Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PERANAN, FUNGSI DAN TUGAS APOTEKER DI APOTEK


II.1 Pengertian dan Fungsi Apotek
Apotek berasal dari bahasa Yunani apotheca, yang secara harfiah berarti
penyimpanan. Dalam bahasa Belanda, apotek disebut apotheek, yang berarti
tempat menjual atau meramu obat. Apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan
kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan lainnya
kepada masyarakat. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika. Sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan
yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek adalah:
1.

Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah

2.
3.

jabatan apoteker.
Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan

4.

farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional dan kosmetika
Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
II.2 Apoteker Pengelola Apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus

sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Apotek


adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi untuk mencapai hasil yang
pasti dalam meningkatkan mutu kehidupan pasien. Dalam menjalankan praktek
kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan atau tenaga
teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian terdiri dari sarjana farmasi, ahli
madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten Apoteker.
Untuk melakukan pekerjaan kefarmasian, Apoteker wajib memiliki Surat
Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan :
1.
Memiliki ijazah Apoteker.
2.
Memiliki sertifikat kompetensi profesi.
3.
Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker.
4.
Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
5.

memiliki surat izin praktek.


Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Selain itu, untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian di apotek, Apoteker

wajib memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Untuk mendapatkan SIPA,
Apoteker harus memiliki :
1.
STRA yang masih berlaku.
2.
Tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian atau fasilitas kefarmasian
atau fasilitas kesehatan yang memiliki izin.
3.
Rekomendasi dari organisasi profesi setempat.
II.3 Peran Apoteker
Good Pharmacy Practice (GPP) adalah suatu pedoman yang dipakai untuk
menjamin bahwa layanan yang diberikan Apoteker kepada setiap pasien telah

memenuhi kualitas yang tepat dan terjamin. Pelaksanaan Good Pharmacy


Practice (GPP) hendaknya memenuhi persyaratan:
1.
2.

Apoteker mengutamakan seluruh aktifitasnya ditujukan bagi kesejahteraan pasien.


lnti aktivltas apoteker adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya untuk
menjamin khasiat, kualitas dan keamanannya, penyediaan dan pemberian

3.

informasi yang memadai dan saran untuk pasien dan pemantauan terapi obat.
Seluruh aktifitas merupakan kesatuan bagian dari kontribusi apoteker yang berupa

4.

promosi peresepan rasional dan ekonomis serta penggunaan obat yang tepat.
Sasaran setiap unsur pelayanan terdefinisi dengan jelas, cocok bagi pasien,
terkomunikasi dengan efektif bagi semua pihak yang terlibat
Untuk memenuhi persyaratan ini, diperlukan kondisi sebagai berikut:
1. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktek,
meskipun juga disadari pentingnya faktor ekonomi.
2. Apoteker harus memiliki masukan cukup dan tepat dalam membuat
keputusan tentang penggunaan obat. Suatu sistem haruslah memungkinkan
apoteker melaporkan kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan, kesalahan
medikasi dan cacat dalam kualitas produk atau pendeteksian produk palsu.
Laporan ini juga termasuk informasi tentang obat yang digunakan dan
disiapkan untuk pasien, tenaga kesehatan profesional, baik langsung maupun
melalui apoteker.
3. Menjalin hubungan profesional terus menerus dengan tenaga kesehatan
lainnya, yang harus dapat dilihat sebagai kerjasama terapeutik yang saling
percaya dan mempercayai sebagai kolega dalam semua hal yang berkaitan
dengan terapi yang menggunakan obat (farmakoterapeutik).

4. Hubungan profesional diantara apoteker harus berupa hubungan kotegial


untuk

menyempurnakan

pesaing/kompetitor.
5. Organisasi praktek

pelayanan

kelompok

dan

farmasi
manajer

dan

bukan

apotek

sebagai

harus

ikut

bertanggungjawab untuk pendefinisian, pengkajian, dan penyempurnaan


kualitas.
6. Apoteker harus hati-hati terhadap penyediaan dan pemberian informasi medis
esensial dan farmaseutik bagi setiap pasien. Perolehan informasi ini akan
lebih mudah jika pasien memilih menggunakan hanya satu apotek atau jika
tersedia profil pengobatan pasien.
7. Apoteker harus tidak memihak, komprehensif, obyektif dan dapat
memberikan informasi terkini tentang terapi dan penggunaan obat.
8. Apoteker dalam setiap prakteknya harus bertanggung jawab secara pribadi
untuk menjaga dan mengukur kompetensi pribadinya melalui praktek
profesionalnya.
9. Program pendidikan profesi harus membekali calon apoteker agar dapat
melaksanakan praktik maupun mengantisipasi perubahan praktik farmasi di
masa yang akan datang.
10. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) harus ditetapkan
dan dipatuhi oleh praktisi.
Good Pharmacy Practice (GPP) melibatkan delapan aktivitas utama yaitu:
Aktivitas yang berhubungan dengan promosi kesehatan, pencegahan

1.

penyakit dan pencapaian tujuan kesehatan, dengan kegiatan :

Penyuluhan kesehatan masyarakat


Berperan aktif dalam promosi kesehatan sesuai program pemerintah.
Menjamin mutu alat diagnostik dan alat kesehatan lainnya serta memberi
saran penggunaannya.

2.

Aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan dan penggunaan


sediaanfarmasi dan alat kesehatan dalam pelayanan resep, dengan kegiatan :

Penerimaan dan pemeriksaan kelengkapan resep.


Pengkajian resep, meliputi identifikasi, mencegah dan mengatasi masalah

terkait obat/Drug Related Problem (DRP)


Penyiapan obat dan perbekalan farmasi lainnya, meliputi: pemilihan;
pengadaan

(perencanaan,

teknis

pengadaan.

penerimaan,

dan

penyimpanan); pendistribusian, penghapusan dan pemusnahan, pencatatan

dan pelaporan, jaminan mutu, serta monitoring dan evaluasi.


Layanan lnformasi obat. meliputi: penyediaan area konseling khusus,;
kelengkapan literatur : penjaminan mutu SDM; pembuatan prosedur tetap

dan pendokumentasiannya.
Monitoring Terapi Obat meliputi: pembuatan protap monitoring; evaluasi

perkembangan terapi pasien.


Dokumentasi aktifitas profesional, meliputi : catatan pengobatan pasien
(Patient Medication Record/PMR), protap evaluasi diri (self assesment)
untuk jaminan mutu
Aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan dan penggunaan sediaan

3.

farmasi dan alat kesehatan dalam swamedikasi (self medication), dengan


kegiatan:
Pengkajian masalah kesehatan pasien berdasarkan keluhan pasien, meliputi
siapa yang memiliki masalah; gejalanya apa; sudah berapa lama; tindakan

apa yang sudah dilakukan; obat apa yang sudah dan sedang digunakan.
Pemilihan obat yang tepat (Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan Obat

Wajib Apotek)
enentuan waktu merujuk pada lembaga kesehatan lain.

4.

Aktivitas yang berhubungan dengan peningkatan penggunaan obat yang


rasional, dengan kegiatan :

Pengkajian Resep, meliputi : identifikasi, mencegah dan mengatasi DRP


Komunikasi dan advokasi kepada dokter tentang resep pasien.
Penyebaran informasi obat.
Menjamin kerahasiaan data pasien.
Pencatatan kesalahan obat, produk cacat atau produk palsu.
Pencatatan dan pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Evaluasi data penggunaan obat (Drug Use Study)
Penyusunan Formularium Bersama tenaga kesehatan lain.
Menurut peraturan pemerintah melalui keputusan Menteri Kesehatan

Indonesia, setidaknya ada tiga peranan apoteker dilihat dari posisinya, yaitu
peranan apoteker sebagai tenaga profesional, manajer dan retailer.
1. Apoteker sebagai Professional
Apoteker memiliki kemampuan dalam melaksanakan kegiatan pelayanan
kefarmasian yang bermutu dan efisien yang berasaskan pharmaceutical care di
apotek. Adapun standar pelayanan kefarmasian di apotek telah diatur melalui
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES
/SK/IX/2004.
Tujuan dari standar pelayanan ini adalah:
a) Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.
b) Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.
c) Pedoman dalam pengawasan praktek Apoteker.
d) Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.
2. Apoteker sebagai Manager
Apoteker juga bisa bertindak sebagai manajer. Dalam menjalankan
fungsinya sebagai manajer dalam apotek, seorang apoteker harus mampu
mengerjakan tugas-tugas manajerial, seperti merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan, dan mengendalikan penggunaan sumber daya untuk mencapai

10

tujuan bersama. Tugas apoteker sebagai seorang manajer didasarkan pada Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004,
khususnya pada bab II, yaitu tentang beberapa sumber daya di apotek yang perlu
dikelola oleh seorang apoteker.
Apoteker sebagai manajer harus mempunyai kemampuan manajerial yang
baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen, yang
meliputi kepemimpinan (leading), perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling).
a)

Kepemimpinan (leading), merupakan kemampuan untuk mengarahkan


atau menggerakkan orang lain (anggota atau bawahan) untuk bekerja dengan

b)

rela sesuai dengan apa yang diinginkannya, dalam mencapai tujuan tertentu.
Perencanaan (planning), sebagai pengelola apotek, Apoteker harus mampu
menyusun perencanaan dari suatu pekerjaan, cara dan waktu pengerjaan, serta

c)

siapa yang mengerjakannya.


Pengorganisasian (organizing), Apoteker harus mampu mengatur dan
menentukan (mendelegasikan) pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh
karyawan dengan efektif dan efisien, sesuai dengan pendidikan dan

pengalaman.
d)
Pelaksanaan (actuating), Apoteker harus dapat menjadi pemimpin yang
menjadi panutan karyawan, yaitu mengetahui permasalahan, dapat menunjukan
jalan keluar masalah, dan turut berperan aktif dalam kegiatan.
e)
Pengawasan (controlling), Apoteker harus selalu melakukan evaluasi
setiap kegiatan dan mengambil tindakan demi perbaikan dan peningkatan
kualitas.
3. Apoteker Sebagai Retailer

11

Apotek merupakan tempat pengabdian profesi kefarmasian. Di sisi lain,


apotek adalah salah satu model badan usaha retail, yang tidak jauh berbeda
dengan badan usaha retail lainnya. Apotek sebagai badan usaha retail bertujuan
untuk menjual komoditinya yaitu obat dan alat kesehatan sebanyak-banyaknya
untuk mendapatkan profit. Profit memang bukan tujuan utama dan satu-satunya
dari tugas keprofesian Apoteker, tetapi tanpa profit apotek sebagai badan usaha
retail tidak dapat bertahan.
Untuk meningkatkan profit salah satu hal penting yang harus dilakukan
adalah mencapai kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, Apoteker sebagai seorang
retailer berkewajiban mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan pelanggan,
menstimulasi kebutuhan pelanggan agar menjadi permintaan, dan memenuhi
permintaan serta melebihi harapan pelanggan.
II.4 Tugas dan Fungsi Apoteker
Tugas dan fungsi Apoteker secara umum yang digariskan oleh WHO yang
semula dikenal dengan "Seven Stars of Pharmacist", selanjutnya ditambahkan
satu fungsi, yaitu researcher, yang kemudian mengubahnya menjadi "Seven Stars
Plus" diantaranya meliputi :
a. Care-giver (Pemberi layanan)
Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis,
analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan
pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun
kelompok. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem
pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan kefarmasian
dilakukan dengan kualitas tertinggi.
b. Decision-maker (Pengambil keputusan)

12

Apoteker dalam melakukan pekerjaannya harus berdasarkan pada


kecukupan, kebermanfaatan (keefikasian), biaya yang efektif dan efisien
terhadap seluruh penggunaan sumber daya seperti sumber daya manusia, obat,
bahan kimia, peralatan.prosedur dll. Untuk mencapai tujuan tersebut
kemampuan dan keterampilan apoteker perlu dievaluasi dan hasilnya menjadi
dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan.
c. Communicator (Komunikator)
Apoteker mempunyai kedudukan yang penting dalam berhubungan
dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya. Oleh karena itu harus
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik. Komunikasi itu meliputi
verbal, nonverbal, mendengar dan kemampuan menulis.
d. Leader (Pemimpin)
Apoteker diharapkan memitiki kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan
yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola
hasil keputusan.
e. Manager (Pengelola)
Apoteker harus efektif mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran)
dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim
kesehatan. Lebih jauh lagi Apoteker harus tanggap terhadap kemajuan
teknologi informasi dan bersedia berbagi informasitentang obat dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan obat.
f. Life-long-learner (Pembelajar seumur hidup)
Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar
harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian
dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi.

13

Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif. Apoteker perlu
melaksanakan pengembangan profesionalitas berkelanjutan (Continuing
Professional Development/CPD) untuk meningkatkan pengetahuan sikap, dan
keterampilan profesi
g. Teacher (Pengajar)
Apoteker memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker
generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu
pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperolah
pengalaman dan peningkatan keterampilan.
h. Researcher (Peneliti)
Apoteker harus selalu menerapkan prinsip / kaidah ilmiah dalam
mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan
memanfaatkannya

dalam

pengembamgan

dan

pelaksanaan

pelayanan

kefarmasian.
II.5 Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah bentuk pelayanan dan
tanggung jawab langsung profesi Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Apoteker harus mengevaluasi obat yang
digunakan pasien dan menentukan apakah obat tersebut dapat menyebabkan
masalah terapi obat (Drug Related Problem) yang memerlukan kerjasama antara
pasien dan tenaga profesi lain dalam merancang, melaksanakan, dan mengawasi
rencana terapi obat.
II.6 Pelayanan
Dalam mencapai Phamaceutical Care perlu dilakukan pelayanan yang
optimal terhadap pasien. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

14

No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, terutama pada Pelaksanaan


Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian meliputi :
1.
Pasal 20 :
Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan atau
tenaga teknis kefarmasian.
2.

Pasal 21 ayat :
Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas

(1)

pelayanan kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan


(2)

kefarmasian.
Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter

dilaksanakan oleh Apoteker.


(3)
Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker,
Menteri dapat menempatkan tenaga teknis kefarmasian yang telah
memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi
wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien.
4. Pasal 22 :
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi
yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik
dan menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pasal 23 ayat :
(1) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian,
dimaksud

dalam

Pasal

20

harus

Apoteker

menetapkan

sebagaimana

Standar

Prosedur

Operasional.
(2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui
secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Pasal 24 :
Apoteker dapat:

15

a.

mengangkat seorang Apoteker Pendamping yang memiliki


SIPA

b.

mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama


komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan
atau pasien

c.

menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada


masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
7. Pasal 25 ayat :
(1) Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan atau
modal dari pemilik modal, baik perorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal apoteker yang mendirikan apotek bekerja sama dengan
pemilik modal, maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan
sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
8. Pasal 26 ayat :
(1) Fasilitas pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf e dilaksanakan oleh tenaga teknis kefarmasian yang memiliki
STRTTK sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(2) Dalam menjalankan praktek kefarmasian di toko obat, tenaga teknis
kefarmasian harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian di toko
obat.
9. Pasal 27 :
Pekerjaan kefarmasian berkaitan dengan pelayanan farmasi pada fasilitas
pelayanan kefarmasian wajib dicatat oleh tenaga kefarmasian sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
II.7 Pelayanan Informasi Obat
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993,
apoteker wajib memberikan informasi berkaitan dengan penggunaan obat yang
diserahkan kepada pasien, penggunaan obat yang tepat, aman, dan rasional atas

16

permintaan pasien. Dalam memberikan informasi kepada pasien, minimal


mencakup informasi obat yang diberikan kepada pasien.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat kepada
pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,
jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi.
Pelayanan informasi obat yaitu memberikan semua penjelasan mengenai
terapi yang diberikan oleh dokter kepada pasien, sehingga tercapai hasil terapi
yang optimal. Pelayanan informasi obat di apotek bertujuan untuk memberikan
dasar pengertian mengenai penggunaan obat yang aman dan efektif serta
memberikan informasi yang objektif kepada berbagai pihak. Pelayanan informasi
obat dapat melalui media seperti poster, leaflet atau brosur.
Dalam pelayanan informasi obat untuk pasien tanpa resep dokter (UPDS)
adalah apoteker menggali informasi selengkap-lengkapnya mengenai siapa
pengguna obat, gejala apa yang dirasakan, berapa lama gejala tersebut dirasakan
pasien, tindakan apa yang telah dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut, dan
obat apa yang telah dikonsumsi untuk mengatasi gejala tersebut. Selanjutnya
apoteker memilihkan dan menginformasikan obat yang dibutuhkan sesuai dengan
keluhan pasien, dengan memperhatikan peraturan kefarmasian yang berlaku.
II.8 Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Komunikasi yang dilakukan antara Apoteker dengan pasien meliputi :
1.
Merancang,
melengkapi,
mengumpulkan dan menganalisa informasi pasien yang relevan dengan
penyakit dan tujuan pengobatan untuk mencapai keluaran terapi yang optimal.

17

2.

Menjelaskan maksud dan


tujuan komunikasi kepada pasien dan/atau keluarga pasien secara jelas dan

3.

mudah dipahami sesuai keadaan tingkat kepahaman.


Memotivasi

4.

keluarganya agar berpartisipasi aktif dalam rangka pencapaian tujuan terapi


Memberi
kesempatan
pasien dan keluarganya

untuk

pasien

dan

menyampaikan

keluhan yang berkaitan dengan penggunaan obat


5.
6.

Memastikan
pasien dan/atau keluarganya atas informasi yang telah diberikan
Menghormati

pemahaman
keputusan

pasien dan keluarganya jika ternyata bertentangan dengan anjuran yang telah
diberikan
7.

Mencatat

dan

mendokumentasikan hasil komunikasi

II.9 Swamedikasi
Swamedikasi (Upaya Pengobatan Diri Sendiri/UPDS) adalah upaya
individu untuk mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan
yang dapat dibeli bebas di apotek atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter.
Biasanya swamedikasi ini dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan ringan
mulai dari batuk pilek, demam, sakit kepala, maag, gatal-gatal hingga iritasi
ringan pada mata. Konsep modern swamedikasi untuk saat ini lebih dimaksudkan
sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit dengan mengkonsumsi vitamin dan
food supplement untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

18

Untuk lebih mengarahkan ketepatan pemilihan obat pada saat pelayanan


swamedikasi, konseling pra layanan swamedikasi dapat dilakukan kepada pasien
dengan arahan lima pertanyaan penuntun yaitu :
W = who, untuk siapa obat tersebut?
W = what symptoms, gejala apa yang dirasakan?
H = how long, sudah berapa lama gejala tersebut berlangsung?
A = action, tindakan apa yang telah dilakukan untuk mengatasi gejala
tersebut?
M = medicine, obat-obat apa yang telah digunakan?
II.10 Pengelolaan Khusus Narkotika dan Psikotropika
Apoteker dalam pengadaan obat-obatan golongan narkotika dan
psikotropika mempunyai surat pesanan khusus yang harus ditandatangani oleh
Apoteker Pengelola Apotek pada PBF resmi yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Prosedur pemesanan narkotika, adalah sebagai berikut:
1. APA membuat SP narkotika yang terdiri dari empat rangkap. Satu SP narkotika
digunakan untuk pemesanan satu jenis narkotika saja. Berdasarkan surat
pesanan tersebut, PBF akan mengirimkan barang beserta faktur ke apotek.
2. Surat pesanan narkotika yang berwarna putih, kuning dan biru diberikan
kepada PBF sedangkan1 lembar berwarna merah sebagai arsip apotek.
Prosedur pemesanan psikotropika, adalah sebagai berikut:
1.

APA

membuat

SP

psikotropika yang terdiri dari dua rangkap. Satu SP psikotropika dapat


digunakan untuk pemesanan lebih dari satu jenis psikotropika yang berasal dari
distributor yang sama. Berdasarkan surat pesanan tersebut, PBF akan
mengirimkan barang beserta faktur ke apotek.
2.

Apotek

memiliki

tempat khusus untuk menyimpan narkotika. Tempat khusus tersebut harus


memenuhi persyaratan :

19

a) Dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat dan harus dikunci.
b) Tempat tersebut dibagi dua masing-masing dengan kunci berlainan. Bagian
pertama untuk menyimpan morfin, petidin, dan garamnya serta persediaan
narkotika. Bagian kedua untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai
sehari-hari.
c) Jika tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran 40 x 80 x 100 cm,
maka lemari harus dibuat pada tembok atau lantai.
Menurut UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, untuk penyerahan
narkotika dari apotek ke apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, APA
membuat pesanan melalui SP narkotika atau SP khusus psikotropika
ditandatangani oleh Apoteker. Berdasarkan surat pesanan tersebut, apotek
menyerahkan narkotika ke apotek, rumah sakit, puskesmas, atau balai pengobatan.
Dokumen penyerahan narkotika ke apotek, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan, dokter, dan pasien disimpan terpisah untuk pencatatan dan pelaporan.
Penyaluran narkotika harus berdasarkan resep dokter dan hanya boleh
dilakukan oleh apotek. Apotek dilarang mengulangi penyerahan narkotika atas
dasar resep yang sama atau salinan resep. Apoteker wajib melaporkan mengenai
pemasukkan dan pengeluaran narkotika ke Depkes setiap bulan.
Untuk pelaporan, Apoteker membuat laporan mutasi

narkotika

berdasarkan dokumen penerimaan dan pengeluarannya setiap bulan. Laporan


mutasi narkotika ditandatangani oleh APA, dibuat rangkap lima, ditujukan kepada
Sudin Yankes Dati II/Kodya, dengan tembusan kepada Dinkes Provinsi, Kepala
Balai POM, PBF Kimia Farma sebagai distributor tunggal narkotika, dan 1
salinan untuk arsip.
Dalam melakukan
langkahnya sebagai berikut :
1. Pembuatan berita acara

pemusnahan,

peraturan

menetapkan

langkah-

20

a) Apoteker mengumpulkan bukti fisik perbekalan narkotika yang rusak dan


daluarsa yang akan dimusnahkan.
b) Membuat panitia pemusnahan narkotika dan mengundang Dinas Kesehatan
Dati II/Kodya, perwakilan Kepala Balai POM untuk menyaksikan pemusnahan
tersebut.
c) Membuat berita acara rangkap tiga yang berisi tentang :
Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan
Nama APA
Nama seorang saksi dari Pemerintah dan seorang saksi dari pihak apotek
Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan
Cara pemusnahan (dibakar, dihancurkan, dipendam)
Tanda tangan APA
2. Mengirimkan berita acara pemusnahan yang ditujukan kepada :
a) Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
b) Dinas Kesehatan Dati II/Kodya/Provinsi
3. Arsip
II.11 Merchandise Management
Merchandise merupakan barang dagangan yang dapat menentukan image,
laba, kebutuhan modal kerja, dan daya saing suatu perusahaan. Merchandise
management merupakan kegiatan mengelola, merencanakan, melaksanakan, dan
mengendalikan produk, sehingga pembeli mendapatkan barang yang tepat, pada
tempat yang tepat, dengan harga yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam
jumlah yang tepat. Sasaran dari merchandise management ini adalah pembeli
menjadi loyal dan akhirnya menjadi seorang pelanggan.
Prinsip dari merchandise management adalah memegang teguh orientasi
ke pasar dengan memperhatikan sasaran pasar, posisi pasar, dan strategi pesaing.
Hal-hal penting mengelola merchandise di apotek adalah menetapkan jenis obat
yang akan dibeli, jumlah obat yang akan dibeli, sumber pembelian obat (supplier),
harga jual obat, serta menangani dan melindungi obat.
II.12 Kompetensi Apoteker di Apotek

21

Kompetensi adalah kemampuan manusia yang merupakan sejumlah


karakteristik, baik berupa bakat, motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, dan
perilaku yang membuat seorang pegawai berhasil dalam pekerjaannya. Apoteker
di apotek, dituntut untuk memiliki kompetensi sebagai berikut:
a. Mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik
b. Mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan profesional
c. Mampu berkomunikasi dengan baik
d. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner
e. Mempunyai kemampuan dalam mengelola sumber daya
f. Selalu belajar sepanjang karier
g. Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang
meningkatkan pengetahuan.

untuk

Anda mungkin juga menyukai