Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kesehatan Jiwa


2.1.1 Pengertian Kesehatan Jiwa
Kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari fisik, mental dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No
23 tahun 1992 tentang kesehatan). Sedangkan menurut WHO (2005) kesehatan
adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang lengkap dan bukan
hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Dari dua defenisi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa untuk dikatakan sehat, seseorang harus berada pada suatu
kondisi fisik, mental dan sosial yang bebas dari gangguan, seperti penyakit atau
perasaan tertekan yang memungkinkan seseorang tersebut untuk hidup produktif
dan mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari serta berhubungan sosial secara
nyaman dan berkualitas.
Kesehatan jiwa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan
atau bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya
kualitas hidup manusia yang utuh. Kesehatan jiwa menurut UU No 23 tahun 1996
tentang kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan
itu berjalan secara selaras dengan keadaan orang lain. Selain dengan itu pakar lain
mengemukakan bahwa kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental yang
sejahtera (mental wellbeing) yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif,

Universitas Sumatera Utara

sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan
semua segi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar
terbebas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh
semua orang, mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Sumiati dkk, 2009).
Gangguan kesehatan jiwa bukan seperti penyakit lain yang bisa datang
secara tiba-tiba tetapi lebih kearah permasalahan yang terakumulasi dan belum
dapat diadaptasi atau terpecahkan. Dengan demikian akibat pasti atau sebab yang
melatar belakangi timbulnya suatu gangguan. Pengetahuan dan pengalaman yang
cukup dapat membantu seseorang untuk menangkap adanya gejala-gejala tersebut.
Semakin dini kita menemukan adanya gangguan maka akan semakin mudah
penanganannya. Dengan demikian deteksi dini masalah kesehatan jiwa anak usia
sekolah dasar sangat membantu mencegah timbulnya masalah yang lebih berat.
Masalah kesehatan jiwa yang sifatnya ringan dapat dilakukan penanganan di
sekolah oleh guru atau kerjasama antara guru dan orang tua anak karena penyebab
permasalahan dapat berkaitan dengan masalah dalam keluarga yang tidak ingin
dibicarakan oleh orang tua, mungkin pula anak mempunyai masalah dengan
teman (Noviana, 2010).
Lingkup masalah kesehatan jiwa yang dihadapi individu sangat kompleks
sehingga perlu penanganan oleh suatu program kesehatan jiwa yang bersifat
kompleks pula. Masalah-masalah kesehatan jiwa dapat meliputi: 1) perubahan
fungsi jiwa sehingga menimbulkan penderitaan pada individu (distres) dan atau

Universitas Sumatera Utara

hambatan dalam melaksanakan fungsi sosialnya; 2) masalah psikososial yang


diartikan sebagai setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat
psikologis maupun sosial yang memberi pengaruh timbal balik dan dianggap
mempunyai pengaruh cukup besar. Sebagai faktor penyebab timbulnya berbagai
gangguan jiwa.
Psikososial yang dapat berupa masalah perkembangan manusia yang
harmonis, peningkatan kualitas hidup, upaya-upaya kesehatan jiwa diperlukan
untuk mengatasi masalah tersebut yang meliputi upaya primer, sekunder dan
tersier yang ditujukan untuk meningkatkan taraf kesehatan jiwa manusia agar
dapat hidup lebih sehat, harmonis, dan produktif (Dalami, 2010).

2.1.2 Faktor faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa pada Anak Usia
Sekolah
Faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa pada anak usia sekolah
menurut Depkes RI (2001, dalam Noviana, 2010) antara lain:
a. Guru
Perilaku guru menunjukan suatu pengaruh yang besar dan kuat terhadap iklim
atau suasana sekolah, baik sosial maupun emosional. Keberhasilan guru dalam
mengajar

dan

mendidik,

khususnya

dapat

membantu

perkembangan

kepribadian anak.
b. Teman sebaya
Sehari-hari anak bergaul dengan teman sekolah atau teman di luar sekolah.
Orang tua dan guru harus mengetahui kelompok teman bermain anak baik di
sekolah maupun di luar sekolah. Di rumah anak berada dalam dunia dewasa,

Universitas Sumatera Utara

yang penuh dengan norma dan nilai yang harus dipatuhi, sedangkan di luar
rumah anak dalam dunia usia sebaya, yang penuh dengan kebebasan.
c. Kondisi fisik sekolah
Anak tidak akan tenang belajar, apabila sekolah terletak di dekat pasar,
perkampungan yang padat, dekat pabrik, atau disekitar tempat hiburan.
Keadaan semacam ini sangat berpengaruh terhadap perilaku anak.
d. Kurikulum
Kurikulum sekolah merupakan pedoman proses pembelajaran yang sangat
penting. Undang-undang No. 2 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1990 sudah menggariskan jenis dan muatan kurikulum, khususnya
kurikulum nasional yang cukup fleksibel menampung keperluan khusus
setempat dalam bentuk muatan lokal.
e. Proses pembelajaran
Suasana sekolah yang menantang dan merangsang belajar, akan menentukan
iklim sekolah. Hal ini tergantung pada kemampuan guru mengajar, serta tata
tertib

yang

berlaku

di

sekolah.

Sekolah

terasa

nyaman dan menarik, sehingga anak senang berada di sekolah dan guru pun
bergairah dalam mengajar.
f. Keluarga
Keluarga merupakan faktor pembentuk kepribadian anak secara dini yang
pertama dan utama. Orang tua yang bersifat otoriter, tidak sabar, mudah
marah, selalu mengatakan tidak, selalu melarang, sering memukul, akan
sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan kepribadian anak.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Konsep Model Perawatan Kesehatan Jiwa


1. Model Psiko Analisa
Merupakan model yang pertama yang dikemukakan oleh Sigmun
Freud yang meyakini bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa
berhubungan pada perkembangan pada masa anak.
2. Model Interpersonal
Model ini diperkenalkan oleh Hary Stack Sullivan. Sebagai
tambahan mengembangkan teori interpersonal keperawatan. Teori ini
meyakini bahwa perilaku berkembang dari hubungan interpersonal.
3. Model Sosial
Menurut Caplain situasi sosial dapat mencetuskan gangguan
jiwa. Teori ini mengemukakan pandangan sosial terhadap perilaku
bahwa faktor sosial dan lingkungan menciptakan stress yang
menyebabkan ansietas yang akan menimbulkan gejala perilaku
menyimpang.
4. Model Eksistensi
Teori ini mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku terjadi
jika individu putus hubungan dengan dirinya dan lingkungannya.
Keasingan diri dari lingkungan dapat terjadi karena hambatan pada
diri individu. Individu merasa putus asa, sedih, sepi, kurangnya
kesadaran diri yang mencegah partisipasi dan penghargaan pada
hubungan dengan orang lain. Klien sudah kehilangan/tidak mungkin
menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada eksistensinya

Universitas Sumatera Utara

5. Model Komunikasi
Teori ini menyatakan bahwa gangguan perilaku terjadi apabila
pasien tidak dikomunikasikan dengan jelas. Bahasa dapat digunakan
merusak makna, pesan dapat pula tersampaikan mungkin tidak selaras.
Fase komunikasi ada 4 yaitu: pra interaksi, orientasi, kerja, dan
terminasi.
6. Model Perilaku
Dikembangkan oleh H.J Eysenk, J. Wolpe dan B.F Skiner. Teori
ini meyakini bahwa perubahan perilaku akan mengubah kognitif dan
afektif.
7. Model Medical
Penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan sistem
saraf pusat. Dicurigai bahwa depresi dan skizoprenia dipengaruhi oleh
transmisi impuls neural serta gangguan sinap yaitu masalah biokimia.
Faktor sosial dan lingkungan diperhitungkan sebagi faktor pencetus.
8. Model Keperawatan
Teori ini mempunyai pandangan bahwa askep berfokus pada
respon individu terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial
dengan

model

pendekatan

berdasarkan

teori

sistem,

teori

perkembangan, teori interaksi, pendekatan holistik, teori keperawatan


Fokus pada rentang sehat sakit, teori dasar keperawatan, tindakan
keperawatan, dan hasil tindakan (Wahyu dkk, 2009)

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Peran dan Fungsi Perawat Kesehatan Jiwa


Keperawatan kesehatan jiwa merupakan proses interpersonal yang
berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mendukung
pada fungsi yang terintegrasi sehingga sanggup mengembangkan diri secara wajar
dan dapat melakukan fungsinya dengan baik, sanggup menjalankan tugasnya
sehari-hari sebagaimana mestinya.
Dalam upaya mengembangkan pelayanan keperawatan jiwa, perawat
sangat penting, untuk mengetahui dan meyakini akan peran dan fungsinya, serta
memahami beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan asuhan keperawatan
jiwa.
Para perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan
spesifik. Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan kolaborasi.
1. Pelaksana asuhan keperawatan

Perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada

individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat


menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan
konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan
keperawatan kepada individu, keluarga dan komunitas.
Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui
pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis
keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan
keperawatan serta evaluasi terhadap tindakan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

2. Pelaksana pendidikan keperawatan

Perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga

dan komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota
keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap
anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa.
3. Pengelola keperawatan

Perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab

dalam mengelola asuhan keperawatan jiwa.


Dalam melaksanakan perannya ini perawat:
a. Menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola asuhan
keperawatan jiwa
b. Menggunakan berbagai strategi perubahan yang diperlukan dalam
mengelola asuhan keperawatan jiwa
c. Berperan serta dalam aktifitas pengelolaan kasus seperti mengorganisasi,
koordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan serta perbaikan bagi individu
maupun keluarga
d. Mengorganisasi pelaksanaan berbagai terapi modalitas keperawatan
4. Pelaksana penelitian

Perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan

menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk


meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa (Dalami, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.2 Konsep Anak Usia Sekolah


2.2.1 Pengertian Anak Usia Sekolah
Masa usia sekolah sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari
usia enam hingga kira-kira usia duabelas tahun. Karakteristik utama usia sekolah
adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi
dan bidang, diantaranya perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif
dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik (Untario, 2004).
Selanjutnya seorang anak mulai bersekolah dimana ia akan memperoleh
pendidikan secara formal dari guru/pengajar/pendidik. Sekolah adalah tempat
sesudah keluarga dimana anak akan memperoleh pendidikan. Oleh karena itu
sekolah merupakan lembaga yang sangat penting didalam pembentukan
kepribadian anak dan menentukan mutu anak tersebut dikemudian hari.
Menurut Nasution (1993, dalam Djamarah, 2008) masa usia sekolah sebagai
masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira
sebelas atau duabelas tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk
sekolah dasar dan dimulainya sejarah baru dalam kehidupannya yang kelak akan
mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya. Para guru mengenal masa ini sebagai
masa sekolah oleh karena pada usia inilah anak untuk pertama kalinya menerima
pendidikan formal, tetapi bisa juga dikatakan bahwa masa usia sekolah adalah
masa matang untuk belajar maupun masa matang untuk sekolah. Disebut masa
matang untuk belajar karena anak sudah berusaha untuk mencapai sesuatu,
sedangkan disebut masa matang untuk sekolah karena anak sudah menamatkan
taman kanak-kanak, sebagai lembaga persiapan bersekolah yang sebenarnya dan

Universitas Sumatera Utara

anak sudah menginginkan kecakapan-kecakapan baru yang dapat diberikan dari


sekolah.
Masa usia sekolah dianggap oleh Suryabrata (2008) sebagai masa
intelektual atau masa keserasian bersekolah. Tetapi dia tidak berani mengatakan
pada umur berapa tepatnya anak matang untuk masuk sekolah dasar. Kesukaran
penentuan ketepatan umur matang untuk masuk sekolah dasar disebabkan
kematangan itu tidak hanya ditentukan oleh umur semata, tetapi ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhinya seperti yang sudah dibahas sebelumnya.
Defenisi-defenisi yang telah diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, jika
disimpulkan mengatakan bahwa usia sekolah adalah usia yang sangat penting
dalam perjalanan hidup anak, karena usia inilah pertama sekali anak
diperkenalkan dengan dunia pendidikan formal, dimana dalam pendidikan formal
anak sudah dituntut mampu menerapkan intelektualnya. Dalam masa ini juga anak
mengalami pertumbuhan fisik serta perkembangan emosional dan sosial, anak
senang berkumpul dengan teman sebaya untuk melakukan sosialisasi. Rentang
umur usia sekolah antara enam sampai dua belas tahun sesuai dengan pendapat
Nasution (1993, dalam Djamarah, 2008).
Sekolah berperan sebagai agens untuk mentransmisikan nilai-nilai
masyarakat pada setiap generasi selanjutnya dan mengatur berbagai hubungan
dengan teman sebaya. Sebagai agens sosialisasi kedua setelah keluarga, sekolah
memberikan pengaruh besar pada perkembangan sosial anak.
Masuk sekolah menyebabkan terputusnya struktur dunia anak. Bagi
sebagian besar anak, masuk sekolah merupakan pengalaman pertama mereka

Universitas Sumatera Utara

untuk menyesuaikan diri dengan pola kelompok yang dipaksakan oleh orang
dewasa selain orang tua dan yang memiliki tanggung jawab terhadap banyak anak
secara konstan mengawasi anak per individu. Anak ingin pergi ke sekolah dan
biasanya menyesuaikan diri terhadap kondisi yang baru dengan sedikit kesulitan.
Penyesuaian yang berhasil secara langsung berhubungan dengan kematangan fisik
dan emosional anak, dan kesiapan orangtua dalam menerima perpisahan karena
anak sudah masuk sekolah. Selain itu sebagian besar anak telah memiliki
pengalaman dari perawatan sehari-hari, pengalaman prasekolah (mis, playgroup
dan taman kanak-kanak).
Guru dalam hal ini memfasilitasi transisi dari rumah ke sekolah, guru
harus memiliki karakteristik kepribadian yang memungkinkan mereka memenuhi
kebutuhan anak yang lebih kecil. Guru seperti halnya orangtua, memperhatikan
kesejahteraan psikologis dan emosional anak. Walaupun fungsi guru dan orangtua
berbeda, keduanya memberikan batasan perilaku dan keduanya berada pada posisi
untuk menguatkan standar perilaku. Namun, tanggung jawab utama guru adalah
menstimulasi dan membimbing perkembangan intelektual anak, dan bukan
memberikan kesejahteraan fisik anak diluar lingkungan sekolah. Guru bersamasama orangtua memberi pengaruh dalam menentukan sikap dan nilai anak. Guru
yang membuat pernyataan pendukung yang meyakinkan atau memuji anak
menggunakan pernyataan yang dapt diterima dan jelas yang membantu anak
memperhalus ide dan perasaanya, serta memberikan bimbingan yang membantu
anak mecahkan masalahnya sendiri untuk memperluas dan mengembangkan
konsep diri positif pada anak usia sekolah (Wong, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Orangtua

sama-sama

bertanggung

jawab

untuk

membantu

anak

memperoleh petensi maksimalnya. Menanamkan tanggung jawab merupakan


tujuan dari bantuan orangtua. Bertanggung jawab terhadap tugas sekolah
mambantu anak belajar menepati janji, memenuhi tenggang waktu, dan berhasil
dipekerjaannya saat ia menjadi orang dewasa. Istilah latchkey children digunakan
untuk menggambarkan anak usia sekolah dasar yang ditinggalkan untuk merawat
dirinya sendiri sebelum atau sesudah sekolah tanpa pengawasan orang dewasa.
Meningkatnya orangtua tunggal dan ibu bekerja, bersamaan dengan
kurangnya perawatan anak yang memadai, telah menyebabkan kondisi yang
mencetuskan stres pada anak sekolah. Tanpa pengawasan orang dewasa yang
adekuat setelah pulang sekolah menyebabkan anak berisiko tinggi terhadap cedera
dan perilaku yang nakal. Latchkey children lebih merasa kesepian, terisolasi, dan
lebih penakut daripada anak-anak yang memiliki seseorang yang merawat mereka.
Untuk menangani rasa takut dan ansietas ketika sendirian, anak-anak ini dapat
menggunakan strategi seperti bersembunyi, menyalakan televisi dengan suara
keras, atau bermain dengan binatang peliharaan sebagai sesuatu yang membuat
nyaman (Wong, 2008).

2.2.2 Tugas tugas Perkembangan pada Masa Sekolah


a) Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan
Melalui pertumbuhan fisik dan otak, anak belajar dan berlari semakin
stabil, makin mantap dan cepat. Pada masa sekolah anak sudah sampai pada
taraf penguasaan otot, sehingga sudah dapat berbaris, melakukan senam pagi

Universitas Sumatera Utara

dan permainan-permainan ringan, seperti sepak bola, loncat tali, berenang,


dan sebagainya.
b) Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk
biologis
Hakikat tugas ini ialah (1) mengembangkan kebiasaan untuk
memelihara badan, meliputi kebersihan, keselamatan diri, dan kesehatan; (2)
mengembangkan sikap positif terhadap jenis kelaminnya (pria atau wanita)
dan juga menerima dirinya (baik rupa wajahnya maupun postur tubuhnya)
secara positif.
c) Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya
Yakni belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang
baru serta teman-teman sebayanya. Pergaulan anak di sekolah atau teman
sebayanya mungkin diwarnai perasaan senang, karena secara kebetulan
temannya itu berbudi baik, tetapi mungkin juga diwarnai oleh perasaan tidak
senang karena teman sepermainannya suka mengganggu atau nakal.
d) Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya
Apabila anak sudah masuk sekolah, perbedaan jenis kelamin akan
semakin tampak. Dari segi permainan umpamanya akan tampak bahwa anak
laki-laki tidak akan memperbolehkan anak perempuan mengikuti permainnan
khas yang laki-laki, seperti main kelereng, main bola, dan layang-layang.
e) Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung
Salah satu sebab masa usia 6-12 tahun disebut masa sekolah karena
pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohaninya sudah cukup matang

Universitas Sumatera Utara

untuk menerima pengajaran. Untuk dapat hidup dalam masyarakat yang


berbudaya, paling sedikit anak harus tamat sekolah dasar (SD), karena dari
sekolah dasar anak sudah memperoleh keterampilan dasar dalam membaca,
menulis, dan berhitung.
f) Belajar mengembangkan sikap sehari-hari
Apabila kita sudah melihat sesuatu, mendengar, mengecap, mencium,
dan mengalami, tinggallah suatu ingatan pada kita. Ingatan mengenai
pengamatn yang telah lalu itu disebut konsep (tanggapan). Demikianlah kita
mempunyai tanggapan tentang ayah, ibu, rumah, pakaian, buku, sekolah, dan
juga mengenai gerak-gerik yang dilakukan, seperti berbicara, berjalan,
berenang, dan menulis. Bertambahnya pengalaman akan menambah
perbendaharaan konsep pada anak. Tak perlu diuraikan lagi bahwa dalam
kehidupan sangat banyak konsep yang dibutuhkan. Semakin bertambah
pengetahuan, semakin bertambah pula konsep yang diperoleh. Tugas sekolah
yaitu menanamkan konsep-konsep yang jelas dan benar. Konsep-konsep itu
meliputi kaidah-kaidah atau ajaran agama (moral), ilmu pengetahuan, adat
istiadat, dan sebagainya. Untuk mengembangkan tugas perkembangan anak
ini, maka guru dalam mendidik/ mengajar di sekolah sebaiknya memberikan
bimbingan kepada anak untuk:
1. Banyak melihat, mendengar, dan mengalami sebanyak-banyaknya tentang
sesuatu yang bermanfaat untuk peningkatan ilmu dan kehidupan
bermasyarakat.

Universitas Sumatera Utara

2. Banyak membaca buku-buku atau media cetak lainnya. Semakin dipahami


konsep-konsep tersebut, semakin mudah untuk memperbincangkannya dan
semakin mudah pula bagi anak untuk mempergunakannya pada waktu
berpikir.
g) Mengembangkan kata hati
Hakikat tugas ini ialah mengambangkan sikap dan perasaan yang
berhubungan dengan norma-norma agama. Hal ini menyangkut penerimaan
dan penghargaan terhadap peraturan agama (moral) disertai dengan perasaan
senang untuk melakukan tau tidak melakukannya. Tugas perkembangan ini
berhubungan dengan masalah benar-salah, boleh-tidak boleh, seperti jujur itu
baik, bohong itu buruk, dan sebagainya.
h) Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi
Hakikat tugas ini adalah untuk dapat menjadi orang yang berdiri sendiri
dalam arti dapat membuat rencana, berbuat untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang bebas dari pengaruh orangtua dan orang lain.
i) Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembagalembaga
Hakikat tugas ini ialah mengembangkan sikap sosial yang demokratis
dan menghargai hak orang lain. Umpamanya, mengembangkan sikap tolongmenolong, sikap tengggang rasa, mau bekerjasama dengan orang lain,
toleransi terhadap pendapat orang lain dan menghargai hak orang lain (Yusuf,
2006).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Karakteristik Anak Usia Sekolah


Karakteristik pada masa usia sekolah ini dapat diperinci menjadi 2 fase :
1) Masa kelas rendah sekolah dasar (6 - 9 tahun) dengan karakteristik :
a. Adanya korelasi yang tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah.
b. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan.
c. Ada kecenderungan memuji diri sendiri.
d. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain.
e. Jika tidak dapat menyelesaikan sesuatu maka sesuatu tersebut tidak
dianggap penting, misalnya dalam mengerjakan soal, jika soal tersebut
tidak mampu dijawab maka soal itu dianggap tidak penting.
f. Anak menghendaki nilai-nilai (angka rapor, skor) yang baik, tanpa
mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
2) Masa kelas tinggi sekolah dasar (9 - 13 tahun), dengan karakteristik :
a. Adanya perhatian kepada kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
b. Amat realistik, ingin tahu, ingin belajar.
c. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata
pelajaran khusus.
d. Membutuhkan bantuan guru atau orang dewasa lainnnya untuk
menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya.
e. Anak memandang nilai (angka rapor) adalah ukuran yang tepat mengenai
prestasi sekolahnya.
f. Gemar membentuk kelompok-kelompok sebaya, biasanya untuk dapat
bermain bersama dan sering membuat peraturan sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Karakteristik- karakteristik ini diperjelas lagi oleh beberapa teori dari ahli
psikologi, dimana para ahli memandang anak dari beberapa sudut pandang dan
dalam bahasan ini akan peneliti uraikan dari aspek psikososial saja karena
berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

2.2.4 Teori Perkembangan Anak Usia Sekolah


1) Teori Perkembangan Psikososial Erik Erikson.
Menurut Erickson (2000, dalam Keliat, 2006) perkembangan psikososial
anak usia sekolah adalah peningkatan kemampuan anak usia 7-12 tahun dalam
berbagai hal, termasuk interaksi dan prestasi belajar dalam menghasilkan suatu
karya berdasarkan kemampuan diri sendiri. Tantangan psikososial untuk tahuntahun sekolah inilah yang disebut Erikson industry versus inferiority (ketekunan
versus perasaan rendah diri). Anak mulai melihat hubungan antara ketekunan dan
perasaan senang bila sebuah pekerjaan selesai. Kemampuan anak untuk
berpindah-pindah antara dunia rumah, lingkungan tempat tinggal, dan sekolah
serta untuk menguasai hal-hal akademis, kegiatan kelompok dan teman-teman
akan menumbuhkan perasaan kompeten. Kesulitan dalam menghadapi tantangan
ini dapat menghasilkan perasaan rendah diri. Dengan kata lain pencapaian
kemampuan ini akan membuat anak bangga terhadap dirinya. Hambatan atau
kegagalan mencapai kemampuan ini menyebabkan anak merasa rendah diri.
Hubungan dengan teman sebaya sehari-hari memberikan interaksi sosial
paling penting untuk anak usia sekolah. Untuk pertama kalinya, anak mampu
bergabung dalam aktivitas kelompok dengan antusiasme yang tidak terbatas dan

Universitas Sumatera Utara

partisipasi yang mantap. Pengalaman berharga dipelajari dari interaksi sehari-hari


dengan teman sebaya. Pertama, anak belajar menghargai beberapa perbedaan
sudut pandang yang ditunjukkan dalam kelompok teman sebaya. Pada saat anak
berinterakasi dengan teman sebaya yang memandang dunia ini secara berbeda,
anak mulai menyadari bahwa sudut pandang mereka memiliki keterbatasan.
Dampaknya, anak belajar untuk berdebat, membujuk, berunding, bekerjasama,
dan berkompromi untuk mempertahankan persahabatan.
Kedua, anak bertambah sensitif terhadap norma sosial dan tekanan dari
kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya menetapkan standar untuk
menerima dan menolak, dan anak-anak mungkin ingin memodifikasi perilaku
mereka agar dapat diterima kelompok. Kebutuhan untuk diterima teman sebaya
menjadi pengaruh kuat untuk penyesuaian.
Ketiga, interaksi diantara teman sebaya berperan penting dalam
pembentukan hubungan persahabatan dengan teman sesama jenis. Periode usia
sekolah adalah waktu ketika anak memiliki sahabat yaitu teman tempat berbagi
rahasia, lelucon pribadi, dan petualangan; mereka saling membantu jika temannya
menghadapi masalah. (Wong, 2008)
Erickson (2000, dalam Keliat, 2006) mengatakan bahwa anak usia sekolah
tertarik terhadap pencapaian hasil belajar. Mereka mengembangkan rasa percaya
dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik dan relevan. Meskipun
pada usia ini membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan kemampuan
dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan atau
ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya

Universitas Sumatera Utara

sendiri, sehingga dapat mengakibatkan kesulitan belajar pada anak (Untario,


2004).
Tugas perkembangan pada usia sekolah ini menurut Erickson adalah
menyelesaikan tugas (sekolah atau rumah) yang diberikan, mempunyai rasa
bersaing, senang berkelompok dengan teman sebaya, mempunyai sahabat karib,
dan berperan dalam kegiatan kelompok. Sedangkan penyimpangan perkembangan
pada anak usia sekolah tidak mau mengerjakan tugas sekolah atau membangkang
pada orangtua, tidak ada kemauan untuk bersaing, terkesan malas, tidak mau
terlibat dalam kegiatan kelompok dan memisahkan diri dari sekolah dan temanteman sepermainan Nasution (1993, dalam Djamarah, 2008).
Menurut Paris dan Cunningham (1996, dalam Woolfolk, 2009), cara anak
menghadapi tantangan-tantangan ini memiliki implikasi pada pengalaman sekolah
selanjutnya. Dua diantara prediktor terbaik untuk drop out dari sekolah adalah
rata-rata nilai yang rendah di kelas 3 dan pernah tinggal kelas di SD. Kemudian
Entwisle dan Alexander (1998, dalam Woolfolk, 2009) mengemukakan Seberapa
sukses anak di Sekolah Dasar penting bagi kesuksesan mereka di masa depan
dibanding prestasi sekolah di waktu-waktu lainnya. Oleh karena itu, anak usia
sekolah harus lebih diperhatikan sehingga pada masa dewasa anak tidak
mengalami hambatan dalam prestasi dan sosialisasi.

2) Teori Perkembangan Kognitif Piaget.


Piaget

(1985,

dalam

Woolfolk,

2009)

mengidentifikasi

tahapan

perkembangan intelektual yang dilalui anak pada usia sekolah adalah tahap

Universitas Sumatera Utara

operasional kongkrit. Pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih
sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berpikir logis,
tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit dan mampu melakukan penilaian
terhadap sesuatu hal yang kongkrit, atau dengan kata lain prinsip bahwa jumlah
atau banyaknya sesuatu tetap sama meskipun penataan atau penampilannya
diubah, selama tidak ada yang ditambahkan atau diambil. Operasi penting lain
yang dikuasai pada tahap ini adalah pengelompokan. Pengelompokan bergantung
pada kemampuan anak untuk memfokuskan perhatiannya pada salah satu
karakteristik objek diantara sejumlah karakteristik (misalnya,warna) yang ada dan
mengelompokkan objek-objek menurut karakteristik itu. Anak pada tahap ini juga
memiliki kemampuan mengurutkan, artinya membuat anak mampu melakukan
penataan urut mulai dari besar sampai kecil atau sebaliknya. Pemahaman tentang
ini memungkinkan anak untuk mengonstruksikan rangkaian-rangkaian logis yang
A < B < C (A lebih kecil daripada B lebih kecil daripada C).
Kemampuan yang dimiliki anak untuk menangani operasi-operasi seperti
penilaian, pengelompokan dan pengurutan pada tahap operasional kongkrit dapat
mengembangkan sistem berpikir yang lengkap dan sangat logis. Akan tetapi
sistem berpikir ini masih dikaitkan dengan realitas fisik. Logikanya didasarkan
pada situasi-situasi kongkrit yang dapat diorganisasikan, dikelompokkan atau
dimanipulasi.
Perkembangan afektif utama selama tahap operasional kongkrit adalah
penilaian perasaan. Perkembangan tersebut merupakan peningkatan cara berpikir
efektif. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penyusunan konsep pada anak

Universitas Sumatera Utara

muncul dari suatu penilaian terhadap kondisi yang memungkinkan anak untuk
meyakini bahwa motif akan mampu membuat keputusan moral.
Bertitik tolak pada perkembangan psikososial dan kognitif anak usia
sekolah tersebut, menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri,
dimana proses berpikirnya belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau halhal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah masih
berpijak pada prinsip yang sama dimana mereka tidak dapat dipisahkan dari halhal yang diamati. Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar
mereka tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, karena mereka sudah
diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di lingkungan masyarakat.
Seperti dikatakan Darmodjo (1992, dalam Djamarah, 2008) anak usia
sekolah adalah anak yang sedang mengalami pertumbuhan baik pertumbuhan
intelektual,

emosional

maupun

pertumbuhan

fisik,

dimana

kecepatan

pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga


terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari tiga aspek tersebut. Dengan
perbedaan karakteristik tersebut diharapkan praktisi pendidikan dapat mengemas
perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada anak didik
sehingga semua anak dapat memahami materi pelajaran walaupun adanya
perbedaan tersebut, karena tidak dapat dipungkiri perkembangan anak
berhubungan erat dengan proses belajarnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai