenis transformasi ini merupakan suatu konsep yang penting sebagai
bagian dari analisa fungsional, yang dapat membantu dalam
melakukan analisa sistem invarian-waktu linier. Transformasi Laplace
dari suatu fungsi f(t), yang terdefinisi untuk semua nilai t riil dengan t
0, adalah fungsi F(s), yang didefinisikan sebagai:

L [ f (t )] F ( s) e s t f (t ) dt
0

Dalam matematika, the inverse Laplace transform dari F(s) adalah


fungsi f(t) yang didefinisikan sebagai
L 1[ F ( s )] f (t )

In mathematics, the (exponential) shift theorem is a theorem about


polynomial differential operators (D-operators) and exponential
functions. It permits one to eliminate, in certain cases, the exponential
from under the D-operators. The theorem states that, if P(D) is a
polynomial D-operator, then, for any sufficiently differentiable

276
function y (baca di Bab 2),

There is a similar version of the shift theorem for Laplace transforms


(t < a):
L [e a t f (t )] F ( s a )

Daftar Pustaka
1. Boyce, W. E. and R. C. DiPrima, 2001, Elementary Differential
Equations and Boundary Value Problems, John Wiley & Sons, Inc.,
New York.
2. Kresyszig, E., 1993, Advanced Engineering Mathematics, 7th Ed.,
John Wiley & sons, Inc., New York.
3. Rice, R. G. and D. D. Do, 1995, Applied Mathematics and
Modeling for Chemical Engineers, John Wiley & sons, Inc., New
York.
4. Ricardo, H.J., 2009, A Modern introduction to Differential
Equations, 2nd Ed., Elsevier Academic Press, Canada.
5. Zill, D.G., 2005, First Course in Differential equations with
Modeling Applications, 8th Ed., Brooks/Cole-Thompson Lerning
Inc. Canada.

277
INDEX

Antoine 28

Glossarium 38, 90, 165, 183, 224,


275

B
Bessel 22, 56, 138, 139, 142,
143, 145, 147, 148, 149, 150,
151, 152, 153, 154, 155, 157,
158, 164, 165, 166

D
Daftar Pustaka 39, 91, 166, 183,
225, 282

Derajat 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49,

84, 255
Deret 94, 95, 97, 98, 99, 103, 104,
105, 108, 113, 164, 165
deret pangkat 93, 94, 95, 97, 98, 99,
100, 101, 104, 108, 112, 113

E
Eksak 49, 50
Error Function 168

F
Fungsi Beta 178
Fungsi Gamma 172
Fungsi Kesalahan 168
FUNGSI-FUNGSI In 167

H
Harga batas 188, 189, 190, 192,
218

Harga K 29
Homogen 17, 37, 43, 46, 47, 48,

59, 61, 62, 68, 69, 85, 86, 90, 99,


112, 187, 188, 189, 190, 207, 208,
210, 211
Hukum Asosiatif 76
Hukum Distributif 76
Hukum Komutatif 76
Hukum Raoult 28, 39
Hukum-hukum kekekalan 2, 36
kekekalan energi 2
kekekalan mass 2
kekekalan momentum 2

Hukum-hukum kesetimbangan
3, 36
Hukum-hukum perpindahan 2,
36

I
Invers Operator 78, 79

K
Kekekalan energi 2, 36, 39
Kekekalan massa 2, 36, 38

278
Kesetimbangan fase 3
Kesetimbangan kimia 3, 39
Koefisien aktivitas 29
Komplementer 61, 62, 66, 68, 71,
73, 74, 79, 93, 148, 170
Kondisi batas 63, 160, 188, 189,
190, 191, 192, 196, 198, 201, 203,
206, 207, 208, 210, 211, 218, 219
Konvergensi 94, 95, 96, 97, 101

Perpindahan momentum 2, 13
Perpindahan panas 5, 14, 15, 19,
21, 22, 159, 162, 196, 202
Perpindahan panas 2, 14, 15, 20,
196

Persamaan Arrhenius 19
Persamaan diferensial 2, 11, 22,
24, 27, 36, 41, 44, 56, 67, 84, 85,
86, 90, 93, 94, 99, 100, 102, 104,
108, 112, 113, 115, 120, 127, 129,
135, 138, 147, 148, 157, 159, 164,
165, 167, 181, 185, 192, 206, 218,
224, 228, 264, 265, 267, 269, 270,
273, 274, 278

L
Linier 24, 27, 42, 43, 52, 53, 55,

56, 58, 59, 60, 61, 62, 66, 68, 69,


70, 71, 75, 84, 85, 90, 91, 93, 99,
112, 164, 186, 187, 206, 208, 213,
214, 224, 265, 270, 272, 278, 279,
281

Persamaan diferensial parsia


184

Persamaan eliptik 186, 187


Persamaan hiperbolik 187
Persamaan parabolik 187
Persamaan Sturm-Liouville
204, 206

M
Metode Frobenius 112
Metode Invers Operator 67, 75,

86

Rangkuman 35, 84, 164, 181,

208

Relatif volatiliti 29

Metode Pemisahan Variabel


Metode Penyatuan Variabel
192

O
Operasi terhadap eksponensial
77
Order 42, 44, 52, 60, 158, 185

P
Partikulir, 61, 66, 67, 68, 74
Perpindahan massa 2, 15, 16

218, 277

S
Sifat-Sifat Diferensial 156
Sifat-Sifat Integral 157
Soal-soal 36 86, 164 181, 218
279

T
Teorema Shifting 245, 247
Transformasi Laplace 228,
229, 232, 233, 235, 241, 247,

279
250, 254, 264, 270, 273, 276,
277, 278, 281 226

U
Undetermined Coefficients
67

Anda mungkin juga menyukai