Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki sekitar 30.000 spesies tanaman, 940 di antaranya
digunakan sebagai tanaman obat. Penggunaan tanaman obat sebagai
pengobatan tradisional merupakan pilihan pengobatan yang kini makin
diminati, terlebih lagi dengan kesadaran untuk kembali ke alam dan juga
karena relatif aman dan murah, bahkan dengan perkembangan yang kini ada
makin mendapat perhatian bagi alternatif pelayanan kesehatan. Dari berbagai
penelitian, obat tradisional telah diakui keberadaannya oleh masyarakat,
dengan demikian meningkatkan manfaat tanaman bagi kesehatan dan
menciptakan kondisi yang mendorong pengembangan obat tradisional
(Hendrawati, 2009).
Salah satu tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat
secara turun temurun ialah tanaman Patah tulang. Tanaman Patah tulang telah
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengobati nyeri lambung, tukak rongga
hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri syaraf, wasir, sifilis, penyakit kulit,
kusta, kaki dan tangan yang mati rasa dan juga digunakan sebagai obat
antikanker (Dalimartha, 2003; Taylor, 2002).
Kanker menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia dan
penyakit pembunuh terbesar kedua setelah kardiovaskuler. Pengobatan
konvensional yang umum dilakukan pada penyakit kanker ialah dengan
pembedahan, kemoterapi dan radioterapi (Apantaku, 2002). Namun, terapi
kanker secara pembedahan tidak dapat dilakukan khususnya pada sel kanker
yang telah menyebar (metastasis), sementara pengobatan kemoterapi dan
radiasi dapat menimbulkan efek samping meskipun pengobatan kemoterapi
mampu mengeluarkan keseluruhan tumor (Hawariah, 1998). Saat ini kanker
merupakan penyakit yang paling mematikan. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk menemukan senyawa yang baru yang dapat digunakan sebagai
antikanker.

Sebagai skrining awal senyawa antikanker, metode yang dapat


dipergunakan adalah metode Brine Shrimplethality Test (BSLT) yaitu uji
toksisitas senyawa terhadap larva udang Artemia salina. Metode ini telah
dibuktikan memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa
antikanker (Meyer et al., 1982). Selain itu, metode ini mudah, murah, cepat
dan cukup akurat. Metode ini dilakukan dengan menentukan besarnya LC50
selama 24 jam (Meyer et al., 1982).
Suatu ekstrak tanaman atau senyawa hasil isolasi yang memiliki nilai
LC50 < 1000 g/mL dapat diduga memiliki efek sitotoksis (Dwiatmaka,
2000).
B. Rumusan Masalah
Apakah Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.) sebagai antikanker?
C. Tujuan
Untuk mengetahui apakah Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)
dapat digunakan sebagai antikanker.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker
Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar
di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa setiap
tahun penyakit kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang dan dalam tahun
2010 mendatang diperkirakan 9 juta orang meninggal akibat kanker. Di
Indonesia setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker baru dari setiap
100.000 penduduk. Penyakit kanker saat ini menduduki urutan ke-3 penyebab
kematian sesudah penyakit jantung dan paru-paru (Sofyan, 2000).
Pengobatan terhadap kanker dapat dilakukan dengan cara
pembedahan, kemoterapi (termasuk imunoterapi dan pemberian hormon),
radioterapi, atau alternatif lain melalui ramuan tradisional dari tanaman
(Sukardiman et al., 2003). Tanaman obat yang berkhasiat mengatasi beberapa
penyakit sudah banyak dibuktikan walaupun baru pada tahap empiris. Agar
peranan obat tradisional dapat lebih ditingkatkan perlu didorong upaya
pengenalan, penelitian, pengujian dan pengembangan khasiat serta keamanan
suatu tumbuhan obat, sehingga keberadaannya dapat dikenal di kalangan
medis (Wijayakusuma, dkk., 1995).
Obat tradisional dikatakan rasional, jika terbukti secara ilmiah
memberikan manfaat klinik dalam pencegahan atau pengobatan penyakit dan
tidak menyebabkan efek samping serius dalam arti aman pada manusia
(Dalimartha, 2000). Tanaman obat telah banyak digunakan untuk pengobatan
penyakit kanker, baik sebagai pencegahan maupun pengobatan. Berbeda
dengan pengobatan kanker menggunakan obat sintetik yang dapat diberikan
sebagai obat utama atau sebagai terapi adjuvant, pengobatan dengan obat
berasal dari tumbuhan dapat pula digunakan untuk pencegahan. Dalam
prakteknya,

pengobatan

selalu

menggunakan

terapi

kombinasi

dari

bermacam-macam tumbuhan obat dengan memperhatikan efek samping yang


mungkin terjadi (Kurnia, 2006).
Antikanker diharapkan dapat memiliki toksisitas selektif artinya
menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Ganiswara,
2003). Suatu tanaman dapat dikembangkan sebagai alternatif antikanker

dengan mengetahui keberadaan Ribosom Inactivating Protein tanaman


tersebut (Sismindari et al., 2002).
B. Tanaman Euphorbia tirucalli L
Tanaman Euphorbia tirucalli L. telah secara empiris digunakan
untuk gastritis, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit dan sifilis.
Sedangkan batang kayunya digunakan untuk sakit kulit kusta, mengeluarkan
duri, pecahan kaca, tulang ikan dan benda tajam lainnya dari kulit tertusuk
duri serta kutil (Dalimartha, 2003).
1 Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.)
a Uraian Tanaman
Patah tulang berasal dari Afrika tropis. Di Indonesia, ditanam
sebagai tanaman pagar, tanaman hias, di pot, tanaman obat, atau
tumbuhan liar. Patah tulang dapat ditemukan dari dataran rendah sampai
ketinggian 600 m di bawah permukaan laut. Tanaman ini menyukai
tempat terbuka yang terkena cahaya matahari langsung (Dalimartha,
2003).
Perdu yang tumbuh tegak ini mempunyai tinggi 2-6 m dengan
pangkal berkayu, bercabang banyak dan bergetah seperti susu yang
beracun. Patah tulang mempunyai ranting yang bulat silindris berbentuk
pensil, beralur halus membujur, dan berwarna hijau. Rantingnya setelah
tumbuh sekitar 1 jengkal akan segera bercabang dua yang letaknya
melintang, demikian seterusnya sehingga tampak seperti percabangan
yang terpatah-patah daunnya jarang, terdapat pada ujung ranting yang
masih muda kecil-kecil berbentuk ionset, panjang 7-25 mm, dan cepat
rontok, bunga majemuk, tersusun seperti mangkuk, warnanya kuning
kehijauan, keluar dari ujung ranting. Jika masak buahnya akan pecah
dan melemparkan bijibijinya (Dalimartha, 2003).
Jika dibakar, ranting patah tulang yang telah kering dapat
mengusir nyamuk. Getahnya untuk meracuni ikan sehingga mudah
ditangkap. Namun, jika getah patah tulang mengenai mata, bias
menyebabkan buta. Di Jawa, tanaman ini jarang berbunga. Perbanyakan
dilakukan dengan stek batang (Dalimartha, 2003). Patah tulang dirawat

dengan disiram air yang cukup, dijaga kelembaban tanahnya dan


b

dipupuk dengan pupuk dasar (Hariana A, 2007).


Sistematika dan Klasifikasi Tanaman Euphorbia tirucalli L.
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivision
: Spermayophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Subclass
: Rosidae
Ordo
: Euphorbiales
Family
: Euphorbiaceae
Genus
: Euphorbia
Species
: Euphorbia tirucalli L.
Kandungan Kimia
Tanaman Euphorbia tirucalli L. getahnya mengandung sifat
asam (acid latex), mengandung senyawa euphorbia taraksaterol, laktucerol, euphol, senyawa dammar yang menyebabkan rasa tajam
ataupun kerusakan pada selaput lendir, kautschuk (zat karet) dan zat
pahit. Herba patah tulang mengandung glikosid, sapogenin, dan asam
ellaf (Dalimartha, 2003).
Patah tulang mempunyai rasa tawar, tetapi semakin lama
menimbulkan rasa tebal di lidah, berbau lemah, dan getahnya beracun.
Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam getah patah tulang
diantaranya senyawa euphorbone, taraksasterol, -laktucerol, euphol,
senyawa dammar. Hingga saat ini efek farmakologis patah tulang belum

banyak diketahui (Hariana, 2007).


Nama Daerah, Nama Asing, Nama Simplisia
Tanaman patah tulang di Indonesia memiliki beberapa nama
daerah seperti patah tulang (Sumatra); susuru (Sunda); kayu urip,
pancing tawa, tikel balung (Jawa), kayu potong (Jawa Timur) (Hariana,
2007). Kayu jaliso, kayu leso, kayu longtolangan, kayu tabar (Madura);
Lu san hu (Cina); milk bush, finger tree, fotbad plant tirucalli (Inggris).

Nama simplisia Tirucalli Herba (Dalimartha, 2003).


Manfaat Tanaman
Tanaman patah tulang secara tradisional digunakan sebagai obat.
Bagian akar dan ranting digunakan untuk pengobatan gastritis/nyeri

lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri saraf,
wasir dan siphilis (Dalimartha, 2003).
Bagian batang kayu digunakan untuk sakit kulit, kusta (Marbus
Hansen) dan kaki dan tangan baal. Herbanya dapat digunakan untuk
mengobati bisul, kurap, terkilir, tulang patah, rematik, tahi lalat membesar
dan gatal, cacar ular (Herpes zoster), borok/ulkus karena frambusia, sakit
gigi, radang telinga, dan tertusuk duri atau tulang ikan, atau dapat juga
dicampur dengan susu untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal,
kurap, tumor, kutil dan hafalan (alavus) (Dalimartha, 2003). Gilingan halus
kulit luar dahan patah tulang, hasil gilingan ditempelkan pada kulit di atas
tulang yang patah dapat mengobati tulang patah (Hariana, 2007).

C. Artemia salina Leach


1. Klasifikasi Artemia salina Leach
Artemia adalah jenis udang-udangan kecil tingkat rendah
yang digolongkan sebagai zooplankton. Artemia atau yang juga dikenal
dengan nama brine shrimp merupakan hewan dari kelas crustacea yang
hidup di air bergaram. Crustacea ini sangat populer di kalangan pembenih
udang karena dapat memacu pertumbuhan benih, mudah di cerna, dan
kandungan

nutrisinya

yang

tinggi, terutama

karena

kandungan

proteinnya (40-60% dari berat total) dan kaya akan asam lemak
esensial. Klasifikasi artemia biasanya dilakukan berdasarkan lokasi
berkembangnya artemia tersebut. Artemia yang berkembang secara alami
di suatu lokasi atau kawasan mempunyai karakteristik morfologi dan
taksonomi yang berbeda (Wibowo, dkk., 2013).
Klasifikasi Artemia salina :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Subfilum

: Crustacea

Kelas

: Branchiopoda

Ordo

: Anostraca

Famili

: Artemiidae

Genus

: Artemia

Spesies

: Artemia salina (Linnaeus, 1758) ( Dumitrascu, 2011).

2. Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach

Gambar 2.1. Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach (Bachtiar, 2003).


Artemia berkembangbiak dengan dua cara, yakni secara partenogenesis
dan biseksual. Seluruh populasi artemia pada perkembangbiakan secara
partenogenesis adalah betina. Artemia betina ini kemudian bertelur, menetas
dan Menghasilkan individu baru berupa embrio tanpa dibuahi oleh sperma
artemia

jantan. Populasi artemia yang berkembangbiak secara biseksual

terdiri atas jenis jantan dan betina yang melakukan perkawinan, yang
kemudian menghasilkan embrio (Bachtiar, 2003).
Daur hidup artemia mengalami beberapa fase sebagai berikut :
a. Fase kista (telur)
Fase kista adalah suatu kondisi istirahat pada hewan crustacea tingkat
rendah seperti artemia. Ketika direndam ke dalam air laut, kista atau
telur akan menyerap air (hidrasi), akibatnya di dalam kista terjadi
proses metabolisme embrio yang aktif. Berselang 24-48 jam kemudian,
cangkang kista akan pecah dan muncul embrio yang masih terbungkus
oleh selaput penetasan.
b. Fase nauplius
Nauplius adalah larva stadium tingkat pertama dari artemia. Embrio
yang masih terbungkus selaput penetasan akan berkembang menjadi
organisme baru yang dapat berenang bebas di perairan. Fase ini diawali
oleh pecahnya selaput penetasan yang masih membungkus embrio
(nauplius). Larva ini berwarna jingga kecokelatan karena membawa

kuning telur yang melekat pada tubuhnya. Panjang tubuh nauplius 0,4-0,7
mm dengan berat 15-20 mcg.
c. Fase dewasa
Fase dewasa adalah kondisi nauplius yang telah berkembang menjadi
artemia dewasa. Ciri artemia dewasa adalah terdapat sepasang mata
majemuk dan antena sensor pada kepala serta memiliki saluran
pencernaan. Tubuh artemia dewasa dapat mencapai 1-2 cm dan beratnya
sekitar 10 mg (Bachtiar, 2003).
D. Brine Shimp Lethality Test
Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan salah satu metode
untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai suatu
bioassay yang pertama untuk penelitian bahan alam. Metode ini
menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas
dengan metode BST ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari
suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama
24 jam setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC
50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva Artemia salina
Leach. Suatu ekstrak dikatakan toksik berdasarkan metode BST jika harga LC
< 1000 g/ ml (Mayer BNNR, Ferrigni ML, 1982).
Penelitian Carballo dkk menunjukkan adanya hubungan yang
konsisten antara toksisitas dan letalitas Brine shrimp pada ekstrak tanaman.
Metode BST dapat dipercaya untuk menguji aktivitas farmakologis dari
bahan-bahan alami (Carballo JL dkk, 2002).
Apabila suatu ekstrak tanaman bersifat toksik menurut harga LC 50
dengan metode BST, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai
obat anti kanker. Namun, bila tidak bersifat toksik maka tanaman tersebut
dapat diteliti kembali untuk mengetahui khasiat lainnya dengan menggunakan
hewan coba lain yang lebih besar dari larva Artemia salina seperti mencit dan
tikus secara in vivo (Carballo JL dkk, 2002).
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu
metode uji toksisitas untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik.
Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan

coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas
akut, yaitu efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu
singkat setelah pemberian dosis uji (Wibowo, dkk., 2013).
Penggunaan Artemia salina ini memang tidak spesifik untuk
antikanker maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian
terdahulu menunjukkan

adanya

korelasi

yang

signifikan

terhadap

beberapa bahan, baik berupa ekstrak tanaman atau aksinya sebagai


antikanker secara lebih cepat dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan
sitotoksik yang umum, misalnya dengan biakan sel kanker. Melihat
adanya potensi sebagai antikanker tersebut, maka penelitian lanjutan
dapat dilanjutkan, yaitu dengan mengisolasi senyawa berkhasiat yang
terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring aktivitasnya dengan uji
larva udang atau metode yang lebih spesifik sebagai antikanker (Meyer,
dkk., 1982). Pengujian

menggunakan

BSLT

diterapkan

dengan

menentukan nilai Lethal Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24


jam. Nilai LC50 merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu
bahan penyebab kematian sebesar 50% dari jumlah hewan uji (Wibowo, dkk.,
2013)

10

BAB III
METODELOGI
A. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman
Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.), air laut, larva Artemia salina Leach,
aquades, Metanol (Merck), kloroform (Merck), ammonia (Merck), asam
sulfat (Merck), pereaksi mayer (Merck), asam klorida (Merck), besi klorida
(Merck), serbuk magnesium (Merck), asetat anhidrat (Merck), DMSO
(Dimetil sulfoksida) (Oratmangun, dkk, 2014).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat-alat gelas
Laboratorium (Pyrex), rak tabung reaksi, blender (laboratory blender),
aluminium foil, timbangan analitik (AND), mikropipet, loop, kertas saring,
aerator, hot plate, lampu pijar, ayakan mesh 200, oven (Memmert), vortex,

11

water bath, vacum rotary evaporator (Steroglass 3000) (Oratmangun, dkk,


2014).
B. Pengambilan dan Persiapan Sampel
Sampel yang digunakan ialah Ranting Patah Tulang (Euphorbia
tirucalli L.) yang akan diambil di daerah sekitar Universitas Sam Ratulangi
Kota Manado. Selanjutnya sampel dibersihkan dan dikering anginkan hingga
sampel kering. Setelah kering sampel di blender hingga sampel menjadi halus
lalu diayak dengan ayakan mesh 200 (Oratmangun, dkk, 2014).
C. Pembuatan Ekstrak Pelarut Polar
Ekstraksi sampel menggunakan pelarut metanol. Pembuatan ekstrak
dilakukan dengan metode maserasi, yaitu sebanyak 100 g serbuk patah tulang
yang diperoleh dimasukkan ke dalam beaker gelas kemudian ditambahkan
pelarut metanol sebanyak 500 mL, ditutup dengan alumunium foil dan
dibiarkan terendam selama 3 hari terlindung dari cahaya (setiap hari digojok)
(Oratmangun, dkk, 2014).
Setelah 3 hari, sampel yang direndam tersebut disaring dengan
menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat (Filtrat I) dan residunya
diremaserasi dengan metanol sebanyak 200 mL, ditutup dengan alumunium
foil dan dibiarkan selama 2 hari, sampel tersebut disaring menggunakan
kertas saring, sehingga diperoleh ekstrak maserat (Filtrat II). Selanjutnya
semua maserat metanol digabungkan (Filtrat I + Filtrat II) dan diuapkan
dengan menggunakan alat penguap Rotary evaporator pada temperatur 400C
sampai volumenya menjadi dari volume awal dan dilanjutkan dengan
pengeringan dengan menggunakan water bath pada suhu 400C sehingga
menghasilkan ekstrak kental metanol (Oratmangun, dkk, 2014).
D. Pembuatan Ekstrak Pelarut Non Polar
Ekstraksi sampel menggunakan pelarut kloroform. Pembuatan
ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi, yaitu sebanyak 100 g serbuk
patah tulang yang diperoleh dimasukkan ke dalam beaker gelas kemudian
ditambahkan pelarut kloroform sebanyak 500 mL, ditutup dengan alumunium

12

foil dan dibiarkan terendam selama 3 hari terlindung dari cahaya (setiap hari
digojok) (Oratmangun, dkk, 2014).
Setelah 3 hari, sampel yang direndam tersebut disaring dengan
menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat (Filtrat I) dan residunya
diremaserasi dengan kloroform sebanyak 200 mL, ditutup dengan alumunium
foil dan dibiarkan selama 2 hari, sampel tersebut disaring menggunakan
kertas saring, sehingga diperoleh ekstrak maserat (Filtrat II). Selanjutnya
semua maserat kloroform digabungkan (Filtrat I + Filtrat II) dan diuapkan
dengan menggunakan alat penguap Rotary evaporator pada temperatur 400C
sampai volumenya menjadi dari volume awal dan dilanjutkan dengan
pengeringan dengan menggunakan water bath pada suhu 400C sehingga
menghasilkan ekstrak kental kloroform (Oratmangun, dkk, 2014).

E. Pemilihan telur Artemia salina Leach


Pemilihan telur udang dilakukan dengan merendam telur dalam
aquades selama satu jam. Telur yang baik akan mengendap sedangkan telur
yang kurang baik akan mengapung (Oratmangun, dkk, 2014).
F. Penyiapan Larva Artemia salina Leach
Penetasan telur Artemia salina dilakukan dengan cara merendam
sebanyak 50 mg telur Artemia salina dalam wadah yang berisi air laut
dibawah cahaya lampu 25 watt dan dilengkapi dengan aerator. Telur Artemia
salina akan menetas dan menjadi larva setelah 24 jam (Mudjiman, 1988).
Larva Artemia salina yang baik digunakan untuk uji BSLT yaitu yang
berumur 48 jam sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian Artemia
salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya
persediaan makanan (Meyer et al., 1982).
G. Pembuatan Konsentrasi sampel uji
Prosedur berdasarkan McLaughlin, et al. (1991). Konsentrasi larutan
uji untuk BSLT adalah 500 g/mL, 250 g/mL, 100 g/mL, 50 g/mL, 10
g/mL dan 0 g/mL (sebagai control negatif). Untuk pembuatan larutan stok
ekstrak kental metanol dan kloroform ditimbang sebanyak 20mg, kemudian

13

dilarutkan dengan kedalam air laut sebanyak 20 mL, hingga diperoleh


konsentrasi larutan stok 1000 g/ml. Sampel yang kurang laut ditambahkan
DMSO 0,5 mL. Dari larutan stok ini, selanjutnya dibuat lagi konsentrasi 500
g/mL, 250 g/mL, 100 g/mL, 50 g/mL 10 g/mL dan 0 g/mL, dengan
cara pengenceran. Untuk konsentrasi 500 g/mL larutan induk dipipet 5 mL
ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak 5 ml. Konsentrasi 250 g/mL
larutan induk dipipet 2,5 mL ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak
7,5 mL. Konsentrasi 100 g/mL larutan induk dipipet 1 mL ke dalam vial uji
ditambahkan air laut sebanyak 9 mL. Konsentrasi 50 g/mL larutan induk
dipipet 0,5 mL ke dalam vial uji ditambahkan air laut sebanyak 9,5 mL.
Untuk konsentrasi 10 g/mL larutan induk dipipet 0,1 mL ke dalam vial uji
ditambahkan air laut sebanyak 9,9 mL dan untuk konsentrasi 0 g/mL
(kontrol) dilakukan tanpa penambahan ekstrak (Oratmangun, dkk, 2014).
H. Pelaksanaan Uji Toksisitas
Uji toksisitas pada masing-masing ekstrak sampel. Disiapkan wadah
untuk

pengujian,

untuk

masing-masing

konsentrasi

ekstrak

sampel

membutuhkan 3 wadah dan 1 wadah sebagai kontrol. Selanjutnya pada tiap


konsentrasi larutan dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina. Pengamatan
dilakukan selama 24 jam terhadap kematian larva Artemia salina dimana
setiap konsentrasi dilakukan tiga kali pengulangan dan dibandingkan dengan
kontrol. Kriteria standar untuk menilai kematian larva Artemia salina yaitu
bila larva Artemia salina tidak menunjukkan pergerakan selama beberapa
detik observasi (Oratmangun, dkk, 2014).
I. Uji Fitokimia (Harborne, 1987)
Uji fitokimia kandungan senyawa aktif dengan uji reagen dari
ekstrak pekat metanol dan kloroform dari tanaman patah tulang dilarutkan
dengan sedikit masingmasing pelarutnya. Kemudian dilakukan terhadap uji
alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid (Oratmangun, dkk, 2014).
J. Uji Alkaloid
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan 1 mL kloroform dan 5 mL
ammonia 10 %, lalu ditambahkan 10 tetes asam sulfat 2 M untuk

14

memperjelas pemisahan terbentuknya 2 fase yang berbeda. Fase bagian atas


diambil, kemudian ditambahkan reagen mayer. Keberadaan alkaloid dalam
sampel ditandai dengan terbentuknya endapan merah (Oratmangun, dkk,
2014).
K. Uji Flavonoid
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan serbuk magnesium secukupnya
untuk mengoksidasi sampel. Ditambahkan 10 tetes asam klorida 5 M.
Keberadaan flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna hitam kemerahan
pada larutan (Oratmangun, dkk, 2014).
L. Uji Tanin
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan dengan 10 mL air panas,
kemudian ditetesi menggunakan besi (III) klorida, keberadaan tanin dalam
sampel di tandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman.
M. Uji Saponin
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan dengan 10 mL akuades
kemudian dikocok kuat selama kurang lebih 1 menit. Selanjutnya didiamkan
selama 10 menit dan diamati buih atau busa yang terbentuk. Keberadaan
senyawa saponin dalam sampel ditandai dengan terbentuknya buih yang stabil
selama 10 menit dengan tinggi 3 cm (Oratmangun, dkk, 2014).
N. Uji Steroid
Ekstrak diambil 2 g dan ditambahkan dengan 1 mL kloroform.
Setelah itu campuran dikocok. Masingmasing asetat anhidrat dan asam sulfat
pekat sebanyak 2 tetes ditambahkan pada filtrat, perubahan warna merah pada
larutan pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan
reaksi positif (Oratmangun, dkk, 2014).
O. Analisa Data
Data hasil penelitian akan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel
dan grafik. Data dari uji toksisitas tersebut akan dianalisis dengan analisis
regresi linier sederhana menggunakan Microsoft office exel 2010 untuk
menentukan nilai LC50 (Oratmangun, dkk, 2014).

15

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pembuatan Ekstrak Patah Tulang (Euphorbia tirucalli L.)
Serbuk patah tulang yang digunakan sebesar 100 g untuk masing
masing pelarut, kemudian diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan
pelarut metanol dan kloroform masingmasing 700 mL. Proses maserasi
dilakukan selama 3 hari dan remaserasi selama 2 hari. Hasil maserat (Filtrat I
+ Filtrat II) kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada
suhu 400C. Sehingga diperoleh ekstrak kental metanol 10,49 g dan ekstrak
kental klorofrom 5,33 g. Hasil ekstraksi bahan aktif dan besar rendemen
tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) dapat dilihat pada Tabel 1
(Oratmangun, dkk, 2014).

B. Hasil Uji Toksisitas


Penelitian ini menunjukkan beban konsentrasi ekstrak dalam media
dapat membunuh larva Artemia salina Leach secara berturut-turut dengan
konsentrasi 500 g/ml, 250 g/ml, 100 g/ml, 50 g/ml dan 10 g/ml. Jumlah
kematian larva Artemia salina Leach pada setiap tabung uji dalam berbagai
konsentrasi perlakuan ekstrak patah tulang ditunjukkan pada tabel 2 dan 3 dan
gambar 9 dan 10. Dari tabel dan gambar tersebut dapat diketahui bahwa
berbagai konsentrasi ekstrak metanol dan kloroform tanaman patah tulang
pada percobaan ini memperlihatkan pengaruh yang berbeda terhadap

16

kematian larva Artemia salina Leach. Persentase kematian larva Artemia


salina sebesar 6 70 %. Pada konsentrasi 0 g/mL persentase kematiannya
sebesar 0 %, 10 g/mL persentase kematiannya sebesar 6 %, 50 g/mL
persentase kematian sebesar 10 %, 100 g/mL persentase kematiannya
sebesar 23 %, 250 g/mL persentase kematian sebesar 43 % dan 500 g/mL
persentase kematian sekitar 70 %. Hasil yang diperoleh dibuat grafik yang
terlihat pada Gambar 9 yang menunjukkan hubungan antara persentase
kematian larva Artemia salina dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam
metanol (Oratmangun, dkk, 2014).

Persamaan regresi linear dari grafik pada Gambar 9 di atas digunakan


untuk mencari LC50 dengan mensubstitusikan angka 50 % sebagai , sehingga
didapat nilai = 0.1366x + 4.6148 (Oratmangun, dkk, 2014).
Dari hasil tersebut didapat konsentrasi ekstrak metanol adalah
332,2489. Hal ini berarti mortalitas hewan uji mencapai 50% saat konsentrasi
ekstrak senyawa mencapai 332,2489 g/ml. Persentase kematian larva
Artemia salina sebesar 13 90 %. Pada konsentrasi 0 g/mL persentase
kematiannya sebesar 0%, 10 g/mL persentase kematiannya sebesar 13 %, 50
g/mL persentase kematiannya sebesar 20 %, 100 g/mL persentase
kematiannya sebesar 36 %, 250 g/mL persentase kematian sebesar 53% dan
500 g/mL persentase kematiannya sebesar 90% (Oratmangun, dkk, 2014).

17

Hasil yang diperoleh dibuat grafik yang terlihat pada Gambar 10 yang
menunjukkan hubungan antara persentase kematian larva Artemia salina
dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam kloroform (Oratmangun, dkk,
2014).

Persamaan regresi linear dari grafik pada Gambar 10 di atas


digunakan untuk mencari LC50 dengan mensubstitusikan angka 50 %
sebagai, sehingga didapat nilai = 0.1648 + 10.342. Dari hasil tersebut
didapatkan nilai dalam persamaan ini adalah 240,6432. Hal ini berarti
kematian hewan uji mencapai 50% saat konsentrasi ekstrak senyawa
mencapai 240,6432 g/mL (Oratmangun, dkk, 2014).
Jumlah larva Artemia salina Leach diuji dengan tiga kali replikasi
yaitu 30 ekor. Jumlah total larva Artemia salina Leach yang digunakan yaitu
180 ekor larva. Total kematian diperoleh dengan menjumlahkan larva yang
mati pada setiap konsentrasi, sedangkan rata-rata kematian larva diperoleh
dengan membagi total kematian larva pada tiap konsentrasi dengan jumlah
replikasi yang dilakukan yaitu tiga kali. Kemudian dihitung persentase
kematian larva dari rata-rata kematian pada tiap konsentrasi. Hasil dari
analisis dengan menggunakan regresi linier sederhana menunjukan nilai
LC50 dari ekstrak metanol patah tulang adalah 332,2489 g/mL dan ekstrak
kloroform patah tulang adalah 240,6432 g/mL (Oratmangun, dkk, 2014).

18

BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) merupakan salah satu uji


praskrining atau pendahuluan untuk mendapatkan aktivitas biologis yang
sederhana untuk menentukan tingkat toksisitas akut suatu senyawa atau
ekstrak dengan menggunakan Artemia salina sebagai hewan uji. Artemia
salina yang digunakan pada pengujian toksisitas ialah Artemia salina yang
berada pada tahap nauplii atau tahap larva. Hal ini dikarenakan Artemia
salina pada tahap nauplii sangat mirip dengan sel manusia (Meyer, 1982).
Korelasi antara uji toksisitas akut ini dengan uji aktivitas sitotoksik
adalah jika motalitas terhadap Artemia salina yang ditimbulkan memiliki
nilai LC50< 1000 g/mL. LC50 (Lethal Concentration 50) merupakan
konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50% hewan uji.
Parameter yang ditunjukkan untuk mengetahui adanya aktivitas sitotoksik,
menurut McLaughlin (1991) nilai LC50 < 30 g/mL berpotensi sebagai
antikanker (sitotoksik), nilai LC50 dari 30-200 g/mL berpotensi sebagai
antimikroba dan nilai LC50 200-1000 g/mL berpotensi sebagai pestisida
(Oratmangun, dkk, 2014).
Dari Tabel 2 dan 3 di atas terlihat bahwa semakin besar nilai
konsentrasi ekstrak, mortalitas pada Artemia salina juga semakin besar. Hal
ini sesuai dengan Harborne (1994), yang menyebutkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak maka sifat toksiknya akan semakin tinggi. Kematian
Artemia salina dalam tabung percobaan karena perlakuan, mengalami
disorientasi gerak (gerakannya tidak teratur). Artemia salina dalam tabung ini
tetap aktif bergerak, akan tetapi tetap berputar-putar pada satu titik,
sedangkan Artemia salina yang berada dalam tabung percobaan 0ppm
(Kontrol) tidak memberikan kematian sama sekali dalam waktu 24 jam
pengamatan. Hal ini membuktikan bahwa Artemia salina yang mati
disebabkan oleh sifat toksik dari kedua ekstrak patah tulang (Euphorbia
tirucalli L) tersebut (Oratmangun, dkk, 2014).
Suatu ekstrak menunjukkan aktivitas ketoksikan dalam BSLT jika
ekstrak dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji pada konsentrasi kurang
dari 1000 g/ml (Meyer, 1982 ; Anderson, 1991). Berdasarkan dari

19

pernyataan di atas, maka ekstrak patah tulang bersifat toksik. Hal ini
ditunjukkan oleh perolehan data yang berasal dari kedua pelarut baik metanol
maupun kloroform. Ekstrak metanol memiliki nilai LC50 sebesar 332,2489
g/ml dan ekstrak kloroform memiliki LC50 pada sebesar 240,6432 g/ml,
menurut McLaughlin berpotensi sebagai pestisida (Oratmangun, dkk, 2014).
Skrining Fitokimia
Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui
kandungan metabolit sekunder pada suatu tanaman secara kualitatif. Analisis
fitokimia Pada penelitian ini dilakukan terhadap tanaman patah tulang yang
sudah dimaserasi menggunakan pelarut metanol dan kloroform. Pengujiannya
dilakukan dengan cara mengambil sedikit sampel dari kedua ekstrak tersebut,
lalu ditambahkan reagen sesuai dengan senyawa yang akan diidentifikasi.
Senyawa-senyawa yang diperiksa keberadaannya adalah alkaloid, flavonoid,
tanin, saponin dan steroid (Oratmangun, dkk, 2014).
Hasil analisis fitokimia pada ekstrak patah tulang (Euphorbia tirucalli
L.) dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:

Hasil uji fitokimia menunjukkan adanya kandungan alkaloid, tanin


dan saponin. Dari hasil tersebut berkaitan dengan kematian (mortalitas)
Artemia salina pada larutan ekstrak patah tulang (Euphorbia tirucalli L.)

20

yang terlarut pada metanol dan kloroform, membuktikan adanya metabolisme


sekunder yang bersifat polar dan nonpolar. Senyawa metabolit sekunder dari
patah tulang yang bersifat polar yaitu flavonoid, tanin dan saponi, dan yang
bersifat nonpolar yaitu alkaloid (Oratmangun, dkk, 2014).
Senyawa fitokimia yang memberikan efek toksik yaitu flavonoid,
dimana pada kadar tertentu memiliki potensi toksisitas akut. Adanya
flavonoid dalam lingkungan sel, menyebabkan gugus OH- pada flavonoid
berikatan dengan protein integral membran sel. Hal ini menyebabkan
terbendungnya transport aktif Na+ - K+. Transpor aktif yang berhenti
menyebabkan pemasukan ion Na+ yang tidak terkendali ke dalam sel, hal ini
menyebabkan pecahnya membran sel (Scheuer, 1994). Pecahnya membran sel
inilah yang menyebabkan kematian sel (Oratmangun, dkk, 2014).
Senyawa

flavonoid

dan

tanin

mempunyai

mekanisme

efek

antikankermasing-masing. Menurut Woo et al., (2013), Mekanisme flavonoid


sebagai antikanker ada beberapa teori:
1. Flavonoid sebagai antioksidan yaitu melalui mekanisme pengaktifan jalur
apoptosis sel kanker. Mekanisme apoptosis sel pada teori ini akibat
fragmentasi DNA. Fragmentasi ini diawali dengan dilepasnya rantai
proksimal DNA oleh senyawa oksigen reaktif seperti radikal hidroksil.
2. Flavonoid sebagai penghambat proliferasi tumor/kanker yang salah
satunya

dengan

menghibisi

aktivitas

protein

kinase

sehingga

menghambat jalur transduksi sinyal dari membran ke sel inti.


3. Dengan menghambat aktivitas reseptor tirosin kinase. Karena aktivitas
reseptor tirosin kinase yang meningkat berperan dalam pertumbuhan
keganasan.
4. Flavonoid berfungsi juga untuk mengurangi resistensi tumor terhadap
agen kemoterapi.
Mekanisme kematian larva juga berhubungan dengan fungsi senyawa
alkaloid dan tanin dalam patah tulang yang dapat menghambat daya makan
larva (antifedant). Menurut Cahyadi (2009) Cara kerja senyawa-senyawa
tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut.
Oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat

21

pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor


perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal
mendapatkan stimulus rasa, sehingga tidak mampu mengenali makanannya
sehingga larva mati kelaparan (Oratmangun, dkk, 2014).

22

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak metanol dan kloroform dari tanaman Patah Tulang (Euphorbia
tirucalli L.) bersifat toksik dan berpotensi sebagai pestisida. Nilai LC50
ekstrak metanol tanaman Patah Tulang ialah 332,2489 g/ml,
sedangkan LC50 dari ekstrak kloroform tanaman Patah Tulang ialah
240,6432 g/ml.
2. Senyawa yang terkandung didalam ekstrak tanaman Patah Tulang
(Euphorbia tirucalli L.) yang diduga bersifat toksik yaitu Flavonoid,
Alkaloid dan Tanin.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
menunjukkan ekstrak metanol dan kloroform tanaman patah tulang
memiliki potensi toksisitas, sehingga perlu dilakukan pengujian
bioaktivitas lebih lanjut terhadap tanaman ini.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kandungan kimia yang
memiliki potensi toksisitas, dengan mengisolasi dan mengidentifikasi
senyawa sitotoksik yang terdapat dalam tanaman patah tulang sampai
menentukan struktur molekul/senyawa aktif.

DAFTAR PUSTAKA

23

Anderson, J. E., Goetz C.M., Mc Laughlin J. L. 1991. A Blind Comparison of


Simple Bench-top Bioassay and Human Tumor Cell Cytotoxicities as
Antitumor Prescrenss. Natural Product Chemistry. Elseiver. Amsterdam.
Apantaku, L.M. 2002. Breast-Conseving Surgery
Am.Fam.Physician, Vol.66, No.12, 2271-2278.

for

Breast

Cancer.

Cahyadi, R. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak etanol buah pare (Momordica
charantia L) Terhadap larva Artemia salina Leachdengan metodeBrine
shrimp lethality test (BST). Universitas Dipenogoro Repository.5: 1-8.
Carballo JL, Hernandez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravaloz MD. Comparison
Between Two Brine Shrimp Assays to Detect In Vitro Cytotoxicity In
Marine Natural Products. BMC Biotechnology. 2002;2:1472-6570.
Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
Dalimartha, S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 3. Jakarta: Puspa
Swara. Hal. 89-92.
Dwiatmaka, Y. 2000. Skrining tanaman Berkhasiat Antikanker Dengan Metode
BST, dalam Yuswanto, Ag. dan Sinaradi (Eds.). Kanker. Yogyakarta:
Penerbitan Universitas Sanata Dharma. hal: 110-113.
Ganiswara. 2003. Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, 636-701. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi ke dua. Bandung: Penerbit ITB.
Harborne, J. B. 1994. The Flavonoids. Chapman and Hall. London.
Hawariah, L.P. 1998. Kanker Payudara. Serdang: Penerbit universiti Putra
Malaysia.
Hendrawati A. R. S. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Kemangi
(Ocimum sanctum Linn.) Terhadap Artemia salina Leach Dengan
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Skripsi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kurnia, A., Pertamawati., Rifatul W., Hendig, W. 2005. Efek Penghambat
Pertumbuhan Cell-line Secara In-Vitro dari Ekstrak Etanol Buah
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff.). Artocarpus, Vol 5 (2), 89.

24

Mayer BNNR, Ferrigni ML. Brine Shrimp A Convinient General Bioassay For
Active Plant Constituents. J of Plant Medical Research. 1982;45:31-34.
Mc. Laughlin, J. L., Chang, C. J., and Smith, D. L. 1991. Bench-Top, Bioassay for
The Discovery of Bioactive Naturals Products, An Update, Natural
Product Chemistry. Elseiveir, Amsterdam.
Meyer, B.N., et al., 1982. Brine Shrimp : A Convenient General Bioassay for
Active Plant Constituent. Drug Information Journal, Vol. 32, 513-524.
Mudjiman, A. 1988. Udang Renik Air Asin (Artemia salina). Jakarta: Bhatara
Karya Aksara.
Oratmangun, Sandriani A., Fatimawali, Widdhi Bodhi. 2014. Uji Toksisitas
Ekstrak Tanaman Patah Tulang (Euphorbia Tirucalli L.) Terhadap
Artemia Salinadengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt) Sebagai
Studi Pendahuluan Potensi Anti Kanker. Pharmacon jurnal Ilmiah
Farmasi UNSRAT Vol. 3 No. 3 Agustus 2014 ISSN 2302 -2493.
Scheuer, J. S. 1994. Produk Alami Lautan. Cetakan pertama. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Sismindari, Sudjadi, Sulistyani, N. 2002. Aktivitas Pemotongan DNA Superkoil
oleh Fraksi Protein Daun Morinda citrifolia.
Majalah Farmasi
Indonesia, 13 (4), 174-179.
Sukardiman, Puspitasari, H.p., Widyawaryanti. 2003. Uji Aktivitas Ekstrak
Metanol Herba Ageratum congzides L pada Kultur Sel Myeloma Mencit.
Majalah Farmasi Airlangga, Vol.3, 93.
Taylor

L.
2002.
The
Healing
Power
http//www.raintree.com/aveloz.htm

Of

Rainforest

Herbs.

Wijayakusma, H. M. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Cetakan


Pertama, Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini.
Woo, H. D dan Kim, J. 2013. Dietary Flavonoid Intake and Risk of Stomach and
Colorectal Cancer. World Journal of Gastroenterology. 7: 1011-1019.

Anda mungkin juga menyukai