Anda di halaman 1dari 3

Tak Mudah Menjadi Seorang Perawat

Menjadi perawat bukanlah cita-cita ku semenjak kecil, melainkan pilihan terakhir ku


agar aku bisa kuliah. Saat itu, aku yang masih duduk dibangku SMA, tepat ketika aku kelas
XII. Aku yang biasa dipanggil dengan panggilan Fina, alumni SMAN Rambipuji yang tinggal
di Kecamatan Wuluhan, kabupaten Jember, berusaha dengan keras agar menjadi mahasiswa
di perguruan tinggi Negeri yang aku inginkan, yaitu Universitas Brawijaya Malang. Namun
usaha itu tak membuahkan hasil, berbagai ujian masuk perguruan tinggi telah aku ikuti.
Sebelum aku memilih Universitas yang aku inginkan, aku meminta pendapat terlebih dahulu
kepada orang tua dan pacar ku yang anak perawat. Orang tua ku yang kurang mengerti
tentang perguruan tinggi, mereka hanya berpendapat agar aku memilih perguruan tinggi yang
lokasinya dekat dengan rumah, ya... perguruan tinggi dalam kota jember gitu namun aku
bersikeras memilih perguruan tinggi diluar kota yaitu kota Malang. Dengan hati yang tidak
begitu ikhlas gitu, akhirnya orang tua ku mengijinkan aku untuk mendaftar kuliah diluar kota.
Sedangkan pacar yang anak perawat, menyarankan aku untuk kuliah di bidang kesehatan,
ya...seperti dia, perawat. Karena aku tidak suka jadi perawat, jadi dengan spontan aku
langsung menolaknya. Tapi dia tetap aja maksa aku jadi perawat, biar sama-sama perawat
gitu, hemmmm...gak banget jadi perawat, ucapku setiap pacarku, tetangga, teman-teman,
dan saudara-saudara dari ibu ku menyuruh aku jadi perawat.
Dua bulan telah berlalu, semua usaha dan doa telah aku lakukan untuk masuk
perguruan tinggi yang aku inginkan, namun hasilnya aku tidak diterima diperguruan tinggi
yang aku inginkan. Karena aku sudah lelah, capek, dan sedikit frustasi, akhirnya aku minta
pendapat kembali kepada orang tua, dan saran orang tua ku tetap seperti saran pertama.
Ya...dengan berat hati aku menjalankan saran itu, daftar diperguruan tinggi dalam kota.
Selama aku proses daftar diperguruan tinggi, hampir semua tetangga yang aku kenal, temanteman, dan saudara-saudara dari ibu ku, termasuk pacarku, mendesak aku untuk jadi perawat.
seperti biasa aku jawab dengan spontan, enggak banget. Karena kata-kata dari mereka,
orang tua ku jadi ikut-ikutan menyuruh aku jadi perawat, hemmm...makin sebel aja aku.
Pengumuman kelulusan telah diumumkan, dan aku tinggal nunggu pengumuman hasil
ujian masuk perguruan tinggi yang orang tua ku sarankan. Selama menunggu hasil
pengumuman ujian, aku mempunyai kegiatan dilingkungan desa tempat tinggal ku. Satu
bulan telah berlalu, akhirnya pengumuman ujian masuk perguruan tinggi diumumkan, dan
hasilnya aku tidak diterima. Setelah membaca pengumuman itu, dengan spontan aku
1

langsung nangis dan pergi kekamar. Tak lama kemudian ibu datang dan bilang ya sudah gak
apa-apa, mungkin bukan rejekimu, sekarang terserah kamu mau kuliah apa tidak?, kalau mau
kuliah, kata mbak Nina di Poltekkes Malang masih buka pendaftaran Mahasiswa baru jalur
mandiri, coba kamu daftar disana. Dengan wajah frustasi aku meluk ibu dan bilang kuliah
perawat bu??, aku kan gak suka jadi perawat bu, tapi kalau gak ada jalan lain dan ini memang
takdir ku ya sudahlah akan aku coba, besok aku akan kerumah wati untuk daftar, soalnya dia
dari kemarin mengajak aku daftar di Poltekkes Malang. Ya sudah kalau gitu, kata ibu.
Keesokan harinya aku daftar ujian mandiri di Poltekkes Malang, kami ujian berangkat
sendiri tanpa didampingi oleh orang tua. Saat aku lulus ujian, ternyata teman ku tidak lulus
ujian. Rasa senang bercampur sedih aku alami. Saat inilah awal dimulainya kesedihan dan
kebahagianku untuk menjadi seorang perawat. Tak hanya sedih karena teman ku yang tidak
lulus ujian, tapi karena konflik antara orang tua ku dengan om dan tante dari bapak ku.
Mereka konflik gara-gara om dan tante ku tidak setuju jika kuliah, mereka lebih
menginginkan aku kerja. Konflik tetap terjadi, namun aku harus tetap fokus dengan kuliah
ku. Karena aku harus membuktikan kepada om dan tante ku kalau aku bisa jadi anak yang
dibanggakan. Pembuktian itu harus aku tempuh dengan mengorbankan persaan ku, yaitu
memutuskan pacarku, karena orang tua ku melarang aku untuk pacaran.
Masa-masa kuliah aku jalani dengan senang dan sedih, berbagai rintangan aku jalani.
Setelah aku merenung, ternyata tak mudah menjadi seorang perawat. Selain harus belajar
yang rajin tentang ilmu-ilmu keperawatan, perawat juga harus bisa menangani klien dengan
sabar dan tersenyum. Pengetahuan dan skill sangat dibutuhkan oleh seorang perawat. jadi
perawat membuat ku berubah lebih baik, aku yang dulunya emosional dan tidak telaten,
setelah menjadi perawat, aku menjadi manusia yang sabar dan telaten, itu aku dapatkan
ketika aku kuliah dan bertugas dirumah sakit. Dirumah sakit banyak orang yang terjangkit
berbagai macam penyakit, baik menular maupun tidak menular, seperti HIV, hepatitis,
malaria, dan lain sebagainya. Disinilah aku harus sabar dan telaten dalam merawat mereka
yang sakit. Tidak hanya itu saja, aku harus berani menanggung resiko apapun yang terjadi
kepada klien dan diriku, penyakitlah musuh ku. Tidak menutup kemungkinan jika aku
terinfeksi penyakit nosokomial, karena setiap harinya bertemu dengan berbagai macam
penyakit.
Saat klien ku anak kecil yang terjangkit cancer (Ca) melakukan kemoterapi, begitu
terenyuhnya hatiku dalam merawat anak kecil ini. Rasa simpati atau Empatikah yang harus
aku berikan, aku tidak tega melihat dia menangis kesakitan saat aku menyuntikan obat, tapi
sebagai perawat aku harus menyuntikan obat itu agar anak kecil itu lekas sembuh. Saat aku
2

merawatnya, aku berpikir begitu kasihan anak ini, masih kecil sudah menanggung beban
yang begitu berat dan rasa sakit yang begitu hebat. Hari-hari yang harusnya dia lewati dengan
senyuman, belajar dan bermain dengan teman-teman, tapi dia lewati didalam rumah sakit.
Saat itulah aku harus membuatnya tersenyum dan melupakan rasa sakit yang dialaminya.
Dengan sabar, telaten, dan penuh semangat aku merawatnya setiap hari agar dia tidak merasa
kesepian dan sedih. Selain itu agar dia mempunyai semangat untuk hidup dan sembuh dari
penyakitnya.
Bukan hanya anak kecil yang aku hadapi tapi juga para lansia. Menghadapi klien lansia
tidak semudah mengahadapi klien anak kecil, karena rata-rata lansia itu lebih cerewet dan
susah untuk dinasehati. Masih belum kena omelan baik dari keluarga klien maupun kepala
ruangan.Tapi semua itu harus aku hadapai dengan lapang dada. Itu semua masih belum
seberapa, yang paling aku sebalkan adalah saat hari raya idul fitri berkumpul dengan
keluarga, saat itu juga kau harus tugas dirumah sakit, betapa sedihnya aku karena tidak bisa
berkumpul denga keluarga. Namun saat aku melihat klien ku yang membutuhkan perawatan
ku, aku bersyukur atas kenikmatan sehat yang diberikan Allah SWT kepada aku dan
keluargaku.
Dulu aku yang awalnya tidak suka menjadi perawat dan menyepelekan seorang
perawat. Kini aku menyadari setelah merasakan semuanya, bahwa tidaklah mudah menjadi
seorang perawat, karena seorang perawat harus berdoa agar kliennya cepat sembuh dan
dirinya tidak terinfeksi penyakit nosokomial, berusaha agar kliennya merasa nyaman saat
dirawat, dan mengorbankan kebersamaan bersama keluarga untuk merawat orang lain.
Sungguh mulia seorang perawat, merelakan kebahagaian besama keluarga demi merawat
orang lain.

Diskripsi Penulis
Dzurrotun Nafiah, lahir pada tanggal 05 maret 1996 di Jember, Jawa Timur. Alumni
SMAN Rambipuji, Jember, jurusan IPA. Memiliki pengalaman mengajar pramuka tingkat
SD, ikut serta dalam organisasi kepramukaan dan kegiatan-keagiatan dilingkungan desa
tempat tinggal. Sekarang kuliah di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, Prodi D-IV
Keperawatan Lawang.

Anda mungkin juga menyukai