Pembimbing:
dr. Sudarmanto, Sp. A
Oleh:
Septian Dwi Saputro, S.Ked
Triono Soleh, S.Ked
PENDAHULUAN
Di seluruh dunia penyakit jantung pada anak terus menjadi masalah
kesehatan utama pada masyarakat. Baik itu penyakit jantung bawaan maupun
yang didapat. Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan
pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang
terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung
pada fase awal perkembangan janin. Terjadinya PJB masih belum jelas namun
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Terdapat kecenderungan timbulnya beberapa
PJB dalam satu keluarga. Pembentukan jantung janin yang lengkap terjadi pada
akhir trimester pertama potensial dapat menimbulkan gangguan jantung.
Secara garis besar PJB dibagi dalam 2 kelompok: PJB non-sianotik dan
PJB sianotik.. Empat hal paling sering ditemukan pada neonatus dengan PJB
adalah sianosis, takipnea, frekuensi jantung abnormal dan bising jantung.
Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung
sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang
mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik. Terdapat
aliran pirau dari kanan ke kiri atau terdapat percampuran darah balik vena
sistemik dan vena pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku
jari tangankaki dalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan terlihat
bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5 gram %.
Salah satu bentuk PJB sianotik yang paling banyak ditemukan adalah
Tetralogi Fallot. Angka kejadiannya sekitar 5-7% dari seluruh penyakit jantung
bawaan. Kelainan Tetralogi Fallot mula-mula dilaporkan pada tahun 1672, tetapi
Fallot pada tahun 1888 menguraikan sekelompok penderita dengan
stenosis
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tetralogi fallot (TF) adalah kelainan jantung bawaan tipe sianotik.
didapatkan adanya empat kelainan anatomi sebagai berikut :
Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat antara kedua
rongga ventrikel
Aorta overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel
kiri mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar
dari bilik kanan
2.2 Epidemiologi
Tetralogi Fallot timbul pada 3-6 per 10.000 kelahiran dan menempati
urutan keempat penyakit jantung bawaan pada anak setelah defek septum
ventrikel, defek septum atrium dan duktus arteriosus persisten, atau lebih kurang
10-15 % dari seluruh penyakit jantung bawaan. Diantara penyakit jantung bawaan
sianotik, Tetralogi Fallot merupakan 2/3 nya. Tetralogi Fallot merupakan penyakit
jantung bawaan yang paling sering ditemukan yang ditandai dengan sianosis
sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri. Angka kejadian antara bayi laki-laki
dan perempuan sama.
2.3 Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak diketahui
secara pasti. Diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen. Faktorfaktor
tersebut antara lain :
Faktor endogen
Faktor eksogen
(thalidomide,
dextroamphetamine,
aminopterin,
2.4 Patofisiologi
Mulai akhir minggu ketiga sampai minggu keempat kehidupan intrauterin,
trunkus arteriosus terbagi menjadi aorta dan A. Pulmonalis. Pembagian
berlangsung sedemikian, sehingga terjadi perputaran seperti spiral, dan akhirnya
aorta akan berasal dari posterolateral sedangkan pangkal A. Pulmonalis terletak
antero-medial
Kesalahan dalam pembagian trunkus dapat berakibat letak aorta yang
abnormal (overriding), timbulnya infundibulum yang berlebihan pada jalan keluar
ventrikel kanan, serta terdapatnya defek septum ventrikel karena septum dari
trunkus yang gagal berpartisipasi dalam penutupan foramen interventrikel.
Dengan demikian dalam bentuknya yang klasik, akan terdapat 4 kelainan, yaitu
defek septum ventrikel yang besar, stenosis infundibular, dekstroposisi pangkal
aorta dan hipertrofi ventrikel kanan. Kelainan anatomi ini bervariasi luas,
sehingga menyebabkan luasnya variasi patofisiologi penyakit.
Secara anatomis Tetralogi Fallot terdiri dari septum ventrikel subaortik
yang besar dan stenosis pulmonal infundibular. Terdapatnya dekstroposisi aorta
dan hipertrofi ventrikel kanan adalah akibat dari kedua kelainan terdahulu. Derajat
hipertrofi ventrikel kanan yang timbul bergantung pada derajat stenosis pulmonal.
Overriding aorta terjadi karena pangkal aorta berpindah ke arah anterior
mengarah ke septum. Derajat overriding ini lebih mudah ditentukan secara
angiografis daripada waktu pembedahan atau otopsi. Klasifikasi overriding
menurut Kjellberg: (1) Tidak terdapat overriding aorta bila sumbu aorta desenden
mengarah ke belakang ventrikel kiri; (2) Pada overriding 25% sumbu aorta
ascenden ke arah ventrikel sehingga lebih kurang 25% orifisium aorta menghadap
ke ventrikel kanan; (3) Pada overriding 50% sumbu aorta mengarah ke septum
sehingga 50% orifisium aorta menghadap ventrikel kanan; (4) Pada overriding
75% sumbu aorta asdenden mengarah ke depan ventrikel kanan, septum sering
berbentuk konveks ke arah ventrikel kiri, aorta sangat melebar, sedangkan
ventrikel kanan berongga sempit. Derajat overriding ini bersama dengan defek
septum ventrikel dan derajat stenosis menentukan besarnya pirau kanan ke kiri.
Pengembalian vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan
berlangsung normal. Ketika ventrikel kanan menguncup, dan menghadapi stenosis
pulmonalis, maka darah akan dipintaskan melewati cacat septum ventrikel
tersebut ke dalam aorta. Akibatnya terjadi ketidak-jenuhan darah arteri dan
sianosis menetap. Aliran darah paru-paru, jika dibatasi hebat oleh obstruksi aliran
keluar ventrikel kanan, dapat memperoleh pertambahan dari sirkulasi kolateral
bronkus dan kadang dari duktus arteriosus menetap.
Overiding aorta
Aliran
darah paru
O2 dlm darah
Kelemahan
tubuh
Asidosis
metabolik
Gangguan pertukaran gas
PK.Hipoksemia
Krg pengetahuan ortu :
diagnostik,prognosis&perawa
tan
Bayi/anak cepat lelah :
jika menetek,berjalan,
beraktifitas
Ggn nutrisi kurang dr
keb
Intoleransi aktivitas
tubuh
Gangguan pola nafas
Gangguan
pertumbuhan &
perkembangan
O2 di otak
kesadaran
kejang
kompensasi
Jangka panjang sirkulasi kolateral
Perdarahan
polisitemia
Trombosis
PK : embolisme
paru
MRS
PK : syok hipovolemik
Gangguan keseimbangan cairan
& elektrolit
Gangguan perfusi jaringan
2.6 Klasifikasi
Secara klinis kelainan ini dibagi menurut derajat beratnya kelainan, yaitu
sebagai berikut:
1. Penderita tidak sianosis, kemampuan kerja normal.
2. Sianosis timbul pada waktu kerja, kemampuan kerja kurang.
3. Sianosis timbul pada waktu istirahat, kuku berbentuk gelas arloji, bila kerja
fisik sianosis bertambah, juga ada dispnea.
4. Sianosis dan dispnea sudah ada pada waktu istirahat, ada jari tabuh.
Dalam masa 2 tahun biasanya gejal-gejala lebih memburuk sehingga kasus
dari golongan 1 dapat bergeser sampai golongan 3. Ada juga kemungkinan
perbaikan klinis, tetapi jarang, bila ada pelebaran anastomosis antara pembuluh
darah yang keluar dari aorta dan yang dari a. pulmonalis
b. Rontgen thorax
Gambar 2. Foto AP pasien tetralogi fallot. Didapatkan gambaran khas coer en sabot
(sepatu kayu), serta corakan vaskular paru yang berkurang
c. Ekokardiografi
Pada ekokardiografi adalah mungkin memperagakan sekat ventrikel, khas
konoventrikular dengan deviasi anterior sekat infundibulum. Akar aorta besar dan
mengarah ke kanan bervariasi overriding. Saluran keluar pulmonal yang
menyempit biasanya dengan mudah ditampakkan dan obstruksi dapat dengan
mudah didokumentasikan dengan teknik Doppler. Sekarang dimungkinkan bagi
ekokardiografer mengenali defek sekat ventrikel tambahan pada bagian lain sekat
ventrikel dengan teknik doppler berwarna dan anatomi arteria koronaria sering
dapat dilihat dengan cukup baik untuk mengenali kelainan cabang-cabang konus
di dalam saluran air keluar ventrikel kanan pada titik dimana irisan bedah
mungkin diperlukan. Stenosis pulmonal perifer proksimal dan hipoplasia relatif
pembuluh darah pulmonal sentral dapat ditampakkan. Belum ada data yang cukup
untuk merekomendasikan bahwa koreksi bedah Tetralogi Fallot yang dilakukan
dengan informasi diagnostik anatomik yang didasarkan seluruhnya atas
ekokardiografi, tetapi sangat mungkin bahwa hal ini akan terjadi tidak lama lagi.
Pandangan subsifoid dan parasternal paling jelas menampakkan defek
sekat ventrikel, aorta yang menggeser ke kanan (overriding), dan obstruksi
saluran aliran ke luar ventrikel kanan. Cabang arteria pulmonalis biasanya terlihat
pada pandangan sumbu pendek parasternal dan suprasternal. Anatomi arteria
koronaria kiri dapat terlihat pada pandangan sumbu pendek parasternal atau
pandangan sumbu-panjang yang ditujukan ke arah bahu kiri.
Sayangnya, ketika penderita menjadi lebih tua dan lebih besar, ketajaman
ekokardiografi menghilang dan angiokardiografi menjadi keharusan.
e. Laboratorium
2.9 Komplikasi
a. Polisitemia
Hal ini merupakan akibat dari keadaan hipoksia sehingga menimbulkan
kompensasi berupa timbulnya sirkulasi kolateral. Akibat yang ditimbulkan dengan
terjadinya polisitemia dapat meningkatkan hematokrit sehingga viskositas darah
meninggi yang dapat menimbulkan trombositopenia sehingga mempengaruhi
mekanisme pembekuan darah. Polisitemia dapat menimbulkan kelainan pada
mata, yaitu retinopati berupa pelebaran pembuluh darah retina.
b. Asidosis metabolik.
Asidosis metabolik sebagai akibat hipoksia hebat akan menyebabkan bertambah
lamanya serangan sianotik ini.
c. Trombosis otak dan abses otak
Biasanya terjadi pada vena serebralis atau sinus dura dan kadang-kadang pada
arteria serebralis, lebih sering bila ada polisitemia berat. Mereka juga dapat
dipercepat oleh dehidrasi. Trombosis paling sering pada penderita diatas usia 2
tahun.
d. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung sangat jarang terjadi pada penderita tetralogi fallot. Namun tanda
ini dapat terjadi pada bayi muda dengan tetralogi fallot merah atau asianotik.
Karena derajat penyumbatan pulmonal menjelek bila semakin tua. Gejala-gejala
gagal jantung mereda dan akhirnya penderita sianosis, sering pada umur 6-12
bulan. Penderita pada saat ini beresiko untuk bertambahnya serangan
hipersianotik.
2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana Tetralogi Fallot berupa perawatan medis serta tindakan bedah.
Pada penderita yang mengalami serangan sianotik maka terapi ditujukan untuk
memutuskan rantai patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan cara:
a) Posisi lutut ke dada (knee-chest position). Dengan posisi ini diharapkan
aliran darah ke paru bertambah karena peningkatan afterload aorta akibat
penekukan arteri femoralis.
b) Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kg SC, IM atau IV untuk menekan pusat
pernafasan dan mengatasi takipnea.
c) Bikarbonas natrikus 1 meq/kgBB IV untuk mengatasi asidosis.
d) Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian disini bukan karena
kekurangan oksigen, tetapi karena aliran darah ke paru yang berkurang.
Dengan usaha diatas diharapkan anak tidak lagi takipnea, sianosis
berkurang dan anak menjadi tenang.
e) Propanolol 0,01-0,25 mg/kg intravena perlahan-lahan untuk menurunkan
denyut jantung sehingga serangan dapat diatasi. 1 mg IV merupakan dosis
standar pada dewasa. Dosis total dilarutkan dengan 10 ml cairan dalam
spuit, dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila serangan belum teratasi
sisanya diberikan perlahan dalam 5 sampai 10 menit berikutnya,
isoproterenol harus disiapkan untuk mengatasi efek overdosis.
f) Ketamin 1-3 mg/kg (rata-rata 2,2 mg/kg) IV perlahan. Preparat ini bekerja
dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan juga sebagai
sedatif.
g) Vasokonstriktor seperti phenilephrine 0,02 mg/kg IV meningkatkan
resistensi vaskular sistemik sehingga aliran darah ke paru meningkat.
h) Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam
penanganan sianosis. Volume darah juga dapat mempengaruhi tingkat
obstruksi. Penambahan volume darah juga dapat meningkatkan curah
jantung, sehingga aliran darah ke paru bertambah dan aliran darah sistemik
membawa oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.
Langkah selanjutnya:
1. Propanolol oral 2-4 mg/kg/hari dapat digunakan untuk mencegah serangan
dan menunda tindakan bedah.
2. Bila ada defisiensi zat besi segera diatasi dengan pemberian preparat besi
3. Hindari dehidrasi.
Sedangkan untuk tindakan bedah terdapat 2 pilihan pada Tetralogi Fallot.
Pertama adalah koreksi total (menutup VSD dan reseksi infundibulum), dan kedua
bedah paliatif pada masa bayi untuk kemudian dilakukan koreksi total kemudian.
Pada Tetralogi Fallot golongan 1 tidak perlu terapi. Operasi pada golongan ini
menimbulkan lebih banyak resiko daripada hasilnya. Pada anak dibawah umur 6
tahun dengan golongan 3 dan 4 (BB < 10 kg) perlu dilakukan operasi paliatif.
Operasi paliatif ini merupakan operasi pertolongan sebelum dilakukan koreksi
total.
Bayi < 3 bulan dengan spell yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
Operasi koreksi total dilakukan pada usia sejak lahir hingga 2 tahun.
Operasi koreksi total pada bayi dan anak dengan berat badan yang masih rendah
mengandung banyak resiko. Operasi paliatif umumnya membuat anastomosis
antara aorta dan a. Pulmonalis. Sehingga diharapkan darah dari aorta mengalir ke
dalam a. Pulmonalis. Paru akan mendapat cukup darah sehingga jumlah darah
yang dioksigenasi lebih banyak. Ada beberapa macam teknik bedah paliatif :
a. Anastomosis Blalock-Taussig: menghubungkan salah satu a.
Subklavia dan salah satu a. Pulmonalis. Hubungan ini dapat secara
end to side dapat juga secara end to end.
b. Anastomosis Pott: menghubungkan sisi sama sisi antara a.
Pulmonalis kiri dengan aorta desendendi luar perikardium.
Anastomosis Waterson: menghubungkan sisi sama sisi antara a.
Pulmonalis kanan dengan aorta asendens.
2.11 Prognosis.
Tanpa operasi prognosis tidak baik. Rata-rata mencapai umur 15 tahun,
tapi semua ini bergantung kepada besar kelainan. Ancaman pada anak dengan TF
adalah abses otak pada umur 2-3 tahun. Gejala neurologis disertai demam dan
leukositosis memberikan kecurigaan akan adanya abses otak. Anak dengan TF
cenderung untuk menderita perdarahan banyak karena mengurangnya trombosit
dan fibrinogen kemungkinan timbulnya endokarditis bakterialis selalu ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fyler, D. C. 1996. Kardiologi Anak Nadas. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
2. Behrman, Kliegman, and Jenson. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th
edition. USA: W.B. Saunders.
3. Markum, A. H. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI
5. Anonymous. 2007. Tetralogy of Fallot. National Heart Lung and Blood
Institute. Cites at: www.nhlbi.nih.gov.
6. Ontoseno, T., Poewodibroto, S., dan Rahman, M. A. 2007. Tetralogi Fallot
dan Serangan Sianosis. Cites at: www.pediatrik.com.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2005. Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
8. Madiyono, Rahayuningsih, dan sukardi. 2005. Penanganan Penyakit
Jantung pada Bayi dan Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia