Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep skizofrenia
2.1.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu Skizo yang artinya retak atau
pecah (split), dan frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang
yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) (Stuart,
2009).
Skizofrenia merupakan gangguan multifaktorial yang ditandai dengan
gejala kognitif dan afektif seperti distorsi pikiran dan persepsi serta
hilangnya ekspresi afektif yang normal (Cerino, S., et.al., 2011).
2.1.2 Etiologi
Menurut Kaplan dan Sadock (2003),faktor penyebab skizofrenia adalah:

1. Model Diatesis Stres


Mengintegrasikan

faktor

biologis,

psikososial,

dan

lingkungan.

Seseorang memiliki kerentanan spesifik (diatesis), yang jika mengalami


stres akan dapat memicu munculnya gejala skizofrenia. Stresor atau
diatesis ini bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen
lingkungan biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti kematian
orang terdekat). Dasar biologis diatesis dapat terbentuk lebih lanjut oleh
pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial dan
trauma.
2. Sudut Pandang Biologis
Pada skizofrenia terjadi perubahan-perubahan pada susunan saraf pusat
(otak). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perubahan-perubahan
pada neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan
interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi
alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejalagejala positif dan negative skizofrenia. Selain perubahan-perubahan yang
sifatnya neurokimiawi tersebut, dalam penelitian dengan menggunakan

CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak


pasien, terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran
lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan dan atrofi otak kecil
(cerebellum).
Pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak
tertentu. Namun sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan
antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya
skizofrenia. Penelitian pada beberapa dekade terakhir mengindikasikan
peran patofisiologi dari area tertentu diotak; termasuk sistem limbik,
korteks frontal dan ganglia basalis.
Sistem Limbik:
Berkat perannya dalam pengendalian emosi, sistem limbik dihipotesiskan
terlibat dalam dasar neuropatologi skizofrenia. Bahkan area otak ini
terbukti menjadi subjek studi paling subur untuk skizofrenia. Banyak
studi sampel otak skizofrenik postmortem yang terkontrol baik
menunjukkan adanya pengurangan ukuran regio yang meliputi amigdala,
hipokampus, dan girus parahipokampus. Temuan neuropatologi ini
sejalan dengan pengamatan yang diambil dari studi pencitraan MRI
pasien skizofrenia. Dilaporkan pula adanya disorganisasi neuron di dalam
hipokampus pasien skizofrenik.
Ganglia Basalis:
Ganglia basalis telah menjadi pusat perhatian teoritis skizofrenia
setidaknya untuk dua alasan. Pertama, banyaknya pasien skizofrenia
menunjukkan gerakan aneh, bahkan saat tidak ada gangguan pergerakan
terinduksi obat. Gerakan aneh tersebut dapat mencakup cara berjalan
yang ganjil, seringai wajah dan stereotipi. Karena ganglia basalis terlibat
dalam pengendalian gerakan, penyakit pada ganglia basalis dihubungkan
dengan patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan neurologis
yang mungkin memiliki psikosis sebagai gejala terkait, gangguan
pergerakan yang melibatkan ganglia basalis adalah salah satu yang paling
sering dikaitkan dengan psikosis pada pasien yang terkena. Lebih lanjut,
ganglia basalis berhubungan secara timbal balik dengan lobus frontalis,

dan abnormalitas fungsi lobus frontal yang terlihat pada sejumlah studi
pencitraan otak mungkin disebabkan penyakit di ganglia basalis daripada
lobus frontal sendiri.
Kerusakan pada lobus frontalis dapat menyebabkan kesulitan dalam
proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada tujuan,
berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.
Hipotesa Dopamin:
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter Dopaminergic. Peningkatan ini mungkin merupakan
akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya
reseptor dopamine, turunnya nilai ambang atau hipersensitivitas reseptor
dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Selain

dopamin,

terdapat

beberapa

neurotransmiter

lain

yang

dihubungkan dengan munculnya gejala skizofrenia, yaitu: serotonin,


norepinefrin, dan asam gama amino butirat (GABA). Serotonin dianggap
terlibat dalam perilaku impulsif dan bunuh diri yang dapat tampak pada
pasien

skizofrenia.

Neuroepinefrin

dopaminergik, sehingga abnormalitas

diduga

memodulasi

sistem

pada sistem noradrenergik

mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering.


Sedangkan

GABA

dapat

mengakibatkan

hiperaktivitas

neuron

dopaminergik dan noradrenergik.


3. Sudut Pandang Genetik
Penelitian yang luas tentang genetik menunjukkan bukti kuat adanya
komponen genetik yang berperan pada skizofrenia. Predisposisi genetik
pada pasien skizofrenia, telah terbukti melalui beberapa penelitian
tentang keluarga dengan skizofrenia. Jika pada populasi normal
prevalensi penderita skizofrenia sekitar 1% maka pada keluarga
skizofrenia prevalensi meningkat. Antara lain saudara kandung pasien
skizofrenia (bukan kembar) prevalensinya 8%. Anak dengan salah satu
orangtua menderita skizofrenia memiliki prevalensi 12%. Jika kedua
orang tuanya mengalami skizofrenia, prevalensi ini meningkat pesat
hingga 40%. Sedangkan pada penelitian anak kembar, ditemukan bahwa

pasien skizofrenia yang kembar dua telur memiliki prevalensi 12%, dan
untuk kembar satu telur prevalensinya meningkat menjadi 47%.
4. Sudut Pandang Psikososial
a. Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar.
Kerusakan ego memberikan kontribusi terhadap munculnya gejala
skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interpretasi
terhadap realitas dan kontrol terhadap dorongan dari dalam.
Sedangkan

pandangan

psikodinamik

lebih

mementingkan

hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan


dalam

setiap

fase

perkembangan

selama

anak-anak

dan

mengakibatkan stres dalam hubungan interpersonal. Gejala positif


diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor
pemicu/pencetus, dan erat kaitannya dengan adanya konflik. Gejala
negatif berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan gangguan
dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan
intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego
yang mendasar.
b. Teori Belajar
Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi
dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua
yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan
interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena
pada masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk.
c. Teori Tentang Keluarga
Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non
psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi perilaku keluarga yang
patologis yang secara signifikan meningkatkan stres emosional yang
harus dihadapi oleh pasien skizofrenia.
d. Teori Sosial

Industrialisasi

dan

urbanisasi

banyak

berpengaruh

dalam

menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung, namun


penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap
waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit.
2.1.3 Psikopatologi
Prevalensi penderita schizophrenia di Indonesia adalah 0,3 1 % dan
biasanya timbul pada usia sekitar 18 - 45 tahun. Schizophrenia disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain: faktor genetik, faktor lingkungan dan
faktor keluarga. Schizophrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi
individu penderitanya tetapi juga bagi orang-orang terdekat (Arif, 2006).
Penderita schizophrenia sering kali mengalami gejala positif dan negatif
yang memerlukan penanganan serius. Penderita schizophrenia juga
mengalami penurunan motivasi dalam berhubungan sosial, perilaku ini
sering tampak dalam bentuk perilaku autistic dan mutisme.
Akibat adanya penurunan motivasi ini sering tampak timbulnya
masalah keperawatan isolasi sosial menarik diri dan jika tidak diatasi dapat
menimbulkan perubahan persepsi sensoris halusinasi. Halusinasi yang
terjadi pada penderita schizophrenia tidak saja disebabkan oleh perilaku
isolasi sosial tetapi juga dapat disebabkan oleh gangguan konsep diri harga
diri rendah. Dampak dari halusinasi yang timbul akibat schizophrenia ini
sangat tergantung dari isi halusinasi. Jika isi halusinasi mengganggu, maka
penderita schizophrenia akan cenderung melakukan perilaku kekerasan
sedangkan halusinasi yang isinya menyenangkan dapat mengganggu
dalam berhubungan sosial dan dalam pelaksanaan aktivitas sehari-hari
termasuk aktivitas perawatan diri ( Stuart, 2007).
Schizophrenia sering dimanifestasikan dalam bentuk waham, perilaku
katatonik, adanya penurunan motivasi dalam melakukan hubungan sosial
serta penurunan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Waham yang
dialami pasien schizophrenia dapat berakibat pada kecemasan yang
berlebihan jika isi wahamnya tidak mendapatkan perlakuan dari
lingkungan sehingga berisiko menimbulkan perilaku kekerasan yang

diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Adanya perilaku
katatonik, menyebabkan perasaan tidak nyaman pada diri penderita, hal ini
karena kondisi katatonik ini berdampak pada hambatan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.
Hambatan dalam aktivitas sehari-hari menyebabkan koping individu
menjadi tidak efektif yang dapat berlanjut pada gangguan konsep diri
harga diri rendah dan bila tidak diatasi berisiko menimbulkan perilaku
kekerasan. Penderita dapat mengalami ambivalensi, kondisi ini dapat
menimbulkan terjadinya penurunan motivasi dalam melakukan aktivitas
perawatan diri dan kemampuan dalam berhubungan sosial dengan orang
lain. Adanya ambivalensi membuat penderita menjadi kesulitan dalam
pengambilan keputusan sehingga dapat berdampak pada penurunan
motivasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penderita schizophrenia
yang menunjukkkan adanya gejala negatif ambivalensi ini, sering kali
dijumpai cara berpakaian dan berpenampilan yang tidak sesuai dengan
realita seperti rambut tidak rapi, kuku panjang, badan kotor dan bau
(Rasmun, 2007).
Prognosis untuk schizophrenia pada umumnya kurang begitu
menggembirakan sekitar 25 % pasien dapat pulih dari episode awal dan
fungsinya dapat kembali pada tingkat sebelum munculnya gangguan
tersebut. Sekitar 25% tidak pernah pulih dan perjalanan penyakitnya
cenderung memburuk, dan sekitar 50 % berada diantaranya ditandai
dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan
efektif kecuali akan waktu singkat ( Arif, 2006).
2.1.4 Tahapan perkembangan skizofrenia
Tahapan (fase) perkembangan skizofrenia menurut Shives (2012) dan
Townsend (2014), adalah sebagai berikut:
1. Tahap premorbid
Perubahan motorik halus yang muncul selama fase/tahap
premorbid secara bertahap yakni ketegangan, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, insomnia, defisit kognitif. Ketidakmampuan sosial,

penarikan diri dari lingkungan sosial, mudah marah dan antagonis


pikiran dan perilaku dapat muncul pada fase ini.
Kepribadian dan perilaku premorbid tampak pada individu yang
sangat pemalu, sering menarik diri, hubungan interpersonal yang
sempit, sering melakukan keributan atau hal-hal yang buruk di sekolah
dan menunjukkan perilaku anti sosial. Pasien dengan kepribadian
schizotypal yang dicirikan sebagai orang yang tenang, pasif dan tertutup
juga

berisiko

mengalami

skizofrenia.

Karakteristik

remaja

preschizophrenic mungkin tidak memiliki teman dekat dan mungkin


akan menghindari kegiatan yang dilakukan secara berkelompok.
2. Tahap prodromal
Fase yang mendahului munculnya kondisi akut, dimulai dengan
fase premorbid dan meluas hingga timbul gejala psikotik. Fase ini dapat
singkat beberapa minggu atau bulan, akan tetapi rata-rata 2 dan 5 tahun.
Gejala yang muncul yakni gejala substansial dan non spesifik
seperti gangguan tidur, kecemasan, mudah marah, depresi, gangguan
mood, konsentrasi yang buruk, kelelahan dan defisit perilaku seperti
penurunan fungsi tugas dan penarikan sosial. Gejala positif seperti
kelainan persepsi, ide acuan dan kecurigaan berkembang juga pada fase
prodromal dan timbul psikosis.
Pengakuan pada fase prodromal memberikan kesempatan untuk
dilakukan intervensi dini dan perbaikan untuk jangka panjang.
Intervensi tersebut adalah identifikasi masalah, terapi kognitif untuk
meminimalkan gangguan, intervensi keluarga untuk meningkatkan
koping dan keterlibatan sekolah untuk mengurangi kegagalan.
3. Tahap skizofrenia
Pada fase aktif gangguan, gejala psikotik merupakan kondisi yang
paling dominan. Kriteria diagnose skizofrenia berdasarkan DSM-V
adalah sebagai berikut:
a. Dua atau lebih gejala yang sebagian besar muncul selama periode
satu bulan atau kurang (jika berhasil diobati), gejala tersebut
diantaranya delusi, halusinasi, inkoherensi, katatonik, gejala
negative (berkurangnya ekspresi emosional).
b. Pengalaman sejak timbulnya gangguan seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal atau perawatan diri atau pengalaman masa lalu

dimasa kecil atau remaja yakni kegagalan untuk mencapai yang


diharapkan pada tingkat interpersonal, akademik atau pekerjaan.
c. Gejala dapat bertahan selama 6 bulan termasuk 1 bulan gejala jika
kurang

berhasil

diobati.

Gejala

tersebut

termasuk

gejala

sisa/prodromal dengan 2 atau lebih gejala dari keyakinan yang


aneh, pengalaman persepsi yang tidak biasanya.
d. Skizoafektif dan bipolar dikesampingkan karena episode depresi
dan maniak telah terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif atau
jika episode mood telah terjadi selama fase aktif.
e. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat
(penyalahgunaan obat) atau kondisi medis lain.
f. Jika ada gangguan spectrum autism atau gangguan komunikasi
masa anak-anak, diagnosis tersebut hanya jika delusi yang
menonjol atau halusinasi atau apabila pengobatan kurang berhasil
pada minimal 1 bulan sejak munculnya gejala.
4. Tahap progressive
Selama fase ini, klien dapat pulih dari episode pertama dan pengalaman
berulangnya kambuh.
5. Tahap residual/kronis
Suatu tahap dimana klien mengalami episode berulang dan kambuh
untuk beberapa tahun. Skizofrenia ditandai oleh periode remisi dan
eksaserbasi. Selama fase residual, gejala tahap akut tidak ada atau tidak
lagi menonjol. Gejala negative mungkin tetap ada dan mempengaruhi
fungsi secara umum. Penurunan gejala sisa sering meningkat diantara
episode psikosis aktif.

2.1.5 Manifestasi klinis


Menurut Townsend (2014) dan Videbeck (2011), manifestasi klinis
skizofrenia umumnya digambarkan sebagai manifestasi positif dan
negative. Gejala positif cenderung mencerminkan perubahan atau distorsi
normal fungsi mental sedangkan gejala negative mencerminkan penurunan
atau hilangnya fungsi normal. Gejala positif dan negative ini
dipertimbangkan dari delapan bidang fungsi yaitu isi pikiran, bentuk

pikiran, persepsi, afek, kepekaan diri, kemauan, fungsi interpersonal yang


dihubungkan dengan dunia luar dan perilaku psikomotorik.
A. Gejala positif
1.
Isi pikiran
a. Delusi
Keyakinan palsu yang tetap dan tidak memiliki dasar dalam
realitas. Individu memiliki keyakinan meskipun bukti jelas
bahwa

itu

adalah

palsu

dan

tidak

rasional.

Delusi

diklasifikasikan menjadi delusi penganiayaan (individu merasa


terancam dan percaya bahwa orang lain berniat menganiaya
dirinya);

delusi

keagungan

(individu

memiliki

perasaan

berlebihan penting, kekuasaan, pengetahuan, identitas); delusi


referensi (ia merasa dirinya sebagai sumber referensi dari suatu
peristiwa atau hal yang terjadi di lingkungannya; delusi kontrol
atau pengaruh (individu percaya bahwa benda atau orang-orang
tertentu memiliki kontrol atas perilakunya); khayalan somatic
(individu memiliki ide palsu tentang fungsi tubuhnya); dan
khayalan nihilistic (memiliki pandangan palsu bahwa dirinya,
orang lain atau dunia adalah tidak ada).
b. Religiusitas
Adalah demonstrasi berlebihan atau obsesi dengan ide-ide
keagamaan dan perilaku. Individu dengan skizofrenia dapat
menggunakan ide-ide keagamaan dalam mencoba untuk
memberikan makna rasional dan struktur perilakunya.
c. Paranoia
Individu dengan paranoia memiliki kecurigaan yang ekstrim
terhadap niat dan tindakan orang lain.
d. Berpikir magis
Dengan pemikiran magis, yang orang percaya bahwa pikiran
atau perilaku memiliki kontrol atas situasi atau orang-orang
2.

tertentu.
Bentuk pikiran
a. Asosiasi longgar, individu tidak menyadari bahwa topik yang
dibicarakan itu tidak sesuai.
b. Sirkumtansial, individu terlambat mencapai tujuan atau titik
komunikasi.

c. Neologisme, orang psikotik menciptakan kata baru yang berarti


untuk orang lain tetapi memiliki makna simbolik kepada
psikotik lainnya.
d. Berpikir konkrit, merupakan regresi ke tingkat perkembangan
e.

kognitif sebelumnya.
Tangensial, dimana pasien benar-benar tidak dapat sampai ke

titik komunikasi.
f. Mutism, ketidakmampuan individu atau penolakan untuk bicara.
g. Perseverasi, individu yang terus menerus mengulang kata yang
sama atau ide dalam menanggapi pertanyaan yang berbeda.
3. Persepsi
a. Halusinasi, persepsi sensorik yang salah atau pengalaman
persepsi yang tidak ada dalam realitas.
b. Ilusi, kesalahan persepsi atau menafsir rangsangan eksternal
yang nyata.
4. Afek
a. Kepekaan diri, menggambarkan keunikan dan individualitas
seseorang.

Karena

memiliki

kelemahan

ego,

individu

skizofrenia tidak memiliki perasaan ini sehingga banyak


kebingungan tentang identitas dirinya.
b. Ekopraksia, imitasi dari gerakan dan mengamati gerak tubuh
orang lain tanpa tujuan.
c. Identifikasi dan imitasi, identifikasi terjadi pada tingkat bawah
sadar, dan imitasi terjadi pada tingkat sadar.
d. Depersonalisasi, identitas diri yang tidak stabil dari individu
skizofrenia sehingga menyebabkan perasaan yang tidak nyata.
B. Gejala negatif
1. Alogia: kecenderungan untuk bicara sangat sedikit atau untuk
menyampaikan sedikit makna.
2. Anhedonia: merasa tidak ada sukacita atau kesenangan dari
kehidupan atau aktivitas apapun.
3. Apatis: perasaan tidak peduli terhadap orang lain, kegiatan dan
acara.
4. Tumpul: dibatasi berbagai perasaan emosional, nada dan suasana
hati.
5. Katatonia: kondisi psikologis yang disebabkan oleh adanya
imobilitas yang ditandai dengan periode agitasi, klien tampak
bergerak-gerak.

6. Datar: tidak adanya ekspresi wajah yang akan menunjukkan emosi


atau suasana hati.
7. Kurangnya kemauan: tidak adanya kehendak, ambisi atau dorongan
untuk mengambil tindakan atau menyelesaikan tugas.
8. Ambivalensi emosional: mengacu pada koeksistensi emosi yang
berlawanan arah pada objek yang sama, orang atau situasi.
Ambivalensi

emosional

ini

dapat

mengganggu

kemampuan

seseorang membuat keputusan yang sederhana sekalipun.


9. Isolasi sosial: individu dengan skizofrenia kadang-kadang fokus
pada diri mereka sendiri dengan mengesampingkan lingkungan
eksternal.
10. Anergia artinya kekurangan energy. Individu dengan skizofrenia
memiliki energy yang kurang memadai untuk melakukan kegiatan
sehari-hari
11. Mondar-mandir dan rocking: perilaku psikomotor klien skizofrenia
yang umumnya terlihat adalah mondar-mandir dan rocking/tubuh
bergoyang.
2.1.6 Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III,
yaitu :
F 20. 0 (Skizofrenia paranoid)
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan
penyakit.

Hebefrenia

dan

katatonia

sering

lama-kelamaan

menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran


hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia

paranoid yang jalannya agak konstan, (Maramis, 2009).


F 20. 1 (Skizofrenia hebefrenik)
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut
Maramis (2009) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul
pada masa remaja atau antara 1525 tahun. Gejala yang menyolok
adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanakkanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak

sekali.
F 20. 2 (Skizofrenia katatonik)

Menurut Maramis (2009) skizofrenia katatonik atau disebut


juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan
biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin
terjadi stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik
1. Stupor katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan
perhatian sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya
sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita
keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.
2. Gaduh gelisah katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas
motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan

tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.


F 20. 3 (Skizofrenia tak terinci (undifferentiated))
F 20. 4 (Skizofrenia pasca-skizofrenia)
F 20. 5 (Skizofrenia residual)
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan
gejala-gejala primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejalagejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
skizofrenia, (Maramis, 2009).

F 20. 6 (Skizofrenia simpleks)


Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa
pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan.
Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara
perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan
keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia
semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya
menjadi pengangguran (Maramis, 2009).

F 20. 7 (Skizofrenia lainnya)


F 20. 8 (Skizofrenia YTT)

2.1.7 Psikodinamika

Psikodinamik merupakan suatu pendekatan dalam psikiatri untuk


mendiagnosis dan memberikan terapi. Terdapat tiga komponen yang
membentuk kepribadian seseorang, yaitu id, ego, dan superego. Apabila
terjadi konflik diantara ketiga komponen tersebut, seseorang akan
mengalami ketegangan, ketidakpuasan, kecemasan dan gejala-gejala
psikologik lainnya. Sebaliknya, apabila tidak pernah mengalami konflik
dapat terjadi pemanjaan atau overindulgence.
Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego
yang dibanjirinya oleh dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif
atau impuls-impuls yang berasal dari id. Impuls-ilmpuls tersebut
mengancam ego dan berkembang menjadi konflik intrapsikis yang kuat. Di
bawah ancaman seperti itu, orang tersebut mundur ke periode awal dari
tahapan oral, yang disebut sebagai narsisme primer. Pada periode ini bayi
belum belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang berbeda. Karena
ego menjembatani hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada
fungsi ego ini berpengaruh terhadap adanya jarak terhadap realitas yang
khas skizofrenia. Masukan dari id menyebabkan fantasi menjadi
disalahartikan sebagai realitas, menyebabkan halusinasi dan waham.
Impuls-impuls primitif mungkin juga membawa beban yang lebih berat
daripada norma-norma sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh,
dan tidak sesuai secara sosial.
Menurut postulasi Freud, skizofrenia merupakan akibat dari fiksasi
perkembangan yang terjadi lebih awal dan adanya peran dari disintegrasi
ego yang menyebabkan penderita kembali ke masa ketika ego belum
sempurna sehingga mempengaruhi RTA (reality testing ability) dan kontrol
terhadap diri sendiri. Skizofrenia juga adalah hasil dari konflik dan
mekanisme defensif, konflik yang terjadi lebih berat dan seringkali pasien
menggunakan mekanisme defensif yang primitif. Kelanjutan dari konflik,
kecemasan dan defensif dianggap cukup untuk dapat menimbulkan
psikopatologi pada pasien skizofrenia.
Pengikut-pengikut Freud, seperti Erik Erikson dan Harry Stuck
Sullivan lebih menekankan pada faktor interpersonal daripada intrapsikis.
Sullivan (1962), misalnya, yang mengabdikan sebagian besar waktu

kerjanya untuk meneliti skizofrenia, menekankan pentingnya hubungan


ibu dan anak yang terganggu, dan mengemukakan argumentasi bahwa hal
tersebut dpat menetapkan tahapan untuk penarikan diri secara perlahanlahan dari orang lain. Pada masa kanak-kanak awal, interaksi yang penuh
kecemasan dan permusuhan antara anak dan orang tua membawa anak
untuk mencari perlindungan pada dunia fantasi yang bersifat pribadi.
Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik diri, semakin
berkurang kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada
orang lain dan keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun
keintiman. Kemudian ikatan yang lemah antara anak dan orang lain
mendorong kecemasan sosial dan penarikan diri yang lebih jauh. Siklus ini
berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian, dihadapkan dengan
meningkatnya tuntutan di sekolah atau pekerjaan dan dalam hubungan
intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan kecemasan dan
menarik diri sepenuhnya ke dunia fantasi.
Kritik terhadap pandangan Freud menyatakan bahwa perilaku
skizofrenia dan perilaku infantil tidak sepenuhnya sama, sehingga
skizofrenia tidak dapat dijelaskan dengan regresi. Kritik terhadap
pandangan Freud dan ahli teori psikodinamika modern mencatat bahwa
penjelasan psikodinamika bersifat post hoc, atau retrospektif. Hubungan
anak dan orang dewasa pada masa awal diingat kembali dari sudut
pandang masa dewasa dan bukannya diamati secara longitudinal (terusmenerus). Ahli psikoanalisis tidak pernah dapat menunjukan bahwa
hipotesis tentang pengalaman masa kanak-kanak awal atau pola-pola
keluarga menyebabkan skizofrenia.
2.1.8 Prognosis
Hasil pada skizofrenia sulit untuk diprediksi. Walaupun remisi penuh
atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang mempunyai
gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu
sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami
perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi
siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa

faktor yang dapat mempengaruhinya seperti usia tua, faktor pencetus jelas,
onset akut, riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi,
menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan
gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset
muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk,
autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem
pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi
dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan
prognosis yang buruk.
a. Kesembuhan total (total recovery), mungkin sembuh seterusnya dan
mungkin kambuh 1 2 kali.
b. Kesembuhan sosial (sosial recovery).
c. Keadaan kronis yang stabil.
d. Umur : makin muda umur permulaannya makin jelek prognosanya.
e. Kepribadian prepsikotik: bila skizoid dan hubungan antar manusia
kurang memuaskan maka prognosa lebih jelek.
f. Bila skizoprenia timbul secara akut, maka prognosa lebih baik daripada
bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
g. Prognosa pada jenis katatonik yang paling baik.
h. Pengobatan : makin cepat pengobatan makin baik prognosanya.
i. Bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres
psikologik maka prognosa lebih baik.
j. Faktor keturunan: prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga
terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizoprenia.
2.1.9 Diagnosa banding
Menurut Eugen Bleuler diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat
bila terdapat gejala-gejala primer dan disharmoni (keretakan, perpecahan
atau ketidak seimbangan) pada unsur-unsur kepribadian (proses pikir,
afek/emosi, kemauan dan psikomotorik), diperkuat dengan adanya gejalagejala sekunder.

Kurt Schneider (1939) menyusun gejala rangking pertama (first


rank symtoms) dan berpendapat bahwa diagnosa skizofrenia sudah boleh
dibuat bila terdapat satu gejala dari kelompok A dan satu gejala dari
kelompok B, dengan syarat bahwa kesadaran penderita tidak menurun.
(Maramis, 2009). Gejala-gejala rangking pertama menurut Schneider
adalah :
1. Halusinasi pendengaran
a. Pikirannya dapat didengar sendiri
b. Suara-suara yang sedang bertengkar
c. Suara-suara yang mengkomentari perilaku penderita
2. Gangguan batas ego
a. Tubuh dan gerakan-gerakan penderita dipengaruhi oleh suatu
kekuatan dari luar
b. Pikirannya diambil atau disedot keluar
c. Pikirannya dipengaruhi oleh orang

lain

atau

pikirannya

dimasukkan kedalam pikiran orang lain


d. Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar
e.
f.
g.
h.

secara umum
Perasaannya dibuat oleh orang lain
Kemauannya atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain
Dorongannya dikuasai orang lain
Persepsi yang dipengaruhi oleh waham

2.1.10 Terapi
A. Terapi biologis
1. Penggunaan obat anti psikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-gejala
schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine
decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat
phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini
disebut obet penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa
kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap,
sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan
mudah terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh pada
stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita schizophrenia yang

tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan). Bukti


menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja pada bagian batang otak,
yaitu sistem retikulernya, yang selalu mengendalikan masukan berita dari
alat indera pada cortex cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi
masukan sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak
mencapai cortex cerebral.
Obat antipsikotik telah terbukti efektif untuk meredakan gejala
schizophrenia, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit, dan
mencegah kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk
penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus melanjutkannya
dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat berfungsi di luar rumah
sakit. Disamping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik tersebut
memiliki dampak sampingan yang kurang menyenangkan, yaitu mulut
kering, pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi, sehingga banyak orang
menghentikan pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak
sampingan yang lebih serius dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah
rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut dan dagu
yang tidak disengaja. Selain itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat
psikotropik anti schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di
Indonesia. Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine,
iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan yang lebih
baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-obat lama. Obat-obat
generasi kedua ini bisa menetralisir gejala-gejala akut schizophrenia
seperti tingkah laku kacau, gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran,
inkoherensi, maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti
autistik (pikiran penuh fantasi dan tak terarah), perasaan tumpul, dan
gangguan dorongan kehendak. Namun, obat-obat anti schizophrenia ini
memiliki harga yang cukup mahal. Sementara, penderita schizophrenia di
Indonesia kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah dan
biasanya menggunakan obat-obatan klasik (generik).
Dosis antipsikosis:
a. Pemberian Anti psikosis

1. Neuroleptika dosis efektif tinggi (diberikan) dalam dosis terbagi 2-3


kali/ sehari
a. Chlorpromazin (CPZ) : 75-500mg (per-os), Injeksi 25-50mg (im)
b. Perazin : 50-60 mg (per-os)
c. Thioridazin : 75-500 mg (per-os)
d. Diutamakan untuk skizofrenia yang disertai penyakit organik,
misalnya skizofrenia dengan gangguan hepar
2. Neuroleptika dengan dosis rendah (diberikan dalam dosis terbagi ) 12 kali/sehari
a. Flupenazin HCL : 5-10 mg (per-os)
b. Flupenazin depo : 25 mg/4 minggu (intra musculer)
c. Trifluoperazin : 3-20 mg (per-os)
d. Haloperidol : 5-15 mg(per-os)
e. Pimozid : 2-8 mg (per-os)
2. Terapi elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi
elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan
masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di
berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat.
Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT
merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali
tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan
mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita
kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas
kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai
cacat fisik. Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien
diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot.
Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipis
atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak dominan.
Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak
yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan
aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot
tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan tidak
ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan

hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan
kepada belahan otak yang tidak dominan (nondominan hemisphere).
Empat sampai enam kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan
dalam

jangka

waktu

minggu.

Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk penyembuhan


schizophrenia, namun lebih efektif untuk penyembuhan penderita depresi
tertentu.
1. Pembedahan otak
Pada tahun 1935, Moniz memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu
preoses pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia.
Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan
tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan
penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak
bergairah, bahkan meninggal.
B. Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat
situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi
monoton dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi
untuk menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik
(ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir
tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya.
Wawancara tatap muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara
psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan
perilaku tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang
tidak disadari.
1. Terapi psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep
Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik
yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya
untuk mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling penting pada terapi
ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode

terapi ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang tidak


"kambuh". Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah
Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk
membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada
dalam

pikirannya

tanpa

penyuntingan

atau

penyensoran.

Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi
relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika
penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien
harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam
pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami
blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi.
Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti sexual dan
agresi. Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas yang
selalu diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan hostile
merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan
blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi
kepribadian menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat
besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas,
maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat
menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking
bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih
proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan
ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi
kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan
keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan
moment

chatarsis.

Disini

penderita

diberi

kesempatan

untuk

mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan, sehingga terjadi redusir


terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya.
Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses transference, yaitu

suatu keadaan dimana pasien menempatkan therapist sebagai figur


substitusi dari figur yang sebenarnya menimbulkan masalah bagi
penderita.
2. Terapi perilaku
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik
dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terapis
mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon dan kondisi
lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu. Akhirakhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel kognitif
pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi menimbulkan
kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah mencakupkan
upaya untuk mengubah variabel semacam itu dengan prosedur yang
khusus ditujukan pada perilaku tersebut.
a. Social learning programme
Social learning programme menolong penderita schizophrenia untuk
mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan
token economy, yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan
memberikan tanda tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan
suatu perilaku tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah
(reward), seperti makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya
adalah millieu program atau therapeutic community. Dalam program
ini,

penderita

dibagi

dalam

kelompok-kelompok

kecil

yang

mempunyai tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka


dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama dan saling
membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan masalahmasalah

bersama

dengan

pendamping.

Terapi

ini

berusaha

memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan


untuk mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung
jawab dengan melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.
Dalam penelitian, social learning programme mempunyai hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa
dan millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini adalah
identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas apakah
penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor lain yang

menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah program penguatan


dengan tanda tersebut membantu perubahan perilaku hanya selama
tanda diberikan atau hanya dalam lingkungan perawatan.
b. Social skill training
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian
sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam
beradaptasi dengan masyarakat. Social Skills Training menggunakan
latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi tugas untuk bermain
peran dalam situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya
dalam situasi yang sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering
digunakan dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk membantu
penderita agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka
dibantu dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti
memasak, berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat, dan
sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil, namun tetap ada
persoalan bagaimana mempertahankan perilaku bila suatu program
telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak
diajarkan secara langsung.
3. Terapi humanistic
a. Terapi kelompok
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang
berusaha menghindari relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri,
sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah yang dilakukannya
tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani
kasus tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses
penyembuhan

klien,

khususnya

klien

schizophrenia.

Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada
terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan
terapis berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di
dalamnya. Diantara peserta terapi tersebut saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka.
Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk
berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya pengalaman

mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi


ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal
relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak
untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya
yang tidak realistis.
b. Terapi keluarga
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta
anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapis. Terapi ini
digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan
tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam
keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh
kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi tentang caracara

untuk

mengekspresikan

perasaan-perasaan,

baik

yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga
diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk
mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh
penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota
keluarga diatur dan disusun sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari
beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon ternyata
campur

tangan

keluarga

sangat

membantu

dalam

proses

penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya


penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi lainnya.

2.2 HALUSINASI
2.2.1

PENGERTIAN
Halusinasi merupakan salah satu masalah yang mungkin ditemukan

dari masalah persepsual pada skizofrenia., dimana halusinasi tersebut


didefenisikan sebagai pengalaman atau kesan sensori yang salah terhadap
stimulus sensori.

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan


sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada
rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca
indra tanpa stimulus eksteren :Persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi dimana klien
mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi
terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal dipersepsikan
sebagai sesutu yang nyata ada oleh klien.

Halusinasi sering diidentikkan dengan Schizofrenia. Dari seluruh klien


Schizofrenia 70% diantaranya mengalami halusinasi. Klien skizofrenia dan
psikotik lain 20% mengalami campuran halusinasi pendengaran dan
penglihatan.
Pada halusinasi dapat terjadi pada kelima indera sensoris utama yaitu :
1.

Pendengaran terhadap suara : Klien mendengar suara dan bunyi


yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain tidak
mendengarnya.

2.

Visual terhadap penglihatan : Klien melihat gambaran yang jelas


atau samar-samar tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak
melihatnya.

3.

Taktil terhadap sentuhan : Klien merasakan sesuatu pada kulitnya


tanpa stimulus yang nyata.

4.

Pengecap terhadap rasa : Klien merasa makan sesuatu yang tidak


nyata. Biasanya merasakan rasa makanan yang tidak enak.

5.

Penghidu terhadap bau : Klien mencium bau yang muncul dari


sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak
menciumnya.

2.2.2

RENTANG RESPON HALUSINASI


Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang

berada dalam rentang respon neurobiologi. Ini merupakan respon persepsi


paling

maladaptif.

Jika

klien

sehat

persepsinya

akurat,

mampu

mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi


yang diterima melalui panca indra ( pendengaran, penglihatan, penghidu,

pengecapan, dan perabaan ), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu


stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada. Diantara
kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal
mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang
diterimanya yang disebut sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi
yang dilakukannya terhadap stimulus panca indra tidak akurat sesuai stimulus
yang diterima.
Rentang respon :

Respon Adaptif

Respon Maladptif

Pikiran logis

Distorsi pikiran

Persepsi akurat

Ilusi

Emosi konsisten dengan

Reaksi emosi berlebihan

Pengalaman

atau kurang

Perilaku sesuai

Perilaku aneh/tidak biasa

Berhubungan sosial

Gangguan pikir/delusi
Halusinasi
Sulit berespon emosi

Perilaku disorganisasi

Menarik diri

Isolasi sosial

Rentang Respon Neurobiologi ( Stuart dan Lararia, 2001 hal : 403 )

2.2.3

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB HALUSINASI

1. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya respon
neurobiologi seperti halusinasi antara lain:
a.

Faktor Genetik

Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui


kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang

menjadi factor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam


tahap penelitian. Diduga letak gen schizoprenia adalah kromoson
nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan No.4,8,5 dan 22
(Buchanan dan Carpenter,2002). Anak kembar identik memiliki
kemungkinan mengalami schizofrenia sebesar 50% jika salah satunya
mengalami schizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar
15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami
schizofrenia berpeluang 15% mengalami schizofrenia, sementara bila
kedua orang tuanya schizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
b.

Faktor Neurobiologi.

Ditemukan bahwa korteks pre frontal dan korteks limbiks pada klien
schizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada
klien schizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter dopamin berlebihan, tidak seimbang
dengan kadar serotin.
c.

Studi neurotransmitter.

Schizofrenia diduga juga disebabkan oleh ketidak seimbangan


neurotransmitter dimana dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan
kadar serotin.
d.

Teori virus

Paparan virus influenza pada trimester ke-3 kehamilan dapat menjadi


faktor predisposisi schizofrenia.
e.

Psikologis.

Beberapa kondisi pikologis yang menjadi faktor predisposisi


schizofrenia antara lain anak yang di pelihara oleh ibu yang suka
cemas, terlalu melindungi, dingin dan tak berperasaan, sementara ayah
yang mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor presipitasi
Faktor faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
a.

Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima


dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.

b.

Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu ( mekanisme


gateing abnormal)

c.

Gejala-gejala pemicu kondisi kesehatan lingkungan, sikap dan


perilaku seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini :
Kesehatan

Nutrisi Kurang
Kurang tidur
Ketidak siembangan irama sirkardian
Kelelahan infeksi
Obat-obatan system syaraf pusat
Kurangnya latihan
Hambatan unutk menjangkau pelayanan kesehatan

Lingkungan

Lingkungan yang memusuhi, kritis


Masalah di rumah tangga
Kehilangan kebebasan hidup, pola aktivitas sehari-hari
Kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain
Isoalsi sosial
Kurangnya dukungan sosial
Tekanan kerja ( kurang keterampilan dalam bekerja)
Stigmasasi
Kemiskinan
Kurangnya alat transportasi
Ktidak mamapuan mendapat pekerjaan

Sikap / Perilaku

Merasa tidak mampu ( harga diri rendah)


Putus asa (tidak percaya diri )

Mersa

gagal

kehilangan

motivasi

menggunakan

keterampilan diri
Kehilangan kendali diri (demoralisasi)
Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut.
Merasa malang ( tidak mampu memenuhi kebutuhan
spiritual )
Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan
Rendahnya kemampuan sosialisasi
Perilaku agresif
Perilaku kekerasan
Ketidak adekuatan pengobatan
Ketidak adekuatan penanganan gejala.

2.2.4

JENIS JENIS HALUSINASI


JENIS

HALUSINASI

KARAKTERISTIK

Pendengaran

Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara

70 %
( Auditory Acoustic )

berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas


berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap
antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang
terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh
untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan.

Penglihatan 20%
( Visual Optik )

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,


gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias

menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.


Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses

Penciuman

umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi

( Olfaktory )

penghidu / penciuman sering akibat stroke, tumor, kejang, atau


dimensia.

Pengecapan

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

( Gustatory )
Perabaan

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.


Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang

( Tactile )

lain.

Cenesthetic

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,


pencernaan makanan, atau pembentukan urin.

Kinesthetic

2.2.5

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

FASE HALUSINASI

Halusinasi yang dialami oleh klien biasanya berbeda intensitas dan


keparahannya. Fase halusinasi terbagi empat:
Fase I : Memberi rasa nyaman tingkat anxietas sedang, secara umum

1.

halusinasi merupakan suatu kesenangan.


Karakteristik:
- Mengalami anxietas, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
- Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan anxietas.
- Pikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontrol kesadaran
non

spikotik.

Perilaku Klien:
-

Tersenyum atau tertawa sendiri

Menggerakkan bibir tanpa suara

Pergerakan mata yang cepat

Respon verbal yang lambat

Diam dan berkonsentrasi

2.

Fase II :
- Menyalahkan

Tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan rasa


antipati.
Karakteristik:
-

Pengalaman sensori menakutkan

Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut


- Mulai merasa kehilangan kontrol

Menarik diri dari orang lain

Non psikotik
Perilaku klien:
-

Terjadinya peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan


darah

3.

Perhatian dengan lingkungan sensorinya

Konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya

Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.


Fase III :

Mengontrol

Tingkat kecemasan berat

Pengalaman sensori (halusinasi) tidak dapat ditolak lagi


Karakteristik:

Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi)

Isi halusinasi menjadi atraktif

Kesepian bila pengalaman sensori berakhir


Perilaku klien:
- Perintah halusinasi ditaati
- Sulit berhubungan dengan orang lain

- Perhatian terhadap lingkungan kurang atau hanya dalam beberapa


detik
- Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan
berkeringat
4.

Fase IV :

Klien sudah dikuasai oleh halusinasi

Klien panik
Karakteristik :

Perilaku panik

Resiko mencederai

Agitasi/ketaton

Tidak mampu berespon terhadap lingkungan

2.2.6

MEKANISME KOPING
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi adalah:

Register, menjadi malas beraktifitas sehari-hari.

Proyeksi, mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan


mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.

Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan


stimulus internal.

2.2.7

Keluarga mengingkari masalah yang dialami klien.

PERILAKU HALUSINASI
Halusinasi benar-benar riil dirasakan oleh klien yang mengalaminya,

seperti mimpi saat tidur. Klien mungkin tidak punya cara untuk menentukan
persepsi tersebut nyata. Sama halnya seperti seseorang mendengarkan suara-

suara dan tidak lagi meragukan orang yang berbicara tentang suara tersebut.
Ketidakmampuannya mempersepsikan stimulus secara riil dapat menyulitkan
kehidupan klien. Karenanya halusinasi harus menjadi prioritas untuk segera
diatasi.

Untuk

memfasilitasinya

klien

perlu

dibuat

nyaman

untuk

menceritakan perihal haluinasinya.


Klien yang mengalami halusinasi sering kecewa karena mendapatkan
respon negatif ketika mencoba menceritakan halusinasinya kepada orang
lain. Karenanya banyak klien enggan untuk menceritakan pengalaman
pengalaman aneh halusinasinya. Pengalaman halusinasi menjadi masalah
untuk dibicarakan dengan orang lain. Kemampuan untuk memperbincangkan
tentang halusinasi yang dialami oleh klien sangat penting untuk memastikan
dan memvalidasi pengalaman halusinasi tersebut. Perawat harus memiliki
ketulusan dan perhatian untuk dapat memfasilitasi percakapan tentang
halusinasi.
Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis
halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tandatanda dan
perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya
sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang
halusinasi yang diperlukan meliputi :

Isi Halusinasi.
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa
yang dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk
bayangan yang dilihat oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang
tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap jika halusinasi
pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh jika halusinasi
perabaan.

Waktu dan Frekuensi.


Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman
halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu, atau sebulan
pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk
mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien
perlu perhatian saat mengalami halusinasi.

Situasi Pencetus Halusinasi.


Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum
halusinasi muncul. Selain itu perawat juga bias mengobservasi apa
yang

dialami

klien

menjelang

munculnya

halusinasi

untuk

memvalidasi pernyataan klien.

Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien
bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus
halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.

Selain data tentang halusinasinya, perawat juga dapat mengkaji data yang
terkait dengan halusinasi, yaitu :

Bicara, senyum dan tertawa sendiri.

Menarik diri dan menghindar dari orang lain.

Tidak dapat membedakan nyata dan tidak nyata.

Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi.

Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan


lingkungan) dan takut.

2.2.8

Ekspresi muka tegang dan mudah tersinggung.

PENATALAKSANAAN
a. Membina hubungan interpersonal, saling percaya.
Mengekspresikan perasaan secara terbuka, jujur dan bersikap
langsung. Bersikap sekonsisten mungkin, sabar, tunjukan sikap
penerimaan dan mendengarkan pasien.
b. Mengkaji gejala halusinasi
Perhatian dan dengarkan individu terhadap isyarat, halusinasi pada
intensitas awal, isyarat perilaku termasuk menyeringai atau tertawa
yang tidak wajar, menggerakkan bibir tanpa berbicara, mengedipkan
mata secara cepat, respons verbal yang lambat, diam atau sering
menelan.

c.

Fokuskan pada gejala dan minta individu untuk menguraikan apa yang
sedang terjadi
Tujuannya adalah untuk memberikan kekuatan kepada individu
dengan membantunya memahami gejala yang dialaminya atau
ditunjukannya.

d. Identifikasi kemungkinan pernah menggunakan obat atau alkohol


Banyak

orangyang

menggunakan

obat

atau

alkohol

sebagai

mekanisme koping atau sebagai suatu cara tercepat untuk mengatasi


intensitas gejala.
e. Jika ditanya, katakan secara singkat bahwa anda tidak sedang
mengalami stimulus yang sama.
Tujuannya adalah untuk menuntun individu melalui pengalamannya
membuat ia mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di
lingkungannya.
f. Bantu individu untuk menguraikan dan membandingkan halusinasi
yang sekarang dengan yang terakhir dialaminya.
Perlu dicari tahu apa yang sedang dilihat, didengar, dirasakan,
disentuh atau dihidu untuk mulai mengungkapkan apakah terhadap
suatu pola. Dorong individu untuk mengingat kapan halusinasi
pertama kali terjadi.
g. Dorong individu untuk mengamati dan menguraikan pikiran, perasaan
dan tindakannya sekarang atau yang lalu berkaitan dengan halusinasi
yang

dialaminya.

Seringkali

individu

dengan

schizofrenia

berkemampuan untuk membuat gejalanya tampak atau tidak. Jangan


bersikap menyalahkan, karena sikap orang yang terlibat dalam asuhan
terhadap pasien bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penyakit
ini.
h. Bantu individu menguraikan kebutuhan yang mungkin tercermin pada
isi halusinasi untuk mempertahankan kehidupan, halusinasi mungkin
sebagian merefleksikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.

i. Bantu individu mengidentifikasi apakah ada hubungan antara


halusinasi dengan kebutuhan yang mungkin tercermin. Pusatkan pada
kebutuhan nasional yang tidak terpenuhi yang mungkin sedang dialami
individu. Apakah ada

hubungannya dengan halusinasi.

j. Sarankan dan perkuat penggunaan hubungan interpersonal dalam


pemenuhan kebutuhan. Sangat penting untuk menemukan seorang
individu yang akan memberikan umpan balik yang jujur untuk
membantunya memilah antara realitas dengan halusinasi. Perlu diingat
bahwa menurunkan anxietas merupakan intervensi kunci untuk
menghentikan halusinasi.
k. Identifikasi
kemampuan

bagaimana

gejala

psikosis

lain

individu

untuk

melaksanakan

telah

mempengaruhi

aktivitas

sehari-hari.

Membantu individu mengidentifikasi dan mengenal pengaruh gejala


terhadap aktivitas hidup sehari-hari, maka harga diri akan meningkat,
kemarahan berkurang dan individu akan merasa sebagai pengendali
gejala dan bukan dikendalikan oleh gejala.

2.2.9. CARA YANG EFEKTIF DALAM MENGONTROL HALUSINASI


Adapun cara yang efektif dalam mengontrol halusinasi adalah :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatsainya klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien
dilatih untuk mengatakan tidak mau mendengar ..........., tidak mau
melihat. Ini dianjurkan bila halusinasi muncul setiap saat.
2. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan
meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, klien dapat menvalidasi
persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus
eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan

mengurangi pusat perhatian klien terhadap stimulus inetrnal yang menjadi


sumber halusinasi.
3. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.
Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak
dimanfaatkan dengan baik oeh klien. Klien akhirnya asyik dengan
halusinasinya. Untuk itu klien dialtih untuk menyusun rencana kegiatan
dari pagi sampai malam dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus
memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak
ada waktu luang untuk melamun tak terarah.
4. Memanfaatkan obat dengan baik.
Munculnya

halusinasi

akibat

adanya

ketidakseimbangan

neurotransmiter di saraf (dopamin, serotonin). Untuk itu klien perlu diberi


penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi serta
bagaimana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan
tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan
materi lima benar dalam pemberian obat agar klien patuh menjalankan
pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan
klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal
ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga sebagai sistem
dimana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat menentukan
kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalah
tetapi tidak didukung secara kuat oleh keluarga, klien bisa mengalami
kegagalan lagi. Halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis),
sekalipun klien pulang ke rumah mungkin masih mengalami halusinasi.
Dengan mendidik keluarga tentang cara menangani halusinasi diharapkan
keluarga dapat menjadi terapis begitu kembali ke rumah.
Untuk mengendalikan halusinasi, biasanya dokter memberikan
psikofarmaka. Untuk itu selain terapi keperawatan, perawat juga perlu
memfasilitas klien untuk dapat menggunakan psikofarmaka secara tepat.

Prinsip 5 benar harus menjadi focus utama dalam pemberian obat. Bila
pengendalian dengan obat ini berhasil, terapi keperawatan akan dapat
berhasil dengan lebih optimal.

Anda mungkin juga menyukai