Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

HEMOFILIA

Disusun Oleh :
Alfiana Choiriyani Udin

G4A015045

Aulia Tri Puspitasari Widodo

G4A015046

Farissa Utami

G4A015117

Pembimbing :
dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp.PD

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

HEMOFILIA

Disusun oleh :
Alfiana Choiriyani Udin

G4A015045

Aulia Tri Puspitasari Widodo

G4A015046

Farissa Utami

G4A015117

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal:
Purwokerto,

September 2016
September 2016

Pembimbing,

dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp.PD

BAB I
PENDAHULUAN
Hemofilia merupakan suatu penyakit dengan kelainan koagulasi
yang bersifat herediter dan diturunkan secara X - linked recessive pada
hemofilia A dan B ataupun secara autosomal resesif pada hemofilia C.
Hemofilia terjadi oleh karena adanya defisiensi atau gangguan fungsi
salah satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A serta
kelainan faktor IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C
(WFH, 2012).
Secara umum, insiden hemofilia pada populasi cukup rendah
yaitu sekitar 0,091% dan 85 % nya adalah hemofilia A. Hemofilia A
(Hemofilia klasik) merupakan gangguan perdarahan yang paling banyak
ditemukan dan diperkirakan insidennya 1 diantara 5000 laki-laki. Di Asia
Tenggara, angka kejadian berdasarkan rasio 1 : 10.000 penderita.
Kejadian di Indonesia secara tepat belum diketahui namun diperkirakan
dengan populasi 200 juta lebih terdapat sekitar 10.000 penderita (WFH,
2012).
Manifestasi perdarahan yang timbul bervariasi dari ringan,
sedang, dan berat. Manifestasinya dapat berupa perdarahan spontan yang
berat, kelainan pada sendi, nyeri menahun, perdarahan pasca trauma atau
pasca tindakan medis ekstraksi gigi atau operasi. Diagnosis hemofiia
yang akurat penting untuk manajemen yang tepat. Diagnosis definitif
berdasarkan pemeriksaan faktor VIII dan FIX. Beberapa perdarahan
dapat mengancam nyawa dan membutuhkan penanganan segera. Tanpa
pengobatan sebagian besar penderita hemofilia akan meninggal.
Beberapa tahun terakhir ini terjadi perkembangan yang signifikan dalam
pengobatan hemofilia. Kemajuan teknologi menghasilkan kemajuan
dalam pengobatan penderita hemofilia. (Messina, 2004; Robert, 2005;
WFH, 2012).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Hemofilia

merupakan

kelainan

darah

kongenital

yang

disebabkan karena kekurangan faktor koagulasi yaitu faktor VIII


(FVIII, pada Hemofilia A) atau faktor IX (FIX, pada Hemofilia B).
Kekurangan pada faktor faktor tersebut menyebabkan mutasi pada
gen faktor pembekuan darah (WFH, 2012).
Hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan (herediter)
secara sex-linked recessive pada kromososm X (Xh). Secara umum
terdapat 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked
recessive, yaitu Hemofilia A yang dikenal juga sebagai hemofilia
klasik, Hemofilia B yang dikenal juga sebagai penyakit Natal
(Christmas disease). Sedangkan Hemofilia C merupakan penyakit
perdarahan yang diturunkan secara autosomal recessive pada
kromosom 4q32q35 (Rotty, 2009).
B. ETIOLOGI
Penyebab hemofilia sesuai klasifikasinya meliputi (Rotty, 2009):
1. Hemofilia A: disebabkan karena defisiensi atau disfungsi faktor
pembekuan darah VIII (F VIIIc). Hemofilia A (Hemofilia klasik)
merupakan ganguan perdarahan yang paling banyak ditemukan.
2. Hemofilia B: disebabkan karena defisiensi atau disfungsi pada
faktor IX (F IX atau faktor Christmas). Mutasi spontan dan
proses imunologi yang didapat menyebabkan gangguan ini.
Kasus Hemofilia B sekitar 20% dari semua kasus Hemofilia, dan
sekitar 50% dari kasus ini memiliki faktor IX lebih dari 1%
(Zaiden, 2016).
3. Hemofilia C: disebabkan akibat kekurangan faktor XI

C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan
secara resesif, sehingga kejadian pada laki laki lebih banyak
dibandingkan perempuan (Michele et al, 2014). Angka kejadian
hemofilia A lebih sering dibandingkan dengan hemofilia B. Sebesar
80-85% kasus ini terjadi berturut turut, dan 10-15% tidak
memandang ras, geografi, maupun keadaan sosial ekonomi. Kasus
hemofilia di Indonesia diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200
juta penduduk. Dari seluruh kejadian di dunia, hemofilia terjadi pada
laki laki dengan perbandingan 1 : 5000 dengan kurang lebih 1/3
dari total kasus tidak memiliki riwayat keluarga. Mutasi gen terjadi
secara spontan yang diperkirakan mencapai 20-30% pada pasien
tanpa riwayat keluarga (Rotty, 2009; CDC, 2014; Shetty et al, 2011).
D. PATOMEKANISME
Mekanisme pembekuan normal pada dasarnya dibagi 3 jalur
yaitu (Tambunan, 2010):
1. Jalur intrinsik, jalur ini dimulai aktivasi F XII sampai terbentuk F X
aktif.
2. Jalur ekstrinsik, jalur ini mulai aktivasi F VII sampai terbentuk F X
aktif.
3. Jalur bersama (common pathway), jalur ini dimulai dari aktivasi F X
sampai terbentuknya fibrin yang stabil.
Faktor XII
Faktor XI
Faktor IX
Faktor trombosit 3

Tromboplastin
jaringan
Faktor VII

Faktor X
Intrinsik

Faktor V

Ekstrinsik
Faktor IV

Protrombin

Trombin

Semua faktor yang diperlukan dalam sistem pembekuan


Gambar
Sistem pembekuan
ekstrinsik
(Saphiro,
2002).
intrinsik 1.
terdapat
dalam darahintrinsik
dalam dan
bentuk
inaktif,
sedangkan
sistem

ekstrinsik

bergantung

kepada

suatu

lipoprotein,

tromboplastin, atau faktor III, yang dilepaskan dari dalam sel yang
rusak dan hanya memerlukan sebagian faktor pembekuan dari sistem
intrinsik. Tromboplastin jaringan mempunyai dua komponen aktif,
suatu enzim yang mengakibatkan faktor VII dan suatu fosfolipid.
Sistem pembekuan ekstrinsik dapat pula bekerja di dalam pembuluh
darah, karena endotelnya mengandung tromboplastin jaringan.
Sistem pembekuan intrinsik mula-mula dipicu melalui aktivasi faktor
XII (Hageman) antara lain oleh sejumlah kecil tromboplastin
jaringan, faktor trombosit (PF3) atau serabut kolagen, sedangkan
dalam tabung reaksi sentuhan pada permukaan asing (gelas). Faktor
XIIa (aktif) kemudian mengubah faktor XI menjadi bentuk aktifnya
(XIa) dan selanjutnya mengubah faktor IX (PTC) menjadi faktor
IXa. Faktor IXa ini bergabung dengan faktor VIIIa (AHG yang
diaktifkan oleh trombin) dan bersama-sama akan mengaktifkan
faktor X dengan adanya fosfolipid dan ion Ca+++. Kemudian faktor
Xa mengubah protrombin menjadi trombin dan ini akan mengubah
fibrinogen menjadi fibri monomer yang labil dan akhirnya oleh
faktor XIII dan trombin diubah menjadi fibrin polimer yang stabil
(Tambunan, 2010).

Jalur intrinsik

Jalur ekstrinsik

PK
HMWK

XII

XIIa

XI

XIa

IX

Tissue factor

IXa

VIIa

VIII

Ca

VII

PG
Ca

Xa
V

Pf
Fibrinogen
3
Ca

Protrombin

Trombin
F
ibrin

Faktor VIII adalah glikoprotein yang dibentuk di sel


sinusoidal hati. Produksi FVIII dikode oleh gen yang terletak pada
kromosom X. Di dalam sirkulasi, FVIII akan membentuk kompleks
dengan faktor von Willebrand. Faktor von Willibrand adalah protein
berat molekul besar yang dibentuk di sel endotel dan megakariosit.
Fungsinya sebagai protein pembawa FVIII dan melindunginya dari
degradasi proteolisis. Di samping itu faktor von Willebrand juga
berperan pada proses adhesi trombosit (Messina, 2004; Robert,
2005).
Faktor VIII berfungsi pada jalur intrinsik sistem koagulasi
yaitu sebagai kofaktor untuk F IXa dalam proses aktivasi F X (lihat
skema koagulasi). Pada orang normal aktivitas faktor VIII berkisar
antara 50-150%. Pada hemofilia A, aktivitas F VIII rendah. Faktor
VIII termasuk protein fase akut yaitu protein yang kadarnya
meningkat jika terdapat kerusakan jaringan, peradangan, dan infeksi.

Kadar F VIII yang tinggi merupakan faktor resiko thrombosis


(Messina, 2004; Robert, 2005).
Faktor IX adalah faktor pembekuan yang dibentuk di hati dan
memerlukan vitamin K untuk proses pembuatannya. Jika tidak
tersedia cukup vitamin K atau ada antagonis vitamin K, maka yang
terbentuk adalah protein yang mirip F IX tetapi tidak dapat
berfungsi. Gen yang mengatur sintesis F IX juga terletak pada
kromosom X. Faktor IX berfungsi pada jalur intrinsik sistem
koagulasi yaitu mengaktifkan faktor X menjadi Xa (lihat skema
koagulasi). Nilai rujukan aktivitas F IX berkisar 50-150%. Aktivitas
F IX rendah dijumpai pada hemofilia A, defisiensi

vitamin K,

antikoagulan oral, penyakit hati (Messina, 2004; Robert, 2005).

E. MANIFESTASI KLINIS
Beratnya perdarahan pada seorang penderita hemofilia
ditentukan oleh kadar F VIII C di dalam plasma. Berdasarkan kadar
FVIII C dan klinik, hemofilia dibagi 4 golongan:
1. Hemofilia berat : kadar F VIII C di dalam plasma <1%
Perdarahan spontan sering terjadi. Perdarahan pada sendisendi (hemarthrosis) sering terjadi. Perdarahan karena luka atau
trauma dapat mengancam jiwa.
2. Hemofilia sedang: kadar F VIII C di dalam plasma 1-5%
Perdarahan serius biasanya terjadi bila ada trauma.
Hemarthrosis dapat terjadi walaupun jarang dan kalau ada
biasanya tanpa cacat.
3. Hemofilia ringan : kadar F VIII C di dalam plasma berkisar antara
6-25%
Perdarahan spontan biasanya tidak terjadi. Hemarthrosis
tidak ditemukan. Perdarahan biasanya ditemukan sewaktu operasi
berat, atau trauma.

10

4. Sub hemofilia
Beberapa penulis menyamakannya dengan karier hemofilia.
Kadar F VIII C 26-50%. Biasanya tidak disertai gejala
perdarahan. Gejala mungkin terjadi sesudah suatu operasi besar
dan lama.
Salah satu gejala khas dari hemofilia adalah hemarthrosis yaitu
perdarahan ke dalam ruang sinovia sendi, misalnya pada sendi lutut.
Persendian besar lainnya seperti lengan dan bahu juga dapat terkena.
Perdarahan ini bisa dimulai dengan luka kecil atau spontan dalam
sendi. Darah berasal dari pembuluh darah sinovia, mengalir dengan
cepat mengisi ruangan sendi. Penderita dapat merasakan permulaan
timbulnya perdarahan pada sendi ini karena ada rasa panas. Akibat
perdarahan, timbul rasa sakit yang hebat, menetap disertai dengan
spasme otot, dan gerakan sendi yang terbatas. Karena perdarahan
berlanjut, tekanan di dalam ruangan sendi terus meningkat dan
menyebabkan iskemia sinovia dan pembuluh-pembuluh darah
kondral. Keadaan ini merupakan permulaan kerusakan sendi yang
permanen (Tambunan, 2010).

11

Akibat perdarahan yang berulang pada sendi yang sama, sering


terjadi peradangan dan penebalan jaringan sinovia, kemudian terjadi
atrofi otot. Keadaan kontraksi sendi yang stabil ini merupakan
predisposisi kerusakan selanjutnya. Akhirnya kartilago dan substansi
tulang hilang. Kista tulang dan kontraktus yang permanen
menyebabkan hilangnya gerakan sendi. Bisa juga terjadi hipertrofi
karena radang sinovial kronik dan menghasilkan pembengkakan
sendi yang persisten tanpa disertai nyeri yang nyata (Robert, 2005;
Tambunan, 2010).
Selain hemarthrosis, ada sebuah fenomena perdarahan yang
terlambat (delayed bleeding) yang juga merupakan gejala khas dari
hemofilia A. Peristiwa ini biasanya ditemukan sesudah tindakan
ekstraksi gigi. Pada permulaan perdarahan berhenti dan sesudah
beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, perdarahan timbul
kembali. Hal ini dapat diterangkan, pada permulaan trombosit dan
pembuluh darah dapat menghentikan perdarahan untuk sementara,
tetapi karena jaringan fibrin tidak ada atau kurang terbentuk untuk
menutup luka maka timbul perdarahan kembali (Tambunan, 2010).
Perdarahan bawah kulit atau di dalam otot juga merupakan
manifestasi hemofilia yang paling umum. Lesi ini biasanya dimulai
sebagai akibat trauma dan menyebar mengenai satu daerah yang luas
dan sering tanpa ada perbedaan warna kulit diatasnya. Perdarahan
jaringan lunak di daerah leher karena trauma kecil bisa menyebabkan
komplikasi yang serius karena jalan napas bisa tertekan; dan bahkan
menyebabkan kematian. Perdarahan di bawah leher ini dapat terjadi
sesudah anestesi mandibular, pungsi vena jugular (Tambunan, 2010).

12

Pada penderita hemofilia C, pada pemeriksaan fisik biasanya


normal kecuali jika terjadi manifestasi perdarahan. Pada beberapa
tempat dapat terjadi memar-memar. Meskipun terjadi defisiensi
faktor XI yang parah, risiko terjadinya perdarahan yaitu ringan.
Tidak seperti kejadian perdarahan pada hemofilia A atau hemofilia
B, yang berkaitan dengan tingkat defisiensinya, risiko perdarahan
pada hemofilia C tidak selalu dipengaruhi oleh keparahan
kekurangan faktor XI tersebut. Beberapa pasien dengan defisiensi
yang parah, tidak mengalami perdarahan, sementara pasien dengan
defisiensi ringan dapat mengalami perdarahan banyak. Hal tersebut
tidak dapat dimengerti, sehingga hemofilia C lebih susah untuk
dimanajemen daripada hemofilia A atau B. Pasien juga kadang
mengeluhkan demam, kelemahan, dan takikardia jika terjadi
perdarahan yang massif (Zaiden, 2016).
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat perdarahan,
gambaran klinik dan pemeriksaan laboratorium. Pada penderita
dengan gejala perdarahan atau riwayat perdarahan, pemeriksaan
laboratorium yang perlu diminta adalah pemeriksaan penyaring
hemostasis yang terdiri atas hitung trombosit, uji pembendungan,
masa perdarahan, PT (prothrombin time masa protrombin plasma),
APTT (activated partial thromboplastin time masa tromboplastin
parsial teraktivasi) dan TT (thrombin time masa trombin). Pada
hemofilia A atau B akan dijumpai pemanjangan APTT sedangkan
pemeriksaan

hemostasis

lain

yaitu

hitung

trombosit,

uji

pembendungan, masa perdarahan, PT dan TT dalam batas normal.


Pemanjangan APTT dengan PT yang normal menunjukkan adanya
gangguan pada jalur intrinsik sistem pembekuan darah. Faktor VIII
dan IX berfungsi pada jalur intrinsik sehingga defisiensi salah satu
faktor pembekuan ini akan mengakibatkan pemanjangan APTT yaitu
tes yang menguji jalur intrinsik sistem pembekuan darah (Bakta,
2000; Tambunan, 2010).

13

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada


penderita hemofilia A, B dan C, diantaranya (Bakta, 2000;
Tambunan, 2010).
1. Pemeriksaan laboratorium
Derajat berat ringannya hemofilia didasarkan pada
konsentrasi FVIII atau FIX di dalam plasma. Kadar beberapa
faktor tersebut berlawanan dengan kadar dalam plasma dari orang
normal yang diperkirakan mencapai 100-150%. Namun usia,
kehamilan, kontrasepsi dan pemberian terapi estrogen juga dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya faktor-faktor tersebut. Pada
neonatus yang lahir prematur, kadar FIX lebih rendah 20-50%
dari kadar normal, dan akan kembali normal setelah jangka waktu
6 bulan. sedangkan FVIII normal selama periode tersebut.
Defisiensi

protein

pada

hemofilia

A dan

hemofilia

menyebabkan terjadinya abnormalitas dari whole blood clotting


times,

prothrombin

time

(PT),

dan

activated

partial

thromboplastin times (aPTT).


Sedangkan pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
mengetahui adanya hemofilia C antara lain :
a. CBC
b. Kadar faktor XI
c. Pengukuran faktor VIII, von Willebrand factor
d. Prothrombin time (PT), aPTT, and thrombin time (TT): aPTT
memanjang jika terjadi defisiensi faktor XI, dimana PT dan
TT normal. Pengukuran spesifik aktivitas faktor XI sangat
diperlukan untuk konfirmasi diagnosis. Selain itu juga
diperlukan pengukuran faktor pembekuan lainnya serta fungsi
platelet untuk mengetahui adanya kombinasi herediter dari
defisiensi XI dan faktor-faktor lainnya.
2. Pemeriksaan pencitraan/imaging
Hipertropi sinovial, deposit hemosiderin, fibrosis, dan
kerusakan kartilago yang progresif dengan terbentuknya bone

14

kista dapat diperlihatkan dengan film konvensional, terutama


terdapat pada pasien yang tidak diobati atau diobati dengan tidak
adekuat atau jika sering terjadi perdarahan sendi yang berulang.
Pemeriksaan Ultrasonography digunakan untuk evaluasi
sendi yang berkaitan dengan efusi akut atau kronik. Namun tehnik
ini tidak didapat digunakan untuk evaluasi tulang atau kartilago.
MRI digunakan untuk evaluasi kartilago, sinovial dan hubungan
antara sendi.
Sedangkan untuk hemofilia C tidak satupun pemeriksaan
pencitraan

(radiologi)

yang

diperlukan

dalam

konfirmasi

diagnosis defisiensi faktor XI. Namun demikian, pemeriksaan


radiologis dapat dilakukan untuk mengevaluasi perdarahan saat
dilakukan tindakan terapi terhadap perdarahan pada tempattempat tertentu.
3. Pemeriksaan histologis
Perdarahan sendi yang berulang dengan pemeriksaan
histologis akan memperlihatkan adanya hipertropi sinovial,
deposit hemosiderin, fibrosis dan kerusakan dari kartilago. Ada
beberapa tahapan yang terlihat dari pemeriksaan histologis untuk
menunjukkan adanya artropati hemofilia yang dimulai dengan
adanya edema intraartikular dan periartikular; terjadinya erosi
yang luas dari kartilago yang menyebabkan hubungan antara
sendi menghilang, terjadi fusi dari sendi, dan pembentukan
fibrosis dan kapsul sendi. Analisis genetik pada hemofilia C
digunakan untuk mengetahui adanya mutasi dari gen faktor XI
yang menyebabkan terjadinya defisiensi.
G. DIAGNOSA BANDING

15

Untuk membedakan hemofilia A dari hemofilia B atau


menentukan mana yang kurang dapat dilakukan pemeriksaan TGT
(thromboplastin generation test) atau dengan diferensial APTT.
Namun dengan tes ini tidak dapat menentukan aktivitas masingmasing faktor. Untuk mengetahui aktivitas F VIII dan IX perlu
dilakukan assay F VIII dan IX. Pada hemofilia A aktivitas F VIII
rendah sedang pada hemofilia B aktivitas F IX rendah (Renny,
2006).
Selain harus dibedakan dari hemofilia B, hemofilia A juga
perlu dibedakan dari penyakit von Willebrand, karena pada penyakit
ini juga dapat ditemukan aktivitas F VIII yang rendah. Penyakit von
Willebrand disebabkan oleh defisiensi atau gangguan fungsi faktor
von Willebrand. Jika faktor von Willebrand kurang maka F VIII juga
akan berkurang, karena tidak ada yang melindunginya dari degradasi
proteolitik. Disamping itu defisiensi faktor von Willebrand juga akan
menyebabkan masa perdarahan memanjang karena proses adhesi
trombosit

terganggu.

pemeriksaan

Pada

laboratorium

penyakit

von

menunjukkan

Willebrand

hasil

pemanjangan

masa

perdarahan aPTT, aPTT bisa normal atau memanjang dan aktivitas F


VIII bisa normal atau rendah. Di samping itu akan ditemukan kadar
serta fungsi faktor von Willebrand yang rendah. Sebaliknya pada
hemofilia A akan dijumpai masa perdarahan normal, kadar dan
fungsi von Willebrand juga normal.
Hemofilia A didiagnosis banding dengan penyakit von
Willebrand, inhibitor F VIII yang didapat dan kombinasi defisiensi F
VIII dan V kongenital, sedangkan Hemofilia B didiagnosis banding
dengan penyakit hati, pemakaian warfarin, defisiensi vitamin K,
sangat jarang inhibitor F IX yang didapat (Rotty, 2009).

16

Tabel 1. Gambaran Klinis dan Laboratorium pada Hemofilia A,


Hemofilia B, dan Penyakit Von Willebrand (Rotty, 2009).

H. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan hemofilia klasik adalah:
1. Pengobatan dasar
a. Tindakan saat terjadi perdarahan
Bila terjadi perdarahan pada sendi dan otot, lakukan
langkah-langkah RICE yaitu

rest, ice, compression,

elevation. Istirahatkan anggota tubuh dimana ada luka (R),


kompres bagian tubuh yang luka dan daerah sekitar dengan es
atau bahan lain yang lembut dan beku/dingin (I), tekan dan
ikat, sehingga bagian tubuh yang mengalami perdarahan
tidak dapat bergerak. Gunakan perban elastis jangan terlalu
keras (C), letakkan bagian tubuh tersebut dalam posisi lebih
tinggi dari posisi dada dan letakkan di atas benda yang
lembut seperti bantal (E). Berikan FVIII

30-40%.

Penggunaan anti inflamasi non steroid efektif untuk

17

menghilangkan rasa nyeri, sementara pemberian aspirin


merupakan kontraindikasi.
1) Trauma kepala
a) Trauma ringan (kalau dari pemeriksaan neurologis
nomal) namun disini keluarga tetap diminta untuk
berhati-hati dan tetap diberikan koreksi terhadap
perdarahan yang terjadi.
b) Trauma yang signifikan (seperti jatuh dari tangga,
jatuh saat bermain dan lain-lain), walau tanpa ada
gejala yang berat. Maka koreksi harus tetap
diberikan 100% dan dilakukan pemeriksaan CT
scan. Pemberian koreksi diberikan 30-50% per 12
jam setelahnya dapat dilakukan 1 atau 2 kali lagi.
c) Anak dengan hemofilia berat dan ada riwayat
perdarahan

intrakranial

maka

harus

diberikan

tindakan profilaksis.
2) Pembengkakan lidah atau leher
Anak dengan pembengkakan lidah atau leher harus
dilakukna evaluasi untuk mengatasi masalah obstruksi
jalan pernapasan. Disamping itu tindakan koreksi
diberikan tetap 100%.
3) Perdarahan pada mulut
Dapat diberikan Amicar (epsilon aminocaproic
acid) atau thrombin topikal kalau perdarahan tersebut
minimal atau hanya untuk beberapa jam. Namun jika
didapatkan perdarahan yang agak berat maka di
indikasikan

untuk

pemberian

faktor

pengganti.

Pemeriksaan hemoglobin harus dilakukan lebih dari 1


kali untuk menilai hasil terapi.

18

4) Nyeri dada atau nyeri abdomen


Beberapa gejala dari keadaan tersebut harus
dilakukan evaluasi dan penderita dapat dilakukan terapi
rumah saja kecuali didapatkan keadaan yang memberat
setelahnya.

Perdarahan

dalam

abdomen

atau

retroperitoneal sering merupakan keadaan darurat. Dapat


diatasi dengan pemberian FVIII setiap 12-24 jam
dengan dosis 50 U/kgbb
5) Compartment Syndrome
Kalau terjadi keadaan ini maka koreksi harus
segera dilakukan (70-100%), diulangnya lagi 12 jam
kemudian sebanyak 30-50%.
6) Hematuria

Hematuria yang dikaitkan dengan trauma abdomen


atau tulang belakang. Maka harus dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi atau radiologis lainnya, dan dilakukan
pemberian terapi pengganti.
7) Fraktur

Pada sebagian besar fraktur diperlukan faktor


pengganti untuk jangka waktu 5-7 hari. Terapi awal
diberikan koreksi 70% selanjutnya kemudian diberikan
kadar 30%, tergantung dari berat ringannya fraktur.
b. Tindakan saat perdarahan artifisial
Pencabutan gigi tidak boleh lebih dari 2 buah pada
saat

bersamaan,

walaupun

pada

hemofilia

ringan.

Kemungkinan terjadi perdarahan akibat imunisasi dapat


diatasi dengan penekanan lokal selama 5 menit pada tempat
suntikan. Pada tindakan bedah elektif maupun darurat, FVIII
diberikan sebelum, selama dan sesudah operasi. Kemudian
dilanjutkan 10 hari sampai luka sembuh. Dosis total adalah
4.000-6.000

Unit.

Pemberiannya

sampai

80-100%

19

sebelum tindakan operasi. Lebih baik diberikan melalui infus


kontinyu dibanding pemberian injeksi bolus.
c. Pengobatan pencegahan
Profilaksis F VIII atau IX dapat diberikan secara
kepada penderita hemofilia berat dengan tujuan mengurangi
kejadian hemartrosis dan kecacatan sendi. WHO dan WFH
merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia 1-2
tahun dan dilanjutkan seumur hidup. Profilaksis diberikan
berdasarkan

Protokol

Malm

yang

pertama

kali

dikembangkan di Swedia yaitu pemberian F VIII 20-40 U/kg


selang sehari minimal 3 hari per minggu atau F IX 20-40
U/kg dua kali perminggu.
2. Perawatan komprehensif
Perawatan kesehatan secara umum merupakan hal yang
penting pula dalam perawatan penderita hemofilia. Agar kondisi
terjaga dengan baik beberapa hal perlu mendapat perhatian yaitu:
a. Senantiasa menjaga berat tubuh tidak berlebihan serta
mengkonsumsi

makanan dan minuman yang sehat karena

berat badan berlebihan dapat

mengakibatkan perdarahan

pada sendi-sendi di bagian kaki terutama pada penderita


hemofilia berat
b. Melakukan kegiatan olah raga teratur. Olah raga akan
membentuk kondisi otot yang kuat, sehingga bila berbentuk
otot tidak mudah terluka, perdarahan dapat dihindari. Olah
raga yang dipilih sebaiknya jangan yang beresiko kontak fisik
seperti sepak bola, karate, gulat. Olahraga yang paling
dianjurkan adalah renang dan bersepeda. Dibutuhkan peran
ahli rehabilitasi medik untuk melatih otot-otot terutama
melatih otot pasca perdarahan.
c. Pemeriksaan kesehatan gigi secara rutin sangat membantu
mengurangi perdarahan yang terjadi.
d. Menghindari penggunaan obat aspirin merupakan salah satu
perawatan umum penderita hemofilia karena obat ini dapat
meningkatkan perdarahan.

20

e. Perawatan umum yang juga penting adalah memberi


informasi kepada pihak tertentu seperti: sekolah, dokter, dan
teman-teman lingkungan terdekat sekaligus pasien mendapat
suasana lingkungan yang mendukung timbulnya kepribadian
yang sehat.
3. Inhibitor terhadap faktor VIII.
Sekitar 20-40% penderita hemofilia klasik setelah
mendapat beberapa kali pemberian FVIII, antara 10-20 hari
pengobatan

timbul antibodi terhadap Faktor VIII. Hal ini

merupakan suatu masalah dalam penanganan hemofilia karena


pengobatan menjadi lebih sulit dan mahal. Faktor VIII bukanlah
bersifat genetic marker antigen seperti granulosit, trombosit atau
eritrosit. Tapi pemberian berulang dapat menimbulkan antibodi
yang bersifat inhibitor terhadap FVIII. Inhibitor pada sebagian
kecil penderita dapat hilang secara spontan. Timbulnya inhibitor
diduga ada korelasi antara terjadinya mutasi pada gen FVIII,
respon imun dan epitop antibodi FVIII (Saenko, 2002).
Ciri-ciri secara klinis terbentuknya inhibitor:
a. Timbul perdarahan pada penderita yang sedang dalam
pengobatan profilaksis
b. Penderita dengan terapi on demand kemudian tidak
berespon lagi.
Setelah inhibitor terdeteksi, dilakukan pemeriksaan titer
inhibitor kemudian penderita dapat digolongkan kedalam 3
katagori yaitu:
a. Low titer inhibitor, low responder: titer inhibitor tidak lebih
dari 5 BU setelah diberikan terapi pengganti.
b. Low titer inhibitor, high responder: titer inhibitor meningkat
lebih dari 5BU setelah pemberian terapi pengganti
c. High titer inhibitor, high responder: titer inhibitor lebih dari 5
BU dan kemudian meningkat setelah diberikan terapi
pengganti.
Obat-obat yang diperlukan pada penderita hemofilia (Welch, 2002;
Tambunan, 2010; WFH, 2012):
1.

Kriopresipitat

21

Pengobatan kriopresipitat pada penderita hemofilia


disesuaikan

dengan

berat

ringannya

perdarahan.

Pada

perdarahan ringan bila kadar F VIII mencapai 30% sudah cukup


untuk menghentikan. Perdarahan sedang memerlukan kadar F
VIII 50% dan pada perdarahan berat memerlukan F VIII 100%.
Jumlah kriopresipitat yang dibutuhkan dapat dihitung dengan
ketentuan bahwa 1 U F VIII/kgBB akan menaikkan kadar F VIII
2%. Sedangkan untuk F IX, 1 u/kgBB akan menaikkan kadar F
IX 1%. Rata-rata standard orang normal ialah 1 u/ml adalah
sama dengan 100%. Tabel berikut akan menjelaskan pengobatan
hemofilia dengan kriopresipitat (Tambunan, 2010).
Tabel 2. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan
pada hemofili (WFH, 2012).
Kadar
VIII (%)
<1
1-5
5-25
25-30

faktor

Simptom
Perdarahan spontan sendi dan
otot
Perdarahan hebat setelah luka
kecil
Perdarahan
hebat
setelah
operasi
Cenderung perdarahan setelah
luka atau operasi

22

Tabel 3. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan


pada hemofili
Lesi
Hemarthrosis
ringan,
hematoma
Hemarthrosis
berat
dan
hematoma otot di
daerah-daerah
penting

Kadar faktor VIII


(% normal)

Dosis faktor VIII


(unit/kg BB)

15 20%

10-15

20-40%

15-20

80-100%

40-50

Operasi besar
Komponen utama krioprisipitat adalah faktor VIII atau anti
hemophylic globulin. Penggunaannya ialah untuk menghentikan
perdarahan karena berkurangnya AHG di dalam darah penderita
hemofili A. Faktor VIII atau AHG ini tidak bersifat genetic marker
antigen seperti granulosit, trombosit atau eritrosit, tetapi pemberian
yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukan antibodi
yang

bersifat

inhibitor

terhadap

faktor

VIII

karena

itu

pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis maksimal, tetapi


diberikan sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis.
Setiap kantong krioprisipitat mengandung 150 U faktor VIII,
sedangkan krioprisipitat produksi LPTD-PMI ditaksir hanya
mengandung 100 U faktor VIII/kantong. Hal ini disebabkan karena
darah yang diambil dari donor lebih sedikit. Cara pemberian
kriopresipitat aialah dengan menyuntikkan intravena langsung tidak
melalui tetesan infus. Komponen tidak tahan pada suhu kamar, jadi
pemberiannya sesegera mungkin setelah komponen mencair.

23

Tabel 4. Pengobatan hemofilia dengan kriopresipitat (Tambunan,


2010).
Jenis
perdarahan
Ringan

Kadar faktor yang Dosis


F
VIII
diinginkan (%)
(u/kg/bb)
30%
Dosis mula tidak
diperlukan
diberikan
15
u/kgBB tiap 12
jam selama 2-4
hari

Dosis
F
IX
(u/kg/bb)
Dosis mula 30
u/kgBB
seterusnya
10
u/kgBB tiap 12
24 jam selama 2-4
hari

Sedang

50%

Dosis mula 30
u/kgBB
dilanjutkan 10-15
u/kgBB tiap 8 jam
selama 1-2, hari,
seterusnya dosis
yang sama tiap 12
jam

Dosis mula 60
u/kgBB
seterusnya
10
u/kgBB tiap 12
jam

Berat

100%

Dosis mula 40-50


u/kgBB diteruskan
sesuai
dosis
sedang

Dosis mula 60
u/kgBB diteruskan
sesuai
dosis
sedang

2.

Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang
mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FVIII hingga

mencapai kadar hemostatik (Nathan, 2001).


3.
Fresh Frozen Plasma (FFP)
Plasma segar beku berasal dari donor tunggal serta
mengandung semua faktor-faktor pembekuan darah, digunakan
pada penderita yang mengalami perdarahan yang memerlukan
tindakan segera namun diagnosis pasti belum diketahui dan
faktor konsentrat belum tersedia. Setiap 1 cc plasma segar beku
mengandung

0.6-0.7

unit

FVIII.

Pemberiannya

harus

disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk


mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis pemakaian adalah
1015 ml/kgbb. Dengan interval 8-12 jam. Bila diberikan
melebihi 30 ml/kgbb dalam 24 jam dan lebih dari 2-3 hari dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi (Nathan, 2001).

24

4.

DDAVP
Suatu hormon sintesis anti diuretik yaitu 1-deamino-8-Darginine vasopressine (DDAVP) dapat menaikkan kadar F VIII
C. Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin
(1-deamino-8 arginine vasopressin, DDAVP) suatu anolog
vasopressin dapat digunakan untuk meningkatkan kadar F VIII
endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan untuk
hemofilia berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum
jelas, diduga obat ini merangsang pengeluaran vWF dari tempat
simpanannya (Weibel-Palade bodies) sehingga menstabilkan F
VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan secara intravena,
subkutan atau intranasal. Pada hemofilia ringan sampai sedang
obat ini menaikkan kadar F VIII C 3-6 kali lipat, diberikan juga
pada hemofilia dan penyakit von Willebrand dengan dosis 0,20,5 ug/kgBB. Obat ini dilarutkan dalam 30 cc garam fisiologis
dan diinfus selama 15-20 menit. Dapat diulang dalam beberapa
jam. Infus yang diberikan dengan cepat dapat menimbulkan
takikardia dan muka menjadi merah. Hasil pengobatan sangat
bervariasi.

5.

EACA dan Tranexamic Acid


Epsilon Amino Caproid Acid

(EACA) dan asam

traneksamat (Tranexamic Acid), dapat mengurangi perdarahan


pada hemofilia. Hal ini dapat diterangkan karena sifat anti
fibrinolisis EACA dan asam traneksamat menyebabkan fibrin
yang sudah terbentuk tidak segera dilisiskan, oleh plasmin.
Dengan dosis 50-100 mg/kgBB intravena atau peroral, segera
sebelum tindakan dimulai, kemudian diulang 3 jam berikutnya,
dan seterusnya setiap 6 jam selama 1 minggu berikutnya
memberikan hasil yang baik. Juga dapat diberikan dosis 4-5 g
tiap 4 jam pada orang dewasa dengan hasil yang baik.
6.

Kortikosteroid

25

Pada sinovitis akut yang terjadi sesudah serangan akut


hemarthrosis

pemberian

kortikosteroid

sangat

berguna.

Kortikosteroid juga diberikan bila timbul anti koagulan atau


reaksi anafilaksis sesudah pemberian kriopresipitat.
7.

Analgetik
Bila terjadi suatu rasa sakit yang hebat pada sendi, atau rasa
sakit sebab lainnya, obt analgetik dapat diberikan. Sebaiknya
aspirin harus dihindarkan, begitu pula obat analgetik lainnya yang
mengganggu agregasi trombosit.
Strategi manajemen nyeri pada pasien hemofilia (WFH, 2012):
a. Paracetamol/acetaminophen
Jika tidak efektif

b. COX-2 inhibitor (seperti celecoxib, meloxicam, nimesulid,


dan lain-lain)
Atau
Parasetamol/acetaminophen + codeine (3-4 kali per hari)
Atau
Parasetamol/acetaminophen + tramadol (3-4 kali per hari)
c. Morphine

Pengobatan utama pada penderita hemofilia C terutama dengan


pemberian produk plasma (FFP). Keuntungan pemberian FFP ini
adalah mudah dilakukan, sedangkan kerugiannya dalam bentuk
dapat terjadi over volume darah, potensial untuk transmisi agen
infektif, dan kemungkinan terjadi reaksi alergi. Fresh frozen plasma
ini juga dapat digunakan jika tidak didapatkan konsentrat faktor XI.
Dosis pemberian untuk loading dose adalah 15-20 mL/kg IV, yang
selanjutnya diberikan 3-6 mL/kg 4 kali 12 jam setelah hemostasis
terjadi. Selama pemberian harus selalu dimonitor overload cairan
terutama pada anak-anak kecil; adanya reaksi alergi; premedikasi
yang diberikan adalah acetaminophen dan anti histamin (seperti
diphenhydramine) untuk mengurangi reaksi alergi (Welch, 2002).

26

I. PENCEGAHAN
Hemofilia tidak dapat dicegah. Namun ada beberapa hal
sebagai tindakan preventif yaitu pencegahan terjadinya perdarahan
akibat trauma disamping pencegahan terhadap terjadinya trauma
sendiri. Beberapa hal yang harus diperhatikan jika seseorang
mengidap penyakit hemofilia:
8.

Pencegahan terhadap penggunaaan aspirin

9.

Vaksinasi tetap dilakukan pada semua orang termasuk


pada bayi, terutama untuk vaksin hepatitis B.

10.

Tindakan sirkumsisi tidak boleh dilakukan terhadap anak


laki-laki.
Selain itu jika diketahui adanya riwayat hemofili dalam

keluarga maka selama masa kehamilan harus diperiksa kemungkinan


adanya defek genetik pada ibu hamil untuk mengetahui adanya
carrier pada ibu. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan antara lain
amniocentesis dan chorionic villus sampling (CVS), dengan
pemeriksaan ini dapat diketahui adanya defek genetik pada fetus
yang menyebabkan terjadinya hemofilia. Jika diketahui fetus
memiliki hemofilia, maka tindakan terpilih yang dapat dilakukan
adalah

melakukan

terminasi

kehamilan,

walau

ini

masih

kontroversial pada beberapa Negara, terutama untuk kehamilan


trimester II dan III. Jika ibu tetap menginginkan untuk melanjutkan
kehamilannya maka harus diberikan penjelasan mengenai keadaan
bayinya nanti dan tindakan persalinan yang akan dilakukan (Elzinga,
2012).

I. PROGNOSIS
Secara umum prognosis pasien hemofilia baik, dengan
pendekatan pasien, edukasi, serta terapi yang adekuat. Kehidupan
pasien hemofilia dapat terpenuhi seperti orang normal pada
umumnya (WFH, 2012).

27

J. KOMPLIKASI
Komplikasi

yang

sering

ditemukan

adalah

artropati

hemophilia, yaitu penimbunan darah intra artikular yang menetap


dengan akibat degenerasi kartilago dan tulang sendi progresif. Hal
ini dapat menyebabkan kerusakan hingga penurunan fungsi sendi.
Komplikasi lainnya ialah sinovitis kronik, jika hemartrosis tidak
dikelola dengan baik. Hal ini mengakibatkan jaringan synovial sendi
mengalami peradangan kronik. Persendian yang sering mengalami
komplikasi meliputi sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku.
Perdarahan akibat trauma sehari hari yang tersering meliputi
perdarahan intra muscular dan hematoma (Rotty, 2009).

28

DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi. Divisi
Hematologi & Onkologi Medik Lab/SMF Penyakit Dalam FK
UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar.
Centers for Disease Control and Prevention. 2014. Hemophilia: Data &
Statistics.
Available
at:
http://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/data.html
(diakses
tanggal 23 Agustus 2016).
Di Michele, D.M., Gibb, C., Lefkowitz, J.M., Ni, Q., Gerber, L.M.,
Ganguly, A. 2014. Severe and moderate haemophilia A and B in
US females. Haemophilia. 20 (2): 136-43.
Elzinga, H.S. 2012. Hemophilia. In : Christopher T. Coughlin (ed).
Hematology. Available at: Http://www.Hemophilia.Html
(diakses tanggal 20 Agustus 2016).
Messina, L.M., Pak, L.K., Tierney, L.M. Blood Vessels & Lymphatics. In
: Tierney, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. 2004. Lange
Current Medical Diagnosis & Treatment, 43rd ed. Lange
Medical BooksMcGraw Hill.
Nathan, G.D. 2001. Disease of coagulation. In: Haematology of Infancy
and Chlidhood, edisi ke 2. US: Elsevier.
Renny, A.R., Bagian, K.S. 2006. Laporan Kasus: Seorang Penderita
Hemofilia Ringan dengan Perdarahan Masif. Jurnal Penyakit
Dalam. Volume 7 (2): 113-120.
Robert, I.H. 2005. Disorder of Coagulation and Trombosis. In : Dennis,
L.K., Fauci, A.S., Branwald, E., Hauser, S.L., Longo, D.L.,
Jameson, J.L. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th
ed. US: Mc Graw Hill.
Rotty, L.W.A. 2009. Hemofilia A dan B. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, M.K, Setiati, S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Shetty, S., Bhave, M., Ghosh, K. 2011. Acquired hemophilia a:
Diagnosis, Aetiology, clinical spectrum and treatment
options. Autoimmun Rev. 10 (6): 311-6
Tambunan, K.L, Widjanarko, A. 2010. Kelainan hemostasis bawaan.
Dalam : Ssoeparman et al. (eds). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

29

Welch J. 2002. Hemophilia treatment protocols. Available at:


Http://www.NetScut.Inc.Html (diakses tanggal 10 Agustus
2016).
World Federation of Hemophilia (WFH). 2012. Guidelines for The
Management of Hemophilia. Canada: Blackwell Publishing.
Zaiden,

R.A.
2016.
Hemofilia
A.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/779322-overview#a2
(diakses tanggal 23 Agustus 2016).

Zaiden,

R.A.
2016.
Hemofilia
B.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/779434-overview
(diakses tanggal 23 Agustus 2016).

at:

Anda mungkin juga menyukai