saja
belum
cukup,
dibutuhkan
kemampuan
daerah
itu
sendiri
untuk
mengimplementasikan otonomi daerah. Kemampuan ini bila diuraikan menjadi sangat luas,
mencakup keharusan memiliki cukup wawasan, kualitas sumber daya manusia, kapasitas
kelembagaan, serta kemampuan menggali dan mengelola pembiayaan (Mardiasmo, 2002:5).
Ada beberapa definisi kebijakan menurut para ahli, yaitu:
1. Lasswel dan Kaplin
Program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan tindakan terarah.
2. Priedrich
Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang /kelompok / pemerintah dalam
suatu
lingkungan
tertentu
dengan
menunjukkan
kesulitan-kesulitan
dan
3. Anderson
Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku/kelompok guna memecahkan suatu masalah
tertentu.
4. Macrae & Wilde
Serangkaian tindakan yang dipilih yang mempunyai arti penting dalam
mempengaruhi sejumlah besar orang.
Sehingga dapat disimpulkan kalau kebijakan merupakan suatu keputusan yang dipilih,
diprogramkan & dialokasikan secara sah oleh pemerintah kepada masyarakat dalam setting
politik tertentu guna memecahkan/mengantisipasi suatu masalah dalam mencapai tujuan.
Dalam contoh kebijakan dilapangan, pasca reformasi tahun 1998, membawa perubahan
yang fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan nasional
mengikuti perubahan sistem kebijakan pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau
yang lebih dikenal dengan sebutan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu
mempengaruhi sistem pendidikan nasional (Mardiasmo, 2002:83). Jalal Fasli & Dedi Supriadi
(2001:4) menyatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi
daerah hanya akan berhasil bila didasarkan atas konsep yang jelas, pelakunya mampu
menganalisa permasalahan secara utuh, dan secara teknis permasalahan tersebut diselesaikan
secara sinergis.
Kebijakan pendidikan sebagai implementasi ilmu pendidikan:
1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan deliberasi mengenai hakikat
manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan
kemanusiaan. Kebijakan pendidikan merupakan
penjabaran
visi
dan
misi
pendidikan.
2. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu
praksis, yaitu kesatuan antara teori dengan praktik pendidikan. Dengan demikian
kebijakan pendidikan
evaluasi kebijakan.
3. Kebijakan pendidikan harus mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi
serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu. Kebijakan pendidikan tampak
amanah, santun, dan tegas menuju masyarakat madani di Kabupaten Solok tahun 2010. Selain itu
juga ada Peraturan Daerah Kabupaten Solok No.5 tentang RPJMD 2006-2010 memfokuskan
pembangunan bidang pendidikan sebagai salah satu pilar pembangunan bersama dengan bidang
kesehatan dan ekonomi kerakyatan.
Kontrol negara terhadap pendidikan dilakukan melalui ;
1. Sistem pendidikan diatur secara legal
2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, dengan menekankan ketaatan
pada aturan dan objektifitas
3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education)
4. Reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah dalam kontek
politik tertentu
Kebijakan pendidikan di Kabupaten Solok memfokuskan kepada dua hal yang utama,
yaitu tuntas wajib belajar 9 tahun dan peningkatan mutu pendidikan di segala jenjang pendidikan
(SD-SLTP dan SLTA). Kebijakan ini diambil dikarenakan masih ada berbagai persoalan yang
masih melingkupi bidang pendidikan Kabupaten Solok, antara lain masih rendahnya tingkat
pemerataan pendidikan dasar dan menengah, masih rendahnya kualitas pendidikan dan belum
mampu memenuhi kebutuhan kompensasi peserta didik, ketersediaan pendidik yang belum
memadai secara kualitas maupun kuantitas, fasilitas belajar belum mencukupi dan biaya
operasional pendidikan yang belum memadai, masih rendahnya kualifikasi pendidikan yang
belum memadai, masih rendahnya kualifikasi pendidik memiliki pendidikan seperti yang
disyaratkan, belum meratanya proporsi penyebaran tenaga pendidik, belum mantapnya
pembagian peran dan tanggung jawab pendidikan pada masing-masing tingkatan pemerintahan
dan belum optimalnya kinerja dewan pendidikan dan dewan komite sekolah (RPJM Kabupaten
Solok Tahun 2006-2010).
Kebijakan pendidikan di Kabupaten Solok yang memfokuskan pada tuntas wajib belajar
9 tahun sejalan dengan pendapat Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2001:86-87) yang menyatakan
bahwa pendidikan dasar dan menengah sangat penting karena mengutamakan pembentukan
kepribadian dan penguasaan kemampuan dasar yang sesuai dengan perkembangan masa kini dan
masa depan serta kebutuhan siswa sendiri dan masyarakatnya. Misi ini terkandung, misalnya
dalam empat pilar pendidikan yang dikemukakan oleh UNESCO (1996), yaitu bahwa pendidikan
harus memungkinkan dan membekali siswa dengan kemampuan untuk belajar mengetahui
(learning to know), belajar bekerja atau mengerjakan sesuatu (learning to do), belajar menjadi
diri sendiri (learning to be) dan belajar untuk hidup bermasyarakat (learning lo live together).
Pendidikan dasar menekankan pada penguasaan kemampuan umum yang diperlukan untuk hidup
bermasyarakat dan bernegara.
Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2001:68) menambahkan bahwa materi pendidikan dasar
mengutamakan pembekalan kemampuan yang fungsional untuk kehidupan dalam berbagai
bidang: sosial, budaya dan ekonomi dengan berbasis pada nilai-nilai moral. Sejalan dengan
makin kompleksnya tentangan kehidupan, maka pendidikan dasar minimal untuk Indonesia
adalah sembilan tahun. Asumsinya ialah, apabila pendidikan minimum ini tidak dicapai, maka
seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan yang terjadi di
sekelilingnya.
Kemampuan dasar yang didapatkan melalui materi pendidikan dasar ini diharapkan dapat
digunakan para lulusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dijadikan
bekal untuk menjalani hidup dan menghadapi kehidupan di dalam masyarakat. Kemampuan
dasar tersebut dibutuhkan dalam rangka bersosialisasi, termasuk melakukan interaksi, kompetisi
dan berorganisasi di antara warga, masyarakat, kelompok dan antar bangsa. Penyelenggaraan
program pendidikan dasar 9 tahun dengan demikian tidak sekedar mengupayakan pencapaian
target angka partisipasi secara maksimal, tetapi lebih dari itu, mengupayakan perbaikan kualitas
pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari standar (Fattah Nanang, 2013:106-107).
Agar proses penyelenggaraan pendidikan memiliki mutu yang berkualitas, maka tidak
hanya dibutuhkan tanaga pendidik yang profesional tetapi juga dibutuhkan pembiayaan yang
memadai. Pemerintah melalui amandemen UUD 1945 dan amanat undang-undang No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa anggaran pendidikan minimal
20% dari APBD dan APBN. Dengan demikian, berdasarkan UUD dan UU tersebut maka
pemerintah pusat dan pemerintah daerah seyogyanya menaikkan anggaran pendidikan yang
selama ini masih dibawah 20% (Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho, 2008:148).
Kabupaten Solok mencoba menyikapi aturan tersebut dengan menjadikan pendidikan
sebagai pilar utama dalam pembangunan, menyikapi itu tentu saja kedepannya perlu ada aturan
dan regulasi di daerah mengenai pembiayaan pendidikan misalnya dalam bentuk peraturan
daerah sehingga nantinya arah di daerah tidak terjadi komersialisasi pendidikan, sehingga
bagaimana nantinya semua orang bisa sekolah baik kaya maupun miskin. Harapan terhadap
pendidikan yang murah sebenarnya terpatri dalam mekanisme bagaimana anggaran disusun yang
pro/berpihak kepada masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam menentukan pembangunan
pendidikan di daerah.
Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan pendidikan dinilai sangat penting karena
sekarang ini menurut amanat undang-undang, pendanaan/pembiayaan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat /orang tua murid.
Sehingga dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja sekolah perlu melibatkan semua
unsur yang ada di sekolah termasuk orang tua murid. Selama ini sumber pembiayaan pendidikan
masih berasal dari pemerintah pusat berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam
bentuk Block Grant yang dikelola oleh Dinas Pendidikan, dan sekarang dana tersebut langsung
ditransfer ke sekolah (Puslitbang Depdiknas, 2009:16). Sumber lain yang diharapkan bisa
memberikan sumbangan bagi pembangunan pendidikan di Kabupaten Solok yang masih kurang
signifikan jumlahnya yaitu berupa dana dari masyarakat (perantau minang) dan pemerintah
sendiri. Pemerintah daerah cenderung mengandalkan bantuan dana dari pusat saja.
Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2010:75) menyatakan bahwa pemerintah daerah perlu
mempertimbangkan
kebijakan
pendanaan
sebagai
berikut:
Pertama,
berangsur-angsur
dikembangkan kebijakan yang tidak membedakan sekolah negeri dan swasta. Kedua, bagi
sekolah, baik negeri maupun swasta yang dana masyarakatnya sudah cukup besar, pemerintah
tidak perlu memberikan subsidi yang sama dengan sekolah yang akumulasi dana masyarakatnya
kecil. Ketiga, perlu dicari varian-varian yang dapat dipakai untuk mendinamisasikan pendanaan
pendidikan yang mengarah ke satu pola: partisipasi masyarakat lebih didorong dan yang lemah
dibantu. Subsidi berkelanjutan tidak diperhitungkan secara pukul rata, melainkan didasarkan atas
berbagai macam pertimbangan, misalnya jumlah siswa, status sosial-ekonomi siswa, lokasi
geografis, bidang yang dibina (yang langka disubsidi), besar-kecilnya partisipasi masyarakat, dan
lain-lain. Keempat, subsidi parsial dipakai untuk menolong institusi yang lemah, misalnya
dengan diberikan bantuan gedung, guru atau bantuan lain yang memberi efek ganda.
Fattah Nanang (2006:23) menyebutkan bahwa biaya dalam pendidikan meliputi biaya
langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biayabiaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa
berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung
berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang
(opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar.
Mulyono (2010:63-64) menjelaskan bahwa pemerintah sejak tahun 2009 yang tampak
tegas dan berani untuk membawa bangsa ini menjadi semakin bermartabat dan memiliki daya
saing tinggi lewat prioritas sektor pendidikan. Meskipun anggaran biaya pendidikan bukan satusatunya penentu agar pendidikan lebih berkualitas, namun tanpa biaya yang memadai sulit
rasanya pendidikan bermutu dapat dirasakan oleh semua kalangan. Salah satu catatan penting
dalam APBN 2009 adalah tetap terpenuhinya amanat UUD 1945 yang menetapkan porsi
anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN.
Rusmana (dalam Mulyono, 2010:150-151) mengungkapkan bahwa untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pendistribusian anggaran penyelenggaraan pendidikan, ada beberapa
strategi yang perlu diperhatikan. Berikut ini strategi tersebut:
1. Kebijakan anggaran yang masih cenderung menggunakan paradigma top down
diarahkan pada bottom up, yang mana pendistribusian anggaran didasarkan atas
program yang dibuat pada masing-masing satuan pendidikan.
2. Penyusunan anggaran yang bersifat parsial antara dinas pendidikan Kabupaten,
Provinsi dan Pusat serta yang bersumber dari masyarakat diperlukan adanya
koordinasi perencanaan yang bersifst terpadu untuk menghindari adanya duplikasi
program penyelenggaraan pendidikan di satu pihak, dan di pihak lain terdapat
skala prioritas yang tidak menjadi target dalam perencanaan. Diharapkan setiap
institusi mendefinisikan mana objek biaya yang menjadi tanggung jawabnya pada
pada setiap satuan pendidikan sehingga proses pembiayaan menjadi lebih efektif,
efisien dan objektif.
3. Penyusunan anggaran oleh pemerintah Kabupaten harus mengacu pada kebutuhan
satuan pendidikan. Variabel-variabel penyusunan anggaran harus sesuai dengan
variabel satuan pendidikan sehingga proses anggaran Kabupaten menjadi acuan
dalam penyusunan RAPBS di sekolah. Variabel anggaran memiliki kesamaan
dengan anggaran pada program sekolah untuk menghindari proses pembiayaan
yang tambal sulam.
4. Anggaran yang turun dari Kabupaten untuk daerah kota kecamatan dan pinggiran
lebih dipertimbangkan kekuatan dan potensinya agar konsep keadilan dapat
terlaksana.
Fattah, Nanang (2006:136-137) menjelaskan bahwa gambaran yang diperoleh dari hasil
studi keadaan dan variasi jumlah penerimaan anggaran biaya pendidikan SDN, menunjukkan
bahwa sumber anggaran dana terbesar yang digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan SDN
adalah masih yang berasal dari pemerintah pusat 90,73%, orang tua murid (BP3) 6,88%,
pemerintah daerah 2,17%, dan masyarakat 0,40%.
Selama ini, sumber biaya pendidikan yang berasal dari masyarakat merupakan bagian
terkecil dari keseluruhan struktur sumber-sumber biaya pendidikan di Indonesia. Pada anggaran
tahun 1997/1998, 11,78% dana penyelenggaraan perguruan tinggi negeri di Indonesia beraal dari
mahasiswa dan orang tua, 10,59% berasal dari berbagai program kerja sama kolaboratif dan
sumber lain yang diperoleh perguruan tinggi, sedangkan sebagian besar lainnya (77,63%) berasal
dari pemerintah. Jadi, hanya sekitar seperlima biaya pendidikan tinggi negeri yang berasal dari
masyarakat. Tentu saja kondisi ini berlawanan dengan perguruan tinggi swasta. Meskipun sekitar
seperlima dosennya berstatus pegawai negeri yang diperbantukan oleh pemerintah, sebagian
besar dana penyelenggaraan perguruan tinggi swasta berasal dari mahasiswa. Sesuai dengan PP
No. 61/1999, kebijakan yang dikembangkan untuk masa mendatang mengarah pada otonomi
pengelolaan perguruan tinggi, yang juga berimplikasi pada akan semakin membesarnya proporsi
sumber biaya pendidikan dari masyarakat yang dihimpun oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan (Ditjen Dikti, 1999).
Kondisi ini mestinya juga diharapkan akan terjadi pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Sumber biaya pendidikan dari masyarakat akan menjadi komponen yang sangat
menentukan penyelenggaraan pendidikan, bukan saja di lembaga pendidikan swasta, melainkan
di lembaga pendidikan negeri. Kemampuan ekonomi masyarakat yang menguat dan kesadaran
akan pentingnya pendidikan yang semakin meningkat, akan sangat menentukan keberhasilan
penerapan kebijakan dasar ini pada pendidikan dasar (Jalal Fasli & Dedi Supriadi, 2010:84).
UUD 1945 mengamanatkan bahwa melalui kewenangan besar yang dimilikinya,
pemerintah
bertanggung
jawab
untuk
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
melalui
pendidikan/pengajaran. Hal ini berarti bahwa meskipun ada kebijakan dasar untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam membiayai pendidikan, pemerintah tetap berkewajiban untuk
model BOS ini salah satu model pembiayaan pasca reformasi yang sangat populer, merakyat dan
memiliki pengaruh yang signifikan dalam upaya menuntaskan Wajib Belajar 9 tahun, pemerataan
dan keadilan dalam bidang pendidikan, serta upaya peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar.
Istilah BOS memang mudah diucapkan oleh masyarakat punggiran sekalipun, boleh jadi
popularitas model pembiayaan ini sebanding dengan popularitas istilah Inpres seperti SD Inpres
tahun 1975an pada saat awal kejayaan Orde Baru.
Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2001:134) menyatakan bahwa selain melalui BOS, sebagai
upaya mengatasi dampak krisis moneter terhadap keberlangsungan pendidikan, khususnya dalam
rangka menuntaskan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, pemerintah
mengembangkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Pendidikan. Program ini adalah berupa
pemberian beasiswa bagi siswa SD/MI, SLTP/MTs dan SLTA/MA negeri dan swasta, dan Dana
Bantuan Operasional (DBO) bagi SD/MI, SLTP/MTs dan SLTA/MA negeri dan swasta.
Pemberian beasiswa dimaksudkan untuk: a. Mencegah putus sekolah akibat masalah ekonomi, b.
Agar anak-anak yang kurang mampu mempunyai kesempatan yang lebuh besar untuk terus
bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, c. Semua anak, khususnya
perempuan terdorong untuk mengikuti pendidikan sekurang-kurangnya sampai SLTP. Di pihak
lain, tujuan pemberian DBO adalah sebagai bantuan kepada sekolah agar dapat mempertahankan
pelayanan pendidikan kepada masyarakat di tengah meningkatnya biaya penyelenggaraan
pendidikan.
Lebih lanajut Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2001:135-136) menjelaskan bahwa pemberian
beasiswa dan DBO ini menganut sistem bottom up, yaitu Kabupaten/Kota memperoleh alokasi
jumlah penerima beasiswa dan DBO sesuai dengan jumlah siswa dan sekolah, serta indeks
kemiskinan
Kabupaten/Kota
masing-masing.
Dengan
alokasi
yang
diberikan
inilah
Kabupaten/Kota mengatur distribusinya kepada siswa penerima beasiswa dan sekolah penerima
DBO sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selanjutnya, penentuan atau seleksi terhadap
siswa calon penerima beasiswa diserahkan kepada sekolah dengan menyertakan perwakilan
orang tua (BP3), perwakilan guru, perwakilan siswa (OSIS) dan Lurah/Kepala Desa setempat.
Adapun mekanisme penyalurannya adalah melalui kantor pos. Sentral Giro A Jakarta
menyalurkan dana beasiswa dan DBO ke kantor Pos Pemeriksa di tingkat Kabupaten/Kota.
Begitu pula Komite Kabupaten/Kota mengirimkan daftar siswa dan sekolah penerima beasiswa
dan DBO ke Kantor Pos Pemeriksa yang bersangkutan. Kemudian Kantor Pos Pemeriksa
menyalurkan dana ke Kantor Pos Bayar yang terdekat dengan penerima beasiswa dan DBO.
Selanjutnya siswa dan sekolah penerima beasiswa dan DBO dengan identitas, dapat mengambil
dana tersebut. Mekanisme penyaluran beasiswa dan DBO menunjukkan adanya desentralisasi
melalui pemberian wewenang yang besar kepada daerah untuk mengatur dan menetapkan sendiri
siswa dan sekolah penerima dana bantuan tersebut.
Mulyono (2010:164) menjelaskan bahwa agar penggunaan atau pengalokasian anggaran
pendidikan mencapai keberpihakan kepada masyarakat, maka perlu dilakukan penyusunan atau
perencanaan anggaran terlebih dahulu. Kemampuan untuk menerjemahkan program pendidikan
ke dalam ekuivalensi keuangan merupakan hal penting dalam menyusun anggaran belanja.
Kegiatan membuat anggaran belanja bukan pekerjaan rutin atau mekanis, melainkan melibatkan
pertimbangan tentang maksud-maksud dari pendidikan dan program. Berdasarkan perspektif
tersebut, pembuatan anggaran belanja dapat membuka jalan bagi pembangunan dan penjelasan
konsep-konsep tentang tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan merancang cara-cara bagi
pencapaiannya.
Pelaksanaan penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja di lingkungan
Departemen Pendidikan Nasional tampaknya memadukan antara pengaturan pemerintah pusat
dan sekolah. Dalam hal ini ada beberapa anggaran yang lebih ditetapkan oleh peraturan
pemerintah yang intinya pihak sekolah tidak dapat mengubah petunjuk penggunaan atau
pengeluarannya. Sekolah hanya bertindak sebagai pelaksana pengguna dalam tingkat mikro
kelembagaan. Dengan demikian, pola pengelolaan anggaran belanja oleh sekolah terbatas pada
pengelolaan tingkat operasional. Salah satu kebijakan tingkat sekolah adalah adanya pencarian
tambahan dan dari partisipasi masyarakat. Selanjutnya, cara pengelolaannya dipadukan sesuai
dengan tatanan yang lazim dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di dalam penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja pendidikan dilaksanakan dengan melibatkan beberapa unsur,
diantaranya 1. Kepala sekolah dibantu dengan para wakilnya yang ditetapkan oleh kebijakan
sekolah, 2. Orang tua murid dalam wadah komite sekolah, 3. Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten
dan 4. Pemerintah Kota/Kabupaten setempat. Semua komponen ini adalah pihak-pihak yang
terkait langsung dengan pembuatan regulasi perencanaan anggaran pendidikan dan operasional
pendidikan sesuai kedudukan dan kapasitasnya (Mulyono, 2010:164-166).
Lalu dengan terpenuhinya anggaran pendidikan nasional sesuai dengan konstitusi, maka
banyak harapan dari semua kalangan yang digantungkan pada kesuksesan dari sektor pendidikan.
Diantara harapan keberhasilan bidang pendidikan tersebut, antara lain pendidikan murah dan
berkualitas akan bisa dinikmati oleh rakyat kecil, minimal sampai tingkat SLTA, kesejahteraan
guru yang layak, tidak ada lagi bangunan sekolah yang ambruk dan rusak, tidak ada lagi kasus
siswa bunuh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah. Sehingga akan terbentuk sebuah
lapisan masyarakat yang terdidik, bangsa ini akan lebih bermartabat di mata dunia. Bangsa ini
akan lebih kreatif dan inovatif menciptakan peluang-peluang penghidupan untuk dirinya sendiri
serta pada akhirnya tercipta SDM warga yang semakin berkualitas. Dengan adanya SDM
masyarakat yang berkualitas, maka akan mendorong produksi dalam berbagai bidang, meliputi
pertanian, perdagangan dan industri akan naik, ekspor terus meningkat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup secara toleran dan
demokrasi akan tumbuh sehingga terbentuklah masyarakat madani yang dicita-citakan
(Mulyono, 2010:73-74) .
Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2001:86-88) menyatakan bahwa pendidikan dasar dan
menengah sangat penting karena mengutamakan pembentukan kepribadian dan penguasaan
kemampuan dasar yang sesuai dengan perkembangan masa kini dan masa depan serta kebutuhan
siswa sendiri dan masyarakatnya. Pendidikan dasar menekankan pada penguasaan kemampuan
umum yang diperlukan untuk hidup bermasyarakat dan bernegara. Materi pendidikan dasar
mengutamakan pembekalan kemampuan yang fungsional untuk kehidupan dalam berbagai
bidang: sosial, budaya dan ekonomi dengan berbasis pada nilai-nilai moral. Sejalan dengan
makin kompleksnya tentangan kehidupan, maka pendidikan dasar minimal untuk Indonesia
adalah sembilan tahun. Asumsinya ialah, apabila pendidikan minimum ini tidak dicapai, maka
seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan yang terjadi di
sekelilingnya.
Mulyono (2010:188) menjelaskan bahwa dalam sejarah perjalanan UUD 1945 yang telah
mengalami 4 kali amandemen, hanya dibidang pendidikan saja yang ditetapkan alokasi
anggarannya, yaitu sebesar 20% dari anggaran APBN/APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia telah bertekad untuk memajukan dunia pendidikan, terutama pendidikan dasar.
Pada tahun 1994, pemerintah telah menetapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 1 dan pada 2006, tekad tersebut
diperkuat dengan diterbitkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
Supriadi Dedi (2005:95-96) menjelaskan bahwa meskipun lazimnya APK yang menjadi
ukuran (kuantitatif) keberhasilan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, namun khusus
untuk tingkat SD/MI, APM seharusnya digunakan sebagai indikator keberhasilan apabila
program ini benar-benar ingin tuntas. Salah satu alasannya adalah bahwa pendidikan bersifat
irreversable, dalam pengertian sekali kita terlewat untuk mengikutinya, maka hal itu tidak dapat
diulangi. Sekali anak usia 7-12 tahun tidak berkesempatan tidak mengikuti SD/MI, maka ia
kehilangan peluang untuk selanjutnya, apalagi untuk mengikuti pendidikan di tingkat SLTP yang
merupakan penggal kedua wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Pada tingkat SD/MI sebagai penggal pertama pendidikan dasar dalam program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Angka Partisipasi Kasar (APK), yaitu ratio antara
jumlah seluruh siswa dengan kelompok umur 7-12 tahun dilaporkan telah mencapai 110%,
sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) yaitu ratio antara jumlah siswa usia 7-12 tahun
dengan kelompok umur 7-12 tahun sebesar 95%. Angka ini menunjukkan bahwa secara nasional
wajib belajar pada tingkat SD hampir tuntas. Namun sisa 5% anak-anak usia 7-12 tahun yang
belum bersekolah terdiri atas anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung (miskin, cacat dan
terpencil) yang jauh lebih sulit untuk menjangkaunya dibandingkan dengan kelompok anak-anak
yang saat ini telah berada di sekolah. Mereka disebut berada dalam the last frontiers dari program
wajib belajar (Supriadi Dedi, 2005:95).
Keberhasilan pemerataan pendidikan pada jenjang SD/MI berdampak pada meningkatnya
APK pada tingkat SLTP/MTs. Sejak dimulainya program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
pada 1994, jumlah siswa SLTP/MTs meningkat tajam, hingga pada tahun 1998/1999 telah
mencapai 9,3 juta siswa yang menghasilkan APK sebesar 70,43%. Jumlah ini meningkat dari
7,46 juta pada tahun 1994/1995. Dampaknya, jumlah lulusan SLTP/MTs juga meningkat dari 2
juta menjadi 2,66 juta siswa (Jalal Fasli & Dedi Supriadi, 2001:28).
Setiap kebijakan terbuka kemungkinan untuk gagal, kegagalan tersebut menurut
Hogwood dan Gunn (1986) dapat dibedakan :
1. Non-implementation
(tidak
terimplementasikan,
kebijakan
yang
tidak
usaha/industri untuk berpartisipasi secara aktif. Partisipasi ini tentunya perlu dikelola dan
dikoordinasikan dengan baik agar lebih bermakna bagi semua pihak, terutama dalam
meningkatkan mutu dan efektivitas pendidikan. Partisipasi orang tua dan masyarakat bisa
melalui bentuk pemikiran, tenaga dan dana.
Mulyono (2010:160) menyatakan bahwa partisipasi orang tua dan masyarakat dalam hal
bantuan dana pendidikan merupakan salah satu sumber keuangan dan pembiayaan di sekolah.
Sumber keuangan dan pembiayaan suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan atas
tiga sumber, yaitu 1. Pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah maupun kedua-duanya, uang
bersifat umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan kependidikan, 2. Orang tua atau
peserta didik, 3. Masyarakat, baik mengikat atau tidak mengikat. Berkaitan dengan penerimaan
keuangan dari orang tua dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional 2003 bahwa karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
pemenuhan kebutuhan pendidikan, tanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dana pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan
Pendidikan Bab IV Pasal 47 menjelaskan bahwa Peserta didik, Orang tua/wali peserta didik
bertanggung jawab atas:
1. Biaya pribadi peserta didik.
2. Pendanaan biaya investasi selain lahan untuk satuan pendidikan bukan pelaksana
program wajib belajar, baik formal maupun non formal, yang diperlukan untuk
menutupi kekurangan pendanaan yang disediakan oleh penyelenggara dan atau
satuan pendidikan.
3. Pendanaan biaya personalia pada satuan pendidikan bukan pelaksana program
wajib belajar, baik formal maupun non formal, yang diperlukan untuk menutupi
kekurangan pendanaan yang disediakan oleh penyelengggara dan atau satuan
pendidikan.
4. Pendanaan biaya nonpersonalia pada satuan pendidikan bukan pelaksana program
wajib belajar, baik formal maupun non formal, yang diperlukan untuk menutupi
kekurangan pendanaan yang disediakan oleh penyelengggara dan atau satuan
pendidikan.
5. Pendanaan sebagian biaya investasi pendidikan dan atau sebagian biaya operasi
pendidikan tambahan yang diperlukan untuk mengembangkan satuan pendidikan
menjadi bertaraf internasional dan atau berbasis keunggulan lokal.
PERBANDINGAN :
Tampaknya cukup banyak pihak masih asyik dengan argumentasi di belakang meja
bahwa pada masa Orde Lama dan Orde Baru semua urusan termasuk pengelolaan pendidikan di
seantero negeri ini ditentukan di pusat. Namun untuk pengelolaan guru pada tingkat sekolah
dasar, gambaran ini tidak lagi sepenuhnya benar. Sejak tahun 1970an, secara para bupati
memiliki kekuasaan sangat besar dalam pengelolaan guru SD. Dengan secarik nota, bupati dapat
memindahkan guru dari suatu sekolah ke sekolah lain, yang tidak jarang ke tugas lain. Kenyataan
inilah yang telah puluhan tahun dimasalahkan dan diangkat sebagai masalah dualisme
pengelolaan SD oleh jajaran Kanwil Dikbud, karena proses pembinaan akademik yang dilakukan
(dimulai dengan Proyek Pengembangan Pendidikan Dasar yang dibantu oleh Bank Dunia pada
awal 1970an), sewaktu-waktu dapat diporak-porandakan oleh penguasa di tingkat Kabupaten
melalui mutasi-mutasi yang terkesan tidak menghiraukan misi pengelolaan sekolah itu sendiri
(Jalal Fasli & Dedi Supriadi, 2001:436).
Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho (2008:221) menambahkan bahwa sampai dengan 3-4
tahun belakangan ini, meskipun formasi ditetapkan ditingkat pusat, kewenangan nyata untuk
mengangkat guru SD (yang merupakan bagian terbesar daro tenaga guru), secara de facto ada
ditingkat Pemda Tingkat 1. Jelasnya, berdasarkan formasi yang telah ditetapkan, BKN
menyerahkan sejumlah NIP kosongan kepada Pemda Tingkat 1. Kewenangan untuk
menentukan calon-calon yang akan diangkat dan menyandang NIP yang dialokasikan itu
sepenuhnya berada di tangan Pemda Tingkat 1. Oleh karena itu, dengan sangat mudahnya
kebijakan-kebijakan serta keputusan-keputusan dari tingkat pusat dimentahkan oleh pejabat
Pemda Tingkat 1. Sebagaimana terisyaratkan di atas, keadaan menjadi parah karena selama ini
para penguasa di tingkat Kabupaten tidak perlu mempertanggungjawabkan penggunaan
kewenangan yang besar tersebut. Disparitas guru menjadi sangat parah, dan menjadi semakin
parah apabila unit analisisi diturunkan ke tingkat yang semakin rendah. Pada tingkat ini,
kehiarauan terhadap mutu juga kurang menggembirakan.
Oleh karena itu, akan diperlukan sangat banyak upaya untuk memberdayakan penguasa
daerah bahkan sampai dengan penguasa di tingkat sekolah dan masyarakat setempat untuk dapat
menyambut dengan baik implementasi kebijakan desentralisasi. Peran serta Dewan Sekolah dan
Komite Sekolah masih perlu benar-benar ditumbuhkan dari awal, sehingga dapat menunaikan
fungsinya membantu pengelolaan pendidikan di tingkat lokal. Dengan kata lain, pemberdayaan
daerah dan sekolah masih harus menempuh perjalanan yang panjang (Jalal Fasli & Dedi
Supriadi, 2001:436-437).
Menurut Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho (2008:223), salah satu contoh yang paling
konyol dari ritualisasi proses pendidikan ini adalah kewajiban-kewajiban yang dikenakan
kepada para guru SD untuk menyusun Satpel (Satuan Pelajaran). Dalam kenyataannya, Satpel
tersebut tidak lebih dari salinan tulisan tangan dari kumpulan contoh-contoh Satpel yang telah
disiapkan oleh aparat Kanwil setempat untuk kemudian ditandatangani oleh Kepala Sekolah
(yang seharusnya dikaji ulang dan disempurnakan). Puncak dari kekonyolan ini adalah bahwa
dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran, nyaris tidak ada guru yang mengikuti skenario yang
telah disusunnya dalam Satpel yang dibuatnya serta ditandatangani secara tertib oleh para Kepala
Sekolah itu, di samping juga nyaris tidak ada Kepala Sekolah yang memverifikasi apakah akad
guru yang telah dituangkan ke dalam bentuk Satpel itu memang benar-benar dilaksanakan
(dengan baik).
Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2010:83-84) menyatakan bahwa telah diketahui biaya
pendidikan setiap siswa/mahasiswa untuk penyelenggaran pendidikan berasal dari berbagai
sumber. Di Amerika Serikat, satuan biaya per mahasiswa di Universitas Negeri 18% berasal dari
SPP (tuition fee) mahasiswa, 42% dari subsidi pemerintah, dan 40% lainnya dari donasi dan
sumber usaha yayasannya. Komposisi ini berbeda dengan di Universitas Swasta dimana satuan
biaya per mahasiswa sebanyak 48% berasal dari tuition fee mahasiswa, 18% dari subsidi
pemerintah, dan 34% sisanya dari donasi dan sumber usaha lain. Di Indonesia, anggaran sekolah
negeri sebagian besar atau bahkan seluruhnya berasal dari pemerintah, sedangkan anggaran
sekolah swasta hampir seluruhnya dibayar oleh keluarga yang dikelola oleh yayasan yang
bersangkutan. Keadaan ini kemudian memunculkan isu keadilan (equity, fairness) dalam
memperoleh subsidi pemerintah di satu pihak, dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat
dalam membiayai pendidikan.
Merujuk kepada paparan diatas mengenai pengelolaan dana pendidikan, Minarti Sri
(2011:233-234) menyatakan bahwa dengan segala kemungkinan perbaikan yang dijanjikan,
pencermatan terhadap mekanisme pengelolaan dana pendidikan melalui block grant perlu
dijadikan prioritas. Hal ini penting ditekankan karena akan diperlukan usaha keras dan stamina
yang tinggi untuk mengubah pendekatan ritual, ataupun pendekatan bimbingan tes, dalam
penyelenggaraan pendidikan yang telah terbiasa selama ini menjadi pendekatan yang lebih
bersifat efficiency dan effectiveness conscious.
Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2001:435) menambahkan bahwa di lingkungan pendidikan
dasar di mana mekanisme melalui block grant itu telah dirintis selama beberapa tahun, jelas
sekali tampak bahwa pikiran, waktu dan dana yang sangat banyak perlu dicurahkan untuk
melakukan seleksi usulan dan supervisi pelaksanaan untuk lebih memastikan diterjadikannya
improved processes yang dikehendaki dalam konteks program based competitive funding itu.
Meskipun sama sekali tidak berkeinginan mundur secara teratur, seyogyanya perlu diingat bahwa
implementasi mekanisme pendanaan melalui block grant di jenjang sekolah dasar dan menengah
sama sekali tidak boleh disepelekan, apalagi jumlah lembaga yang terlibat berlipat ganda apabila
dibandingkan dengan percobaan mekanisme pendanaan block grant di lingkungan perguruan
tinggi. Sebaliknya, apabila urusan ini dianggap enteng, maka kita semua perlu bersiap-siap untuk
menerjunkan diri ke dalam kancah upaya yang mahal, namun dalam kenyataannya hanya akan
merupakan serentetan very expensive nonevents. Apabila perkembangan serupa ini terjadi,
sangat terbuka kemungkinan bahwa pada akhirnya mekanisme pendanaan melalui block grant itu
akan dikutuk, meskipun yang bersalah bukanlah kerangkan berpikir mekanisme pendanaan
melalui block grant itu sendiri, melainkan implementasinya yang tidak sesuai dengan desainnya.
Minarti Sri (2011:224-228) menyatakan bahwa dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana
pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Di samping itu, prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan.
1. Transparansi.
Transparansi berarti adanya keterbukaan. Pada lembaga pendidikan, bidang
manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam
manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan
dan jumlahnya, rincian penggunaan dan pertanggung jawabannya harus jelas
sehingga
bisa
mengetahuinya.
memudahkan
Transparasi
pihak-pihak
keuangan
yang
sangat
berkepentingan
diperlukan
dalam
untuk
rangka
kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam anggaran
tergambar kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga. Penyusunan aggaran
merupakan langkah-langkah positif untuk merealisasikan rencana yang telah disusun. Kegiatan
ini melibatkan pimpinan tiap-tiap unit organisasi. Pada dasarnya, penyusunan anggaran
merupakan negosiasi atau perundingan/kesepakatan antara puncak pimpinan dengan pimpinan
dibawahnya dalam menentukan besarnya alokasi biaya suatu penganggaran. Hasil akhir dari
suatu negosiasi merupakan suatu pernyataan tentang pengeluaran dan pendapatan yang
diharapkan dari setiap sumber dana.
Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho (2008:382-384) menjelaskan bahwa Faktor yang penting
dalam melaksanakan kebijakan pendidikan salah satunya adalah anggaran. Anggaran pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Jembrana Provinsi Bali pada tahun 2001, tidak didapatkan angka
anggaran untuk beasiswa pendidikan seluruh murid SD Negeri se-Jembrana. APBD Kabupaten
Jembaran tahun 2001 menunjukkan bahwa anggaran pendidikan adalah Rp. 49,021 milyar.
Kebijakan pendidikan di Jembrana bertujuan untuk meratakan pendidikan, dilanjutkan dengan
peningkatan mutu pendidikan. Strategi anggaran pendidikan Jembrana adalah meningkatkan
efisiensi penggunaan dana. Pendekatan efisiensi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengatasi
keterbatasan anggaran.
Oleh sebab itu, dalam penggunaan anggaran harus benar, efektif, efisien serta
memperhatikan asas umum pengeluaran negara, yaitu manfaat penggunaan uang negara minimal
harus sama apabila uang tersebut dipergunakan langsung oleh masyarakat. Asas ini tercermin
dalam prinsip-prinsip yang dianut dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN), seperti prinsip efisien, pola hidup sederhana dan sebagainya. Setiap melaksanakan
kegiatan yang memberatkan anggaran belanja, ada ikatan-ikatan yang berupa pembatasanpembatasan,
larangan-larangan,
keharusan-keharusan,
dan
prinsip-prinsip
yang
harus
diperhatikan setiap petugas yang diberi wewenang dan kewajiban mengelola uang negara
(Minarti Sri, 2011:239).
Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho (2008:385) menjelaskan bahwa efisiensi penggunaan
anggaran di Jembrana dilakukan dengan melakukan penggabungan sejumlah sekolah untuk
mendapatkan dana yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan gratis di Jembrana. Tahun
2001-2002 dilakukan penggabungan 22 sekolah dasar, dengan asumsi jika setiap sekolah dasar
memerlukan biaya operasional Rp. 150 juta per tahun, maka penggabungan akan meningkatkan
efisiensi anggaran sebesar Rp. 3,3 milyar. Jadi, dengan taksiran kasar dapat disimpulkan bahwa
efisiensi tersebut dapat digunakan untuk dijadikan dana pemerintah untuk mengganti biaya setiap
murid yang bersekolah pada sekolah negeri dari SD hingga SMA, dengan perhitungan biaya
untuk setiap murid SD Rp. 7500/bulan, SMP Rp. 12.500/bulan, dan SMA/AMK Rp.
20.000/bulan. Dengan demikian, ditemukan bahwa per Januari 2001 tiap sekolah negeri di
Jembrana dilarang memungut sama sekali biaya sekolah. Pada akhirnya, implementasi kebijakan
dengan tujuan pertama pemerataan pendidikan bagi masyarakat dapat dicapai dengan cara
efisiensi, dalam bentuk penggabungan sejumlah sekolah negeri.
Fattah Nanang (2013:106) menjelaskan bahwa Terlepas dari permasalahan pembiayaan
pendidikan, perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu upaya
strategis pembangunan nasional. Berdasarkan jenjangnya, maka pendidikan dasar menjadi
pondasi yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia tersebut. Belajar dari negaranegara baru di bidang industri (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, bahwa
untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan apa yang disebut critical mass di
bidang pendidikan. Konsep ini mengupayakan adanya suatu persentase penduduk dengan tingkat
pendidikan tertentu yang harus disiapkan oleh suatu bangsa agar pembangunan sosial dan
ekonomi dapat meningkat cepat karena adanya dukungan sumber daya manusia yang berkualitas
dan memadai. Kebijakan program pendidikan dasar 9 tahun merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk mewujudkan critical mass tersebut. Program ini dilaksanakan untuk
mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang terdidik, minimal memiliki pengetahuan dan
keterampilan dasar yang esensial.
Lebih lanjut Fattah Nanang (2013:107) menambahkan bahwa kebijakan pendidikan dasar
9 tahun yang sudah dicanangkan sebagai program wajib belajar 9 tahun, juga merupakan wujud
komitmen pemerintah dalam melaksanakan berbagai amanat atau ketentuan yang ada di dalam
konstitusi dan berbagai dokumen internasional. Dalam hal ini pemerintah Indonesia telah
meratifikasinya. Selain itu, konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of
Child) menyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak
tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas.
Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan
yang bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar yang bersifat wajib.
Angka Partisipasi (AP) merupakan salah satu indikator pendidikan dasar yang akan
menggambarkan kondisi dan tingkat pembangunan pendidikan dasar yang selama ini telah
diupayakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan orang tua dan masyarakat
(Fattah Nanang, 2013:108). Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho (2008:413) menambahkan bahwa
angka partisipasi dibagi menjadi dua, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi
Murni (APM). Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah persentase jumlah siswa pada jenjang
pendidikan tertentu dibandingkan dengan penduduk kelompok usia sekolah. Makin tinggi APK
berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah, atau makin banyak
anak usia diluar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan tertentu.
Kegunaan APK adalah untuk mengetahui banyaknya anka usia sekolah yang bersekolah pada
suatu jenjang pendidikan. APK untuk anak SD adalah usia 7-12 tahun, SMP 13-15 tahun, SMA
16-18 tahun. Sementara itu Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase jumlah siswa pada
jenjang pendidikan tertentu dibandingkan dengan penduduk kelompok usia sekolah. Makin
tinggi APM berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu daerah, atau
makin banyak anak usia diluar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan
tertentu.
Menurut Jalal Fasli & Dedi Supriadi (2001:27-28), jumlah siswa SD/MI pada tahun
1998/1999 mencapai 29,3 juta. Jumlah ini mengalami sedikit penurunan dari 29,48 juta pada
tahun 1994/1995, disebabkan oleh penurunan jumlah kelompok umur 7-12 tahun dari 26,81 juta
menjadi 25,58 juta anak pada kurun waktu yang sama. Angka Partisipasi Murni (APM) atau rasio
jumlah siswa SD/MI yang berusia 7-12 tahun terhadap jumlah penduduk kelompok usia 7-12
tahun meningkat dari 93,29% pada tahun 1994/1995 menjadi 98,28% pada tahun 1998/1999.
Sementara itu, Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI atau rasio jumlah siswa SD/MI terhadap
jumlah penduduk 7-12 tahun meningkat dari 110,83% menjadi 114,52%. Dalam kurun waktu
yang sama, jumlah lulusan SD/MI meningkat dari 3,84 juta siswa menjadi 4,02 juta siswa. Untuk
mendukung pemerataan pendidikan, jumlah SD/MI terus ditingkatkan sehungga pada tahun
1998/1999 mencapai 175,3 ribu sekolah. Pemberian beasiswa dilakukan kepada sekitar 1,8 juta
siswa SD/MI yang terancam dampak krisis ekonomi sebagai bagian dari program Jaring
Pengaman Sosial (JPS) di bidang pendidikan.
Menurut Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho (2008:412-413), Tahun 2001, APK SD
Jembrana 82,54% , lalu pada tahun 2005 menjadi 112,5%. Apabila di rata-rata secara kasar,
terdapat pertumbuhan 7,45%. Untuk APK SLTP, tahun 2001 sebesar 63,96%, lalu tahun 2005
menjadi 97,75%, atau secara rata-rata mengalami peningkatan 8,40% per tahun. Sementara itu,
menurut 2003, rata-rata APM Jembrana berada diatas rata-rata APM Provinsi di Bali dan APM
Standar Pelayanan Minimum (SPM) Pendidikan Nasional. APM Jembrana untuk jenjang
pendidikan SD adalah 93,35%, atau berada dibawah rata-rata Provinsi Bali sebesar 97%, namun
diatas SPM nasional yaitu 90%. APM Jembrana untuk jenjang pendidikan SLTP adalah 89,11%,
atau berada diatas rata-rata Provinsi Bali sebesar 64,21%, dan diatas SPM nasional yaitu 80%.
Pada 2001, APM SD Jembarana 78,08%, lalu tahun 2005 menjadi 100,11%. Apabila dirata-rata
secara kasar, terdapat pertumbuhan 5,51%. Untuk APM SLTP tahun 2001, APM SLTP
Jembarana 46,40%, lalu tahun 2005 menjadi 89,27%, atau secara rata-rata mengalami
peningkatan 10,72% per tahun.
Melalui data Bappenas pada tahun 2004, Fattah Nanang (2013:108) menjelaskan bahwa
jika dilihat dari Angka Prestasi (AP), program pendidikan SD/MI memberikan layanan
pendidikan yang relatif tinggi bagi anak-anak usia 7-12 tahun. Angka Partisipasi Murni (APM)
tahun 2004 menunjukkan angka 93,04%. Ini berarti terdapat sekitar 6,96% anak usia 7-12 tahun
atau dengan menggunakan data penduduk dari BPS (2004) sekitar 1,7 juta orang yang sebagian
tidak atau belum terlayani pendidikan SD/MI. Sementara itu, Angka Partisipasi Kasar (APK)
SD/MI sebesar 107,1%. Lebih besarnya APK dari APM ini menunjukkan adanya anak diluar
kelompok usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI. Mereka adalah anak yang berusia dibawah
7 tahun dan diatas 12 tahun.
Lebih lanjut Fattah Nanang (2013:108) menambahkan bahwa akses pendidikan pada
tingkat SLTP/MTs belum sebaik SD/MI. Pada tahun 2004, APM SLTP/MTs baru mencapai
65,24%, yang berarti masih ada 34,76% anak usia 13-15 tahun belum terlayani pendidikan
SLTP/MTs. Dengan menggunakan data penduduk 13-15 tahun dari BPS (2004), angka tersebut
berkisar sekitar 4,5 juta orang. Sementara itu, Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP/MTs sebesar
82,24%.
Supriadi Dedi (2005:94-95) menyatakan bahwa dari anak-anak yang tidak atau belum
terlayani, sebagian merupakan anak-anak yang tidak atau belum pernah sekolah dan putus
sekolah. Kesulitan anak-anak yang tidak atau belum terlayani ini dapat disebabkan oleh
persoalan kondisi geografis maupun ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Sebagai anak
bangsa, merekapun berhak mendapatkan pendidikan. Karena itu, berapapun harganya dan
apapun resikonya, sistem pendidikan harus tetap berusaha menjangkaunya. Delivery model yang
selama ini telah digunakan harus lebih diefektifkan untuk membuat mereka bersekolah, yaitu
SD/MI kecil dengan multi grade teacher dan kejar paket A. Jumlah 5 % anak-anak yang belum
terjangkau pendidikan kelihatannya kecil saja, akan tetapi sesungguhnya populasi mereka sekitar
1,2 juta orang.
REFERENSI
Fattah, Nanang. 2006. Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung: v + 164 hlm.
. 2013. Analisis Kebijakan Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung: iii + 310 hlm.
Jalal, Fasli & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Adi Cita Karya Nusa, Yogyakarta: vi + 445 hlm.
Mardiasmo. 2002. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Andi, Yogyakarta: vi + 334
hlm.
Minarti, Sri. 2011.Manajemen Sekolah: Mengelola Lembaga Pendidikan Secara Mandiri.
AR-Ruzz Media, Yogyakarta: 7 + 435 hlm.
Mulyono, MA. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. AR-Ruzz Media, Yogyakarta: 5 +
294 hlm.
Rusmana, Maman. 2005. Sistem Pembiayaan Pendidikan Pada Pemerintah Kabupaten
(Studi Kasus Pembiayaan Pendidikan dilihat dari Sistem, Efektivitas dan Efisiensi
Penyelenggaraan
Pendidikan
Setelah
Implementasi
Otonomi
Daerah
pada