Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pembimbing :
dr.Sutrisno, SpOG
Disusun oleh :
Widya Kusumastuti
Provita Rahmawati
Celestia Wohingati
Eka Riki Febriyanti
M. Helrino Fajar
G4A014093
G4A014094
G4A014095
G4A014096
G4A0150110
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
G4A014093
G4A014094
G4A014095
G4A014096
G4A015110
Telah disetujui,
Pada tanggal :
Mei 2016
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
HPV positif
(usia 30 tahun)
Sitologi ulang
setelah 2-4 bulan
Hasil abnormal
Negatif
Colposcopy
Meragukan
HPV negatif
Tes HPV
Dianjurkan
Screening rutin
Malignancy
tetapi
Usia 30 tahun
Sitologi ulang
@3 tahun
HPV positif
Manajemen
sesuai
guideline
ASCCP
*tes HPV tidak boleh dilakukan untuk screening
pada wanita
usia
21-29 tahun
C. Manajemen pada wanita usia 30 tahun, dimana hasil sitologi negatif namun
HPV positif
Tes ulang
@1 tahun
Colposcopy
Tes ulang
@3 tahun
Negatif
ASC
Screening rutin**
Tes HPV
HPV positif
HPV negatif
(manajemen sesuai dengan LSIL)
Tes ulang
@3 tahun
Colposcopy
Negatif,
ASC-US,
HPV negatif
AGC,atau
HSIL
*manajemen
dapat bervariasi padaASC-H,
wanita hamil
berusia
21-24
tahun atau LSIL
** sitologi dengan interval 3 tahun
E. Manajemen pada wanita usia 21-24 tahun dengan Atypical Squamous Cells of
Undetermined Significance (ASC-US) atau Low-grade Squamous
Screening rutin
Sitologi ulang
Intraepithelial Lesion (LSIL).
@12 bulan
Colposcopy
ASC
Negatif 2x
Screening rutin
Tes ulang
@1 tahun
Sitologi (-)
dan
HPV (-)
Colposcopy
ASC
atau
HPV (+)
CIN 2,3 (-)
CIN 2,3
Tes ulang
@3 tahun
Manajemen sesuai guideline
Manajemen
ASCCP
sesuai guideline ASCCP
*manajemen pada wanita usia 25-29 tahun. Dapat berbeda pada wanita hamil atau
berusia 21-24 tahun.
CIN2,3 : Cervical Intraepithelial Neoplasia grade-2,3
Colposcopy
CIN 2,3 (-)
CIN 2,3
Follow up post
partum sesuai guideline ASCCP
Manajemen
Colposcopy
Colposcopy
(Immediate loop electrosurgical excision tidak dianjurkan)
CIN 2,3
Screening rutin
I. Manajemen
pada guideline
wanita usiaASCCP
21-24 tahun dengan Atypical Squamous Cells,
Manajemen
sesuai
Cannot Rule Out High Grade SIL (ASC-H) dan High-grade Squamous
Intraepithelial Prosedur
Lesion (HSIL)
diagnostik eksisional**
*jika colposcopy adekuat dan sampel endocervical (-). Selain itu, prosedur
diagnostik eksisional diindikasikan
** tidak dilakukan jika pasien hamil
J. Manajemen
pada wanita dengan
High-grade
Immediate
Loop Electrosurgical
Excision
** Squamous Intraepithelial Lesions
Colposcopy
atau
(HSIL)*
dengan endocervical assessment
*manajemen dapat berbeda pada wanita hamil, postmenopause, atau berusia 21-24
tahun
**tidak dilakukan pada pasien hamil atau berusia 21-24 tahun
K. Manajemen pada wanita dengan Atypical Glandular Cells (AGC)
Semua subkategori
(selain Atypical endometrial cells)
Colposcopy
*gejala unexplained vaginal bleeding atau anovulasi kronik
Sitologi awal adalah AGC-NOS
Sitologi awal AGC (mendukung neoplasia) / AIS
CIN2+ (+)
Neoplasia
CIN2+, AIS, Cancer
(-) tanpa GlandularPenyakit
Invasif (-)
L. Manajemen lanjutan pada wanita dengan Atypical Glandular Cells (AGC)
Prosedur diagnostik eksisi*
Cotest Manajemen sesuai guideline ASCCP
@ 12 & 24 bulan
(-)
Cotest
3 tahun
(+)
Colposkopy
Colposcopy
CIN2,3 (+)
CIN1
Manajemen
sesuai guideline
ASCCP minimal 2 tahun
Jika persisten
Sitologi dan/ HPV
(-)
Diagnostic
Excision
Procedure
Ulangi sitology
@12 bulan
Ulangi sitology
@12 bulan
Negatif
ASC
Colposcopy
Screening rutin
Cervical
Intraepithelial
Colposcopy
adekuat atau CIN2,3 rekuren atau sampling endoservik CIN2,3
Adekuat tidak
colposcopy
Diagnostic Excisional
Procedure
abnormal
Colposcopy
Dengan sampling endoservik
*Pilihan manajemen akan bervariasi pada keadaan khusus atau jika pada wanita
hamil atau usia 21-24 tahun
Jika CIN2,3 diidentifikasi pada margin dari prosedur eksisi atau post-procedure
ECC, sitology dan ECC pada 4-6mo direkomendasikan, tetapi ulangi eksisi dapat
dilakukan dan histerektomi dapat dilakukan jika re-eksisi tidak memungkinkan.
Q. Manajemen wanita muda dengan Biopsy-confirmed Cervical Intraepithelial
Neoplasia Grade 2,3 (CIN2,3) pada keadaan khusus*
Margin (-)
HighLesion
Grade(LSIL)*
Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)*
Low Grade Squamous Intraepithelial
Definisi
Colposcopy adalah pemeriksaan serviks, vagina, dan bagian vulva dengan
colposcope setelah pemberian cairan asam asetat 3-5% bersamaan dengan
mendapatkan sampel biopsi dari semua lesi yang dicurigai sebagai
neoplasia.
Sampling endoservik termasuk pengambilan specimen untuk
pemeriksaan histopatologi menggunakan endocervical curette atau
cytobrush atau untuk pemeriksaan sitologi menggunakan cytobrush.
Endocervical assessment adalah proses evaluasi kanalis endoservik untuk
melihat adanya neoplasia menggunakan colposcope ataupun sampling
endoserviks.
Diagnostic excisional procedure adalah proses pengambilan spesimen
dari zona transformasi dan kanalis endoservik untuk pemeriksaan
histopatologi dan termasuk laser conization, cold-knife conization, loop
electrosurgical excision procedure (LEEP), dan loop electrosurgical
conization.
Adekuat colposcopy diindikasikan dengan seluruh squamokolumnar
junction dan margin dari lesi yang terlihat dapat divisualisasikan dengan
colposcope.
Endometrial sampling adalah pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
histopatologi menggunakan aspirasi endometrium atau alat biopsi,
dilatation and curettage atau histeroskopi.
sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432
kasus di antara 918 kanker pada perempuan. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di antara kanker
ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIBIVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan
gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus
(Rasjidi, 2009).
C. Etiologi
Kanker serviks diawali dengan transmisi infeksi HPV yang terjadi setelah
dimulainya aktivitas seksual. Prevalensi tertinggi infeksi oleh HPV terjadi pada
wanita usia 10-20 tahun. Hampir semua infeksi HPV tidak menimbulkan gejala
klinis. Sekitar 70-90% infeksi HPV baru akan bersih dan kembali normal
dalam waktu 1-2 tahun. Infeksi persisten oleh HPV onkogenik akan
berkembang menjadi lesi dan prakanker dan kanker. Perjalanan penyakit
kanker serviks mulai dari terjadinya infeksi HPV sampai menjadi kanker
berlangsung dalam waktu sekitar 15 tahun (Schiffman, 2005).
D. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk kanker serviks adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan inisiasi transformasi atipik serviks dan perkembangan
dari displasia. Transformasi atipik merupakan daerah atipik (abnormal) yang
terletak di antara perbatasan sel-sel squamous columnar serviks yang asli
dengan sel-sel yang baru terbentuk akibat metaplasia sel columnar menjadi
squamous (Aziz, 2002). Faktor resiko tersebut terutama berhubungan dengan
riwayat seksual. Dari studi epidemiologi, kanker serviks berhubungan erat
dengan perilaku seksual seperti mitra seksual yang multipel dan usia pada saat
pertama kali melakukan hubungan seksual. Resiko meningkat lebih dari 10 kali
bila wanita berhubungan seksual dengan 6 atau lebih mitra seks, atau bila
wanita berhubungan seksual pertama di bawah umur 15 tahun (Dalirmatha,
2004). Selain itu, resiko juga meningkat bila berhubungan seksual dengan pria
beresiko tinggi (pria yang berhubungan seks dengan banyak wanita), atau pria
yang mengidap kondiloma akuminata.
Faktor resiko lainnya adalah usia, paritas, rokok, diet/nutrisi, pemakaian
kontrasepsi, sosial ekonomi rendah, dan lain sebagainya. Menurut WHO
(2005),wanita yang berusia 40-45 tahun memiliki resiko tertinggi untuk
mengidap kanker serviks. Dari segi paritas, wanita yang multiparitas (jumlah
anak > 4 orang) juga memiliki resiko yang lebih tinggi. Wanita perokok
memiliki resiko 2 kali lipat terhadap kanker serviks dibandingkan dengan
wanita yang tidak merokok (Dalirmatha, 2004).
E. Patogenesis
Kanker serviks didahului oleh lesi prakanker yang disebut displasia
(CIN/Cervical Intraepithel Neoplasm). Displasia ditandai dengan adanya
perubahan morfologi berupa sel-sel imatur, inti sel yang atipik, perubahan rasio
inti/sitoplasma dan kehilangan polaritas yang normal. Displasia bukan
merupakan suatu bentuk kanker tetapi akan mengganas menjadi kanker bila
tidak diatasi (Hacker, 2005).
Displasia dikelompokkan menjadi displasia ringan (CIN I), displasia
sedang (CIN II), dan displasia berat (CIN III). Pengelompokan displasia dibagi
berdasarkan luas perubahan morfologi yang terjadi pada epitel leher rahim.
Pada CIN I, sel-sel yang mengalami perubahan morfologi hanya sebatas 1/3
bagian atas dari lapisan epitelium serviks. CIN II ditandai dengan perubahan
morfologi sel yang telah mencapai 2/3 bagian dari lapisan atas epitelium
serviks. Sementara itu, CIN III ditandai dengan lebih banyaknya variasi dari sel
dan ukuran inti, orientasi yang tidak teratur, dan hiperkromasi yang telah
melebihi 2/3 lapisan atas epitelium serviks, namun belum menginvasi jaringan
stroma di bawahnya. Bila perubahan berlanjut hingga menginvasi jaringan
stroma di bawahnya, maka perubahan ini disebut karsinoma in situ (Aziz,
2002).
Interval waktu antara timbulnya lesi prakanker dan terjadinya kanker
serviks membutuhkan waktu yang cukup panjang. Menurut Robbins dan
Kumar (1995), diperkirakan 80% dari displasia akan menjadi karsinoma in situ
dalam waktu 10-15 tahun. selama interval waktu yang panjang tersebut dapat
dilakukan berbagai upaya pencegahan berupa pemeriksaan dan pemberian
terapi secara dini (Husain, 2002).
Deskripsi
CIN 1 (Stadium I)
10%
jenis
adenokarsinoma,
serta
5%
adalah
jenis
adenoskuamosa, clear cell, small cell, verucous, dan lain-lain (Rasjidi, 2009).
Stadium kanker serviks yang ditetapkan oleh International Federation of
Gynecologist and Obstetricians Staging System for Cervical Cancer (FIGO)
(2009) :
Stadium
Deskripsi
IB
Lesi klinis terbatas pada serviks, atau lesi praklinis lebih besar dari
tahap IA.
IB1 Lesi klinis tidak lebih besar dari 4 cm.
IB2 Lesi klinis > 4 cm.
II
IIB
III
G. Penegakan diagnosis
Penegakan
diagnosis
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaaan
fisik,
serta
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pada fase prakanker, sering tidak ada gejala atau tanda-tanda yang
khas. Namun, kadang dapat ditemukan gejala-gejala sebagai berikut
(Prastowo, 1999):
a) Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Cairan yang keluar dari
vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis
jaringan.
b) Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian
berlanjut menjadi perdarahan abnormal.
c) Timbulnya perdarahan setelah masa menopause.
d) Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuningan, berbau, dan
dapat bercampur dengan darah.
e) Timbul gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.
f) Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila terdapat
radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah,
kemungkinan terjadi hidronefrosis.
g) Pada stadium lanjut, dapat terjadi edema kaki, timbul iritasi kandung
kemih dan rectum, terbentuknya fistula vesikovaginal atau rektovaginal,
atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan keadaan umum yang
lemah dan konjungtiva anemis terutama bila telah terjadi perdarahan kronis.
Pemeriksaan selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan inspekulo dan
pemeriksaan bimanual.
1. Inspekulo
a) Vulva: biasanya tidak ada kelainan, tidak ada lesi, tidak ada papul
kecuali apabila sudah terjadi metastasis.
b) Vagina: mukosa licin, biasanya ditemukan infiltrate (bila sudah terjadi
metastasis).
c) Serviks: ukuran mengalami pembesaran, permukaan portio tidak rata,
eksofilik, rapuh, mudah berdarah, terdapat lesi ulseratif, ostium uretra
eksterna berbentuk linier namun bisa keluar discharge berwarna
keputihan.
2. Pemeriksaan bimanual
a) Pembesaran uterus.
b) Tampak infiltrate di dinding mukosa vagina.
c) Ditemukan darah dan keputihan pada handscoon.
d) Adneksa kanan-kiri lemas.
e) Cavum douglas masih dalam batas normal.
3. Pemeriksaan Penunjang
b) Pap smear
Pap smear dilakukan dengan cara (Prawirohardjo, 2005):
2003)
2) Kelas III CIN II: Displasia sedang ditandai dengan sejumlah
nukelus diskariotik nampak pada bagian atas epitel dan nukleus
abnormal lebih banyak (Holschenider, 2003)
3) Kelas III CIN III: Displasia berat ditandai dengan nukleus
diskariotik menutupi seluruh lapisan epitel dan terdapat rasio
nukelus : sitoplasma yang tinggi (Holschenider, 2003)Displasia
berat sulit dibedakan dengan karsionoma insitu oleh karena tidak
adanya perbedaan yang menyolok, keduanya mencapai pada
lapisan atas epitel , nukleus yang ukurannya beragam dan berwarna
gelap serta sel yang crowded dan sitoplasma yang minimal
(Holschenider, 2003)
primer
merupakan
upaya
dalam
mengurangi
atau
efektif dalam mencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18 yang merupakan tipe high
oncogenic risk untuk kanker serviks (Tiro, 2007).
Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan metode skrining.
Beberapa metode skrining yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan
sitologi berupa pap tes konvensional atau tes pap dan pemeriksaan sitologi
cairan (liquid-base cytology/LBC), pemeriksaan DNA HPV, dan pemeriksaan
visual berupa inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi visual
dengan lugol iodin (VILI) (WHO, 2007). Skrining kanker serviks dilakukan
untuk mendeteksi lebih awal adanya lesi prakanker yang dapat berkembang
menjadi kanker serta memungkinkan pemberian terapi lebih awal pada lesi
prakanker sehingga mencegah perkembangan penyakit menuju kanker invasif.
Skrining dilakukan terhadap individu yang memiliki resiko tinggi terkena
kanker serviks.
Terapi diberikan kepada pasien yang terdeteksi dengan lesi
prakanker atau terdiagnosa kanker invasif. Hasil tes skrining yang positif
berupa lesi prakanker derajat rendah ditindaklanjuti dengan mengulang
skrining setelah periode waktu tertentu, sedangkan hasil skrining yang berupa
lesi derajat tinggi ditindaklanjuti dengan kolposkopi dan biopsy. Bila pasien
terdiagnosa prakanker, maka harus diterapi dengan krioterapi atau konisasi
serviks. Penatalaksanaan kanker serviks invasif adalah dengan pembedahan
atau radioterapi atau kombinasi keduanya, sedangkan kemoterapi diberikan
bersamaan dengan terapi radioterapi (WHO, 2007; FIGO, 2012).
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah histerektomi. Histerektomi
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu histerektomi sederhana dan histerektomi
radikal.
a) Histerektomi sederhana: Rahim diangkat, tetapi tidak mencakup jaringan
yang berada di dekatnya. Baik vagina maupun kelenjar getah bening
panggul tidak diangkat. Rahim dapat diangkat dengan cara operasi di bagian
depan perut (perut) atau melalui vagina. Setelah operasi ini, seorang wanita
tidak bisa menjadi hamil. Histerektomi digunakan untuk mengobati
beberapa kanker serviks stadium awal (I). Hal ini juga digunakan untuk
stadium pra-kanker serviks (o), jika sel-sel kanker ditemukan pada batas tepi
konisasi (Petignat, 2007).
b) Histerektomi radikal dan diseksi kelenjar getah bening panggul: Pada
operasi ini, dokter bedah akan mengangkat seluruh rahim, jaringan di
dekatnya, bagian atas vagina yang berbatasan dengan leher rahim, dan
beberapa kelenjar getah bening yang berada di daerah panggul. Operasi ini
paling sering dilakukan melalui pemotongan melalui bagian depan perut dan
kurang sering melalui vagina. Setelah operasi ini, seorang wanita tidak bisa
menjadi hamil. Sebuah histerektomi radikal dan diseksi kelenjar getah
bening panggul adalah pengobatan yang umum digunakan untuk kanker
serviks stadium I, dan lebih jarang juga digunakan pada beberapa kasus
stadium II, terutama pada wanita muda (Petignat, 2007).
I. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan untuk membunuh sel-sel
kanker. Biasanya obat-obatan diberikan melalui infuse ke pembuluh darah atau
melalui mulut. Setelah obat masuk ke aliran darah, mereka menyebar ke
seluruh tubuh. Kadang-kadang beberapa obat diberikan dalam satu waktu
(Suheimi, 2000).
Kemoterapi dapat menyebabkan efek samping. Efek samping ini akan
tergantung pada jenis obat yang diberikan, jumlah/dosis yang diberikan, dan
berapa lama pengobatan berlangsung. Efek samping bisa termasuk (Suheimi,
2000):
a)
muntah
b)
c)
Kerontokan rambut
d)
Sariawan
e)
f)
Perdarahan
g)
Sesak napas
h)
Kelelahan
i)
Menopause dini
j)
infertilitas
J. Radioterapi
Raditerapi efektif untuk mengobati kanker invasive yang masih terbatas
pada daerah panggul. Pada pemeriksaan dengan radioterapi menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker yang bertujuan juga untuk
menghentikan pertumbuhan sel (Benedet, 2000).
Ada 2 macam radioterapi yaitu (Benedet, 2000):
a) Radioterapi eksternal: sinar berasal dari sebuah mesin besar, penderita tidak
perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran dapat dilakukan 5 hari per minggu
selama 5-6 minggu.
b) Radiasi internal: zat radioaktif terdapat di dalam kapsul yang langsung
dimasuksn ke dalam serviks, kapsul dibiarkan 1-3 hari, selama kapsul
diberikan penderita harus di rawat di rumah sakit, pengobatan dengan
radiasi ini dapat diulang 1-2 minggu.
Efek samping radioterapi (Benedet, 2000):
a) Iritasi rectum dan vagina
b) trauma kandung kemih dan rectum
c) Ovarium tidak berfungsi dengan baik
d) Sering merasa lelah setelah radioterapi
e) Diare
f) Sering berkemih
g) Pada radiasi eksternal: kerontokan rambut, kulit merah, kering, gatal,
perubahan warna kulit menjadi gelap terutama pada daerah yang disinari
h) Pada radiasi internal: vagina lebih sempit dan kurang lentur
K. Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis (Prawirohardjo, 2005):
a) Umur penderita
b) Keadaan umum
c) Tingkat klinik keganasan
d) Ciri-ciri histologik sel tumor
e) Kemampuan ahli yang menangani
f) Sarana pengobatan yang ada
Survival rate pada kanker serviks didapatkan 2-years survival rates dan
3- years survival rates stadium IIIA sebesar 86% dan 34%. Stadium IIIB
didapatkan 2-years survival rates dan 3- years survival rates sebesar 47% dan
25% (Amin, 2015).
L. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi (Prawirohardjo, 2005):
a) Pada stadium awal dapat terjadi kegagalan fungsi reproduksi akibat
pembedahan maupun radiasi
b) Pada stadium lanjut atau kekambuhan dapat mengakibatkan kematian akibat
kegagalan pengobatan
c) Apabila telah terjadi metastase dapat menyebabkan gangguan fungsi organ
lain seperti ginjal, paru, hepar, dll
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Y., Mulawardhana, P., Erawati, D. 2015. Demografi Respon Terapi dan
Survival Rate Pasien Kanker Serviks Stadium III-IV A yang Mendapat
Kemoterapi Dilanjutkan Radioterapi. Majalah Obstetri dan Ginekologi.
Vol. 23: 97-105.
Andrijino. 2009. Kanker Serviks Edisi Kedua. Divisi Onkologi Departemen
Obstetri dan Ginekologi. Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
Apgar, BS. Et all. 2009. Update on ASCCP consensus guidelines for abnormal
cervical screening: tests and cervical histology. United States: American
College of Obstetricians and Gynecologists.
Aziz, M. F. 2002. Deteksi Dini Kanker. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Benedet, J.L. 2000. Staging Classifications and Clinical Practice Guidelines for
Gynaecologic Cancer. Philadelphia: Elseiver.
Dalimartha, S. 2004. Deteksi Dini Kanker & Simplisia Antikanker. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Depkes RI. 2015. Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks. Jakarta.
Hacker, N. F.; et al. 2005. Cervical Cancer. Practical Gynecologic Oncology 4th
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Holschenider, C. H. 2003. Premalignant and Malignant disorder of the uterine
cervix in Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis and Treatment 9th ed.
San Fransisco: McGraw-Hill.
Husain, A.; et al. 2002. Cancer Screening: A Practical Guide for Physicians.
Totowa: Humana Press Inc.
Kruiroongroj, Siraporn; et al. 2014. Knowledge, Acceptance, and Willingness to
Pay for Human Papilloma Virus (HPV) Vaccination among Female
Parents in Thailand. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention; 15:
5469 5474.
Kumar, V. et all. 2007. Robbins Basic Pathology 8th ed. San Fransisco: Saunders
Elsevier.
Nuranna, L. 2001. Skrining Kanker Serviks dengan Metode Skrining Alternatif:
IVA. Cermin Dunia Kedokteran . Vol. 133: 135-140.