HEMOFILIA
Disusun Oleh :
Alfiana Choiriyani Udin
G4A015045
G4A015046
Farissa Utami
G4A015117
Pembimbing :
dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp.PD
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
HEMOFILIA
Disusun oleh :
Alfiana Choiriyani Udin
G4A015045
G4A015046
Farissa Utami
G4A015117
September 2016
September 2016
Pembimbing,
BAB I
PENDAHULUAN
Hemofilia merupakan suatu penyakit dengan kelainan koagulasi
yang bersifat herediter dan diturunkan secara X - linked recessive pada
hemofilia A dan B ataupun secara autosomal resesif pada hemofilia C.
Hemofilia terjadi oleh karena adanya defisiensi atau gangguan fungsi
salah satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A serta
kelainan faktor IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C
(WFH, 2012).
Secara umum, insiden hemofilia pada populasi cukup rendah
yaitu sekitar 0,091% dan 85 % nya adalah hemofilia A. Hemofilia A
(Hemofilia klasik) merupakan gangguan perdarahan yang paling banyak
ditemukan dan diperkirakan insidennya 1 diantara 5000 laki-laki. Di Asia
Tenggara, angka kejadian berdasarkan rasio 1 : 10.000 penderita.
Kejadian di Indonesia secara tepat belum diketahui namun diperkirakan
dengan populasi 200 juta lebih terdapat sekitar 10.000 penderita (WFH,
2012).
Manifestasi perdarahan yang timbul bervariasi dari ringan,
sedang, dan berat. Manifestasinya dapat berupa perdarahan spontan yang
berat, kelainan pada sendi, nyeri menahun, perdarahan pasca trauma atau
pasca tindakan medis ekstraksi gigi atau operasi. Diagnosis hemofiia
yang akurat penting untuk manajemen yang tepat. Diagnosis definitif
berdasarkan pemeriksaan faktor VIII dan FIX. Beberapa perdarahan
dapat mengancam nyawa dan membutuhkan penanganan segera. Tanpa
pengobatan sebagian besar penderita hemofilia akan meninggal.
Beberapa tahun terakhir ini terjadi perkembangan yang signifikan dalam
pengobatan hemofilia. Kemajuan teknologi menghasilkan kemajuan
dalam pengobatan penderita hemofilia. (Messina, 2004; Robert, 2005;
WFH, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Hemofilia
merupakan
kelainan
darah
kongenital
yang
C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit hemofilia merupakan penyakit yang diturunkan
secara resesif, sehingga kejadian pada laki laki lebih banyak
dibandingkan perempuan (Michele et al, 2014). Angka kejadian
hemofilia A lebih sering dibandingkan dengan hemofilia B. Sebesar
80-85% kasus ini terjadi berturut turut, dan 10-15% tidak
memandang ras, geografi, maupun keadaan sosial ekonomi. Kasus
hemofilia di Indonesia diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200
juta penduduk. Dari seluruh kejadian di dunia, hemofilia terjadi pada
laki laki dengan perbandingan 1 : 5000 dengan kurang lebih 1/3
dari total kasus tidak memiliki riwayat keluarga. Mutasi gen terjadi
secara spontan yang diperkirakan mencapai 20-30% pada pasien
tanpa riwayat keluarga (Rotty, 2009; CDC, 2014; Shetty et al, 2011).
D. PATOMEKANISME
Mekanisme pembekuan normal pada dasarnya dibagi 3 jalur
yaitu (Tambunan, 2010):
1. Jalur intrinsik, jalur ini dimulai aktivasi F XII sampai terbentuk F X
aktif.
2. Jalur ekstrinsik, jalur ini mulai aktivasi F VII sampai terbentuk F X
aktif.
3. Jalur bersama (common pathway), jalur ini dimulai dari aktivasi F X
sampai terbentuknya fibrin yang stabil.
Faktor XII
Faktor XI
Faktor IX
Faktor trombosit 3
Tromboplastin
jaringan
Faktor VII
Faktor X
Intrinsik
Faktor V
Ekstrinsik
Faktor IV
Protrombin
Trombin
ekstrinsik
bergantung
kepada
suatu
lipoprotein,
tromboplastin, atau faktor III, yang dilepaskan dari dalam sel yang
rusak dan hanya memerlukan sebagian faktor pembekuan dari sistem
intrinsik. Tromboplastin jaringan mempunyai dua komponen aktif,
suatu enzim yang mengakibatkan faktor VII dan suatu fosfolipid.
Sistem pembekuan ekstrinsik dapat pula bekerja di dalam pembuluh
darah, karena endotelnya mengandung tromboplastin jaringan.
Sistem pembekuan intrinsik mula-mula dipicu melalui aktivasi faktor
XII (Hageman) antara lain oleh sejumlah kecil tromboplastin
jaringan, faktor trombosit (PF3) atau serabut kolagen, sedangkan
dalam tabung reaksi sentuhan pada permukaan asing (gelas). Faktor
XIIa (aktif) kemudian mengubah faktor XI menjadi bentuk aktifnya
(XIa) dan selanjutnya mengubah faktor IX (PTC) menjadi faktor
IXa. Faktor IXa ini bergabung dengan faktor VIIIa (AHG yang
diaktifkan oleh trombin) dan bersama-sama akan mengaktifkan
faktor X dengan adanya fosfolipid dan ion Ca+++. Kemudian faktor
Xa mengubah protrombin menjadi trombin dan ini akan mengubah
fibrinogen menjadi fibri monomer yang labil dan akhirnya oleh
faktor XIII dan trombin diubah menjadi fibrin polimer yang stabil
(Tambunan, 2010).
Jalur intrinsik
Jalur ekstrinsik
PK
HMWK
XII
XIIa
XI
XIa
IX
Tissue factor
IXa
VIIa
VIII
Ca
VII
PG
Ca
Xa
V
Pf
Fibrinogen
3
Ca
Protrombin
Trombin
F
ibrin
vitamin K,
E. MANIFESTASI KLINIS
Beratnya perdarahan pada seorang penderita hemofilia
ditentukan oleh kadar F VIII C di dalam plasma. Berdasarkan kadar
FVIII C dan klinik, hemofilia dibagi 4 golongan:
1. Hemofilia berat : kadar F VIII C di dalam plasma <1%
Perdarahan spontan sering terjadi. Perdarahan pada sendisendi (hemarthrosis) sering terjadi. Perdarahan karena luka atau
trauma dapat mengancam jiwa.
2. Hemofilia sedang: kadar F VIII C di dalam plasma 1-5%
Perdarahan serius biasanya terjadi bila ada trauma.
Hemarthrosis dapat terjadi walaupun jarang dan kalau ada
biasanya tanpa cacat.
3. Hemofilia ringan : kadar F VIII C di dalam plasma berkisar antara
6-25%
Perdarahan spontan biasanya tidak terjadi. Hemarthrosis
tidak ditemukan. Perdarahan biasanya ditemukan sewaktu operasi
berat, atau trauma.
10
4. Sub hemofilia
Beberapa penulis menyamakannya dengan karier hemofilia.
Kadar F VIII C 26-50%. Biasanya tidak disertai gejala
perdarahan. Gejala mungkin terjadi sesudah suatu operasi besar
dan lama.
Salah satu gejala khas dari hemofilia adalah hemarthrosis yaitu
perdarahan ke dalam ruang sinovia sendi, misalnya pada sendi lutut.
Persendian besar lainnya seperti lengan dan bahu juga dapat terkena.
Perdarahan ini bisa dimulai dengan luka kecil atau spontan dalam
sendi. Darah berasal dari pembuluh darah sinovia, mengalir dengan
cepat mengisi ruangan sendi. Penderita dapat merasakan permulaan
timbulnya perdarahan pada sendi ini karena ada rasa panas. Akibat
perdarahan, timbul rasa sakit yang hebat, menetap disertai dengan
spasme otot, dan gerakan sendi yang terbatas. Karena perdarahan
berlanjut, tekanan di dalam ruangan sendi terus meningkat dan
menyebabkan iskemia sinovia dan pembuluh-pembuluh darah
kondral. Keadaan ini merupakan permulaan kerusakan sendi yang
permanen (Tambunan, 2010).
11
12
hemostasis
lain
yaitu
hitung
trombosit,
uji
13
protein
pada
hemofilia
A dan
hemofilia
prothrombin
time
(PT),
dan
activated
partial
14
(radiologi)
yang
diperlukan
dalam
konfirmasi
15
terganggu.
pemeriksaan
Pada
laboratorium
penyakit
von
menunjukkan
Willebrand
hasil
pemanjangan
masa
16
H. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan hemofilia klasik adalah:
1. Pengobatan dasar
a. Tindakan saat terjadi perdarahan
Bila terjadi perdarahan pada sendi dan otot, lakukan
langkah-langkah RICE yaitu
30-40%.
17
intrakranial
maka
harus
diberikan
tindakan profilaksis.
2) Pembengkakan lidah atau leher
Anak dengan pembengkakan lidah atau leher harus
dilakukna evaluasi untuk mengatasi masalah obstruksi
jalan pernapasan. Disamping itu tindakan koreksi
diberikan tetap 100%.
3) Perdarahan pada mulut
Dapat diberikan Amicar (epsilon aminocaproic
acid) atau thrombin topikal kalau perdarahan tersebut
minimal atau hanya untuk beberapa jam. Namun jika
didapatkan perdarahan yang agak berat maka di
indikasikan
untuk
pemberian
faktor
pengganti.
18
Perdarahan
dalam
abdomen
atau
bersamaan,
walaupun
pada
hemofilia
ringan.
Unit.
Pemberiannya
sampai
80-100%
19
Protokol
Malm
yang
pertama
kali
mengakibatkan perdarahan
20
Kriopresipitat
21
dengan
berat
ringannya
perdarahan.
Pada
faktor
Simptom
Perdarahan spontan sendi dan
otot
Perdarahan hebat setelah luka
kecil
Perdarahan
hebat
setelah
operasi
Cenderung perdarahan setelah
luka atau operasi
22
15 20%
10-15
20-40%
15-20
80-100%
40-50
Operasi besar
Komponen utama krioprisipitat adalah faktor VIII atau anti
hemophylic globulin. Penggunaannya ialah untuk menghentikan
perdarahan karena berkurangnya AHG di dalam darah penderita
hemofili A. Faktor VIII atau AHG ini tidak bersifat genetic marker
antigen seperti granulosit, trombosit atau eritrosit, tetapi pemberian
yang berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukan antibodi
yang
bersifat
inhibitor
terhadap
faktor
VIII
karena
itu
23
Dosis
F
IX
(u/kg/bb)
Dosis mula 30
u/kgBB
seterusnya
10
u/kgBB tiap 12
24 jam selama 2-4
hari
Sedang
50%
Dosis mula 30
u/kgBB
dilanjutkan 10-15
u/kgBB tiap 8 jam
selama 1-2, hari,
seterusnya dosis
yang sama tiap 12
jam
Dosis mula 60
u/kgBB
seterusnya
10
u/kgBB tiap 12
jam
Berat
100%
Dosis mula 60
u/kgBB diteruskan
sesuai
dosis
sedang
2.
Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang
mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FVIII hingga
0.6-0.7
unit
FVIII.
Pemberiannya
harus
24
4.
DDAVP
Suatu hormon sintesis anti diuretik yaitu 1-deamino-8-Darginine vasopressine (DDAVP) dapat menaikkan kadar F VIII
C. Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin
(1-deamino-8 arginine vasopressin, DDAVP) suatu anolog
vasopressin dapat digunakan untuk meningkatkan kadar F VIII
endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan untuk
hemofilia berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum
jelas, diduga obat ini merangsang pengeluaran vWF dari tempat
simpanannya (Weibel-Palade bodies) sehingga menstabilkan F
VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan secara intravena,
subkutan atau intranasal. Pada hemofilia ringan sampai sedang
obat ini menaikkan kadar F VIII C 3-6 kali lipat, diberikan juga
pada hemofilia dan penyakit von Willebrand dengan dosis 0,20,5 ug/kgBB. Obat ini dilarutkan dalam 30 cc garam fisiologis
dan diinfus selama 15-20 menit. Dapat diulang dalam beberapa
jam. Infus yang diberikan dengan cepat dapat menimbulkan
takikardia dan muka menjadi merah. Hasil pengobatan sangat
bervariasi.
5.
Kortikosteroid
25
pemberian
kortikosteroid
sangat
berguna.
Analgetik
Bila terjadi suatu rasa sakit yang hebat pada sendi, atau rasa
sakit sebab lainnya, obt analgetik dapat diberikan. Sebaiknya
aspirin harus dihindarkan, begitu pula obat analgetik lainnya yang
mengganggu agregasi trombosit.
Strategi manajemen nyeri pada pasien hemofilia (WFH, 2012):
a. Paracetamol/acetaminophen
Jika tidak efektif
26
I. PENCEGAHAN
Hemofilia tidak dapat dicegah. Namun ada beberapa hal
sebagai tindakan preventif yaitu pencegahan terjadinya perdarahan
akibat trauma disamping pencegahan terhadap terjadinya trauma
sendiri. Beberapa hal yang harus diperhatikan jika seseorang
mengidap penyakit hemofilia:
8.
9.
10.
melakukan
terminasi
kehamilan,
walau
ini
masih
I. PROGNOSIS
Secara umum prognosis pasien hemofilia baik, dengan
pendekatan pasien, edukasi, serta terapi yang adekuat. Kehidupan
pasien hemofilia dapat terpenuhi seperti orang normal pada
umumnya (WFH, 2012).
27
J. KOMPLIKASI
Komplikasi
yang
sering
ditemukan
adalah
artropati
28
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi. Divisi
Hematologi & Onkologi Medik Lab/SMF Penyakit Dalam FK
UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar.
Centers for Disease Control and Prevention. 2014. Hemophilia: Data &
Statistics.
Available
at:
http://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/data.html
(diakses
tanggal 23 Agustus 2016).
Di Michele, D.M., Gibb, C., Lefkowitz, J.M., Ni, Q., Gerber, L.M.,
Ganguly, A. 2014. Severe and moderate haemophilia A and B in
US females. Haemophilia. 20 (2): 136-43.
Elzinga, H.S. 2012. Hemophilia. In : Christopher T. Coughlin (ed).
Hematology. Available at: Http://www.Hemophilia.Html
(diakses tanggal 20 Agustus 2016).
Messina, L.M., Pak, L.K., Tierney, L.M. Blood Vessels & Lymphatics. In
: Tierney, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. 2004. Lange
Current Medical Diagnosis & Treatment, 43rd ed. Lange
Medical BooksMcGraw Hill.
Nathan, G.D. 2001. Disease of coagulation. In: Haematology of Infancy
and Chlidhood, edisi ke 2. US: Elsevier.
Renny, A.R., Bagian, K.S. 2006. Laporan Kasus: Seorang Penderita
Hemofilia Ringan dengan Perdarahan Masif. Jurnal Penyakit
Dalam. Volume 7 (2): 113-120.
Robert, I.H. 2005. Disorder of Coagulation and Trombosis. In : Dennis,
L.K., Fauci, A.S., Branwald, E., Hauser, S.L., Longo, D.L.,
Jameson, J.L. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th
ed. US: Mc Graw Hill.
Rotty, L.W.A. 2009. Hemofilia A dan B. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, M.K, Setiati, S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Shetty, S., Bhave, M., Ghosh, K. 2011. Acquired hemophilia a:
Diagnosis, Aetiology, clinical spectrum and treatment
options. Autoimmun Rev. 10 (6): 311-6
Tambunan, K.L, Widjanarko, A. 2010. Kelainan hemostasis bawaan.
Dalam : Ssoeparman et al. (eds). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
29
R.A.
2016.
Hemofilia
A.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/779322-overview#a2
(diakses tanggal 23 Agustus 2016).
Zaiden,
R.A.
2016.
Hemofilia
B.
Available
http://emedicine.medscape.com/article/779434-overview
(diakses tanggal 23 Agustus 2016).
at: