Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AKSIOLOGI, MORAL DAN TANGGUNGJAWAB


SEORANG ILMUWAN
Disusun dalam rangka tugas mata kuliah filsafat ilmu
Dosen pengampu : Suparman IA M.Sc / Dra. Sumaryati T, M. Pd.

PENYUSUN
KELOMPOK VI
Endri Setiawan Ali S
20147270216
Iqbal Fahri
20147270254
Taufan Suriyanto
20147270209
Tjahyani
20147270173
Wardah
20147070167
Sukardiyono
20147270205

PROGRAM PASCA SARJANA


SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2014/2015
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
JAKARTA 2014

A. Pendahuluan
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmuilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge),
tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan
dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir
lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk
dari epistemologi
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah
terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif atau pandangan yang
berbeda (Suriasumantri Jujun S, 2000).
Sebagaimana telah disingung di atas bahwa filsafat ilmu tentu akan
mempertanyakan aksiologi dari suatu ilmu tertentu. Dengan perkataan lain, setiap ilmu
tentu memiliki landasan aksiologi, disamping epistemologi dan ontologi. Aksiologi
berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga,
sedangkan logos artinya akal atau teori. Jadi, aksiologi itu dapat diartikan sebagai teori
nilai, penyelidikan mengenai ukuran nilai atau status metafisi dari nilai.Dengan demikian
jelas bahwa ilmu memiliki aksiologi. Karena itu, nilai-nilai kebenaran merupakan hal
yang paling utama di dalam dunia ilmu. Dalam konteks ini, subyek pendukung ilmu atau
ilmuwan atau masyarakat ilmiah hendaknmya tetap memperhatikan nilai-niklai
kebenaran dari suatu ilmu. Karena itu tidak dapat ilmuwan melakukan manipulasi data
untuk mendukung tesisnya, atau memanipulasi data untuk sampai pada kesimpulan yang
tidak bertentangan dengan kehendak politik. Hal ini tidak boleh terjadi di dalam ilmu
yang semata-mata mengabdi kepada kebenaran.
Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran
(agama) dan paham (ideologi)sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tujuan moral adalah mengarahkan sikap
dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan ajaran dan paham yang dianutnya.
Manfaat moral adalah menjadi pedoman untuk bersikap dan bertindak atau berperilaku

dalam interaksi sosial yang dinilai baik atau buruk. Tanpa memiliki moral, seseorang
akan bertindak menyimpang dari norma dan nilai sosial dimana mereka hidup dan
mencari penghidupan (Prawironegoro Darsono, 2010:247).
Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk
mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut.
Tanggung jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk hidup. Hal demikian
dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung jawabnya dengan merawat dan
mendidik anaknya sampai dewasa. Tanggung jawab terdapat juga pada bidang yang
ditekuni oleh manusia, seperti negarawan, budayawan, dan ilmuwan. Tanggung jawab
tidak hanya menyangkut subjek dari tanggung jawab itu sendiri, seperti makhluk hidup
atau bidang yang ditekuni oleh manusia akan tetapi juga menyangkut objek dari
tanggung jawab, misalnya sosial, mendidik anak, memberi nafkah, dan sebagainya.
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia
sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu
sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah
yang berkaitan dengan jasad manusia, namun penelaahan ini dimaksudkan untuk
mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung manusia
sebagai obyek penelaahan (Suriasumantri Jujun S, 2000).
Artinya jika kita mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal
ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
penyakit jantung dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat
yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi
menelaah organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan
kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi obyek penelaahan
yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberi kemudahan, melainkan
teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang :
1. Hubungan antara ilmu dan moral
2. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat
Dalam penulisan makalah ini tentunya bertujuan supaya mahasiswa dapat memahami
hubungan antara ilmu dan moral, serta tanggung jawab ilmuwan di masyarakat.
B. Pembahasan
1. Ilmu

Kata ilmu dalam bahasa Arab ilm yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan (http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu).
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang
berasal dari scientiadari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari ,
mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian
aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya,
dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang
ingin dimengerti manusia (Ihsan Fuad, 2010).
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode
ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan
pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga
di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah
suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis (Surajiyo,2009).
Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan
melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude),
metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh
(effects) (Ihsan Fuad,2010).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987)
mempunyai lima ciri pokok :
1. Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2. Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
3. Objektif, pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan
pribadi
4. Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam
bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan
dari bagian-bagian itu
5. Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga (Surajiyo,2009).
Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat yang
intinya adalah :

1. Ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan
dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya
2. Ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang
objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi
3. Ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya
dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur
4. Ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak
bersifat khusus melainkan berlaku umum (Hartono Kasmadi, 1990:8-9 dalam
Ihsan Fuad,2010).
Perkembangan

ilmu

tidak

pernah

terlepas

dari

ketersinggungannya dengan berbagai masalah moral. Baik atau


buruknya ilmu, sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan
moral yang para penggunanya. Peledakan bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan sebuah contoh
penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju
pada jamannya.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari
tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran.
Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu
hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu seringkali berbenturan
dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu,
sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau
bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu. Nicholas
Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei adalah
beberapa contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana
ilmu harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu,
walaupun hal tersebut bersumber dari pernyataan-pernyataan di
luar bidang keilmuan (misalnya agama).Karena berbagai sebab
diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi
dalam

mengembangkan

ilmu

yang

sesuai

dengan

kenyataan.Setelah pertarungan ideologis selama kurun waktu 250


tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan kebebasan dalam
mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat

dogmatik.Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani


mengembangkan ilmu secara luas.
Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di
kongkretkan dalam bentuk teknik.Yang dimaksud teknik disini
adalah penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah.Yang
menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan memahami
berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia,
tetapi

juga

untuk

mengontrol

dan

mengarahkannya.Hal

ini

menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan


moral.
2. Moral
Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara
hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai.
Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo,2009:147).
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran
moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.
Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang
berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta
tulisan para bijak.Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada
ditingkat yang sama (Surajiyo,2009).
Kata moral dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika.
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam
melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang
penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul
dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271).
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia
yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata
manusia lainnya.Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.

Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral
jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.Apabila yang dilakukan seseorang itu
sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral
yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral
juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran,
suara hati, serta nasihat (http://id.wikipedia.org/wiki/moral).
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis
sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih
lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan
bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk
mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan
eksistensi manusia (Ihsan Fuad,2010).
Jadi ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan
dengan metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis.
Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk
menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih
lanjut.
3. Hubungan antara ilmu dan moral
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi.Berkat kemajuan dalam bidang ini maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan,
pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri Jujun S,
2000).

Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan


sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada
keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga
penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan
perang, memerangi semua manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain,
perkembangan dan kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia.
Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan
dengan kedudukan manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang
akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu (Jujun S. Suriasumantri dalam Ihsan
Fuad, 2010).
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral.Ketika
Copernicus (14731543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan
menemukan bahwa "bumi yang berputar mengelilingi matahari" dan bukan
sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi
antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi
metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang
keilmuan (nilai moral), seperti agama.
Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun
1633.Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan dirinya, yakni dari pengembangan
konsepsional yang bersifat kontemplatif disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah
ke masalah-masalah praktis atau dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang
bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik
antarilmu dan moral berlanjut. Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep
tersebut ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan
pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktorfaktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses
yang terjadi. Bertrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari
tahap kontemplasi ke manipulasi .

Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan


kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan.Ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan.Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih
merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan
ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi
mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual
maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi
pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya
(Suriasumantri Jujun S,2000).
Ilmu tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan dan
berkah kepada kehidupan manusia, melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya
sendiri.Sesuatu yang kadang-kadang ironis harus dibayar mahal oleh manusia karena
kehilangan sebagian arti dari status kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan
dengan situasi yang tidak bersifat manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi,
yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya (Jujun S. Suriasumantri,1999
dalam Ihsan Fuad,2010).
Filosof beragama biasanya menempatkan kebenaran berpikir manusia berada
di bawah kebenaran transenden. Sebagai sebuah produsen moralitas dan etika, tak
bisa disangkal bahwa doktrin agama akan mengarahkan seseorang untuk
merefleksikan penemuan atau penciptaan sebuah ilmu. Euthanasia, aborsi, kloning
dan penerbangan ke bulan atau produksi tenaga nuklir merupakan beberapa contoh
hasil perkembangan ilmu pengetahuan.Untuk menciptakan tatanan manusia yang
lebih baik dan beradab, Ketidakmanusiaan merupakan pelanggaran terhadap etika
seorang ilmuwan.Profesi dokter di Indonesia misalnya, terbatasi oleh etika-aturan
yang terakumulasi dalam etika profesi dokter.Tidak dibenarkan, misalnya, seorang
dokter yang sedang melakukan penelitian virus HN51 menyebarkannya ke lingkungan
masyarakat sekitar untuk mencari obat penawarnya.
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
pendapat.Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan

adalah

menemukan

pengetahuan

dan

terserah

kepada

orang

lain

untuk

mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap


nilai-nilai

hanyalah

terbatas

pada

metafisik

keilmuan,

sedangkan

dalam

penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus


berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar
Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol
pikiran kita (Suriasumantri Jujun S,2000).Ilmu pengetahuan selain tersusun secara
sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran juga harus mengandung nilai etis
atau moral, dikatakan beretis atau bermoral adalah harus mengandung nilai yang
bermakna dan berarti, berguna bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan bukan saja
mengandung kebenaran-kebenaran tapi juga kebaikan-kebaikan
Dikatakan oleh Einstein, bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta apapun juga teori yang disusun diantara merekaBila berbicara
mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila
berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan
yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu
usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam
lingkungan

pendidikan

(akhlak), "Ilmutanpabimbingan

adalah
moral

penyampaian
(agama)

adalah

pendidikan
buta

dan

moral
agama

tanpailmuadalahlumpuh" (Albert Einstein 1879-1917)


Jadi secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam
tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan.
Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang
ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.Setiap pengetahuan,
termasuk pengetahuan ilmuah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang
dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.
4. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji
secara terbuka oleh masyarakat.Penciptaan ilmu bersifat individual namun
komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreativitas individu yang

didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses
pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting
adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat.Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan
keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan
sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S, 2000).
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka
hal itu berarti ilmu telah mengakibatkan perubahan sosial dan juga ilmu bertanggung
jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut paut
dengan masa lampau dan juga masa depan (Ihsan Fuad,2010).
Ilmuwan

berdasarkan

pengetahuannya

memiliki

kemampuan

untuk

meramalkan apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan
ilmu dan

teknologi

kita

di masa

depan berdasarkan

proses

pendidikan

keilmuansekarang. Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan juga harus


dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya
mereka sadari (Suriasumantri Jujun S,2000).
Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama menyangkut usaha agar
segala sesuatu yang terganggu oleh campur tangan ilmu bakal dipulihkan kembali.
Campur tangan ilmu terhadap masa depan bersifat berat sebelah, karena sekaligus
tertuju kepada keseimbangan dalam alam dan terhadap keteraturan sosial. Gangguan
terhadap keseimbangan alam misalnya pembasmian kimiawi terhadap hama tanaman,
sistem pengairan, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa keberatsebelahan itu
sebenarnya bukan hanya karena tanggung jawab ilmu saja, melainkan juga oleh
manusia sendiri (Ihsan Fuad, 2010).
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan
teratur dan teliti.Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur
namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan
teliti.Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu begitu saja tanpa suatu
pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan
cara berpikir seorang awam (Suriasumantri Jujun S, 2000).
Untuk memahami ihwal tanggung jawab manusia , kiranya baik juga
diketengahkan dengan singkat alam pikiran Yunani Kuno. Menurut alam pikiran

Yunani Kuno, ilmu adalah theoria, sedangkan keteraturan alam dan keteraturan
masyarakat selalu menurut kodrat Ilahi.Setiap keteraturan adalah keteraturan ilahi dan
alam (karena mempunyai keteraturan) bahkan dianggap sebagai Ilahi atau sebagai
hasil pengaturan Ilahi (Ihsan Fuad, 2010).
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi
memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana
caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui
kesalahan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan
memberinya keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun
maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan
(Suriasumantri Jujun S, 2000).
Jadi bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara
intelektual maupun secara moral , maka salah satu penyangga masyarakat modern
akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan itu merupakan
tanggung jawab sosial seorang ilmuwan.
Tanggung jawab juga menyangkut penerapan nilai-nilai etis setepat-tepatnya
bagi ilmu di dalam kegiatan praktis dan upaya penemuan sikap etis yang tepat, sesuai
dengan ajaran tentang manusia dalam perkembangan ilmu.
5. Nuklir dan Pilihan Moral
Pada tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat
kepada presiden Roosevelt yang isinya yaitu merekomendasikan
untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mencapai puncaknya
pada pembuatan bom atom yang dapat memusnahkan ribuan umat
manusia dalam waktu sesaat, pandangan ilmu sebagai berkah dan
penyelamat manusia dipertanyakan, apakah ilmu member berkah
atau menimbulkan kegoncangan bagi manusia? Einstein mungkin
tidak salah dengan rekomendasinya itu, karena seandainya amerika
serikat tidak segera membuat bom atom, nazi sedang
mempersiapkan diri untuk membuat bom nuklir yang dapat menjadi
pembunuh, saat itu muncul pertanyaan disekitar kaitan ilmu dengan
moral, ilmu dengan nilai, dan tanggung jawat moral ilmuan, untuk
apa ilmu dan teknologi dikembangkan?apakah dikembangkan untuk
tujuan- tujuan kemanusiaan, atau tujuan perang?apakah ilmu bebas
nilai apakah serat pada nilai? Kemana perkembangan ilmu
sebenarnya harus diarahkan?

Secara factual ilmu digunakan secara destruktif oleh manusia,


yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang
mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan, ilmu bukan saja
digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi
sesame manusia dan menguasai mereka. Disamping berbagai
senjata modern juga dikembangkan berbagai tehnik penyiksaan.
Tehnologi yang seharusnya menerapkan konsep- konsep sains untuk
membantu memecahkan masalah manusia baik perangkat keras
maupun yang lunak cenderung menimbulkan gejala anti
kemanusiaan( dehumanisme), bahkan kemungkinan mengubah
hakikat kemanusiaan itu sendiri, terutama akibat perkembangan
sain dan teknologi. Sains bukan lagi sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan melainkan menciptakan tujuan hidup itu
sendiri.
Seorang ilmuan secara moral tidak akan menggunakan
penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun
yang mempergunakannya adalah bangsanya sendiri, sejarah telah
menentukan bahwa para ilmuan bangkit dan bersikap terhadap
politik dan pemerintahan yang menurut anggapan mereka
melanggar asas- asas kemanusiaan. Mereka akan bersuara
sekiranya kemanusiaan akan memerlukan mereka. Dengan suara
yang universal, mengatasi golongan, ras, system kekuasaan,
agama, dan rintangan yang bersifat social.
Salah satu musuh manusia adalah peperangan yang akan
menyebabkan
kehancuran,
pembunuhan,
kesengsaraan,
peperangan merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sudah
mendarah daging. Pengetahuan adalah kekuasaan, hanya
kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia.

6. Rekayasa Genetika
Ilmu dalam persfektif sejarah kemanusiaan mempunyai
puncak kecemerlangan masing- masing, namun seperti kotak
Pandora yang terbuka kecemerlangan itu membawa malapetaka.
Perang dunia 1 menghadiahkan bom kuman yang menjadi kutukan
ilmu kimia dan perang dunia 2 muncul bom atom produk fisika, dan
kutukan apa yang akan dibawa oleh revolusi genetika.
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah
keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh
manusia sebagai obyek penelaah itu sendiri.dengan penelitian
genetika ini menjadi sangat lain kita tidak lagi menelaah organorgan manusia melainkan manusia itu sendiri yang menjadi objek

penelitian yang menghasilkan bukan lagi tekhnologi yang


memberikan kemudahan melainkan teknologi yang mengubah
manusia itu sendiri, apakah perubahan itu akan dibenarkan dengan
moral, yaitu sikap yang sudah dimiliki seorang ilmuan? Jawabannya
yaitu tinggal dikembalikan lagi kepada hakikat manusia itu sendiri,
karena sudah kita ketahui bahwa ilmu itu berfungsi sebagai
pengetahuan yang membantudalam mencapai tujuan hidupnya,
tujuan hidup ini berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu
sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh
ilmiah.
Penemuan dan riset genetika akan digunakan dengan itikad
yang baik untuk keluhuran manusia, dan bagaimana sekiranaya
riset tersebut jatuh pada tangan yang tidak bertanggung jawab dan
mempergunakan penemuan ilmiah ini untuk kepentingannya
sendiriyang bersifat destruktif? Apa yang akan diberikan bahwa
pengetahuan ini tidak akan dipergunakan untuk tujuan- tujuan
seperti itu? Dari pertanyaan itu kita melihat dari sudut ini makin
meyakinkan kita bahwa akan lebih banyak keburukannya
dibandingkan dengan kebaikannya sekiranya hakikat kemanusiaan
itu
sendiri
mulai
dijamah.
Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan
(dehumanisme) dan mengubah hakikat kemanusiaan menimbulkan
pertanyaan disekitar batas dan wewenag penjelajahan sains,
disamping tanggung jawab dan moral ilmuan.Jika sains melakukan
telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal
barangkali hal itu tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu
bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau
membantu fungsi- fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika sains
mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah
proses penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal inilah
yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang
penjelajahan sains. Yang jadi pertanyaan sekarang sejauh mana
penjelajahan sains dan teknologi?
Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu
dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan
tanggung jawab social ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu
pada posisi yang sangat penting karena itu salah satu aspek
pembahasan mendasar dalam integrasi keilmuan adalah aksiologi
yang sebelumnya telah dibahas.

C. Kesimpulan

1. Ilmu

atau

ilmu

pengetahuan

adalah

seluruh

usaha

sadar

untuk

menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi


kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung
tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk
bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia
untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi
harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan
bertindak.
2. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan
untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut.
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah
warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun
yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan
hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan
keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan
sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
3. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai
untuk

kemaslahatan

manusia

atau

sebaliknya

dapat

pula

disalahgunakan seperti nuklir dan rekayasa genetika.

E. Daftar Pustaka
Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2000.
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : Rineka Cipta,2008.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta :Bumi Aksara, 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/moral.

Anda mungkin juga menyukai