Anda di halaman 1dari 4

A.

Perkembangan Empati
Menurut Rogers dalam Konseling dan Psikoterapi (Gunarsa Singgih, 1992, hal. 72), empati
bukan hanya sesuatu yang bersifat kognitif namun meliputi emosi dan pengalaman. Juga
diartikan sebagai usaha menglami dunia klien sebagaimana klien mengalaminya. Karena itu,
seorang kenselor harus berusaha memahami pengalaman klien dari sudut klien itu sendiri. Dalam
makalahnya yang berjudul The Necessary and Sufficient Conditions of Therapeutic Personality
Change (Kondisi Yang Harus Terjadi Dan Cukup Bagi Perubahan Pada Klien), Rogers
mengemukakan tentang emphatic understanding, yakni kemampuan untuk memasuki dunia
pribadi orang. Emphatic understanding merupakan salah satu dari tiga atribut yang harus dimiliki
oleh seorang terapis dalam usaha mengubah perilaku klien. Atribut yang lain yaitu kewajaran
atau keadaan sebenarnya (realness) dan menerima (acceptance) atau memperhatikan (care).
1. Tanpa empati, tidak mungkin ada pengertian. Memahami secara empati merupakan
kemampuan seseorang untuk memahami cara pandang dan perasaan orang lain.
Memahami secara empati bukanlah memahami orang lain secara objektif, tetapi
sebaliknya dia berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan cara orang
lain tersebut berpikir dan merasakan atau melihat dirinya sendiri. Memahami klien
berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan klien sendiri oleh Rogers disebut internal
frame of reference, artinya menggunakan kerangka pemikiran internal.
2. Menurut Rogers empati konselor sebagai salah satu factor kunci yang membantu klien
untuk memecahkan masalah personalnya. Ketika kita berempati kepada orang lain, kita
meletakkan diri kita in their shoes, melihat dunia dari mata mereka, membayangkan
bagaimana bila menjadi mereka, dan berusaha merasakan apa yang mereka rasakan.
3. Faktor sosial dan budaya (seperti gender, etnis, perbedaan kultur) mempunyai pengaruh
dalam pengekspresian emosi. Faktor ini mempengaruhi cara bagaimana konselor
merespon secara emosional.
4. Jika klien merasa dimengerti, maka mereka akan lebih mudah membuka diri untuk
mengungkapkan pengalaman mereka dan berbagi pengalaman tersebut dengan orang lain.
Klien yang membagi pengalamannya secara mendalam memungkinkan untuk menilai
kapan dan di mana mereka membutuhkan dukungan, dan potensi kesulitan yang
membutuhkan fokus untuk rencana perubahan.
5. Saat klien melihat empati pada diri konselor, mereka akan lebih nyaman untuk dan tidak
melakukan defend seperti penyangkalan, penarikan diri, dll. Artinya empati konselor
mampu memfasilitasi perubahan pada klien. Sebaliknya akan lebih mau membuka diri

terhadap dunia luar dengan cara yang lebih konstruktif. Karena itulah istilah empati
ditambah menjadi perkataan emphatic understanding.
Menurut Taufik (2012), empati bukanlah sekedar sifat alami yang dianugerahkan Tuhan yang
keberadaannya secara otomatis dimiliki oleh individu, melainkan potensi-potensi yang harus
terus dipupuk dan dikembangkan dalam berbagai setting kehidupan, termasuk pembelajaran
yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil.
Hoffman (Taufik, 2012) empati memiliki basis genetic atau empati diturunkan oleh orang tua
kepada anak-anaknya. Namun Hoffman tidak mempercayai bahwa empati muncul pada masa
anak-anak atau setelah anak melampaui beberapa tugas perkembangannya, tahapan
perkembangan itu memang ada namun tidak menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk
bersikap empati. Menurutnya, empati individu sudah mulai terbentuk saat ia masih bayi, yaitu
tangisan saat dilahirkan.
Untuk memperkuat penelitian sebelumnya, Batson dkk (1997) dalam jurnalnya yang berjudul
Information Function Of Empathic Emotion: Learning That We Value the Other's Welfare
melakukan penelitian untuk mengetahui efek empati terhadap sikap yang menghasilkan tiga
tahapan model yaitu:
a.

Melakukan perspektif terhadap seseorang yang dalam kondisi membutuhkan (misalnya dengan
membayangkan apa yang sedang indivdu rasakan) akan meningkatkan feeling empati terhadap

individu itu
b. Feeling empati ini akan membawa kepada persepsi untuk meningkatkan kondisi individu
c.
Asumsi bahwa individu sebagai anggota kelompok membutuhkan pertolongan, maka penilaian
positif digeneralisasikan kepada kelompok secara keseluruhan, sehingga seseorang yang
berempati kepada seorang anggota kelompok jiga akan berempati pula kepada kelompok secara
keseluruhan.
Dewasa ini, empati sering dijadikan faktor penting dalam pekerjaan sosial dan konseling.
Penelitian di bidang ini menunjukkan bahwa empati adalah alat penting untuk intervensi
terapeutik yang positif dan perlakuan dalam pekerjaan sosial. Studi menunjukkan bahwa klien
yang mengalami empati melalui pengobatan menghambat perilaku anti-sosial dan agresi. Dalam
hal ini, kurangnya empati berkorelasi dengan bullying, perilaku agresif, kejahatan kekerasan dan
menyinggung pada penyimpangan seksual (Questia 2009).
Menurut Ioannidou dan Konstantikaki (2008) empati juga tepat digunakan sebagai alat
komunikasi dan memfasilitasi wawancara klinis konseling, meningkatkan efisiensi pengumpulan

informasi, dan dalam menghormati klien. Emotional Intelligence (EQ), sering digunakan untuk
menggambarkan sebuah konsep yang melibatkan kapasitas, keterampilan dalam mengelola
emosi baik dalam diri maupun orang lain, serta kemampuan dalam ikut merasakan perasaan
orang lain, sehingga disini berkaitan erat dengan sikap empati. Walaupun isu ini masih menjadi
perdebatan dan dapat terus berubah.

a. Tahap perkembangan Empati


Selain itu, terdapat empat tahap perkembangan empati menurut Hoffman (2000),
diantara lain adalah:
1.

Global Empathy
Empati ini biasanya akan dirasakan oleh semua orang ketika diletakkan dalam
sebuah situasi yang sama ketika ia baru saja dilahirkan. Empati ini juga tidak dapat
dibedakan antara perspektif diri dan orang lain. Kondisi empati ini biasanya terjadi pada
bayi yang baru saja lahir. Contohnya ketika dalam suatu situasi di ruang bersalin di rumah
sakit, dan terdapat bayi-bayi yang memiliki perasaan yang sama.

2.

Egosentric Empathy
Empati ini terdapat pada anak yang berusia 6 bulan hingga 1 tahun. Anak biasanya
belum merasakan adanya ketakutan terhadap orang lain dan masih memiliki perspektif
yang sama dengan orang lain. Anak masih belum mampu membedakan emosi diri dan
emosi orang lain tetapi tidak lagi dipengaruhi oleh emosi orang lain. Anak ketika melihat
emosi dari orang lain maka akan mengambilnya sebagai emosi miliknya, kemudian
berkelakuan seolah-olah dirinya sendiri yang mengalami situasi tersebut. Contohnya :
apabila seorang anak A menangis, maka anak lain akan berlari ke arah ibunya dan
memegang tangan ibunya.

3.

Empathy for anothers feelings


Anak ketika berusia 2 atau 3 tahun sudah mulai mengambil peran yang telah ada,
seperti merespon isyarat dari orang lain dengan berbagai respon emosi. Anak akan mulai

mengenal adanya perbedaan antara setiap individu termasuk emosi yang ia miliki dengan
emosi yang orang lain miliki.
Seorang anak biasanya akan mencoba untuk membantu temannya, walaupun
demikian bantuan yang diberikan seolah-olah dapat mengurangi kesedihan yang dialami
oleh dirinya sendiri. Contoh: ketika seorangnya teman yang bersedih, diajak untuk
bermain permainan yang dia sukai.
4.

Empathy for anothers life condition


Setelah melewati tahap anak-anak, seorang anak akan memasuki usia
preadolescense. Biasanya anak akan memiliki kesadaran tentang kehidupannya yang
terjadi dalam sehari-hari. Mula-mula anak akan memahami bahwa adanya perbedaan
antara dirinya dengan orang lain ketika dihadapkan oleh situasi yang berbeda akan
menghasilakn emosi dan respon yang berbeda.
Selain itu, kesadaran akan hal tersebut juga menumbuhkan bahwa setiap respon
dalam situasi yang berbeda akan memberikan emosi yang berbeda pula. Kemudian
menilai perasaan orang lain dengan menganalisis situasi yang terlibat atas seseorang
secara konteks maupun latar belakangnya.

5.

Broader empathy
Pada tahap ini, seseorang telah mampu mengambil perspektif dalam waktu jangka
panjang. Mampu memahami antar perspektif dirinya dengan perspektif orang lain. Bukan
hanay dalam hal mengenal pasti perasaan dalam yang dialami serta situasi yang
mengakibatkannya tetapi juga melihat kepada aspek lainnya. Seperti aspek sejarah masa
lalu (past) dan kesannya terhadap masa depan (future). Contohnya dalam hal masalah
keluarga miskin, peperangan, dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai