Bab II Tinjauan Pustaka
Bab II Tinjauan Pustaka
2.
3.
jabatan apoteker.
Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan
4.
farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional dan kosmetika
Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
II.2 Apoteker Pengelola Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
wajib memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Untuk mendapatkan SIPA,
Apoteker harus memiliki :
1.
STRA yang masih berlaku.
2.
Tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian atau fasilitas kefarmasian
atau fasilitas kesehatan yang memiliki izin.
3.
Rekomendasi dari organisasi profesi setempat.
II.3 Peran Apoteker
Good Pharmacy Practice (GPP) adalah suatu pedoman yang dipakai untuk
menjamin bahwa layanan yang diberikan Apoteker kepada setiap pasien telah
3.
informasi yang memadai dan saran untuk pasien dan pemantauan terapi obat.
Seluruh aktifitas merupakan kesatuan bagian dari kontribusi apoteker yang berupa
4.
promosi peresepan rasional dan ekonomis serta penggunaan obat yang tepat.
Sasaran setiap unsur pelayanan terdefinisi dengan jelas, cocok bagi pasien,
terkomunikasi dengan efektif bagi semua pihak yang terlibat
Untuk memenuhi persyaratan ini, diperlukan kondisi sebagai berikut:
1. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktek,
meskipun juga disadari pentingnya faktor ekonomi.
2. Apoteker harus memiliki masukan cukup dan tepat dalam membuat
keputusan tentang penggunaan obat. Suatu sistem haruslah memungkinkan
apoteker melaporkan kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan, kesalahan
medikasi dan cacat dalam kualitas produk atau pendeteksian produk palsu.
Laporan ini juga termasuk informasi tentang obat yang digunakan dan
disiapkan untuk pasien, tenaga kesehatan profesional, baik langsung maupun
melalui apoteker.
3. Menjalin hubungan profesional terus menerus dengan tenaga kesehatan
lainnya, yang harus dapat dilihat sebagai kerjasama terapeutik yang saling
percaya dan mempercayai sebagai kolega dalam semua hal yang berkaitan
dengan terapi yang menggunakan obat (farmakoterapeutik).
menyempurnakan
pesaing/kompetitor.
5. Organisasi praktek
pelayanan
kelompok
dan
farmasi
manajer
dan
bukan
apotek
sebagai
harus
ikut
1.
2.
(perencanaan,
teknis
pengadaan.
penerimaan,
dan
dan pendokumentasiannya.
Monitoring Terapi Obat meliputi: pembuatan protap monitoring; evaluasi
3.
apa yang sudah dilakukan; obat apa yang sudah dan sedang digunakan.
Pemilihan obat yang tepat (Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan Obat
Wajib Apotek)
enentuan waktu merujuk pada lembaga kesehatan lain.
4.
Indonesia, setidaknya ada tiga peranan apoteker dilihat dari posisinya, yaitu
peranan apoteker sebagai tenaga profesional, manajer dan retailer.
1. Apoteker sebagai Professional
Apoteker memiliki kemampuan dalam melaksanakan kegiatan pelayanan
kefarmasian yang bermutu dan efisien yang berasaskan pharmaceutical care di
apotek. Adapun standar pelayanan kefarmasian di apotek telah diatur melalui
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES
/SK/IX/2004.
Tujuan dari standar pelayanan ini adalah:
a) Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.
b) Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.
c) Pedoman dalam pengawasan praktek Apoteker.
d) Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.
2. Apoteker sebagai Manager
Apoteker juga bisa bertindak sebagai manajer. Dalam menjalankan
fungsinya sebagai manajer dalam apotek, seorang apoteker harus mampu
mengerjakan tugas-tugas manajerial, seperti merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan, dan mengendalikan penggunaan sumber daya untuk mencapai
10
tujuan bersama. Tugas apoteker sebagai seorang manajer didasarkan pada Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004,
khususnya pada bab II, yaitu tentang beberapa sumber daya di apotek yang perlu
dikelola oleh seorang apoteker.
Apoteker sebagai manajer harus mempunyai kemampuan manajerial yang
baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen, yang
meliputi kepemimpinan (leading), perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling).
a)
b)
rela sesuai dengan apa yang diinginkannya, dalam mencapai tujuan tertentu.
Perencanaan (planning), sebagai pengelola apotek, Apoteker harus mampu
menyusun perencanaan dari suatu pekerjaan, cara dan waktu pengerjaan, serta
c)
pengalaman.
d)
Pelaksanaan (actuating), Apoteker harus dapat menjadi pemimpin yang
menjadi panutan karyawan, yaitu mengetahui permasalahan, dapat menunjukan
jalan keluar masalah, dan turut berperan aktif dalam kegiatan.
e)
Pengawasan (controlling), Apoteker harus selalu melakukan evaluasi
setiap kegiatan dan mengambil tindakan demi perbaikan dan peningkatan
kualitas.
3. Apoteker Sebagai Retailer
11
12
13
Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif. Apoteker perlu
melaksanakan pengembangan profesionalitas berkelanjutan (Continuing
Professional Development/CPD) untuk meningkatkan pengetahuan sikap, dan
keterampilan profesi
g. Teacher (Pengajar)
Apoteker memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker
generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu
pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperolah
pengalaman dan peningkatan keterampilan.
h. Researcher (Peneliti)
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip / kaidah ilmiah dalam
mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan
memanfaatkannya
dalam
pengembamgan
dan
pelaksanaan
pelayanan
kefarmasian.
II.5 Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah bentuk pelayanan dan
tanggung jawab langsung profesi Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Apoteker harus mengevaluasi obat yang
digunakan pasien dan menentukan apakah obat tersebut dapat menyebabkan
masalah terapi obat (Drug Related Problem) yang memerlukan kerjasama antara
pasien dan tenaga profesi lain dalam merancang, melaksanakan, dan mengawasi
rencana terapi obat.
II.6 Pelayanan
Dalam mencapai Phamaceutical Care perlu dilakukan pelayanan yang
optimal terhadap pasien. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
14
Pasal 21 ayat :
Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas
(1)
kefarmasian.
Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
dalam
Pasal
20
harus
Apoteker
menetapkan
sebagaimana
Standar
Prosedur
Operasional.
(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui
secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pasal 24 :
Apoteker dapat:
15
a.
b.
c.
perundang-undangan.
7. Pasal 25 ayat :
(1) Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan atau
modal dari pemilik modal, baik perorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal apoteker yang mendirikan apotek bekerja sama dengan
pemilik modal, maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan
sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
8. Pasal 26 ayat :
(1) Fasilitas pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf e dilaksanakan oleh tenaga teknis kefarmasian yang memiliki
STRTTK sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(2) Dalam menjalankan praktek kefarmasian di toko obat, tenaga teknis
kefarmasian harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian di toko
obat.
9. Pasal 27 :
Pekerjaan kefarmasian berkaitan dengan pelayanan farmasi pada fasilitas
pelayanan kefarmasian wajib dicatat oleh tenaga kefarmasian sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
II.7 Pelayanan Informasi Obat
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993,
apoteker wajib memberikan informasi berkaitan dengan penggunaan obat yang
diserahkan kepada pasien, penggunaan obat yang tepat, aman, dan rasional atas
16
17
2.
3.
4.
untuk
pasien
dan
menyampaikan
Memastikan
pasien dan/atau keluarganya atas informasi yang telah diberikan
Menghormati
pemahaman
keputusan
pasien dan keluarganya jika ternyata bertentangan dengan anjuran yang telah
diberikan
7.
Mencatat
dan
II.9 Swamedikasi
Swamedikasi (Upaya Pengobatan Diri Sendiri/UPDS) adalah upaya
individu untuk mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan
yang dapat dibeli bebas di apotek atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter.
Biasanya swamedikasi ini dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan ringan
mulai dari batuk pilek, demam, sakit kepala, maag, gatal-gatal hingga iritasi
ringan pada mata. Konsep modern swamedikasi untuk saat ini lebih dimaksudkan
sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit dengan mengkonsumsi vitamin dan
food supplement untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
18
APA
membuat
SP
Apotek
memiliki
19
a) Dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat dan harus dikunci.
b) Tempat tersebut dibagi dua masing-masing dengan kunci berlainan. Bagian
pertama untuk menyimpan morfin, petidin, dan garamnya serta persediaan
narkotika. Bagian kedua untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai
sehari-hari.
c) Jika tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran 40 x 80 x 100 cm,
maka lemari harus dibuat pada tembok atau lantai.
Menurut UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, untuk penyerahan
narkotika dari apotek ke apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, APA
membuat pesanan melalui SP narkotika atau SP khusus psikotropika
ditandatangani oleh Apoteker. Berdasarkan surat pesanan tersebut, apotek
menyerahkan narkotika ke apotek, rumah sakit, puskesmas, atau balai pengobatan.
Dokumen penyerahan narkotika ke apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, dan pasien disimpan terpisah untuk pencatatan dan pelaporan.
Penyaluran narkotika harus berdasarkan resep dokter dan hanya boleh
dilakukan oleh apotek. Apotek dilarang mengulangi penyerahan narkotika atas
dasar resep yang sama atau salinan resep. Apoteker wajib melaporkan mengenai
pemasukkan dan pengeluaran narkotika ke Depkes setiap bulan.
Untuk pelaporan, Apoteker membuat laporan mutasi
narkotika
pemusnahan,
peraturan
menetapkan
langkah-
20
21
untuk