Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya
dan mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan
yang berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus,
sedangkan pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara
kehamilan muda dan kehamilan tua ialah kehamilan 22 minggu, mengingat kemungkinan
hidup janin diluar uterus
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sebesar 420 per 100.000
kelahiran hidup, rasio tersebut sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya (Mauldin, 1994).
Langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu adalah
mengetahui penyebab utama kematian. Di Indonesia sampai saat ini ada tiga penyebab
utama kematian ibu yaitu perdarahan, pre eklampsia-eklampsia, dan infeksi.
Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya dan
mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang
berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan
pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda
dan kehamilan tua ialah kehamilan 28 minggu (dengan berat janin 1000 gram), meningat
kemungkinan hidup janin diluar uterus (Wiknjosastro, 1999).
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu.
Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28
minggu (Mochtar, R, 1998).
Frekuensi perdarahan antepartum kira-kira 3% dari seluruh persalinan. Di Rumah
Sakit Tjipto Mangunkusumo (1971-1975) dilaporkan 14,3% dari seluruh persalinan; R.S.
Pirngadi Medan kira-kira 10% dari seluruh persalinan, dan di Kuala Lumpur, Malaysia
(1953-1962) 3% dari seluruh persalinan (Wiknjosastro, 1999).
Perdarahan ante partum dapat disebabkan oleh plasenta previa, solusio plasenta,
ruptura sinus marginalis, atau vasa previa. Yang paling banyak menurut data RSCM
jakarta tahun 1971-1975 adalah solusio plasenta dan plasenta previa. Diagnosa secara

tepat sangat membantu menyelamatkan nyawa ibu dan janin. Ultrasonografi merupakan
motede pertama sebagai pemeriksaan penunjang dalam penegakkan plasenta previa.
Plasenta Previa adalah suatu kesulitan kehamilan yang terjadi pada trimesters kedua dan
ketiga kehamilan. Dapat mengakibatkan kematian bagi ibu dan janin. Ini adalah salah satu
penyebab pendarahan vaginal yang paling banyak pada trimester kedua dan ketiga.
Plasenta Previa biasanya digambarkan sebagai implantation dari plasenta di dekat ostium
interna uteri (didekat cervix uteri).
Di AS plasenta previa ditemukan kira-kira 5 dari 1.000 persalinan dan mempunyai
tingkat kematian 0.03%. Data terbaru merekam dari 1989-1997 plasenta previa tercatat
didapat pada 2,8 kelahiran dari 1000 kelahiran hidup. Di Indonesia, RSCM Jakarta
mencatat plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Antara tahun
1971-1975 terjadi 37 kasus plasenta previa diantara 4781 persalinan yang terdaftar, atau
kira-kira 1 dari 125 persalinan.
Angka kematian maternal karena plasenta previa berkisar 0,03%. Bayi yang lahir
dengan plasenta previa cenderung memiliki berat badan yang rendah dibandingkan bayi
yang lahir tanpa plasenta previa. Resiko kematian neonatal juga tinggi pada bayi dengan
plasenta previa, dibandingkan dengan bayi tanpa plasenta previa.
Maternal tingkat kematian yang sekunder ke plasenta previa kira-kira 0.03%. Bayi
wanita-wanita sudah takdir dengan plasenta previa [tuju/ cenderung] untuk menimbang
kurang dari bayi wanita-wanita sudah takdir tanpa plasenta previa. Resiko neonatal [dapat
mati/angka kematian] adalah yang lebih tinggi untuk plasenta previa bayi (me)lawan
kehamilan tanpa plasenta previa.
Solusio plasenta digambarkan sebagai separasi prematur dari plasenta dari dinding
uterus. Pasien dengan solusio plasenta secara khas memiliki gejala dengan pendarahan,
kontraksi uteri, dan fetal distres.
Di AS frekwensi solusio plasenta kira-kira 1%, dan solusio plasenta yang
mengakibatkan kematian didapatkan sebanyak 0.12% dari jumlah kehamilan (1:830).
Secara keseluruhan tingkat kematian janin pada solusio plasenta adalah 20-40%,
tergantung pada tingkat lepasnya plasenta. Nilai ini semakin tinggi tinggi pada pasien
dengan riwayat merokok. Sekarang ini, solusio plasenta adalah bertanggung jawab untuk
kira-kira 6% kematian maternal. Resiko solusio plasenta meningkatkan pada pasien
dengan umur dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun

1.2.

Rumusan Masalah

Adapun tujuan penulisan makalai ini adalah :


Apa yang dimaksud dengan perdarahan antepartum?
Apa saja Klasifikasi Perdarahan Antepartum?
Apa yang dimaksud dengan plasenta previa, bagaimana cara mendiagnosis dan
cara penanganannya?
Apa yang dimaksud dengan solusio plasenta, bagaimana cara mendiagnosis dan
cara penanganannya?
Apa yang dimaksud dengan rupture uteri?

1.3.

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalai ini adalah :


Agar mengetahui apa itu perdarahan antepartum.
Agar mengetahui Klasifikasi Perdarahan Antepartum.
Agar mengetahui plasenta previa, bagaimana cara mendiagnosis dan cara penanganannya.
Agar

mengetahui

solusio

plasenta,

bagaimana

cara

mendiagnosis

dan

cara penanganannya.
Agar mengatahui rupture uteri, bagaimana cara mendiagnosis dan cara penanganannya.
1.4.

Manfaat Penulisan
Menambah pengetahuan penulis tentang Hemoragik Ante Partum

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu.
Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28
minggu.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta,
sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan
serviks biasanya tidak berbahaya. Pada kasus perdarahan antepartum, pikirkan kemungkinan
yang lebih berbahaya lebih dahulu, yaitu perdarahan dari plasenta, karena merupakan
kemungkinan dengan prognosis terburuk atau terberat, dan memerlukan penatalaksanaan
gawat darurat segera.
Perdarahan antepartum dapat berasal dari :

Kelainan plasenta, yaitu plasenta previa, solutio plasenta (abruption

plasenta), atau perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, seperti


insersio velamentosa, rupture sinus marginalis dan plasenta sirkumvalata.

Bukan dari kelainan plasenta, biasanya tidak begitu berbahaya,

misalnya kelainan serviks dan vagina (erosio porsionis uteri, polip servisis
uteri, varices vulva, ca porsionis uteri) dan trauma.

II.2. FREKUENSI
Frekuensi perdarahan antepartum kira-kira 3 % dari seluruh persalinan. Di RS
Tjipto Mangunkusumo (1971-1975) dilaporkan 14,3% dari seluruh persalinan.

II.3. GAMBARAN KLINIK


Pada umumnya penderita mengalami perdarahan pada triwulan ketiga, atau
setelah kehamilan 28 minggu. Perdarahan antepartum tanpa rasa nyeri merupakan
tanda khas plasenta previa, apalagi kalau disertai tanda-tanda lainnya, seperti
bagian terbawah janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul, atau kelainan
letak janin. Karena Tanda pertama adalah perdarahan sehingga pada umumnya
penderita segera datang untuk meminta pertolongan. Lain halnya dengan solutio
plasenta. Kejadiannya tidak segera ditandai oleh perdarahan pervaginam, sehingga
mereka tidak segera datang untuk mendapatkan pertolongan. Gejala pertamanya
ialah rasa nyeri pada kandungan yang makin lama makin hebat, dan berlangsung
terus menerus. Nyeri ini sering diabaikan, disangka sebagai tanda permulaan
persalinan biasa. Baru setelah penderita pingsan karena perdarahan retroplasenta
yang banyak, atau setelah tampak ada perdarahan pervaginam, mereka datang
untuk mendapatkan pertolongan. Pada keadaan demikian biasanya janin telah
meninggall dalam kandungan.

II.4. PENGAWASAN ANTENATAL


Pengawasan antenatal dapat dipakai sebagai cara untuk mengetahui atau
menanggulangi perdarahan antepartum, yaitu :
1.

Penentuan golongan darah ibu dan golongan darah calon donornya

2.

Pengobatan anemia dalam kehamilan

3.

Seleksi ibu untuk bersalin dirumah sakit

4.

Memperhatikan kemungkinan adanya plasenta praevia

5.

Mencegah serta mengobati penyakit hipertensi menahun dan


pre-eklampsia.

Para ibu hamil yang patut dicurigai akan mengalami perdarahan antepartum ialah :
1. Para ibu yang umurnya telah lebih dari 35 tahun
2. Paritasnya 5 atau lebih
3. Bagian terbawah janin selalu terapung di atas pintu atas panggul, atau
4. Menderita pre-eklampsia
II.5. PENANGANAN
Penderita harus segera dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transfusi
darah dan operasi. Pemasangan tampon dalam vagina tidak berguna sama sekali untuk
menghentikan perdarahan, malahan menambah perdarahan karena sentuhan serviks sewaktu
pemasangan. Selagi penderita belum jatuh ke dalam keadaan syok, infus cairan intravena
harus segera dipasang, dan dipertahankan terus sampai tiba di rumah sakit. Memasang jarum
infus ke dalam pembuluh darah, sehingga akan jauh lebih memudahkan transfusi darah
apabila sewaktu-waktu diperlukan. segera setelah tiba di rumah sakit pengadaan darah harus
segera dilakukan

II.6. PLASENTA PREVIA


II.6.1. DEFINISI
Plasenta previa ialah suatu keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat yang
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal). Pada keadaan normal plasenta terletak diatas
uterus.
II.6.2. KLASIFIKASI
Didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada
waktu tertentu
Plasenta previa totalis bila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta

Plasenta previa lateralis bila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta

Plasenta previa marginalis bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan

Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di segmen bawah uterus, akan
tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir . Pinggir plasenta kira-kira 3 atau 4 cm
diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan jalan lahir.
II.6.3. FREKUENSI
Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Di Rumah Sakit
Dr.Cipto Mangunkusumo, antara tahun 1971-1975, terjadi 37 kasus plasenta previa di antara
4781 persalinan yang terdaftar, atau kira-kira 1 diantara 125 persalinan terdaftar.
II.6.4. ETIOLOGI
Disamping masih banyak penyebab plasenta previa yang belum diketahui atau belum
jelas, bermacam-macam teari dan faktor-faktor dikemukakan sebagai etiologinya.
1. Endometrium yang inferior
2. Chorion leave yang persisten
3. Korpus luteum yang bereaksi lambat
Strassman mengatakan bahwa faktor terpenting adalah vaskularisasi yang kurang pada
desidua yang menyebabkan atrofi dan peradangan, sedangkan Browne menekankan bahwa
faktor terpenting ialah Vili Khorialis persisten pada desidua kapsularis.

Faktor-faktor Etiologi :
1. Umur dan Paritas
Pada Primigravida, umur diatas 35 tahun lebih sering daripada umur dibawah 25 tahun
Lebih sering pada paritas tinggi dari paritas rendah
Di Indonesia, menurut Toha, plasenta previa banyak dijumpai pada umur muda dan paritas
kecil; hal ini disebabkan banyak wanita Indonesia menikah pada usia muda dimana
endometrium masih belum matang (inferior).
2. Hipoplasia endometrium; bila kawin dan hamil pada usia muda
3. Endometrium cacat pada bekas persalinan berulang-ulang, bekas operasi, post operasi
caesar, kuretase, dan manual plasenta.
4. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.
5. Kehamilan janin kembar
6. Tumor-tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium
7. Kadang-kadang pada malnutrisi.
8. Riwayat merokok.

II.6.5. DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK


Sifat Perdarahan
Perdarahan tanpa alasan dan tanpa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari
plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa. Perdarahan
pertama biasanya tidak banyak, akan tetapi, perdarahan berikutnya hampir selalu lebih
banyak daripada sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya sudah dilakukan pemeriksaan dalam.
Pada kehamilan 20 minggu dapat terjadi perdarahan karena sejak itu segmen bawah uterus
telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah tuanya kehamilan,
segmen-segmen uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila
plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan
serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di situ tanpa terlepasnya sebagian
plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan. Darahnya berwarna
merah segar.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala gejala klinis dan beberapa pemeriksaan :
Anamnesis
Perdarahan dari jalan lahir pada kehamilan setelah 20minggu, tanpa rasa nyeri,
tanpa alasan, berulang dengan volume lebih banyak daripada sebelumnya,
terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari
anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.
Pemeriksaan luar
Inspeksi

Dapat dilihat perdarahan yang keluar pervaginam: banyak, sedikit, dan

darah beku

Bila berdarah banyak ibu tampak pucat/ anemis.

Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul,

Palpasi
apabila presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung diatas pintu atas
panggul atau mengolak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu
atas panggul.

Tidak jarang terdapat kelainan letak, seperti letak lintang atau letak

sungsang.

Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri masih rendah.

Tidak terdapat nyeri tekan uterus, uterus tidak tegang, dan tidak iritabel

10

Auskultasi

Denyut jantung janin biasanya normal

Pemeriksaan Inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakahperdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina. Apabila perdarahan
berasall dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
Pemeriksaan letak plasenta tidak langsung

Pemeriksaan radiografi dan radioisotope yang sudah ditinggalkan

Pemeriksaan ultrasonografi merupakan cara yang paling tepat untuk

menegakkan diagnosis definitif, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi


ibu dan janin. Pemeriksaan USG rutin pada kehamilan 18-20 minggu
dengan plasenta letak-rendah tidak dianjurkan, kecuali terjadi perdarahan
berulang. Pemeriksaan USG rutin untuk kehamilan dengan plasenta previa
partial atau total dianjurkan setelah 32 minggu, walaupun saat itu tidak
terjadi perdarahan.
Pemeriksaan letak plasenta secara langsung
Diagnosis plasenta previa dahulunya jarang ditegakkan melalui pemeriksaan
klinis, kecuali jari tangan pemeriksa dimasukkan lewat serviks dan jaringan
plasenta teraba. (Dewasa ini dengan adanya pemeriksaan USG, pemeriksaan
tersebut tidak lagi dilakukan). Pemeriksaan serviks semacam ini tidak pernah
diperbolehkan kecuali bila wanita tersebut sudah berada di kamar operasi
dengan segala persiapan untuk pembedahan seksio sesarea segera, karena
pemeriksaan serviks yang paling hati-hati pun dapat menimbulkan
perdarahan hebat.
Pemeriksaan dalam diatas meja operasi (PDMO) dapat dilakukan bila semua
syarat terpenuhi, yaitu :

Infus/ transfusi telah terpasang, kamar dan Tim Operasi telah siap

Kehamilan > 37 minggu ( berat badan > 2500 g) dan in partu, atau

Janin telah meninggal atau terdapat anomaly congenital mayor (misal

ansefali)

Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu

atas panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar.

11

II.6.6. PENANGANAN
Terapi Ekspektatif
Tujuan supaya janin tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non invasi.
- Syarat terapi ekspektatif :

Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti

Belum ada tanda inpartu

Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dan tanda-tanda vital dalam

batas normal)

Janin masih hidup

- Rawat inap, tirah baring, observasi tanda vital, dan berikan antibiotik profilaksis.
- Apabila berhubungan dengan trauma, monitoring sekurang-kurangnya 12-24 jam untuk
menyingkirkan kemungkinan solutio plasenta.
- Pemeriksaan USG untuk menentukan implantasi plasenta, usia kehamilan,letak, dan
presentasi janin.
- Perbaiki anemia dengan pemberian Sulfas ferosus atau Ferous fumarat peroral 60 mg
selama 1 bulan.
- Pastikan sarana untuk melakukan tranfusi
- Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu

masih lama, pasien

dapat dirawat jalan (kecuali rumah pasien di luar kota atau diperlukan waktu > 2 jam untuk
mencapai rumah sakit) dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan.
-Jika perdarahan berulang pertimbangkan manfaat dan resiko ibu dan janin untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Terapi Aktif (tindakan segera)
Rencanakan terminasi kehamilan jika:

Janin matur

Janin mati atau menderita anomaly atau keadaan yang mengurangi

kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)

Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang

aktif dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa


memandang maturitas janin.
Untuk pasien dengan perdarahan aktif dan gangguan hemodinamik, tindakan segera yang
harus dilakukan adalah terminasi kehamilan dan penggantian cairan tubuh.
12

Selama persiapan proses terminasi kehamilan, dilakukan:

Resusitasi cairan dengan saline atau ringer laktat, 2 jalur, jarum

besar (16G, 18G)

Persiapkan 4 labu darah yang sesuai golongan darah pasien

Observasi keadaan janin

Berikan O2 murni untuk semua pasien dengan hipotensi (konsumsi

O2 pada kehamilan meningkat hingga 20% dan janin sangat rentan


terhadap hipoksia)
Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa
Faktor-faktor yang menentukan sikap atau tindakan persalinan mana yang akan
dipilih adalah :
Jenis plasenta previa
Perdarahan: banyak, atau sedikit tapi berulang-ulang
Keadaan umum ibu hamil
Keadaan janin: hidup, gawat janin, atau meninggal
Pembukaan jalan lahir
Paritas atau jumlah anak hidup
Fasilitas penolong dan rumah sakit.
Setelah memperhatikan factor-faktor diatas, ada 2 pilihan persalinan, yaitu:
Persalinan

pervaginam; bertujuan agar bagian terbawah janin menekan

plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga
perdarahan berhenti.
Cara yang terpilih adalah pemecahan selaput ketuban (Amniotomi). Indikasi amniotomi pada
plasenta previa:

Plasenta previa lateralis atau marginalis atau letak rendah, bila

telah ada pembukaan

Pada primigravida dengan plasenta previa lateralis atau

marginalis dengan pembukaan 4 cm atau lebih

Plasenta previa lateralis/marginalis dengan janin yang telah

meninggal.

13

Apabila amniotomi tidak berhasil, maka terdapat 2 cara lain yang lebih
keras menekan plasenta dan mungkin pula lebih cepat menyelesaikan
persalinan, yaitu pemasangan cunam Willet, dan versi Braxton-Hicks.
Kedua cara tersebut telah ditinggalkan dalam dunia kebidanan muktahir
karena seksio caesaria jauh lebih aman. Kedua cara tersebut cenderung
dilakukan pada janin yang telah meninggal atau yang prognosis untuk
hidup di luar uterus tidak baik. Cara ini, apabila akan dilakukan, lebih
tepat dilakukan pada multipara karena persalinannya dijamin lebih lancar;
dengan demikian tekanan pada plasenta berlangsung tidak terlampau lama.
Seksio sesaria; bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan,
dengan demikian memberikan kesempatan kepada uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahnnya, dan untuk menghindarkan perlukaan serviks dan segmen
bawah uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan pervaginam.
Indikasi seksio caesaria pada plasenta previa:

Semua plasenta previa totalis, janin hidup atau meninggal;

semua plasenta previa partialis, plasenta previa marginalis


posterior, karena perdarahan yang sulit dikontrol dengan cara-cara
yang ada.

Semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan

tidak berhenti dengan tindakan-tindakan yang ada

Plasenta previa dengan panggul sempit, letak lintang.

14

II.6.7. KOMPLIKASI

Pada Ibu

Perdarahan hingga syok akibat perdarahan

Anemia karena perdarahan

Plesentitis

Endometritis pasca persalinan

Robekan-robekan jalan lahir akibat tindakan

Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu

dibersihkan dengan kerokan.

Pada Janin

Persalinan prematur atau lahir mati

Prolaps tali pusat

Asfiksia berat

II.6.8. PROGNOSIS
Karena dahulu penanganan relatif bersifat konservatif, maka mortalitas dan
morbiditas ibu dan bayi tinggi, mortalitas ibu mencapai 8-10% dan mortalitas janin 50-80%.
Sekarang penanganan relatif bersifat operatif dini, maka angka kematian dan kesakitan ibu
dan perinatal jauh menurun. Kematian maternal menjadi 0,1-5% terutama disebabkan
perdarahan, infeksi, emboli udara, dan trauma karena tindakan. Kematian perinatal juga turun
menjadi 7-25%, terutama disebabkan oleh prematuritas, asfiksia, prolaps funikuli, dan
persalinan buatan (tindakan).

15

II.7. SOLUTIO PLASENTA


II.7.1. DEFINISI
Solutio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri
sebelum janin lahir. Biasanya terjadi dalam triwulan ketiga.
Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio plasentae, abruptio plasentae,
accidental haemorrhage dan prematur separation of the normally implanted placenta.
II.7.2. KLASIFIKASI
Menurut derajat lepasnya plasenta :
Solusio plasenta totalis, bila plasenta terlepas seluruhnya
- Solusio plasenta parsialis, bila plasenta sebagian terlepas
Ruptura sinus marginalis, bila hanya sebagian kecil pnggir plasenta yang terlepas.
Solusio plasenta dengan perdarahan yang keluar, perdarahan dapat menyelundup keluar
dibawah selaput ketuban.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, perdarahan tersembunyi dibelakang
plasenta.

Secara klinis berdasarkan tanda klinis yang menyertainya :


Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta sedang

16

Solusio plasenta berat


II.7.3. FREKUENSI
Frekuensi yang dilaporkan untuk solutio plasenta adalah 1 diantara 50 persalinan.Dii
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 1968 1971 solutio plasenta terjadi
pada kira kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solutio plasenta sedang,
dan 86% solutio plasenta berat. Solutio plasenta ringan jarang didiagnosis.
II.7.4. ETIOLOGI
Penyebab utama dari solusio plasenta , masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian , beberapa hal tersebut dibawah ini diduga merupakan faktor faktor yang
berpengaruh pada kejadiannya, antara lain :
1.

Hipertensi essensialis atau preeklamsi

2.

Tali pusat yang pendek

3.

Trauma

4.

Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior

5.

Uterus yang sangat mengecil

( Hidramnion pada waktu ketuban pecah,

kehamilan ganda pada waktu anak pertama lahir ).


Disamping itu , ada juga pengaruh dari :

Umur lbu yang tua

Multiparitas

Ketuban pecah sebelum waktunya

Defisiensi asam folat

Merokok, alkohol, kokain

17

II.7.5. PATOLOGI
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas.
Apabila darah yang terbentuk sedikit, hematoma hanya akan mendesak jaringan
plasenta, peredaran darah antara uterus dan plasenta belum terganggu, dan tanda atau
gejalanya pun tidak jelas.Hal ini baru diketahui setelah plasenta dikeluarkan dan terdapat
cekungan pada permukaan maternal.
Apabila hematoma retroplasenter bertambah berat, sehingga sebagian atau seluruh
plasenta dapat terlepas dari dinding uterus. Hal yang dapat terjadi adalah :
Sebagian darah akan menyelundup dibawah selaput ketuban keluar dari vagina ,Sebagian
darah akan menembus masuk kedalam kantong selaput ketuban keluar dari vagina ,Sebagian
darah akan mengadakan ekstravasasi kedalam otot uterus dan menyebabkan seluruh
permukaan uterus bebercak biru atau ungu yang disebut sebagai uterus couvelaire. Uterus
seperti ini akan terasa sangat tegang dan nyeri. Akibat kerusakan jaringan miometrium dan
pembekuan retroplasenter, banyak tromboplastin akan masuk ke dalam peredaran darah ibu,
sehingga terjadi pembekuan intravaskuler yang akan menghabiskan persedian fibrinogen
akibatnya terjadi hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak
hanya di uterus tapi juga pada alat tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok
dan pembekuan intravaskuler. Oliguria dan ptoteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli
ginjal yang biasanya berakibat fatal.
II.7.6. DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK
Solutio Plasenta Ringan

Perdarahan pervaginam sedikit dan berwarna kehitam hitaman

Tidak mempengaruhi keadaan ibu ataupun janinnya

Perut terasa agak sakit, atau terus menerus agak tegang

Bagian janin masih mudah diraba

Solutio Plasenta Sedang

Gejala dapat timbul perlahan lahan seperti plasenta solutio ringan

Gejala dapat timbul mendadak dengan sakit perut terus menerus


18

Perdarahan pervaginam tampak sedikit namun perdarahan mungkin telah


mencapai 1000 ml

syok

Dinding uterus tegang terus menerus dan nyeri tekan

Bagian bagian janin sulit diraba

Bunyi jantung janin sukar didengarkan

Solutio Plasenta Berat

Ibu Syok

Biasanya janin telah meninggal

Uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri

Perdarahan pervaginam tampaknya tidak sesuai dengan keadaan syok ibunya

Kemungkinan besar telah terjadi kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal

Solusio plasenta yang ringan, pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas,
perdarahan antepartum hanya sedikit, dalam hal ini diagnosis baru kita tegakkan setelah anak
lahir. Pada plasenta kita dapati koagulum-koagulum darah dan krater.
Pada keadaan yang agak berat kita dapat membuat diagnosis berdasarkan :
1. Anamnesis
Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat mana
yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan sekonyong-konyong (non-recurrent)
terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah.
Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu kelihatan
anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
Kadang-kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.

19

2. Inspeksi
Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
Pucat, sianosis, keringat dingin.
Kelihatan darah keluar pervaginam.
3. Palpasi
TFU naik karena terbentuknya retroplasenter hematoma; uterus tidak sesuai dengan tuanya
kehamilan.
Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus)
baik waktu his maupun diluar his.
Nyeri tekan terutama di tempat plasenta tadi terlepas.
Bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140,
kemudian turun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari
sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup.
Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his
maupun diluar his.
Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan turun
ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini sering dikacaukan
dengan plasenta previa.

20

6. Pemeriksaan umum.
Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi
lambat laun turun dan pasien jatuh syok.
Nadi cepat, kecil, dan filiformis.
7. Pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Ultrasonography adalah suatu metode yang penting untuk mengetahui adanya pendarahan di
dalam uterus. Kualitas dan sensitifitas ultrasonografi dalam mendeteksi solusio plasenta telah
meningkat secra signifikan belakangan ini.
Tetapi bagaimanapun juga ini bukan metode yang sempurna dan sensitif untuk mendeteksi
solusio plasenta, tercatat hanya 25% kasus solusio plasenta yang ditegakkan dengan USG.
Solusio plasenta tampak sebagai gambaran gumpalan darah retroplacental, tetapi tidak semua
solusio plasenta yang di USG ditemukan gambaran seperti di atas. Pada fase akut, suatu
perdarahan biasanya hyperechoic, atau bahkan isoechoic, maka kita bandingkan dengan
plasenta.
Gambaran konsisten yang mendukung diagnosa solusio plasenta antara lain adalah; gumpalan
hematom retroplasenta (hyperochoic hingga isoechoic pada fase akut, dan berubah menjadi
hypoechoic dalam satu minggu), gambaran perdarahan tersembunyi, gambaran perdarahan
yang meluas. Manfaat lainnya adalah USG dapat dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain perdarahan antepartum.

21

8. Pemeriksaan laboratorium
Urin,albumin (+); pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan lekosit.
Darah
Hb menurun (anemi), periksa golongan darah, kalau bisa cross match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah a/hipofibrinogenemia,
maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap 1 jam, test kualitatif fibrinogen
(fiberindex), dan test kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 150 mg%).
9. Pemeriksaan plasenta
Sesudah bayi dan plasenta lahir, kita periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis dan cekung
di bagian plasenta yang terlepas (krater) dan terdapat koagulum atau darah beku di belakang
plasenta, yang disebut hematoma retroplasenter.
II.7.7. PENANGANAN
1.

Solutio Plasenta Ringan

Ekspektatif (Konservatif)
Prinsipnya kita hanya menunggu sampai perdarahan berhenti dan kemudian
partus spontan.
Dilakukan apabila kehamilan kurang dari 36 minggu, dan keadaan hemodinamik
yang stabil yakni perdarahan berhenti spontan, kontraksi uterus tidak ada, perut
tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup.
Pasien dirawat dengan tirah baring, atasi anemia, USG, dan CTG serial, berikan
tokolisis dengan syarat keadaan janin baik, lalu tunggu persalinan spontan.
Pemeriksaan laboratoirum darah lengkap , golongan darah, pembekuan darah
harus dilakukan

22

Aktif
Prinsipnya kita mencoba melakukan tindakan dengan maksud agar anak
segera dilahirkan dan perdarahan berhenti.
Dilakukan apabila ada perdarahan berlangsung terus, uterus berkontraksi, dapat
mengancam ibu/janin, gejala solutio plasenta itu bertambah jelas, atau dalam
pemantauan USG daerah solutio plasenta bertambah luas.
Disseminating Intravaskular Coagulophaty (DIC) harus disingkirkan, terutama
pada kasus-kasus dengan kematian janin. Bedside bleeding test dapat
mengkonfirmasikan diagnosis tersebut.
Apabila terdapat koagulopati, koreksi dengan fresh frozen plasma atau
cryoprecipitate. Segera setelah faktor pembekuan terkoreksi dan volume cairan
tergantikan, lakukan terminasi kehamilan.
Bila janin hidup, dilakukan seksio caesaria. Apabila janin mati, ketuban segera
dipecahkan (amniotomi) disusul pemberian infus oksitosin untuk mempercepat
persalinan pervaginam (dalam 6 jam). Bila kemajuan partus tidak memuaskan
atau pembukaan serviks kurang dari 5, lakukan seksio caesaria.

2.

Solutio Plasenta Sedang dan Berat


Apabila diagnosis solutio plasenta ditegakkan, berarti perdarahan telah terjadi

minimal 1000 Cc. Dengan demikian, transfusi darah harus segera dilakukan. Tekanan
darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan karena vasospasmus sebagai
reaksi dari perdarahan ini akan meninggikan tekanan darah. Petunjuk paling tepat
untuk pemberian transfusi darah secukupnya ialah dengan mengukur tekanan vena
pusat (Central Venous Pressure (CVP), CVP pada triwulan ketiga sekitar 10 Cm Air.
Untuk memperbaiki hemodinamik pasien berikan lakukan juga resusitasi cairan
dengan saline atau ringer laktat dalam 2 jalur dengan jarum besar (16G, 18G).
Observasi terus keadaan janin, dan berikan O2 murni untuk pasien dengan hipotensi.
Ketuban segera dipecahkan, tidak peduli keadaan umum pasien dan tidak peduli
apakah persalinan akan dilakukan pervaginam atau per abdominam. Amniotomi akan
merangsang dimulainya persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin yang dapat

23

menyebabkan komplikasi nekrosis korteks ginjal (refleks uterorenal) dan gangguan


pembekuan darah. Bila perlu, persalinan dipercepat dengan pemberian infus oksitosin.
Apabila persalinan tidak selesai atau diperkirakan tidak akan selasai dalam 6 jam
setelah terjadinya solutio plasenta, walaupun amniotomi dan pemberian infus
oksitosin telah dilakukan, satu-satunya cara untuk segera mengosongkan uterus ialah
dengan seksio caesaria. Seksio Caesaria tidak perlu menunggu sampai darah tersedia
secukupnya, atau syok teratasi, karena tindakan terbaik dalam mengatasi perdarahan
adalah dengan segera menghentikan sumbernya.
Apabila perdarahan tidak dapat diatasi dengan seksio caesaria, uterus Couvelaire
dengan kontraksi tidak baik, terjadi afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia,
persediaan darah atau fibrinogen tidak ada atau tidak cukup; maka histerektomi perlu
dipertimbangkan.
Dapat juga dilakukan ligasi arteri hipogastrika bila perdarahan tidak terkontrol tetapi
fungsi reproduksi masih ingin dipertahankan.
II.7.8. KOMPLIKASI
Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas
dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi adalah :
a.

Perdarahan. Perdarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta

hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila
persalinan telah selesai, penderita belum bebas dari bahaya perdarahan postpartum
karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III,
dan kelainan pembekuan darah.
Kontraksi uterus yang tidak kuat itu disebabkan oleh ekstravasasi darah di anatara
otot-otot miometrium, seperti yang terjadi pada uterus Couvelaire. Apabila perdarahan
post-partum itu tidak dapat diatasi dengan kompresi bimanual uterus, pemberian
uterotonika, maupun pengobatan kelainan pembekuan darah, maka tindakan terakhir
untuk mengatasi perdarahan postpartum itu ialah histerektomia atau pengikatan arteria
hipogastrika.
b.

Kelainan pembekuan darah. Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta

yang biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemi terjadi kira-kira 10%; sedangkan di


Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo menurut Wirjohadiwardojo (1973) terjadi
pada 46% dari 134 kasus yang diselidikinya. Terjadinya hipofibrinogenemi
diterangkan oleh Page (1951) dan Schneider (1955) dengan masuknya tromboplastin

24

ke dalam peredaran darah ibu akibat terjadinya pembekuan darah retroplasenter,


sehingga terjadi pembekuan darah intravaskular di mana-mana, yang akan
menghabiskan factor-faktor pembekuan darah lainnya, terutama fibrinogen.
c.

Selain keterangan yang sederhana ini, masih terdapat banyak keterangan lain

yang lebih rumit.


Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup-bulan ialah 450 mg%,
berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen lebih rendah dari 100 mg%,
akan terjadi gangguan pembekuan darah.
d.

Oligouria dan gagal ginjal. Hanya dapat diketahui dengan pengukuran teliti

pengeluaran air kencing yang harus secara rutin dilakukan pada solution plasenta
sedang, dan berat, apalagi yang disertai perdarahan tersembunyi, pre-eklamsia, atau
hipertensi menahun. Terjadinya oligouria belum dapat diterangkan dengan jelas.
Sangat mungkin berhubungan dengan hipovolemia, dan penyempitan pembuluh darah
ginjal akibat perdarahan yang banyak. Ada pula yang menerangkan bahwa tekanan
intrauterine yang meninggi karena solution plasenta menimbulkan refleks
penyempitan pembuluh darah ginjal. Kelainan pembekuan darah berperanan pula
dalam terjadinya kelainan fungsi ginjal ini.
e.

Gawat janin. Jarang kasus solusio plasenta yang dating ke rumah sakit dengan

janin yang masih hidup. Kalau pun didapatkan janin masih hidup, biasanya
keadaannya sudah demikian gawat, kecuali pada kasus solution plasenta ringan.
II.7.9. PROGNOSIS
Terhadap ibu
Mortalitas menurut kepustakaan 5-10%, sedangkan di RS Pringadi Medan dilaporkan 6,7%.
Hal ini dikarenakan adanya perdarahan sebelum dan sesudah partus, toksemia gravidarum,
kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi.
Prognosis ibu tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya
perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah, ada tidaknya hipertensi menahun atau
preeklampsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, jarak waktu antara terjadinya solutio
plasenta dan pengosongan uterus.

25

Terhadap anak
Mortalitas anak tinggi menurut kepustakaan 70-80%, sedangkan di RS Pringadi Medan
77,7%. Hal ini tergantung pada derajat pelepasan dari plasenta, bila yang terlepas lebih dari
1/3 maka kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga tergantung pada prematuritas
dan tindakan persalinan.
Prognosis janin pada solutio plasenta berat hampir 100% mengalami kematian. Pada solutio
plasenta ringan dan sedang, kematian janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas
dari dinding uterus dan tuanya kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 mL biasanya
menyebabkan kematian janin.
Terhadap kehamilan berikutnya
Biasanya bila telah menderita penyakit vaskuler dengan solusio plasenta, maka pada
kehamilan berikutnya sering terjadio solusio plasenta yang lebih berat dengan partus
prematurus atau immaturus.

26

II.8. RUPTUR UTERI


Ruptura uteri pada kehamilan, merupakan salah satu dari komplikasi obstetri yang
sangat serius. Komplikasi ini berhubungan erat dengan angka kematian dan angka kesakitan
dari bayi dan ibu bersalin. Jika pasien dapat selamat, ada kemungkina fungsi reproduksinya
berakhir dan proses penyembuhannya sering kali memakan waktu yang cukup lama. Pada
sebuah penelitian selama 10 tahun, yaitu dari tahun 1987-1997 di Nova Scotia, Kanada,
didapatkan 114.933 persalinan dengan 39 kasus ruptura uteri: 18 ruptura komplit dan 21
inkomplit (dehisensi). 36 wanita memiliki riwayat seksio sesarea: 33 dengan insisi low
transverse, 2 insisi klasik, dan 1 dengan insisi low vertical. Dari 114.933 persalinan tersebut,
sebanyak 11.585 (10%) adalah wanita sengan riwayat seksio sesarea dan angka kejadian
ruptura uteri komplit adalah sebanyak 2,4 per 1000 persalinan dan dehisensi sebanyak 2,4 per
1000 persalinan. Tidak terjadi kematian maternal, namun terdapat 2 kematian perinatal pada
ruptura uteri komplit. Di Indonesia sendiri frekuensi ruptura uteri di rumah sakit-rumah sakit
besar berkisar antara 1:92 sampai 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara maju. Sebagai penyebab utama terjadinya ruptura uteri
adalah trauma dorongan, yang biasanya dilakukan oleh para dukun saat menolong persalinan.
Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari Hassel pada penelitian tentang ruptura uteri di daerah
Jawa Tengah. Berdasarkan kepustakaan yang ada beberapa faktor yang merupakan penyebab
terjadinya ruptura uteri di antaranya adalah : 1) parut uterus (seksio sesaria, miomektomi,
abortus sebelumnya), 2) trauma (kelahiran operatif: versi, ekstraksi bokong, forceps
perangsangan oksitosin yang berlebihan, kecelakaan, pemasangan misoprostol yang
berlebihan), 3) ruptura uteri spontan yang tidak berparut (disproporsi kepala panggul,
malpresentasi janin, anomali janin, leiomioma uteri dan distosia bahu), 4) faktor-faktor lain
(plasenta akreta, inkreta,panyakit trofoblas invasif).
Dari beberapa kepustakaan disebutkan bahwa multipara merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya ruptura uteri. Hal ini mungkin disebabkan karena pada multipara
dinding uterus sudah lemah, karena persalinan sebelumnya menyebabkan luka-luka kecil
sehingga di tengah-tengah miometrium terdapat penambahan jaringan ikat yang
mengakibatkan kekuatan dinding uterus menjadi berkurang; akibat selanjutnya pada waktu

27

terjadi regangan saat persalinan berikutnya lebih mudah terjadi ruptura uteri. Sebagai
tindakan terapi terdapat 2 pilihan yakni: histerektomi atau histerorafi. Yang lebih banyak
dikerjakan adalah histerektomi dibandingkan dengan histerorafi. Alasan dipilih histerektomi
adalah adanya kekhawatiran terjadinya ruptura uteri kembali pada kehamilan berikutnya.
II.8.1. DEFINISI
Ruptura uteri digolongkan menjadi ruptura uteri lengkap dan ruptura uteri tidak
lengkap, tergantung apakah laserasi tersebut berhubungan dengan kavum peritonei (lengkap)
atau dipisahkan dari kavum tersebut oleh peritoneum viseralis uterus atau oleh ligamentum
kardinale (tidak lengkap).
Ruptura uteri yang tidak lengkap bisa berubah menjadi lengkap. Harus juga dibedakan
antara ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea dan dehisensi jaringan parut bekas seksio
sesarea. Ruptura paling tidak berarti pelepasan atau pemisahan luka insisi lama di sepanjang
uterus dengan robeknya selaput ketuban sehingga kavum uteri berhubungan langsung dengan
kavum peritoneum. Pada keadaan ini seluruh atau sebagian janin mengalami ekstrusi ke
dalam kavum peritoneum.
Disamping itu, biasanya terjadi perdarahan yang masif dari tepi jaringan parut atau
dari perluasan robekan yang mencapai bagian uterus yang tadinya tidak apa-apa. Sebaliknya,
pada dehisensi jaringan parut bekas seksio sesarea, selaput ketuban tidak pecah dan janin
tidak mengalami ekstruksi ke dalam kavum peritoneum. Ciri khas dari dehisensi adalah
pemisahan tersebut tidak mengenai seluruh jaringan parut yang sudah ada sebelumnya pada
uterus, sehingga peritoneum yang melapisi defek masih utuh dan perdarahan minimal atau
tidak ada.
II.8.2. ETIOLOGI

28

Ruptur jaringan parut uterus

Jaringan

parut

seksio

sesarea

( merupakan penyebab terbanyak)

Riwayat kuretase atau perforasi uterus

Trauma abdomen

Persalinan yang terhambat akibat

Neoplasia Trofoblastik Gestasional

Pelepasan plasenta yang sulit secara


manual

kokain

masa

oksitosin

dengan

dosis

Kontraksi 5x atau lebih dalam 10


menit

pada

Infus

berlebihan

Pematangan serviks ( Misoprostol


Penggunaan

Penemuan yang tidak berhubungan


dengan ruptura uteri

Stimulasi yang berlebihan pada uterus

atau Dinoprostone)

pada induksi persalinan

Peregangan uterus yang berlebihan

disproporsi cephalopelvik

Kontraksi tetanik selama lebih dari 90


detil

kehamilan
II.8.3. KLASIFIKASI
Ruptur Uteri Tanpa Jaringan Parut
Ruptur Spontan
Yang dimaksudkan ialah ruptura uteri yang terjadi secara spontan pada uterus yang utuh
(tanpa parut). Faktor pokok di sini ialah bahwa persalinan tidak maju karena rintangan,
misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang, dan sebagainya, sehingga
segmen bawah uterus makin lama makin diregangan. Pada suatu regangan yang terus
bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptura uteri.
Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptura uteri ialah multiparitas; di
sini di tengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan
kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih mudah menimbulkan
robekan. Banyak juga dilaporkan bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh dukun-dukun
memudahkan terjadinya ruptura uteri.
Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun itu biasanya melakukan tekanan keras ke
bawah terus menerus pada fundus uteri; hal ini dapat menambah tekanan pada segmen bawah
uterus yang regang dan mengakibatkan terjadinya ruptura uteri. Pemberian oksitosin dalam
dosis yang terlampau tinggi dan/atau atas indikasi yang tidak tepat, bisa pula menyebabkan
ruptura uteri.

29

Ruptura Uteri Traumatik


Ruptura uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan
seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat
dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari
luar. Yang lebih sering terjadi ialah ruptura uteri yang dinamakan ruptura uteri violenta. Di
sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal untuk
melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptura uteri.
Hal ini misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan
dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika
melakukan embriotomi. Berhubungan dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut di atas
dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar, perlu dilakukan pemeriksaan kavum
uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptura uteri. Gejala-gejala ruptura uteri
violenta tidak berbeda dengan ruptura uteri spontan.
Ruptura Jaringan Parut Seksio Sesarea
Pada wanita yang memiliki riwayat seksio sesarea, ruptura dapat terjadi di tempat
parut luka lama. Banyak studi melaporkan bahwa wanita yang memiliki riwayat seksio
sesarea satu kali dengan insisi low-horizontal, risiko terjadinya ruptura adalah 0.5 sampai
1.%. Wanita dengan riwayat seksio sesarea lebih dari satu kali memiliki risiko ruptura yang
sedikit lebih besar.
Risk of Uterine Rupture with Low Transverse
Uterine Scars* Revised 10/14/2002
Number

of

Previous

Successful

Rupture

Perinatal

Cesareans

VBACs

Rate

Mortality

scar

83%

0.6%

0.018%

1,586 Planned

76%

1.8%

0.063%

10,880Planned
VBACs
withone prior

VBACs
withtwo prior

30

scars
241 Planned
VBACs
withthree prior
scars

79%

1.2%

Source: Miller, D. A., F. G. Diaz, and R.


H. Paul.1994.Obstet Gynecol 84 (2): 255-258

Diantara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang telah terjadi sesudah seksio
sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptura uteri daripada parut bekas seksio sesarea
profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen
bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dapat masa nifas dapat
sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptura uteri pada bekas parut seksio
sesaria klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai,
sedang peristiwa tersebut pada parut bekas seksio sesaria profunda umumnya terjadi pada
waktu persalinan. Ruptura uteri pasca seksio sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala seperti
telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala.
Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan yang mendadak, melainkan lambat laun
jaringan di sekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah
ruptura uteri.
Di sini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptura uteri
inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteri besar terbuka dan timbul perdarahan
yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya
janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada.
Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan

tempat bekas luka.

Jika arteri besar terluka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok; janin dalam
uterus meninggal pula.

31

Williams (1921) beranggapan bahwa uterus sembuh melalu regenerasi serat-serat otot
dan bukan oleh pembentukan jaringan parut. Schwarz dkk. (1938) menyimpulkan bahwa
penyembuhan terjadi terutama melalui proliferasi fibroblas.
II.8.4. MEKANISME TERJADINYA RUPTURA UTERI
Mekanisme utama dari ruptura uteri disebabkan oleh peregangan berlebihan dari
uterus yang kadang disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada ruptura uteri. Bila
disproporsi yang terjadi sedemikian besar maka uterus menjadi sangat teregang dan
kemudian dapat menyebabkan ruptura. Walaupun jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin
lokal uterus pada persalinan yang berkeapanjangan. Yang paling sering adalah cincin retraksi
patologis Bandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila dijumpai 2-3 jari di atas simfisis, bila meninggi
maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptura uteri iminens (RUI).

Rumus mekanisme terjadinya Ruptura Uteri:


R=H+O
Dimana :

R = Ruptura
H = His kuat (tenaga)
O = Obstruksi (halangan)

Pada waktu in partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan serviks
menjadi lembek (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak dapat
maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat), maka
SBR yang pasif akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis- lingkaran Bandl
ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi- Ruptura Uteri.
II.8.5. GEJALA
Gejala Ruptura Uteri Iminens

Partus telah lama berlangsung

Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri di perut.

Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.

Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.

32

Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama(prolonged labor), yaitu mulut kering,
lidah kering dan haus, badan panas (demam).

His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.

Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras,
terutama sebelah kiri atau keduanya.

Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR teraba
tipis dan nyeri kalau ditekan.

Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang yang
bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis dan
teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh,
untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya SBR
terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa, misalnya terjadi pada
asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.

Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan

teregang ke

atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi ada
hematuri.

Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).

Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda obstruksi seperti edema porsio,
vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.

Bila ruptura uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan terjadilah
ruptura uteri.

Penemuan Klinis Ruptura Uteri


A . Anamnesis dan Inspeksi
Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,

menjerit

seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat
dingin sampai kolap Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.Muntah-muntah
karena perangsangan peritoneum. Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak
terukur .Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau
bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir.Kadang-kadang ada
perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan di bahu.Kontraksi uterus biasanya
hilang.Terdapat defans muskuler dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus.

33

B . Palpasi
Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutanBila
kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas panggul.Bila janin sudah
keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut maka teraba bagian-bagian janin
langsung di bawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu
bola keras sebesar kelapa.
Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
C. Auskultasi .
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah
ruptura, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga perut.

D. Pemeriksaan Dalam.
Kepala janin yang tadinya sudah turun ke bawah, dengan mudah dapat didorong ke
atas, dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak.
Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari
atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum, dan bagianbagian janin. Kalau jari tangan kita yang di dalam kita temukan dengan jari luar, maka terasa
seperti dipisahkan oleh bagian yang tipis sekali dari dinding perut, juga dapat diraba fundus
uteri.
E. Kateterisasi.
Hematuri hebat menandakan adanya robekan kandung kemih.
II.8.6. DIAGNOSA BANDING

Solusio plasenta

Plasenta Previa

Klinis
Terjadinya

Rupture uteri

Solution placenta
Sewaktu hamil dan

Placenta previa

Lebih sering inpartu

inpartu

Sewaktu hamil

Dimulai dengan RUI

Tiba-tiba

Perlahan-lahan

Cara
memulainya

34

Perdarahan

Bergantung pada
pembuluh darah yang
pecah

Warna darah
Merah terang
Preeklamsi/eklamsi
Bias ada
Nyeri perut
+ di SBR
Palpasi
Defans muskuler
HIS
Hilang
DJJ
VT
Robekan
Placenta
Biasa
II.8.7. KOMPLIKASI

Infeksi post operasi

Kerusakan ureter

Emboli cairan amnion

DIC

Kematian maternal

Kematian perinatal

Recurrent
Non recurrent
Merah kehitaman
Uteri in-bois
Kuat
Ketuban tegang
Tipis,cekung

Merah terang
Biasa dan foating
Biasa
+
Jaringan placenta
Robek dipinggir

II.8.8. PENATALAKSANAAN
Pada kasus ruptura uteri harus dilakukan tindakan segera. Jiwa wanita yang
mengalami ruptura uteri paling sering tergantung dari kecepatan dan efisiensi dalam
mengoreksi keadaan hipovolemia dan mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan bahwa
syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan
arteri dapat dikendalikan, karena itu, dengan adanya alasan ini, keterlambatan dalam tindakan
pembedahan tidak bisa diterima. Sebaliknya, darah harus ditransfusi dengan cepat dan seksio
sesarea atau laparatomi segera dimulai. Malahan penderita hendaknya dirawat 3 minggu
sebelum jadwal persalinan. Dapat dipertimbangkan pula untuk melakukan seksio sesarea
sebelum jadwal persalinan dimulai, asal kehamilannya benar-benar lebih dari 37 minggu.
Apabila sudah terjadi ruptura uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin
dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (hal yang terakhir ini jika
janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak
dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan kepala
sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan terhadap diagnosis ruptura uteri.

35

Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan dalam uterus
apakah ada ruptura uteri.
Pada umumnya pada ruptura uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam usaha untuk
mempertahankan uterus. Hanya dalam keadaan yang sangat istimewa hal itu dilakukan; dua
syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata seperti pada ruptura parut
bekas seksio sesaria, dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Pengobatan untuk memerangi syok
dan infeksi sangat penting dalam penanganan penderita dengan ruptura uteri.
Pada kasus-kasus yang perdarahannya hebat, tindakan kompresi aorta dapat membantu
mengurangi perdarahan. Pemberian oksitosin intravena dapat mencetuskan kontraksi
miometrium, dan selanjutnya vasokonstriksi sehingga mengurangi perdarahan.
II.8.9. PROGNOSIS
Ruptura uteri merupakan peristiwa yang gawat bagi ibu dan lebih-lebih bagi
janin. Angka mortalitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50% hingga
75%. Janin umumnya meninggal pada ruptura uteri. Tetapi, jika janin masih hidup pada saat
peristiwa tersebut terjadi, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah
dengan persalinan segera, yang paling sering dilakukan adalh laparatomi. Kalau tidak,
keadaan hipoksia baik sebagai akibat terlepasnya plasenta maupun hipovolemia maternal
tidak akan terhindari. Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena
perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan
dapat terjadi spontan pernah pula terjadi pada kasus yang luar biasa.
Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat, ketersediaan darah dalam jumlah besar dan
terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita
dengan ruptura uteri yang hamil.

36

BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Perdarahan antepartum dapat berasal dari kelainan plasenta dan bukan dari kelainan
plasenta. Perdarahan yang cepat dan banyak berasal dari kelainan plasenta. Frekwensi
terbanyak ialah plasenta previa dan solutio plasenta.
1. Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada kehamilan setelah 28 minggu.
2. Faktor-faktor terjadinya perdarahan antepartum adalah plasenta previa, solusio plasenta,
ruptur sinus marginalis, plasenta letak rendah atau vasa previa.
3. Pentingnya diagnosa secara dini membantu penatalaksanaan secara dini sehingga dapat
mengurangi angka mortalitas.
4. penggunaan Ultrasonography pada plasenta previa sangat akurat dan menunjang diagnosa
secara cepat.
5. Penatalaksanaan perdarahan antepartum yang baik dapat mengurangi angka mortalitas dan
morbiditas ibu dan janin.
II.2. SARAN
Perlu kiranya kita sebagai klinisi untuk mencegah terjadinya kasus seperti ini
dikemudian hari dengan cara menjauhi predisposisi terjadinya perdarahan antepartum,

37

walaupun belum tentu dapat dihindari. Namun yang paling penting dari kasus ini adalah
bagaimana cara kita bertindak untuk menyelamatkan ibu dan janin dengan resiko sekecil
mungkin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Library.usu.ac.id/download/fk/anatomi-djakobus.3.pdf
2. Wiknjosastro, H, Saifuddin A.B, Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Ilmu Kebidanan,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002;362-385
3. Mochtar R, Perdarahan Antepartum (hamil tua). Sinopsis Obstetri obstetri fisiologis
obstetri patologis, edisi kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1998;269-287
4.Bagian Obstetri & Ginekologi Fak.Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Obstetri
Patologi, Ed. 1984, Elstar Offset Bandung, halo 110-120.
5.Saifuddin A.B, Adriansz G, Wiknjosastro, H, Waspodo D. Perdarahan kehamilan lanjut dan
persalinan. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan
Bina Pustaka Sarwomo Prawirohardjo, Jakarta, 2002;M-18-M-22
6.Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Plasenta Previa, Antepartum hemorrhage. In :
Williams Obstetrics, 22st ed, Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange,
Connecticut, 2001; 712-716

38

7. Manjoer A, Triyanti K, Savitri R. Plasenta previa. Kapita Selekta,edisi ketiga.


Jakarta:2001; 276-279

39

Anda mungkin juga menyukai