Anda di halaman 1dari 9

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

Penerapan Metode Active dan Passive Treatment Dalam Pengelolaan Air


Asam Tambang Site Lati
Hieronimus INDRA1, Yan LEPONG1, Firman GUNAWAN1, M. Sonny ABFERTIAWAN2
1
Department of Enviroment, PT Berau Coal
2
Mahasiswa Doktor Rekayasa Pertambangan, Institut Teknologi Bandung
Abstrak
Lati Mine Operation (LMO) merupakan salah satu area pertambangan yang dimiliki dan
dioperasikan oleh PT Berau coal yang berlokasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. LMO
memiliki potensi pembentukan air asam tambang (AAT) dengan ratio material pembentuk asam
(Potentially Acid Forming/PAF) dan material bukan pembentuk asam (Non Acid Forming/NAF)
sebesar 70:30 berdasarkan model geokimia batuan. Berbagai upaya baik pencegahan maupun
pengolahan terus dikembangkan untuk meminimalkan potensi pembentukan AAT. Berbagai upaya
pengolahan secara aktif maupun pasif dilakukan di LMO untuk memenuhi baku mutu lingkungan yang
berlaku sebelum dialirkan ke badan air penerima. Pengolahan pasif dikembangkan oleh PT BC untuk
mengolah dan mencegah AAT yang terbentuk di saluran disposal. Sistem wetland dan limestone
dengan menggunakan prinsip subsurface flow dan surface flow dibangun di daerah tangkapan LMO.
Sedangkan sistem pengolahan aktif dikembangkan dengan menggunakan metoda lime injection
mekanik dan lime injection konvensional. Pemantauan kualitas harian yang meliputi pH, debit, sulfat,
asiditas, alkalinitas, konsentrasi Fe dan Mn dilakukan untuk mengevaluasi performa masing-masing
sistem pengolahan. Makalah ini mendeskripsikan performa, kelebihan, dan kekurangan masingmasing sistem pengolahan baik passive maupun active treatment yang dapat dijadikan referensi
dalam pengembangan sistem yang lebih efektif dan efisien dalam pengelolaan AAT.
Kata kunci: air asam tambang, pengolahan aktif, pengolahan pasif
1 Pendahuluan
Air asam tambang (AAT) merupakan air dengan nilai pH yang rendah dan kelarutan logam yang
cenderung meningkat yang terbentuk karena adanya reaksi antara mineral sulfida, oksigen, dan air.
Reaksi oksidasi melepaskan ion H+ ke dalam air sehingga menurunkan nilai pH air. Dalam operasi
penambangan terbuka, acid mine avoiding sangat sulit dilakukan pada area penambangan yang
memiliki karakteristik dominan PAF sehingga pembentukan AAT sulit dihindari. Karakteristik AAT
yang asam dengan kelarutan logam yang tinggi berpotensi memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan. AAT merupakan isu utama yang sering muncul dari kegiatan operasi penambangan.
Lati Mine Operation (LMO) merupakan salah satu area penambangan yang dimiliki dan dioperasikan
oleh PT Berau Coal yang berlokasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. LMO telah beroperasi
sejak tahun 1995 dengan luas konsesi sebesar 24.191 Ha dan kapasitas produksi sebesar 15 juta ton
batubara dan lebih dari 120 juta bcm batuan penutup dipindahkan setiap tahunnya. Hasil model
geokimia di LMO menunjukan bahwa site ini memiliki potensi pembentukan AAT yang cukup besar
dibandingkan dengan site lain yang dioperasikan oleh PT Berau Coal. Rasio material pembentuk asam
(Pottentially Acid Forming/PAF) dan tidak berpotensi membentuk asam (Non Acid Forming/NAF)
yakni sebesar 70:30. Oleh karena itu, PT Berau Coal terus berupaya melakukan pengembangan
terhadap sistem pengelolaan AAT untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Upaya
tersebut juga sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan untuk memenuhi baku mutu lingkungan yang
tertuang dalam Perda Kaltim Nomor 2 Tahun 2011. Makalah ini mendeskripsikan upaya-upaya
pengelolaan AAT yang dikembangkan oleh PT Berau Coal dalam upayanya menjaga kualitas.
2 Potensi Pembentukan Air Asam Tambang di LMO
Secara umum pertambangan terbuka (open pit mining) terdirid ari area penambangan atau pit
penambangan dan area timbunan batuan penutup (disposal area). Area pit penambangan merupakan
IX-1

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

area yang tidak dapat terhindari dari potensi pembentukan AAT (Abfertiawan dan Gautama, 2010).
Aliran air yang berasal dari pit penambangan dialirkan ke sistem pengolahan sebelum dialirkan ke
badan air penerima. Sedangkan area disposal batuan penutup masih memiliki potensi terbentuknya
AAT walaupun upaya pencegahan dilakukan.
Aliran air yang berasal dari pit penambangan dan timbunan batuan penutup di LMO dialirkan ke
sistem pengolahanuntuk netralisasi dan penurunan konsentrasi logam terlarut sebelum masuk ke badan
air penerima. Terdapat 14 Water Monitoring Point (WMP) di LMO yang berfungsi untuk mengolah
AAT dengan metode netralisasi menggunakan kapur.
Beberapa WMP digunakan sebagai studi kasus dalam evaluasi performa sistem pengolahan baik pasif
maupun aktif. Pengukuran kualitas air yang akan diolah (inlet) menjadi faktor penting dalam
menentukan metode pengolahan yang akan dilakukan. Gambar 2 menunjukkan bahwa berdasarkan
hasil pengukuran pH selama periode April 2014 hampir semua air inlet WMP cenderung bersifat
asam. WMP 5, 7, 11, 16, dan 18 LT memiliki fluktuasi pH yang relatif kecil dengan rata-rata pH di
bawah 3,5. Sedangkan WMP 12, 13, 15, dan 17 LT memiliki rata-rata ph 3,5 sampai 4,5. WMP
Gabungan Central Processing Plant, 3, 9, dan 10 LT cenderung memiliki pH mendekati netral dan
memiliki sejumlah alkalinitas dengan pH rata-rata di atas 4,5. Dari distribusi data tersebut, dapat
dikatakan bahwa sebagian besar air limpasan yang masuk ke WMP LMO cenderung bersifat asam
sehingga diperlukan proses penetralan untuk menaikkan pH sampai memenuhi baku mutu.
pH Inlet WMP

pH

10

10

Gab. CPP

3 LT

5 LT

7 LT

9 LT

10 LT

11 LT

12 LT

13 LT

14 LT

15 LT

16 LT

17 LT

18 LT

WMP

Gambar 2. Distribusi pH inlet WMP site Lati periode April 2014


Sedangkan pada hasil pengukuran TSS, distribusi data pengukuran TSS pada WMP Site Lati
ditunjukkan pada Gambar 3. Rata-rata konsentrasi TSS di LMO berada di bawah 300 mg/l (baku mutu
TSS berdasarkan Perda Kaltim No. 2/2011). Nilai TSS yang terukur pada konsentrasi di atas 300 di
WMP 5 dan 9 LT merupakan hasil pengukuran yang dilakukan pada kondisi curah hujan yang tinggi.
Pada kondisi normal pengolahan TSS cukup dengan pengendapan secara fisik melalui kolam
pengendapan karena beban pengolahan relatif kecil.

IX-2

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

TSS (mg/l)

TSS Inlet WMP


1200

1200

1000

1000

800

800

600

600

400

400

200

200

Gab. CPP

3 LT

5 LT

7 LT

9 LT

10 LT

11 LT

12 LT

13 LT

14 LT

15 LT

16 LT

17 LT

18 LT

WMP

Gambar 3. Distribusi TSS inlet WMP site Lati periode April 2014
Kelarutan logam-logam tertentu cenderung mengalami peningkatan pada air yang memiliki pH rendah
atau dalam kondisi asam. Pada pengukuran konsentrasi Fe dan Mn di inlet WMP LMO (Gambar 4),
terdapat beberapa data yang terukur melebihi baku mutu baik Fe (baku mutu 7 mg/l) maupun Mn
(baku mutu 4 mg/l). Analisis konsentrasi Mn di WMP 5, 7, 12, 13, 15, 16, dan 17 LT menunjukkan
nilai rata-rata konsentrasi berada diatas baku mutu. Fluktuasi konsentrasi Mn yang tinggi tercatat di
WMP 12 dan 16 LT. Rata-rata konsentrasi Fe yang terukur di inlet seluruh WMP memiliki konsentrasi
di bawah baku mutu Fe. WMP 5, 11, dan 16 LT tercatat memiliki fluktuasi Fe yang lebih tinggi
dibandingkan dengan WMP lainnya.
Fe Inlet WMP
50

45

45

40

40

35

35

30

30

25

25

20

20

15

15

10

10

Konsentrasi Fe (mg/l)

Konsetrasi Mn (mg/l)

Mn Inlet WMP
50

12

12

10

10

Gab. 3 LT 5 LT 7 LT 9 LT 10
CPP
LT

11
LT

12
LT

WMP

13
LT

14
LT

15
LT

16
LT

17
LT

18
LT

Gab. 3 LT 5 LT 7 LT 9 LT 10 11 12 13
CPP
LT LT LT LT

14 15 16 17 18
LT LT LT LT LT

WMP

Gambar 4. Distribusi Mn dan Fe inlet WMP LMO


3 Pengembangan Sistem Pengolahan AAT
Sistem pengolahan aktif merupakan metode yang dilakukan melalui penambahan bahan kimia dalam
proses netralisasi AAT. Sistem ini membutuhkan bantuan manusia dan bantuan instrumen pendukung
lainnya dalam pengoperasian. Kelebihan sistem ini yakni memiliki efisiensi pengolahan yang
cenderung lebih tinggi dan lebih mudah dalam mengontrol pengoperasiannya. Namun, sistem ini
membutuhkan biaya konstruksi, operasi, dan perawatan yang relatif cukup besar. Sedangkan sistem
pengolahan pasif cenderung mengandalkan kemampuan fisik alami, geokimia, dan proses biologi dari
sistem tersebut tanpa membutuhkan bantuan manusia dalam pengoperasiannya. Sehingga metode
pengolahan pasif biasanya membutuhkan area yang relatif luas dan cenderung lebih cocok untuk
melengkapi sistem pengolahan aktif dan pasca tambang (Skousen et al.,2000).
Pengembangan metode pengolahan aktif maupun pasif didasarkan pada pertimbangan besar beban
asiditas dan debit aliran yang akan memperngaruhi efektifitas dan efisiensi sistem pengolahan.
IX-3

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

Gambar 5 menunjukkan perbandingan kapasitas pengolahan aktif dengan pengolahan pasif yang
dipengaruhi oleh debit dan asiditas air yang diolah.

Gambar 5. Kurva beban asiditas sistem pengolahan aktif dan pasif (Taylor et al., 2005)
Evaluasi terhadap kualitas aliran air dilakukan di 3 lokasi LMO yang dapat mewakili 3 karakteristik
air olahan berdasarkan tingkat asidi-alkalinitas. Limpasan air yang berasal dari daerah tangkapan
WMP 3 LT memiliki tingkat asiditas rendah dan masih memiliki alkalinitas. Sedangkan WMP 12 LT
memiliki tingkat asiditas sedang di bawah 100 mg/l CaCO3. WMP 7 LT merupakan area yang
memiliki tingkat asiditas yang cukup tinggi. Perhatikan Tabel 1. Perhitungan beban asiditas harian
dapat ditentukan dengan perkalian asiditas sampel air dengan variabel debit rata-rata inlet WMP
sehingga diperoleh beban asiditas dalam 1 hari.

WWP

pH

3 LT
7 LT
12 LT

4.83
3.23
4.34

Tabel 1. Beban asiditas harian sampel WMP LMO


Asiditas
Alkalinitas
Debit rata-rata
(mg/l CaCO3)
(mg/l CaCO3)
(m3/hari)
15.61
5.92
146.88
121.85
2643.84
41.00
0.52
4864.32

Beban asiditas harian


(Kg CaCO3/hari)
2.29
322.15
199.44

Hasil perhitungan beban asiditas harian, debit rata-rata, dan pH dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penentuan metode pengolahan yang akan digunakan. Metode pengolahan pasif lebih cocok digunakan
pada air yang memiliki beban asiditas 1-150 kg CaCO3/hari, debit dibawah 50 liter/detik, dan pH lebih
dari 2 (Taylor et al., 2005). Sedangkan pengolahan aktif memiliki kapasitas pengolahan yang hampir
tidak terbatas baik dari kualitas pH, beban asiditas, maupun debit air yang akan diolah.
Pengolahan pasif dapat diterapkan pada WMP 3 LT. Water Monitoring Point 12 LT memiliki tingkat
asiditas yang rendah namun memiliki debit inlet relatif tinggi sehingga secara teoritis pengolahan aktif
lebih efektif untuk digunakan di area ini. Sedangkan WMP 7 LT dengan beban asiditas harian yang
cukup tinggi, pengolahan aktif menjadi prioritas untuk digunakan. Namun, di area ini, sebagian aliran
air dialirkan ke sistem pasif yang terpisah dengan sistem aktif. Table 2 menunjukan sistem yang
digunakan di daera-daerah tangkapan tersebut.

WMp
WMP 3 LT
WMP 7 LT
WMP 12 LT

Tabel 2. Metode Pengelolaan AAT WMP Site Lati


Active Treatment
Passive Treatment
Conventional (secondary)
Open Limestone Channel (prmary)
Liming Box type 1 (primary)
Open Limestone Channel, Aerobic
Wetland, SAPS (secondary)
Lime Injection (primary)
IX-4

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

Water Monitroing Point (WMP) 3 LT


Sistem pengolahan air asam tambang di WMP 3 LT dibagi menjadi 2 sistem, pengolahan pasif (open
limestone channel) sebagai unit pengolahan utama dan pengolahan aktif (metode konvensional)
sebagai pengolahan tambahan/cadangan jika beban pengolahan meningkat dan melebihi kapasitas
sistem open limestone channel. Daerah tangkapan WMP 3 LT sebagian besar terdiri dari area
revegetasi. Sebagian dari area revegetasi ini masih memiliki potensi pembentukan AAT karena adanya
erosi yang menyingkap material PAF. Pembangunan limestonne channel diharapkan dapat
meningkatkan air yang berasal dari area tersebut sehingga dapat memenuhi baku mutu yang berlaku.
Limestone channel dibangun dengan panjang kurang lebih 100 meter dengan lebar dan kedalaman
yakni 3 x 1.5 meter. Air dari sistem limestone channel akan mengalir ke WMP 3. Pengolahan aktif
pada WMP 3 LT hanya akan dilakukan apabila kualitas pH di dalam kolam pengendapan mengalami
penurunan karena kondisi tertentu yang mengakibatkan pengolahan pasif tidak efektif.
Water Monitoring Point 7 LT
Terdapat dua metode pengolahan yang digunakan di Water Monitoring 7 yang menangkan aliran dari
disposal area yakni pengolahan aktif yakni liming box dan pengolahan pasif yani OLC, aerobic
wetland, dan SAPS. Prinsip pengolahan air asam tambang dengan menggunakan liming box adalah
dengan memanfaatkan pengadukan secara hidrolis untuk memperoleh larutan kapur yang akan
memberikan reaksi penetralan ketika bercampur dengan air asam. Perhatikan Gambar 6. Sistem
pembubuhan kapur dilakukan melalui wadah (box) yang berisi kapur dengan valve yang akan otomatis
terbuka akibat putaran kincir oleh kecepatan aliran air dibawahnya.

Gambar 5. Pembuatan Open Limestone Channel WMP 3 LT

Gambar 6. Unit Pengolahan Liming Box WMP 7 LT


IX-5

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

Gambar 7. Unit Pengolahan Pasif Catchment Area WMP 7 LT


Water Monitoring Point 12 LT
Metode pengolahan aktif di WMP 12 LT dilakukan dengan menggunakan unit liming injection.
Dengan menggunakan sumber listrik (tenaga genset), proses pengadukan dilakukan dengan cara
mekanis (slow mixing) untuk memperoleh larutan kapur yang homogen. Sementara proses
pencampuran larutan kapur dengan air asam tambang dilakukan secara gravitasi dan memanfaatkan
kondisi aliran turbulen untuk proses pencampuran kapur dan AAT. Lihat gambar 8.

Gambar 8. Unit Pengolahan Liming Injection


4 Diskusi
Pemantauan performa setiap sistem dilakukan secara periodik untuk dilakukan evaluasi. Sehingga
diharapkan hasil evaluasi dapat digunakan dalam melakukan perbaikan sistem yang lebih baik, efektif
dan efisien.
Debit rata-rata yang terukur pada WMP 3 LT sangat kecil yaitu sebesar 1,7 liter/detik. Metode
pengolahan air asam tambang dengan open limestone channel (OLC) dapat berfungsi dengan baik
pada debit di bawah 20 liter/detik (Taylor et al., 2005).

IX-6

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

Performa OLC WMP 3 LT


10

16

14

12

pH

10
curah hujan

6
8

5
6

pH inlet
pH outlet
baku mutu

baku mutu

2
1

04-Aug-14

09-Aug-14

14-Aug-14

19-Aug-14

24-Aug-14

29-Aug-14

03-Sep-14

08-Sep-14

Waktu Pengambilan Sampel

Gambar 9. Kualitas Inlet-Outlet OLC WMP 3 LT


Hasil pemantauan kualitas air yang diambil pada inlet dan outlet saluran OLC di WMP 3 LT (lihat
Gambar 9), secara umum pH mengalami peningkatan dari 3-3,5 sampai 4-7. Fluktuasi kualitas di
outlet sistem ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan air limpasan yang mengalir masuk ke dalam
sistem. Tingginya curah hujan menyebabkan penurunan performa OLC. Namun jika dibandingkan
dengan curah hujan, terlihat bahwa semakin adanya curah hujan yang tinggi mengakibatkan efisiensi
pengolahan OLC menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan debit inlet sehingga beban
pengolahan OLC ikut meningkat dan melebihi kapasitas pengolahannya. Seiring dengan kembali
normalnya debit, efisiensi pengolahan OLC kembali meningkat seperti ditunjukkan pada periode akhir
pengambilan sampel.
Pengolahan pasif yang diterapkan pada catchment area WMP 7 LT terbagi kedalam 2 unit pengolahan,
yaitu open limestone channel dan kolam SAPS-Wetland. Hasil pemantauan kualitas air (lihat gambar
10) menunjukan efisiensi pengolahan passive treatment di daerah tangkapan WMP 7 LT sangat baik.
Pada unit OLC terjadi penurunan performa akibat curah hujan yang tinggi, sedangkan pada kolam
SAPS-Wetland kualitas outlet lebih stabil jika dibandingkan dengan OLC. Hal tersebut dapat terjadi
karena pengaturan debit sistem SAPS-Wetland dilakukan dengan saluran pipa kecil sehingga lebih
efektif dalam membatasi debit yang masuk pada kolam. Sementara pada OLC, karena bersinggungan
langsung dengan area revegetasi dan jalan membuat pengaturan debit lebih sulit dilakukan.
Performa Passive Treatment WMP 7
10

16

14

12

pH

10

6
8
5
6

4
3

4-Aug-14

curah hujan

9-Aug-14

14-Aug-14

inlet SAPS-Wetland

19-Aug-14

outlet SAPS-Wetland

24-Aug-14

baku mutu

29-Aug-14

baku mutu

3-Sep-14

inlet OLC

8-Sep-14

outlet OLC

Waktu Pengambilan Sampel

Gambar 10. Kualitas Inlet-Outlet Passive Treatment WMP 7 LT

IX-7

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

Pada pengolahan aktif dengan menggunakan liming box di WMP 7 LT, efisiensi penetralan dapat
terjaga dengan adanya penambahan kapur secara kontinu yang disesuaikan dengan volume air yang
masuk ke WMP (lihat gambar 11). Dari hasil perhitungan, rata-rata kebutuhan kapur per volume air
yang diolah dengan menggunakan liming box adalah 0.81 kg/m3.
10

16

14

8
12

pH

7
6

10

pH outlet

3
4

2
2

1
0
8/6/2014

curah
hujan
pH inlet

Baku
Mutu
Baku
Mutu

8/13/2014

8/20/2014

8/27/2014

9/3/2014

Waktu Pengambilan Sampel

Gambar 11. Kualitas Inlet-Outlet Active Treatment WMP 7 LT


Penerapan metode pengolahan aktif secara mekanis dengan menggunakan unit liming injection
memberikan kemudahan dalam pengoperasian. Proses pengadukan larutan kapur dapat berjalan
dengan optimal karena dilakukan secara mekanis dengan menggunakan slow mixer. Hal ini sangat
penting karena kapur memiliki tingkat kelarutan yang rendah yang dapat menyebabkan reaksi
penetralan tidak efektif pada aliran tidak cukup turbulen. Pompa listrik yang dipasang pada instalasi
tersebut memudahkan kontrol debit larutan yang akan diinjeksikan pada aliran air.
Performa Liming Injection WMP 12 LT
10

16

14

12

pH

7
6

10

curah hujan

pH inlet WMP
12 LT
pH outlet WMP
12 LT
Baku Mutu

3
4

1
0
8/6/2014

0
8/13/2014

8/20/2014

8/27/2014

9/3/2014

Waktu Pengambilan Sampel

Gambar 12. Kualitas Inlet-Outlet Active Treatment WMP 12 LT


Hasil pemantauan (lihat Gambar 12), menunjukkan bahwa pH hasil pengolahan dengan liming
injection lebih stabil jika dibandingkan dengan pH liming box di WMP 7 LT yang memiliki fluktuasi
tinggi selama periode pengukuran. Hal ini disebabkan karena reaksi penetralan dengan liming
injection lebih efektif dibandingkan dengan proses yang terjadi pada liming box. Reaksi penetralan
yang terjadi pada liming injection cenderung lebih efektif karena pencampuran kapur dan air asam
tambang sama-sama terjadi pada fasa cair. Sementara pada sistem liming box, reaksi penetralan terjadi
antara kapur yang masih dalam fasa padat sehingga kemungkinan terjadi armouring dari sisa kapur
yang masih belum habis bereaksi lebih tinggi. Dari hasil perhitungan, rata-rata kebutuhan kapur per
volume air yang diolah dengan menggunakan liming box adalah 0.14 kg/m3. Perbedaan rata-rata
kebutuhan kapur per volume air yang diolah antara liming injection dengan liming box dapat
IX-8

Seminar Air Asam Tambang ke-5 dan Pascatambang di Indonesia

Bandung, 28 Oktober 2014

disebabkan karena perbedaan tingkat asiditas air yang diolah dan efisiensi pengolahan masing-masing
unit pengolah.
5 Penutup
LMO memiliki potensi pembentukan AAT yang cukup besar. Upaya pencegahan dan pengolahan
dilakukan untuk meminimalkan potensi dampak negatif terhadap lingkungan. Sistem pengolahan baik
secara aktif maupun pasif dikembangkan untuk mengevaluasi sistem yang efektif dan efisien. Sistem
pengolahan secara pasif dikembangkan dengan menggunakan metoda aerobic wetland, successive
alkalinity producing system (SAPS), dan open limestone channel (OLC).Debit dan asiditas pada inlet
merupakan faktor utama yang mempengaruhi performa sistem pengolahan pasif. Sistem pengolahan
pasif memberikan kemudahan dalam proses penanganan air asam tambang karena tidak diperlukan
suplai material, energi, dan tenaga manusia secara kontinu namun memiliki keterbatasan dalam hal
kapasitas pengolahan.
Netralisasi AAT dilakukan dengan menggunakan kapur padam yang berbentuk solid. Terdapat tiga
metode pencampuran kapur dan AAT yakni konvensional, semi mekanis dengan pengadukan secara
manual, dan mekanik yang menggunakan pengadukan mekanis dan pemompaan. Metode netralisasi
secara makanik memiliki efektifitas yang cukup tinggi namun sistem ini membutuhkan energi listrik
yang besar.
Referensi
Gultom, M.T. (2008). Kajian Pengaruh Mineral Dan Perubahannya Dalam Pembentukan Air Asam
Tambang.Tugas Akhir. Program Studi Teknik Pertambangan ITB.
Abfertiawan, M.S.Acid Mine Drainage Management Using Catchment Area Approach, Thesis, June
2010, Bandung.
Skousen, J.G.,Sextone, A. And Ziemkiewicz, P.F. 2000. Acid Mine Drainage Control And
Treatment.Chapter 6. In: Reclamation of drastically disturbed lansds. American Society of
Argonomy, Crop Science Society of America, Soil Science Society of America, 677 S. Segoe Rd.,
Madison, WI 53711, USA, Agronomy Monograph no. 41.
Taylor, Jeff. Pape, Sophie. Murphy, Nigel. 2005. A Summary of Passive and Active Treatment
Technologies for Acid and Metalliferous Drainage (AMD). In: Fifth Australian Workshop on Acid
Drainage. Fremantle. Western Australia.

IX-9

Anda mungkin juga menyukai