Anda di halaman 1dari 19

Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang

Murid-murid, pada hari Senin ini


Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan

2*

Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi


Mengeritik itu boleh, asal membangun
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini

3#

Ayo siapa yang sudah siap?


Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja

4*

Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan


Dan dia pun memberi jawaban

5#

Mengeritik itu boleh, asal membangun


Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.

Nah anak-anak, itulah karya temanmu


Sudah kalian dengarkan kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?

8*

Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi


Tak seorang mengangkat tngan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-Murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:

9#

Mengeritik itu membangun boleh asal


Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik

10

Dang ding dung ding dang ding dung


Ding dang ding dung ding dang ding dung
Leh boleh boleh boleh boleh
Boleh boleh asalh boleh.
Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.

11*

Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca


Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi
Tapi mata kami kan nyalang bila menonton televisi.

12

13

Murid-murid, pada hari Senin ini


Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
Dari kutipan di atas, pesan apakah yang bisa anda dapatkan? Bagaimanakah cara mengajar
guru seperti yang digambarkan di atas? Pesan dan nilai apakah yang bisa diambil dari
peristiwa tersebut?
Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
Mengeritik itu boleh, asal membangun
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri
Bagaimanakah tugas guru seperti kutipan di atas? Di manakah letak kelebihan atau kelemahan
tugas guru seperti di atas? Pesan dan nilai apakah yang bisa diambil dari peristiwa tersebut?
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
Mengeritik itu boleh, asalh membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.

Bagaimana jawaban murid di atas? Pesan dan nilai apakah yang bisa diambil dari peristiwa
tersebut?

Anak-anak, bapak bilang tadi


Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.
Menurut Anda, bagaimanakah komentar guru terhadap jawaban siswanya? Pesan dan nilai
apakah yang bisa diambil dari peristiwa tersebut?
Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi
Tapi mata kami kan nyalang bila menonton televisi.
Menurut Anda, bagaimanakah komentar siswa terhadap pembelajaran mata pelajaran Bahasa
Indonesia? Pesan dan nilai apakah yang bisa diambil dari fakta tersebut?
Relevansi tema

1. Saat ini banyak dilakukan peningkatan mutu guru bahasa Indonesia. Bagaimanakah
kinerja guru sebelum tahun 2000?
2. Bagaimanakah cara mereka mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia waktu itu?
3. Keadaan pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia yang manakah yang digambarkan
Taufiq Ismail dalam puisi Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang?

KUPU-KUPU DI BALTIMURUNG

karya Ashary Nurdin


Setelah aku yakin semua pintu rumahku sudah terkunci dengan baik, aku masuk ke dalam
mobil yang sudah kuhidupkan lima menit lalu. Perjalanan ini akan aku mulai. Dari Tamalanrea,
rumahku. menuju Bantimurung.
Lima menit kemudian mobilku sudah meluncur pelan. di jalan padat. dalam hawa pagi
kota Makassar. Aku mencoba tidak terlalu tegang, kunyalakan radio mobilku.
Aku menuju Bantimurung. Dia sedang menungguku di sana. Dia. suamiku.
Cukup aneh pasti kedengarannya. Sebab suamiku telah meninggal dua bulan lalu, dalam
sebuah kecelakaan. Waktu itu dia sedang berada di Bantimurung. tempat kesukaannya. Kata
beberapa saksi mata. dia tergelincir lalu terseret arus dan kepalanya pecah setelah beberapa kali
membentur batu-batu kali yang besar di sepanjang sungai. Aku bisa membayangkan. air sungai
Bantimurung saat itu pasti memerah, penuh darah. Dan. karena tak dapat ditolong lagi. dia ...
meninggal setelah beberapa saat diangkat ke darat. Dia meninggal ... Seandainya saja saat itu dia
tidak ke tempat itu Seandainya saja waktu itu aku ada di sana untuk mencegahnya mendekati arus
.
Mengingat peristiwa itu selalu membuatku terguncang, tegang, dan menyesal. Kumatikan
radio dari semua program lagu yang membosankan. Kulemaskan tubuhku sambil menarik napas
yang berat de ngan teratur, secara perlahan untuk melegakanku. Setelah merasa lebih tenang,
kulirik jam tanganku. Sudah ada dua puluh menit aku mengemudi menuju Bantimurung. Kini
pukul 09.43. Aku harus tiba secepatnya. Aku sudah berjanji untuk bertemu dengannya pada pukul
sepuluh. Aku akan terlambat.
Kulajukan mobilku di jalan yang cukup padat tanpa sadar, dengan panik.
Sungguh pikiranku menertawai diriku sendiri. Aku menuju Bantimurung dengan sebuah
alasan ajaib. Untuk bertemu dengan suamiku yang telah meninggal di sana. Tidak masuk akal.
Siapa saja yang mendengarku berkata demikian pasti akan menertawai aku. Tapi aku tak peduli,
entah kenapa aku sangat yakin, dia pasti sedang menungguku di sana. Mungkin sebab selama ini
dia selalu jujur padaku. Dia amat baik.
Bermula sejak tiga hari setelah kematian suamiku, aku selalu bermimpi tentang seekar
kupu-kupu. Berkali-kali aku melihat kupu-kupu Mas datang dan selalu menatapku penuh arti.
Selalu kupu-kupu yang sama. Kupu-kupu yang gagah dengan sayap lebar yang kuat dan sebening
mozaik kristal yang indah. Mungkinkah itu suamiku, yang telah menjelma menjadl kupu-kupu?
Mungkin saja, kudengar jawabku sendiri.
Aku selalu teringat atas sebuah dialog kami, sekitar tiga bulan yang lalu, di Bantimurung.
Ketika kami sedang duduk di atas sebuah batu kali besar dan menatap ke sebuah arah yang sama,
seekor kupu-kupu mungil berwarna merah muda cerah sedang hinggap diam di atas sebuah batu,
tidak jauh dari kami.
"Kau lihat, Ning? Kupu-kupu itu sejak tadi hinggap di sana dan belum beranjak sedikit
pun, kata Mas, suamiku saat Itu.
"Ya ... indah sekali!" kataku sambil tertegun. "Aku yakin kupu-kupu itu pasti sedang
menunggu seseorang," katanya pasti.
"Seseorang?" tanyaku bingung sambil berbalik menghadap padanya. Sementara dia sama
sekali ildak mengubah fokus pandangannya.
Ya. Seseorang yang sangat dia cintai. Lihat, Ning! Betapa setianya dia menunggu
kehadlran orang itu,"Ada nada kagum dan takjub dalam suaranya.
Maksudmu?" tanyaku sambil mengerutkan alis.
Masih juga kupandangi wajahnya lekat-lekat. Raut mukanya aneh sepertl sedang
bermimpi.
"Ingatkah kau tentang mitos Yunoni Kuno yang pernah kuberitahu padamu? Bahwa roh
orang mati akan menjelma menjadl kupu-kupu,"
"Oh ya, aku ingat " Aku berpikir sejenak sebelum menyambung,
Jadi kau pikir ? Aku bisa merasakan suaraku yang bernada skeptis.
Mas mengangguk, meyakinkanku, Tapi aku tak percaya, itu tak masuk akal!
"Kedengarannya lucu," kataku, aku mencoba tertawa. Tapi, aku malah memaksakan
sebuah tawa kosong dan sumbang yang telingaku sendiri merasa aneh mendengarnya,
"Nanti kamu akan mengerti, Ning," katanya tersenyum begitu murni padaku,
"Maksudmu?"

Dia berkata dengan raut wajah yang menerawang, "Jika aku,mati, aku sangat ingin menjadi
kupu-kupu di sini. Dan, menantikanmu datang suatu hari nanti"
Segera bisa aku mengerti arti ucapannya, Maka kupotong kalimatnya dengan cepat dan
sengit, "Tidak baik berkata begitu"
Tapi dia tetap tenang saja, seolah tidak mendengar apa yang aku takutkan.
"Suatu hari kamu akan datang menemui seekor kupu-kupu yang juga menunggumu di alas
batu. Kupu-kupu itu adalah aku,iIndah, bukan?" dia melanjutkan sambil berbalik menghadapku.
Kutatap matanya, ada sesuatu yang 'hidup' di sana,
Aku tak mau kehilangan dia. Aku mencintainya. Meskipun maut merebutnya.
Setelah kematiannya barulah aku mengerti semua maksudnya saat itu. Karena semalam,
dalam mimpi, kupu-kupu Mas yang sama dating lagi. Dalam mimpiku juga kudengar suaranya
menggema di telingaku dan memintaku dating ke Bantimurung, di batu kenangan di mana kami
dulu sering duduk bersama. Aku berjanji menyanggupinya. Lalu tiba-tiba aku terentak dan
terbangun dengan peluh membanjiri tubuhku. Kupu-kupu Mas hilang dalam mimpiku. Itu alasanku
melakukan perjalanan ini. Demi menemui seekor kupu-kupu yang entah kenapa, aku yakini adalah
suamiku.
Angin dari jalan menyapaku lembut. Kulirik jam tangan ku, pukup 10.04. Sebentar lagi
aku akan tiba di tujuanku. Sedikit lagi. Tiba-tiba segala kenanganku bersama Mas terukir jelas
dalam benakku, melintas dan membunuh kehampaanku.
Aku dulu hanya seorang gadis Jawa biasa, lalu Mas menikahiku lima tahun lalu, sa at aku
berusia 29 tahun, lebih muda empat tahun daripada Mas. Dan membawaku tinggal di Makassar,
kampung halamannya. Lalu Mas mulai mengajakku ke Bantimurung. Waktu itu dia ber kata bahwa
dia rindu tempat itu setelah empat tahun sibuk di Jakarta.
Aku bahagia hidup bersama Mas. Dia bekerja di kantor telekomunikasi dengan gaji besar,
Ditambah dengan gajiku sebagai guru, kami bisa hidup nyaman. Kebutuhan hidup kami terpenuhi.
Tapi, tentu saja semuanya belum bisa kami miliki. Masih ada yang hampa.
Kami sering mengunjungi Bantimurung, terutama untuk berlibur. Tak jarang pula Mas atau
aku berangkat sendiri. Aku ke sana biasanya sekali sebulan. Sementara Mas mengunjungi tempat
itu lebih sering, paling tidak selalu sekali dalam seminggu. Aku mengerti dia tumbuh di tanah ini
dan amat mencintainya.
Ya, aku juga mencintai tempat itu. Mencintai alamnya, mencintai udaranya, mencintai
kehidupan air terjun dan kupu-kupu di sana. Terutama, mencintai kenangan kami yang hidup di
sana. Bantimurung yang indah.
Mas terutama amat mengagumi kupu-kupu Bantimurung. Dia sering membawa kamera,
dan memotret kupu-kupu yang menarik. Dulu sering kutertawai kebiasaannya itu, dan berkata
bahwa dia begitu feminism, melebihi aku. Dia lalu menanggapi, bahwa masih banyak yang belum
kumengerti tentang dirinya. Ya, mungkin memang masih banyak.
Mobilku baru saja melewati gerbang sebelum memasuki wilayah Bantimurung, Gerbang
itu tinggi dan berbentuk seekor kera raksasa dengan pose yang lucu. Lengkap dengan sebuah
ucapan 'Selamat Datang di Bantimurung'.
Kadang aku tersenyum saat melintas tepat di bawah gerbang itu. Tapi hari ini aku merasa
lain, aku sama sekail tidak mampu tersenyum. Aku merasa tegang.
Kuhentikan mobilku tepat di bawah bayangan sebuah pohon besar. Belasan mobiI terparkir
berderetan di tempat yang lain. tempat ini pasti sedang ramai. Aku berjalan pelan menuju ke loket
penjualan tiket masuk setelah mengunci mobilku. Lalu membeli tiket dari penjaga di loket. dan
berjalan masuk ke dalam Bantimurung.
Kakiku menapak tanah dunia kupu-kupu ini lagi, masih tanah yang sama seperti dulu.
Mataku menyimak sekeliling tempat ini, masih tembok tebing-tebing tinggi dan keindahan seperti
dulu, Telingaku menangkap sebuah irama yang riuh dan merdu, masih air terjun dan sungai yang
dulu. Kulit dan napasku dibuai kedamaian, masih udara yang dulu, Masih bisa kurasakan alur
kenangan dulu. kenangan masa lalu. Bantimurung. Ini aku!
Kuamati tempat ini. Seperti biasanya. hari Minggu ini. Bantimurung masih ramai
dikunjungi, Puluhan orang menikmati Iiburannya di sini. Ratusan kupu-kupu yang beragam juga
tampak sibuk terbang ke sana ke mati. Kulirik jam tanganku, pukul 10.19. Aku sudah telat dati
janjiku. Mungkinkah dia masih setia menungguku?
Aku melangkah sambil menenteng selop yang tadi kupakai, sebab berbahaya memakai alas
kaki di tempat selembab dan berbatu-batu di sini. Aku berjalan pelan sambil memegangi perutku,
menuju ke batu di sebuah sudut yang agak sepi di sini. Batu kenangan kami. Jantungku berpacu

dengan lebih memburu, peluh mengaliriku. Bisa kurasakan urat di pelipisku berdenyut-denyut.
Aku lebih tegang.
Akhirnya, aku melihat tempat itu. Batu itu masih di sana, diam dan tetap tegar, cukup jauh
dari air terjun di tempat ini. Aku melangkah semakin dekat.
Aku tiba di depan batu itu. Di atas batu seekor kupu-kupu sedang duduk dengan tenang.
Aku langsung bias tahu, itu kupu-kupu yang sama, yang selalu masuk ke mimpiku. Suamiku?
Entah kenapa, aku bias merasakan bahwa mas berada di sini.
Kupu-kupu itu tidak sendiri. Ada seorang wanita yang juga sedang duduk di batu itu. Dia
menatap jauh pada air terjun yang tak hentinya tertumpah, dan pada orang-orang dalam sungai.
Apakah aku berada di tempat yang salah? Siapa dia?
Aku berdiri tidak begitu jauh darinya. Saat menyadari kehadiranku, dia berbalik lalu
menatapku. Kini aku bias melihatnya dengan lelas. Wanita itu memliki raut wajah yang sederhana,
tapi cantik. Dia juga memberi kesan menarik yang kuat. Aku menebak uslanya sekltar 30 tahun.
Matanya bagus dan teduh. Rambutnya yang panjang dan amat hitam diikat di belakang kepalanya.
Kulitnya yang putih dihungkus busana hitam dan agak tua. Aku yakin aku belum pernah bertemu
dia sebelumnya.
Wanita Itu tersenyum. membuatku ikut pula memaksakan sebuah senyum.
"Maaf. aku ada janji di tempat ini, adik juga?" kataku malu-malu sambil sedikit bersandar
diatas batu dan melirik kupu-kupu di atasnya.
"Ya. Mbak. Saya juga sedang ada janji." Suaranya lembut. ramah. dan merdu. serta
memberi kesan terpelajar. Aku sampat tak percaya wanita ini begitu sederhana,
"Tapi maaf. aku eh tidak mengganggu adik. kan?"
"Oh. tidak. Mbak. Tidak apa-apa." Mata wanita itu menatapku lekat -lekat.
Kutatap kupu-kupu yang sejak tadi duduk di atas batu sambil mengepakkan sayapnya
dengan manis. Ya, Itu kupu-kupu yang kukenali. Suamiku! Aku yakin itu! Aku masih bisa
mengenalinya. meskipun dia kini seperil itu, hanya seekor kupu-kupu!
Kucoba mencari alas an logis mengenai janjiku dengan kupu-kupu suamiku pada wanita
itu, agar aku tak dianggap gila. Mmm, ..bisaehaku.?
Lalu berhenti karena merasa bodoh. Aku bingung hendak berkata apa. lebih tepatnya aku
malu.
Tapl dia tampaknya bisa langsung mengeri maksudku. Dia mengangguk dan berkata. Oh.
silakan Mbak.,saya bisa mengerti. Mbak tidak perlu sampai malu begitu." Dia tersenyum. Wajahku
langsung terasa panas karena malu.
Dengan hati-hati aku duduk di atas batu, sambil memegang perutku. Kini kupu-kupu itu
ada di antara aku dan wanita itu. lalu dengan ragu aku berballk, agak membungkuk pada kupukupu itu. "Aku datang. Mas Aku rindu kamu, Mas ."
Kulirik wanita itu. Dia sedang menatap air terjun lagi. Aku lega dengan sikapnya karena
tidak menertawakan aku yang sedang bertingkah begini.
Kupu-kupu Mas meliukkan sayapnya yang selalu berkellp beberapa kali sambil tetap
duduk di batu. Aku yakin, dia ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi tidak dapat aku mengerti.
Entah apa. Sial! Jika saja Mas bisa berbicara langsung .
"Oh, Itu artinya dia juga merindukan. Mbak. Katanya, Mbak jangan menjadi sedih dan
kecewa," jelas wanita itu tiba-tiba, seakan dia mengerti kesulitanku kini.
Aku terkejut dan heran bagaimana dia bisa mengerti aril kepakan sayap itu. Atau mungkin
dia mengada-ada saja. Ah. aku tak peduli. Entah kenapa, aku mempercayainya. Kutatap dia dengan
rasa terima kasih. Rasanya aku akan butuh bantuannya.
Aku berkata lagi, "Mas, aku hamil. Sekarang sedang tiga bulan." kataku penuh senyum
pada kupu-kupu Mas. Kupandang dan kuelus perutku dengan kaslh sayang.
Ya, syukurlahl Akhirnya aku hamil setelah kami melewati lima tahun. Perkawinan yang
kosong. Bagaimanapun, dia tak pernah mau mengungkit hal itu. Dia tak ingin berlaku kasar
padaku. dia hanya selalu pergi mengunjungi Bantimurung jika kesepian, untuk menenangkan
dirinya di sana. Aku mengerti, dia sangat ingin melengkapi napasnya sebagai ayah, sebelum
terlambat. Aku pun begitu. Dan syukurlah, kini aku bisa!
Tapi, anak ini nanti tidak akan pernah mengenali ayahnya. Ayahnya telah meninggal saat
dia masih berusia satu bulan. Aku begitu bodoh, karena merahasiakan pada suamiku tentang kabar
itu. soot dia masih hidup. Dulu sengaja kututupi kabar yang luar biasa baik ini, untuk memberinya
kejutan pada saat yang kurasa tepat. Seandainya ildak, dia pasti akan merasakan kebahagiaan, sama
denganku, paling tidak sebelum dia menlnggal.

Kelak kukenalkan anak ini pada dunia kenangan ibu dan ayahnya. di Bantimurung.
Tiba-tiba dengan lincah kupu-kupu Mas meloncat dan terbang. Aku takut dia akan segera
pergi, tapi rupanya dia cuma terbang berputar-putar di atas kepalaku. Indah sekali. Lalu, kupukupu Mas membelai, memeluk, dan menciumi perutku erat, setelah puas dia kembali duduk di atas
batu. Aku terpana,
"Dia amat senang, Mbak," jelasnya.
Meski pesan ini bisa sedikit kumengerti. walau mungkin nanti tidak lagi. Tapi, tampaknya
dia maslh bersedia membantuku, untunglahl
"Nanti akan aku bawa anak kita ke sini. untuk menemuimu. Mas," kataku lagi.
Tapi kali ini dengan penuh rasa haru, mataku basah. Kuseka air mataku dengan jari.
Kupu-kupu Mas membahasakan lagi sayapnya. yang tak lagi kupahami. Aku memandang
pada wanita itu dengan tatapan memohon untuk diberi tahu artinya. Gila! Bodoh benar aku ini!
Sudah lima tahun aku menikah dengan Mas, tapi rupanya aku belum mengerti dirinya sedikit pun.
Bahkan meski sebagai kupu-kupu aku belum bisa memahaminya, apalagi bila dia masih berwujud
manusia. Bodoh aku!
"Ya, sering-sering saja. Mbak," kata wanita itu menjelaskan lagi artinya padaku.
Dia memandangku penuh misteri, atau mungkin Cuma perasaanku saja.
Tiba-tiba pertanyaan itu lahir, dan berkecamuk dalam benakku. Meronta kuat-kuat. dan
akhirnya lepas.
"Kenapa bukan Mas saja yang datang mengunlungi aku? Kenapa harus aku yang datang ke
sini Mas? Bukankah Mas lebih mudah datang padaku dengan terbang?"
Kupu-kupu Mas menjawab pertanyaanku dengan segera. Sayapnya bergerak menari-nari.
Wanita itu lalu menerjemahkan artinya padaku lagi.
"Suatu saat dia akan datang mengunjungi Mbak. sesering mungkin. Tapi, tidak sekarang,
nanti, katanya. Pasti saat anaknya lahir, dan kapan saja dia rindu pada Mbak. Saat ini, dia butuh
Mbak di sini. begitu katanya."
Aku menoleh pada wanita itu. Sudah cukup lama dia menemaniku di tempat itu. menladl
operator antara Mas dan aku. Aku tak tahu harus bagaimana aku akan bisa berkomunikasi dengan
Mas tanpa dia. Aku bersyukur dia ada di sini membantuku. Tumbuh rasa kasihanku pada wanita
itu. Hampir sejam dia menunggu, entah siapa yang ditunggunya, tapi tampaknya belum juga
datang. Malah dia harus menemani wanita bunting sepelti aku, menghabiskan waktu. Dia pasti
sudah boson padaku karena telah menyedot waktunya.
Kubiarkan kupu-kupu Mas diam sendiri. Wanitaitu makin menyita perhatianku, rnungkin
dia kini sudah hendak beranjak pergi. Kasihan dia!
"Nama Adik siapa?" tanyaku padanya.
"Diah." jawabnya dengan ramah.
"Adik. Diah. seorang mahasiswi?"
"Bukan. Saya perempuan biasa, asli daerah sini. Saya tinggal di dekat sini, sebuah rumah
di depan sana," jelasnya. menunjuk ke satu arah.
Aku ikut menoleh ke sana.
Aku tertarik untuk mengetahui wanita itu lebih jauh. Dia memiliki sesuatu yang memikat.
Bagiku, dia seperti kupu-kupu.
Adik sudah biasa berbicara dengan kupu-kupu?
Dia manganggukkan senyumnya dengan pasti, Ya.
"Apa menurut Adik itu wajar?" tanyaku lagi.
Ya, menurut saya itu wajar. Kupu-kupu sekalipun memiliki perasaan dan bahasa. Kupukupu tidak menggerakkan sayapnya percuma. Sebenarnya dengan begitu mereka berbicara." Aku
senang mendengar jawaban itu.
"Oh. Ya, tadi Adik bilang bahwa Adik di sini sedang adi janji, kan?"
"Ya." Jawabnya dengan raut wajah yang penuh misteri.
"Adik masih akan menunggu orang itu? Tampaknya yang Adik tunggu tidak akan datang."
Rupanya aku salah duga, tiada raut kecewa di wajahnya, mendengar kalimatku.
Dia menjawab, matanya berbinar. "Tidak perlu lagi, yang kutunggu. sudah datang."
"Oh, ya?" tanyaku sambil memandang sekeliling, melihat siapa yang datang menuju
kemari.
Tapi. tidak ada. Aku berbalik padanya dengan raut walah bingung. "Saya tadi menunggu
Mbak." Mukanya bersemu merah malu-malu.
Aku tersentak. Lho? Melihat wanita ini saja aku belum pernah. Kenapa dia justru
menungguku? Ada apa semua ini? Aku semakin bingung.

Oh, atau mungkin dia menungguku di sini sebab dia tahu seseorang akan datang dan
berbicara dengan kupu-kupu. Wanita itu orang asli dari tanah ini, dan tidak semua orang mampu
berbicara dengan kupu-kupu. Maka setiap ada kupu-kupu duduk menunggu di atas batu, dia tahu
bahwa ada yang akan membutuhkan jasanya. sebagai penerjemah. Setelah itu dia akan mendapat
upah. Pasti Itu pekerjaannya. Aku bisa mengerti itu.
Aku bergegas merogoh dua puluh ribu rupiah di dompetku untuk wanita itu.
Dia langsung berkata, Tidak perlu Mbak. Saya tahu apa yang ada di pikiran Mbak. di
piklian Mbak. Tapi, saya tidak butuh uang," wajahnya memerah lagi. "Lho, apa ini kurang?" Dia
menggeleng,
"Lalu?" tanyaku cepat.
"Semalam kupu-kupu ini datang di mimpi saya, meminta saya, datang ke sini, menemui
Mbak Ning, istrinya."
Agaknya dia bingung mencari kata-kata yang tepat. Oh, aku bisa mengerti sekarang.
Wanita itu pasti mengenal suamiku, maka suamiku meminta bantuan padanya untuk menjadi
penghubung antara ia dan aku, untuk membantuku jika aku kesulitan berkomunikasl dengannya.
Dan, memang benar!
"Jadi, Adik mengenal suamiku?"
'Ya, Saya kenal, Mas Daeng," jelasnya sambil mengangguk serius.
"Bagaimana Adik bisa mengenalnya?" Rasa penasaranku memberontak.
"Suami Mbak sering kemari. Karena itu, saya mengenalnya. Kami cukup dekat."
"Dekat? Semacam teman?" kucoba menekan kecurigaanku, agar terdengar wajar.
Ya, bisa dibilang begitu. Tapi, tahun lalu Mas meminta saya menjadi kekasihnya,"
suaranya bergetar dengan nada bahagia.
"Kekasih?!" suaraku meninggi, tak percaya. Ini mustahil Aku terkejut.
Ya, sekarang, saya hamil lima bulan,"
Dia memandang, dan mengelus perutnya dengan tenang.
"Mas sangat baik. Dia hebat," katanya lagi. tersenyum.
"Astaga!"
Aku terperanjat. Baru sekarang kuperhatlkan perutnya dengan saksama. Dia hamil, bahkan
sudah leblh lama dariku! Oh! Aku beku, tak tahu harus berkata apa.
Pesan Mas, dia harap Mbak bisa menerima saya, sebagai istrinya yang kedua. Suaranya
bergetar dengan nada yang tak kumengerti.
Kutatap matanya dalam-dalam. Ada yang berpiar disana. Aku bia merasakan, dila sedang
tildak berdusta.
Kupu-kupu Mas bangkit lalu membelai dan memeluk perut wanita, seperti yang tadi
dilakukannya padaku. Setelah puas kupu-kupu Mas mendarat lagi di atas batu.
Keteganganku muncul lagi. Di sana, bisik air terjun dan sungai tetap terdengar riuh.
Ratusan kupu-kupu lain tetap menjelajahi angkasa ini. Udara menjadi semakin berat. Wanita itu
terus sambil tersenyum, tetap bergeming menatapku, dengan tatapan penuh harapan. Aku tak
percaya dia bahkan bisa tersenyum padaku!
Sementara itu, kupu-kupu Mas yang tadi duduk di antara kami, meloncat lalu terbang
berputar-putar di atas kepalaku dan wanita itu

Makan gulai di atas batu


Kerasnya batu tak terasakan
Jika boleh aku bertamu
Datang bertamu untuk berteman

Buah ara, batang dibantun


Mari dibantun dengan parang
Hai saudara dengarlah pantun
Pantun lah tidak mengata orang

Jika kenyang karena makan


Janganlah lupa akan minumnya
Jika datang untuk berteman
Akan kutrima dengan gembira

Mari dibantun dengan parang


Berangan besar di dalam padi
Pantun tidak mengata orang
Janganlah syak di dalam hati

Dari Jakarta ke Surabaya


Janganlah lupa beli pepaya
Engkau gembira aku gembira
Jadilah kita tambah saudara

Berangan besar di dalam padi


Rumpun buluh dibuat pagar
Jangan syak di dalam hati
Maklum pantun saya baru belajar

Buah pepaya enak rasanya


Itu sebabnya banyak yang suka
Tambah saudara tambahlah kaya
Itulah kaya yang sesungguhnya

KUPU-KUPU KERTAS
Setiap waktu engkau tersenyum
Sudut matamu memancarkan rasa
Keresahan yang terbenam
Kerinduan yang tertahan
Duka dalam yang tersembunyi
Jauh di lubuk hati
Kata-katamu
Riuh mengalir bagai gerimis
Seperti angin yang tak pernah diam
Selalu beranjak setiap saat
Menebarkan jala asmara
Menaburkan aroma luka
Benih kebencian kau tanam
Bakar ladang gersang
Entah sampai kapan
Berhenti menipu diri
Kupu-kupu kertas
Yang terbang kian kemari
Aneka rupa dan warna
Dibias lampu temeram
Membasuh debu yang lekat dalam jiwa
Mencuci bersih dari segala kekotoran
Aku menunggu
Hujan turunlah
Aku mengharap
Badai datanglah
Gemuruhnya akan melumatkan semua
Kupu-kupu kertas
(Ebiet G. Ade-1995)

LEMBAR PENGAMATAN MUSIKALISASI PUISI


HAL-HAL YANG DIAMATI
Keselarasan Isi Puisi dengan Irama/Musik

SKOR

5 Irama/musik selaras dengan isi puisi


3Irama /musik kurang selaras dengan isi puisi
1 Irama /musik tidak selaras dengan isi puisi
Intonasi
5Variasi irama, tekanan, dan jeda sesuai dengan isi puisi
3Irama, tekanan, dan jeda monoton dari awal sampai akhir
1Tidak sesuai dengan semua syarat pantun
Pelafalan
5Tidak terjadi kesalahan pengucapan
3Terjadi beberapa kesalahan pengucapan
1Ucapannya tidak jelasn dan banyak kesalahan pengucapan.
Penampilan
5Ekspresif , gerak tubuh sesuai dengan tuntutan puisi, dan tidak grogi
3Ekspresif, gerak tubuh sesuai dengan isi pantun, tetapi grogi
1Tidak ekspresif , gerak tubuh tidak sesuai denagn isi pantun, dan grogi
SKOR MAKSIMAL

20

LEMBAR PENGAMATAN BERBALAS PANTUN


HAL-HAL YANG DIAMATI
Keterkaitan isi pantun (pada keempat pantun)

SKOR

5Terdapat keterkaitan isi pada keempat pantun


3Hanya terdapat keterkaitan isi pantun pada tidak atau dua pantun
1Tidak ada keterkaitan antara isi pantun yang satu dengan yang lain
Kesesuaian Syarat Pantun (4 bait, sampiran isi, rima aaaa/abab, jumlah suku kata 8-12)
5Sesuai dengan semua syarat pantun
3Hanya sesuai dengan 3 atau 2 syarat pantun
1Tidak sesuai dengan semua syarat pantun
Pelafalan
5Pelafalan jelas, intonasi bervariasi
3Pelafalan jelas tetapi intonasi monoton
1Pelafalan tidak jelas dan intonasi monoton
Penampilan
5Ekspresif , gerak tubuh sesuai dengan isi pantun, dan tidak grogi
3Ekspresif, gerak tubuh sesuai dengan isi pantun, tetapi grogi
1Tidak ekspresif , gerak tubuh tidak sesuai denagn isi pantun, dan grogi
SKOR MAKSIMAL

20

LEMBAR PENGAMATAN MENDONGENG


HAL-HAL YANG DIAMATI
Kesesuaian
5 Sesuai dengan isi naskah

SKOR

3 Sebagian sesuai dengan isi naskah


1 Tidak sesuai dengan isi naskah
Kelengkapan (ada bagian awal-tengah-akhir)
5 ada bagian awal-tengah- akhir
3 Ada bagian awal-tengah ataun tengah-akhir
Kelancaran dan Keruntutan
5 Tidak tersendat-sendat sehingga cerita mudah diikuti
3 Beberapa kali tersendat-sendat/ berhenti untuk berpikir
1 Selalu berhenti untuk mengingat-ingat cerita
Penggunaan Bahasa
5 Bahasa komunikatif dan sederhana, tidak menghafal
3 Struktur kalimat terlalu panjang sehingga sukar dipahami
1 Kalimat rumit dan tidak logis
Pelafalan dan Intonasi
5 Pelafalan jelas dan tepat, intonasi bervariasi
3 Pelafalan jelas dan tepat tetapi intonasi monoton
1 Pelafalan tidak jelas dan tepat, intonasi monoton
Penampilan
5 Gerakan tubuh bermakna dan mendukung isi cerita
3 Beberapa gerakan kurang sesuai dengan isi cerita
1 Banyak gerakan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan isi cerita
SKOR MAKSIMAL

30

LEMBAR PENGAMATAN MENCERITAKAN KEMBALI ISI CERPEN


HAL-HAL YANG DIAMATI
Kesesuaian
5 Sesuai dengan isi naskah
3 Sebagian sesuai dengan isi naskah
1 Tidak sesuai dengan isi naskah
Kelengkapan (ada bagian awal-tengah-akhir)
5 ada bagian awal-tengah- akhir
3 Ada bagian awal-tengah ataun tengah-akhir
Kelancaran dan Keruntutan
5 Tidak tersendat-sendat sehingga cerita mudah diikuti
3 Beberapa kali tersendat-sendat/ berhenti untuk berpikir
1 Selalu berhenti untuk mengingat-ingat cerita
Penggunaan Bahasa
5 Bahasa komunikatif dan sederhana, tidak menghafal
3 Struktur kalimat terlalu panjang sehingga sukar dipahami
1 Kalimat rumit dan tidak logis
Pelafalan dan Intonasi
5 Pelafalan jelas dan tepat, intonasi bervariasi
3 Pelafalan jelas dan tepat tetapi intonasi monoton
1 Pelafalan tidak jelas dan tepat, intonasi monoton
Penampilan
5 Gerakan tubuh bermakna dan mendukung isi cerita
3 Beberapa gerakan kurang sesuai dengan isi cerita
1 Banyak gerakan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan isi cerita

Alat penilaian kemampuan menceritakan kembali isi cerpen


a. Ketepatan
1) kesesuaian isi
2) keruntutan cerita

SKOR

b.

Kelancaran
1) tidak tersendat-sendat
2) tidak banyak jeda/perhentian

c.

Kewajaran
1) kewajaran gerak
2) kewajaran mimik

d.

Penggunaan Bahasa
1) pelafalan tepat
2) intonasi tepat
3) artikulasi jelas
4) pilihan kata tepat
5) kalimat sederhana dan komunikatif

Sebelum tidur seorang anak kecil berkata kepada kakeknya, "Kek, dongengin dong!"
Kakeknya menjawab,"Nak, lebih baik kau membaca buku dongeng sendiri. Kakek capek sekali."
"Tolong dong Kek. Saya ingin mendengar dongeng dari Kakek. Tadi saya sudah membaca dongeng tetapi
saya mau lagi dan ingin mendengar suara Kakek sendiri."
"Kalau begitu, Kakek ambil bukunya dulu ya. Nanti Kakek membacakannya untukmu."

"Jangan, Kek. Kakek sendiri yang bercerita.." "Teman-teman Adi juga ingin mendengar dongeng
Kakek", pinta si cucu.
"Baiklah, kalau begitu".

Kakek mengambil bantal dan menaruh di sandaran. Ia duduk bersandar sambil memperhatikan anak-anak
yang duduk di hadapannya dengan mata yang terbuka lebar-lebar. Kakek menceritakan sebuah kisah di negeri
yang jauh, cerita seorang anak kecil yang mengalahkan seorang raksasa yang gagah perkasa dengan hanya
menggunakan beberapa butir batu kecil saja. Anak-anak terpesona. Ia memperhatikan mimik wajah kakeknya,
gerak tangan dan senyum yang mengembang di wajahnya. Getar-getar kegembiraan dan kesedihan tampak di
wajah anak-anak itu dan akhirnya kesan memuaskan terpancar dari wajah-wajah mereka ketika mendengar
akhir kisah seorang anak kecil yang dapat mengalahkan raksasa berpedang besar dan bertopi lebar.
Dari sisi yang lain, Hibana S. Rakhman dalam bukunya Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini
menyebutkan manfaat kegiatan mendongeng bagi anak. Dikatakan bahwa manfaat dongeng bagi anak adalah
sebagai berikut:
1)

mengembangkan fantasi. Melalui dongeng anak dapat mengembangkan fantasinya yang luar biasa. Anak
dapat mengidentikkan dirinya dengan tokoh-tokoh tertentu, atau minimal membayangkan bentuk tokoh dan
suasana dalam cerita;

2)

mengasah kecerdasan emosional: melalui dongeng, emosi anak seolah-olah dipermainkan. Rasa sedih, takut,
cemas, simpati, empati, dan berbagai jenis perasaan yang lain dibangkitkan. Hal ini akan berdampak positif
untuk mengasah anak mengelola perasaannya, yaitu untuk tidak selalu larut dalam satu perasaan saja secara
berlebihan;

3)

menumbuhkan minat baca: melalui dongeng anak terdorong untuk mendapatkan cerita lain yang lebih kaya
tanpa bergantung kepada orang yang bercerita. Jika anak telah menyenangi sebuah cerita, anak tidak akan
sabar menunggu Anda untuk mendongeng yang lain, tetapi anak akan memenuhi kebutuhannya itu dengan
membaca dongeng sendiri. Apabila hal ini terjadi secara berulang dan dalam jumlah anak yang besar, maka
minat baca anak pun dengan sendirinya akan mengalami peningkatan;

4)

membangun kedekatan dan keharmonisan: dengan mendongeng akan terjalin komunikasi dan hubungan
secara verbal dan emosional. Anak merasa lebih dekat dan lebih mendapatkan perhatian dari Anda;

5)

menjadi media pembelajaran: melalui dongeng anak dapat mempelajari apa saja. Ilmu pengetahuan yang
rumit dapat disajikan dengan lebih ringan, menarik, dan menyenangkan melalui dongeng.
ANAK SIAPA SEBENARNYA?

"Bukan! Ini anakku sendiri!" sahut yang seorang lagi sambil mempertahankan anak yang
dipangkunya. Mereka berdua dari pagi telah bertengkar. Anak bayi yang mereka perebutkan pun sudah lama
sekali menangis dan menjerit-jerit kelaparan. Popok bayi itu sudah basah kuyup tetapi tidak sempat diganti.
Tetapi salah seorang dari mereka kalah kuat. Dirampasnya bayi itu dan dibawanya lari cepat-cepat.
"Ini anak saya. Anak yang mati itulah anakmu!" katanya sambil mencibirkan bibirnya.
Perempuan yang kalah kuat itu mengejarnya dari belakang dengan sia-sia. Tapi teriakan-teriakannya
cukup keras sehingga keduanya mendekat kepada seorang serdadu.
"Jangan tahan saya. Ini anakku!"
"Bukan! Itu anak saya!"
Serdadu itu bingung. "Mengapa anak itu dibawa lari dan dibiarkan menangis terus menerus? tanyanya.
"Ini anakku!"
Bukan, yang mati itulah anakmu!"
Kedua wanita itu sekarang bertengkar. Serdadu sama sekali tidak memahami persoalannya. Sejenak
ditatapnya saja mereka yang saling memperebutkan anak bayi itu. Tetapi sekali-sekali ia menutup matanya ,
tidak sampai hati melihat anak bayi itu ditarik ke sana ditarik ke sini. Masing-masing mengaku bahwa anak itu
adalah bayinya.
"Hai! Hentikan itu! Kalau kalian tidak berhenti bertengkar nanti saya bawa menghadap raja!"
teriaknya.
Kedua perempuan itu berhenti bertengkar. Walaupun demikian, mata mereka saling menatap dengan
tatapan marah. Mendengar nama raja saja mereka sudah takut. Namun salah seorang dari mereka dengan pasrah
berkata," Bawa saja kepada raja. Saya setuju!" Mereka dengar bahwa raja seorang yang adil.
"Betul?" serdadu itu menatap wajah mereka berganti-ganti.
"Ya." Keduanya mengangguk.
Mereka pun menuju istana raja. Bayi yang sekarang digendong serdadu sudah diam. Bayi itu terlena
di pangkuannya. Tidak lama kemudian mereka sampai di istana raja. Mereka hendak menghadap Raja Sulaiman

yang sudah terkenal ke segenap penjuru dunia. Terkenal sebab kepintaran dan kebijaksanaannya.
"Baginda, Raja yang adil dan mulia," kata serdadu itu sambil berlutut. :Ketika hamba bertemu dengan
dua orang perempuan ini, mereka sedang bertengkar. Mereka memperebutkan bayi ini. Masing-masing mereka
mengaku, ini anak mereka. Hamba tidak mengerti Paduka."
Raja Sulaiman mengangguk. Dipersilakannya kedua perempuan itu menerangkan kejadian yang
sebenarnya mulai dari awal.
"Kalau begitu," raja mulai berkata, "letakkanlah bayi itu di atas sebuah meja." Ia berhenti sejenak dan
menatap pedang yang tergantung di dinding. Kedua perempuan itu memperhatikan dengan penuh tanda tanya.
"Ambil pedang itu. Supaya kedua perempuan ini merasa adil kita potong dua saja bayi ini, masing-masing
memperoleh sebagian tubuh bayi ini."
Serdadu yang mengawal raja mengambil sebuah meja dan pedang yang tergantung di dinding. Mereka
meletakkan bayi itu di atas meja. Pedang itu berkilai-kilauan ditimpa sinar. Raja menerima pedang itu. Tangan
raja diangkat dan pedang mulai menyibak udara. Ketika pedang mengambang di udara, seorang di antara dua
perempuan itu berteriak, "Paduka yang mulia, hamba mohon janganlah bayi itu dibunuh. Berikanlah bayi itu
kepadanya asal ia hidup."
Dengan wajah tenang raja menatapnya, dan menatap yang seorang lagi.
"Tidak! Jalankan keadilan, ya Tuanku Paduka Raja!" teriak perempuan yang satu lagi. Hening sejenak.
Semua wajah orang yang menyaksikan peristiwa di ruangan raja itu menjadi tegang.
Tiba-tiba raja menurunkan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada pengawalnya. Kemudian
dengan tenang diangkatnya bayi itu dan diserahkannya kepada perempuan yang mengatakan bahwa sebaiknya
anak itu diserahkan saja asal dia dapat hidup. Ialah ibunya yang sejati, yang sayang kepada anaknya, pikir raja

yang bijaksana itu. Ibu yang sayang merasa kasihan dan sayang kepada anaknya itu memperoleh kembali
anaknya. Adapun perempuan yang mengaku-ngaku sebagai ibu bayi itu mendapat hukuman karena telah
berbohong di hadapan raja.
Yang hadir dalam istana pun merasa amat lega.
(Dikutip dari Nadeak dalam Cara-Cara Bercerita)

HILANGNYA SAYAP KASUARI


Dulu, di Jazirah Onim, Fak-Fak, Irian Jaya, konon burung Kasuari bisa terbang seperti burung-burung
lain. Bahkan pada masa itu burung kasuari dikenal sebagai raja rimba. Hampir seluruh sumber makanan bagi
bangsa burung, baik yang ada di darat maupun yang ada di pepohonan dikuasainya. Karenanya, kasuari menjadi
sombong dan serakah. Tetapi yang lebih menyakitkan hati burunfg-burung lain, Kasuari sering menutupi
pepohonan yang lebat buahnya dengan sayapnya yang lebar. Akibatnya, burung-burung lain tidak bisa ikut
menikmatinya.
Suatu hari Kasuari mengguncang-guncangkan pohon buah-buahan sehingga buahnya banyak yang
jatuh. Namun, ketika burung-burung lain berebut memungutnya, Kasuari segera mengusirnya. "Enyah kau,
pencuri!"
Ulah kasuari yang semena-mena itu membuat burung-burung lain cemas. Bila hal itu dibiarkan, burungburung lain akan kelaparan. Atas inisiatif burung Wapur (merpati hutan), semua burung yang tinggal di hutan itu
sepakat untuk mengadakan rapat.
Pagi itu semua burung penghuni hutan berkumpul. Mereka berupaya memberikan pelajaran pada
Kasuari yang congkak dan serakah itu.
Setelah berunding disepakati bahwa Wapur yang akan bertindak. Ia bahkan rela menjadi korban kalau
memang harus terjadi. Wapur akan menantang Kasuari untuk mengadu kemampuan terbang di udara. Tetapi
sebelum pertandingan dimulai masing-masing pihak harus memberi kesempatan untuk mematahkan sayap
lawannya.
Kelinci bertugas mengantarkan surat tantangan itu kepada Kasuari. Betapa marahnya Kasuari ketika
membaca sura tantangan itu. "Baik, saya akan datang," kata Kasuari dengan congkak. "Jangan lupa! Umumkan
pada semua burung untuk datang di tempat perlombaan. Agar semua melihat bagaimana aku meremukkan
tulang-tulang lawanku."
Beberapa hari kemudian waktu perlombaan pun tiba. Burung-burung yang tinggal di hutan itu
berbondong-bondong ke tempat perlombaan. Mereka bergerombol-gerombol, bertengger di dahan-dahan di
pinggir padang rumput yang luas.
Tak lama kemudian burung Kasuari tampak melayang-layang di atas padang rumput. Matanya yang
awas terus memandang ke bawah sambil tertawa-tawa mengerikan.
"Hai, di mana penantang saya?" teriaknya. Tak ada jawaban.
"Ha ha ha siapa yang telah berani menantang Kasuari? Ayo, jangan sembunyi. Muncul dan
tunjukkan mukamu!"
Sejenak kemudian seekor burung kecil tiba-tiba melesat ke udara. "Akulah lawanmu!" teriaknya sambil
melintas di atas kepala kasuari.
"Ha, apa tidak salah! Seekor wapur? Dia berani menantangku?" Kasuari heran melihat penantangnya
hanya seekor burung kecil.
"Kau tidak perlu heran!" ujar Wapur. "Mari, kita mulai sekarang!"
Maka mulailah mereka mendekat dan berusaha mematahkan sayap lawannya. Kasuari berhasil
memegang sayap Wapur lalu memutar sayap itu kuat-kuat. Terdengar bunyi "kreek .. kreek". Kasuari yakin,.
sayap Wapur telah remuk. Padahal, sebenarnya itu adalah bunyi ranting yang patah. Wapur memang sengaja
menyelipkan ranting kayu kering di bawah sayapnya untuk mengelabui Kasuari.
Kini giliran Wapur berusaha mematahkan sayap Kasuari. Dengan segenap kekuatannya ia memutar
sayap Kasuari hingga patah. Kausari menjerit kesakitan.
Kemudian tibalah saatnya kedua burung itu berlaga terbang. Burung Wapur melesat bebas terbang ke
mana-mana. Sedangkan Kasuari baru terbang sebentar saja sudah melayang jatuh.
Kasuari mengaku kalah. Kasuari yang sombong menyadari bahwa kini ia tak sehebat dulu. Ia tak
mampu terbang lagi. Ia tak mampu menutupi pohon yang lebat buahnya dengan sayapnya.
Burung-burung bersorak kegirangan. "Hidup Wapur! hidup Wapur!" teriak mereka. Lalu mereka
berbondong-bondong mencari pohon yang lebat buahnya. Mereka makan buah-buahan itu dengan lahapnya
sambil berkicau riang. Sementara itu, Kasuari harus puas dengan menikmati sisa buah-buahan yang terjatuh dari
atas pohon itu tanpa bisa memetiknya sendiri.

Sejak saat itu semua keturunan Kasuari hanya memiliki sayap yang kecil sehingga tidak dapat terbang.
(dari Sanggar sastra)
***

SAMPURAGA
(Pada zaman dahulu di daerah Mandailing, Tapanuli Selatan terdapat kampung yang disebut Padang Bolak. Di
kampung tersebut berdiam seorang ibu dan anak lelaki tunggalnya bernama Sampuraga. Meskipun hidup mereka
kekurangan, mereka tidak pernah putus asa dan selalu rajin bekerja. Sampuraga bekerja di hutan mencari kayu
untuk dijual di pasar. Sedangkan ibunya bekerja sebagai buruh upahan)
1. Ibu
: "Sampuraga saya lihat dari tadi kamu termenung saja" (Kata seorang wanita setengah
baya yang tampak kurus berbaju kumal, sambil berdiri dari tempat duduknya dan
berjalan mendekati anaknya). "Apa uang yang kamu peroleh tadi siang tidak
mencukupi?"
2. Sampuraga
: (Anak laki-laki mengenakan baju yang tampak kumal, menoleh menatap ibunya dengan
wajah iba) "Bukankah setiap hari uang yang kita dapatkan memang tidak pernah
mencukupi?" (Laki-laki tersebut kemudian menunduk, tangannya mendekap wajahnya,
tampak sangat susah). "Saya sebenarnya ingin sekali mendapatkan uang yang banyak,
agar bisa mencukupi keperluan ibu, tetapi tetapi, apa yang harus saya lakukan?"
(Kata laki-laki itu sambil berdiri, dan tangannya bertelekan pada sandaran kursi).
3. Ibu
: "Saya sebenarnya ingin menyampaikan berita baik kepadamu, tetapi saya takut anakku
(Kata Ibu sambil memandang anaknya, kemudian duduk di kursi dengan menopang di
meja). "Ibu tidak ingin berjauhan denganmu Nak, ibu takut kehilangan kau." (Ujar Ibu
Sampuraga sambil menatap wajah anaknya).
4. Sampuraga
: "Maksud Ibu? Ibu mendapatkan jalan keluar untuk mengubah nasib kita?" (Laki-laki itu
berkata sambil mendekat dan memegang bahu ibunya).
5. Ibu
: (Mendongak menatap wajah anaknya, dan kembali menunduk dengan wajah sedih).
"Anakku, waktu saya bekerja di rumah Juragan Damiri, saya mendapat kabar bahwa
terdapat negeri yang tidak jauh dari kampung kita ini. Negeri tersebut bernama
Mandailing. Penduduknya sangat kaya karena sawah dan ladang mereka sangat luas dan
subur. Selain itu, mereka juga dapat mendulang emas di sungai sebab tanah di
Mandailing mengandung banyak emas."
6. Sampuraga
: "Itukah yang membuat takut Ibu?" (Tanya laki-laki itu sambil memandang ibunya).
Bukankah seandainya saya mencari pekerjaan di Mandailing, bisa mengumpulkan uang,
dan suatu saat bisa pulang kapan pun saya inginkan? (Ujar laki-laki itu sambil
memandang dan memegang tangan ibunya). "Sebab itu izinkan saya pergi ke negeri
Mandailing, Bu."
(Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Sampuraga pergi ke dalam)
(Sambil mengusap matanya, Ibu sampuraga berlari sambil berusaha memegangi tangan
anaknya)
Di Negeri Mandailing terdapat seorang bangsawan yang kaya raya, Juragan Pidoli namanya. Dia mempunyai
seorang putri yang elok rupawan bernama Dewi Safira. di tempat sang juragan inilah Sampuraga bekerja. Berkat
kemauan keras dan ketekunan Sampuraga, usaha Juragan Pidoli semakin maju pesat.
7. Dewi Safira
: (Duduk termenung di suatu ruangan. Tidak lama kemudian ayahnya ke luar
menemuinya).
8. Juragan Pidoli: "Safira, dari tadi saya lihat kamu merenung saja, melamun ya?" (Tanya Juragan Pidoli
sambil menepuk bahu anaknya)
9. Dewi Safira
: "Ah ayah, melamun sih tidak, hanya ini kalau saya perhatikan sejak Bang
Sampuraga bekerja di tempat kita, ayah jadi sering berada di rumah?" (Kata Safira
sambil menatap ayahnya). "Sering di rumah tetapi kalau saya perhatikan lagi usaha ayah
justru tambah maju."
10. Juragan Pidoli: "Kamu mau tahu rahasianya?" (Ujar ayahnya sambil tersenyum simpul). "Itu semua berkat
jasa Sampuraga. Semula ayah tidak menduga kalau dia memiliki kemampuan kerja
sebagus itu. Tetapi setelah kerja di sini setahun saja seluruh kemampuannya seperti

muncul dengan sendirinya. Dia bukan hanya tekun dan disiplin dalam bekerja, tetapi
juga pintar"
11. Dewi Safira
: "Dan ini ayah (Dewi Safira tidak melanjutkan kata-katanya. Dia seakan-akan
menyembunyikan sesuatu, hanya pandangannya seja menerawang jauh)
12. Juragan Pidoli: "Meskipun kamu tidak mengucapkannya, ayah tahu bahwa kamu sering mengunjungi
Sampuraga di tempat kerjanya. Ayah juga tahu bahwa Sampuraga begitu hormat dan
memperhatikanmu. kalau memang sudah jodoh? (Ujar Juragan Pidoli sambil tersenyum
sambil menepuk-nepuk bahu anaknya).
13. Sampuraga
: Maaf Juragan saya mengganggu (Terdengan suara Sampuraga di depan pintu. Juragan
Pidoli dan Dewi Safira serempak menoleh ke pintu. Sampuraga berjalan merunduk
menyalami Juragan Pidoli, lalu mau duduk di lantai).
14. Juragan Pidoli: "Jangan duduk di sini Sampuraga" (Juragan Pidoli berkata sambil berjalan mendekati
Sampuraga. Sampuraga berdiri dan digandeng Juragan Pidoli duduk di salah satu kursi).
15. Juragan Pidoli: "Sampuraga, Kamu sudah saya anggap seperti anak sendiri. Apalagi adikmu, Dewi Safira
tidak punya saudara" (Juragan Pidoli diam sejenak, menatap wajah Sampuraga dan
Dewi Safira). "Tentu saya sangat senang seandainya Kalian bisa hidup terus bersama"
16. Dewi Safira
: "Ayah. (Dewi Safira menyela), "Bang Sampuraga sudah punya pacar, dia
sepertinya. (Dewi Safira tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya melirik
Sampuraga)
17. Sampuraga
: "Tidak benar itu (Sampuraga berkata sambil menunduk), selama ini perhatian saya
hanya untuk hanya untuk (Sampuraga tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena
disela oleh Juragan Pidoli)
18. Juragan Pidoli: "Ah, sudahlah anak-anak muda, yang satu suka cemburu, yang satu masih ragu-ragu dan
malu. Ayah mengerti perasaan Kalian, kalian sebenarnya saling mencinta". (Juragan
Pidoli berhenti sejenak memandang kedua anak muda tersebut). "Kalau memang sudah
saling mencintai tidak ada salahnya kan Kalian segera pergi ke pelaminan?" (Juragan
Pidoli berjalan mendekati Sampuraga yang mengangguk tanda setuju). "Kalau begitu
kita pergi ke Petinggi Menteri Mandailing untuk merencanakan pesta pernikahan kalian.
(Juragan Pidoli, Dewi Safira, dan Sampuraga beriringan berjalan keluar).
(Pengantin baru tampak berjalan berdua, kemudian duduk bercengkerama. Pada saat itu tampak datang wanita
tua, bertubuh kurus, berbaju kumal. Dia tampak ragu-ragu untuk masuk dan mendekat menemui keduanya)
19. Dewi Safira
: (Memandang wanita tersebut dan menoleh kepada Sampuraga) "Bang rupanya ada
pengemis."(Dewi Safira menunjuk ibu yang ada di depan pintu).
20. Ibu
: (Terpaku memandang Sampuraga) "Sampuraga apa kamu sudah lupa dengan ibumu
Nak?" (Wanita itu berujar sambil terus menatap Sampuraga).
21. Sampuraga
: (Memandang wanita itu dengan agak ragu-ragu, tangannya tampak sebentar memegang
kening). "Saya memang pernah punya ibu, tetapi seandainya masih ada, dia tidak akan
sekurus dan setua kamu." (Ujar Sampuraga sambil berdiri, diikuti isterinya)." "Apabila
kamu menginginkan sedekah bilang saja minta apa, tidak usah menipu, dan membuat
cinta palsu."
22. Ibu
: (Berjalan agak mendekati Sampuraga). "Aku ibumu Nak. Penderitaan selama kamu
tinggalkanlah yang menjadikan ibu tampak renta seperti ini. Kamu pernah berjanji
untuk sering menengok ibu tetapi."
23. Dewi Safira
: "Mungkinkah perempuan itu ibumu Bang? Rasanya dia lebih pantas sebagai pengemis!"
(Dewi Safira memalingkan muka dengan wajah sinis)
24. Sampuraga
: (Memandang Safira sambil menggelengkan kepala dan berkacak pinggang dengan raut
wajah marah sambil menatap Ibu) "Tidak, dia bukan ibuku, pergi!". Aku tidak punya
ibu sepertimu, tidak usah pura-pura menjadi ibuku! Ibuku sudah meninggal bertahuntahun yang lalu"
25. Ibu
: "Anakku Sampuraga , ibumu datang ke sini bukan untuk meminta sesuatu darimu,
ibumu juga tidak ingin mengusik ketenteraman hidupmu" (Ibu berkata sambil menangis
dan mengiba). "Tetapi. bila sudah begini kenyataannya, ibu hanya bisa berharap dan
berdoa agar kalian menyadari kesalahan dan segeralah bertobat." (Menatap sejenak
sambil mengusap air matanya. Tiba-tiba ibu berkata dengan lantang sambil mengangkat
tangan memohon). "Tuhan, apabila kesalahan ini memang kesalahan anakku
Sampuraga, berilah mereka peringatan, berilah mereka pelajaran!"
(Seketika datang gelap, ibu Sampuraga hilang dari pandangan mata, suara gemuruh dan
kilat menyambar. Hujan dan air bah yang sangat dahsyat menenggelamkan tempat
Sampuraga dan Dewi Safira).

26. Sampuraga

"Ibu. Ibu. ampuni kesalahan anakmu. (Pada saat itu juga terdengar suara ibu,
"Sampuraga . Sampuraga anakku, segalanya memang sudah kehendak Tuhan.
Yakinlah bahwa ibumu tetap mengasihimu, dan Ibu akan selalu bersamamu")
(Di hari kemudian, di tempat itu diketemukan dua bongkah batu besar yang menyerupai
pengantin Sampuraga dan Dewi Safira yang mendapatkan kutukan dari ibunya.

Anda mungkin juga menyukai