Makala H
Makala H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tanaman, 940 di antaranya
digunakan sebagai tanaman obat. Penggunaan tanaman obat sebagai
pengobatan tradisional merupakan pilihan pengobatan yang kini makin
diminati, terlebih lagi dengan kesadaran untuk kembali ke alam dan juga
karena relatif aman dan murah, bahkan dengan perkembangan yang kini ada
makin mendapat perhatian bagi alternatif pelayanan kesehatan. Dari berbagai
penelitian, obat tradisional telah diakui keberadaannya oleh masyarakat,
dengan demikian meningkatkan manfaat tanaman bagi kesehatan dan
menciptakan kondisi yang mendorong pengembangan obat tradisional
(Hendrawati, 2009).
Salah satu tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat
secara turun temurun ialah tanaman Patah tulang. Tanaman Patah tulang telah
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati nyeri lambung, tukak rongga
hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri syaraf, wasir, sifilis, penyakit kulit,
kusta, kaki dan tangan yang mati rasa dan juga digunakan sebagai obat
antikanker (Dalimartha, 2003; Taylor, 2002).
Kanker menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia dan
penyakit pembunuh terbesar kedua setelah kardiovaskuler. Pengobatan
konvensional yang umum dilakukan pada penyakit kanker ialah dengan
pembedahan, kemoterapi dan radioterapi (Apantaku, 2002). Namun, terapi
kanker secara pembedahan tidak dapat dilakukan khususnya pada sel kanker
yang telah menyebar (metastasis), sementara pengobatan kemoterapi dan
radiasi dapat menimbulkan efek samping meskipun pengobatan kemoterapi
mampu mengeluarkan keseluruhan tumor (Hawariah, 1998). Saat ini kanker
merupakan penyakit yang paling mematikan. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk menemukan senyawa yang baru yang dapat digunakan sebagai
antikanker.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker
Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar
di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa setiap
tahun penyakit kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang dan dalam tahun
2010 mendatang diperkirakan 9 juta orang meninggal akibat kanker. Di
Indonesia setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker baru dari setiap
100.000 penduduk. Penyakit kanker saat ini menduduki urutan ke-3 penyebab
kematian sesudah penyakit jantung dan paru-paru (Sofyan, 2000).
Pengobatan terhadap kanker dapat dilakukan dengan cara
pembedahan, kemoterapi (termasuk imunoterapi dan pemberian hormon),
radioterapi, atau alternatif lain melalui ramuan tradisional dari tanaman
(Sukardiman et al., 2003). Tanaman obat yang berkhasiat mengatasi beberapa
penyakit sudah banyak dibuktikan walaupun baru pada tahap empiris. Agar
peranan obat tradisional dapat lebih ditingkatkan perlu didorong upaya
pengenalan, penelitian, pengujian dan pengembangan khasiat serta keamanan
suatu tumbuhan obat, sehingga keberadaannya dapat dikenal di kalangan
medis (Wijayakusuma, dkk., 1995).
Obat tradisional dikatakan rasional, jika terbukti secara ilmiah
memberikan manfaat klinik dalam pencegahan atau pengobatan penyakit dan
tidak menyebabkan efek samping serius dalam arti aman pada manusia
(Dalimartha, 2000). Tanaman obat telah banyak digunakan untuk pengobatan
penyakit kanker, baik sebagai pencegahan maupun pengobatan. Berbeda
dengan pengobatan kanker menggunakan obat sintetik yang dapat diberikan
sebagai obat utama atau sebagai terapi adjuvant, pengobatan dengan obat
berasal dari tumbuhan dapat pula digunakan untuk pencegahan. Dalam
prakteknya,
pengobatan
selalu
menggunakan
terapi
kombinasi
dari
lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri saraf,
wasir dan siphilis (Dalimartha, 2003).
Bagian batang kayu digunakan untuk sakit kulit, kusta (Marbus
Hansen) dan kaki dan tangan baal. Herbanya dapat digunakan untuk
mengobati bisul, kurap, terkilir, tulang patah, rematik, tahi lalat membesar
dan gatal, cacar ular (Herpes zoster), borok/ulkus karena frambusia, sakit
gigi, radang telinga, dan tertusuk duri atau tulang ikan, atau dapat juga
dicampur dengan susu untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal,
kurap, tumor, kutil dan hafalan (alavus) (Dalimartha, 2003). Gilingan halus
kulit luar dahan patah tulang, hasil gilingan ditempelkan pada kulit di atas
tulang yang patah dapat mengobati tulang patah (Hariana, 2007).
nutrisinya
yang
tinggi, terutama
karena
kandungan
proteinnya (40-60% dari berat total) dan kaya akan asam lemak
esensial. Klasifikasi artemia biasanya dilakukan berdasarkan lokasi
berkembangnya artemia tersebut. Artemia yang berkembang secara alami
di suatu lokasi atau kawasan mempunyai karakteristik morfologi dan
taksonomi yang berbeda (Wibowo, dkk., 2013).
Klasifikasi Artemia salina :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Branchiopoda
Ordo
: Anostraca
Famili
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Spesies
terdiri atas jenis jantan dan betina yang melakukan perkawinan, yang
kemudian menghasilkan embrio (Bachtiar, 2003).
Daur hidup artemia mengalami beberapa fase sebagai berikut :
a. Fase kista (telur)
Fase kista adalah suatu kondisi istirahat pada hewan crustacea tingkat
rendah seperti artemia. Ketika direndam ke dalam air laut, kista atau
telur akan menyerap air (hidrasi), akibatnya di dalam kista terjadi
proses metabolisme embrio yang aktif. Berselang 24-48 jam kemudian,
cangkang kista akan pecah dan muncul embrio yang masih terbungkus
oleh selaput penetasan.
b. Fase nauplius
Nauplius adalah larva stadium tingkat pertama dari artemia. Embrio
yang masih terbungkus selaput penetasan akan berkembang menjadi
organisme baru yang dapat berenang bebas di perairan. Fase ini diawali
oleh pecahnya selaput penetasan yang masih membungkus embrio
(nauplius). Larva ini berwarna jingga kecokelatan karena membawa
kuning telur yang melekat pada tubuhnya. Panjang tubuh nauplius 0,4-0,7
mm dengan berat 15-20 mcg.
c. Fase dewasa
Fase dewasa adalah kondisi nauplius yang telah berkembang menjadi
artemia dewasa. Ciri artemia dewasa adalah terdapat sepasang mata
majemuk dan antena sensor pada kepala serta memiliki saluran
pencernaan. Tubuh artemia dewasa dapat mencapai 1-2 cm dan beratnya
sekitar 10 mg (Bachtiar, 2003).
D. Brine Shimp Lethality Test
Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan salah satu metode
untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai suatu
bioassay yang pertama untuk penelitian bahan alam. Metode ini
menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas
dengan metode BST ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari
suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama
24 jam setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC
50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva Artemia salina
Leach. Suatu ekstrak dikatakan toksik berdasarkan metode BST jika harga LC
< 1000 g/ ml (Mayer BNNR, Ferrigni ML, 1982).
Penelitian Carballo dkk menunjukkan adanya hubungan yang
konsisten antara toksisitas dan letalitas Brine shrimp pada ekstrak tanaman.
Metode BST dapat dipercaya untuk menguji aktivitas farmakologis dari
bahan-bahan alami (Carballo JL dkk, 2002).
Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC 50
dengan metode BST, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai
obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut
dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan
hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina seperti mencit dan
tikus secara in vivo (Carballo JL dkk, 2002).
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu
metode uji toksisitas untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik.
Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan
coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas
akut, yaitu efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu
singkat setelah pemberian dosis uji (Wibowo, dkk., 2013).
Penggunaan Artemia salina ini memang tidak spesifik untuk
antikanker maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian
terdahulu menunjukkan
adanya
korelasi
yang
signifikan
terhadap
menggunakan
BSLT
diterapkan
dengan
10
BAB III
METODELOGI
A. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman
Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.), air laut, larva Artemia salina Leach,
aquades, Metanol (Merck), kloroform (Merck), ammonia (Merck), asam
sulfat (Merck), pereaksi mayer (Merck), asam klorida (Merck), besi klorida
(Merck), serbuk magnesium (Merck), asetat anhidrat (Merck), DMSO
(Dimetil sulfoksida) (Oratmangun, dkk, 2014).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat-alat gelas
Laboratorium (Pyrex), rak tabung reaksi, blender (laboratory blender),
aluminium foil, timbangan analitik (AND), mikropipet, loop, kertas saring,
aerator, hot plate, lampu pijar, ayakan mesh 200, oven (Memmert), vortex,
11
12
foil dan dibiarkan terendam selama 3 hari terlindung dari cahaya (setiap hari
digojok) (Oratmangun, dkk, 2014).
Setelah 3 hari, sampel yang direndam tersebut disaring dengan
menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat (Filtrat I) dan residunya
diremaserasi dengan kloroform sebanyak 200 mL, ditutup dengan alumunium
foil dan dibiarkan selama 2 hari, sampel tersebut disaring menggunakan
kertas saring, sehingga diperoleh ekstrak maserat (Filtrat II). Selanjutnya
semua maserat kloroform digabungkan (Filtrat I + Filtrat II) dan diuapkan
dengan menggunakan alat penguap Rotary evaporator pada temperatur 400C
sampai volumenya menjadi dari volume awal dan dilanjutkan dengan
pengeringan dengan menggunakan water bath pada suhu 400C sehingga
menghasilkan ekstrak kental kloroform (Oratmangun, dkk, 2014).
13
pengujian,
untuk
masing-masing
konsentrasi
ekstrak
sampel
14
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pembuatan Ekstrak Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)
Serbuk patah tulang yang digunakan sebesar 100 g untuk masing
masing pelarut, kemudian diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan
pelarut metanol dan kloroform masingmasing 700 mL. Proses maserasi
dilakukan selama 3 hari dan remaserasi selama 2 hari. Hasil maserat (Filtrat I
+ Filtrat II) kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada
suhu 400C. Sehingga diperoleh ekstrak kental metanol 10,49 g dan ekstrak
kental klorofrom 5,33 g. Hasil ekstraksi bahan aktif dan besar rendemen
tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dapat dilihat pada Tabel 1
(Oratmangun, dkk, 2014).
16
17
Hasil yang diperoleh dibuat grafik yang terlihat pada Gambar 10 yang
menunjukkan hubungan antara persentase kematian larva Artemia salina
dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam kloroform (Oratmangun, dkk,
2014).
18
19
pernyataan di atas, maka ekstrak patah tulang bersifat toksik. Hal ini
ditunjukkan oleh perolehan data yang berasal dari kedua pelarut baik metanol
maupun kloroform. Ekstrak metanol memiliki nilai LC50 sebesar 332,2489
g/ml dan ekstrak kloroform memiliki LC50 pada sebesar 240,6432 g/ml,
menurut McLaughlin berpotensi sebagai pestisida (Oratmangun, dkk, 2014).
Skrining Fitokimia
Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui
kandungan metabolit sekunder pada suatu tanaman secara kualitatif. Analisis
fitokimia Pada penelitian ini dilakukan terhadap tanaman patah tulang yang
sudah dimaserasi menggunakan pelarut metanol dan kloroform. Pengujiannya
dilakukan dengan cara mengambil sedikit sampel dari kedua ekstrak tersebut,
lalu ditambahkan reagen sesuai dengan senyawa yang akan diidentifikasi.
Senyawa-senyawa yang diperiksa keberadaannya adalah alkaloid, flavonoid,
tanin, saponin dan steroid (Oratmangun, dkk, 2014).
Hasil analisis fitokimia pada ekstrak patah tulang (Euphorbia tirucalli
L.) dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:
20
flavonoid
dan
tanin
mempunyai
mekanisme
efek
dengan
menghibisi
aktivitas
protein
kinase
sehingga
21
22
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak metanol dan kloroform dari tanaman Patah Tulang (Euphorbia
tirucalli L.) bersifat toksik dan berpotensi sebagai pestisida. Nilai LC50
ekstrak metanol tanaman Patah Tulang ialah 332,2489 g/ml,
sedangkan LC50 dari ekstrak kloroform tanaman Patah Tulang ialah
240,6432 g/ml.
2. Senyawa yang terkandung didalam ekstrak tanaman Patah Tulang
(Euphorbia tirucalli L.) yang diduga bersifat toksik yaitu Flavonoid,
Alkaloid dan Tanin.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
menunjukkan ekstrak metanol dan kloroform tanaman patah tulang
memiliki potensi toksisitas, sehingga perlu dilakukan pengujian
bioaktivitas lebih lanjut terhadap tanaman ini.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kandungan kimia yang
memiliki potensi toksisitas, dengan mengisolasi dan mengidentifikasi
senyawa sitotoksik yang terdapat dalam tanaman patah tulang sampai
menentukan struktur molekul/senyawa aktif.
DAFTAR PUSTAKA
23
for
Breast
Cancer.
Cahyadi, R. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah pare (Momordica
charantia L) Terhadap larva Artemia salina Leachdengan metodeBrine
shrimp lethality test (BST). Universitas Dipenogoro Repository.5: 1-8.
Carballo JL, Hernandez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravaloz MD. Comparison
Between Two Brine Shrimp Assays to Detect In Vitro Cytotoxicity In
Marine Natural Products. BMC Biotechnology. 2002;2:1472-6570.
Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 3. Jakarta: Puspa
Swara. Hal. 89-92.
Dwiatmaka, Y. 2000. Skrining tanaman Berkhasiat Antikanker Dengan Metode
BST, dalam Yuswanto, Ag. dan Sinaradi (Eds.). Kanker. Yogyakarta:
Penerbitan Universitas Sanata Dharma. hal: 110-113.
Ganiswara. 2003. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, 636-701. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi ke dua. Bandung: Penerbit ITB.
Harborne, J. B. 1994. The Flavonoids. Chapman and Hall. London.
Hawariah, L.P. 1998. Kanker Payudara. Serdang: Penerbit universiti Putra
Malaysia.
Hendrawati A. R. S. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Kemangi
(Ocimum sanctum Linn.) Terhadap Artemia salina Leach Dengan
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Skripsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kurnia, A., Pertamawati., Rifatul W., Hendig, W. 2005. Efek Penghambat
Pertumbuhan Cell-line Secara In-Vitro dari Ekstrak Etanol Buah
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff.). Artocarpus, Vol 5 (2), 89.
24
Mayer BNNR, Ferrigni ML. Brine Shrimp A Convinient General Bioassay For
Active Plant Constituents. J of Plant Medical Research. 1982;45:31-34.
Mc. Laughlin, J. L., Chang, C. J., and Smith, D. L. 1991. Bench-Top, Bioassay for
The Discovery of Bioactive Naturals Products, An Update, Natural
Product Chemistry. Elseiveir, Amsterdam.
Meyer, B.N., et al., 1982. Brine Shrimp : A Convenient General Bioassay for
Active Plant Constituent. Drug Information Journal, Vol. 32, 513-524.
Mudjiman, A. 1988. Udang Renik Air Asin (Artemia salina). Jakarta: Bhatara
Karya Aksara.
Oratmangun, Sandriani A., Fatimawali, Widdhi Bodhi. 2014. Uji Toksisitas
Ekstrak Tanaman Patah Tulang (Euphorbia Tirucalli L.) Terhadap
Artemia Salinadengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt) Sebagai
Studi Pendahuluan Potensi Anti Kanker. Pharmacon jurnal Ilmiah
Farmasi UNSRAT Vol. 3 No. 3 Agustus 2014 ISSN 2302 -2493.
Scheuer, J. S. 1994. Produk Alami Lautan. Cetakan pertama. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Sismindari, Sudjadi, Sulistyani, N. 2002. Aktivitas Pemotongan DNA Superkoil
oleh Fraksi Protein Daun Morinda citrifolia.
Majalah Farmasi
Indonesia, 13 (4), 174-179.
Sukardiman, Puspitasari, H.p., Widyawaryanti. 2003. Uji Aktivitas Ekstrak
Metanol Herba Ageratum congzides L pada Kultur Sel Myeloma Mencit.
Majalah Farmasi Airlangga, Vol.3, 93.
Taylor
L.
2002.
The
Healing
Power
http//www.raintree.com/aveloz.htm
Of
Rainforest
Herbs.