Proses Dan Perubahan Sosial
Proses Dan Perubahan Sosial
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Di dalam kehidupan, setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Tidak ada
sekelompok masyarakat pun yang tidak berubah. Perubahan itu baik secara cepat
maupun perubahan yang membutuhkan waktu lama. Perubahan tersebut dapat terjadi
dalam berbagai bidang kehidupan, misalnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
maupun perubahan yang berkaitan dengan kebudayaan. Perubahan yang terjadi
dalam bidang sosial pada suatu masyarakat sering dikenal dengan istilah perubahan
sosial.
Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tidak hanya faktor yang
mendorong
perubahan
sosial
tetapi
ada
pula
faktor
yang
disosiatif.
Akibat
dari
proses-proses
sosial
tersebut
lebih
lanjut
mengenai
bentuk-bentuk,
proses
2. RumusanMasalah
yang
Kontravensi
berarti
menghalangi
adalah
suatu
atau
proses
menantang.
komunikasi
sikap
ketidaksesuaiannya.
Dalam
Mobilitas sosial
Mobilitas berasal dari kata mobilis, yang artinya mudah
bermobilitas atau mudah dipindahkan. Mobilitas sosial (social
mobility) adalah suatu mobilitas dalam struktur sosial, yaitu pola
tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Mobilitas
sosial terjadi pada semua masyarakat meskipun dengan kecepatan
yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem yang diterapkan
masyarakat dalam menyusun kehidupan sosialnya atau
bermasyarakat.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (Bagong Suyatno,
2004:202) mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari
satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari
strata
yang
satu
ke
strata
peningkatan
atau
penurunan
yang
lainnya
dalam
segi
baik
status
itu
berupa
sosial
dan
antara
dan pertukaran.
orang
tua
mereka.
Apabila
anak
seseorang
yang
perwakilan
mobil
Saturn,
maka
orang
tersebut
mengalami
mobilitas
sosial
ke
bawah
(downward
sosial
mobility).
Istilah mobilitas struktural (structural mobility) merujuk pada
perubahan-perubahan
dalam
masyarakat
yang
mendorong
Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di dasawarsa 70an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan sejumlah mahasiswa ke
berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak ke Pertamina. Jadilah University
of Malaysia dan Petronas seperti sekarang, meninggalkan jauh guru-nya.
Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol ialah tentang
kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator MDGs.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari
kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan
organisasi wanita barat mem-booming pada dasawarsa kedua di abad ini. Hal
tersebut direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres
Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan
sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara
Indonesia sendiri.
Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita
Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat sering dituding
menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria. Demikian pula
penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi pembenaran bahwa
kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam segala aspek dan
bidang kehidupan.
Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan, respon
perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses
perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan
masyarakat Indonesia.
Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang
mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang Program Inpres Desa
Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi kerakyatan. Program IDT disusul
dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan infrastruktur pedesaan. Selanjutnya
dikawinkan melalui program PPK yang menangkap kedua program (ekonomi dan
infrastruktur) yang dikenal dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan
sejenis untuk di perkotaan dengan nama P2KP.
Hariadi,
mantan
Community
Development
&
Women
In
berbanding
lurus
dengan
bertambahnya
ruang
gerak
untuk
Kasus 2
Suara Rakyat, Media Sosial dan "The New Politics"
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, media sosial (medsos)
khususnya dalam dunia politik Indonesia telah menjadi mantra paling seksi yang
paling sering dibicarakan selama kurun waktu 5-8 tahun terakhir ini. Penggunaan
media sosial diangap sebagai kehadiran sebuah era politik baru yang menghadirkan
suara rakyat secara lebih luas.
Di Indonesia, media sosial mencapai puncak popularitasnya saat digunakan para
pendukung dan relawan pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta 2012 yang
memenangkan Jokowi-Basuki.
Media sosial semakin menjadi-jadi pengaruhnya saat kampanye pileg dan pilpres
2014 lalu yang mengantarkan Jokowi menjadi Presiden ke-7 RI. Para aktivis medsos
10
seolah menjadi sebuah kekuatan politik tersendiri yang menentukan dan bernilai
tinggi.
Medsos menjadi senjata politik yang ampuh khususnya dibutuhkan saat
memobilisasi dan mempengaruhi kebijakan publik tertentu.
Gagalnya Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri dan kemunculan Teman
Ahok menjadi contoh-contoh terkini dari tren mobilisasi media sosial dalam sebuah
tujuan politik.
Fenomena media sosial di Indonesia memang cukup mengesankan. Menurut situs
data wearesocial.com, dari sekitar 259 juta total jumlah populasi di republik ini
terdapat 88 juta warga (34 persen) pengguna internet aktif. Dari 88 juta manusia
tersebut, tercatat 79 jutanya adalah pengguna aktif media sosial.
Sejauh ini memang belum ada referensi akademik atau kajian yang lebih
komprehensif terkait pengaruh media sosial terhadap, katakanlah, perilaku memilih
individu dalam setiap pemilu.
Cuma yang jelas, akibat kekuatan media sosial, sejumlah gempa politik sudah terjadi
dan mempengaruhi konfigurasi dan wajah politik sejumlah negara, termasuk
Indonesia.
bukunya
berjudul
Democratic
Governance
(2010),
Mark
Bevir
11
Konsep tata pemerintahan baru ini intinya lebih mengedepankan jejaring (network)
dan kemitraan (partnership) antarseluruh komponen termasuk pasar dan masyarakat
sipil dalam proses-proses pengelolaan pembangunan masyarakat.
Ada dua pemikiran yang mempengaruhi model negara baru ini. Pertama pemikiran
ekonomi politik neoliberalisme dan teori "rational choice" yang ingin membuat
kinerja dan peran negara menjadi efisien. Kedua, bangkitnya kembali kesadaran
"third way" merujuk pada pemikiran sosial Demokrat, "center left politics" dan
pendekatan "new institutionalism" sebagai dampak dari menguatnya populisme dan
suara-suara rakyat di berbagai arena deliberasi publik.
Meminjam pada pendekatan Bevir tadi, bagi organisasi publik semacam institusi
pemerintah, ormas ataupun parpol, kunci keberhasilan mereka di era politik baru ini
adalah kemampuan beradaptasi dengan tren keterbukaan dan partisipasi yang dibawa
seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial ini.
12
dilaksanakan secara "murni" untuk memastikan warga (baca: rakyat) secara formal
terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan-keputusan strategis.
Rakyat tak lagi dipandang sebagai pinggiran, lokal, periferi, penonton atau mungkin
dengan stigma komunis bahkan fundamentalis. Smith menawarkan sebuah inovasi
demokrasi yang ingin memastikan rakyat (bisa) terlibat secara lebih bermartabat.
Problemnya saat ini adalah sistem politik yang ada menjadikan demokrasi terlalu
formal prosedural, struktural, rumit dan bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh
elite-elite oligarki tadi.
Kerap rakyat hanya menjadi penonton dan resisten karena merasa tidak dilibatkan.
Ricardo Blaug (2002) membedakannya dengan critical democracy dengan
incumbent democracy. Critical democracy adalah rakyat yang tereksklusi dari proses
perumusan kebijakan dan mereka melakukan resistensi terhadap elite dominan.
Sebaliknya, incumbent democracy adalah elite dominan yang memiliki kapabilitas
untuk melakukan agenda setting politik sesuai kepentingan mereka secara
institusional.
Realitasnya, angka golput dan apatisme politik cenderung menjadi tinggi dalam
setiap pemilu. Warga tidak percaya dengan para politisi yang mengaku sebagai wakil
atau pemimpinnya, terhadap institusi politik seperti partai dan bahkan terhadap
lembaga negara.
Padahal demokrasi dibutuhkan sebagai alat kontrol publik untuk mengawal
formulasi dan pelaksanaan kebijakan, untuk mendorong partisipasi publik dalam
politik, serta menjamin inklusifitas dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga
negara tanpa terkecuali sekaligus melindungi kepentingan publik dari pembajakan
kepentingan-kepentingan pemodal.
Konfigurasi Politik Baru
Satu hal yang tak bisa dihindari dalam era digital ini adalah aspek inklusivitas dan
kemitraan,
aspek
jaringan
antaraktor,
aspek
transparansi
dan
aspek
13
15
dalam
menggunakannya
karena
ini
akan
sangat
berakibat
jika
salah
menggunakannya.
Media sosial saat ini sudah menjadi proses dan perubahan sosial yang lebih
komprehensif terkait pengaruh media sosial terhadap memilih individu dalam setiap
pemilihan. Karenanya tantangan terhadap peran negara menjadi sangat besar. Salah
satunya tantangan terhadap pemilu yang secara garis besar sangat mempengaruhi
segala aspek dalam bentuk dukungan atau yang lainnya.
Seharusnya rakyat tak lagi dianggap sebagai penonton atau menerima segala
keputusan yang telah jadi, tetapi rakyat berperan penting dalam hal ini. Semua
problem yang menjadikan demokrasi terlalu formal prosedural, struktural, rumit dan
bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh elite-elite oligarki tadi harus dibuat mudah
agar rakyat dapat menyampaikan suaranya dengan ringan dan agar masalah dapat
diselesaikan dengan secepatnya.
Akibatnya angka golpot atau golongan putih dan apatisme politik cenderung menjadi
tinggi dalam setiap pemilu. Rakyat tidak akan percaya begitu saja apa yang
dijanjikan oleh para calon pemimpin dan calon wakil pemimpinnya. Karena asipasi
mereka di persulit dengan prosedur yang ada.
Tetapi hanya dengan media sosial masyarakat bisa menyampaikan suaranya ditengah
pertarungan politik yang rumit, kejam dan sangat membosankan. Dengan media
sosial juga masyarakat mengalami proses dan perubahannya yakni masyarakat yang
kritis menanggapi masalah yang ada dan dapat memberi saran atas apa yang telah
terjadi.
C. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah yang berjudul Proses dan Perubahan
Sosial antara lain:
a. Bentuk-bentuk proses sosial antara lain
16
Daftar Pustaka
Hartya, Tety dan Ari Hariadi. 2007. Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan
Sosial.
[Online].
Tersedia:
http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?
Tersedia:
http://nasional.kompas.com/read/2016/06/21/19110091/Suara.Rakya
t.Media.Sosial.dan.The.New.Politics [20 September 2016].
17