PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya
dan mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan
yang berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus,
sedangkan pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara
kehamilan muda dan kehamilan tua ialah kehamilan 22 minggu, mengingat kemungkinan
hidup janin diluar uterus
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 420 per 100.000
kelahiran hidup, rasio tersebut sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya (Mauldin, 1994).
Langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu adalah
mengetahui penyebab utama kematian. Di Indonesia sampai saat ini ada tiga penyebab
utama kematian ibu yaitu perdarahan, pre eklampsia-eklampsia, dan infeksi.
Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya dan
mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang
berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan
pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda
dan kehamilan tua ialah kehamilan 28 minggu (dengan berat janin 1000 gram), meningat
kemungkinan hidup janin diluar uterus (Wiknjosastro, 1999).
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu.
Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28
minggu (Mochtar, R, 1998).
Frekuensi perdarahan antepartum kira-kira 3% dari seluruh persalinan. Di Rumah
Sakit Tjipto Mangunkusumo (1971-1975) dilaporkan 14,3% dari seluruh persalinan; R.S.
Pirngadi Medan kira-kira 10% dari seluruh persalinan, dan di Kuala Lumpur, Malaysia
(1953-1962) 3% dari seluruh persalinan (Wiknjosastro, 1999).
Perdarahan ante partum dapat disebabkan oleh plasenta previa, solusio plasenta,
ruptura sinus marginalis, atau vasa previa. Yang paling banyak menurut data RSCM
jakarta tahun 1971-1975 adalah solusio plasenta dan plasenta previa. Diagnosa secara
tepat sangat membantu menyelamatkan nyawa ibu dan janin. Ultrasonografi merupakan
motede pertama sebagai pemeriksaan penunjang dalam penegakkan plasenta previa.
Plasenta Previa adalah suatu kesulitan kehamilan yang terjadi pada trimesters kedua dan
ketiga kehamilan. Dapat mengakibatkan kematian bagi ibu dan janin. Ini adalah salah satu
penyebab pendarahan vaginal yang paling banyak pada trimester kedua dan ketiga.
Plasenta Previa biasanya digambarkan sebagai implantation dari plasenta di dekat ostium
interna uteri (didekat cervix uteri).
Di AS plasenta previa ditemukan kira-kira 5 dari 1.000 persalinan dan mempunyai
tingkat kematian 0.03%. Data terbaru merekam dari 1989-1997 plasenta previa tercatat
didapat pada 2,8 kelahiran dari 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia, RSCM Jakarta
mencatat plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Antara tahun
1971-1975 terjadi 37 kasus plasenta previa diantara 4781 persalinan yang terdaftar, atau
kira-kira 1 dari 125 persalinan.
Angka kematian maternal karena plasenta previa berkisar 0,03%. Bayi yang lahir
dengan plasenta previa cenderung memiliki berat badan yang rendah dibandingkan bayi
yang lahir tanpa plasenta previa. Resiko kematian neonatal juga tinggi pada bayi dengan
plasenta previa, dibandingkan dengan bayi tanpa plasenta previa.
Maternal tingkat kematian yang sekunder ke plasenta previa kira-kira 0.03%. Bayi
wanita-wanita sudah takdir dengan plasenta previa [tuju/ cenderung] untuk menimbang
kurang dari bayi wanita-wanita sudah takdir tanpa plasenta previa. Resiko neonatal [dapat
mati/angka kematian] adalah yang lebih tinggi untuk plasenta previa bayi (me)lawan
kehamilan tanpa plasenta previa.
Solusio plasenta digambarkan sebagai separasi prematur dari plasenta dari dinding
uterus. Pasien dengan solusio plasenta secara khas memiliki gejala dengan pendarahan,
kontraksi uteri, dan fetal distres.
Di AS frekwensi solusio plasenta kira-kira 1%, dan solusio plasenta yang
mengakibatkan kematian didapatkan sebanyak 0.12% dari jumlah kehamilan (1:830).
Secara keseluruhan tingkat kematian janin pada solusio plasenta adalah 20-40%,
tergantung pada tingkat lepasnya plasenta. Nilai ini semakin tinggi tinggi pada pasien
dengan riwayat merokok. Sekarang ini, solusio plasenta adalah bertanggung jawab untuk
kira-kira 6% kematian maternal. Resiko solusio plasenta meningkatkan pada pasien
dengan umur dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun
1.2.
Rumusan Masalah
1.3.
Tujuan Penulisan
mengetahui
solusio
plasenta,
bagaimana
cara
mendiagnosis
dan
cara penanganannya.
Agar mengatahui rupture uteri, bagaimana cara mendiagnosis dan cara penanganannya.
1.4.
Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan penulis tentang Hemoragik Ante Partum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu.
Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28
minggu.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta,
sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan
serviks biasanya tidak berbahaya. Pada kasus perdarahan antepartum, pikirkan kemungkinan
yang lebih berbahaya lebih dahulu, yaitu perdarahan dari plasenta, karena merupakan
kemungkinan dengan prognosis terburuk atau terberat, dan memerlukan penatalaksanaan
gawat darurat segera.
Perdarahan antepartum dapat berasal dari :
misalnya kelainan serviks dan vagina (erosio porsionis uteri, polip servisis
uteri, varices vulva, ca porsionis uteri) dan trauma.
II.2. FREKUENSI
Frekuensi perdarahan antepartum kira-kira 3 % dari seluruh persalinan. Di RS
Tjipto Mangunkusumo (1971-1975) dilaporkan 14,3% dari seluruh persalinan.
2.
3.
4.
5.
Para ibu hamil yang patut dicurigai akan mengalami perdarahan antepartum ialah :
1. Para ibu yang umurnya telah lebih dari 35 tahun
2. Paritasnya 5 atau lebih
3. Bagian terbawah janin selalu terapung di atas pintu atas panggul, atau
4. Menderita pre-eklampsia
II.5. PENANGANAN
Penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transfusi
darah dan operasi. Pemasangan tampon dalam vagina tidak berguna sama sekali untuk
menghentikan perdarahan, malahan menambah perdarahan karena sentuhan serviks sewaktu
pemasangan. Selagi penderita belum jatuh ke dalam keadaan syok, infus cairan intravena
harus segera dipasang, dan dipertahankan terus sampai tiba di rumah sakit. Memasang jarum
infus ke dalam pembuluh darah, sehingga akan jauh lebih memudahkan transfusi darah
apabila sewaktu-waktu diperlukan. segera setelah tiba di rumah sakit pengadaan darah harus
segera dilakukan
Plasenta previa lateralis bila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta
Plasenta previa marginalis bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan
Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di segmen bawah uterus, akan
tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir . Pinggir plasenta kira-kira 3 atau 4 cm
diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir.
II.6.3. FREKUENSI
Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Di Rumah Sakit
Dr.Cipto Mangunkusumo, antara tahun 1971-1975, terjadi 37 kasus plasenta previa di antara
4781 persalinan yang terdaftar, atau kira-kira 1 diantara 125 persalinan terdaftar.
II.6.4. ETIOLOGI
Disamping masih banyak penyebab plasenta previa yang belum diketahui atau belum
jelas, bermacam-macam teari dan faktor-faktor dikemukakan sebagai etiologinya.
1. Endometrium yang inferior
2. Chorion leave yang persisten
3. Korpus luteum yang bereaksi lambat
Strassman mengatakan bahwa faktor terpenting adalah vaskularisasi yang kurang pada
desidua yang menyebabkan atrofi dan peradangan, sedangkan Browne menekankan bahwa
faktor terpenting ialah Vili Khorialis persisten pada desidua kapsularis.
Faktor-faktor Etiologi :
1. Umur dan Paritas
Pada Primigravida, umur diatas 35 tahun lebih sering daripada umur dibawah 25 tahun
Lebih sering pada paritas tinggi dari paritas rendah
Di Indonesia, menurut Toha, plasenta previa banyak dijumpai pada umur muda dan paritas
kecil; hal ini disebabkan banyak wanita Indonesia menikah pada usia muda dimana
endometrium masih belum matang (inferior).
2. Hipoplasia endometrium; bila kawin dan hamil pada usia muda
3. Endometrium cacat pada bekas persalinan berulang-ulang, bekas operasi, post operasi
caesar, kuretase, dan manual plasenta.
4. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.
5. Kehamilan janin kembar
6. Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium
7. Kadang-kadang pada malnutrisi.
8. Riwayat merokok.
darah beku
Palpasi
apabila presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung diatas pintu atas
panggul atau mengolak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu
atas panggul.
Tidak jarang terdapat kelainan letak, seperti letak lintang atau letak
sungsang.
Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah.
Tidak terdapat nyeri tekan uterus, uterus tidak tegang, dan tidak iritabel
10
Auskultasi
Pemeriksaan Inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakahperdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina. Apabila perdarahan
berasall dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
Pemeriksaan letak plasenta tidak langsung
Infus/ transfusi telah terpasang, kamar dan Tim Operasi telah siap
Kehamilan > 37 minggu ( berat badan > 2500 g) dan in partu, atau
ansefali)
11
II.6.6. PENANGANAN
Terapi Ekspektatif
Tujuan supaya janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non invasi.
- Syarat terapi ekspektatif :
Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dan tanda-tanda vital dalam
batas normal)
- Rawat inap, tirah baring, observasi tanda vital, dan berikan antibiotik profilaksis.
- Apabila berhubungan dengan trauma, monitoring sekurang-kurangnya 12-24 jam untuk
menyingkirkan kemungkinan solutio plasenta.
- Pemeriksaan USG untuk menentukan implantasi plasenta, usia kehamilan,letak, dan
presentasi janin.
- Perbaiki anemia dengan pemberian Sulfas ferosus atau Ferous fumarat peroral 60 mg
selama 1 bulan.
- Pastikan sarana untuk melakukan tranfusi
- Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu
dapat dirawat jalan (kecuali rumah pasien di luar kota atau diperlukan waktu > 2 jam untuk
mencapai rumah sakit) dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
-Jika perdarahan berulang pertimbangkan manfaat dan resiko ibu dan janin untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Terapi Aktif (tindakan segera)
Rencanakan terminasi kehamilan jika:
Janin matur
plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga
perdarahan berhenti.
Cara yang terpilih adalah pemecahan selaput ketuban (Amniotomi). Indikasi amniotomi pada
plasenta previa:
meninggal.
13
Apabila amniotomi tidak berhasil, maka terdapat 2 cara lain yang lebih
keras menekan plasenta dan mungkin pula lebih cepat menyelesaikan
persalinan, yaitu pemasangan cunam Willet, dan versi Braxton-Hicks.
Kedua cara tersebut telah ditinggalkan dalam dunia kebidanan muktahir
karena seksio caesaria jauh lebih aman. Kedua cara tersebut cenderung
dilakukan pada janin yang telah meninggal atau yang prognosis untuk
hidup di luar uterus tidak baik. Cara ini, apabila akan dilakukan, lebih
tepat dilakukan pada multipara karena persalinannya dijamin lebih lancar;
dengan demikian tekanan pada plasenta berlangsung tidak terlampau lama.
Seksio sesaria; bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan,
dengan demikian memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahnnya, dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan segmen
bawah uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan pervaginam.
Indikasi seksio caesaria pada plasenta previa:
14
II.6.7. KOMPLIKASI
Pada Ibu
Plesentitis
Pada Janin
Asfiksia berat
II.6.8. PROGNOSIS
Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif, maka mortalitas dan
morbiditas ibu dan bayi tinggi, mortalitas ibu mencapai 8-10% dan mortalitas janin 50-80%.
Sekarang penanganan relatif bersifat operatif dini, maka angka kematian dan kesakitan ibu
dan perinatal jauh menurun. Kematian maternal menjadi 0,1-5% terutama disebabkan
perdarahan, infeksi, emboli udara, dan trauma karena tindakan. Kematian perinatal juga turun
menjadi 7-25%, terutama disebabkan oleh prematuritas, asfiksia, prolaps funikuli, dan
persalinan buatan (tindakan).
15
16
2.
3.
Trauma
4.
5.
Multiparitas
17
II.7.5. PATOLOGI
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas.
Apabila darah yang terbentuk sedikit, hematoma hanya akan mendesak jaringan
plasenta, peredaran darah antara uterus dan plasenta belum terganggu, dan tanda atau
gejalanya pun tidak jelas.Hal ini baru diketahui setelah plasenta dikeluarkan dan terdapat
cekungan pada permukaan maternal.
Apabila hematoma retroplasenter bertambah berat, sehingga sebagian atau seluruh
plasenta dapat terlepas dari dinding uterus. Hal yang dapat terjadi adalah :
Sebagian darah akan menyelundup dibawah selaput ketuban keluar dari vagina ,Sebagian
darah akan menembus masuk kedalam kantong selaput ketuban keluar dari vagina ,Sebagian
darah akan mengadakan ekstravasasi kedalam otot uterus dan menyebabkan seluruh
permukaan uterus bebercak biru atau ungu yang disebut sebagai uterus couvelaire. Uterus
seperti ini akan terasa sangat tegang dan nyeri. Akibat kerusakan jaringan miometrium dan
pembekuan retroplasenter, banyak tromboplastin akan masuk ke dalam peredaran darah ibu,
sehingga terjadi pembekuan intravaskuler yang akan menghabiskan persedian fibrinogen
akibatnya terjadi hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak
hanya di uterus tapi juga pada alat tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok
dan pembekuan intravaskuler. Oliguria dan ptoteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli
ginjal yang biasanya berakibat fatal.
II.7.6. DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK
Solutio Plasenta Ringan
syok
Ibu Syok
Kemungkinan besar telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal
Solusio plasenta yang ringan, pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas,
perdarahan antepartum hanya sedikit, dalam hal ini diagnosis baru kita tegakkan setelah anak
lahir. Pada plasenta kita dapati koagulum-koagulum darah dan krater.
Pada keadaan yang agak berat kita dapat membuat diagnosis berdasarkan :
1. Anamnesis
Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat mana
yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan sekonyong-konyong (non-recurrent)
terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah.
Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu kelihatan
anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
Kadang-kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
19
2. Inspeksi
Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
Pucat, sianosis, keringat dingin.
Kelihatan darah keluar pervaginam.
3. Palpasi
TFU naik karena terbentuknya retroplasenter hematoma; uterus tidak sesuai dengan tuanya
kehamilan.
Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus)
baik waktu his maupun diluar his.
Nyeri tekan terutama di tempat plasenta tadi terlepas.
Bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140,
kemudian turun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari
sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup.
Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his
maupun diluar his.
Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun
ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini sering dikacaukan
dengan plasenta previa.
20
6. Pemeriksaan umum.
Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi
lambat laun turun dan pasien jatuh syok.
Nadi cepat, kecil, dan filiformis.
7. Pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Ultrasonography adalah suatu metode yang penting untuk mengetahui adanya pendarahan di
dalam uterus. Kualitas dan sensitifitas ultrasonografi dalam mendeteksi solusio plasenta telah
meningkat secra signifikan belakangan ini.
Tetapi bagaimanapun juga ini bukan metode yang sempurna dan sensitif untuk mendeteksi
solusio plasenta, tercatat hanya 25% kasus solusio plasenta yang ditegakkan dengan USG.
Solusio plasenta tampak sebagai gambaran gumpalan darah retroplacental, tetapi tidak semua
solusio plasenta yang di USG ditemukan gambaran seperti di atas. Pada fase akut, suatu
perdarahan biasanya hyperechoic, atau bahkan isoechoic, maka kita bandingkan dengan
plasenta.
Gambaran konsisten yang mendukung diagnosa solusio plasenta antara lain adalah; gumpalan
hematom retroplasenta (hyperochoic hingga isoechoic pada fase akut, dan berubah menjadi
hypoechoic dalam satu minggu), gambaran perdarahan tersembunyi, gambaran perdarahan
yang meluas. Manfaat lainnya adalah USG dapat dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain perdarahan antepartum.
21
8. Pemeriksaan laboratorium
Urin,albumin (+); pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan lekosit.
Darah
Hb menurun (anemi), periksa golongan darah, kalau bisa cross match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah a/hipofibrinogenemia,
maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap 1 jam, test kualitatif fibrinogen
(fiberindex), dan test kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 150 mg%).
9. Pemeriksaan plasenta
Sesudah bayi dan plasenta lahir, kita periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis dan cekung
di bagian plasenta yang terlepas (krater) dan terdapat koagulum atau darah beku di belakang
plasenta, yang disebut hematoma retroplasenter.
II.7.7. PENANGANAN
1.
Ekspektatif (Konservatif)
Prinsipnya kita hanya menunggu sampai perdarahan berhenti dan kemudian
partus spontan.
Dilakukan apabila kehamilan kurang dari 36 minggu, dan keadaan hemodinamik
yang stabil yakni perdarahan berhenti spontan, kontraksi uterus tidak ada, perut
tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup.
Pasien dirawat dengan tirah baring, atasi anemia, USG, dan CTG serial, berikan
tokolisis dengan syarat keadaan janin baik, lalu tunggu persalinan spontan.
Pemeriksaan laboratoirum darah lengkap , golongan darah, pembekuan darah
harus dilakukan
22
Aktif
Prinsipnya kita mencoba melakukan tindakan dengan maksud agar anak
segera dilahirkan dan perdarahan berhenti.
Dilakukan apabila ada perdarahan berlangsung terus, uterus berkontraksi, dapat
mengancam ibu/janin, gejala solutio plasenta itu bertambah jelas, atau dalam
pemantauan USG daerah solutio plasenta bertambah luas.
Disseminating Intravaskular Coagulophaty (DIC) harus disingkirkan, terutama
pada kasus-kasus dengan kematian janin. Bedside bleeding test dapat
mengkonfirmasikan diagnosis tersebut.
Apabila terdapat koagulopati, koreksi dengan fresh frozen plasma atau
cryoprecipitate. Segera setelah faktor pembekuan terkoreksi dan volume cairan
tergantikan, lakukan terminasi kehamilan.
Bila janin hidup, dilakukan seksio caesaria. Apabila janin mati, ketuban segera
dipecahkan (amniotomi) disusul pemberian infus oksitosin untuk mempercepat
persalinan pervaginam (dalam 6 jam). Bila kemajuan partus tidak memuaskan
atau pembukaan serviks kurang dari 5, lakukan seksio caesaria.
2.
minimal 1000 Cc. Dengan demikian, transfusi darah harus segera dilakukan. Tekanan
darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan karena vasospasmus sebagai
reaksi dari perdarahan ini akan meninggikan tekanan darah. Petunjuk paling tepat
untuk pemberian transfusi darah secukupnya ialah dengan mengukur tekanan vena
pusat (Central Venous Pressure (CVP), CVP pada triwulan ketiga sekitar 10 Cm Air.
Untuk memperbaiki hemodinamik pasien berikan lakukan juga resusitasi cairan
dengan saline atau ringer laktat dalam 2 jalur dengan jarum besar (16G, 18G).
Observasi terus keadaan janin, dan berikan O2 murni untuk pasien dengan hipotensi.
Ketuban segera dipecahkan, tidak peduli keadaan umum pasien dan tidak peduli
apakah persalinan akan dilakukan pervaginam atau per abdominam. Amniotomi akan
merangsang dimulainya persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin yang dapat
23
hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila
persalinan telah selesai, penderita belum bebas dari bahaya perdarahan postpartum
karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III,
dan kelainan pembekuan darah.
Kontraksi uterus yang tidak kuat itu disebabkan oleh ekstravasasi darah di anatara
otot-otot miometrium, seperti yang terjadi pada uterus Couvelaire. Apabila perdarahan
post-partum itu tidak dapat diatasi dengan kompresi bimanual uterus, pemberian
uterotonika, maupun pengobatan kelainan pembekuan darah, maka tindakan terakhir
untuk mengatasi perdarahan postpartum itu ialah histerektomia atau pengikatan arteria
hipogastrika.
b.
24
Selain keterangan yang sederhana ini, masih terdapat banyak keterangan lain
Oligouria dan gagal ginjal. Hanya dapat diketahui dengan pengukuran teliti
pengeluaran air kencing yang harus secara rutin dilakukan pada solution plasenta
sedang, dan berat, apalagi yang disertai perdarahan tersembunyi, pre-eklamsia, atau
hipertensi menahun. Terjadinya oligouria belum dapat diterangkan dengan jelas.
Sangat mungkin berhubungan dengan hipovolemia, dan penyempitan pembuluh darah
ginjal akibat perdarahan yang banyak. Ada pula yang menerangkan bahwa tekanan
intrauterine yang meninggi karena solution plasenta menimbulkan refleks
penyempitan pembuluh darah ginjal. Kelainan pembekuan darah berperanan pula
dalam terjadinya kelainan fungsi ginjal ini.
e.
Gawat janin. Jarang kasus solusio plasenta yang dating ke rumah sakit dengan
janin yang masih hidup. Kalau pun didapatkan janin masih hidup, biasanya
keadaannya sudah demikian gawat, kecuali pada kasus solution plasenta ringan.
II.7.9. PROGNOSIS
Terhadap ibu
Mortalitas menurut kepustakaan 5-10%, sedangkan di RS Pringadi Medan dilaporkan 6,7%.
Hal ini dikarenakan adanya perdarahan sebelum dan sesudah partus, toksemia gravidarum,
kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi.
Prognosis ibu tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya
perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah, ada tidaknya hipertensi menahun atau
preeklampsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, jarak waktu antara terjadinya solutio
plasenta dan pengosongan uterus.
25
Terhadap anak
Mortalitas anak tinggi menurut kepustakaan 70-80%, sedangkan di RS Pringadi Medan
77,7%. Hal ini tergantung pada derajat pelepasan dari plasenta, bila yang terlepas lebih dari
1/3 maka kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga tergantung pada prematuritas
dan tindakan persalinan.
Prognosis janin pada solutio plasenta berat hampir 100% mengalami kematian. Pada solutio
plasenta ringan dan sedang, kematian janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas
dari dinding uterus dan tuanya kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 mL biasanya
menyebabkan kematian janin.
Terhadap kehamilan berikutnya
Biasanya bila telah menderita penyakit vaskuler dengan solusio plasenta, maka pada
kehamilan berikutnya sering terjadio solusio plasenta yang lebih berat dengan partus
prematurus atau immaturus.
26
27
terjadi regangan saat persalinan berikutnya lebih mudah terjadi ruptura uteri. Sebagai
tindakan terapi terdapat 2 pilihan yakni: histerektomi atau histerorafi. Yang lebih banyak
dikerjakan adalah histerektomi dibandingkan dengan histerorafi. Alasan dipilih histerektomi
adalah adanya kekhawatiran terjadinya ruptura uteri kembali pada kehamilan berikutnya.
II.8.1. DEFINISI
Ruptura uteri digolongkan menjadi ruptura uteri lengkap dan ruptura uteri tidak
lengkap, tergantung apakah laserasi tersebut berhubungan dengan kavum peritonei (lengkap)
atau dipisahkan dari kavum tersebut oleh peritoneum viseralis uterus atau oleh ligamentum
kardinale (tidak lengkap).
Ruptura uteri yang tidak lengkap bisa berubah menjadi lengkap. Harus juga dibedakan
antara ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea dan dehisensi jaringan parut bekas seksio
sesarea. Ruptura paling tidak berarti pelepasan atau pemisahan luka insisi lama di sepanjang
uterus dengan robeknya selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan
kavum peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami ekstrusi ke
dalam kavum peritoneum.
Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan yang masif dari tepi jaringan parut atau
dari perluasan robekan yang mencapai bagian uterus yang tadinya tidak apa-apa. Sebaliknya,
pada dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea, selaput ketuban tidak pecah dan janin
tidak mengalami ekstruksi ke dalam kavum peritoneum. Ciri khas dari dehisensi adalah
pemisahan tersebut tidak mengenai seluruh jaringan parut yang sudah ada sebelumnya pada
uterus, sehingga peritoneum yang melapisi defek masih utuh dan perdarahan minimal atau
tidak ada.
II.8.2. ETIOLOGI
28
Jaringan
parut
seksio
sesarea
Trauma abdomen
kokain
masa
oksitosin
dengan
dosis
pada
Infus
berlebihan
atau Dinoprostone)
disproporsi cephalopelvik
kehamilan
II.8.3. KLASIFIKASI
Ruptur Uteri Tanpa Jaringan Parut
Ruptur Spontan
Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus yang utuh
(tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju karena rintangan,
misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang, dan sebagainya, sehingga
segmen bawah uterus makin lama makin diregangan. Pada suatu regangan yang terus
bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptura uteri.
Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptura uteri ialah multiparitas; di
sini di tengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan
kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan
robekan. Banyak juga dilaporkan bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun-dukun
memudahkan terjadinya ruptura uteri.
Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun itu biasanya melakukan tekanan keras ke
bawah terus menerus pada fundus uteri; hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah
uterus yang regang dan mengakibatkan terjadinya ruptura uteri. Pemberian oksitosin dalam
dosis yang terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan
ruptura uteri.
29
of
Previous
Successful
Rupture
Perinatal
Cesareans
VBACs
Rate
Mortality
scar
83%
0.6%
0.018%
1,586 Planned
76%
1.8%
0.063%
10,880Planned
VBACs
withone prior
VBACs
withtwo prior
30
scars
241 Planned
VBACs
withthree prior
scars
79%
1.2%
Diantara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang telah terjadi sesudah seksio
sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri daripada parut bekas seksio sesarea
profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen
bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dapat masa nifas dapat
sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptura uteri pada bekas parut seksio
sesaria klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai,
sedang peristiwa tersebut pada parut bekas seksio sesaria profunda umumnya terjadi pada
waktu persalinan. Ruptura uteri pasca seksio sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala seperti
telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala.
Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan yang mendadak, melainkan lambat laun
jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah
ruptura uteri.
Di sini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptura uteri
inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteri besar terbuka dan timbul perdarahan
yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya
janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada.
Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan
Jika arteri besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok; janin dalam
uterus meninggal pula.
31
Williams (1921) beranggapan bahwa uterus sembuh melalu regenerasi serat-serat otot
dan bukan oleh pembentukan jaringan parut. Schwarz dkk. (1938) menyimpulkan bahwa
penyembuhan terjadi terutama melalui proliferasi fibroblas.
II.8.4. MEKANISME TERJADINYA RUPTURA UTERI
Mekanisme utama dari ruptura uteri disebabkan oleh peregangan berlebihan dari
uterus yang kadang disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada ruptura uteri. Bila
disproporsi yang terjadi sedemikian besar maka uterus menjadi sangat teregang dan
kemudian dapat menyebabkan ruptura. Walaupun jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin
lokal uterus pada persalinan yang berkeapanjangan. Yang paling sering adalah cincin retraksi
patologis Bandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila dijumpai 2-3 jari di atas simfisis, bila meninggi
maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri iminens (RUI).
R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)
Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan serviks
menjadi lembek (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat
maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat), maka
SBR yang pasif akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis- lingkaran Bandl
ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi- Ruptura Uteri.
II.8.5. GEJALA
Gejala Ruptura Uteri Iminens
Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
32
Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama(prolonged labor), yaitu mulut kering,
lidah kering dan haus, badan panas (demam).
His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras,
terutama sebelah kiri atau keduanya.
Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR teraba
tipis dan nyeri kalau ditekan.
Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang yang
bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis dan
teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh,
untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya SBR
terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa, misalnya terjadi pada
asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.
Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan
teregang ke
atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi ada
hematuri.
Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda obstruksi seperti edema porsio,
vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
Bila ruptura uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan terjadilah
ruptura uteri.
menjerit
seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat
dingin sampai kolap Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.Muntah-muntah
karena perangsangan peritoneum. Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak
terukur .Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau
bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.Kadang-kadang ada
perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan di bahu.Kontraksi uterus biasanya
hilang.Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus.
33
B . Palpasi
Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutanBila
kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.Bila janin sudah
keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut maka teraba bagian-bagian janin
langsung di bawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu
bola keras sebesar kelapa.
Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
C. Auskultasi .
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah
ruptura, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut.
D. Pemeriksaan Dalam.
Kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah, dengan mudah dapat didorong ke
atas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak.
Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari
atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum, dan bagianbagian janin. Kalau jari tangan kita yang di dalam kita temukan dengan jari luar, maka terasa
seperti dipisahkan oleh bagian yang tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba fundus
uteri.
E. Kateterisasi.
Hematuri hebat menandakan adanya robekan kandung kemih.
II.8.6. DIAGNOSA BANDING
Solusio plasenta
Plasenta Previa
Klinis
Terjadinya
Rupture uteri
Solution placenta
Sewaktu hamil dan
Placenta previa
inpartu
Sewaktu hamil
Tiba-tiba
Perlahan-lahan
Cara
memulainya
34
Perdarahan
Bergantung pada
pembuluh darah yang
pecah
Warna darah
Merah terang
Preeklamsi/eklamsi
Bias ada
Nyeri perut
+ di SBR
Palpasi
Defans muskuler
HIS
Hilang
DJJ
VT
Robekan
Placenta
Biasa
II.8.7. KOMPLIKASI
Kerusakan ureter
DIC
Kematian maternal
Kematian perinatal
Recurrent
Non recurrent
Merah kehitaman
Uteri in-bois
Kuat
Ketuban tegang
Tipis,cekung
Merah terang
Biasa dan foating
Biasa
+
Jaringan placenta
Robek dipinggir
II.8.8. PENATALAKSANAAN
Pada kasus ruptura uteri harus dilakukan tindakan segera. Jiwa wanita yang
mengalami ruptura uteri paling sering tergantung dari kecepatan dan efisiensi dalam
mengoreksi keadaan hipovolemia dan mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan bahwa
syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan
arteri dapat dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini, keterlambatan dalam tindakan
pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah harus ditransfusi dengan cepat dan seksio
sesarea atau laparatomi segera dimulai. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu
sebelum jadwal persalinan. Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea
sebelum jadwal persalinan dimulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu.
Apabila sudah terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin
dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika
janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak
dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan kepala
sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap diagnosis ruptura uteri.
35
Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan dalam uterus
apakah ada ruptura uteri.
Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam usaha untuk
mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang sangat istimewa hal itu dilakukan; dua
syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata seperti pada ruptura parut
bekas seksio sesaria, dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Pengobatan untuk memerangi syok
dan infeksi sangat penting dalam penanganan penderita dengan ruptura uteri.
Pada kasus-kasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat membantu
mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan kontraksi
miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi perdarahan.
II.8.9. PROGNOSIS
Ruptura uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi ibu dan lebih-lebih bagi
janin. Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50% hingga
75%. Janin umumnya meninggal pada ruptura uteri. Tetapi, jika janin masih hidup pada saat
peristiwa tersebut terjadi, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah
dengan persalinan segera, yang paling sering dilakukan adalh laparatomi. Kalau tidak,
keadaan hipoksia baik sebagai akibat terlepasnya plasenta maupun hipovolemia maternal
tidak akan terhindari. Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena
perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan
dapat terjadi spontan pernah pula terjadi pada kasus yang luar biasa.
Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat, ketersediaan darah dalam jumlah besar dan
terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita
dengan ruptura uteri yang hamil.
36
BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Perdarahan antepartum dapat berasal dari kelainan plasenta dan bukan dari kelainan
plasenta. Perdarahan yang cepat dan banyak berasal dari kelainan plasenta. Frekwensi
terbanyak ialah plasenta previa dan solutio plasenta.
1. Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada kehamilan setelah 28 minggu.
2. Faktor-faktor terjadinya perdarahan antepartum adalah plasenta previa, solusio plasenta,
ruptur sinus marginalis, plasenta letak rendah atau vasa previa.
3. Pentingnya diagnosa secara dini membantu penatalaksanaan secara dini sehingga dapat
mengurangi angka mortalitas.
4. penggunaan Ultrasonography pada plasenta previa sangat akurat dan menunjang diagnosa
secara cepat.
5. Penatalaksanaan perdarahan antepartum yang baik dapat mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas ibu dan janin.
II.2. SARAN
Perlu kiranya kita sebagai klinisi untuk mencegah terjadinya kasus seperti ini
dikemudian hari dengan cara menjauhi predisposisi terjadinya perdarahan antepartum,
37
walaupun belum tentu dapat dihindari. Namun yang paling penting dari kasus ini adalah
bagaimana cara kita bertindak untuk menyelamatkan ibu dan janin dengan resiko sekecil
mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Library.usu.ac.id/download/fk/anatomi-djakobus.3.pdf
2. Wiknjosastro, H, Saifuddin A.B, Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Ilmu Kebidanan,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002;362-385
3. Mochtar R, Perdarahan Antepartum (hamil tua). Sinopsis Obstetri obstetri fisiologis
obstetri patologis, edisi kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1998;269-287
4.Bagian Obstetri & Ginekologi Fak.Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Obstetri
Patologi, Ed. 1984, Elstar Offset Bandung, halo 110-120.
5.Saifuddin A.B, Adriansz G, Wiknjosastro, H, Waspodo D. Perdarahan kehamilan lanjut dan
persalinan. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan
Bina Pustaka Sarwomo Prawirohardjo, Jakarta, 2002;M-18-M-22
6.Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Plasenta Previa, Antepartum hemorrhage. In :
Williams Obstetrics, 22st ed, Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange,
Connecticut, 2001; 712-716
38
39