Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kebutuhan informasi yang lengkap dan berkualitas dalam berbagai bentuk

sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Salah satu informasi yang
diperlukan adalah informasi yang diperoleh dari laporan keuangan suatu entitas
ekonomi. Informasi dalam laporan keuangan menyajikan informasi yang menyangkut
posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang
bermanfaat bagi pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan.
Menurut PSAK No.1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009), laporan keuangan adalah
suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas.
Adapun menurut PSAK No.1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009), tujuan laporan keuangan
adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan arus
kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam
pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil
pertanggungjawaban manajemen atas penggunaaan sumber daya yang dipercayakan
kepada mereka (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009).
Salah satu informasi yang terdapat di dalam laporan keuangan adalah
informasi mengenai laba perusahaan. Menurut Statement of Financial Accounting
Concept (SFAC) No.1, informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir
kinerja atas pertanggungjawaban manajemen. Selain itu, informasi laba juga
membantu pemilik atau pihak lain dalam menaksir earnings power perusahaan
dimasa yang akan datang. Namun, informasi laba tidak selamanya akurat. Informasi
laba sebagai bagian dari laporan keuangan sering menjadi target rekayasa melalui
tindakan oportunitis manajemen untuk memaksimumkan kepuasannya dan hal
tersebut dapat merugikan pemegang saham dan investor. Tindakan oportunitis
tersebut dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba
perusahaan dapat diatur, dinaikkan maupun diturunkan sesuai dengan keinginannya.

Laba yang dihasilkan perusahaan sering digunakan sebagai dasar pengambilan


keputusan , dimana laba tersebut diukur dengan dasar akrual.
Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih
rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil.
Akuntansi berbasis akrual mempunyai keunggulan bahwa informasi laba perusahaan
dan pengukuran komponennya berdasarkan akuntansi akrual secara umum
memberikan indikasi lebih baik tentang kinerja ekonomi perusahaan daripada
informasi yang dihasilkan dari aspek penerimaan dan pengeluaran kas terkini (FASB,
1978). Namun, akuntansi akrual juga memiliki kelemahan. Penggunaan dasar akrual
dapat memberikan keleluasaaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode
akuntansi selama tidak menyimpang dari aturan standar akuntansi keuangan yang
berlaku. Walaupun prinsip akuntansi diatur dengan standar akuntansi keuangan,
kompleksitas transaksi dan peristiwa bisnis tidak memungkinkan penerapan aturan
akuntansi yang seragam untuk seluruh perusahaan sepanjang waktu (Sastradipraja,
2010).
Penggunaan penilaian dan estimasi dalam akuntansi akrual mengizinkan
manajer untuk menambah kegunaan angka akuntansi. Namun, beberapa manajer
menggunakan kebebasan ini untuk mengubah angka akuntansi, terutama laba untuk
keuntungan pribadi sehingga mengurangi kualitasnya, hal ini lebih dikenal dengan
istilah manajemen laba (Subramanyam, 2010). Pilihan metode akuntansi yang secara
sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan
manajemen laba atau earnings management. Badruzaman (2013) mendefinisikan
manajemen laba adalah suatu cara yang ditempuh manajemen dalam mengelola
perusahaan melalui pemilihan kebijakan akuntansi tertentu dengan tujuan untuk
meningkatan laba bersih dan nilai perusahaan sesuai dengan harapan manajemen.
Manajemen laba muncul karena adanya konflik keagenan. Masalah agensi
timbul karena adanya konflik kepentingan antara shareholders dan manajer, karena
tidak bertemunya utilitas yang maksimal antara mereka. Sebagai agent, manajer
secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik

(principal), namun sisi lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimumkan


kesejahteraan mereka. Sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak
demi kepentingan terbaik principal (Jensen dan Meckling,1976 dalam Sunarto,
2009).
Tyasari (2009) menyatakan bahwa sampai saat ini manajemen laba merupakan
area yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra terhadap
manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen laba merupakan
pengurangan keandalan informasi laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan
dalam pengambilan keputusan. Di lain sisi pihak pro terhadap manajemen laba seperti
manajer, menganggap bahwa manajemen laba merupakan hak yang fleksibel untuk
melindungi mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak
terduga.
Manajer sebagai pihak pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan
pemilik. Oleh karena itu, manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan yang sesungguhnya kepada pemilik. Akan tetapi, informasi yang
disampaikan terkadang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sesungguhnya.
Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan memicu munculnya suatu kondisi
yang disebut asimetri informasi (information asymmetry).
Tindakan earnings management telah memunculkan beberapa kasus skandal
pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui antara lain Enron, Merck, World Com,
dan perusahaan lain khususnya di Amerika Serikat (Cornett et al, 2006). Sedangkan
beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk, PT. Kimia Farma
Tbk, PT. Indofarma Tbk, PT. Kereta Api Indonesia, PT. Katarina Utama Tbk dan PT.
Ancora Mining Service melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang
berawal dari terdeteksi adanya manipulasi.
Fenomena manipulasi laporan keuangan juga terjadi pada PT Ancora Mining
Service (AMS) pada tahun 2011 dilaporkan Forum Masyarakat Peduli Keadilan
(FMPK) ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan atas dugaan

manipulasi laporan keuangan. Ketua Bagian Investigasi FMPK, Mustopo


menjelaskan manipulasi itu terlihat dari adanya penghasilan sebesar Rp 34,9 miliar
namun tidak ada pergerakan investasi. Selain itu, ditemukan bukti pembayaran bunga
sebesar Rp 18 miliar padahal AMS mengaku tidak memiliki utang. FMPK juga
menemukan bukti piutang senilai Rp 5,3 miliar namun tidak ada kejelasan
transaksinya (Republika, 2011).
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses
informasi yang lebih banyak mengenai prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh
pihak eksternal perusahaan. Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai
penyebab manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2007)
berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara tingkat asimetri
informasi dengan tingkat manajemen laba. Adanya asimetri akan mendorong manajer
untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut
berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Fleksibilitas manajemen untuk
memanajemenkan laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih
berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat
manajemen laba. Berbeda dengan penelitian Rahmawati dan Yacob (2007) yang
menyimpulkan bahwa asimetri informasi tidak mempengaruhi hubungan antara
kebijakan multipapan dan manajemen laba.
Achmad (2003) dalam Widyaningdyah (2004) menemukan bahwa kebijakan
dividen sebagai salah satu motivasi manajer melakukan manajemen laba dengan pola
menurunkan laba, sedangkan Sulistiyawati (2005) dalam Priantinah (2008)
mengemukakan bahwa kebijakan dividen tidak memiliki pengaruh terhadap praktik
manajemen laba oleh perusahaan.
Liu dan Espahbodi (2012) yang menguji tentang pengaruh kebijakan dividen
terhadap manajemen laba, menemukan bahwa kebijakan dividen yang diproksikan
dengan dividen payout rasio berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Abiprayu
(2011) juga menguji pengaruh profitabilitas, ukuran perusahaan, financial leverege,
kualitas audit dan kebijakan deviden terhadap perataan laba menemukan bahwa jenis

profitabilitas, financial leverage, dan kualitas audit tidak berpengaruh signifikan


terhadap tindakan perataan laba sedangkan ukuran Perusahaan dan kebijakan deviden
berpengaruh signifikan terhadap tindakan perataan laba.
Dari hasil penelitian-penelitian yang disebutkan di atas masih belum
menunjukkan hasil yang konsisten satu sama lain. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk meneliti mengenai Asimetri Informasi dan Kebijakan Deviden sebagai variable
independen terhadap Manajemen Laba. Oleh karena itu penulis mengangkat judul
PENGARUH ASIMETRI INFORMASI DAN KEBIJAKAN DEVIDEN
TERHADAP MANAJEMEN LABA.
1.2

Identifikasi Masalah
Berdasarkan Latar Belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka

identifikasi masalah yang dapat disimpulkan adalah terdapat adanya penyalahgunaan


asimetri informasi untuk praktik manajemen laba dengan melakukan manipulasi
laporan keuangan untuk keuntungan perusahaan.
Hasil penelitian penelitian sebelumnya yang terjadi perbedaan sehingga
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh Asimetri Informasi dan
Kebijakan Deviden terhadap Manajemen Laba.
1.3

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah pada penelitian ini adalah :


1. Apakah asimetri informasi berpengaruh terhadap manajemen laba?
2. Apakah Kebijakan Deviden berpengaruh terhadap manajemen laba?
3. Apakah Kebijakan Deviden dan asimetri Informasi berpengaruh terhadap
manajemen laba?
1.4

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berkaitan erat dengan rumusan masalah yang dituliskan.

Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

1. Untuk

mengetahui

besar

pengaruh

Asimetri

Informasi

terhadap

Manajemen Laba.
2. Untuk mengetahui

besar

pengaruh

Kebijakan

Deviden

terhadap

Manajemen Laba.
3. Untuk mengetahui besar pengaruh Asimetri Informasi dan Kebijakan
Deviden terhadap Manajemen Laba.
1.5

Kegunaan Penelitian

1.5.1

Kegunaan Praktis

1. Bagi Investor
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan dalam menilai
manajemen laba perusahaan, sehingga dapat membantu pengambilan keputusan
dalam menanamkan modalnya pada perusahaan.
2. Bagi Perusahaan
Bagi perusahaan yang diteliti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
mempertimbangkan asimetri informasi dan kebijakan deviden sebagai acuan dalam
melakukan praktik manajemen laba.
1.5.2

Kegunaan Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan informasi dalam

pengembangan penelitian yang lebih baik lagi dan bahan perbandingan bagi peneliti
yang akan mengambil topik yang serupa.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1

Kajian Pustaka

2.1.1

Asimetri Informasi

2.1.1.1 Pengertian Asimetri Informasi


Menurut Rahmawati (2012:9) asimetri informasi merupakan masalah
komunikasi dari perusahaan kepada investor-investor luar. Sedangkan menurut Scott
(2006:7), menyatakan bahwa asimetri informasi yaitu beberapa pihak yang terlibat
dalam transaksi mungkin memiliki keunggulan informasi melebihi yang lain.
Asimetri informasi timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal
dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham /stakeholders
lainnya. Dengan demikian beberapa konsekuensi tertentu hanya akan diketahui pihak
lain yang juga memerlukan informasi tersebut (Silivia dan Yanivi, 2003
Dari teori yang diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa asimetri
informasi merupakan sebuah konsep yang paling penting dalam teori akuntansi
keuangan. Karena hal ini berhubungan dengan keputusan investasi yang dilakukan
oleh investor, karena dengan adanya asimetri informasi mengakibatkan investor
memiliki informasi yang berbeda.
2.1.1.2. Faktor-Faktor Pendorong Asimetri Informasi
Menurut Ompusunggu dan Bawono (2006:16), menyatakan bahwa:
Informasi yang tidak disampaikan sepenuhnya kepada atasan
(pemegang kuasa anggaran) menjadi nilai lebih bagi bawahan
(pelaksana anggaran), dalam artian bahwa bawahan memiliki
kelebihan informasi meskipun telah dilakukan proses partisipasi
dalam penyusunan anggaran, namun tidak semua informasi yang
dimiliki oleh bawahan disampaikan dalam proses tersebut.

Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan


informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan
dengan pengukuran kinerja dimana manajer bisa secara fleksibel untuk
melakukan manajemen laba.
2.1.1.3 Tipe-tipe Asimetri Informasi
Dalam asimetri informasi Scott (2009:8) menyatakan bahwa ada dua tipe dari
asimetri informasi, yaitu:
a

Adverse Selection
Adverse selection is a type of information asymmetry where by
one or more parties to a business transaction, or potential
transaction, have an information advantage over other parties.
Moral Hazard
Moral hazard is a type of information asymmetry where by one
or more parties to a bisiness transaction, can observe their
actions in fulfillment of the transaction but other parties
cannot.
Dari kutipan di atas, maka dapat diuraikan sebagai berikut:
a

Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak
atau lebih yang melangsungkan/akan melangsungkan suatu transaksi
usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihakpihak lain.

Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau
lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi
usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan
mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihakpihak lainnya tidak.

Berdasarkan definisi di atas, adverse selection ini timbul karena manajer


perusahaan dan orang dalam (insider) lain yang mengetahui lebih banyak mengenai
kondisi terkini atau prospek mendatang dari suatu perusahaan daripada investor
sebagai pihak lain sedangkan moral hazard timbul karena adanya pemisahan

kepemilikan dan pengendalian yang merupakan karakter sebagian besar entitas bisnis
besar.
2.1.1.4 Pengukuran Asimetri Informasi
Pengukuran terhadap asimetri informasi dapat menggunakan pendekatan Bidask spread karena pada penelitian-penelitian terdahulu tingkat asimetri ini bisa
terlihat dari selisih harga saham tertinggi dan terendahnya. Menurut

Amira

(2006:37):
Agar pasar saham dapat beroperasi dengan efektif pasar harus
liquid, artinya saham dapat dijual seketika pada biaya transaksi
yang serendah-rendahnya. Dalam pasar yang liquid, harga bid (bid
price) yaitu harga dimana pialang bersedia membayar atau
membeli, sebaliknya hanya sedikit lebih rendah daripada harga ask
(ask spread) yaitu harga dimana pialang bersedia menerima atau
menjual saham.
Bid-ask spread digunakan untuk mengetahui besarnya asimetri informasi yang
terjadi karena asimetri infromasi berhubungan dengan penawaran dan pembelian
saham yang terjadi pasar modal yang digambarkan melalui harga beli (bid price) dan
harga jual (ask price).
2.1.1.5 Bid-Ask Spread
Pengertian dari bid-ask spread menurut Radcliffe dalam Amira (2006) adalah
sebagai berikut :
The spread between the dealers selling price and their buying price
represents a profit to the dealer.
Lebih jauh lagi Radcliffe (2006) juga mengatakan bahwa bid-ask spread juga
termasuk dalam salah satu jenis dari trading cost:
Bid refers to the price at which a market maker will buy. Ask price
refers to the price at which the market maker will sell. Of course,
the bid price will always be less than the ask price at an any point
in time. Market markers have conflicting interest when setting a
given bid-ask spread. If they set a large spread, each round trip
trade result in greater revenue. But small spread increase the
number of trade placed with the market maker. In practice, the bid-

10

ask price that arises in the markets is set by the competition


between market makers and its sufficient to cover the cost and the
risk of being a market makers.
Menurut Bodie, Kane, Marcus (2002:85):
Bid price is the price or wich a dealer is willing to purchase a security, ask
price is the price at wich a dealer will sell a security.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Bid-Ask Spread merupakan
selisih yang terjadi antara harga beli dan harga jual saham, Bid Price merupakan
harga yang biasanya bersedia dibeli sedangkan Ask Price merupakan harga yang
ditawarkan atau dijual. Biasanya harga beli akan lebih kecil dari harga jual karena
disini terjadi kompetisi antara pedagang saham dalam menjual sahamnya.
Dalam literatur mikrostruktur mengenai bid-ask spread menyatakan bahwa
terdapat suatu komponen spread yang turut memberikan kontribusi terhadap kerugian
yang dialami dealer ketika bertransaksi dengan pedagang terinformasi. Komponen
tersebut menurut Amira (2006) adalah sebagai berikut:
1

Komponen Spread adalah :


Biaya pemrosesan pesanan (ordering cost)
Terdiri dari biaya yang dibebankan oleh pedagang sekuritas
(efek) atas kesiapannya mempertemukan pesanan pembeli dan
penjual, dan kompensasi untuk waktu yang diluangkan oleh
pedagang sekuritas guna menyelesaikan transaksi.
Biaya penyimpanan persediaan (inventory holding cost)
Merupakan biaya yang ditanggung oleh pedagang sekuritas
untuk membawa persediaan saham agar dapat diperdagangkan
sesuai permintaan.
Adverse selection component
Menggambarkan suatu upah (reward) yang diberikan kepada
pedagang sekuritas untuk mengambil suatu resiko ketika
berhadapan dengan investor yang memiliki informasi superior.
Komponen ini terkait erat dengan arus informasi di pasar
modal.

11

Menurut Cohen dalam Rahmawati, dkk (2007) menyatakan bahwa peneliti


yang melakukan penelitian terhadap bid-ask spread membedakannya antara spread
pasar dan spread dealer. Ia menjelaskan bahwa spread dealer untuk suatu saham
merupakan perbedaan harga bid dan ask yang ditentukan oleh dealer secara
individual, ketika ia hendak memperdagangkan saham tersebut. Sedangkan spread
pasar untuk suatu saham merupakan perbedaan harga bid tertinggi dan ask terendah
diantara beberapa dealer atau pedagang saham. Di Bursa Efek Indonesia, spread
dealer adalah spread yang tidak dapat diobservasi karena dealer juga beroperasi
ganda sebagai pialang (broker). Maka sebaiknya penelitian yang berkaitan dengan
bid-ask spread menggunakan spread pasar market (market spread).
Lev menyatakan bahwa bid-ask spread merupakan salah satu ukuran dalam
likuiditas pasar yang digunakan sebagai pengukur asimetri informasi antara
manajemen dengan pemegang saham perusahaan. Sedangkan Richardson menyatakan
bahwa bid ask-spread merupakan proksi asimetri informasi karena mampu menilai
tingkat likuiditas pasar maupun masalah adverse selection yang dihadapai oleh para
pemain dipasar modal. Lebih lanjut lagi, bid-ask spread dapat dijadikan sebagai
proksi yang baik untuk melihat adanya aismetri informasi diantara pihak-pihak yang
bertransaksi di pasar modal.
2.1.2

Kebijakan Dividen

2.1.2.1 Pengertian Dividen


Dividen adalah distribusi yang bisa berbentuk kas, aktiva lain, surat atau bukti
lain yang menyatakan utang perusahaan, dan saham, kepada pemegang saham suatu
perusahaan sebagai proporsi dari jumlah saham yang dimiliki oleh pemilik.
Pengertian dividen menurut Brealy, Myers dan Marcus (2007: 44) adalah
pembayaran tunai oleh perusahaan kepada pemegang saham
Menurut Martono dan Harjito (2007: 253) :

12

Kebijakan dividen (dividend policy) merupakan keputusan apakah


laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagikan
kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan
untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang
akan datang.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan
bagian dari laba bersih untuk dibagikan kepada para pemegang saham secara berkala
dan bagian laba bersih yang akan dibagikan untuk membiayai investasi.
Pada umumnya, kebanyakan perusahaan membayarkan dividen berupa kas,
seperti yang dikatakan oleh Brealy .et.al (2007 : 434) :
Most companies pay a regural cash dividend each quarter.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan
bagian dari laba bersih yang berasal dari aliran kas untuk dibagikan kepada para
pemegang saham yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan saat ini dan
akan datang.
2.1.2.2 Pengertian Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen (dividend policy) adalah suatu keputusan untuk
menentukan berapa besar bagian dari pendapatan perusahaan akan dibagikan kepada
para pemegang saham dan akan diinvestasikan kembali (reinvesment) atau ditahan
(retained) didalam perusahaan.
Pengertian kebijakan dividen menurut Martono dan Harjito (2007 : 253):
Kebijakan dividen (dividend Policy) merupakan keputusan apakah
laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagikan
kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan
untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang
akan datang.
Menurut Sartono (2001: 281) Kebijakan deviden yaitu:
kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna
pembiayaan investasi dimasa yang akan datang.
Pengertian kebijakan dividen menurut Gitman (2006 : 597) adalah:

13

a plan of action to be foloed wherever on dividend decision is made.

Dengan demikian dapat disimpulkan kebijakan dividen adalah kebijakan yang


mengatur berapa bagian laba bersih yang akan dibagikan sebagai dividen kepada para
pemegang saham dan berapa bagian laba bersih yang akan digunakan untuk
membiayai investasi perusahaan.
2.1.2.3 Beberapa Jenis Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen adalah berhubungan dengan keputusan apakah laba yang
diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau
akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa datang.
Atas dasar teori tentang kebijakan dividen di atas, menurut Gitman (2006: 602-603)
bentuk kebijakan dividen diantaranya :
1

2
3

Kebijakan Dividen Rasio Pembayaran Konstan (Constant Payout Ratio


Dividend Policy)
Merupakan kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran
dividen dalam persentase tertentu dari pendapatan yang
dibayarkan kepada pemilik setiap periode pembagian dividen.
Kebijakan Divien yang teratur (Reguler Dividend Policy)
Merupakan kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran
dividen dengan jumlah uang yang tetap dalam setiap periode.
Kebijakan dividen rendah yang teratur dan ditambah ekstra (LowRegular-and- Extra Dividend Policy)
Merupakan kebijakan dividend yang didasarkan pembayaran
dividend rendah yang teratur, penambahan dividen jika
pendapatan lebih tinggi dari normal pada periode pembayaran
dividen.

2.1.2.4 Teori Kebijakan Dividen


Ada beberapa teori yang digunakan sebagai landasan dalam menentukan
kebijakan dividen untuk perusahaan. Sehingga dapat dijadikan pemahaman mengapa
suatu perusahaan mengambil kebijakan dividen tertentu. Menurut Sartono (2001:
282) teori-teori tersebut sebagai berikut :

14

Dividend irrelevance theory


Teori yang dianjurkan oleh Modigliani-Miller (MM) ini
menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai
pengaruh, baik terhadap harga saham maupun biaya modalnya
atau dapat dikatakan bahwa kebijakan dividen sebenarya tidak
relevan.
Bird-in-the-hand theory
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Linther
yang menyatakan bahwa biaya modal sendiri akan naik jika
Dividend Payout Ratio (DPR) rendah. Hal ini dikarenakan
investor lebih suka menerima dividen daripada capital gain.
Tax preference theory
Adalah suatu teori yang menyatakan bahwa karena adanya pajak
terhadap keuntungan dividen dan capital gains maka para
investor lebih menyukai capital gains karena dapat menunda
pembayaran pajak.

2.1.2.5 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kebijakan Dividen


Dalam menentukan kebijakan dividen, perusahaan harus mempertimbangkan
sejumlah hal atau faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan dividen menurut Sundjaja dan Barlian (2003: 387390):
1

Peraturan hukum
a Peraturan mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen
dapat dibayar dari laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahun
berjalan.
b Peraturan mengenai tindakan yang merugikan modal.
Melindungi para direktur, dengan melarang pembayaran dividen
yang berasal dari modal (membagikan investasinya dan bukan
membagikan dividen).
c Peraturan mengenai tak mampu bayar. Perusahaan boleh tidak
membayar dividen jika tidak mampu (bangkrut).
Posisi likuiditas
Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang
diperlukan untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahuntahun terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk mesin dan
peralatan, persediaan, dan barang-barang lainnya, bukan
disimpan dalam bentuk uang tunai, Oleh karena itu sesuatu

15

perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja tidak


dapat membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. Memang
perusahaan yang sedang tumbuh biasanya betul-betul
kekurangan dana. Dalam situasi seperti ini mungkin perusahaan
memutuskan untuk tidak membayar dividen dalam bentuk tunai.
Membayar Pinjaman
Jika perusahaan telah membuat pinjaman untuk memperluas
usahanya atau untuk pembiayaan lainnya maka ia dapat melunasi
pinjamannya pada saat jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan
cadangan-cadangan untuk melunasi pinjaman itu nantinya. Jika
diputuskan bahwa pinjaman itu akan dilunasi , maka biasanya
harus ada laba ditahan
Kontrak Pinjaman
Kontrak pinjaman apabila jika menyangkut pinjaman jangka
panjang, seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk
membayar dividen tunai. Pembatasan-pembatasan yang
dimaksudkan untuk melindungi para kreditur yaitu :
a Dividen yang akan datang hanya boleh dibayar dari keuntungan
yang diperoleh sesudah ditandatanganinya kontrak pinjaman
(artinya tidak boleh dibayarkan dari laba tahun lalu yang
ditahan).
b Dividen tidak boleh dibayarkan jika modal kerja bersih
jumlahnya lebih kecil dari suatu jumlah tertentu. Begitu pula
persetujuan mengenai saham preferen biasanya menyatakan
bahwa dividen atas saham preferen selesai dibayar.
Pengembaliaan Aktiva
Semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin besar
kebutuhannya untuk membiayai pengembangan aktiva
perusahaan. Semakin banyak dana yang dibutuhkan di
kemudiaan hari, semakin banyak laba yang harus ditahan dan
tidak dibayarkan. Apabila ingin menambah modal dari luar maka
sumber alami yang tersedia adalah para pemegang saham
sekarang yang sudah mengenal perusahaan. Jika keuntungannya
dibayarkan kepada mereka sebagai dividen dan terkena tarif
pajak perorangan yang tinggi, maka hanya sebagian saja yang
dapat ditanam kembali.
Tingkat Pengembalian
Tingkat pengembaliaan atas asset menentukan pembagiaan laba
dalam bentuk dividen yang dapat digunakan oleh pemegang

16

saham baik ditanamkan kembali di dalam perusahaan maupun di


tempat lain.
7

Stabilitas Keuntungan
Perusahaan yang keuntungannya relatif teratur seringkali dapat
memperkirakan bagaimana keuntungan di kemudiaan hari. Maka
perusahaan seperti itu kemungkinan besar akan membagikan
keuntungannya dalam bentuk dividen dengan persentasi yang
lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang
keuntungannya berfluktuasi.
Pasar modal
Perusahaan besar yang sudah mantap, dengan profitabilitas yang
tinggi dan keuntungan yang teratur, dengan mudah dapat masuk
ke pasar modal atau memperoleh macam-macam dana dari luar
untuk pembiayaannya. Perusahaan yang sudah mantap akan
mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perusahaan kecil atau yang masih baru.
Kendali Perusahaan
Jika perusahaan hanya memperkuat usahanya dari pembiayaan
intern maka pembayaran dividen akan berkurang. Kebijakan ini
dijalankan atas pertimbangan bahwa menambah modal dengan
menjual saham biasa akan mengurangi pengendalian atas
perusahaan itu oleh golongan pemegang saham yang kini sedang
berkuasa.
10. Keputusan kebijakan dividen
Hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen per
saham pada tingkat yang konstan. Tetapi naiknya dividen selalu
terlambat dibandingkan dengan naiknya keuntungan. Artinya
dividen itu baru akan dinaikkan jika sudah jelas bahwa
meningkatnya keuntungan itu benar-benar mantap dan nampak
cukup permanen. Sekali dividen sudah naik, maka segala daya
dan upaya akan dikerahkan. Jika keuntungannya kemudian
menurun.
Menurut Sutrisno (2001: 304 305), faktor-faktor yang mempengaruhi besar

kecilnya dividen yang akan dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham
antara lain adalah:
1. Posisi Solvabilitas Perusahaan

17

Apabila perusahaan dalam kondisi insolvensi atau


solvabilitasnya kurang menguntungkan, biasanya perusahaan
tidak membagikan laba. Hal ini disebabkan laba yang diperoleh
lebih banyak digunakan untuk memperbaiki posisi struktur
modalnya.
2. Posisi Likuiditas Perusahaan
Bagi perusahaan yang kondisi likuiditasnya kurang baik,
biasanya dividend payout rationya kecil, sebab sebagian besar
laba yang digunakan untuk menambah likuiditas. Namun
perusahaan yang sudah mapan dengan likuiditas yang baik
cenderung memberikan dividen yang lebih besar.
3. Kebutuhan untuk melunasi hutang
Salah satu sumber dana perusahaan adalah dari kreditor berupa
hutang baik jangka pendek maupun jangka panjang. Semakin
banyak hutang yang harus dibayar semakin besar dana yang
harus disediakan sehingga mengurangi jumlah dividen yang akan
dibayarkan kepada pemegang saham. Disamping itu dengan
jatuh temponya hutang, berarti dana hutang tersebut harus
diganti. Alternatif mengganti dan hutang bisa dengan mencari
hutang baru, dan juga bisa dengan sumber dana intern dengan
cara memperbesar laba ditahan. Hal ini tentunya akan
memperkecil dividend payout ratio.
4. Rencana perluasan
Perusahaan yang berkembang ditandai dengan semakin pesatnya
pertumbuhan perusahaan, dan hal ini bisa dilihat dari perluasan
yang dilakukan oleh perusahaan. Semakin pesat pertumbuhan
perusahaan, juga semakin pesat perluasan yang dilakukan.
Konsekuensinya semakin besar dana yang dibutuhkan untuk
membiayai perluasan tersebut. Kebutuhan dana dalam rangka
ekspansi tersebut bisa dipenuhi baik dari hutang, menambah
modal sendiri yang berasal dari pemilik, dan salah satunya juga
bisa diperoleh dari internal resources berupa memperbesar laba
ditahan. Dengan demikian semakin pesat perluasan yang
dilakukan perusahaan semakin kecil Dividend Payout Rationya.
5. Kesempatan investasi
Kesempatan investasi juga merupakan faktor yang
mempengaruhi besarnya dividen yang akan dibagikan. Semakin
terbuka kesempatan investasi semakin kecil dividen yang
dibayarkan sebab dananya digunakan untuk memperoleh

18

kesempatan investasi. Namun bila kesempatan investasi kurang


baik, maka dananya lebih banyak akan digunakan untuk
membayar dividen.
6. Stabilitas pendapatan
Bagi perusahaan yang pendapatannya kurang stabil, dividen
yang akan dibayarkan kepada pemegang saham lebih besar
dibanding dengan perusahaan yang pendapatannya tidak stabil.
Perusahaan yang pendapatannya stabil tidak perlu menyediakan
kas yang banyak untuk berjaga-jaga, sedangkan perusahaan yang
pendapatannya tidak stabil harus menyediakan uang kas yang
cukup besar untuk berjaga-jaga.
7. Pengawasan terhadap perusahaan
Kadang-kadang pemilik tidak mau kehilangan kendali terhadap
perusahaan. Apabila perusahaan mencari sumber dana dari
modal sendiri, kemungkinan akan masuk investor baru dan
tentunya akan mengurangi kekuasaan pemilik lama dalam
mengendalikan perusahaan. Jika dibelanjai dari hutang risikonya
cukup besar. Oleh karena itu perusahaan cenderung tidak
membagi dividennya agar pengendalian tetap berada
ditangannya.
2.1.2.6 Mengukur Tingkat Pembayaran Dividen/Dividend Payout Ratio
Dividend Payout Ratio adalah perbandingan antara dividen yang dibayarkan
dengan laba bersih yang didapat dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase.
Semakin tinggi Dividen Payout Ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari
pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba
ditahan, tetapi sebaliknya Dividen Payout Ratio semakin kecil akan merugikan para
pemegang saham (investor) tetapi internal financial perusahaan semakin kuat.
Dividend Payout Ratio menurut Sartono (2005: 75) adalah:
Persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio
antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba
yang tersedia bagi pemegang saham.

19

Menurut Ross, et. al (2006 : 94) bahwa Dividend Payout Ratio adalah jumlah
dari pendapatan tunai yang sampai kepada pemegang saham yang dibagi oleh
pendapatan netto.
Sedangkan menurut Gitman (2006: 602) Dividend Payout Ratio adalah:
Indicated the percentage of each dollar earned that is distributed
to the owners in the form of cash. Its calculated by dividing the
firm cash dividend per share by earning per share
Dari pengertian tersebut Dividend Payout Ratio dapat diformulasikan menjadi:
DPS
DIVIDEND PAYOUT RATIO= EPS
X100%
Keterangan:
DPS: Dividen Per Share
EPS: Earning Per Share
2.1.3

Manajemen Laba

2.1.3.1 Pengertian Manajemen Laba


Pengertian Manajemen Laba Menurut Copeland dalam Wiwik (2005), adalah
some ability to increase of decrease reported net income at will.
Ini berarti bahwa manajemen laba mencangkup usaha manajemen untuk
memaksimalkan, meminumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan
manajemen.
Definisi manajemen laba yang hampir sama juga diungkapkan oleh Schiper
dalam Sutrisno (2002) yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu
invertensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk
memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi
yang netral dari proses tersebut).

20

Sementara Menurut Sri Sulistyanto (2008 : 6 ) pengertian manajemen laba


adalah upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi
informasiinformasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui
stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan.
Scott dalam Rahmawati, dkk (2006), membagi cara pemahaman atas
manjemen laba menjadi dua, yaitu:
1

Melihatnya sebagai prilaku oportunistik manajer untuk


memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak
kompensasi, kontrak utang dan political cost (oportunistic
earning mangement).
Memandang manjemen laba dari perspektif effecient
contracting (effecient earning management), dimana
manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk
melindungi diri mereka dan perusahaan dalam
mengantisipasi kejadian yang terduga untuk keuntungan
pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Berdasarkan beberapa defenisi tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa


manajemen laba adalah suatu strategi yang digunakan oleh manajemen dari suatu
perusahaan untuk mengubah suatu laba perusahaan dengan bebas sehingga dapat
mencapai target yang ditentukan. Contohnya manajemen bisa melakukan income
maximization dengan cara merubah metode akuntansi yang digunakan untuk
meningkatkan laba.
2.1.3.2 Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba
Dalam

positive

accounting

theory

terdapat

tiga

hipotesis

yang

melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman), dalam


Rahmawati, dkk (2006), yaitu:
1. Bonus plan Hypotesis
2. Debt convenant hypotesis
3. Political cost hypotesis.
Dari kutipan di atas dapat maka dapat diuraikan sebagai berikut :

21

1. Bonus plan Hypotesis


Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya
yaitu bonus yang tinggi.
2. Debt convenant hypotesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung
memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba.
3. Political cost hypotesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut
memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan
dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan.
2.1.3.3 Motivasi Manajemen Laba
Scott (2000) dalam Rahmawati, dkk (2006) mengemukakan beberapa
motivasi terjadinya manajemen laba:
1. Bonus Purpose
2. Political Motivations
3. Taxation Motivation
4. Pergantian CEO
5. Initial Public Offering (IPO)
6. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor.
Dari kutipan di atas dapat maka dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bonus Purpose
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak
secara oportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan
laba saat ini .
2. Political Motivations
Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada
perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan
karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan
peraturan yang lebih ketat.
3. Taxation Motivation

22

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling


nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan
pajak pendapatan.
4. Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikan pendapatan
untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk,
mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang akan go publik belum memiliki nilai pasar, dan
menyebabkan manajer perusahaan yang akan go publik melakukan
manajemen laba dalam prospectus mereka dengan harapan dapat menaikan
harga saham perusahaan.
6. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor
sehingga pelaporan laba dapat disajakin agar investor tetap menilai bahwa
perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.
4

Teknik Manajemen Laba


Teknik manajemen laba menurut Lilis dan Aniun (2001) dapat dilakukan

dengan tiga teknik yaitu:


1

Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi


Cara manjemen mempengaruhi laba melalui judgement
(perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi
tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi
aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya
garansi, dan lain-lain.
Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat
suatu transaksi, contoh : merubah metode depresiasi aktiva tetap,
dari metode depresiasi angka tahun ke metode garis lurus.
Menggeser periode biaya atau pendapatan
Contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain
adalah mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian
dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya,

23

mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan,


mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai.
2.1.3.5 Kondisi untuk Praktik Manajemen Laba
Truemen dan Titman dalam Rahmawati, dkk (2006) berpendapat bahwa hanya
manajer yang mengobservasi laba ekonomi perusahaan untuk setiap periode.
Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat menarik suatu kesimpulan mengenai laba
ekonomi yang dilaporkan perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh manajer.
Dalam menyiapkan laporan keuangan, manajer dapat memindahkan sebagian
laba ekonomi antar periode pada saat diketahui sebagai laba akuntansi
sebagaiakuntansi dalam laporan keuangan. Perpindahan tersebut dapat dicapai,
sebagai contoh, melalui pengakuan biaya pensiun, penyesuaian penaksiran umur
ekonomis perusahaan, dan penyesuian penghapusan piutang.
Jika manajer tidak dapat memindahkan laba antar periode, maka laba yang
dilaporkan oleh perusahaan akan sama dengan laba ekonomi perusahaan pada setiap
periode. Fleksibilitas untuk menunda laba antar periode hanya tersedia bagi
perusahaan, dan hanya manajer yang mengetahui apakah mereka mempunyai
fleksibilitas tersebut atau tidak.
Dasar akrual dalam pelaporan keuangan memberikan kesempatan kepada
manajer untuk memodifikasi laporan keuangan untuk menghasilkan jumlah laba
(earnings) yang diinginkan. Standar Akuntansi Keuangan juga memberikan
keleluasaan kepada manajer untuk memilih metode akuntansi dalam menyusun
laporan keuangan. Deteksi atas kemungkinan dilakukan manajemen laba dalam
laporan keuangan secara umum diteliti melalui penggunaan akrual.
Jika laba tahun berjalan lebih besar daripada tahun sebelumnya, maka
manajemen akan menyimpan labanya untuk periode yang akan datang melalui
discretionary accruals. Discretionary accruals merupakan pengakuan akrual laba
atau beban yang bebas tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan manajemen.

24

2.1.3.6 Pola Manajemen Laba


Pola manajemen laba menurut Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006)
dapat dilakukan dengan cara:
1. Taking a bath
2. Income Minimization
3. Income Maximization
4. Income Smoothing
Untuk lebih jelas lagi maka kutipan di atas akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Taking a bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengakuan CEO baru dengan
melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat
meningkatkan laba di masa datang.
2. Income Minimization
Pola ini dilakukan pada saat perusahaan mengalamai profitabilitas yang tinggi
sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat
diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
3. Income Maximization
Dialakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income miaximization
bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang
lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran
perjanjian hutang.
4. Income Smoothing
Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan
sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada
umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

25

2.1.3.7 Mendeteksi Manajemen Laba


Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan
kepada pihak-pihak diluar korporasi. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar
akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan
perusahaan secara riil, namun disisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan
keluluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi untuk
melakukan manajemen laba.
Untuk mendeteksi ada tidaknya manajemen laba, maka pengukuran atas
akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalah selisih
antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi.
Total akrual dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1

Bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan

keuangan, disebut normal accruals atau non discretionary accruals.


Bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut dengan
abnormal accruals atau discretionary accruals.
Dalam mendeteksi manajemen laba pada penelitian ini digunakan model yang

diajukan oleh Fredlan dalam Gumanti (2000) yaitu dengan menggunakan pendekatan
discretionary accrual. Discretionary accrual digunakan sebagai indikator adanya
manajemen laba karena, manajemen laba lebih menekankan pada keleluasaan atau
kebijakan yang tersedia dalam memilih dan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi
untuk menapai hasil akhir, dan dijalankan di dalam kerangka praktik yang berlaku
secara umum.
Nilai discretionary accrual dapat di cari dengan menghitung perbedaan antara
total accruals pada periode yang diuji yang distandarisasi dengan penjualan pada
periode yang diuji dan total accrual pada periode dasar yang distandarisasi dengan
penjualan pada periode dasar.
Dalam menghitung DACC, digunakan model Friedlan (Hendra, Yie, 2005)
dengan melakukan penyesuaian terhadap perhitungan total accruals yang memiliki

26

asumsi bahwa proporsi yang konstan antara total accruals dan penjualan pada periode
yang berurutan. Oleh karena itu, jumlah total accruals yang melekat pada diskresi
manajemen merupakan perbedaan antara total accruals pada periode yang diuji dan
standarisasi dengan penjualan pada periode yang diuji dan total accruals pada periode
dasar yang distandarisasi dengan penjualan pada periode dasar. Secara formal
perhitungannya adalah sebagai berikut:
1

Menghitung Total Accruals (TA) untuk periode t dapat dinyatakan dengan


persamaan sebagai berikut:

TACT = NIT - CFOT


Keterangan:
TACT : Total accruals pada periode T.
NIT

: Laba bersih operasi (operating income) periode T.

CFOT : Aliran kas dari aktivitas operasi (cash flow from operating activities)
pada akhir tahun T.
2

Mengukur Discretionary Accruals (DA) dengan menggunakan rumus:

DACPT=

TAC pt
TAC pd
(
( SALES
)
pt
SALES pd )

Keterangan:
DAC PT

: discretionary accruals pada periode tes.

TAC PT

: total accruals pada periode tes.

Sales PT

: penjualan pada periode tes.

TAC PD

: total accruals pada periode dasar.

Sales PD

: penjualan pada periode dasar.

Indikasi bahwa telah terjadi earnings management ditunjukkan oleh koefisien


DAC yang positif, sebaliknya bila koefisien DAC negatif berarti tidak ada indikasi
bahwa manajemen telah melakukan upaya menaikkan keuntungan melalui incomeincreasing discretionary accruals.

27

2.2

Kerangka Pemikiran

2.2.1

Hubungan Antara Asimetri Informasi Dengan Manajemen Laba


Banyak hal yang memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba.

Menurut Scott (2009; 353-355), motivasi manajemen laba meliputi rencana bonus,
debt covenant, dan biaya politik. Manajer termotivasi mengelola laba untuk mencapai
target kinerja dan kompensasi bonus, meminimalkan kemungkinan pelanggaran
perjanjian utang, dan meminimalkan biaya politik karena intervensi pemerintah dan
parlemen, namun fleksibilitas manajemen untuk mengelola laba dapat dikurangi
dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas
laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba dari perusahaan itu
sendiri.
Menurut Sulistyanto (2008:84), menyatakan bahwa:
Tingkat pengungkapan perusahaan dipengaruhi oleh asimetri
informasi yang terjadi dipasar. Semakin tinggi asimetri informasi
akan membuat tingkat pengungkapan yang dilakukan perusahaan
semakin rendah. Artinya, semakin tinggi asimetri informasi akan
membuat manajer semakin seluasa untuk mengatur informasi apa
saja yng harus diungkapkan, disembunyikan, ditunda, atau diubah.
Upaya semacam ini disebut dengan manajemen laba.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara
asimetri informasi dengan manajemen laba. Ketika asimetri informasi tinggi,
stakeholder tidak memiliki sumber daya yang cukup atas informasi yang relevan
dalam memonitor tindakan manajer sehingga akan memunculkan praktik manajemen
laba. Akibatnya asimetri informasi ini akan mendorong manajer untuk
tidak menyajikan informasi selengkapnya. Jika informasi tersebut berkaitan dengan
pengukuran kinerja manajer. Penelitian yang dilakukan oleh Wasilah (2005) juga
menunjukkan bahwa variabel independen asimetri informasi berpengaruh secara

28

positif signifikan dan mampu menjelaskan variabel dependen manajemen laba.


Berdasarkan analisis di atas, peneliti menduga bahwa asimetri informasi yang tinggi
cenderung untuk melakukan manajemen laba.
2

Pengaruh Kebijakan Deviden terhadap Manajemen Laba


Penelitian yang menganalisis hubungan kebijakan dividen dengan manajemen

laba seperti yang dilakukan oleh Savov (2006) yaitu menemukan bahwa investasi
berhubungan positif dengan manajemen laba dan kebijakan dividen berhubungan
secara negatif terhadap manajemen laba.
Hasil temuan Savov (2006) menunjukkan bahwa kebijakan dividen
berhubungan negatif terhadap manajemen laba. Artinya semakin tinggi dividen yang
dibayarkan maka manajemen semakin menurunkan laba dengan cara melakukan
manajemen laba dengan pola income decreasing.
Berdasarkan beberapa uraian penelitian sebelumnya maka dapat dibuat
kerangka pemikiran sebagai berikut:
Kinerja Perusahaan

Laporan Keuangan

Neraca
Asimetri Informasi

Kebijakan Deviden

Manajemen Laba
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

29

2.3

Paradigma Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini, peneliti menyatakan

atau menggambarkan paradigma dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Asimetri
Informasi
Santoso
(2013)

Scott (2009; 353-355),


Sulistyanto (2008:84),

Rahmawati (2012:9)
Scott (2006:7)

Manajemen Laba
Wiwik (2005)

Kebijakan Deviden

I Gusti Ayu Made Asri Dwija


Schiper dalam Sutrisno
Putri (2012)
Savov (2006)
Sri Sulistyanto (2008

(2002)
:6)

Brealy, Myers dan Marcus (2007: 44)


Martono dan Harjito (2007: 253
)

Gambar 2.2 Paradigma Penelitian


2.4

Hipotesis Penelitian
Sugiyono (2014:96) mengemukakan pengertian hipotesis merupakan jawaban

sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian


telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Sedangkan menurut Umi Narimawati (2007:73) menjelaskan hipotetsis adalah
sebagai berikut:
Hipotesis dapat dikatakan sebagai pendugaan sementara mengenai hubungan
antara variabel yang akan diuji kebenarannya. Karena sifatnya dan dugaaan, maka

30

hipotesis hendaknya mengandung implikasi yang lebih jelas terhadap pengujian yang
dinyatakan.
Berdasarkan kajian teori, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran diatas
maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H1: Asimetri Informasi dapat berpengaruh terhadap Manajemen Laba
H2: Kebijakan Deviden dapat berpengaruh terhadap Manajemen Laba
H3: Asimetri Informasi dan Kebijakan Deviden secara simultan dapat berpengaruh
terhadap Manajemen Laba

31

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1

Metode Penelitian
Pengertian metode penelitian menurut Sugiyono (2014:2) menyatakan bahwa:
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara
ilmiah berarti kegiatan penelitian ini didasarkan pada ciri-ciri
keilmuan, yaitu rasional, empiris dan sistematis.
Sedangkan pengertian metode penelitian menurut I Made Wirartha (2006:68)

adalah sebagai berikut:


Metode Penelitian adalah satu cabang ilmu pengetahuan yang
membicarakan atau mempersoalkan cara-cara melaksanakan
penelitian (yaitu meliputi kegiatan-kegiatan mencari, mencatat,
merumuskan, menganalisis sampai menyusun laporannya)
berdasarkan fakta-fakta atau gejala-gejala secara ilmiah.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa
metode penelitian adalah cara untuk melaksanakan penelitian secara ilmiah untuk
mendapatkan data yang valid dan mencapai tujuan tertentu.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian
kuantitatif.

Menurut Juliansyah Noor (2011:38) pengertian penelitian kuantitatif

adalah sebagai berikut:


Penelitian kuantitatif merupakan metode untuk menguji teori-teori
tertentu dengan cara meneliti hubungan antar variabel. Variabelvariabel ini diukur (biasanya dengan instrumen penelitian) sehingga
data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan
prosedur statistik.
Alasan peneliti menggunakan penelitian kuantitatif karena mempunyai
keunggulan dari sisi efisiensi, dimana dalam penelitian ini bekerja menggunakan
sampel untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Selain dari sisi sampel, penelitian

32

kuantitatif dapat memberikan penjelasan yang lebih tepat terhadap variabel yang
diteliti.
Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya. Metode penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dan verifikatif. Dengan menggunakan metode penelitian akan diketahui
pengaruh atau hubungan yang signifikan antara variabel yang diteliti sehingga
menghasilkan kesimpulan yang akan memperjelas gambaran mengenai objek yang
diteliti.
Pengertian metode deskriptif menurut Sugiyono (2011:21) adalah metode
yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi
tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.
Sedangkan pengertian metode verifikatif menurut Sugiyono (2012:8)
diartikan sebagai penelitian yang dilakukan terhadap populasi atau sampel tertentu
dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Metode verifikatif digunakan untuk menguji hipotesis dengan menggunakan
alat uji statistik yaitu Statistical Package for Social Sciences (SPSS).
Alasan peneliti memilih metode penelitian deskriptif dan verifikatif karena
peneliti ingin mendapatkan jawaban secara mendasar dan akurat. Dalam penelitian
ini, metode deskritif verifikatif tersebut digunakan untuk menguji lebih dalam
Pengaruh Asimetri Informasi dan Kebijakan Deviden terhadap Manajemen Laba pada
Perusahaan Pertambangan Batu Bara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3.2

Operasionalisasi Variabel
Menurut Sugiyono (2012:58) menjelaskan bahwa operasionalisasi variabel

adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya.

33

Operasionalisasi variabel diperlukan untuk menentukan variabel yang dapat


dioperasionalisasikan atau diukur dengan menggunakan jenis, indikator, serta skala
dari variabel-variabel yang terkait dalam penelitian.
Variabel dalam konteks penelitian menurut Sugiyono (2010:38) adalah:
Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang
berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik
kesimpulannya.
Berdasarkan judul penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka variabelvariabel yang akan diukur dalam penelitian ini adalah:
1

Variabel bebas atau Independen


Menurut Sugiyono (2012:59) Variabel bebas adalah merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependent (terikat). Variabel independen pada penelitian ini adalah Asimetri
Informasi (X1) dan Kebijakan Deviden (X2). Dalam operasionalisasinya semua

variabel diukur oleh instrument pengukur dalam bentuk rasio.


2

Variabel terikat atau dependen


Menurut Sugiyono (2012:59) variabel terikat merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam
hal ini variabel yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti adalah
Manajemen Laba. Selengkapnya mengenai operasionalisasi variabel dapat
dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel

Variabel
Asimetri
Informasi
(X1)

Konsep Variabel
Indikator
asimetri informasi yaitu Bid-ask spread
beberapa pihak yang Quotes
terlibat dalam transaksi Volume penjualan

Skala
Rasio

34

mungkin
memiliki
keunggulan informasi
melebihi yang lain.
Scott (2006:7)
keuangan
dengan
tujuan
untuk
mengelabui stakeholder
yang ingin mengetahui
kinerja dan kondisi
perusahaan.
Sri Sulistyanto (2008 :
6)

volatilitas return

(Richardson dalam Wasilah, 2005)


TAC pt
TAC pd

SALES pt
SALES pd

)(

Friedlan (Hendra, Yie, 2005)

35

3.3

Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

3.3.1

Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data sekunder. Menurut

Sugiyono (2013:137) sumber data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan menurut Toni (2013:19) data
sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang menerbitkan dan bersifat siap
dipakai. Data sekunder mampu memberiakan informasi dalam pengambilan
keputusan meskipun dapat diolah lebih lanjut. Data-data yang digunakan dalam
penelitian ini, diperoleh dari laporan keuangan Perusahan Tambang Batu Bara yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014.
3.3.2

Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dibagi ke dalam dua bagian, yaitu berdasarkan

sumber data primer dan sekunder. Menurut Hendri (2013:115) untuk data sekunder,
pengumpulan datanya dilakukan dengan metode dokumentasi melalui media cetak
atau media elektronik. Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1

Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dari laporan-laporan yang telah


diolah oleh pihak lain sehingga penulis dapat memperoleh informasi yang
dibutuhkan.

Studi Kepustakaan (Library Research)


Penelitian ini dilakukan untuk menghimpun teori-teori, pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli yang diperoleh dari buku-buku kepustakaan
serta literatur lainnya yang dijadikan sebagai landasan teoritis dalam rangka
melakukan pembahasan. Landasan teori ini dijadikan sebagai pembanding
dengan kenyataan di perusahaan.

3.4

Populasi dan Penarikan Sample

3.4.1

Populasi

36

Menurut Sugiyono (2012:115) populasi adalah wilayah generalisasi yang


terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Kemudian Sugiyono (2012:15) pula menjelaskan bahwa populasi bukan hanya orang,
tetapi juga objek dan benda-benda alam yang lain.
Populasi penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan tambang batu bara yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga tahun 2015 yang berjumlah 22
perusahaan yang terdiri dari laporan keuangan neraca dan laporan laba rugi 20122014 sehingga jumlah populasi atau N = 22 x 3 = 66.
Berdasarkan pengertian di atas, populasi dalam penelitian ini adalah Untuk
lebih jelasnya nama perusahaan tambang batu bara bisa dilihat dari tabel dibawah ini:
Tabel 3.2
Daftar Perusahaan Yang Menjadi Populasi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Kode Saham
ADRO
ARII
ATPK
BORN
BRAU
BSSR
BUMI
BYAN
DEWA
DOID
GEMS
GTBO
HRUM
IMTG
KKGI
MBAP
MYOH

Nama Emiten
Adaro Energy Tbk
Atlas Resources Tbk
Bara Jaya Internasional Tbk
Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk
Berau Coal Energy Tbk
Baramulti Suksessarana Tbk
Bumi Resources Tbk
Bayan Resources Tbk
Darma Henwa Tbk
Delta Dunia Makmur Tbk
Golden Energy Mines Tbk
Garda Tujuh Buana Tbk
Harum Energy Tbk
Indo Tambangraya Megah Tbk
Resource Alam Indonesia Tbk
Mitrabara Adiperdana Tbk
Myoh Technology Tbk

37

18
19
20
21
22

3.4.2

PKPK
PTBA
PTRO
SMMT
TOBA

Perdana Karya Perkasa


Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk
Petrosea Tbk
Golden Eagle Energy Tbk
Toba Bara Sejahtra Tbk
Sumber : www.sahamok.com

Penarikan Sample
Menurut Sugiyono (2013:81) sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Kemudian menurut Toni (2013:27)
sampel adalah bagian dari populasi yang diambil/ditentukan berdasarkan karakteristik
dan teknik tertentu.
.Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut dan sampel yang diambil dari populasi diharapkan benar-benar
representatif atau mewakili populasi. Kesimpulan yang ditarik dari sampel akan
mampu diberlakukan untuk seluruh populasi (Sugiyono, 2004; 56). Sementara itu
sampel dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pemilihan
sampel atas dasar kesesuaian antara sampel dengan kriteria pemilihan tertentu.
Kriteria-kriteria pemilihan sampel tersebut terdiri dari:
1
2
3

Perusahaan-perusahaan tambang batu bara yang terdaftar di Bursa Efek


Indonesia mulai tahun 2012 - 2014.
Perusahaan menerbitkan laporan keuangan untuk periode yang berakhir
pada tanggal 31 Desember mulai tahun 2012 2014.
Perusahaan menerbitkan data transaksi bulanan perusahaan seperti harga ask,
harga bid, yang dipublikasikan selama tahun pengamatan untuk periode yang

4
5

berakhir pada tanggal 31 Desember 2012 sampai 31 Desember 2014.


Perusahaan yang memiliki laba positif pada tahun 2012- 2014.
Perusahaan yang menyajikan laporan keuangannya dalam mata uang
Rupiah.

38

Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tidak melakukan transaksi


akuisisi dan merger selama tahun 2012 sampai dengan 31 Desember 2014.
Bila perusahaan melakukan akusisi dan merger selama periode pengamatan
akan mengakibatkan variabel-variabel dalam penelitian mengalami perubahan
yang tidak sebanding dengan periode sebelumnya. Sedangkan bila suatu
perusahaan dilikuidasi maka hasil penelitian tidak akan berguna karena

perusahaan tersebut di masa yang akan datang tidak lagi beroperasi.


Perusahaan yang tidak melakukan delisting antara tahun 2012 2014.

3.5

Metode Pengujian Data

3.5.1

Analisis Data
Analisis data merupakan bagian dari proses pengujian data yang hasilnya

digunakan sebagai bukti yang memadai untuk menarik kesimpulan penelitian


(Indriantoro dan Supomo, 2002). Menurut Sugiyono (2012:206) yang dimaksud
dengan analisis data adalah:
Kegiatan setelah data dari seluruh responden terkumpul. Kegiatan
dalam analisis data adalah: mengelompokkan data berdasarkan
variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel
dari seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti,
melakukan perhitungan untuk menjawab masalah, dan melakukan
perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan.
Analisis data yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1 Analisis Deskriptif
Menurut Sugiyono (2012: 206) pengertian statistik deskriptif adalah
statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang
berlaku untuk umum atau generalisasi.

Statistik deskriptif yang digunakan untuk memberikan deskripsi atas


variabel-variabel penelitian secara statistik. Statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rata-rata (mean), maksimal, minimal dan standar deviasi.

39

Analisis Verifikatif
Analisis verifikatif merupakan analisis yang digunakan untuk membahas

data kuantitatif. Pengujian statistik yang digunakan adalah dengan:


a

Uji Asumsi Klasik


Untuk menguji kelayakan model regresi yang digunakan, maka harus

terlebih dahulu memenuhi uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik dalam
penelitian ini terdiri dari uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolineritas,
dan uji heteroskedastisitas.
1

Uji Normalitas
Sebelum dilakukan uji statistik, terlebih dahulu perlu diketahui apakah

sampel yang dipergunakan berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas


bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel dependen dan
variabel independen keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak.
Model regresi yang sahih (valid) adalah distribusi data normal atau

mendekati normal (Santosa dan Ashari, 2005:12). Pengujian normalitas


dilakukan dengan menggunakan P-P Plot Test. Pengujian normalitas dapat
dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari
grafik distribusi normal. Dasar pengambilan keputusannya adalah:
1

Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
diagonalnya, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.Jika
data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti arah

garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.


Uji Autokorelasi
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model

regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t


dengan kesalahan pada periode t-1 (Singgih Santoso, 2012: 241). Metode
pengujian yang sering digunakan adalah dengan uji Durbin Watson (DW)
untuk mendeteksi uji autokorelasi. Namun secara umum bisa diambil
patokan:

40

Angka D-W di bawah - 2 berarti ada autokorelasi positif.


Angka D-W di antara 2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi.
Angka D-W di atas +2, berarti ada autokorelasi negatif.
3 Uji Multikolineritas
Uji ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan linier
antar variabel independen dalam model regresi (Priyatno, 2008:39). Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel
independennya.
Untuk mendeteksi adanya multikolinieritas, menurut Singgih Santoso
(2012:236):
a

Besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance


Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinieritas adalah:
Mempunyai nilai VIF di sekitar 1.
Mempunyai angka tolerance mendekati 1.
Nilai VIF dapat diperoleh dengan rumus berikut:

Besaran Korelasi Antar variabel Independen


pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinieritas adalah:
Koefisien korelasi antar variabel independen haruslah lemah
(dibawah 0.5). Jika korelasi kuat, terjadi problem
multikolinieritas.
Menurut Ghozali (2006:95) dasar pengambilan keputusan:

VIF > 10: Antar variabel independen terjadi multikolinieritas


VIF < 10: antar variabel independen tidak terjadi multikolinieritas

Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke


pengamatan lainnya. Gejala varians yang tidak sama ini disebut dengan

41

heteroskedastisitas, sedangkan adanya gejala residual yang sama dari satu


pengamatan ke pengamatan lain disebut dengan homoskedastisitas.
Sebuah model regresi dikatakan baik jika tidak terjadi heteroskedastisitas.
(Singgih Santoso, 2012:238).
Menurut Singgih Santoso (2012:240) untuk mendeteksi adanya
heteroskedastisitas yaitu deteksi dengan melihat ada tidaknya pola tertentu
pada grafik di atas di mana sumbu X adalah Y yang telah diprediksi, dan
sumbu X adalah residual (Y prediksi Y sesungguhnya) yang telah di
studientized. Maka dasar pengambilan keputusan:

Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik (point-point) yang ada


membentuk suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar

kemudian menyempit), maka telah terjadi Heteroskedastisitas.


Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di

bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi Heteroskedastisitas.


b Uji Regresi
Analisis regresi digunakan untuk memprediksi seberapa jauh nilai
variabel terikat (Y) bila variabel bebas (X) diubah.
Sugiyono (2012: 213) menjelaskan bahwa analisis regresi digunakan
untuk melakukan prediksi, bagaimana perubahan nilai variabel dependen bila
naik variabel independen dinaikkan atau diturunkan nilainnya.
Menurut Sugiyono (2012:270) rumus untuk analisis regresi linear adalah
sebagai berikut:
Y = a + bX
Dimana:
Y = Subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a = Harga Y bila X = 0 (harga konstan)
b = Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka
peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan
pada variabel independen. Bila b (+) maka naik, dan bila (-) maka
terjadi penurunan.
X = Subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu.

42

Teknik analisis data yang digunakan untuk memecahkan permasalahan


yang terdapat dalam penelitian ini adalah teknik analisis kuantitatif, yaitu
analisis data dengan mengadakan perhitungan-perhitungan yang relevan
dengan masalah yang dianalisis. Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik analisis regresi linear berganda, dengan bantuan
program Komputer Statistical Package for Social Science (SPSS) for
windows.
Adapun bentuk umum dari persamaan regresi linear berganda secara
sistematis adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + + bnXn
Keterangan:
Y = Manajemen Laba
a=

Konstanta

b=

Slope atau arah garis regresi yang menyatakan perubahan nilai Y


akibat perubahan X

X1 = Asimetri Informasi
X2 = Kebijakan Deviden
Sebelum model regresi digunakan untuk menguji hipotesis, tentunya
model tersebut harus bebas dari gejala asumsi klasik.
c

Analisis Korelasi Pearson


Dalam analisis korelasi yang dicari adalah koefesien korelasi yaitu angka

yang menyatakan derajat hubungan antara variabel independen dengan


variabel dependen atau untuk mengetahui kuat atau lemahnya hubungan
antara variabel independen dan variabel dependen
Adapun rumus yang digunakan menurut Sugiyono (2012:248) adalah
sebagai berikut:

43

Dimana : r = Koefisien korelasi


Hasil Perhitungan akan memberikan tiga alternatif, yaitu:
a

Apabila nilai r mendekati positif (+) satu variabel berarti variabel X

mempunyai hubungan yang kuat dengan positif terhadap variabel Y.


b Apabila nilai r mendekati negatif (-) berarti variabel X mempunyai
c

pengaruh yang kuat dan negatif terhadap perkembangan variabel Y.


Apabila nilai r mendekati nol (0) maka variabel X kurang mempengaruhi
terhadap perkembangan variabel Y, hal ini berarti bahwa bertambahnya
atau berkurangnya variabel Y tidak mempengaruhi variabel X.
Menurut Sugiyono (2012:250) untuk dapat memberikan penafsiran besar

kecilnya koefisien korelasi, dapat berpedoman pada ketentuan tabel berikut


ini:
Tabel 3.3
Pedoman Untuk Memberikan Interprestasi
Terhadap Koefisien Korelasi
Interval Koefisien
0,00 0,199
0,20 0,399
0,40 0,599
0,60 0,799
0,80 1,00

Tingkat Hubungan
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Kuat
Sangat kuat

Koefisien Determinasi

Sedangkan untuk melihat seberapa besar tingkat pengaruh variabel


independen terhadap variabel dependen secara parsial digunakan koefisien

44

determinasi (Kd) dengan rumus menurut Sugiyono (2012: 257) sebagai


berikut:
Kd = r2 x 100%
Keterangan:
Kd : koefisien determinasi
r2 : koefisien korelasi yang dikuadratkan
2
1

Pengujian Hipotesis
Uji Parsial (t-test)
Uji t(t-test) digunakan untuk menguji hipotesis sacara parsial guna

menunjukan pengaruh tiap variabel independen secara individu terhadap variabel


dependen. Uji t adalah pengujian koefisien regresi masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen.
Dalam hal ini, variabel independennya yaitu perputaran kas dan perputaran
piutang. Sedangkan variabel dependennya yaitu Net Profit Margin. Langkah-langkah
pengujian hipotesis secara parsial adalah sebagai berikut:
1

Merumuskan Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada tidaknya

pengaruh antara variabel X (variabel bebas) dan variabel Y (variabel terikat). Dimana
hipotesis nol (H0) yaitu hipotesis tentang tidak adanya pengaruh. Sedangkan hipotesis
alternatif (H1) merupakan hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini.
Masing-masing hipotesis tersebut dijabarkan sebagai berikut:
H0 : 1 = 0, artinya tidak terdapat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel
terikat.
H1 : 1 0, artinya terdapat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel
terikat.
2

Menghitung Uji t (t-test)


Menurut Sugiyono (2012: 250), mencari tHitung:

45

Keterangan:
r : Korelasi parsial
k : Jumlah variabel independen
n : Jumlah sampel
3

Kriteria Pengambilan Keputusan


a H0 ditolak jika p-value < 0,05 dan thitung > ttable
b

H0 ditolak jika p-value > 0,05 dan thitung < ttable

Anda mungkin juga menyukai