area yang tidak dapat terhindari dari potensi pembentukan AAT (Abfertiawan dan Gautama, 2010).
Aliran air yang berasal dari pit penambangan dialirkan ke sistem pengolahan sebelum dialirkan ke
badan air penerima. Sedangkan area disposal batuan penutup masih memiliki potensi terbentuknya
AAT walaupun upaya pencegahan dilakukan.
Aliran air yang berasal dari pit penambangan dan timbunan batuan penutup di LMO dialirkan ke
sistem pengolahanuntuk netralisasi dan penurunan konsentrasi logam terlarut sebelum masuk ke badan
air penerima. Terdapat 14 Water Monitoring Point (WMP) di LMO yang berfungsi untuk mengolah
AAT dengan metode netralisasi menggunakan kapur.
Beberapa WMP digunakan sebagai studi kasus dalam evaluasi performa sistem pengolahan baik pasif
maupun aktif. Pengukuran kualitas air yang akan diolah (inlet) menjadi faktor penting dalam
menentukan metode pengolahan yang akan dilakukan. Gambar 2 menunjukkan bahwa berdasarkan
hasil pengukuran pH selama periode April 2014 hampir semua air inlet WMP cenderung bersifat
asam. WMP 5, 7, 11, 16, dan 18 LT memiliki fluktuasi pH yang relatif kecil dengan rata-rata pH di
bawah 3,5. Sedangkan WMP 12, 13, 15, dan 17 LT memiliki rata-rata ph 3,5 sampai 4,5. WMP
Gabungan Central Processing Plant, 3, 9, dan 10 LT cenderung memiliki pH mendekati netral dan
memiliki sejumlah alkalinitas dengan pH rata-rata di atas 4,5. Dari distribusi data tersebut, dapat
dikatakan bahwa sebagian besar air limpasan yang masuk ke WMP LMO cenderung bersifat asam
sehingga diperlukan proses penetralan untuk menaikkan pH sampai memenuhi baku mutu.
pH Inlet WMP
pH
10
10
Gab. CPP
3 LT
5 LT
7 LT
9 LT
10 LT
11 LT
12 LT
13 LT
14 LT
15 LT
16 LT
17 LT
18 LT
WMP
IX-2
TSS (mg/l)
1200
1000
1000
800
800
600
600
400
400
200
200
Gab. CPP
3 LT
5 LT
7 LT
9 LT
10 LT
11 LT
12 LT
13 LT
14 LT
15 LT
16 LT
17 LT
18 LT
WMP
Gambar 3. Distribusi TSS inlet WMP site Lati periode April 2014
Kelarutan logam-logam tertentu cenderung mengalami peningkatan pada air yang memiliki pH rendah
atau dalam kondisi asam. Pada pengukuran konsentrasi Fe dan Mn di inlet WMP LMO (Gambar 4),
terdapat beberapa data yang terukur melebihi baku mutu baik Fe (baku mutu 7 mg/l) maupun Mn
(baku mutu 4 mg/l). Analisis konsentrasi Mn di WMP 5, 7, 12, 13, 15, 16, dan 17 LT menunjukkan
nilai rata-rata konsentrasi berada diatas baku mutu. Fluktuasi konsentrasi Mn yang tinggi tercatat di
WMP 12 dan 16 LT. Rata-rata konsentrasi Fe yang terukur di inlet seluruh WMP memiliki konsentrasi
di bawah baku mutu Fe. WMP 5, 11, dan 16 LT tercatat memiliki fluktuasi Fe yang lebih tinggi
dibandingkan dengan WMP lainnya.
Fe Inlet WMP
50
45
45
40
40
35
35
30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
Konsentrasi Fe (mg/l)
Konsetrasi Mn (mg/l)
Mn Inlet WMP
50
12
12
10
10
Gab. 3 LT 5 LT 7 LT 9 LT 10
CPP
LT
11
LT
12
LT
WMP
13
LT
14
LT
15
LT
16
LT
17
LT
18
LT
Gab. 3 LT 5 LT 7 LT 9 LT 10 11 12 13
CPP
LT LT LT LT
14 15 16 17 18
LT LT LT LT LT
WMP
Gambar 5 menunjukkan perbandingan kapasitas pengolahan aktif dengan pengolahan pasif yang
dipengaruhi oleh debit dan asiditas air yang diolah.
Gambar 5. Kurva beban asiditas sistem pengolahan aktif dan pasif (Taylor et al., 2005)
Evaluasi terhadap kualitas aliran air dilakukan di 3 lokasi LMO yang dapat mewakili 3 karakteristik
air olahan berdasarkan tingkat asidi-alkalinitas. Limpasan air yang berasal dari daerah tangkapan
WMP 3 LT memiliki tingkat asiditas rendah dan masih memiliki alkalinitas. Sedangkan WMP 12 LT
memiliki tingkat asiditas sedang di bawah 100 mg/l CaCO3. WMP 7 LT merupakan area yang
memiliki tingkat asiditas yang cukup tinggi. Perhatikan Tabel 1. Perhitungan beban asiditas harian
dapat ditentukan dengan perkalian asiditas sampel air dengan variabel debit rata-rata inlet WMP
sehingga diperoleh beban asiditas dalam 1 hari.
WWP
pH
3 LT
7 LT
12 LT
4.83
3.23
4.34
Hasil perhitungan beban asiditas harian, debit rata-rata, dan pH dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penentuan metode pengolahan yang akan digunakan. Metode pengolahan pasif lebih cocok digunakan
pada air yang memiliki beban asiditas 1-150 kg CaCO3/hari, debit dibawah 50 liter/detik, dan pH lebih
dari 2 (Taylor et al., 2005). Sedangkan pengolahan aktif memiliki kapasitas pengolahan yang hampir
tidak terbatas baik dari kualitas pH, beban asiditas, maupun debit air yang akan diolah.
Pengolahan pasif dapat diterapkan pada WMP 3 LT. Water Monitoring Point 12 LT memiliki tingkat
asiditas yang rendah namun memiliki debit inlet relatif tinggi sehingga secara teoritis pengolahan aktif
lebih efektif untuk digunakan di area ini. Sedangkan WMP 7 LT dengan beban asiditas harian yang
cukup tinggi, pengolahan aktif menjadi prioritas untuk digunakan. Namun, di area ini, sebagian aliran
air dialirkan ke sistem pasif yang terpisah dengan sistem aktif. Table 2 menunjukan sistem yang
digunakan di daera-daerah tangkapan tersebut.
WMp
WMP 3 LT
WMP 7 LT
WMP 12 LT
IX-6
16
14
12
pH
10
curah hujan
6
8
5
6
pH inlet
pH outlet
baku mutu
baku mutu
2
1
04-Aug-14
09-Aug-14
14-Aug-14
19-Aug-14
24-Aug-14
29-Aug-14
03-Sep-14
08-Sep-14
16
14
12
pH
10
6
8
5
6
4
3
4-Aug-14
curah hujan
9-Aug-14
14-Aug-14
inlet SAPS-Wetland
19-Aug-14
outlet SAPS-Wetland
24-Aug-14
baku mutu
29-Aug-14
baku mutu
3-Sep-14
inlet OLC
8-Sep-14
outlet OLC
IX-7
Pada pengolahan aktif dengan menggunakan liming box di WMP 7 LT, efisiensi penetralan dapat
terjaga dengan adanya penambahan kapur secara kontinu yang disesuaikan dengan volume air yang
masuk ke WMP (lihat gambar 11). Dari hasil perhitungan, rata-rata kebutuhan kapur per volume air
yang diolah dengan menggunakan liming box adalah 0.81 kg/m3.
10
16
14
8
12
pH
7
6
10
pH outlet
3
4
2
2
1
0
8/6/2014
curah
hujan
pH inlet
Baku
Mutu
Baku
Mutu
8/13/2014
8/20/2014
8/27/2014
9/3/2014
16
14
12
pH
7
6
10
curah hujan
pH inlet WMP
12 LT
pH outlet WMP
12 LT
Baku Mutu
3
4
1
0
8/6/2014
0
8/13/2014
8/20/2014
8/27/2014
9/3/2014
disebabkan karena perbedaan tingkat asiditas air yang diolah dan efisiensi pengolahan masing-masing
unit pengolah.
5 Penutup
LMO memiliki potensi pembentukan AAT yang cukup besar. Upaya pencegahan dan pengolahan
dilakukan untuk meminimalkan potensi dampak negatif terhadap lingkungan. Sistem pengolahan baik
secara aktif maupun pasif dikembangkan untuk mengevaluasi sistem yang efektif dan efisien. Sistem
pengolahan secara pasif dikembangkan dengan menggunakan metoda aerobic wetland, successive
alkalinity producing system (SAPS), dan open limestone channel (OLC).Debit dan asiditas pada inlet
merupakan faktor utama yang mempengaruhi performa sistem pengolahan pasif. Sistem pengolahan
pasif memberikan kemudahan dalam proses penanganan air asam tambang karena tidak diperlukan
suplai material, energi, dan tenaga manusia secara kontinu namun memiliki keterbatasan dalam hal
kapasitas pengolahan.
Netralisasi AAT dilakukan dengan menggunakan kapur padam yang berbentuk solid. Terdapat tiga
metode pencampuran kapur dan AAT yakni konvensional, semi mekanis dengan pengadukan secara
manual, dan mekanik yang menggunakan pengadukan mekanis dan pemompaan. Metode netralisasi
secara makanik memiliki efektifitas yang cukup tinggi namun sistem ini membutuhkan energi listrik
yang besar.
Referensi
Gultom, M.T. (2008). Kajian Pengaruh Mineral Dan Perubahannya Dalam Pembentukan Air Asam
Tambang.Tugas Akhir. Program Studi Teknik Pertambangan ITB.
Abfertiawan, M.S.Acid Mine Drainage Management Using Catchment Area Approach, Thesis, June
2010, Bandung.
Skousen, J.G.,Sextone, A. And Ziemkiewicz, P.F. 2000. Acid Mine Drainage Control And
Treatment.Chapter 6. In: Reclamation of drastically disturbed lansds. American Society of
Argonomy, Crop Science Society of America, Soil Science Society of America, 677 S. Segoe Rd.,
Madison, WI 53711, USA, Agronomy Monograph no. 41.
Taylor, Jeff. Pape, Sophie. Murphy, Nigel. 2005. A Summary of Passive and Active Treatment
Technologies for Acid and Metalliferous Drainage (AMD). In: Fifth Australian Workshop on Acid
Drainage. Fremantle. Western Australia.
IX-9