dampak vaksin palsu bisa ditelaah dari dua segi, yakni keamanan produk dan proteksi.
Dari segi keamanan produk, Dirga merujuk keterangan sejumlah tersangka yang dimuat
media massa bahwa untuk membuat vaksin palsu mereka mencampur cairan infus
dengan vaksin asli. Campuran tersebut, menurut Dirga, tidak berdampak fatal terhadap
tubuh dalam jangka panjang.
Dampak paling mungkin adalah infeksi akibat proses pembuatan vaksin palsu di
lingkungan yang tidak steril.
Saat pencampuran bisa terjadi kontaminasi bakteri, virus, atau kuman. Sehingga bisa
saja anak saat disuntikkan mengalami infeksi lokal di bekas suntikan. Apabila cairan
pembuat vaksin palsu yang terkontaminasi, infeksi bisa meluas ke seluruh tubuh. Jenis
infeksinya juga tergantung apa yang mengontaminasi, kata Dirga kepada wartawan
BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Akan tetapi, tambah Dirga, kalaupun terjadi infeksi, kondisi itu berlangsung segera
setelah penyuntikan dilakukan.
Dampak vaksin palsu selanjutnya bisa ditinjau dari segi proteksi. Dirga, yang mengambil
bidang studi vaksinologi di Universitas Siena, Italia, itu mengatakan bahwa seorang
anak tidak memiliki proteksi atau perlindungan atas virus-virus tertentu akibat vaksin
palsu yang disuntikkan padanya.
Seorang anak biasanya mendapat suntikan vaksin BCG ketika usianya mencapai dua
bulan. Seandainya anak tersebut mendapat vaksin BCG palsu, maka hingga hari ini
tubuhnya rentan terhadap kuman TBC, papar Dirga.
Hal senada diutarakan dr. Nafrialdi, PhD dari Departemen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Menurutnya, lumrah ada kekhawatiran apabila
seorang anak tidak mendapat vaksin yang benar.
Kita nggak tahu apakah sejak dia mendapat vaksin palsu dia pernah terkontaminasi
kuman TBC atau tidak. Kalau terkontaminasi, kumannya hidup, bertambah banyak, dan
penyakitnya timbul, papar dr Nafrialdi.