Anda di halaman 1dari 17

Proses dan Perubahan Sosial

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Di dalam kehidupan, setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Tidak ada
sekelompok masyarakat pun yang tidak berubah. Perubahan itu baik secara cepat
maupun perubahan yang membutuhkan waktu lama. Perubahan tersebut dapat terjadi
dalam berbagai bidang kehidupan, misalnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
maupun perubahan yang berkaitan dengan kebudayaan. Perubahan yang terjadi
dalam bidang sosial pada suatu masyarakat sering dikenal dengan istilah perubahan
sosial.
Perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tidak hanya faktor yang
mendorong

perubahan

sosial

tetapi

ada

pula

faktor

yang

menghambat terjadinya perubahan sosial. Dalam perubahannya


ada yang menuju ke arah yang positif maupun menuju ke arah
yang negatif. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa perubahan
dapat membuat masyarakat menjadi lebih baik, namun juga
sebaliknya. Selain itu, perubahan sosial yang terjadi mempunyai
berbagai dampak bagi kehidupan masyarakat.
Dalam proses sosial ada berbagai bentuk-bentuk pelaksanaan.
Misalnya saja proses sosial asosiatif, proses yang mengindikasikan
adanya gerak pendekatan atau penyatuan. Sementara proses yang
cenderung membawa anggota masyarakat kearah perpecahan dan
merenggangkan solidaritas di antara anggota-anggotanya disebut
proses

disosiatif.

Akibat

dari

proses-proses

sosial

tersebut

muncullah mobilitas sosial. Oleh karena itu, kelompok kami ingin


mengetahui

lebih

lanjut

mengenai

bentuk-bentuk,

proses

terjadinya mobilitas sosial, dan contoh-contoh dari proses dan


perubahan sosial secara terperinci.

2. RumusanMasalah

Rumusan masalah dari makalah ini yang berjudul Proses dan


Perubahan Sosial adalah sebagai berikut:
a. Apa saja bentuk-bentuk proses sosial?
b. Bagaimana mobilitas sosial bisa terjadi?
c. Bagaimana contoh-contoh dari proses dan perubahan sosial?
3. Tujuan
Tujuan dari makalah yang berjudul Proses dan Perubahan Sosial
adalahsebagaiberikut:
a. Untukmengetahuibentukbentukprosessosial.
b. Untukmengetahuiprosesterjadinyamobilitassosial.
c. Untuk menjelaskan contoh-contoh dari proses dan perubahan
sosial.
B. Pembahasan
1.
Bentuk-bentuk Proses Sosial
a. Proses Sosial
1) Pengertian Proses Sosial
Proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam
suatu jangka waktu sehingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan
perilaku dalam kehidupan masyarakat. Pada hakikatnya proses ini
mempunyai kecenderungan untuk membuat masyarakat bersatu dan
meningkatkan solidaritas di antara anggota kelompok. Secara garis besar,
proses sosial bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu proses sosial yang
asosiatif, dan proses sosial yang disosiatif.
Proses sosial asosiatif. Proses sosial bisa disebut asosiatif apabila
proses itu mengindikasikan adanya gerak pendekatan atau penyatuan.
Berikut ini adalah empat bentuk khusus proses sosial yang asosiatif, yakni
(Narwoko dan Suyanto, 2007:57):
a) Kooperasi, berasal dari dua kata latin, co yang berarti bersama-sama, dan
operasi yang berarti bekerja. Kooperasi, dengan demikian, berarti kerja
sama. Kooperasi merupakan perwujudan minat dan perhatian orang
untuk bekerja bersama-sama dalam suatu kesepahaman, sekalipun
motifnya sering dan bisa tertuju pada kepentingan diri sendiri.
b) Akomodasi, yaitu suatu bentuk proses sosial yang di dalamnya terdapat
dua atau lebih individu atau kelompok yang berusaha untuk saling
menyesuaikan diri, tidak saling mengganggu dengan cara mencegah,
mengurangi, atau menghentikan ketegangan yang akan timbul atau yang
2

sudah ada, sehingga tercapai kestabilan keseimbangan. Akomodasi ini


terjadi pada orang-orang atau kelompok-kelompok yang mau tak mau
harus bekerja sama, sekalipun dalam kenyataannya mereka masingmasing selalu memiliki paham yang berbeda dan bertentangan. Tanpa
akomodasi dan kesediaan berakomodasi, dua pihak yang berselisih
paham tak akan mungkin bekerja sama untuk selama-lamanya.
Akomodasi sering terjadi di dalam masyarakat, sehingga betapa pun
seriusnya perbedaan pendapat sepasang suami-istri, misalnya, masih
tetap saja mereka bisa bertahan hidup dan tinggal bersama dalam satu
rumah (atau bahkan satu ranjang) sampai akhir hayatnya.
c) Asimilasi merupakan sebuah proses yang ditandai oleh adanya usahausaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara
individu-individu atau kelompok individu. Asimilasi juga merupakan
proses yang lebih berlanjut apabila dibandingkan dengan proses
akomodasi. Pada proses asimilasi terjadi proses peleburan kebudayaan,
sehingga pihak-pihak atau warga-warga dari dua-tiga kelompok yang
tengah berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal yang
dirasakan sebagai milik bersama.
d) Amalgamasi, merupakan proses sosial yang melebur dua kelompok
budaya menjadi satu, yang pada akhirnya melahirkan sesuatu yang baru.
Tak usah dikatakan lagi, amalgamasi itu jelas akan melenyapkan
pertentangan-pertentangan yang ada di dalam kelompok. Sebuah contoh
dari khazanah sejarah dapat ditunjukkan. Pertentangan-pertentangan
antara suku-suku bangsa Anglo-Saxon dan Normandia telah berakhir
ketika terjadi perkawinan campuran antara kedua suku bangsa tersebut.
Perkawinan campuran antara kedua kelompok besar ini telah melahirkan
proses amalgamasi yang berhasil.
e) Akulturasi adalah suatu keadaan di mana unsur-unsur kebudayaan asing
yang masuk lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri.
Dalam akulturasi kita mengenal unsur-unsur kebudayaan yang mudah
diterima dan unsur-unsur kebudayaan yang sulit diterima.
Proses disosiatif merupakan sebuah proses yang cenderung membawa
anggota masyarakat ke arah perpecahan dan merenggangkan solidaritas di
3

antara anggota-anggotanya. Proses sosial disosiatif dapat ditemukan pada


setiap masyarakat. Bentuk dan coraknya tentu saja akan bervariasi,
tergantung dari keadaan budaya masyarakat yang bersangkutan. Proses sosial
disosiatif dapat diuraikan menjadi tiga bentuk, yakni:
a) Kompetisi.
Kompetisi merupakan suatu proses sosial di mana individu atau
kelompok mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang
pada masa tertentu menjadi pusat perhatian umum, tanpa menggunakan
ancaman atau kekerasan. Kompetisi harus dilaksanakan dengan
berpedoman pada nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Halhal yang dapat menimbulkan terjadinya persaingan atau kompetisi antara
lain sebagai berikut, perbedaan pendapat mengenai hal yang sangat
mendasar, perselisihan paham yang mengusik harga diri, dan
kebanggaan masing-masing pihak yang ditonjolkan. Keinginan terhadap
sesuatu yang jumlahnya sangat terbatas atau menjadi pusat perhatian
umum. Perbedaan sistem nilai dan norma dari kelompok masyarakat,
perbedaan kepentingan politik kenegaraan, baik dalam negeri maupun
luar negeri. Proses ini adalah proses sosial yang mengandung perjuangan
untuk memperebutkan tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas, yang
semata-mata bermanfaat untuk mempertahankan suatu kelestarian hidup.
Pada pokoknya, apa yang disebut kompetisi ini dapat dibedakan ke
dalam dua tipe umum. Pertama, kompetisi personal, yaitu kompetisi
yang bersifat pribadi antara dua orang. Kedua, kompetisi impersonal,
yaitu kompetisi tak pribadi yang berlangsung (bukan antara orang-orang
yang mendukung kepentingan-kepentingan pribadi) antara dua
kelompok; sebagai contoh dapat disebutkan persaingan antara dua
perusahaan, yang tentu saja juga menyangkut orang-orang, tetapi tidak
menyangkut perkara-perkara pribadinya, melainkan menyangkut
kedudukan-kedudukan mereka selaku pejabat atau pemegang peranan di
dalam perusahaan itu.
b) Konflik.
Istilah konflik berasal dari kata Latin configere yang berarti
saling memukul. Dalam pengertian sosiologi, konflik dapat didefinisikan
sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok berusaha
4

menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau


membuatnya tidak berdaya. Menurut Robert M.Z. Lawang, konflik
adalah perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai,
status, kekuasaan, dan sebagainya, di mana tujuan mereka yang
berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga
untuk menundukkan pesainganya.
Konflik sebagai suatu proses ternyata dipraktikkan
juga secara luas di dalam masyarakat. Berbeda hal
dengan kompetisi yang selalu berlangsung di dalam
suasana damai, konflik adalah suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau
kelompok-kelompok yang saling menentang dengan
ancaman kekerasan. Dalam bentuknya yang ekstrem,
konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk
mempertahankan hidup dan eksistensi (jadi bersifat
defensif), akan tetapi juga bertujuan sampai ke taraf
pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang
dipandang sebagai lawan atau saingannya. Dari catatan
sejarah kita dapat melihat bagaimana orang-orang Roma
berkonflik dan memusnahkan penduduk Carthago; dan
bagaimana migran-migran Eropa membinasakan
eksistensi suku-suku Indian.
c) Kontravensi
Kontravensi berasal dari kata latin, contra dan
venire,

yang

Kontravensi

berarti

menghalangi

adalah

suatu

atau

proses

menantang.
komunikasi

antarmanusia, di mana antara pihak yang satu dengan


pihak yang lain sudah terdapat benih ketidaksesuaian,
namun di antara pihak-pihak yang terlibat itu saling
menyembunyikan

sikap

ketidaksesuaiannya.

Dalam

kontravensi dikandung usaha untuk merintangi pihak lain


mencapai tujuan. Yang diutamakan dalam kontravensi adalah
menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal ini didasari oleh rasa
tidak senang karena keberhasilan pihak lain yang dirasa merugikan,
5

walaupun demikian tidak terdapat maksud untuk menghancurkan pihak


lain.
2.

Mobilitas sosial
Mobilitas berasal dari kata mobilis, yang artinya mudah
bermobilitas atau mudah dipindahkan. Mobilitas sosial (social
mobility) adalah suatu mobilitas dalam struktur sosial, yaitu pola
tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Mobilitas
sosial terjadi pada semua masyarakat meskipun dengan kecepatan
yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem yang diterapkan
masyarakat dalam menyusun kehidupan sosialnya atau
bermasyarakat.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (Bagong Suyatno,
2004:202) mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari
satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari
strata

yang

satu

ke

strata

peningkatan

atau

penurunan

yang

lainnya

dalam

segi

baik
status

itu

berupa

sosial

dan

(biasanya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami


oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.
Pernyataan Horton dan Hunt di dukung oleh Huky bahwa istilah
mobilitas diartikan sebagai suatu gerak orang perorangan atau
grup dari suatu kelompok ke kelompok lainnya dalam masyarakat.
Mobilitas sosial adalah perubahan, pergeseran, peningkatan,
ataupun penurunan status dan peran anggotanya. Dalam sosiologi
mobilitas sosial berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial;
sosial mobility refers to the movement of individuals or groups
up or downwithin a sosial hierarchy (Ransford, 1980:491).
Tipe-tipe mobilitas sosial. Ada tiga tipe dasar mobilitas
sosial

antara

lain antargenerasi, structural,

dan pertukaran.

Mobilitas antargenerasi (intergenerational mobility) merujuk pada


suatu perubahan yang terjadi di antara generasi-generasijika
anak dewasa berada pada tingkat kelas sosial yang berbeda
dengan

orang

tua

mereka.

Apabila

anak

seseorang

yang

berdagang mobil bekas dari lulus kuliah dan membeli hak

perwakilan

mobil

Saturn,

maka

orang

tersebut

mengalami

mobilitas sosial ke atas. Sebaliknya, apabila seorang anak yang


memiliki hak perwakilan tersebut terlalu banyak berpesta, putus
kuliah dari perguruan tinggi, dan berakhir menjual mobil, maka ia
mengalami

mobilitas

sosial

ke

bawah

(downward

sosial

mobility).
Istilah mobilitas struktural (structural mobility) merujuk pada
perubahan-perubahan

dalam

masyarakat

yang

mendorong

sejumlah besar orang ke atas atau ke bawah tangga kelas sosial.


Suatu contoh yang luar biasa ialah runtuhnya bursa saham di
tahun 1929, dimana ribuan orang tiba-tiba kehilangan sejumlah
besar kekayaan. Orang-orang yang dahulunya pernah berhasil,
mendapatkan diri mereka berdiri di sudut-sudut jalan menjual apel
atau menjual milik mereka secara obral.
Tipe ketiga mobilitas sosial adalah, mobilitas pertukaran
(exchange mobility), terjadi ketika sejumlah besar masyarakat
bergerak naik turun tangga kelas sosial namun, secara seimbang,
proporsi kelas-kelas sosial tetap sama. Andaikan bahwa sekitar
sejuta orang kelas pekerja dilatih dalam suatu teknologi baru, dan
mereka naik kelas sosial. Andaikan pula bahwa, kaerna adanya
peningkatan pesat dalm impor, sekitar sejuta orang pekerja
terampil harus melakukan pekerjaan berstatus lebih rendah.
Meskipun jutaan orang berpindah kelas sosial, namun sebenarnya
terdapat pertukaran di antara mereka. Hasil akhirnya menjadi
3.

imbang, dan sistem kelas pada dasarnya tetap tak tersentuh.


Contoh-contoh dari proses dan perubahan sosial
Kasus 1
Pontianak, 2 Mei 2007
Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial
Dalam harian Kompas beberapa waktu lalu disebutkan, komitmen Indonesia dalam
melaksanakan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals atau
MDGs) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi terakhir, hanya dapat
disejajarkan dengan Myanmar dan negara-negara Afrika umumnya.
7

Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di dasawarsa 70an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan sejumlah mahasiswa ke
berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak ke Pertamina. Jadilah University
of Malaysia dan Petronas seperti sekarang, meninggalkan jauh guru-nya.
Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol ialah tentang
kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator MDGs.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari
kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan
organisasi wanita barat mem-booming pada dasawarsa kedua di abad ini. Hal
tersebut direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres
Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan
sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara
Indonesia sendiri.
Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita
Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat sering dituding
menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria. Demikian pula
penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi pembenaran bahwa
kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam segala aspek dan
bidang kehidupan.
Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan, respon
perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses
perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan
masyarakat Indonesia.
Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang
mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang Program Inpres Desa
Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi kerakyatan. Program IDT disusul
dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan infrastruktur pedesaan. Selanjutnya
dikawinkan melalui program PPK yang menangkap kedua program (ekonomi dan
infrastruktur) yang dikenal dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan
sejenis untuk di perkotaan dengan nama P2KP.

Namun, sebenarnya yang membedakan adalah payung besarnya. PPK melalui


Kementrian Dalam Negeri, dan P2KP melalui Departemen Pekerjaan Umum, meski
keduanya sama-sama menyitir pemberdayaan perempuan sebagai salah satu isunya.
Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu
proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial budaya ke
suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan sosial budaya, seperti yang dikatakan
Antropolog dan peneliti senior LIPI EKM Masinambow, merupakan suatu proses
perubahan yang mencakup, antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada,
menggantikannya, mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang
kemudian berdiri berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada.
Kembali ke masalah pembangunan yang berwawasan gender (Gender Equitable
Development atau GED) yang di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan
kemiskinan dan pembangunan yang tak berkelanjutan. Ahli Community Capacity
Building lulusan Columbia University (AS), Aisyah Muttalib mengatakan, GED
adalah suatu transformasi untuk men-gender-kan (en-gender) ekonomi hingga akan
terwujud suatu tatanan ekonomi baru, di mana pemerataan gender dipegang sebagai
suatu nilai yang paling mendasar.
Ekonomi baru seperti inilah yang telah dijalankan oleh seluruh wanita di dunia
secara otomatis sebagai kodrat kewanitaannya. Mereka mengelola sumber daya demi
mempertahankan segalanya. Bukan saja kehidupan diri, tapi juga keluarganya,
masyarakat, dan anak-anak yang dilahirkannya. (Tety Hartya, Praktisi Pemberdayaan
Perempuan/Ari

Hariadi,

mantan

Community

Development

&

Women

In

Development NTT-WRDS CIDA, KMW I P2KP-2 Kalbar; Nina)


Analisis artikel Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial
Menurut kelompok kami, emansipasi wanita sangatlah penting. Selama ini kaum
wanita selalu dinomor duakan, bahkan dianggap sepele karena tidak sekuat dan
setangguh kaum laki-laki dan masih dipandang sebelah mata. Hal tersebut
merupakan suatu ketidak adilan yang seharusnya menjadi perhatian. Dan dengan
adanya Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta pada saat itu merupakan
langkah pertama dan utama dalam rangka memperoleh persamaan hak dan
kebebasan seperti kaum laki-laki dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi.
Hal tersebut merupakan suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan
9

bagian dari proses pembangunan masyarakat Indonesia. Dampak positifnya adalah


para wanita mempunyai kebebasan untuk bersekolah sampai jenjang tertinggi
mengembangkan ide, kreatifitas, serta bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Emansipasi wanita dalam bidang pendidikan bertujuan agar para wanita memiliki
kesamaan hak dalam menuntut ilmu di bangku-bangku sekolah sampai ke perguruan
tinggi di bidang umum maupun agama. Emansipasi wanita yang dipelopori oleh
RA.Kartini bermakna besar bagi bangsa Indonesia. Karena para wanita turut
memajukan nama harum bangsa Indonesia. Banyak wanita yang menjadi pemimpin.
emansipasi wanita sangat berpengaruh pada pembangunan negeri kita. Arus
globalisasi

berbanding

lurus

dengan

bertambahnya

ruang

gerak

untuk

menyampaikan aspirasinya, termasuk kaum wanita.


Dengan adanya emansipasi wanita di era globalisasi pada saat ini dapat membantu
dalam memajukan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang. Terutama dalam bidang
ekonomi. Bertambah pula sumber daya manusia yang berdampak pada pemerintah
untuk memperluas lapangan pekerjaan. Selain itu berdampak pula pada bidang sosial
budaya, yang tadinya kaum perempuan hanya dibolehkan untuk beraktivitas di
dalam rumah tetapi kini bebas untuk beraktivitas di luar rumah dan ikut serta dalam
upaya memajukan negara Indonesia agar dapat bersaing dengan negara lain.

Kasus 2
Suara Rakyat, Media Sosial dan "The New Politics"
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, media sosial (medsos)
khususnya dalam dunia politik Indonesia telah menjadi mantra paling seksi yang
paling sering dibicarakan selama kurun waktu 5-8 tahun terakhir ini. Penggunaan
media sosial diangap sebagai kehadiran sebuah era politik baru yang menghadirkan
suara rakyat secara lebih luas.
Di Indonesia, media sosial mencapai puncak popularitasnya saat digunakan para
pendukung dan relawan pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta 2012 yang
memenangkan Jokowi-Basuki.
Media sosial semakin menjadi-jadi pengaruhnya saat kampanye pileg dan pilpres
2014 lalu yang mengantarkan Jokowi menjadi Presiden ke-7 RI. Para aktivis medsos
10

seolah menjadi sebuah kekuatan politik tersendiri yang menentukan dan bernilai
tinggi.
Medsos menjadi senjata politik yang ampuh khususnya dibutuhkan saat
memobilisasi dan mempengaruhi kebijakan publik tertentu.
Gagalnya Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri dan kemunculan Teman
Ahok menjadi contoh-contoh terkini dari tren mobilisasi media sosial dalam sebuah
tujuan politik.
Fenomena media sosial di Indonesia memang cukup mengesankan. Menurut situs
data wearesocial.com, dari sekitar 259 juta total jumlah populasi di republik ini
terdapat 88 juta warga (34 persen) pengguna internet aktif. Dari 88 juta manusia
tersebut, tercatat 79 jutanya adalah pengguna aktif media sosial.
Sejauh ini memang belum ada referensi akademik atau kajian yang lebih
komprehensif terkait pengaruh media sosial terhadap, katakanlah, perilaku memilih
individu dalam setiap pemilu.
Cuma yang jelas, akibat kekuatan media sosial, sejumlah gempa politik sudah terjadi
dan mempengaruhi konfigurasi dan wajah politik sejumlah negara, termasuk
Indonesia.

Negara dan Inovasi Demokrasi


Di era neoliberal ini, tantangan terhadap peran negara menjadi sangat besar. Secara
spesifik tantangan bagi partai saat ini adalah kemampuan beradaptasi di satu sisi
dengan situasi di mana negara bukan lagi satu-satunya aktor institusi yang dominan.
Negara memang masih dianggap menjadi penerima "mandat kedaulatan rakyat"
untuk mengatur dan menjamin berbagai kepentingan publik. Namun saat ini aktor
lain seperti masyarakat sipil dan, lebih "powerful" lagi, korporasi juga menjadi
pemain utama dalam mempengaruhi proses formulasi kebijakan.
Dalam

bukunya

berjudul

Democratic

Governance

(2010),

Mark

Bevir

mengungkapkan adanya pergeseran pemahaman konsep dan peran negara model


tradisional birokratik Keynesian menuju politik kontemporer yang disebutnya
sebagai the new governance.

11

Konsep tata pemerintahan baru ini intinya lebih mengedepankan jejaring (network)
dan kemitraan (partnership) antarseluruh komponen termasuk pasar dan masyarakat
sipil dalam proses-proses pengelolaan pembangunan masyarakat.
Ada dua pemikiran yang mempengaruhi model negara baru ini. Pertama pemikiran
ekonomi politik neoliberalisme dan teori "rational choice" yang ingin membuat
kinerja dan peran negara menjadi efisien. Kedua, bangkitnya kembali kesadaran
"third way" merujuk pada pemikiran sosial Demokrat, "center left politics" dan
pendekatan "new institutionalism" sebagai dampak dari menguatnya populisme dan
suara-suara rakyat di berbagai arena deliberasi publik.
Meminjam pada pendekatan Bevir tadi, bagi organisasi publik semacam institusi
pemerintah, ormas ataupun parpol, kunci keberhasilan mereka di era politik baru ini
adalah kemampuan beradaptasi dengan tren keterbukaan dan partisipasi yang dibawa
seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial ini.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO-RODERICK ADRIAN MOZES Calon


Presiden Joko Widodo memberikan orasi dalam acara Konser Salam 2 Jari Menuju Kemenangan Jokowi-JK, di
Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (5/7/2014). Konser ini dihadiri oleh ribuan
simpatisan Jokowi-JK.
Suara dari publik, antara lain melalui kehadiran media sosial, menjadi penting untuk menyeimbangkan relasirelasi politik yang beku dalam sebuah organisasi yang bersifat elitis oligarkis. Tentunya termasuk menetralisasi
pengaruh dan infiltrasi kepentingan korporasi dan modal pada tataran elite partai dalam proses-proses
pengambilan kebijakan.

Dalam bukunya berjudul Democratic Innovations (2009), Graham Smith


menyatakan pentingnya memastikan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi warga

12

dilaksanakan secara "murni" untuk memastikan warga (baca: rakyat) secara formal
terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan-keputusan strategis.
Rakyat tak lagi dipandang sebagai pinggiran, lokal, periferi, penonton atau mungkin
dengan stigma komunis bahkan fundamentalis. Smith menawarkan sebuah inovasi
demokrasi yang ingin memastikan rakyat (bisa) terlibat secara lebih bermartabat.
Problemnya saat ini adalah sistem politik yang ada menjadikan demokrasi terlalu
formal prosedural, struktural, rumit dan bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh
elite-elite oligarki tadi.
Kerap rakyat hanya menjadi penonton dan resisten karena merasa tidak dilibatkan.
Ricardo Blaug (2002) membedakannya dengan critical democracy dengan
incumbent democracy. Critical democracy adalah rakyat yang tereksklusi dari proses
perumusan kebijakan dan mereka melakukan resistensi terhadap elite dominan.
Sebaliknya, incumbent democracy adalah elite dominan yang memiliki kapabilitas
untuk melakukan agenda setting politik sesuai kepentingan mereka secara
institusional.
Realitasnya, angka golput dan apatisme politik cenderung menjadi tinggi dalam
setiap pemilu. Warga tidak percaya dengan para politisi yang mengaku sebagai wakil
atau pemimpinnya, terhadap institusi politik seperti partai dan bahkan terhadap
lembaga negara.
Padahal demokrasi dibutuhkan sebagai alat kontrol publik untuk mengawal
formulasi dan pelaksanaan kebijakan, untuk mendorong partisipasi publik dalam
politik, serta menjamin inklusifitas dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga
negara tanpa terkecuali sekaligus melindungi kepentingan publik dari pembajakan
kepentingan-kepentingan pemodal.
Konfigurasi Politik Baru
Satu hal yang tak bisa dihindari dalam era digital ini adalah aspek inklusivitas dan
kemitraan,

aspek

jaringan

antaraktor,

aspek

transparansi

dan

aspek

interaksi/keterlibatan (engagement) dari warga pada berbagai isu publik.


Dalam konteks pengadaptasian era demokrasi digital ini, aktor dan institusi politik
harus memahami sebuah proses sosiologis bernama "civic talk" atau ruang

13

perbincangan publik yang sangat terbuka berdasarkan nilai-nilai dan moralitas


publik.
Perbincangan publik ini kerap menghasilkan sebuah opini dominan yang secara
langsung, dalam banyak kasus, mampu mempengaruhi berbagai keputusankeputusan strategis terkait isu tertentu.
Terkadang sukses dalam mendikte perilaku atau kebijakan penguasa yang dianggap
menyalahi rasionalitas dan idealisme publik. Namun tak jarang yang gagal dan
membentur resistensi penguasa dan klas elite oligarki.
Jika kita cermati secara lebih jernih, dalam konteks politik Indonesia saat ini, Jokowi
sebagai presiden kerap harus menghadapi posisi yang terjepit di tengah pertarungan
oligarki ekonomi politik yang membuatnya harus bermanuver dengan licin dan
cerdas.
Jokowi sejatinya adalah anak kandung dari era politik baru ini sendiri. Ia membawa
perubahan sekaligus pelajaran berharga bagi institusi politik lama (agar berubah)
sekaligus menyadarkan pentingnya partisipasi rakyat dalam isu-isu publik melalui
instrumen politik baru ini.
Media sosial terkadang perannya tidak cukup independen karena disebabkan masih
terdapatnya bias-bias kepentingan pemilik modal dan kelompok penguasa yang
melatarbelakanginya.
Apalagi tak semua orang di negeri ini yang bisa mengakses dan mendistribusikan
informasi secara jernih dalam berbagai kasus sensitif.
Dalam banyak kasus, khususnya pada isu-isu politik kekuasaan, arena perbincangan
publik seringkali bukanlah sebuah arena normatif yang bebas kepentingan. Justru ia
adalah arena kontestasi yang sesungguhnya, berupa sebuah arena pertempuran antar
berbagai kepentingan ekonomi-politik, antar aktor atau kelompok kekuatan.
Di sinilah pentingnya menjaga kehadiran masyarakat sipil yang berpegang teguh
pada advokasi isu-isu atau agenda-agenda kerakyatan dan idealisme moralitas
publik.
Di tengah pertarungan politik (real politics) yang gaduh, tajam, kejam dan
membosankan, maka rakyat sebaiknya tetap disajikan dengan nilai-nilai yang ideal
sehingga kesalehan dan kepercayaan publik serta kebijaksanaan politik tetap terjaga.
14

Rakyat tetap percaya bahwa para pemimpinnya bersungguh-sungguh bekerja untuk


mereka dan tidak berselingkuh untuk memenangkan kepentingan pribadi, golongan
atau mungkin sponsor ketimbang kepentingan rakyat.
Era pemerintahan Presiden Jokowi ini adalah masa pergeseran era politik lama
menuju era politik baru. Pertempuran menuju sebuah rekonfigurasi dan
rekonsolidasi politik baru menjadi menarik karena tidak lagi menggunakan
pemahaman dan format "politik lama".
Parpol bahkan terancam mengalami deparpolisasi jika gagal berubah dan
beradaptasi.
Nasihat saya, meskipun di era "new politics" ini individu rakyat cenderung
dipentingkan ketimbang institusi, namun jangan hancurkan pilar dan institusi yang
sudah membentuk, membangun dan menjaga negara-bangsa beserta spirit dan
tradisi-tradisi otentik pluralisme ke-Indonesia-an sekian lama.
Jika mereka selama ini dinilai keropos dan berkinerja buruk maka tanggung jawab
kita untuk memperbaiki.
Proporsionalitas politik tetap penting untuk menjaga sejarah dan nilai-nilai
pembentukan negara-bangsa kita. Karena hanya dengan merawat sejarah kebangsaan
kita, maka kita sebagai bangsa akan memiliki karakter juara dan tidak tersesat dalam
pertarungan geopolitik global.
Selamat datang rejim politik baru Indonesia. Semoga bermanfaat untuk
kesejahteraan rakyat serta kemajuan bangsa dan negara.
Analisis :
Jangan pernah meremehkan suara rakyat dalam media sosial. Apabila sudah
menyatu dalam nada yang sama, suara rakyat dalam media sosial menjadi kekuatan
dalam menyatukan dan menyampaikan aspirasi mereka. Karena penggunaan media
sosial diangap sebagai kehadiran sebuah era politik baru yang menghadirkan suara
rakyat secara lebih luas.
Media sosial semakin menjadi-jadi pengaruhnya terhadap kehidupan bermasyarakat
terutama pada saat memobilisasi dan mempengaruhi kebijakan publik tertentu.
Maka dari itu kita sebagai pengguna media sosial harus cermat dan berhati-hati

15

dalam

menggunakannya

karena

ini

akan

sangat

berakibat

jika

salah

menggunakannya.
Media sosial saat ini sudah menjadi proses dan perubahan sosial yang lebih
komprehensif terkait pengaruh media sosial terhadap memilih individu dalam setiap
pemilihan. Karenanya tantangan terhadap peran negara menjadi sangat besar. Salah
satunya tantangan terhadap pemilu yang secara garis besar sangat mempengaruhi
segala aspek dalam bentuk dukungan atau yang lainnya.
Seharusnya rakyat tak lagi dianggap sebagai penonton atau menerima segala
keputusan yang telah jadi, tetapi rakyat berperan penting dalam hal ini. Semua
problem yang menjadikan demokrasi terlalu formal prosedural, struktural, rumit dan
bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh elite-elite oligarki tadi harus dibuat mudah
agar rakyat dapat menyampaikan suaranya dengan ringan dan agar masalah dapat
diselesaikan dengan secepatnya.
Akibatnya angka golpot atau golongan putih dan apatisme politik cenderung menjadi
tinggi dalam setiap pemilu. Rakyat tidak akan percaya begitu saja apa yang
dijanjikan oleh para calon pemimpin dan calon wakil pemimpinnya. Karena asipasi
mereka di persulit dengan prosedur yang ada.
Tetapi hanya dengan media sosial masyarakat bisa menyampaikan suaranya ditengah
pertarungan politik yang rumit, kejam dan sangat membosankan. Dengan media
sosial juga masyarakat mengalami proses dan perubahannya yakni masyarakat yang
kritis menanggapi masalah yang ada dan dapat memberi saran atas apa yang telah
terjadi.

C. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah yang berjudul Proses dan Perubahan
Sosial antara lain:
a. Bentuk-bentuk proses sosial antara lain

proses sosial yang

asosiatif, dan proses sosial yang disosiatif.


b. Mobilitas sosial bisa terjadi karena gerak perpindahan dari satu
kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata
yang satu ke strata yang lainnya.

16

c. Contoh-contoh dari proses dan perubahan sosial antara lain


pemberdayaan perempuan dan perubahan sosial, dan suara rakyat, media sosial dan
the new politics.

Daftar Pustaka
Hartya, Tety dan Ari Hariadi. 2007. Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan
Sosial.
[Online].

Tersedia:

http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?

mid=1669&catid=2& [20 September 2016].


Henslin, James M.. 2006. Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Sosiologi: Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta:
Kencana. Edisi 2, Cetakan ketiga. 2007. hal. 57
Nugroho, Dimas Oky. 2016. Suara Rakyat, Media Sosial dan "The New Politics".
[Online].

Tersedia:

http://nasional.kompas.com/read/2016/06/21/19110091/Suara.Rakya
t.Media.Sosial.dan.The.New.Politics [20 September 2016].

17

Anda mungkin juga menyukai