Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan
Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukanmasukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Sukabumi, Februari 2012
Penyusun

A. PENDAHULUAN
Masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di
Indonesia dari abad ke-13 sampai abad ke-18 M. merupakan periode sejarah yang menarik
perhatian karena terjadinya perubahan-perubahan dibidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
keagamaan, akibat proses akulturasi antara keagamaan dan kebudayaan yang diperkenalkan oleh
pembawa-pembawa Islam dengan keagamaan dan kebudayaan Indonesia masa Pra-Islam. Masa
menjelang kedatangan dan penyebaran Islam tersebut kelompok-kelompook masyarakat yang
menempati bebagai kepulauan di Indonesia itu sendiri dari dua kelompok besar ditinjau dari segi
keagamaan serta kebudayaannya. Di satu pihak masyarakat yang masih percaya kepada animism
dan dinamisme dengan unsur-unsur budaya tardisi Pra-Hindu/Budha, dan di satu pihak
masyarakat yang sudah mengenal keagamaan Hindu-Budha akibat proses alkuturasi dengan
kebudayaan India yang tumbuh dan berkembang sejak lebih kurang abad-abad pertama Masehi
hingga abad ke-16 M.1[1][1]
Ketika Islam mensyiarkan Islam ke daerah pesisir Nusantara melalui perdagangan dan
pelayaran saat itu juga kondisi politik yang pada saat itu pemerintahan berbentuk kerajaan
mengalami berbagai situasi politik yang berbeda-beda disetiap daerahnya. Hal ini merupakan
salah satu penyebab Islam mudah diterima oleh masyarakat sekitar tidak hanya oleh rakyat
bahkan juga oleh kalangan bangsawan meskipun motif mereka memeluk Islam berbeda-beda
juga.
Perkembangan agama Islam di Indonesia yang berlangsung secara evolusi telah berhasil
menanamkan akidah Islamiyah dan syariah shohihah, memunculkan cipta, rasa, dan rasa bagi
pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang berkembang
secara evolusi pula, hingga merasuk ke budaya dan tata cara hidup. Dan budaya itu sudah sangat
mengakar di kehidupan masyarakat. Baik itu yang berbaur dengan budaya-budaya sebelumnya,
maupun budaya yang tercipta karena munculnya nilai-nilai Islam. Dalam makalah ini, kami akan
mencoba mengupas sedikit tentang situasi politik dan sosial-budaya menjelang kedatangan Islam
di Nusantara. Semoga makalah ini bisa menjadi referensi bagi pembaca sekalian.

B. PEMBAHASAN
a) Situasi Politik Menjelang Islam di Nusantara
Masalah politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan,
pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik hubungan internasional dan tata
pemerintahan.2[2][2]
Sejak dahulu kawasan Timur yang meliputi kepulauan India Timur dan pesisir Selatan
China sudah memiliki hubungan dengan dunia Arab melalui perdagangan. (hamka : 655).
Penyebaran agama Islam sejak abad ke-13 makin lama makin cepat meluas di kepulauan
Nusantara ini terutama berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Para penyiar ini
adalah para anggota aliran tarekat Islam yang melarikan diri dari Baghdad yang pada tahun 1258
jatuh ketangan bangsa Mongol. Kontak budaya antara pusat-pusat penyebaran Islam dengan kotakota pelabuhan di Indonesia melalui rute Samudra telah membawa serta gagasan para ahli mistik
ke Sumatra Utara dan kemudian ke Semenanjung Malaka selama abad 14 hingga 16 gagasangagasan mistik tersebut telah sampai ke pulau Jawa.3[3][3]
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah sama. Demikian pula kerajaankerajaan yang didatangi mempunyai situasi politik dan sosial-budaya yang berlainan. Saat
kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya di abad ke 7 dan 8, selat Malaka sudah mulai
dilalui pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri Asia Tenggara dan Asia
Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada abad-abad tersebut diduga masyarakat Muslim
telah ada, baik dari Kungfu maupun didaerah Sumatra sendiri.4[4][4]
Sumatara Selatan
Palembang yang terletak di tepi sungai Musi merupakan kerajaan yang cukup penting. Pelabuhan
Palembang banyak dikunjungi oleh kapal-kapal niaga terutama dari Jawa, Madura, Bali dan
Sulawesi. Kapal-kapal ini membawa beras, garam, dan bahan pakaian : dan membawa pulang
lada dan timah dari Palembang. Dataran rendah di tanah Palembang merupakan tanah rata dan
berawa-rawa. Kecuali dibeberapa bagian, hampir seluruh daerah itu tidak cocok untuk pertanian.
Namun daerah pedalaman atau dataran tinggi bias menjadi penghasil lada. Hasil-hasil
perkebunan ini yang biasa dimonopoli oleh raja, dibeli oleh kaki tangan raja dengan harga
murah.5[5][5]
Keterlibatan orang-orang Islam dalam politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika
terjadi pemberontakan petani Cina kepada kaisar Hi Tsung (878-889 M). pada saat itu para petani
dibantu oleh orang-orang Islam dan akibatnya banyak orang Islam terbunuh dan ada juga yang
melarikan diri ke Kedah (wilayah Sriwijaya dan Palembang).6[6][6]
2
3
4
5
6

Apabila kerajaan sriwijaya pada abad ke 7 sampai abad ke 12 dibidang ekonomi dan
politik masih menunjukan kemajuan, maka sejak akhir abad ke-12 mulai menunjukan
kemundurannya yang prosesnya terbukti pada abad ke-13.
Tanda-tanda kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan mungkin dapat dihubungkan
dengan berita Chou Ku-Fei tahun 1178, dalam Ling-Wai-Tai-Ta yang menceritakan bahwa barang
persediaan barang-barang perdagangan di Sriwijaya mahal-mahal, karena negeri itu tidak lagi
menghasilakan hasil-hasil alamnya. Untuk mencegah kemunduran kerajaan sriwijaya maka
kerajaan tersebut membuat peraturan Cukai yang lebih berat lagi bagi pedagang-pedagang asing
yang singgah dipelabuhannya. Apabila para pedagang asing itu berusaha menghindari
pelabuhannya, maka dipelabuhan-pelabuhan lainnya mereka dipaksa berlabuh oleh penguasapenguasa setempat. Dengan demikian, maka pedagang asing tujuannya berlayar ke Cina
mengalami berbagai rintangan.7[7][7]
Persedian keperluan untuk pelayaran dan perdagangan yang lebih jauh sudah diambil
dipelabuhan-pelabuhan yang dikuasi kerajaan Sriwijaya seperti tersebut diatas bukan
mendatangkan hasil pendangan yang lebih menguntungkan tetapi lebih menrugikan karena kapalkapal dagang itu seringkali menyingkiri pelabuhan-pelabuhan, menembus blokirnya dan menuju
tempat-tempat yang mereka ketahui banyak menghasilkan barang dagangan.8[8][8]
Jadi, usaha yang dilakukan Sriwijaya dalam mengatasi kemundurannya dengan
memerlakukan kebijakan baru mengenai dengan menaikan cukai terhadap kapal-kapal dagang
tidak membuahkan hasil yang diinginkan kerajaan Sriwijaya bahkan kebijakan tersebut
memperpuruk keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya hal ini disebabkan karna para pedagang
sering kali mengindari pelabuhan Sriwijaya. Akibat kemunduran tersebut banyak daerah
kekuasaan Sriwijaya yang menyatakan melepaskan diri dari kerajaan tersebut hal ini semakin
melemahkan keadaan Sriwijaya.
Sejalan dengan kelemahan yang dialami kerajaan Sriwijaya mereka para pedagang
muslim lebih berkesempatan untuk mendapatkan barang dagang dan keuntungan politik. Mereka
menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul dan ada yang menyatakan dirinya sebagai
kerajaan yang bercorak Islam. Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam memperkirakan
pada abad ke-13 akibat dari proses Islamisasi daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang
muslim sejak abad ke-7,8, dan seterusnya. Daerah yang diperkirakan masyarakatnya sudah
banyak memeluk Islam ialah Perlak, seperti kita ketahui dari berita Marco Polo yang singgah di
daerah itu pada tahun 1292 M.9[9][9]
kemunduran dan keruntuhan kerajaan Sriwijaya itu selain akibat ekspansi politik
Singasari - Majapahit, juga karna ekspansi Cina pada masa Kubilai khan di abad ke 13 dan masa
pemerintahan dinasti Ming abad ke 14-15 ke Asia Tenggara. Pengaruh politik kerajaan Majapahit
7
8
9

ke Samudra Pasai dan Malaka setelah keruntuhan Sriwijaya itu mulai berkurang, terutama setelah
dipusat Majapahit sendiri timbul berbagai kekacauan politik akibat perebutan kekuasaan
dikalangan Raja. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan yang jauh dari pengawasan pusat kerajaan
Majapahit, seperti Samudra Pasai dan Malaka berhasil mencapai puncak kekuasaan hingga abad
ke-16 M.10[10][10]
Sumatra Utara
Samudera, sebelum kedatangan dan proses penyebaran Islam, hanyalah sebuah kampong
(gampong) yang dipimpin oleh seorang kepla suku. Kampong tersebut telah menjadi tempat
persinggahan para pedagang. Sejak abad ke 7 perkampungan ini sudah didatangi para pedagang
Muslim. Kota ini kemudian menjadi pusat kerajaan Islam Samudera Pasai. Jumlah penduduk di
kota tersebut, berdasar laporan Tome Tires ketika dating lebih kurang 20.000 orang.11[11][11]
Kemudian munculnya kerajaan Samudra Pasai dapat kita hubungan dengan kondisi
politik kerajaan Sriwijaya yang mulai menunjukan kelemahannya, sehingga kurang mampu
menguasai daerah kekuasannya. Situasi ini dipergunakan oleh orang-orang Muslim, tidak hanya
membentuk perkampungan perdaganan yang bersifat ekonomis, tetapi juga untuk membentuk
struktur pemerintahan yakni dengan mengangkat Marah silu, kepala suku Gampong Samudra,
menjadi sultan Malik Al-Shalih.12[12][12]
Demikian situasi politik kerajaan-kerajaan di daerah Sumatra ketika pengaruh Islam
datang kedaerah-daerah itu. Akibat hubungan lalu lintas melalui selat Malaka dengan Samudra
Pasai sebagai salah satu pusat persinggahannya maka sampailah Islam ke Senanjung Melayu
yaitu ke Trengganu dimana ditemukan batu yang bertulisan huruf Arab - Melayu atau Jawi 1303
M. bahasanya Melayu campur Sangsekerta dan Arab. Demikian pula Malaka pada abad 14 M
muncul sebagai pusat pelayaran dan perdagangan kaum muslim. Melalui selat Malaka dengan
pusat-pusatnya ialah Samudra Pasai dan Malaka dilanjutkan ke pesisir pulau lainnya yaitu ke
pesisir Utara Jawa Timur dengan adanya temuan sebuah nisan yang memuat nama Fatimah binti
Maimun bin Hibat Allah.13[13][13]
Jawa Timur
Kedatangan dan penyebaran Islam di pulau Jawa mempunyai aspek-aspek, ekonomi,
politik, dan sosial budaya. Sebagaimana dikatakan bahwa karna situasi dan kondisi politik di
Majapahit yang lemah karna perpecahan dan peperangan di kalangan keluarga Raja-raja dalam
perebutan kekuasaan. Maka kedatangan dan penyebaran islam makin dipercepat. Bupati-bupati
pesisir merasa bebas dari pengaruh kekuasaan raja-raja Majapahit, mereka makin lama makin
yakin akan kekuasaannya sendiri di bidang ekonomi didaerah-daerahnya. Daerah pesisir merasa
makin lama makin merdeka, justru oleh karena kelemahan pendukung-pendukung kerajaan yang
10
11
12
13

sedang mengalami keruntuhan. Perjuangan antara kota-kota perdagangan dipesisir dengan


daerah-daerah agraris diperdalaman sedang dimulai. Perkembangan ekonomi dan politik
mempunyai tujuan sendiri dan memalui bupati-bupati pesisir yang memluk agama Islam maka
agama menjadi kekuatan baru dalam proses perkembangan masyrakat.14[14][14]
Dalam hal ini, J.C. van Leur, berpendapat bahwa karena pertentangan antara keluarga
bangsawan dengan kekuasaan pusat Majapahit serta aspirasi-aspirasi keluarga bangsawan untuk
berkuasa sendiri atas Negara maka islamisasi menjadi alat politik.15[15][15]
Maluku
Kedatangan Islam ke Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan internasional
antara Malaka, Jawa dan Maluku.16[16][16] Dari persisir Utara Jawa para pedagang muslim itu
mendatangi tempat-tempat perdagangan Indonesia dibagian Timur yaitu pulau-pulau Maluku
yang terkenal dengan rempah-rempahnya. Maluku sejak abad ke 14 sudah didatangi orang
muslim raja Ternate yang ke-12 yaitu Molomateya (1350-1357 M) bersahabat dengan orangorang muslim arab yang memberikan petunjuk cara membuat kapal. Sedang pada masa
pemerintahan Marhum di Ternate, seorang yang bernama Maulana Husen datang kedaerah itu ia
mempertunjukan kemahirannya dalam hal menulis huruf arab dan membaca al-Qur;an sehingga
menarik perhatian penguasa rakyat Malauku.17[17][17]
Raja Ternate waktu itu sudah memeluk Islam yang bernama Sultan Bom Acorala dan
hanyalah raja Ternate yang justru memakai gelar Sultan sedang yang lainnya digelari raja.
Menurut Tome Pires (1512-1515) bahwa raja di Maluku terutama kali masuk Islam kira-kira 50
tahun yang lalu berita tersebut berjalan pula dengan berita Antonio Galvau yang berada disana
pada tahun 1540-1545 M, yang menegaskan bahwa Islam didaerah Maluku dimulai 80 atau 90
yang lalu.18[18][18]
Situasi politik didaerah Maluku ketika kedatangan Islam berbeda di Jawa, mereka tidak
menghadapi kekacauan politik yang disebakan perebutan kekuasaan dikalangan keluarga
penguasa-penguasanya.19[19][19]
Kalimantan Timur
Kedatangan orang-orang Muslim kedaerah Kalimatan Timur diketahui dari hikayat Kutai
tidaklah mengambarkan adanya perebutan kekuasaan dikalangan keluarga raja-raja Kutai.
Kerajaan Kutai sebelum kedatangan Islam ialah bercorak Hindu sedang dipedalaman terdapat
beberapa suku yang masih berkepercayaan kepada aninisme dan aminesme. Dikatakan bahwa
ketika Kutai masih diperintahkan raja mahkota datanglah dua orang mubalig yang bernama Tuan
14
15
16
17
18
19

di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. Setelah berlomba kesaktian dan raja kalah maka
mereka diterima dengan baik dan diperkenankan mengajarkan Islam.20[20][20]
Kalimantan Selatan
Berbeda dengan Kalimantan Timur, Islam masuk ke Kalimantan Selatan ketika terjadi
perpecahan dalam Kerajaan Nagara Dipa, Daha dan Kuripan. Sumber yang menjelaskan awal
penerimaan Islam didaerah ini adalah Kronik Banjar atau Hikayat Banjar. Saat Islam masuk
Nagara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, setelah ia meninggal digantikan oleh Pangeran
Tumenggung dan beberapa tahun kemudian terjadi perebutan kekuasaan atau tahta dengan Raden
Samudra, cucu Maharaj Sukarama yang lebih berhak atas tahta kerajaan. Raden Samudra
kemudian diangkat menjadi rajandi Kerajaan Banjar yang didirikan di daerah pantai dan
berperang dengan Nagara Daha dihulu sungai. Dalam peperangan ini Raja Samudra meminta
bantuan Demak. Setelah berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, Raden Samudra
kemudian memeluk Islam sebagai realisasi perjanjiannya dengan Demak. Raden Samudra
mengganti namanya menjadi Sultan Suryanullah.21[21][21]
Dengan demikian situasi politik di Kalimantan Selatan menjelang kedatangan atau
masuknya Islam juga menghadapi pula situasi perebutan kekuasaan atau Tahta diantara keturunan
Negara Dipa dan Negara Daha. Meskipun tadi dikatakan bahwa orang-orang muslim datang
membantu kerajaan Banjar itu ialah Daru Demak namun tidak musthil pula para pedangan
muslim dari Malaka yang bermaksud ke Maluku, diantaranya singgah di Banjar dan mungkin
juga bertempat tinggal.
Sulawesi Selatan
Kedatangan para pedagan muslim ke Sulawesi Selatan mungkin sudah ada sejak abad ke15-16 M dan mungkin berasal dari Malaka, Samutra dan Jawa. Tom Pires mernceritakan bahwa
di Sulawesi terdapat lebih kurang 50 buah kerajaan yang raja dan rakyatnya masih menganut
berhala. Secara resmi agama Islam dianut di Sulawesi selatan oleh raja Gua dan talo pada tanggal
22 september 1605 M. kemudian ke daerah Bone, Waje, Sopeng dan lainnya, islam disebarkan
dari pusat kerajaan Gowa.22[22][22]
Dari uraian tersebut diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa kedatangan Islam kebeberapa daerah di kepulauan Indonesia menghadapi situasi politik daerahnya yang berbeda-beda
yaitu ada yang sedang mengalami perebutan kekuasaan politik ada yang tidak. Ada daerah yang
stuktur birokrasinya bercorak kerajaan Indonesia Hindu Budha dan ada pula yang merupakan
suku-suku yang dipimpin kepala suku atau sesepuh.
Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Islam dan penyebarannya di
berbagai daerah Nusantara ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang
dilakukan oleh para mubalig-mubalig atau orang-orang Muslim. Kemudian jika didapati daerah
20
21
22

penyebaran Islam situasi politik di kerajaan-kerajaan itu mengalami kelemahan dan kekacauan di
sebabkan perebutan kekuasaan di kalangan para raja maka agama Islam dijadikan politik bagi
golongan bangsawan atau raja-raja yang menghendaki kekuasaan. Mereka berhubungan dengan
para pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karna penguasaan pelayaran dilautan dan
perdagangan. Dan apabila telah terwujud kerajaan Islam maka berulah mereka melancarkan
perang terhadap kerajaan yang bukan Islam. Hal itu bukan hanya karena tujuan agamanya tetapi
karena dorongan politik untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya misalnya Gowa
melakukan penyerangan terhadap kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, Demak, dan Banten
melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Hindu.
b) Situasi Sosial-Budaya Menjelang Islam di Nusantara
Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi
pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang. Semua itu
tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan
dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu dari pada Islam.
Perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok masyarakat, terutama dipusat-pusat kerajaan,
biasanya memiliki perkampungan sendiri. Karenanya, sering kita jumpai istilah-istilah seperti
pecinan (perkampungan cina), pakojan (perkampungan orang Arab, yang semula milik orang
India), pekauman (perkampungan anggota kerabat pejabat keagamaan keratin), kepatihan
( perkampungan kerabat para patih) dan sebagainya.23[23][23]
Seperti halnya kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih
maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah
pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir terkena
percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak langsung,
dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan
pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa. 24
[24][24]
Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup dari budaya luar. Sehingga mereka
lebih condong pada kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan dari luar.
Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman. Masuknya Islam masih
sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya adalah
kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak
tersentuh oleh pengaruh Hindu dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo,
Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu.
Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih berdasarkan tradisi nenek moyang,
yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.25[25][25]
23
24
25

Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara
bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan berbagai alasan.
26

[26][26]
Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang

mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara,
termasuk Nusantara. Akibat dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang
melakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka menjadi penerima
Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih
mudah. Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi masyarakat.
Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim
yang sudah mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan.
Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan Arab atau India. Misalnya di
Surakarta terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung Arab).
Setelah masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran Islam mulai
berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran Walisongo di
Jawa. Bukti bahwa ajaran Islam sudah dikerjakan masyarakat Nusantara. Di kota-kota besar dan
kecil yang sudah Islam, terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk berjamaah. Hal
itu merupakan bukti budaya yang telah berkembang di nusantara.Kesejahteraan dan kedamaian
tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam
Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau Jawa.
Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak,
Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin
bertambah kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian
mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan
kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai simbol kekuatan politik hasil akulturasi
budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan
masyarakat lokal sekaligus melanjutkan warisan kerajaan Majapahit yang dibangun di atas
tradisi budaya Hindu-Budha yang kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik
dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan
16.27[27][27]
Selanjutnya para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam
lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh
masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan
dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap
budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.28[28][28]
26
27
28

Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif
yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan
simpati bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut,
menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca
yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya. Pandangan
serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa al-Nihal yang menyebutkan ada
pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter
penduduknya.29[29][29]
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran
mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara
penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir Utara belum mampu
menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan.
Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep
pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan
Islam lebih murni.30[30][30]
Jadi, agama Islam sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pedoman masyarakat. Dalam hal inilah Islam sebagai
agama sekaligus menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di satu sisi berbagai budaya local yang
ada di masyarakat, tidak secara otomatis hilang dengan adanya Islam. Budaya-budaya local ini
sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian
melahirkan akulturasi budaya, antara budaya local dan Islam.
Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di
Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India.
Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu
memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di
dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa.31[31][31]
Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan
andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya:
bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya
benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada ruh
fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang
masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, wajah asing pun tampak sangat jelas di
kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan

29
30
31

arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar
dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.32[32][32]
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten
kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan strukturstruktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon,
Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai
pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota
tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan
orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris,
Perancis dan sebagainya.33[33][33]
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan
perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya
telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan
mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya
resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang
baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten
terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di
nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara
telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di
antara mereka berbeda keyakinan.34[34][34]
Contoh-contoh Sosial-Budaya yang mengandung Nilai-nilai Islam 35[35][35]
1. Tepung tawar, biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang ditepung
2.

tawari.
Sungkeman. Kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari

3.

Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu.
Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah
kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib
dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10

Muharam 61 Hijriah (681 M).


4. Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan. Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di
Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara
adat yang diselenggarakan antara lain:
1.

Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.

2.

Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.

3.

Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.


32
33
34
35

4.

Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.

5.

Sunatan yaitu acara khinatan.

5. Budaya Tumpeng. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk
kerucut. Itulah sebabnya disebut nasi tumpeng. Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut
secara awam sebagai tumpengan.

C. KESIMPULAN
kedatangan Islam ke-beberapa daerah di kepulauan Indonesia menghadapi situasi politik
daerahnya yang berbeda-beda yaitu ada yang sedang mengalami perebutan kekuasaan politik ada

yang tidak. kedatangan Islam dan penyebarannya di berbagai daerah Nusantara ialah dengan cara
damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh para mubalig atau Muslim.
Kemudian jika didapati daerah penyebaran Islam situasi politik di kerajaan-kerajaan itu
mengalami kelemahan dan kekacauan di sebabkan perebutan kekuasaan di kalangan para raja
maka agama Islam dijadikan politik bagi golongan bangsawan atau raja-raja yang menghendaki
kekuasaan. Mereka berhubungan dengan para pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat
karna penguasaan pelayaran dilautan dan perdagangan. Dan apabila telah terwujud kerajaan
Islam maka berulah mereka melancarkan perang terhadap kerajaan yang bukan Islam. Hal itu
bukan hanya karena tujuan agamanya tetapi karena dorongan politik untuk menguasai kerajaankerajaan disekitarnya misalnya Gowa melakukan penyerangan terhadap kerajaan lainnya di
Sulawesi Selatan, Demak, dan Banten melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di
Jawa Hindu.
Kebudayaan Nusantara sebelum Islam datang sangat dipengaruhi oleh agama-agama
sebelumnya, yaitu Hindu dan Budha. Kemudian Islam datang disebarkan oleh para pedagang dari
Arab, Persia, dan Gujarat yang selanjutnya disebarkan di Nusantara. Kemudian, para pendakwah
ini menggunakan banyak metode pendekatan untuk dakwah, salah satunya menggunakan
kesenian dan kebudayaa, yang lambat laun semakin diterima oleh masyarakat, bahkan hingga ke
para pemimpin. Akan tetapi budaya dan kebiasaan tang ditinggalkan oleh agama-agama
terdahulu, tidak sepenuhnya bisa terhapus. Maka dari itu, para pendakwah mencoba menyisipkan
nilai-nilai keislaman dalam upacara-upacara dan ritual-ritual serta kebiasaan-kebiasaan dengan
melunturkan poin-poin kesyririkan. Yang jutru karena budaya yang dimasuki nilai-nilai Islam,
dakwah Islam justru semakin mudah dan diterima. Akan tetapi para pandakwah juga sudah
ancang-ancang terhadap kemungkinan adanya penyimpangan ketauhidan.

D. DAFTAR PUSTAKA

Daliman, A, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Ombak,


2012.
Huda, Nur Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2007.
Notosusanto, Nugroho, Sejarah nasional Indonesia jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Islam Religi dan Falsafah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sunanto, Musyrifah Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XII
sampai XVIII M, Jakarta : Cinta Ilmu, 2000.
http://andinurdiansah.blogspot.com/2013/03/21/pertemuan-islam-dan-budaya-nusantara.html.

Anda mungkin juga menyukai