Anda di halaman 1dari 14

TALASEMIA

I.PENDAHULUAN
Masa hidup eritrosit yang normal berkisar antara 110-120 hari, setiap
harinya sekitar 1% eritrosit dihancurkan dan diganti dengan eritrosit-eritrosit yang
baru yang diproduksi sumsum tulang sehingga jumlah eritosit dalam keadaan
konstan.
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan karena hancurnya selsel darah merah sebelum waktunya yang berlebihan melebihi kapasitas produksi
sum-sum tulang, dapat terjadi kaena herediter atau didapat. Klasifikasi anemia
hemolitik yaitu :
1. defek seluler (intrinsik atau ekstrakorpuskular) :
-

defek membrane

defek enzim

abnormalitas hemoglobin, contohnya thalasemia

2. defek ekstraseluler (ekstrinsik atau ekstrakorpuskular) :


-

autoimun

hemolisis fragmentasi

hipersplenisme

faktor plasma

Talasemia merupakan salah satu jenis anemia hemolitik yang disebabkan


oleh kelainan genetik karena mutasi gen tunggal. Umumnya penderita dengan
kelainan talasemia berat diakhiri dengan kematian pada masa kanak-kanaknya,
disamping biaya penanganan yang sangat mahal, hingga kini belum ada
pengobatan yang dapat menyembuhkan. Pada talasemia, defek morfologi eritrosit
terjadi karena adanya gangguan sintesa dari rantai globin dan biasanya diikuti oleh
kelainan bentuk eritrosit dan indeks-indeks eritrosit.
II. DEFINISI
Talasemia adalah sekelompok penyakit atau kelainan herediter yang
disebabkan oleh adanya defek produksi hemoglobin normal, akibat kelainan
sintesis rantai globin dan biasanya disertai dengan kelainan morfologi eritrosit.

III. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia diperkirakan frekuensi gen karier talasemia 3-5%, dan di
beberapa tempat mencapai 10%. Ini berarti dari 100 penduduk, 3-5 orang
diantaranya merupakan karier talasemia. Apabila jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan angka kelahiran kasar sebanyak 20 , dengan frekuensi gen karier 5%,
maka setiap tahun di Indonesia akan dilahirkan 2500 bayi dengan kelainan
talasemia berat.
IV. PATOFISIOLOGI
Produksi sel darah merah (hematopoiesis) terjadi di hati dan limpa fetus,
tetapi setelah lahir secara normal terjadi hanya di sumsum tulang belakang dan
dikenal sebagai medullary hematopoiesis. Pada orang dewasa normal hemoglobin
terdiri dari dua rantai alfa dan dua rantai beta yang dsebut Hb A (22). Selain itu
terdapat hemoglobin normal lain yaitu Hb A2 yang terdiri dari dua rantai alfa dan
dua rantai delta (22) yang jumlahnya 2,5 %dan HbF (22) yang jumlahnya
kurang dari 2 %.

Gambar 1. Gambaran skematik hemoglobin manusia


Hemoglobin terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida (globin) dan empat
kompleks iron (besi) ditambah protopoporphyrin.
Sintesis hemoglobin terdiri dari :
1. Pembentukan protoporphyrin
2. tersedianya iron (heme)
3. pembentukan protein globin
Terdapat beberapa variasi pada rantai subunit hemoglobin yang berbeda,
bergantung pada susunan asam amino dibagian polpeptida. Tipe-tipe rantai itu
disebut rantai alfa, beta, gamma, dan delta. Bentuk hemoglobin yang paling

umum pada orang dewasa, yaitu hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua
rantai alfa dan dua rantai beta. Abnormalitas rantai ini dapat mengubah sifat-sifat
fisik molekul hemoglobin.
Pada prinsipnya patofisiologi dari gambaran talasemia merupakan hasil
ketidakseimbangan dari sintesis rantai globin. Ketidakseimbangan dari sinteis
rantai globin polipeptida ini menyebabkan pembentukan hemoglobin yang tidak
stabil yang mudah menyebabkan kematian eritrosit dan kerusakan eritrosit.
Penyebab anemia pada talasemia disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. Terjadinya eritropoiesis yang tidak efektif dengan penghancuran prekursor
eritrosit intrameduler.
2. Hemolisis eritrosit yang sudah matang yang disebabkan oleh endapan
rantai alfa
3. Berkurangnya seluruh sintesis hemoglobin sehingga menghasilkan eritrosit
hipokrom dan mikrositer.

Gambar 2. Patofisiologi Talasemi

V. KLASIFIKASI
Berdasarkan defisiensi rantai yang terganggu, talasemia diklasifikasikan
atas dua bentuk, yaitu:
1. Talasemia alfa: terjadi akibat tidak terdapatnya atau berkurangnya
produksi rantai alfa.
2. Talasemia beta: terjadi akibat tidak terdapatnya atau berkurangnya
produksi pada rantai beta.
Berdasarkan genotip, talasemia diklasifikasikan dalam 2 bentuk, yaitu:
1. Talasemia homozigot: apabila tidak terdapat sama sekali gen pembentuk
rantai
2. Talasemia heterozigot: apabila hanya terdapat satu gen yang terganggu.
Misalnya bentuk homozigot pada talasemia alfa 00 dan bentuk
homozigot pada talasemia beta 00.
Berdasarkan derajat klinik atau berat ringannya anemia maka talasemia
diklasifikasikan dakan 3 bentuk, yaitu :
1. Talasemia mayor
2. Talasemia minor
3. Talasemia intermedia
VI. MANIFESTASI KLINIS
6. 1 Talasemia Beta
a. Talasemia beta mayor
Pada saat lahir biasanya penderita tampak sehat dan anemia muncul pada
beberapa bulan kehidupan atau kurang lebih umur 6 bulan dan secara
progresif memburuk. Penderita juga biasanya mengalami gagal tumbuh
dan selanjutnya hidupnya tergantung pada transfusi. Facies Cooley adalah
tampilan craniofacial pada penderita Thalassemia Mayor, muncul pada 6
bulan pertama dalam kehidupan yang menunjukkan hematopoiesis
medullaris berupa penonjolan mandibular, zygomaticum, maksilla, os
frontalis, dan depresi os nasal. Hepar dan lien membesar serta dapat
terjadi peningkatan pigmentasi kulit. Terdapat pula adanya gambaran
hipermetabolisme berupa demam, badan kurus, dan kadangnterjadi

hiperurikemia,

Karena

splenomegali

yang

hebat

dapat

terjadi

trombositopenia, leukopenia sehingga penderita mengalami infeksi dan


perdarahan. Akibat penumpukan besi yang berlebihan dalam tubuh maka
dapat timbul sirosis hepatis, aritmia kordis, gangguan pematangan seksual
dan akibat gangguan endokrin lainnya.
b. Talasemia intermedia
Gejala kliniknya lebih ringan dibandingkan dengan talasemia mayor,
namun lebih berat dibandingkan talasemia minor. Biasanya gejala baru
muncul pada saat usia 2-4 tahun. Pada bentuk yang berat biasanya
menunjukkan anemia, hepato-splenomegali, gangguan pertumbuhan dan
wajah talasemik.
c. Talasemia minor
Gejalan klinis talasemia minor sering ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan rutin atau pada beberapa keadaan ditemukan dalam keadaan
stress misalnya kehamilan. Penderita talasemia ini sering mengeluhkan
kelelahan yang kronis dan keluhan tidak spesifik lainnya.

Gambar 3. Gambaran klinis dan hematologis Sindroma Talasemi Beta

6. 2 Talasemia Alfa
a. Sindrom hidrops fetalis dengan Hb Bart
Bayi yang menderita kelainan ini lahir mati antara umur 34-40 minggu
atau lahir hidup namun meninggal beberapa jam kemudian. Penderita lahir
dengan tanda-tanda pucat, edema, hepatospenomegali,

dan pada

pemeriksaan mayat ditemukan hemopoisis ekstrameduler yang masif dan


plasenta yang sangat besar.
b. Penyakit Hemoglobin H
c. Talasemia alfa trait

Gambar 4. Gambaran klinis dan hematologis Sindroma Talasemia Alfa

VII GAMBARAN LABORATORIUM


VII.1 Talasemia mayor
1. Gambaran darah tepi: hipokrom mikrositer, anisositosis, poikilositosis, dan
adanya sel target, adanya sel eritrosit muda, noemoblas
2. Gambaran sumsum tulang: hiperselular akibat hiperplasia normoblastik
3. Gambaran hematologi: anemia hebat, leukositosis dengan leukosit PMN,
jumlah trombosit normal
4. Analisa hemoglobin: HbF yang domminan (>90%), kadar HbA2 normal
atau tinggi.
5.

Nilai MC, MCV, MCH dan MCHC menurun, retikulosit meningkat

6. Kadar bilirubin dalam serum meninggi, SGOT, SGPT dapat meninggi


karena kerusakan parenkim hati akibat hemosiderosis.
7. Gambaran foto polos tengkorak menunjukkan hair on end appearance

Gambar 7 : Hair on End appearance10


VII.2 Talasemia intermedia dan minor
1. Gambaran darah tepi: hipokrom mikrositer, anisitosis, poikilositosis dan
adanya target sel.
2. Nilai MC, MCV, dan MCH biasanya menurun sedangkan MCHC biasanya
normal.

3. Kadar hemoglobin biasanya berkisar 9-11 gr/dL


4. Kadar HbA2 meningkat 3,5-7%, kadar HbF 1-3%
VII.3 Talasemia alfa
Diagnosa lebih sulit oleh karena tidak ditandai dengan penungkatan jenis Hb,
seperti HbA2 ataupun HbF.

Gambar 8. Gambaran apus darah tepi pasien talasemi


(Dikutip dari: Atlas of Hematology)
VIII. DIAGNOSA BANDING
Anemia defisiensi Fe: Terutama harus dibedakan dengan talasemi beta
minor yang memiliki gambaran SADT yang sama. Berbeda dengan Anemi
defisiensi Fe, pada talasemi beta minor, kadar Fe TIBC dan feritin normal serta
mempunyai kadar hematokrit dan indek MCV/RBC <13. Sedangkan pada
talasemi berat (mayor) yang memiliki gejala klinis yang jelas, jarang sekali
memiliki diagnosis banding dengan penyakit-penyakit yang lain7.
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi oleh karena talasemianya sendiri ataupun akibat
transfusi rutin sehubungan dengan adanya penumpukkan besi di berbagai organ,
yaitu :
Hemosiderosis (iron overload). Merupakan konsekuensi yang tak dapat
dihindarkan dari transfusi jangka panjang karena tiap 500mL darah
mengandung sekitar 200mg Fe ke dalam jarigan yang tak dapat diekskresikan
secara fisiologis. Akibatnya dapat terjadi :

1. Pembesaran hepar : pada pasien yang mendapatkan transfusi darah secara


teratur dapat terjadi pembesaran hepar karena pembengkakan sel fagositik
dan perankim. Jika berlanjut dapat menjadi fibrosis hepatic sampai sirosis
2. penggelapan warna kulit (karena produksi melanin yang distimulasi besi)
3. sideroblastic cardiomyopathy (aritmia, gagal jantung kongestif,
perikarditis rekuren)
4. endokrinopati

(DM,

hipopituitari

sekunder,

hipoparatiroidisme,

hipotiroidisme)
5. komplikasi fertilitas dan kehamilan
IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pada penderita talasemia adalah:
1. Mempertahankan kadar hemoglobin fisiologil dengan transfusi rutin
2. Mencegah dan mengobati akumulasi zat besi hingga mencapai kadar
optimal dengan chelation agent10.
A.Terapi Umum:
1. Makanan dengan gizi seimbang
2. Dietetik: Makanan, obat yang banyak mengandung zat besi sebaiknya
dihindari.
B. Terapi Khusus:
1.

Transfusi darah:
Untuk mencapai pertumbuhan yang optimal penderita talasemia, kadar
Hb harus dipertahankan dalam kisaran 10 gr/dL. Untuk mengatasi hal
tersebut dapat dilakukan suatu:
-

Hipertransfusi: dimana kadar Hb dipertahankan lebih dari 10 gr/dL,


dengan cara ini eritropoiesis masih efektif walaupun sebagian
terhambat.

Supertransfusi: dimana kadar Hb dipertahankan lebih dari 12


gr/dL, dengan cara ini eritropoiesis sama sekali tidak terjadi, tetapi
efek penumpukkan zat besi lebih tinggi sehingga cara ini banyak
digunakan.

Pada trasfusi diberikan PRC 10-15 ml/kgBB setiap 4 minggu, sehingga


diharapkan kadar Hb 10 gr/dL. Apabila terdapat gagal jantung diberikan
PRC untuk satu kali pemberian dan tidak boleh lebih dari 5 ml/kgBB
2.

Iron chelating agent (desferioksamin) digunakan untuk mencegah


terjadinya penumpukkan besi dalam tubuh oleh karena tubuh sendiri tidak
memiliki mekanisme fisiologik untuk mengeluarkannya. Dosis 1-2 gr/hari
subkutan.
Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian desferal adalah
tinnitus dan tuli yang reversible. Tidak bergantung pada dosis. Penurunan
penglihatan malam lebih jarang terjadi. Reaksi alergi termasuk anafilaksis
dapat pula terjadi. Reaksi akut dengan pemberian injeksi subkutan yang
mungkin terjadi adalah eritem local. Untuk mengatasinya dapat diberikan
hidrokortison bersama desferol. Pemberian berlebih dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan defisiensi mineral.

3.

Splenektomi: apabila terdapat hipersplenisme atau jarak pemberian


transfusi yang makin pendek.

4.

Transplantasi sumsum tulang : Sudah dimulai sejak tahun 1982 pada


penderita talasemia mayor yang membutuhkan transfusi yang banyak,
namun hanya 1/3 penderita yang dapat menerima HLA donor dan resiko
penolakan dari penerima menyebabkan tranplantasi sumsum tulang tidak
menjadi pilihan pada penderita yang mendapat transfusi dan pemberian
DFO yang baik.

5.

Peningkatan HbF: Pada talasemia , kelainan disebabkan oleh produksi


rantai yang berlebih dan tidak berpasangan. Dengan meningkatkan
produksi HbF yaitu meningkatkan jumlah rantai sehingga jumlah rantai
yang tidak berpasangan berkurang. Hal ini dilakukan dengan cara
demetilasi oleh obat sitostatik seperti 5-azacitidin, hidroksiurea, sitarabin
arabinose, busulfan dan asam butirat. Namun karena efek toksiknya untuk
sementara tidak dipergunakan secara luas.

6.

Terapi gen: Cara ini dianggap paling prospektif yaitu dengan meniru gen
globin normal pada sel yang terkena talasemia.3

10

XI. PROGNOSIS
Pada beberapa peneltian di Italia pendertita talasemia yang tidak mendapat
terapi akan meninggal dalam 5 tahun pertama kehidupan. Sedangkan penderita
dengan transfusi yang teratur dan pemberian DFO yang teratur pula, beberapa
penderita dilaporkan dapat hidup mencapai pubertas dengan normal dengan angka
rata-rata harapan hidup meningkat dari 17,1 pada tahun 1960-an menjadi 31 tahun
pada tahun 1970-an, pada beberapa pusat penelitian dilaporkan penderita
talasemia dapat hamil dan mempunyai keturunan3,6.

Gambar 9. Survival Rate Pasien dengan talasemia mayor


(Dikutip oleh Wahidiyat dari Thalassemia: recent advices in detection &
treatment, 1982)
XII. PENCEGAHAN
Karena talasemia dan penyakit herediter lainnya saat ini masih belum
dapat disembuhkan, cara terbaik untuk menanggulanginya adalah dengan
melakukan pencegahan atau dengan deteksi dini prenatal dan postnatal,
setidaknya gejala klinisnya dapat ditekan seminimal mungkin. Di beberapa tempat
yang tingkat kejadian talasemia beratnya tinggi, biaya pengobatan akan menjadi
beban ekonomi. Sebagai contoh, di negara-negara kecil dengan jumlah karier
talasemia yang tinggi seperti di Siprus (17%), diperkirakan apabila seluruh anak
yang menderita talasemia diobati dengan transfusi yang teratur dan terapi DFO
maka dalam 15 tahun seluruh anggaran kesehatan hanya akan dipakai untuk

11

menanggulangi penyakit ini saja. Oleh karena itu, pendekatan seperti ini bukan
jalan terbaik untuk menanggulangi penyakit talasemia, diperlukan suatu usaha
pencegahan terutama untuk bentuk talasemia lain1,6.
Usaha ini yaitu berupa:
12.1 Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan penyuluhan kesehatan secara
umum kepada seluruh masyarakat, skrining terhadap populasi secara aktif,
mencari pembawa sifat (karier) serta sebelum perkawinan (marriage and genetic
counseling) untuk mencegah perkawinan diantara penderita talasemia agar tidak
mendapat keturunan yang homozigot atau varian-varian talasemia dengan
mortalitas tinggi.
12.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan mencegah kelahiran bayi
homozigot dari pasangan suami-isteri dengan talasemia heterozigot. Diagnosis
prenatal melalui skrining ibu hamil pada saat mereka pertama kali datang,
biasanya dilakukan pada minggu 10-12 masa kehamilan. Skrining juga dilakukan
terhadap suami apabila sang isteri ternyata karier, dan menawarkan kepada
pasangan itu sendiri kemungkinan diagnosis pranatal dan terminasi kehamilan
apabila diketahui keduanya pembawa gen talasemia berat. Pemeriksaan DNA
cairan amnion merupakan suatu kemjuan dan digunakan untuk mendiagnosa
kasus homozigot intrauterin sehingga dapat dilakukan tindakan abortus
provokatus.
Di negara-negara sekitar Laut Tengah seeprti Italia, Siprus, Yunani dan
negara Eropa lain dengan cara ini dapat menurunkan jumlah kelahiran talasemia
berat sampai 80-95 % dari yang diperkirakan semula.
XIII. KESIMPULAN
Talasemia masih merupakan masalah kesehatan baik di dunia maupun di
Indonesia yang angka kejadiannya cukup tinggi. Tingginya beban biaya yang
harus dikeluarkan oleh keluarga maupun negara secara umum serta belum adanya
pengobatan spesifik yang dapat menyembuhkan penyakit, walaupun penelitian

12

kearah itu masih dilakukan. Peran pencegahan menjadi utama untuk menurunkan
insiden penyakit ini seperti yang sudah dilakukan di negara lain.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Wahidiyat I. Talasemia dan permasalahannya di Indonesia. Dalam: Buku
naskah lengkap KONIKA XI Jakarta. IDAI, Jakarta 1999, 239-296.
2. Permono B, Ugrasena IDG. Hemoglobin abnormal. Dalam: buju ajar
hematologi-ongkologi anak
3. Weatherall DJ. The thalassemias. Dalam : Beutler E, Litchman MA, Coller
BS (penyunting).Williams Hematology; 5th Edition, New York; McGraw
Hill, 1995; 581-615
4. Benz JE, Giardina. The Thalassemias. Dalam: Hematology on infancy and
childhood., Orkin SH, Nathan DG (penyuting). 6th ed. Saunders.
Philadelphia, 2003
5. Ohls R.K. Christensen RD. Haemoglobin disorders. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Arvin AM (penyunting) Nelson textbook of pediatrics, 17 th
Edition, Philadelphia: Sauders, 2004, 1630-1634.
6. Wahidiyat I. Genetic problems at present and its challenges in the future:
Thalassemia as a model. Dalam: Buku naskah lengkap KONIKA XIII
Bandung. IDAI, Bandung 2005, 3-10
7. Lane et al. Hematologic disorder. Dalam: Current pediatrics diagnosis and
treatment. Hay WW Jr, dkk (penyuting), edisi 16, Appleton&Lange,
Stamford, Connecticut, 2003, 848-852
8. Supandiman I, dkk. Pedoman diagnosis dan terapi: Hematologi ongkologi
medik 2003.Q-Communication. Bandung, 2003
9. Ahmad HR et all. Hematologi-onkologi dalam Pedoman Diagnosis dan
terapi. Edisi ke -3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak . Bandung 2005
10. Yaish, Hassan M. Thallasemia. available online at www.emedicine.com.
2005

14

Anda mungkin juga menyukai