Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan
orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat
atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Alergi disebabkan oleh produksi antibodi berjenis IgE.

I.2 Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat dari penulisan referat ini adalah :
1.
Agar mahasiswa mengetahui macam-macam parasit penyebab
2.

kelainan pada sistem pencernaan dan hepatobilier


Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai syarat mengikuti
ujian akhir blok.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kulit


Lapisan kulit pada dasamya sarna di semua bagian tubuh, kecuali di telapak
tangan, telapak kaki, dan bibir. Tebalnya bervariasi dari 0,5 mm di kelopak mata
sarnpai 4 mm di telapak kaki.
Telapak tangan dan telapak kaki mempunyai kulit yang lebih tebal daripada
bagian tubuh yang lain. Ketebalan ini disebabkan oleh lebih tebalnya lapisan
corniumdi temp at itu. Hal itu penting karena kulit di bagian tubuh ini lebih sering
mengalami gesekan dibanding bagian tubuh yang lain. Walaupun demikian, jika
diperhatikan ketebalan kulit ini tidak menjadikan kulit di tempat itu kurang peka
terhadap rangsangan.
Kulit jari lebih peka terhadap rabaan dibandingkan kulitlengan, karena pada
kulit jari ditemukan lebih banyak ujungsaraf peraba per milimeter persegi. Selain
itu, jarak antara ujung-ujung saraf itu lebih ked!. ltu pula sebabnya jari dapat
menilaibentuk dan ukuran dari benda yang dipegang. Di pihak lain,kulit telapak
kaki mempunyai saraf perasa tekanan atau beratyang lebih baik daripada bagian
kulit yang lain.Kulit sekitar alat kelamin biasanya mengalami pigmentasisesudah
pubertas sehingga tampak lebih gelap. Kulit sekitar anusjuga sering berwarna
gelap.
Kulit terdiri dari dua lapisan, yaitu epidermis dan dermis. Epidermis, yang
merupakan lapisan terluar, dan aksesoris-aksesorisnya (rambut, kuku, kelenjar
sebasea, dan kelenjar keringat) berasal dari lapisan ektoderm embrio. Dermis
berasal dari mesoderm. (Robin, 2005).
a. Epidermis
Epidermis merupakan epitel gepeng (skuamosa) berlapis, dengan
beberapa lapisan yang terlihat jelas. Jenis sel yang utama disebut
keratinosit. Keratinosit , yang merupakan hasil pembelahan sel pada
lapisan epidermis yang paling dalam stratum basale (lapisan basal),
tumbuh terus ke arah permukaan kulit, dan sewaktu bergerak ke atas
keratinosit mengalami proses yang disebut diferensiasi terminal untuk
membentuk sel-sel lapisan permukaan (stratum korneum). Komponenkomponen kerangka dari semua sel tersebut disebut filamen
intermediat, yang didalam sel-sel epitel tersusun dari sekelompok

protein berserabut yang disebut keratin, masing-masing dihasilkan oleh


gen yang berlainan. Adanya mutasi pada gen-gen tersebut dapat
menyebabkan penyakit kulit tertentu. Selama diferensiasi, filamenfilamen keratin pada korneosit beragregasi di bawah pengaruh filaggrin.
Proses agregasi itu disebut keratinasi, dan berkas-berkas filamen
membentuk suatu jaringgan intraseluler kompleks yang ternbenam dalam
matriks protein amorf yang merupakan derivat dari granula-granula
keratohialin pada stratum granulosum (lapisan granular). (Robin, 2005).
Suatu sel dari stratum basale (lapisan basal) membutuhkan waktu
kurang lebih 810 minggu untuk mencapai permukaan epidermis
(epidermal transit time), dan sel-sel yang hilang dari permukaan sama
banyaknya dengan sel-sel yang diproduksi pada stratum basale sehingga
ketebalan epidermis selalu tetap. Keseimbangan ini dipertahankan oleh
stimulator-stimulator

dan

inhibitor-inhibitor

pertumbuhan

seperti

epidermal growth factor (EGF) beta. Sel-sel pada permukaan kulit dan
transforming growth factor alfa dan beta. Sel-sel pada permukaan kulit
(skuamosa atau korneosit) yang membentuk stratum korneum, adalah selsel mati secara bertahap terkikis oleh kerusakan yang terjadi setiap hari.
(Robin, 2005).
Diatas stratum basale terdapat stratum spinosum atau lapisan sel
prikel (runcing) berasal dari gambaran seperti paku yang dihasilkan oleh
jembatan-jembatan interseluler (desmosom) yang menghubungkan sel-sel
yang berdekatan . Sel-sel langerhans tersebar di stratum spinosum. Selsel dendrit ini kemungkinan merupakan modifikasi dari makrofag, yang
berasal dari sumsum tulang dan bermigrasi ke epidermis. Sel-sel ini
merupakan pertahanan imunologis garis terdepan dalam melawan antigen
dari luar dan berperan dalam penangkapan dan penyajian antigen tersebut
kepada limfosit-limfosit yang imunokompeten, sehingga respons imun
dapat ditingkatkan. (Robin, 2005).
Diatas stratum spinosum adalah stratum granulosum, yang terdiri
dari sel-sel pipih dan mengandung banyak partikel berwarna gelap yang
disebut granula keratohialin. Dalam sitoplasma sel pada pada stratum
granulosum juga terdapat organel yang disebut granula lamelar (Odland

body). Organel ini mengandung lemak dan enzim, yang kemudian


dilepaskan ke dala ruang interseluler di antara sel-sel stratum granulosum
dan stratum korneum dan berfungsi sebagai pertahanan bagi epidermis.
(Robin, 2005).
Sel-sel pada stratum korneum merupakan sel-sel

gepeng yang

mengalami keratinisasi, tanpa inti sel dan organel-organel sitoplsama.


Sel-sel yang berdekatan saling tumpang-tindih pada bagian tepi, saling
mengunci, dan bersama-sama dengan lemak interseluler membentuk
pertahanan yang sangat efektif. Ketebalan stratum korneum bervariasi
tergantung letaknya pada tubuh. Yang paling tebal adalah pada telapak
tangan dan telapak kaki. (Robin, 2005).
Kelengkapan (aksesori) epidermis :
1) Kelenjar keringat ekrin
Kelenjar keringat ekrin penting dalam pengaturan
suhu tubuh. Manusia mempunyai dua sampai tiga
jutkelenjar keringat ekrin yang menutupi hampir seluruh
permukaan tubuh. Kelenjar ini terutama banyak terdapat
pada telapak tangan dan telapak kaki.
2) Kelenjar keringat apokrin
Kelenjar keringat apokrin terutama banyak ditemukan
di daerah aksila dan anogenital. Yang merupakan kelenjar
apokrin khusus adalah wax gland (kelenjar llin) di telinga dan
kelenjar susu pada payudara. Kelenjar apokrin menghasilkan
sekret berminyak yang mengandung proten, karbohidrat,
amonia, dan lemak. Kelenjar ini menjadi aktif pada saat
pubertas, dan sekresinya di kontrol serabut saraf adrenergik.
Bau

badan

yang

menyengat

dari

ketiak

(axilary

bromhidrosis) timbul karena adanya bakteri pada sekret


apokrin.
3) Rambut
Rambut yumbuh dari invaginasi tubular pada
epidermis yang disebut folikel, dan folikel rambut beserta
kelenjar sebasea disebut sebagai unit pilosebasea.
4) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea terdapat di setiap tempat pada kulit
mulai dari tangan sampai kaki. Tempat yang memiliki

jumlah kelenjar sebasea yang banyak dan menonjol adalah


kepala, leher, dada, dan punggung. Kelenjar sebasea
merupakan bagian dari unit pilosebasea, dan produksinya
yang kaya lemak mengalir melalui duktus masuk ke dalam
folikel rambut. Kelenjar sebasea terdapat dalam jumlah
banyak sewaktu bayi lahir, karena pengaruh hormon dari
ibunya , tetapi kemudian segera mengalami atrofi, dan
tidak membesar lagi sampai pubertas. Pembesaran
kelenjar pada masa pubertas dirangsang oleh hormon
androgen.
5) Kuku
Kuku merupakan lempengan keratin transparan yang
berasal dari invaginasi epidermis

pada dorsum falang

terakhir dari jari. Lempengan kuku merupakan hasil


pembelahan sel di dalam matriks kuku, yang tertanam
dalam pada lipatan kuku bagian proksimal, tetapi yang
tampak hanya sebagian yang berbentuk seperti bulan
separuh (lunula) berwarna pucat pada bagian bawah kuku.
Lempengan kuku melekat erat pada dasar kuku (nail bed)
di bawahnya. Kutikula merupakan perluasan stratum
korneaum pada lipatan kuku proksimal ke atas lempengan
kuku. Hal ini membentuk semacam pengaman di antara
lempengan kuku dan lipatan kuku proksimal, untuk
mencegah penetrasi benda-benda dari luar.
b. Dermis
Dermis adalah lapisan jaringan ikat yang terletak di bawah
epidermis, dan merupakan bagian terbesar dari kulit. Dermis dan
epidermis saling mengikat melalui penonjolan-penonjolan epidermis ke
bawah (rete ridge) dan penonjolan-penonjolan dermis ke atas (dermal
papillae). Gambaran utama dari dermis berupa anyaman serat-serat yang
saling mengikat, yang sebagian besar merupakan serabut kolagen, tetapi
sebagian lagi merupakan serat elastin. Serat-serat inilah yang membuat
dermis sangat kuat dan elastis. Serat-serat kolagen dan elastin yang

merupakan protein, terbenam pada substansi dasar yang terdiri dari


mukopolisakarida (glikosaminoglikan). (Robin, 2005).
Elemen selular utama dermis adalah fibroblas, sel mast, dan
makrofag. Fibroblas membentuk matriks jaringan ikat pada dermis, dan
biasanya ditemukan berdekatan sekali dengan serat-serat kolagen dan
elastin. Sel mast merupakan sel penghasil sekret yang khusus dan
terdapat diseluruh dermis, tetapi lebih banyak terdapat di sekitar
pembuluh darah dan aksesori dermis. Dermis juga banyak mengandung
pembuluh darah, limfe, daraf, dan reseptor sensoris. (Robin, 2005).
Di bawah dermis terdapat sebuah lapisan lemak subkutan yang
memisahkan kult dengan fascia dan otot yang ada di bawahnya. (Robin,
2005).

Kulit mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai berikut :


a) Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi
Gambar
1. Struktur
Kulit
jaringan-jaringan tubuh
di sebelah
dalam dan
melindungi tubuh dari
pengaruh-pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman. Lapisan paling
luar dari kulit ari diselubungi dengan lapisan tipis lemak, yang menjadikan
kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan luka-luka kecil,
mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh serta menghalau
rangsang-rangsang fisik seperti sinar ultraviolet dari matahari.
b) Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, dan
getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf
sensasi.
c) Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi
pembuluh kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf

otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap kira-kira 98,6F atau
sekitar 36,50C. Ketika terjadi perubahan

pada suhu luar, darah dan

kelenjar keringat kulit mengadakan penyesuaian seperlunya dalam


fungsinya masing-masing. Pengatur panas adalah salah satu fungsi kulit
sebagai organ antara tubuh dan lingkungan. Panas akan hilang dengan
penguapan keringat.
d) Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjarkelenjar keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan
membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang dikeluarkan
melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui
penguapan air transepidermis sebagai pembentukan keringat yang tidak
disadari.
e) Penyimpanan
Kulit dapat menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f) Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut
dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada
krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit
pada tingkatan yang sangat tipis. Penyerapan terjadi melalui muara
kandung rambut dan masuk ke dalam saluran kelenjar palit, merembes
melalui dinding pembuluh darah ke dalam peredaran darah kemudian ke
berbagai organ tubuh lainnya.
g) Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang
tampak halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan.
h) Fungsi lain dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi seseorang
seperti kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot penegak rambut.
2.2 Dermatitis Seboroik
a. Definisi
Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik pada kulit yang
biasanya menyerang kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, telinga dan anterior
dada. (Price, 2006).
b. Epidemiologi

Prevalensi dermatitis seboroik sebanyak 1% - 5% populasi. Lebih sering


terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ini dapat mengenai bayi sampai
dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada usia 3 bulan sedangkan
pada dewasa pada usia 30-60 tahun. (Schwartz, 2006).
Dermatitis seboroik sering terjadi pada masa kanak-kanak. Berdasarkan
hasil suatu survey terhadap 1.116 anak-anak yang mencakup semua umur
didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan
9,5% pada anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan,
semakin bertambah umur anak maka prevalensinya semakin berkurang.
Sebagian besar anak-anak ini menderita dermatitis seboroik ringan.
(Schwartz,2006).
c. Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai
macam faktor seperti faktor hormonal, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor
neurogenik diduga berhubungan dengan kondisi ini. (Schwartz, 2006).
Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan mengapa kondisi ini dapat
mengenai bayi, menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah
pubertas. (Schwartz, 2006). Pada bayi dijumpai kadar hormon transplansenta
meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar
hormon ini menurun. (Harahap, 2000).
Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan
dengan proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora
normal. (Schwartz, 2006).
Ragi genus ini dominan dan ditemukan pada daerah tubuh yang
mengandung banyak lipid sebasea (misalnya kepala, tubuh, punggung).
Malassezia tidak menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu
kofaktor yang berkaitan dengan depresi sel T, meningkatkan kadar serum dan
aktivasi komplemen. (Selden, 2005).
Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi
tetapi belum ada yang menyatakan alasan mengapa hal ini bisa terjadi. (Schwartz,
2006).
Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (misal pada Parkinson, cranial
nerve palsies, major truncal paralyses) juga cenderung berkembang dermatitis
seboroik luas dan sukar disembuhkan. Menurut Johnson (2000) terjadinya
dermatitis seboroik pada penderita tersebut sebagai akibat peningkatan timbunan

sebum yang disebabkan kurang pergerakan. Peningkatan sebum dapat menjadi


tempat

berkembangnya

P.

ovale

sehingga

menginduksi

dermatitis

seboroik. (Johnson, 2000).


Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi
tertentu, seperti penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik.
Meskipun dermatitis seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi
pada penderita AIDS dapat mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS
memacu onset dermatitis seboroik (ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit
lainnya) belum diketahui. (Johnson, 2000).
Belakangan ini Pityrosporum ovale dianggap berperan dalam patogenesis
dermatitis seboroik ini. (Price, 2006)
Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seborok. Obatobat tersebut adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine,
cimetidin, ethionamide, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium,
methoxsalen, methyldopa, phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, and
trioxsalen. (Selden, 2005).
d. Klasifikasi
Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang
mengandung kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya
simetris dan biasanya melibatkan daerah berambut pada kepala meliputi kulit
kepala, alis mata, kumis dan jenggot. Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada
dahi, lipatan nasolabial, kanalis auditoris external dan daerah belakang telinga.
Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat mengenai daerah presternal dan
lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan anogenital.
(Johnson, 2000).
1) Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Pada remaja dan dewasa
Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai
skuama berminyak ringan pada kulit kepala dengan eritema dan skuama
pada lipatan nasolabial atau pada belakang telinga. Skuama muncul pada
kulit yang berminyak di daerah dengan peningkatan kelenjar sebasea
(misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra
mamae), kadang-kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe
dermatitis seboroik dapat ditemukan di dada yaitu tipe petaloid (lebih

10

umum ) dan tipe pityriasiform (jarang). Bentuknya awalnya kecil, papulpapul follikular dan perifollikular coklat kemerah-merahan dengan
skuama berminyak. Papul tersebut menjadi patch yang menyerupai
bentuk daun bunga atau seperti medali (medallion seborrheic
dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya berbentuk makula dan patch
yang menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang menjadi
erupsi. (Schwartz, 2006).
Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya
sebagai scalp scaling (ketombe) atau eritema ringan pada lipatan
nasolabial pada saat stres atau kekurangan tidur. (Schwartz, 2006).

b.

Pada bayi
Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal,

berminyak pada verteks kulit kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak
Gambar 2. Dermatitis Seboroik dewasa: dada atas

menyebabkan gatal pada bayi sebagaimana pada anak-anak atau dewasa.


Pada umumnya tidak terdapat dermatitis akut (dengan dicirikan oleh
oozing dan weeping). Skuama dapat bervariasi warnanya, putih atau
kuning. Gejala klinik pada bayi dan berkembang pada minggu ke tiga atau
ke empat setelah kelahiran. Dermatitis dapat menjadi general. Lipatanlipatan dapat sering terlibat disertai dengan eksudat seperti keju yang
bermanifestasi sebagai diaper dermatitis yang dapat menjadi general.
Dermatitis seboroik general pada bayi dan anak-anak tidak umum terjadi,
dan biasanya berhubungan dengan defisiensi sistem imun. Anak dengan
defisiensi sistem imun yang menderita dermatitis seboroik general sering
disertai dengan diare dan failure to thrive (Leiners disese). Sehingga

11

apabila bayi menunjukkan gejala tersebut harus dievaluasi sistem


imunnya. (Schwartz, 2006).

2) Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:


a. Seboroik kepala
Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dec.ngan warna

ambar 3. Dermatitis Seboroik


infantil : a) erupsi
luas yangmengenai
daerah popok
lipatan. b) mengenai kuli
kekuning-kuningan
sehingga
rambut saling melengket;
kadang-kadang

dijumpai krusta yang disebut Pitriasis Oleosa (Pityriasis steatoides).


Kadang-kadang skuamanya kering dan berlapis-lapis dan sering lepas
sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe). (Harahap, 2000)
Pasien mengeluhkan gatal di kulit kepala disertai dengan ketombe.
Pasien berpikir bahwa gejala-gejala itu timbul dari kulit kepala yang kering
kemudian pasien menurunkan frekuensi pemakaian shampo, sehingga
menyebabkan akumulasi lebih lanjut. Inflamasi akhirnya terjadi dan
kemudian gejala makin memburuk. (Johnson, 2000).
Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga
terjadi alopesia dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga.
Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi, disebut Korona seboroik.
Dermatitis seboroik yang terjadi pada kepala bayi disebut Cradle cap.
(Harahap, 2000).
Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga
sensasi terbakar pada wajah yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi
nyata pada orang dengan kumis atau jenggot, dan menghilang ketika kumis
dan jenggotnya dihilangkan. Jika dibiarkan tidak diterapi akan menjadi
tebal, kuning dan berminyak, kadang-kadang dapat terjadi infeksi bakterial.
b.

(Johnson, 2000).
Seboroik muka

12

Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain


terdapat makula eritem, yang diatasnya dijumpai skuama berminyak
berwarna kekuning-kuningan. Bila sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis.
Sering dijumpai pada wanita. Bisa didapati di daerah berambut, seperti dagu
dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering dijumpai pada lakilaki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah
jenggot disebut sikosis barbe. (Harahap, 2000).

c. Seboroik badan
Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama,
umbilicus, krural (lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk
makula
eritema
yang pada
permukaannya
adakhas
skuama
berminyak
Gambar 4.
Dermatitis
Seboroik
: eritema
dan skuama
di lipatan
nasolabial
berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa berbentuk
seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di daerah intertrigo,
kadang-kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder.
(Harahap, 2000).

Gambar 5. Dermatitis Seboroik di daerah abdomen

Gambar 6. Dermatitis Seboroik : lesi parah di lipat paha

13

e.

Diagnosis
1. Anamnesis
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah
ketombe/ dandruft. Walaupun demikian, masih terdapat kontroversi para
ahli. Sebagian mengganggap dandruft adalah bentuk dermatitis seboroik
ringan tetapi sebagian berpendapat lain. (Ardhie, 2004).
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang
berbatas relatif tegas. Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai
berminyak kekuningan, umumnya tidak disertai rasa gatal. Kulit kepala
tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal, krusta keras.
Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke
kulit dahi, belakang leher dan belakang telinga. (Selden, 2005).
Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti
kulit kepala, dahi, alis lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga.
Perluasan ke daerah submental dapat terjadi. (Selden, 2005).
3. Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik.
Dapat ditemukan hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan
paraketatosis. (Selden, 2005).
Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan
penyakit sejenis. Pada dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam
skuama krusta pada sisi ostia follicular. AIDS berkaitan dengan
dermatitis seboroik tampak sebagai parakeratosis, nekrotik keratinosites

14

dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis. Ragi kadang tampak
dalam keratinosites dengan pengecatan khusus. (Schwartz, 2006).
f.

Diagnosis Banding
1. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik pada dewasa tampak pada fossa antecutabital dan
poplitae. (Schwartz, 2006).
Bayi dapat menderita dermatitis atopik predileksi terutama pada
bagian tubuh tertentu (misalnya kulit kepala, wajah, daerah sekitar
popok, permukaan otot ekstensor) menyerupai dermatitis seboroik. Akan
tetapi dermatitis seboroik pada bayi memiliki ciri-ciri axillary patches,
kurang oozing dan weeping dan kurang gatal. Membedakannnya
berdasarkan gejala klinis karena kenaikan kadar immunoglobulin E pada
dermatitis atopik tidak spesifik.
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan histologis kandidiasis menghasilkan pseudohipa.
(Schwartz, 2006).
3. Langernhan cell histiocytosis
Bayi jarang menderita Langenhan cell histiocytosis. Langenhan
cell histiocytosis cirinya seborrheic dermatitis-like eruptions pada kulit
kepala disertai demam. (Schwartz, 2006).
4. Psoriasis
Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapislapis, putih seperti mutiara dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang
khusus untuk psoriasis. (Harahap, 2000).
Tanda lain dari psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal
dapat untuk membantu membedakan. (Schwartz, 2006).
5. Pitiriasis rosasea
Pitiriaris rosasea dapat terjadi eritem pada wajah menyerupai
dermatitis seboroik. Meskipun rosasea cenderung melibatkan daerah
sentral wajah tetapi dapat juga hanya pada dahi. (Schwartz, 2006).
Pada pitiriasis rosea, skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu
panjang lesi sejajar dengan garis kulit. (Harahap, 2000).
6. Tinea
Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai
kerion. Pada tinia kapitis dan tine kruris eritem lebih menonjuo di
pinggir dan pinggirnya lebih aktif dibandingkan tengahnya. (Harahap,
2000).

15

Tinea capitis, facei dan korporis dapat ditemukan hipa pada


pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida. (Schwartz, 2006).
g.

Penatalaksanaan
Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi

(immunomodulatory), keratolitik, anti jamur dan pengobatan alternatif. (Schwartz,


2006).
1. Obat anti inflamasi (immunomodulatory)
Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada
kulit kepala dengan steroid topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi
tersebut pemberiannya dapat berupa shampo seperti fluocinolon
(Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan pada kulit
kepala atau krim pada kulit. (Schwartz, 2006).
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh
korteks adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah
berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid
secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi,
efek anti inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi
akan mengakibatkan berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi
yang terutama terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai
dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi seperti dermatitis.
Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid
bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel. (Ardhie, 2004).
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan
steroid topikal satu atau dua kali sehari, sering diberikan sebagai
tambahan ke shampo. Steroid topikal potensi rendah efektif untuk
terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah lipatan atau
dewasa pada persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole
dapat dikombinasikan dengan regimen desonide (dosis tunggal perhari
selama dua minggu). (Schwartz, 2006). Akan tetapi penggunaan
kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping pada kulit dimana
dapat terjadi atrofi, teleangiectasi dan dermatitis perioral. (Gupta,
2004).
Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus
(Protopix), krim pimecrolimus (Elidel) memiliki efek fungisidal dan

16

anti inflamasi tanpa resiko atropi kutaneus. Inhibittor calcineurin juga


baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat, tetapi efeknya baru
bisa dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu. (Schwartz,
2006).
2. Keratolitik
Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan
keratolitik. Keratolitik yang secara luas dipakai untuk dermatitis
seboroik adalah tar, asam salisiklik dan shampo zinc pyrithion. Zinc
pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti fungi, dapat
diberikan dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan
rambutnya dengan shampo tersebut selama lima menit agar shampo
mencapai kulit kepala. Pasien dapat menggunakannya juga untuk
tempat lain yang terkena seperti wajah. (Schwartz, 2006).
3. Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan
dengan dermatitis seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol
(Nizoral) dalam dua minggu, satu kali sehari regimen desonide
(Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada wajah.
Shampo yang mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat
dipakai. Shampo tersebut dapat diberikan dua sampai tiga kali
seminggu. Ketokonazole (krim atau gel foaming) dan terbinfin
(Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal lainnya seperti
ciclopirox (Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti
inflamasi juga. (Schwartz, 2006).
Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium
sulfasetamid dan topical terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh
ragi lipopilik. (Johnson, 2000).
4. Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca
oil) merupakan minyak essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini
efektif dan ditoleransi dengan baik jika digunakan setiap hari sebagai
shampo 5%.(Schwartz, 2006).
1.

h.
Penatalaksanaan dermatitis seboroik berdasarkan daerah tubuh yang terkena
Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot.

17

Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi


secara efektif dengan memakai shampo tiap hari atau berselang satu
hari dengan shampo anti ketombe yang mengandung 2,5 % selenium
sulfide atau 1-2 % pyrithione zinc.
Alternatif lain shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo
sebaiknya mengenai kulit kepala dan daerah jenggot selama 5 sampai
10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat dipakai setelah
itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat
dikendalikan frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua
kali seminggu atau seperlunya. Solusio topical terbinafin 1 % efektif
untuk terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala. (Johnson, 2000).
Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama
dapat dihilangkan dengan memberikan minyak mineral hangat atau
minyak zaitun pada kulit kepala dan dibersihkan dengan deterjen
seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam setelahnya.
(Johnson, 2000).
Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan
moistening kulit kepala dan kemudian memberikan fluocinolone
asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari diikuti dengan shampo
pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan peradangan
bersih, kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga
kali seminggu. Solusio kortikostreroid, losion atau ointment dipakai
satu atau dua kali sehari di tempat fluocinolon acetonid dan dihentikan
pada saat gatal dan eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat
diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan eritemanya hilang
dan kemudian dipakai lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan
shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien dianjurkan agar
memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang
berlebihan

dapat

menyebabkan

atrofi

dan

telangiectasi

pada

kulit. (Johnson, 2000).


Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut cradle cap.
Dapat mengenai kulit kepala, wajah dan intertrigo. Daerah yang
terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat sembuh secara spontan 6-12
bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas. Terapinya dapat

18

dengan memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah


luas pada kepala, skuama dapat dilembutkan dengan minyak yang
disikan ke sikat rambut bayi kemudian dibilas. (Johnson, 2000).
2. Penatalaksanaan pada wajah
Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan
shampo yang efektif untuk seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream
ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali. Hidrokortison 1% sering kali
diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi eritema dan
gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen
topikal untuk dermatitis seboroik. (Johnson, 2000).
3. Penatalaksaan pada tubuh
Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu
bara atau dengan dicuci dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai
tambahan dapat dipakai krim ketokonazole 2 % dan atau krim
kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 1-2 kali sehari.
Benzoil peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh.
Pasien harus membilas secara menyeluruh setelah pemakaian zat
tersebut. (Johnson, 2000).
4. Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat
Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif
dengan terapi topikal yang biasa dapat di terapi dengan isotretionoin.
Isotretinoin dapat menginduksi pengecilan glandula sebasea sampai
dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum. Isotretinoin juga
dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1
0,3 mg/ kg BB/ hari dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya.
Kemudian dosis pemeliharaan 5-10 mg/ hari efektif untuk beberapa
tahun. Akan tetapi isotretinoin memiliki efek samping serius, yaitu
teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan hepatitis. Efek
samping mukokutaneus mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis,
uretritis dan kehilangan rambut. Penggunaan jangka panjang
berhubungan dengan perkembangan diffuse idiopathic skeletal
hyperostosis (DISH). (Johnson, 2000).
Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai
macam kombinasi yang berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai:
shampo anti ketombe, anti jamur dan steroid topikal. Jika ini gagal

19

dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek . Pilihan terapinya


mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate
(Elocon) atau menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid
topikal kelas II seperti clobetasol propionate (Temovate) atau
fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai lebih
dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I. Obat
tersebut dapat diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk
wajah, tetapi harus dihentikan setelah dua minggu sebab terjadinya
peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua minggu,
obat harus di stop sesegera mungkin. Sebagian besar kortikosteroid
tersedia sebagai solusio, losion, kream dan ointment. Penggunaan
vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan kream
sering digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan
ounment sering digunakan pada kulit kepala. Umumnya pemakaian
solusio kulit kepala lebih dipilih pada orang kulit putih dan asia, untuk
orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment merupakan pilihan
yang lebih baik. (Johnson, 2000).
i.

Prognosis
Pada sebagian kasus yang mempunyai factor konstitusi penyakit ini
agak sukar disembuhkan. (Djuanda, 1999).

2.2. Pruritis
a. Definisi
Pruritus adalah hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf
berupa sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk
menggaruk. Bila gradasi berubah, maka mungkin tidak akan timbul
pruritus, tetapi rasa nyeri. Sensitivitas pruritus bervariasi bargantung pada
perbedaan perseorangan dan regio yang terkena. Garukan memperingan
rasa gatal, karena mengubah ritme impuls aferen pada korpus spinalis.
(Djuanda, 2010)
b. Etiologi
Pruritus dapat disebabkan oleh faktor eksogen atau endogen :

20

1) Faktor eksogen : misalnya dermatitis, kontak (pakaian, logam, benda


asing), rangsangan oleh ektoparasit (serangga, tungau skabies, pedikulus,
larva migran), atau faktor lingkungan yang membuat kulit lembab atau
kering.
2) Faktor endogen : misalnya reaksi obat atau penyakit. Sebagai contoh dapat
disebut diskriasia darah, limfoma, keganasan alat dalam, dan kelainan
hepar atau ginjal. (Djuanda, 2010)
c. Faktor resiko
1) Kehamilan
Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen dan kadang-kadang
ada hubungannya dengan kolestais (obstruksi dan statis didalam saluran
empedu). Pruritus terutama terjadi pada trimester terakhir kehamilan,
mulai pada abdomen atau badan, kemudian menjadi generalisata. Ada
kalanya pruritus disertai anoreksia, nausea atau muntah. Obyektif terlihat
ekskoriasi karena garukan. Pruritus akan hilang sesudah penderita
melahirkan, tetapi rsidif pada kehamilan berikutnya. (Djuanda, 2010)
Ikterus kolestatik timbul setelah penderita mengalami pruritus 2-4
minggu. Ikterus dan pruritus disebabkan oleh karena terdapat garam
empedu di dalam kulit. (Djuanda, 2010)
2) Senilitas
Kulit senil yang kering dan mudah menderita fisur (chapped skin)
mudah menjadi pruritus. Pruritus dapat terjadi dengan atau tanpa reaksi
inflamatorik. Rasa gatal terjadi karena stimulasi yang amat ringan, seperti
gosokan dengan pakaian atau perubahan suhu disekitar penderita.
Lokalisasi tersering ialah daerah genital eksterna, perineal dan perianal.
(Djuanda, 2010)
Selain pruritus senilis sine materia pada orang tua ada pula pruritus
yang

merupakan

permulaan

dermatitis

eksfoliativa

generalisata

(eritoderma). Kadang-kadang terdapat genesis dermatitis serobik atau


psoriasis. (Djuanda, 2010)
3) Penyakit hepar
Pruritus hepatikum merupakan gejala kutan yang utama pada
penyakit hati dan biasanya disertai kolestasis. Pruritus dianggap
berasosiasi dengan garam empedu. Intensitas perasaan gatal sebanding
dengan konsentrasi garam empedu di darah, tidak sebanding dengan
derajat warna kuning kulit. (Djuanda, 2010)

21

Pruritus dapat pula sebagai efek samping obat-obat yang memberi


obstruksi biliar intra hepatal, misalnya klorpromazin, intra atau ekstra
hepatal, misalnya klorpromazin, metil testosteron dan pil kontrasepsi.
(Djuanda, 2010)
Bila ada ikterus tanpa pruritus, maka penyebabnya anemia
hemolitik anhepatik atau hepatitis infeksiosa. Pada 20% penderita sirosis
hepatis dapat timbul pruritus generalisata, yang disertai erupsi papular dan
prurigo. Pada 10-40% penderita dewasa dengan hepatitis dapat timbul
pruritus yang sikron dengan elevasi garam asam biliar. (Djuanda, 2010)
4) Penyakit endokrin
Pruritus dapat timbul pada diabetes melitus, tireotoksikosis dan
miksedema. pruritus pada diabetes melitus merupakan keluhan yang sering
terdengar, tetapi tidak selalu ada. Sensasi tersebut tidak hanya disebabkan
oleh hiperglikemi, tetapi juga oleh iratibilitas ujung-ujung saraf dan
kelainan-kelainan metabolik di kulit. (Djuanda, 2010)
Pruritus terutama berlokalisasi di daerah anogenital (pruritus
ani/vulva/skroti) dan daerah-daerah intertriginosa (terutama sub mama
pada wanita dengan adipositas). Kadar glikogen pada sel-sel epitel kulit
dan vagina meningkat, hingga menimbulkan diabetes kulit (URBACH).
Keadaan tersebut merupakan fakor predisposisi timbulnya dermatitis,
kandidosis, dan furunkulosis. (Djuanda, 2010)
5) Penyakit ginjal
Pruritus renal dapat terjadi walaupun tidak selalu, pada kegagalan
ginjal. Pruritus bersifat generalisata dan kadang-kadang berat. Pruritus
secara klinis akan mengakibatkan ekskoriasi dan likenifikasi. Nodus-nodus
pruritik jarang tampak, bila ada maka berlokalisasi dibagian ekstensor
ekstremitas. (Djuanda, 2010)
Kulit penderita kering (xerosis) karena terdapat atrofi kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat. Selain itu terdapat pula gangguan
metabolisme Ca dan fosfor, sedangkan kadar magnesium dalam serum
meninggi. Keadaan uremia menyebabkan pruritus, diduga penyebabnya
ialah bahan-bahan yang mengalami retensi karena ginjal gagal
mengekskresikannya. Hal tersebut dapat diobati dengan hemodialisis
secara teratur dan intensi. Bila dengan hemodialisis tidak tampak

22

kemajuan, maka harus dipikirkan adanya hiperparatiroidia. (Djuanda,


2010)
6) Penyakit neoplastik
Pruritus dapat merupakan keluhan pada penderita dengan
keganasan intern, terutama pada yang berasal dari sistem limforetikular.
Pada penyakit hodgkin insidensinya dapat berlangsung berbulan-bulan,
sebelum penyakit yang mendasari diketahui. (Djuanda, 2010)
7) Mikosis fungoides
Mikosis fungoides merupakan limfoma maligna yang progresif.
Pruritus timbul sangat dini, yakni pada waktu lesi kulit masih tidak khas
dan belum terdapat infiltrasi maligna. Pruritus dapat bersifat menetap dan
intoleran. (Djuanda, 2010)
8) Penyakit lain
Pada beberapa penyakit lain penderita dapat mengeluh adanya
pruritus :
Penyakit pirai (gout)
Hipertensi arteriosklerotik, pruritus dirasakan seluruh tubuh sebelum

timbulnya apopleksia.
Polisitemia vera, penyakit dapat disertai pruritus dan utrikaria.
Defisiensi besi, pruritus disebabkan oleh defisiensi besi dan tidak oleh
anemia, sebab pemberian zat besi sebelum timbulnya anemia sudah

menghilangkan pruritusnya. (Djuanda, 2010)


9) Defisit saraf sentral atau perifer
Defisit saraf sentral atau perifer dapat menyebabkan pruritus
(pruritus neurologik). (Djuanda, 2010)
10) Pruritus psikologi
Respon garukan berbeda dengan pruritus karena penyebab lain.
Pada gatal karena penyakit organis terdapat korelasi antara sensasi gatal
dengan beratnya respons garuk. Pada gatal psikologik ternyata respons
garuka lebih kecil dari pada derajat gatal subyektif. Akibatnya ialah
tampak lebih sedikit efek garukan dan lebih banyak picking (bekas
cubitan), serta tidak dijumpai gangguan tidur. (Djuanda, 2010)
d. Patofisiologi
Berbagai macam stimuli dapat meenyebabkan timbulnya pruritus, termasuk
kemungkinan sejumlah zat kimia, khususnya histamin, prostaglandin, dan
beberapa jenis proteinase. Akan tetapi, masih tetap belum dapat dipahami secara
mendetail mengapa histamin dapat menyebabkan rasa gatal tanpa timbul kelainan

23

apapun dikulit. Dapat dirasakannya pruritus pasti dipengaruhi oleh pusat-pusat


yang lebih tinggi. Rasa gatal tidak begitu terasa saat pikiran sedang sibuk, dan
terasa lebih parah sewaktu sedang dilanda kebosanan. Stres dan faktor psikologis
yang lain dapat menyebabkan atau menimbulakn pruritus yang hebat. (GrahamBrown, 2005)
Penelitian neurofisiologi telah memperlihatkan adanya ujung saraf bebas
mekanoreseptif yang sangat peka dan beradaptasi cepat yang hanya menerima
sensasi geli dan sensasi gatal. Selanjutnya ujung saraf ini dapat dijumpai banyak
sekali pada lapisan superficial kulit, yang juga merupakan satu-satunya jaringan
yang biasanya dapat menerima rangsangan gatal dan geli. Sensasi ini dijalarkan
melalui serabut saraf C sangat kecil yang tak bermielin seperti serabut saraf yang
dipakai untuk menjalarkan rasa nyeri tipe lambat. (Guyton, 2007)
Ada dugaan bahwa tujuan sensasi gatal ini untuk memberikan perhatian
pada rangsangan permukaan yang ringan, seperti rambatan kutu pada kulit atau
gigitan nyamuk, dan sinyal yang diterima kemudian akan mengaktifkan refleks
menggaruk atau tindakan lain untuk membuang kumpulan bahan iritan. Rasa gatal
dapat diatasi dengan menggaruk jika tindakan ini dapat mengangkat bahan iritan
atau jika garukan cukup kuat untuk menumbulkan rasa nyeri. Sinyal nyeri ini
dianggap dapat menekan sinyal gatal dalam medula spinalis dengan cara
penghambatan lateral. (Guyton, 2007)
Bahan pengiritasi Reaksi hipersensitifitasSirkulasi darah berkurang
eritema, parut lesikel
erupsi
pruritus
menggaruk daerah yang gatal
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pruritus ialah tanda-tanda garukan dan ekskoriasi.
Pada garukan akut dapat timbul utrikaria, sedang pada garukan kronik dapat

24

timbul perdarahan kutan dan likenifikasi. Garukan dengan kuku menyebabkan


ekskoriasi linear pada kulit dan laserasi pada kukunya sendiri. Keringanan
perasaan gatal dengan garukan hanya akan ada bila penyebab pruritus tidak
terletak di alat sentral. (Djuanda, 2010)
f. Klasifikasi pruritus
1) Pruritus setempat
Terjadi iritasi setempat pada kulit sering ditemukan. Kulit mungkin
tetap normal, tetapi yang lebih sering adalah terjadinya beberapa
abnormalitas. Dua bentuk pruritus setempat yang sangat penting dan
mengganggu adalah liken simpleks kronik dan prurigo, serata prurigo
anogenital. (Graham-Brown, 2005)
Liken simpleks kronik (LSK) yang dikenal pula sebagai pruritus
idiopatik esensial atau pruritus idiopatik primer merupakan tantangan
terbesar dalam dermatologi. Pasien-pasien ini seringkali mempunyai
diatesis atopik, sehingga ambang batas untuk pruritus oleh semua
penyebab lebih rendah. Rangsangan yang sering sebagai pemicu
adalah keringat, suhu udara panas, dan serosis. Berdasarkan definisi
pada pasien-pasien ini tidak ada tanda-tanda penyakit kulit kecuali
adanya likenifikasi dan ekskoriasi. Kulit yang mengalami likenifikasi
biasanya bersisik ringan, agak kasar dengan garis-garis kulit yang lebih
jelas, namun kadang-kadang kulit bisa tampak benar-benar normal.
LSK dapat berupa pruritus vulva, pruritus ani, dan pruritus skroti.
(Graham-Brown, 2005)
Liken simpleks kronik biasanya terdapat pada daerah tulang
kering, lengan bawah, telapak tangan, dan leher bagian belakang. Kulit
perianal dan vulva juga bisa terkena. Nodul prurigo mungkin timbul
bersamaan pada tempat-tempat dimana terdapat liken simpleks atau
bisa juga timbul terpisah hampir di setiap tempat
kelainan ini biasanya multipel. (Graham-Brown, 2005)

dimana

saja,

25

Gambar 7. liken simpleks kronik

Pruritus anogenital (PAG) adalah pruritus yang menyerang daerah


Gambargenital
8. prurigo
nodular
anogenital yang meliputi daerah
seperti
skrotum, korpus dan
glans penis, mons pubis dan vulva, namun dapat pula terbatas hanya
pada daerah perianal, perineal, lipatan inguinal, paha, dan daerah supra
pubis. (Graham-Brown, 2005)
Pruritus ani sering kali dianggap sebagai akibat dari hemoroid.
Akan

tetapi,

walaupun

hemoroid

dan

tanda-tandanya

sering

ditemukan, namun pengobatan pada hemoroid saja tidak selalu dapat


mengurangi keluhan pruritus. Pruritus ani mungkin secara garis besar
merupakan reaksi derajat rendah terhadap feces, keringat, dan cairan
yang keluar dari genitalia. Pruritus ani biasanya berlangsung selama
bertahun-tahun. Adanya iritasi sering menyebabkan terjadinya spasme
dan ketegangan yang hebat. Pada pemeriksaan biasanya ditemukan
sedikit kelainan, mungkin terdapat beberapa ekskoriasi dan penebalan

26

pada anus serta kulit disekitrnya, kadang-kadang didapatkan adanya


kelainan yang hebat seperti pada liken simplek. (Graham-Brown,
2005)

2) Pruritus menyeluruh
Gambar
9. pruritus
anogenital
Menderita pruritus
menyeluruh
sangat
tidak menyenangkan,
dan dapat dirasakan pada hampir seluruh permukaan tubuh secara
terus-menerus atau pada beberapa tempat yang berbeda.
Gambaran klinisnya berupa pengelupasan kulit yang ringan dengan
beberapa bekas garukan atau bisa juga kulit tertutup oleh ekskoriasis,
jaringan parut, atau nodul. Kulit sering kali kering, terutama pada
pasien usia lanjut. Walaupun tidak dapat ditemukan penyakit yang
mendasarinya,

pada

semua

pasien

yang

mengalami

pruritus

menyeluruh hendaknya dilakukan pemeriksaan penunjang, karena ada


sejumlah kelainan sistemik yang bisa disembuhkan yang menyebabkan
terjadinya gangguan ini. (Graham-Brown, 2005)
3) Pruritus senilis dan xerosis
Pruritus yang tidak diketahui penyebabnya ini umumnya terdapat
pada orang-orang usia lanjut. Pruritus ini bisa ringan dan setempat,
tetapi bisa juga terasa sangat hebat dan menyeluruh. Pada pemeriksaan
fisik di dapatkan kulit bisa normal atau kering, biasanya didapatkan
ekskoriasis, eksematisasi sekunder, dan infeksi dibeberapa tempat.
Pada tempat-tempat tertentu bisa timbul eksema craquele. (GrahamBrown, 2005)

27

g.

Komplikasi
Kurang tidur dan keinginan bunuh diri dapat terjadi pada pasien dengan
pruritus parah. Wanita dengan kolestasis intrahepatik yang tidak diobatisebelum
33 minggu kehamilan telah meningkat tingkat kelahiran prematur dan bayi lahir
mati. Komplikasi lain meliputi pruritus lichen chronicus simpleks, nodul prurigo,
dan excoriations (yang dapat menjadi sekunder yang terinfeksi).. (David, 2012)
h. Penatalaksanaan
Perawatan untuk pruritus penyakit sistemik bervariasi tergantung pada
etiologi yang mendasari. Terapi baru didasarkan pada kemajuan dalam
pemahaman tentang mekanisme yang menyebabkan pruritus. Namun, tanpa
pemberantasan

penyakit

sistemik

yang

mendasari,

pengobatan

sering

paliatifterbaik dan bisa membuat frustasi baik bagi pasien dan dokter.
Terapi tertentu, seperti antihistamin dan emolien, menawarkan manfaat marjinal.
Antihistamin penenang mungkin efektif pada pasien dengan pruritus nokturnal.
Meskipun antihistamin adalah sebagian efektif dalam mengobati pruritus akibat
penyakit sistemik, efeknya biasanya marjinal dan relatif tidak memuaskan.
Doxepin, antidepresan trisiklik (TCA) dengan sifat anti histamin, pada dosis 2550 mg pada waktu tidur mungkin cukup membantu. Mirtazapin pada 15-30 mg
pada waktu tidur juga telah digunakan untuk mengobati pruritus.Gabapentin
diambil secara lisan telah menunjukkan efektivitas dalam mengobati pruritus dan
baru-baru ini telah menunjukkan neurogenik pada uremic pruritus, hematologi,
dan idiopatik.Aprepitant, anti-mual neurokinin reseptor 1 antagonis, telah
menunjukkan sangat efektif dalam mengurangi pruritus pada sekelompok pasien
dengan gangguan kulit yang beragam. Pasien dengan dermatitis atopik dan
nodularis prurigo tampaknya merespon terbaik. . (David, 2012)
1) Ginjal pruritus
Pengobatan dapat fisik, topikal, atau sistemik.Terapi fisik dengan
UV-B merupaka terapi pilihan. Pasien telah melaporkan bulan remisi
setelah 6-8 perawatan. UV-B mengurangi fosfor kulit, mengurangi jumlah
sel mast kulit, dan mengurangi vitamin A level epidermis. Namun,
pengobatan

dengan

UV-Bmeningkatkan

risiko

kanker

kulit

28

nonmelanoma.Terapi topikal sangat membantu dalam kasus-kasus pruritus


lokal.Krim capsaicin 0,025% efektif untuk pruritus lokal karena CRF,
seperti yang telah ditunjukkan pada butaganda, terkontrol plasebo
studi.Aplikasi topikal dari campuran eutektik dari anestesi lokal (misalnya,
krim EMLA) sebelum pengobatan capsaicin dapat mengurangi rasa panas
terkait dengan capsaicin. Salep tacrolimus 0,03% telah menunjukkan hasil
yang menjanjikan untuk pruritus ginjal lokal. Tacrolimus adalah inhibitor
kalsineurin, mengurangi diferensiasi tipe 1 limfosit T pembantu, dan
mengurangi produksi interleukin 2. Asam gamma linolenat topikal
tampaknya menjanjikan. topikal krim gabapentin (3-6%) telah dilaporkan
untuk membantu vulvodynia dan berpotensi dapat digunakan untuk
mengobati daerah lokal pruritus neurogenik seperti vulvae pruritus, scroti
pruritus, dan notalgia paresthetica.Terapi sistemik termasuk arang UV-B
dan aktifadalah pengobatan pilihan pertama, bersama dengan memastikan
dialisis efektif Narrow-band UV-B adalah sangat efektif.. Arang aktif oral
murah, efektif, dan ditoleransi dengan baik, karena itu, dianggap sebagai
pengobatan yang wajar ketika terapi UV telah gagal. Arang aktif ini
diduga mencegah penyerapan suatu pruritogen. . (David, 2012)
Cholestyramine tidak efektif dan mempunyai efek samping, seperti
asidosis.Dialisis Efisien sangat membantu. Pruritus cenderung menjadi
berat dengan dialisis tidak cukup. Thalidomide telah dilaporkan efektif
tetapi harus digunakan dengan hati-hati karena mempunyai efek yang
merugikan. Namun, dalam pengalaman penulis, thalidomide adalah alat
yang berharga dalam banyak kasus yang tidak responsif terhadap terapi
konvensional.. (David, 2012)
Terapi sistemik lainnya termasuk asam lemak nicergolinetelah
menunjukkan hasil yang positif dalam mengurangi pruritus ginjal.
Gabapentin telah terbukti efektif dalam pengobatan uremic pruritus kronis,
tetapi telah terbukti memperburuk pruritus kolestasis. Butorphanol, opioid
yang menampilkan antagonisme mu dan agonism kappa, telah
menunjukkan untuk meringankan uremic pruritus. Sebuah reseptor agonis
kappa baru opioid, nalfurafine, telah terbukti efektif secara signifikan

29

mengurangi pruritus pada pasien hemodialisis bila dibandingkan dengan


plasebo. Sebuah studi buta ganda terkendali di Iran menunjukkan bahwa
seng sulfat oral (440 mg sehari) secara signifikan mengurangi pruritus
pada kelompok pasien yang menjalani hemodialisis untuk insufisiensi
ginjal.. (David, 2012)
2) Kolestasis pruritus
Cholestyramine adalah terapi lini pertama, diikuti dengan
rifampisin dan antagonis opioid. Ondansetron juga dapat dicoba.
Cholestyraminetelahmenunjukkan efektif dan obat ini dianggap membantu
dalam mengurangi pruritus. Karena biaya rendah, harus dicoba sebelum
perawatan lebih mahal dipertimbangkan.. (David, 2012)
Rifampisin, inducer enzim hati, berlaku efektif untuk pruritus
kolestasis. Perhatian harus digunakan pada pasien dengan penyakit hati
yang sudah ada sebelumnya karena hepatotoksisitas mungkin. Antagonis
opioid, termasuk nalokson, bisa meringankan gatal-gatal, tetapi pemberian
intravena membatasi penggunaannya di luar rumah sakit. Nalmefene telah
diuji dan efektif tetapi mungkin hanya tersedia dalam bentuk intravena.
Untuk mencegah sindrom penarikan opioid, dosis awal yang harus
digunakan adalah dosis rendah. Obat ini tidak boleh digunakan pada
pasien yang membutuhkan pengobatan paliatif opioid. Butorphanol, yang
antagonizes reseptor mu tapi agonizes reseptor kappa, telah terbukti efektif
dalam menekan pruritus kolestasis.. (David, 2012)
Ursodeoxycholic asam dan S-adenosyl-L-metionintelah dilaporkan
dapat mengurangi pruritus pada wanita dengan kolestasis kehamilan, tetapi
asamursodeoxycholic dapat meningkatkan hasil janin dan penanda serum
biokimia.Dialisis albumin Extracorporeal dapat dipertimbangkan bila
pruritus parah adalah refrakter terhadap terapi lain. Ondansetron memiliki
efektivitas terbatas dan, karena mengurangi opioid-induced pruritus,
tampaknya mempengaruhi jalur opioid. Terapi lain yang mungkin efektif
adalah thalidomide, propofol, serotonin-reuptake inhibitor, UV-B,
fenobarbital, dronabinol, dan terapi. . (David, 2012)
3) Hematologi pruritus

30

Kekurangan zat besi merespon pengobatan dengan besi, yang harus


dilanjutkan sampai kadar feritin dinormalisasi. Koreksi kekurangan zat
besi pada orang dengan polycythemia vera dapat mengurangi pruritus
tetapi memperburuk polycythemia vera.Pasien denganpruritus akibat
polycythemia vera dapat mengambil manfaat dari aspirin, yang dianggap
sebagai terapi lini pertama. Cimetidine, danazol, cholestyramine, UV-B
terapi cahaya, dan psoralen dengan UV-A terapi semuanya telah terbukti
membantuInterferon-alfa

dapat

memberikan

bantuan,

tetapi

efek

negatifnya dapat menurunkan kepatuhan.. (David, 2012)


Pengobatan dengan paroxetine pada 20 mg / hari telah terbukti
efektif,tetapi uji klinis lebih lanjut diperlukan.Satu pasien dengan pruritus
parah akibat penyakit Hodgkin menanggapi secara dramatis untuk
thalidomide pada 200 mg per oral pada malam hari.. (David, 2012)
4) Endokrin pruritus
Pruritus hipotiroidisme adalah pruritus xerosis sekunderdan harus
diobati dengan emolien dan penggantian hormon tiroid. Hipertiroidisme
untuk pruritus sekunder membaik dengan koreksi fungsi tiroid.Kronis
vagina pruritus dan lichen sclerosis et atrophicus. Ketika kondisi ini
menyebabkan pruritus dari daerah vagina, pengobatan dengan krim topikal
pimecrolimus telah efektif.. (David, 2012)
5) Perawatan nonspesifik
Krim topikal agonis cannabinoid telah ditunjukkan untuk
mengurangi pruritus yang terkait dengan penyakit kulit kronis tertentu.
Mengobati gangguan yang mendasari adalah terapi utama untuk
mengendalikan pruritus.Kortikosteroid dengan kemoterapi paliatif pada
akhir tahap penyakit Hodgkinsering memberikan bantuan.Pengobatan
spesifik untuk pruritus, seperti UV-B terapi cahaya, cholestyramine,
nalokson, dan arang aktif, harus dipertimbangkan. Paroxetine mengurangi
gatal pada pasien dengan kanker stadium lanjut, namun, efeknya biasanya
berlangsung hanya 4-6 minggu.. (David, 2012)
6) Bedah

31

Transplantasi yang sukses adalah satu-satunya pengobatan definitif


untuk pruritus ginjal. Ketika pruritus dikaitkan dengan keganasan
obstruktif pada saluran empedu atau penyebab obstruktif lainnya
(misalnya, primary sclerosing cholangitis), menempatkan stent untuk
menghilangkan

obstruksi

juga

dapat

menghilangkan

pruritus.

Transplantasi hati dapat dipertimbangkan pada pasienpruritus yang terkait


dengan kolestasis nonmalignant yang tidak menanggapi terapi medis..
(David, 2012)
7) Konsultasi
Konsultasi dengan spesialis berikut ini mungkin membantu:
Dokter kulit: Selalu berkonsultasi dengan dokter kulit untuk
menyingkirkan penyebab utama pruritus dan untuk membahas UV-B atau
psoralen UV-A terapi cahaya bila dipertimbangkan dalam rencana
pengobatan.
Pencernaan: pencernaan A harus mengevaluasi setiap pasien
dengan penyakit hati atau saluran empedu.
Hematologi / onkologi: Para spesialis harus selalu terlibat dalam
perawatan pasien dengan pruritus karena sebab-sebab hematologi atau
ganas.
Endokrinologi: Pasien dengan pruritus endokrin harus dievaluasi
untuk pengobatan penyakit tiroid mereka, yang sering menyembuhkan
gatal mereka.
Ahli Bedah dan / atau ahli bedah transplantasi: Pasien dengan CRF
atau penyakit hati kronis mungkin perlu dievaluasi untuk ginjal atau
transplantasi hati, masing-masing. Seorang ahli bedah harus selalu
berkonsultasi dalam kasus kolestasis ganas. . (David, 2012)
8) Diet
Diet protein rendah mungkin membantu mengurangi pruritus pada
orang dengan CRF.. (David, 2012)
i. Edukasi pasien
Pasienharus diberikanpenjelasan tentangpenyakit merekadan hubungannya
denganpruritus.Pasienharus diajarkanbagaimana mengelolaxerosiskarenakondisi
inidapat memperburukpruritus.Petunjukharus mencakupmenjaga kulitdengan

32

baik,menggunakan

pelembapdan

menghindarimandidengan

air

panasyang

berlebihan, penggunaansabunalkali, dan paparankainyang teksturnya dapat


menyebabkan pruritus.Siklusawal gatalharus didiskusikan, dan pasien harus
diajarkan untuk mengusapkanwaslapdingin atautekanan lembutke daerahdaerahyang gataluntukmenahan keinginanuntuk menggaruk. Penguranganatau
penghapusan faktor stres harus didiskusikan karena strestampaknya memperburuk
gatal-gatal. Pasien harus dibuat sadar bahwa psikiater, pekerja sosial, dan
konseloryang tersedia dapat membantumereka mengatasimasalah yang diciptakan
olehpruritus.(David, 2012)
j. Prognosis
Beberapakondisi yang menyebabkanpruritusmenyeluruh tampaknya dapat
meningkatkan angka kematian.Pasiendenganpruritus beratyang terkait dengan
penyakitHodgkinmemilikihidup

secara

signifikanlebih

pendek

darimereka

yangringan atau tanpapruritus.(David, 2012).

2.3 Prurigo
a. Definisi
Prurigo ialah erupsi popular kronik dan rekurens. Terdapat berbagai macam
prurigo, yang tersering terlihat ialah prurigo hebra karena itu akan dibicarakan
secara luas. Disusul oleh prurigo nodularis sedangkan yang lain karena jarang
dijumpai akan dibicarakan secara singkat. (Djuanda, 2010)
b. Klasifikasi
Dalam kepustakaan terdapat banyak macam klasifikasi prurigo, sehingga
sangat membingungkan pembaca.Tetapi menurut pendapat kami klasifikasi yang
dikemukakan oleh KOCSARD lah yang terbaik untuk pendidikan dokter, oleh
karena pembagiannya cukup sederhana, jelas dan lengkap.KOCSARD pada tahun
1962 mendefinisikan prurigo papul sebagai papul yang berbentuk kubah dengan
vesikel pada puncaknya.Vesikel hanya terdapat dalam waktu yang singkat saja,
karena segera menghilang akibat garukan, sehingga yang tertinggal hanya papul
yang berkrusta. Likenifikasi hanya terjadi sekunder akibat proses kronik. Ia
membagi menjadi 2 kelompok : (Djuanda, 2010)
1. Prurigo simpleks
2. Dermatosis pruriginosa

33

Kecuali itu masih ada prurigo lain yang sebenarnya tergolong salah satu
bentuk neurodermatitis, yaitu prurigo nodularis.
1. Prurigo Simpleks
Prurigo papul tampak dalam amcam-macam tingkat
perkembangan dan ditemukan paling sering pada orang dengan
usia pertengahan. Tempat yang sering terkena ialah badan dan
bagian ekstensor ekstremitas.Muka dan bagian kepala yang
berambut juga dapat terkena tersendiri atau bersama-sama dengan
tempat lainnya.Lesi biasanya muncul dalam kelompok-kelompok,
sehingga papu-papul, vesikel-vesikel dan jaringan-jaringan parut
sebagai tingkat perkembangan penyakit terakhir dapat terlihat pada
saat yang bersamaan. (Djuanda, 2010)
Beberapa variasi prurigo pernah dilaporkan. Prurigo
melanotik Pierini dan Borda terjadi pada wanita usia pertengahan
berupa pruritus bersamaan dengan sirosis biliaris primer. Lesi
berupa hiperpigmentasi retikular, sangat gatal, terutama mengenai
badan. Prurigo kulit kepala yang berambut dapat terjadi secara
sendiri atau bersamaan dengan lesi prurigo di tempat lain.
(Djuanda, 2010)
Pengobatannya

simtomatik,

diberikan

obat

untuk

mengurangi gatal, baik sistemik (sedativa) maupun topikal.


(Djuanda, 2010)
2. Dermatosis pruriginosa
Pada kelompok penyakit ini prurigo papul terdapat
bersama-sama dengan urtika, infeksi piogenik, tanda-tanda berkas
garukan, likenifikasi dan eksematisasi. Termasuk dalam kelompok
penyakit ini antara lain, ialah : strofulus, prurigo kronik
multiformis Lutz, dan prurigo Hebra. (Djuanda, 2010)
a.
Strofulus
Penyakit ini juga dikenal sebagai urtikaria papular,
likenurtikatus dan strofulus pruriginosis, seing dijumpai
pada bayi dan anak-anak. Papul-papul kecil yang gatal
tersebar di lengan dan tungkai, terutama mengenai bagian
ekstensor. Lesi mula-mula berupa urticated papules yang

34

kecil, akibat garukan menjadi ekskoriasi dan mengalami


infeksi sekunder atau likenifikasi.
Lesilesi
muncul

kembali

dalam

kelompok.Biasanya pada malam hari.Tetapi lesi dapat


bertahan sampai 12 hari.Semua tingkatan perkembangan
dan regresi papul-papul dapat dilihat pada saat yang
bersamaan.Serangan dapat berlangsung bulanan sampai
tahunan.Biasanya

maupun

gejala

konstitusi.Urtikaria

papular merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap


gigitan fleas, gnats, nyamuk, kutu dan yang tersering ialah
kepinding.
Gambaran

histoptologiknya

menyerupai

reaksi

gigitan arthropod. Terdapat sebukan infiltrate perivascular


yang superfisial dadn dalam, yang terdiri atas limfosit,
histiosit dan eosinofil.
Pengobatan mencakup pemberantasan serangga
yang mungkin dapat mengenai anak, terutama fleas (cat &
dog fleas, dan kuman fleas), serta kutu busuk.Tempattempat tidur binatang peliharaan harus disemprot dengan
insektisida.Juga

lemari-lemari,

sela-sela

rumah,

permadani, dadn perkakas rumah tangga disemprot dengan


semprotan insektisida duakali seminggu.Secara topikal
penderita diberikan losio antipruritus.Krim kortikosteroid
dapat dipakai.Antihistamin per oral dapat menghilangkan
rasa gatal.
b. Prurigo Kronik Multiformis Lutz
Kelainan kulitnya berupa papul prurigo, disertai
likenifikasi dan eksematisasi.Di samping itu penderita
juga mengalami pembesaran kelenjar getah bening
(limfadenitis dermatopatik) dan eosinophilia.Pengobatan
bersifat simtomatik.
c. Prurigo Hebra
Di antara berbagai

bentuk,

prurigo

Hebra

merupakan bentuk yang tersering terdapaat.Di bagian kami,

35

jika kami menyebutkan prurigo saja yang dimaksud ialah


prurigo Hebra.
Prurigo Hebra ialah penyakit kulit kronik dimulai
sejak bayi atau anak.Kelainan kulit terdiri ats papul-papul
miliar berbentuk kubah sangat gatal, lebih mudah diraba
daripada dilihat, terutama di daerah ekstremitas bagian
ekstensor.
c. Epidemiologi
Penyakit ini sering terdapat pada keadaan sosial-ekonomi dan hygiene yang
rendah.Di Jakarta penderita wanita lebih banyak daripada laki-laki.Umumnya
terdapat pada anak.Di Eropa dan Amerika Serikat penyakit ini jarang. (Djuanda,
2010)
d. Etiologi dan Patogenesis
Penyebabnya yang pasti belum diketahui.Umumnya ada saudara yang juga
menderita penyakit ini, karena itu ada yang menganggap penyakit ini herediter.
(Djuanda, 2010)
Sebagian para ahli berpendapat bahwa kulit penderita peka terhadap gigitan
serangga, misalnya nyamuk.Mungkin antigen atau toksin yang ada dlam ludah
serangga menyebabkan alergi. Di samping itu juga terdapat beberapa faktor yang
berperan, antara lain : suhu, invertasi parasit (misalnya Ascaris atau Oxyuris).
Juga infeksi fokal, misalnya tonsil atau saluran cerna, endokrin, alergi makanan.
Pendapat lain mengatakan penyakit ini didasari faktor atopi. (Djuanda, 2010)
e. Gejala Klinis
Mulainya penyakit sering pada anak berumur di atas satu tahun.Kelainan
yang khas ialah adanya papul-papul muliar tidak berwarna, berbentuk kubah,
lebih mudah diraba daripada dilihat.Garukan yang terus menerus menimbulkan
erosi, ekskoriasi, krusta, hiperpigmentasi dan likenifikasi.Sering pula terjadi
infeksi sekunder.Jika telah kronik tampak kulit yang sakit lebih gelap kecoklatan
dan berlikenifikasi. (Djuanda, 2010)
Tempat predileksi di ekstremitas bagian ekstensor dadn simetrik, dapat
meluas ke bokong dan perut, muka dapat pula terkena.Biasanya bagian distal
lengan dan tungkai lebih parah dibandingkan bagian proksimal.Demikian pula
umumnya tungkai lebih parah daripada lengan. (Djuanda, 2010)

36

Kelenjar getah bening regional biasanya membesar, meskipun tidak disertai


infeksi,

tidak

nyeri,

tidak

bersupurasi,

pada

perabaan

taraba

lebih

lunak.Pembesaran tersebut disebut bubo prurigo.Keadaan umum penderita


biasanya pemurung atau pemarah akibat kurang tidur, kadang-kadang nafsu
makan berkurang sehingga timbul anemia dadn malnutrisi. (Djuanda, 2010)
Untuk menyatakan berat-ringannya penyakit dipakai istilah prurigo mitis,
jika ringan, bila berat disebut prurigo feroks (agria).Prurigo mitis hanya terbatas
di ekstremitas bagian ekstensor serta sembuh sebelum akil balik.Sebaliknya
prurigo feroks, lokasi lesi lebih luas dan berlanjut sampai dewasa. (Djuanda,
2010)
e. Histopatolgi
Gambaran histologik akan memperhatikan :
1. Penebalan epidermis, sehingga tampak hyperkeratosis, hiperglanulosis,
akantosis yang tak teratur atau disebut juga sebagai hiperplasi
psoriasiformis yang tak teratur.
2. Penebalan stratum papilaris dermis, yang terdiri atas kumpulan serat
kolagen kasar, yang arahnya tegak lurus terhadap permukaan kulit
(disebut sebagai collagen in vertical streaks).
3. Sebukan sel-sel radang sekitar pembuluh darah yang melebar di dermis
bagian atas. Sel-sel tersebut terdiri atas limfosit dan histiosit.
f. Pengobatan
Lesi kulit memberikan respons cepat terhadap penyuntikan kortikosteroid
intralesi. Biasanya dipakai suspense triamsinolon asetonid 2,5 sampai 12,5 per
ml.Dosisnya 0,5 sampai 1 ml per cm2 dengan maksimum 5 ml untuk sekali
pengobatan. (Djuanda, 2010)
g. Prognosis
Penyakit bersifat kronis dan setelah sembuh dengan pengobatan biasanya
residif. (Djuanda, 2010)

2.4 Urtikaria
a. Pendahuluan
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang se-ring dijumpai.Dapat
terjadi secara akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk

37

penderita, maupun untuk dokter.Walaupun pato-genesis dan penyebab yang


dicurigai telah di-temukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadangkadang tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.(Djuanda, 2010)
b. Definisi
Urtikaria (hives, nettle rash, biduran, kaligata) ialah reaksi vaskular di
kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai de-ngan edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat
dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitar-nya dapat dikelilingi
halo.Keluhan

subyektif

biasanya

gatal,

rasa

tersengat

atau

tertusuk.Angioedema ialah urtika yang mengenai lapisan kulit yang lebih


dalam daripada dermis, dapat di submukosa, atau di subkutis, juga dapat
mengenai saluran napas, saluran cerna, dan organ kar-diovaskular.(Djuanda,
2010)
c. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya : obat, makanan,
gigitan/sengatan serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma
fisik, in-feksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik.
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtika, baik secara
imunologik maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Contohnya ialah
obat-obat golongan penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon,
dan diuretik. Ada pula obat yang secara nonimunologik langsung
merangsang sel mas untuk melepaskan his-tamin, misalnya kodein, opium,
dan zat kon-tras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat
sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih pen-ting pada urtikaria yang akut,
umumnyaakibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan
lain yang dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau
bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan
yang sering menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan, kacang, udang, coklat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka; bahan yang dicampurkan

38

seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin.


CHAMPION 1969 melaporkan 2 % urtikaria kronik disebabkan
sensitisasi terhadap makanan.
3. Gigitan/sengatan serangga
Gigitan/sengatan serangga dapat me-nimbulkan urtika setempat,
agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular
(tipe IV). Tetapi venom dan toksin bakteri, biasanya dapat pula
mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga lainnya,
menimbulkan urtika bentuk papular di sekitar tempat gigitan, biasanya
sembuh dengan sendirinya setelah bebe-rapa hari, minggu, atau bulan.
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseo-fulvin, fenotiazin,
sulfonamid, bahan kosme-tik, dan sabun germisid sering menimbulkan
urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (po-len), spora jamur, debu, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai
gangguan napas.
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang,
serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan
kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan ter-sebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria.
TUFT (1975) melaporkan urtikaria akibat sefalosporin pada
seorang apoteker,hal yang jarang terjadi; karena kontak dengan antibiotik
umumnya menimbulkan dermatitis kontak. Urtikaria akibat kontak dengan
klorida kobal, indikator warna pada tes provokasi keringat, telah
dilaporkan oleh SMITH (1975).
7. Trauma fislk
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, yakni berenang
atau me-megang benda dingin; faktor panas, misalnya sinar matahari,
sinar U.V., radiasi, dan panas pembakaran; faktor tekanan, yaitu goresan,
pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air, vibrasi '
dan tekanan berulang-ulang contohnya pi-' jatan, keringat, pekerjaan berat,

39

demam, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik


maupun non imunologik. Klinis biasanya terjadi di tempat yang mudah
terkena trauma. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul
beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut
dermografisme atau fenomena Darier.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat me-nimbulkan urtikaria, misalnya
infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh
bakteri, contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi, dan sinusitis. Masih
merupakan pertanyaan, apakah urtikaria timbul karena toksin bakteri atau
oleh sensitisasi. Infeksi virus hepatitis, mononukleosis, dan infeksi virus
Coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada
urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan infeksi virus
subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai
penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang
juga Schis-tosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mas atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapilar. Ter-nyata hampir
11,5% penderita urtikaria me-nunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan
memperlihatkan bahwa hipnosis dapat menghambat eritema dan urtika.
Pada per-cobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang
eritema meningkat.
10. Genetik
Faktor genetik teryata berperan pen-ting pada urtikaria dan
angioedema, walau-pun jarang menunjukkan penurunan auto-somal
dominan.
Di antaranya ialah angioneurotik edema herediter, familial cold
urticaria, familial localized heat urticaria, vibratory an-gioedema, heredofamilial syndrome of urti-caria deafness andamyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan ke-ganasan dapat menimbulkan
urtikaria, reak-si lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigenantibodi. Penyakit vesiko-bulosa, misalnya pemfigus dan dermatitis

40

herpetifor-mis Duhring, sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9%


penderita lupus eritema-tosus sistemik dapat mengalami urtikaria.
Beberapa penyakit sistemik yang sering di-sertai urtikaria antara lain
limfoma, hiper-tiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, artritis padademam
reumatik, dan artritis reumatoid juvenilis.
d.

Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa

lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON


(1951), menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tahun,
jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun.
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan
angioedema, dan 11 % angioedema saja. Lama serangan berlang-sung bervariasi,
ada yang lebih dari satu tahun, bahkan ada yang lebih dari 20 tahun.
Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan
orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun
wanita. Umur, ras, jabatan/peker-jaan, letak geograf is, dan perubahan musim
dapat

mempengaruhi

hipersensitivitas

yang

diperankan

oleh

IgE.

Penisilintercatatsebagaiobat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.


e.

Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam paham peng-golongan urtikaria, berdasarkan

lamanya serang-an berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut akut
bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4
minggu tetapi timbul setiap hari; bila melebihi waktu tersebut digolongkan
sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada anak muda,
umumnya laki-laki lebih sering dari-pada perempuan. Urtikaria kronik lebih
sering pada vyanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah
diketahui, sedangkan pada urtikaria kronik sulit ditemukan. Ada kecenderung-an
urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.
Berdasarkan morfologi Minis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya,
yaitu urtikaria papularbila berbentuk papul, gutata bila besamya sebe-sar tetesan
air, dan girata bila ukurannya besar-besar. Terdapat pula yang anular dan
arsinar.Menurut luasnya dan dalamnya jaringan yang ter-kena, dibedakan urtikaria
lokal, generalisata dan angioedema. Ada pula yang menggolongkan berdasarkan

41

penyebab urtikaria dan mekanisme ter-jadinya, maka dikenal urtikaria


imunologik, non-imunologik, dan idiopatik sebagai berikut:
I.
Urtikaria atas dasar reaksi Imunologik
A. Bergantung pada I gE(reaksi alergikti-pe I)
1. Padaatopi
2. Antigen spesifik (polen, obat, venom)
B.
Ikut sertanya komplemen
1. Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergi tipeII)
2. Pada reaksi kompleks imun (reaksia alergi tipe III)
3. Defisiensi Ci esterase inhibitor (genetik)
C.
Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)
II. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
A. Langsung memacu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator (misalnya
B.

obat golongan opiat dan bahan kontras).


Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat
(misalnya

C.

as

pirin, obat anti-inflamasi non-steroid, golongan azodyes).


Trauma fisik, misalnya dermografisme,rangsangan dingin, panas atau sinar,
dan

III.

bahan kolinergik.
Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya, digolongkan

idiopatik.
f.

Patogenesis
Sangat penting diketahui mekanisme terja-dinya urtikaria, karena hal ini

akan dapat memban-tu pemeriksaan yang rasional. Urtikaria terjadi karena


vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi
transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.Sehingga
secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.

42

()

Diagram 1. Faktor imunologik dan nonimunologik yang menimbulkan urtikaria

Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat


pelepasan mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, stow reacting
substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mas dan atau
basofii. Se-iain itu terjadi pula inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya
kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast.Baik faktor
imunologik, maupun nonimuno-logik mampu merangsang sel mas atau basofii
untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 1).
Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosine mono
phosphate) meme-gang peranan penting pada pelepasan mediator.Beberapa bahan
kimia seperti golongan amin dan derivatamidin, obat-obatan seperti morfin,
kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan
kolinergik, misalnya asetil-kolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit secara
tidak diketahui mekanismenya, langsung dapat mempengamhi sel mas untuk
melepaskan mediator. Faktor fisik, misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar
X, dan pemijatan, dapat secara langsung merangsang sel mas. Beberapa keadaan,
misalnya demam, panas, emosi, dan alkohol da-pat merangsang langsung pada
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan pening-katan
permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada ur-tjkaria yang akut daripada yang
kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil karena
adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka
terjadi degranulasi sel, sehingga mampu mele-paskan mediator.Keadaan ini jelas
tampak pada reaksi tipe I (anaf ilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.
Komplemen juga ikut berperanan, ak-tivasi komplemen secara klasik maupun
secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, Csa) yang mampu
merangsang sel mas dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin
bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik
dan kompleks imun, pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin.Urtikaria
akibat kontak dapat juga terjadi, misalnya setelah pemakaian bahan penang-kis
serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin Kekurangan Ci esterase inhibitor
secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.(Djuanda, 2010)

43

g.

Gejala klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa ter-bakar, atau tertusuk. Klinis

tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah
tampak lebih pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular, sampai plakat. Bila
mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan sub-mukosa atau
subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan napas, disebut
angio-edema. Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka,
disertai sesak nafas, serak, dan rinitis.
Dermografisme, berupa edema dan eritema yang linear di kulit- yang
terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada
urtikaria akibat tekanan, urtika timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di
sekitar pinggang, pada penderita ini dermografisme jelas terlihat.

Gambar 10. Urtikaria


Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320 nm dan 400500 nm, timbul setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinis berben-tuk urtikaria
papular.Hal ini harus dibuktikan dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17 %
urtikaria kronik disebabkan faktor fisik, antara lain akibat dingin, panas, tekanan

44

dan penyinaran. Umum-nya pada dewasa muda, terjadi pada episode singkat, dan
biasanya umum kortikosteroid sis-temik kurang bermanfaat.
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada pe-ningkatan suhu tubuh, emosi,
makanan yang merangsang, dan pekerjaan berat.Biasanya sangat gatal, urtika
bervariasi dari beberapa mm sampai numular dan konf luen membentuk plakat.
Serang-an berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare,
muntah-muntah, dan nyeri ke-pala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria
akibat obat atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.
h.

Pembantu Diagnosis
Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah

ditegakkan

diagnosis

urtikaria,

beberapa

pemeriksaan

diperlukan

untuk

membuktikan penyebabnya, misalnya:


1. Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin
dan cold hemolysin periu diperiksapada dugaan urtikaria dingin.
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok,serta usapan vagina periu
untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
4. kulit, meskipun terbatas kegunaannyadapat dipergunakan untuk
membantu diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk(prick test),
serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari alergen
inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan
yang dicurigaiuntuk beberapa waktu, lalu mencobanyakembali satu
demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidakselalu diperlukan, dapat
membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran
kapilar di papila dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen
mem-bengkak. Pada tingkat permulaan tidak tam-pak infiltrasi selular
dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar
pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis
urtikaria kolinergik.
9. Tesdengan es (ice cube test)
10. Tes dengan air hangat.

45

i. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Dengan anamnesis yang teliti dan pemerik-saan klinis yang cermat serta
pembantu diagnosis di atas, agaknya dapat ditegakkan diagnosis urtikaria dan
penyebabnya.Walaupun demikian hendaknya dipikirkan pula beberapa penyakit
sis-temik yang sering disertai urtikaria. Urtikaria kro-nik hams dibedakan dengan
purpura anafilak-toid, pitiriasis rosea bentuk papular, dan urtikaria pigmentosa
j. Pengobatan
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila
mungkin menghin-dari penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak
mencoba mengurangi penyebab ter-sebut, sedikit-dikitnya tidak menggunakan dan
tidak berkontak dengan penyebabnya.
Pengobatan dengan antihistamin pada ur-tikaria sangat bermanfaat. Cara
kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptomya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi
men-jadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor Hi (antihistamin 1, AHi)
dan reseptor H2 (AH2).
Secara klinis dasar

pengobatan

pada

urti-karia

dan

angioedema

dipercayakan kepada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor Hi, namun
efektivitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu
sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat
terhadap reseptor Hi
tetapi nonsedasi, golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.
Antihistamin yang klasik dibagi atas enam kelompok seperti yang terlihat
pada tabel 1.

Tabel 1. Penggolongan antihistamin *) antihistamin hi

46

setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, se-dangkan lama
kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Tetapi ada juga antihistamin yang waktu
kerjanya lebih lama yaitu meklizin dan klemastin.
Pemakaian di klinik hendaknya selalu mem-pertimbangkan cara kerja obat,
farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara
pemberian, serta efek samping obat dan in-teraksi dengan obat lain.
Biasanya antihistamin gol AH1 yang klasik menyebabkan kontraksi otot
polos, vasokonstrik-si, penurunan permeabilitas kapiler, penekanan sekresi dan
penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat pula efek yang tidak berhubungan
dengan antagonis reseptor Hi, yaitu efek antikoliner-gik atau menghambat
reseptor alfa adrenergik.
Antihistamin Hi yang nonklasik contohnya: terfenadin, astemizol, loratadin,
dan mequitazin. Golongan ini diabsorpsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak
dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal
dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin), sedangkan aztemizol dalam waktu 96
jam setelah pemberian oral. Efektivitasnya berlangsung lebih lama diban-dingkan
dengan AH1 yang klasik, bahkan astemizol masih efektif 21 hari setelah
pemberian do-sis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari
sebagai antihistamin yang long acting.
Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi
karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini tidak
memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan alkohol, dan
tidak terdapat penekanan pada SSP serta relatif nontoksik.
Akhir-akhir ini juga berkembang istilah antihistamin yang berkhasiat
berspektrum luas, yang dimaksud adalah selain berkhasiat sebagai an-tihistamin,
juga berkhasiat terhadap mediator lain umpamanya serotonin, contohnya
homoklorsi-klizin.
Bila pengobatan dengan satu jenis antihis-tamin gagal hendaknya
dipergunakan antihis-tamin grup yang lain. Hidroksizin ternyata lebih efektif
daripada antihistamin lain untuk mencegah urtikaria, dermografisme dan urtikaria
kolinergik.

Pada

urtikaria

karena

dingin

ternyata

siprohep-tadin

lebih

efektif.Kadang-kadang golongan beta adrenergik seperti epinefrin atau efedrin,


kor-tikosteroid, serta tranquilizer, baik pula untuk men-gatasi urtikaria. Penyelidik
lain mengemukakan pengobatan dengan obat beta adrenergik ternyata efektif

47

untuk urtikaria yang kronik. Pem-beriaan kortikosteroid sistemik diperlukan pada


urtikaria yang akut dan berat, tetapi tidak banyak manfaatnya pada urtikaria
kronik.
Pada tahun-tahun terakhir ini dikembangkan pengobatan yang baru, hasil
pengamatan mem-buktikan bahwa dinding pembuluh darah manusia juga
mempunyai reseptor H2.Hal ini dapat me-nerangkan, mengapa antihistamin Hi
tidak selalu berhasil mengatasi urtikaria.Kombinasi antihistamin Hi dan H2 masih
dalam penelitian lebih lanjut.Tetapi pada dermografisme yang kronik pengobatan
kombinasi ternyata lebih efektif daripada antihistamin H1 saja.
Pada edema angioneurotik kematian hampir 30% disebabkan oleh karena
obstruksi saluran napas.Biasanya tidak responsif terhadap antihistamin, epinefrin,
maupun steroid.Pada gigitan serangga akut mungkin dapat diberikan infus dengan
plasma fresh frozen, yang obyektif tentusaja pemberian plasma yang mengandung
C1 estera-se inhibitor, C2, dan C4.Hal yang penting ialah segera dilakukan
tindakan mengatasi edema tarings.
Pengobatan dengan anti-enzim, misalnya anti plasmin dimaksudkan untuk
menekan ak-tivitas plasmin yang timbul pada perubahan reaksi antigen
antibodi.Preparat yang digunakan adalah ipsilon. Obat lain ialah trasilol, hasilnya
44% me-muaskan.
Pengobatan dengan caradesensitasi, misalnya dilakukan pada urtikaria dingin
dengan me-lakukan sensitisasi air pada suhu 10C (1 -2 menit) 2 kali sehari
selama 2-3 minggu. Pada alergi debu, serbuk sari bunga dan jamur, desensitasi
mula-mula dengan alergen dosis kecil 1 minggu 2x; dosis dinaikkan dan
dijarangkan perlahan-lahan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh pen-derita.
Eliminasi diet dicobakan pada yang sen-sitif terhadap makanan.
Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simtomatik, misalnya
anti-pruritus di dalam bedak atau bedak kocok.
k.

Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik ka-rena penyebabnya cepat dapat

diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
BAB III
PENUTUP

48

3.1 Kesimpulan

3.2

Saran

DAFTAR PUSTAKA

49

Ardhie, A. M. 2004. Dermatitis dan Peran Steroid dalam Penanganannya. DEXA


MEDIA, No. 4, Vol. 17, Oktober - Desember 2004.
Djuanda, A.. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Graham-Brown Robin, Johny Bourke, Tim Cunliffe. 2010. Dermatologi Dasar:
untuk praktik klinik. Jakarta. EGC.
Gupta, A. K., Bluhm, R.. 2004. Coclopirox Shampoo For Treating Seborrheic
Dermatitis, Skin Therapy Left 9(6):4-5,
http://www.medscape.comdiakses tanggal 19 Juni 2012.
Harahap, M.. 2000. Dermatitis seboroik pada buku Ilmu Penyakit Kulit.
Hipokrates. Jakarta.
Johnson, B. A., Nunley, J. R.. 2000. Treatment of Seborrheic Dermatitis.
American Family Physician Vol. 61/ No. 9 (May 1, 2000).
Price A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 2006. PatofisiologiEdisi 6 volume 1.
Jakarta. EGC.
Scheinfeld, N. S.. 2005. Seborrheic Dermatitis. SKINmed. 2005; 4 (1): 49-50.
2005 Le Jacq Communications, Inc,
http://www.medscape.com/viewarticle/499706diakses tanggal 19 Juni
2012.
Schwartz, R. A., Janusz, C. A., Janniger, C. K.. 2006. Seborrheic Dermatitis: An
Overview, University of Medicine and Dentistry at New Jersey-New
Jersey Medical School, Newark, New Jersey, American Family
Physician, Volume 74, Number 10 July 1, 2006.
www.aafp.org/afpdiakses tanggal 19 Juni 2012.

50

Selden, S.. 2005. Seborrheic Dermatitis,


http://www.emedicine.comdiakses tanggal 19 Juni 2012.

Anda mungkin juga menyukai