Anda di halaman 1dari 271

MODEL KOLABORASI PERENCANAAN ANTARA BALAI TAMAN

NASIONAL WAKATOBI DAN PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI


DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM HAYATI SECARA
LESTARI
A MODEL OF PLANNING COLLABORATION BETWEEN WAKATOBI
NATIONAL PARK AUTHORITY AND WAKATOBI REGENCY
GOVERNMENT IN SUSTAINABLE NATURAL RESOURCE
MANAGEMENT

HERY SOPARI

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

MODEL KOLABORASI PERENCANAAN ANTARA BALAI TAMAN


NASIONAL WAKATOBI DAN PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM HAYATI SECARA
LESTARI

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Disusun dan diajukan oleh

HERY SOPARI

kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

TESIS
MODEL KOLABORASI PERENCANAAN ANTARA BALAI TAMAN
NASIONAL WAKATOBI DAN PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM HAYATI SECARA
LESTARI

Disusun dan diajukan oleh

HERY SOPARI
Nomor Pokok P0204212516

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis


pada tanggal 11 Maret 2014
dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui
Komisi Penasehat,

Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc


Ketua

Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS


Anggota

Ketua Program Studi


Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,

Dr. Ir. Roland A. Barkey

Direktur Program Pascasarjana


Universitas Hasanuddin,

Prof. Dr. Ir. Mursalim

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama

: Hery Sopari

Nomor Mahasiswa : P0204212516


Program studi

: Perencanaan Pengembangan Wilayah

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini


benar-benar

merupakan

hasil

karya

sendiri,

bukan

merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian


hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar,

Maret 2014

Yang menyatakan,

HERY SOPARI

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,


karena atas rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
tesis dengan judul Model Kolaborasi Perencanaan antara Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Hayati secara Lestari, untuk memenuhi salah satu
syarat

penyelesaian

studi

magister

pada

Program

Pascasarjana

Universitas Hasanuddin.
Ide penulisan tesis ini timbul dari hasil pengamatan penulis terhadap
identifikasi permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam hayati di
Wakatobi yang merupakan taman nasional dan juga sebagai kabupaten.
Adanya dua instansi yang memiliki ruang kelola sumber daya alam yang
sama, maka diperlukan kebijakan pengelolaan yang sinergis dan
harmonis.

Penulis bermaksud untuk mengetahui potensi Resources-

Organizations-Norms (R-O-N) Taman Nasional dan Kabupaten Wakatobi,


kontribusi

dan

arah

perencanaan

dalam

mendukung

kolaborasi

perencanaan pengelolaan SDAH secara lestari dan merumuskan model


kolaborasi

perencanaan

pengelolaan

SDAH

secara

lestari

untuk

memecahkan berbagai permalasahan dalam pengelolaan SDAH di


Wakatobi.
Penulis menyadari bahwa banyak kendala yang dihadapi dan karena
bantuan dari berbagai pihak lah, maka penyusunan tesis ini dapat selesai
tepat pada waktunya. Dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc selaku
Ketua Komisi Penasihat dan Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS selaku
Anggota Komisi Penasihat atas semua bimbingan, arahan, dan motivasi
yang diberikan dalam penulisan tesis ini; Tim Komisi Penguji Dr. Suryadi
Lambali, M.A., Prof. Dr. Ir. Yusran Jusuf, S.Hut., M.Si dan Muh. Abduh

Ibnu Hajar, S.Pi., MP., Ph.D yang telah memberikan kritik dan saran demi
perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang telah memberikan ijin
tugas belajar kepada penulis.
2. Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA) atas fasilitasinya dalam memberikan ijin tugas belajar.
3. Kepala Balai TN Wakatobi yang telah memfasilitasi dan mendorong
penulis untuk terus menimba ilmu pengetahuan.
4. Kepala Pusbindikaltren Bappenas yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada jenjang magister.
5. Pemerintah Kabupaten Wakatobi (SKPD terkait) yang telah membantu
penulis dalam pengumpulan data dan informasi penelitian.
6. Ketua program studi Perencanaan Pengembangan Wilayah beserta
Ketua Konsentrasi Manajemen Perencanaan.
7. Keluarga tercinta: Bapak Opan Sopandi, Ibu Nunung Sumiati serta
Emma Herawati (Istri) dan Anak-anakku tersayang (Risty Khaerunnisa
Putri, Raisha Aliya S., dan M. Fadly Bukhary) yang telah memberikan
dukungan moril dan materil.
8. Rekan-rekan mahasiswa

Magister Perencanaan Pengembangan

Wilayah (Konsentrasi Studi Manajemen Perencanaan Angkatan X)


yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani perkuliahan dan
penyelesaian tesis.
9. Kepada

semua

pihak

yang

telah

banyak

membantu

dalam

penyelesaian tesis ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang berkepentingan.
Makassar,

Maret 2014

HERY SOPARI

ABSTRAK
HERY SOPARI. Model Kolaborasi Perencanaan antara Balai Taman
Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati (SDAH) Secara Lestari (dibimbing
oleh Ngakan Putu Oka dan Darmawan Salman)

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis potensi yang ada


pada Resources-Organization-Norms (R-O-N) Taman Nasional Wakatobi
dan Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi perencanaan
pengelolaan SDAH di wilayah tersebut, 2) Menganalisis kontribusi dan
arah perencanaan Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dalam mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan SDAH,
dan 3) merumuskan model kolaborasi perencanaan antara Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam pengelolaan SDAH
secara lestari.
Penelitian ini dilakukan di kota Bau-Bau dan Kabupaten Wakatobi.
Metode yang digunakan adalah indepth interview, studi dokumen dan
Focus Group Discussion. Data dianalisis dengan analisis deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, sumber daya alam
hayati yang dikelola oleh kedua pihak yaitu 8 sumber daya penting/target
konservasi. Kedua, kontribusi dan arah perencanaan Balai TN Wakatobi
dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan SDAH secara lestari. Ketiga, untuk
memecahkan berbagai permasalahan SDAH, terdapat 8 model kolaborasi
perencanaan yaitu a) penanganan kasus; b) patroli/operasi pengamanan
c) penyuluhan/sosialisasi peraturan, d) monitoring 8 sumber daya
penting/target konservasi e) rehabilitasi sumber daya alam hayati, f)
pengelolaan pengunjung, g) pengelolaan ijin usaha perikanan dan h)
pengembangan dan perijinan pariwisata alam.

Kata kunci: Kolaborasi, Perencanaan, Sumber Daya Alam Hayati

ABSTRACT

HERY SOPARI. A Model of Planning Collaboration between Wakatobi


National Park Authority and Wakatobi Regency Government in
Sustainable Natural Resource Management (Supervised by Ngakan Putu
Oka and Darmawan Salman)

This study aims to: (1) analyze the potentials of Resources Organization - Norms (RON) in Wakatobi National Park Authority (WNPA)
and Wakatobi Regency Government (WRG) in supporting the
collaboration of natural resource management planning in the area; (2)
analyze the contribution and the direction of WNPA and WRG planning in
supporting the collaboration of natural resource management planning;
and (3) formulate a model of planning collaboration between WNPA and
WRG in sustainable natural resource management.
This research was conducted in Bau-Bau city and Wakatobi
Regency. It used indepth interviews, document study and focus group
discussions(FGD). The data were analyzed by using the qualitative
descriptive analysis.
The results reveal that: (1) natural resources managed by WNPA
and WRG are 8 (eight) important resources which become the targets of
conservation, (2) the contributions and planning direction of WNPA and
WRG support the collaborative planning of sustainable natural resource
management; and (3) various natural resource problems can be solved by
using 8 models of collaborative planning, including (a) case administration,
(b) security patrols / operations (c) education / regulation socialization, (d )
the monitoring of 8 important natural resources / conservation targets, (e)
natural resource rehabilitation,
(f) visitor management,
(g) the
management of fisheries business license, and (h) the development and
licensing of natural tourism.
Keywords: collaboration, planning, natural resource

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...............................................................................

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................

iii

DAFTAR ISI ............................................................................................

ix

DAFTAR TABEL ..................................................................................... xii


DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi
BAB I.

BAB II.

PENDAHULUAN .....................................................................

A. Latar Belakang ..................................................................

B. Rumusan Masalah ............................................................

C. Tujuan Penelitian ...............................................................

D. Kegunaan Penelitian .........................................................

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 10


A. Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Secara
Lestari ................................................................................ 10
1. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya ............................................................... 10
2. Kawasan Konservasi..................................................... 14
B. Peranan Balai Taman Nasional dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Hayati ................................................. 21
1. Pengelolaan Taman Nasional....................................... 21
2. Peranan Balai Taman Nasional dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Hayati............................................ 23

C. Peranan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan


Sumber Daya Alam Hayati ................................................. 27
D. Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Hayati ................................................. 31
1. Konsep Perencanaan.................................................... 31
2. Konsep Manajemen Kolaboratif .................................... 36
3. Pentingnya Kolaborasi Pengelolaan Sumber
Daya Alam Hayati ........................................................ 41
4. Penelitian Terdahulu .................................................... 46
E. Kerangka Pikir Penelitian .................................................. 50
BAB III.

METODE PENELITIAN .......................................................... 53


A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...................................... 53
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 54
C. Jenis dan Sumber Data ..................................................... 54
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 59
E. Teknik Analisa Data .......................................................... 60
F. Pengecekan Validitas Temuan .......................................... 64
G. Definisi Operasional .......................................................... 65

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 67


A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................. 67
B. Potensi Resources-Organizations- Norms
TN Wakatobi dan Kabupaten Wakatobi ............................. 72
1. Sumber Daya Alam Hayati yang dapat
dikolaborasikan Pengelolaannya .................................... 72

2. Sarana Pendukung Pengelolaan Sumber Daya


Alam Hayati .................................................................... 90
3. Sumber Daya Manusia
pada Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi ....... 92
4. Sumber Daya Finansial Pengelolaan Sumber
Daya Alam Hayati .......................................................... 94
5. Permasalahan Sumber Daya (SDA, SDM dan
Finansial) ....................................................................... 97
6. Kondisi Organisasi Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi (SKPD Pengelola
SDAH) ............................................................................ 103
7. Norma Pengelolaan SDAH Secara Lestari ................... 111
C. Kontribusi dan Arah Perencanaan Balai TN
Wakatobi dan Pemertintah dalam Mendukung
Kolaborasi Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya
Alam Hayati............................................................................... 137
1. Kontribusi Balai TN Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi
dalam
Mendukung
Kolaborasi Perencanaan Pengelolaan SDAH
Secara Lestari ...................................................................... 137
2. Arah Perencanaan Balai TN Wakatobi
dan
Pemerintah
Kabupaten
Wakatobi
dalam
Mendukung Kolaborasi Perencanaan Pengelolaan
SDAH SecaraLestari ...................................................... 159
D. Model Kolaborasi Perencanaan Antara Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati
Secara Lestari .................................................................... 166
BAB V.

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 217


A. Kesimpulan.......................................................................... 217
B. Saran .................................................................................. 219

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 221


LAMPIRAN

........................................................................................... 229

DAFTAR
1.
2.
3.
4.
5.

6.

7.

8.
9.
10.

11.
12.
13.
14.

TABEL

Berbagai Kategori Kawasan Konservasi ........................................


Definisi Kawasan Konservasi menurut IUCN (2008) ......................
Perubahan Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi ............
Perspektif Kolaborasi .....................................................................
Matriks Penelitian Model Kolaborasi Perencanaan antara
Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Secara
Lestari.............................................................................................
Analisis Data Penelitian yang Ada Pada Balai TN Wakatobi
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Secara
Lestari ............................................................................................
Analisis Data Penelitian yang Ada Pada Pemerintah
Kabupaten Wakatobi Dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam Hayati Secara Lestari ...........................................................
Jumlah Desa Menurut Kecamatan dan Letak Wilayah di
Kabupaten Wakatobi Tahun 2012 ..................................................
Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Wakatobi
Tahun 2012 ....................................................................................
Pendapat Pemangku Kepentingan pada Balai TN Wakatobi
dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi terhadap Kolaborasi
Pengelolaan 8 Sumber Daya Penting ............................................
Fungsi dan Potensi 8 Sumber Daya Penting .................................
Lokasi dan Luasan Terumbu Karang di Wakatobi ..........................
Deskripsi lokasi SPAGs di Wakatobi ..............................................
Sumber Daya Alam Hayati yang dikelola oleh Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi ............................

16
17
20
37

56

64

64
69
72

73
74
75
84
87

15. Ketersediaan Sarana Pendukung Pengelolaan SDAH Pada


Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi ....................................................................................... 91
16. Jumlah Pegawai Balai TN Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi ...................................................................... 93
17. Anggaran Pengelolaan SDAH Oleh Balai TN Wakatobi
Tahun 2012 .................................................................................... 95
18. Realisasi Anggaran Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
Pengelolaan SDAH Secara Lestari Tahun 2012 ........................... 95
19. Perbandingan Anggaran Balai TN Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi dalam Pengelolaan SDAH Secara
Lestari ............................................................................................ 97

20. Undang-Undang yang Berlaku Pada Taman Nasional dan


Pemerintah Kabupaten Wakatobi .................................................. 112
21. Tindakan Pertama Oleh Petugas Keamanan Menurut Modus
Operandi ........................................................................................ 118
22. Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Kesehatan
Karang ............................................................................................ 121
23.
24.
25.
26.
27.

Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Lamun ..................


Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Mangrove..............
Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring SPAGs..................
Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Penyu ...................
Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Burung
Pantai/Laut......................................................................................

121
122
124
125
126

28. Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Cetacean .............. 127
29. Tarif PNBP Yang Berlaku di Kawasan Konservasi
berdasarkan PP No. 59 Tahun 1998 .............................................. 129
30. Retribusi Penelitian berdasarkan Perda Kabupaten Wakatobi
No. 19 Tahun 2006 ......................................................................... 132
31. Retribusi Kegiatan Wisata Berdasarkan Perda Kabupaten
Wakatobi No. 15 Tahun 2013 ......................................................... 133
32. Kontribusi Balai TN Wakatobi dalam Pengelolaan SDAH
Secara Lestari Tahun 2012............................................................. 137
33. Pelatihan dalam Rangka Peningkatan Kualitas SDM Tahun
2012................................................................................................ 148
34. SKPD terkait Pengelolaan SDAH ................................................... 150
35. Visi Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi ....... 159
36. Analisis Visi Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dalam Mendukung Kolaborasi ....................................... 160
37. Misi Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi ...... 161
38. Analisis Misi Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dalam mendukung kolaborasi Perencanaan
Pengelolaan SDAH......................................................................... 162
39. Rencana Kerja Balai TN Wakatobi dalam Pengelolaan SDAH
Tahun 2014..................................................................................... 164
40. Ringkasan Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten Wakatobi
dalam Pengelolaan SDAH Tahun 2014 .......................................... 165
41. Ringkasan Analisis Data Penelitian Pada Balai TN Wakatobi ........ 177

42. Ringkasan Analisis Data Penelitian Pada Pemerintah


Kabupaten Wakatobi ...................................................................... 179
43. Kolaborasi Perencanaan Penanganan Kasus ................................ 181
44. Model Kolaborasi Perencanaan Penanganan Kasus...................... 182
45. Kolaborasi Perencanaan Patroli/Operasi Pengamanan.................. 185
46. Model Kolaborasi Perencanaan Operasi Gabungan....................... 186
47. Model Kolaborasi Perencanaan Operasi Intelejen .......................... 187
48. Model Kolaborasi Perencanaan Patroli Mendadak ........................ 187
49. Model Kolaborasi Perencanaan Patroli Penjagaan di Resort ......... 188
50. Kolaborasi Perencanaan Penyuluhan/Sosialisasi Peraturan .......... 190
51. Model Kolaborasi Perencanaan Pendidikan Konservasi/
Penyuluhan/ Sosialisasi di tingkat SLTP/SLTA .............................. 191
52. Model Kolaborasi Perencanaan Pembinaan Kader
Konservasi ...................................................................................... 192
53. Model Kolaborasi Perencanaan Pembinaan KPA........................... 193
54. Kolaborasi Perencanaan Monitoring 8 Sumber Daya Penting/
Target Konservasi........................................................................... 196
55. Model Kolaborasi Perencanaan Monitoring Lamun ........................ 197
56. Model Kolaborasi Perencanaan Monitoring SPAGs ....................... 197
57. Kolaborasi Perencanaan Rehabilitasi SDAH ................................. 199
58. Model Kolaborasi Perencanaan Transplantasi Karang ................... 200
59. Model Kolaborasi Perencanaan Persemaian Mangrove ................. 201
60. Kolaborasi Perencanaan Pengelolaan Pengunjung (Untuk
Tujuan Wisata, Penelitian, Shooting Film dan lain-lain)................. 203
61. Model Kolaborasi Perencanaan Pengelolaan Pengunjung ............. 204
62. Contoh Rencana Pembangunan Tempat Pengelolaan
Pengunjung..................................................................................... 205
63. Model Kolaborasi Perencanaan Pengelolaan Ijin Usaha
Perikanan........................................................................................ 206
64. Kolaborasi Perencanaan Pengembangan dan Perijinan
Pariwisata Alam ............................................................................. 209
65. Model Kolaborasi Perencanaan Pengembangan Ekowisata
Mangrove........................................................................................ 210
66. Model Kolaborasi Perencanaan Perijinan Pariwisata Alam ............ 211

DAFTAR

GAMBAR

1.

Pembagian Kawasan Konservasi di Indonesia .............................. 14

2.

Kerangka Kolaborasi Dua Pihak antara Balai Taman Nasional


dan Pemerintah Daerah (SKPD) (dikerangkakan dari Salman,
2012a) .......................................................................................... 43

3.

Kerangka Pikir Penelitian .............................................................. 52

4.

Lokasi Wakatobi berada di Provinsi Sulawesi Tenggara


dan segi tiga karang dunia (Balai TN Wakatobi, 2008) ................. 67

5.

Peta Batas Wilayah Kabupaten Wakatobi


(Pemerintah Kabupaten Wakatobi, 2013b) .................................... 68

6.

Peta Lokasi Monitoring SPAGs (BTNW, 2013a)............................ 84

7.

Organisasi Balai Taman Nasional Wakatobi


Berdasarkan
Permenhut No. P.03/Menhut-II/2007 (BTNW, 2013a) ................... 104

8.

Zonasi Taman Nasional Wakatobi (BTNW dkk. 2007) .................. 151

9.

Alternatif Forum Pengelola SDAH Wakatobi.................................. 170

DAFTAR

LAMPIRAN

1. Panduan Wawancara ...................................................................... 229


2. Rekomendasi Teknis Pengesahan Rencana Pengelolaan
Jangka Panjang (RPJP) Taman Nasional Wakatobi Tahun 1998
s/d 2023 (Revisi 2008) ..................................................................... 230
3. Daftar Informan Penelitian............................................................... 231
4. Daftar Peserta FGD ......................................................................... 231
5. Pendapat Pihak Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi tentang Kolaborasi Perencanaan antara Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Secara Lestari .................. 232
6. Permasalahan SDA di Wakatobi menurut Pihak Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi ............................. 235
7. Sarana Pendukung Pengelolaan SDAH yang dimiliki Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi .............................. 237
8. Sumber Daya Manusia Balai TN Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi ...................................................................... 239
9. Zonasi Taman Nasional Wakatobi.................................................... 241
10. Visi dan Misi SKPD yang terkait dengan Pengelolaan SDAH
Secara Lestari ................................................................................. 244
11. Kontribusi SKPD terkait dalam Pengelolaan SDAH Secara
Lestari .............................................................................................. 245
12. Rencana Kerja SKPD yang berperan dalam Pengelolaan SDAH
Secara Lestari tahun 2014 .............................................................. 248

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Sebagai upaya aktif dalam mempertahankan ekosistem dan


keanekaragamanhayati,

pemerintah

telah

menetapkan

kawasan

konservasi daratan dan laut seluas 27.190.992,91 ha dengan total jumlah


kawasannya 527 unit, yang terbagi menjadi 499 unit kawasan konservasi
daratan dan 28 unit kawasan konservasi perairan. Salah satu kategori
kawasan konservasi adalah taman nasional, yang mana di Indonesia
terdapat 50 unit Taman Nasional, 7 unit diantaranya merupakan Taman
Nasional laut (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA), 2010).
Wakatobi adalah sebuah kepulauan yang namanya diambil dari
kependekan nama ke-empat pulau utama yang ada di wilayah ini yaitu
Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Dahulu wilayah ini dikenal
dengan nama kepulauan Tukang Besi. Perairan di Kepulauan Wakatobi
memiliki keanekaragaman terumbu karang dan jenis biota laut lain yang
tinggi, sehingga ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996, dan
penetapannya dilakukan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.
7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 yang meliputi kawasan seluas

1,39 juta hektar termasuk kawasan perairan dan seluruh kawasan


daratan pulau-pulau yang ada di wilayah ini (Balai TN Wakatobi, 2008).
Taman Nasional Wakatobi (TNW) berada di Kabupaten Wakatobi
Provinsi Sulawesi Tenggara. Taman nasional ini terletak di tengah
kawasan segitiga karang dunia dan mempunyai keanekaragaman hayati
yang tinggi, tercatat 396 jenis karang sceleractanian, 942 spesies ikan, 31
spesies

karang

fungi,

31

spesies

foraminifera

dan

34

spesies

stomatopoda (WWF-TNC, 2003). Hingga tahun 2006 telah tercatat 12


jenis cetacean (8 jenis paus dan 5 jenis lumba-lumba), penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas), sedangkan
mangrove terdapat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati (Balai TN
Wakatobi, 2008).
Pada bulan Desember 2003 berdasarkan Undang-Undang No. 29
tahun 2003, Kepulauan Wakatobi ditetapkan sebagai kabupaten tersendiri
sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Dengan terbentuknya
Kabupaten

Wakatobi,

isu

pertama

yang

muncul

terkait

dengan

pengelolaan TN Wakatobi adalah batas dan luas kawasannya yang


berhimpit dengan batas dan luas wilayah Kabupaten Wakatobi (Balai TN
Wakatobi, 2008). Rudianto dan Santoso (2007) menyatakan bahwa luas
kawasan Wakatobi pada kenyataannya tumpang tindih atau menjadi
bagian yang berada di Kabupaten Wakatobi.
Dualisme kewenangan dalam pengelolaan suatu kawasan, tentu
dapat berpotensi memunculkan adanya kebijakan yang kurang sinergis

diantara kedua pihak pembuat kebijakan. Hal tersebut dapat menjadi


hambatan baik bagi pembangunan wilayah Wakatobi sebagai sebuah
kabupaten dan pengelolaan Taman Nasional Wakatobi sebagai Kawasan
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati & Ekosistemnya (KSDAH&E). Oleh
karena

itu

kebijakan

pengelolaan

wilayah

Wakatobi

haruslah

mengakomodir dua instansi pemerintah ini agar selaras dan harmonis.


Penetapan zonasi Taman Nasional Wakatobi (SK Zonasi ditandatangani
bersama Bupati Wakatobi) merupakan upaya bersama Balai Taman
Nasional Wakatobi dengan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
menjaga kelestarian sumber daya alam hayati untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat di dalam
wilayah tersebut.
Awang

(2010)

mengemukakan

bahwa

pasca

pembentukan

kabupaten Wakatobi terdapat beberapa permasalahan kewenangan yaitu


perijinan

usaha

pariwisata,

perijinan

usaha

perikanan,

perijinan

penambangan karang dan pasir. Dimana dalam pemberian perijinannya


belum ada koordinasi antara Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan pihak
Balai TN Wakatobi. Dalam hal kunjungan wisata maupun kegiatan lainnya
di kawasan taman nasional (khususnya pada areal perairan/laut), setiap
pengunjung kawasan taman nasional harus mendapatkan ijin masuk
kawasan dari pihak Balai TN Wakatobi, oleh karena itu jika belum
terjalinnya koordinasi antara kedua pihak ini, maka permasalahan seperti
penertiban pengunjung oleh pihak Balai TN Wakatobi dapat terjadi, dan

tentu hal ini menimbulkan ketidaknyamanan terhadap pengunjung.

Saat

ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi telah menetapkan


daerah perlindungan laut (DPL) sebanyak 35 lokasi yang berada dalam
zona pemanfaatan lokal berdasarkan zonasi Taman Nasional Wakatobi.
Hal ini tentu berpotensi memunculkan permasalahan dimana Taman
Nasional Wakatobi mengijinkan untuk pemanfaatan secara tradisional
oleh masyarakat lokal namun disisi lain merupakan kawasan yang
dilindungi. Permasalahan lainnya yaitu masih terjadinya kegiatan illegal
fishing, destructive fishing, pemanfaatan satwa yang dilindungi oleh
masyarakat, penambangan pasir, keterbatasan sumber daya baik
manusia, sarana pengelolaan dan finansial tidak dapat diselesaikan
dengan cara sendiri-sendiri. Oleh karena itu diperlukan kolaborasi
khususnya yang memiliki kewenangan dalam mengelola SDAH di
Wakatobi.
Konflik mungkin bisa terjadi antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, serta antara pengelola kawasan konservasi dan
masyarakat di sekitar kawasan. Konflik antara pemerintah pusat dengan
pemerintah

daerah

bisa

muncul

karena

perbedaan

kepentingan,

pemerintah pusat menghendaki suatu kawasan dilindungi,

sehingga

pembangunan fisik kawasan harus dilakukan secara hati-hati, jangan


sampai berdampak negatif pada sumber daya hayati yang ada di dalam
kawasan yang dilindungi. Di sisi lain, pemerintah daerah menginginkan
daerahnya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan.

Adanya kawasan konservasi sering kali dianggap sebagai beban, bukan


manfaat (Setyowati, 2008). Oleh karena itulah perlu strategi khusus yang
dapat mengakomodir kepentingan konservasi dengan pembangunan
daerah. Kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati
secara lestari merupakan salah satu upaya mencegah konflik kepentingan
serta untuk mensinergikan pembangunan daerah dengan pelaksanaan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga
pembangunan berkelanjutan dapat direalisasikan. Putro dkk. (2012)
mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan konservasi sumberdaya alam,
termasuk pengelolaan kawasan konservasi, pemerintah daerah memiliki
peran penting, oleh karena itu pemerintah pusat dan daerah perlu menata
pembagian biaya dan manfaat yang lebih adil dari pengelolaan sumber
daya alam, guna peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan konservasi,
sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah.
Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui gambaran potensi yang
ada pada Taman Nasional Wakatobi dan Kabupaten Wakatobi

dalam

mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati


yang ada di wilayah tersebut. Potensi yang akan dianalisis meliputi sumber
daya (Resources), Organisasi (O) dan mekanisme/aturan (Norms) dalam
kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati.
kolaborasi

perencanaan,

perlu

mengetahui

kontribusi

serta

Dalam
arah

perencanaan kedua pihak yang akan berkolaborasi agar mempermudah


dalam merumuskan model kolaborasi yang perlu dibentuk, oleh karena itu

penelitian ini juga diarahkan untuk menganalisis kontribusi dan arah


perencanaan pengelola Taman Nasional dan Pemerintah Kabupaten dalam
mendukung pengelolaan kolaboratif. Kemudian berdasarkan hasil analisis
tujuan sebelumnya, maka akan dirumuskan model kolaborasi perencanaan
antara Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari.
B.

Rumusan Masalah

Wakatobi merupakan kawasan taman nasional yang berada di


wilayah Kabupaten Wakatobi. Dengan adanya dua otoritas pengelola
tentu akan berpotensi memunculkan permasalahan seperti kurang
sinerginya

kebijakan,

dimana

Pemerintah

Kabupaten

Wakatobi

berorientasi pada pengembangan wilayahnya dan juga meningkatkan


pendapatan asli daerahnya (PAD), sedangkan kebijakan pemerintah pusat
(Kementerian Kehutanan/Balai TN Wakatobi) adalah Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Disisi lain, masih terjadinya
kegiatan illegal fishing, destructive fishing, pemanfaatan satwa yang
dilindungi oleh masyarakat, penambangan pasir, keterbatasan sumber
daya baik manusia, sarana pengelolaan dan finansial tentu tidak dapat
diselesaikan dengan cara sendiri-sendiri. Oleh karena itu diperlukan
kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati dalam
rangka mensinergikan kebijakan, sumber daya, organisasi dan normanorma Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi.

Dengan adanya sinergitas kebijakan, sumber daya, organisasi dan


norma antara Balai TN Wakatobi dengan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dalam suatu model kolaborasi perencanaan, maka pengelolaan
sumber daya alam hayati diharapkan akan menjadi lebih baik sehingga
akan memberikan hasil yang bermanfaat bagi kepentingan bersama,
diantaranya yaitu: a) terjaganya kelestarian sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya; b) pembangunan wilayah Wakatobi selaras dengan prinsipprinsip konservasi; dan c) kesejahteraan masyarakat dapat meningkat
sebagai akibat dari sinerginya kebijakan dan efektifnya pengelolaan. Oleh
karena itu yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana

potensi

sumber

daya

(Resources/R),

organisasi

(Organizations/O) dan norma (Norms/N) TN Wakatobi dan Kabupaten


Wakatobi dalam mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan
sumber daya alam hayati yang ada di wilayah tersebut?;
2. Bagaimana kontribusi dan arah perencanaan Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati?
3. Bagaimana model kolaborasi perencanaan yang perlu dirumuskan
antara Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi
dalam pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari?.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka penelitian ini ditujukan untuk :
1. Menganalisis

potensi

sumber

daya

(Resources/R),

organisasi

(Organizations/O) dan norma (Norms/N) TN Wakatobi dan Kabupaten


Wakatobi dalam mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan
sumber daya alam hayati yang ada di wilayah tersebut;
2. Menganalisis kontribusi dan arah perencanaan Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati;
3. Merumuskan model kolaborasi perencanaan

antara

Balai TN

Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam pengelolaan


sumber daya alam hayati secara lestari.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengelolaan Taman Nasional maupun Kabupaten Wakatobi. Berikut
adalah kegunaan penelitian ini:
1. Dapat memberikan gambaran potensi sumber daya (Resources/R),
organisasi (Organizations/O) dan norma (Norms/N) Taman Nasional
Wakatobi dan Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati di wilayah
tersebut;

2. Sebagai bahan informasi tentang kontribusi dan arah perencanaan


Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam
hayati;
3. Sebagai bahan masukan bagi Balai Taman Nasional Wakatobi,
Pemerintah Kabupaten Wakatobi, serta para pihak terkait lainnya
dalam penentuan kebijakan pengelolaan sumber daya alam hayati di
wilayah Wakatobi.

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Secara Lestari
Pengelolaan sumber daya alam hayati pada hakikatnya merupakan
upaya untuk mempertahankan pilihan-pilihan masa depan melalui
pencadangan atau perlindungan komponen hayati dan mengoptimalkan
pemanfaatan lestari komponen hayati yang telah diketahui nilainya dari
pengalaman dan pengkajian terus-menerus manusia selama mengarungi
kehidupan (Putro dkk., 2012). Di Indonesia upaya pengelolaan sumber
daya alam hayati secara lestari dilakukan melalui

konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAH&E) dengan membentuk


kawasan konservasi.
1. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang KSDAH&E
(Pasal 1),

definisi konservasi sumber daya alam hayati adalah

pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan


secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Sementara ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem
hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non
hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Sedangkan
Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri
dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani

11

(satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara


keseluruhan membentuk ekosistem. Adapun pelaksanaan KSDAH&E
dilaksanakan melalui kegiatan (pasal 5 UU No. 5 tahun 1990):
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. pemanfaatan

secara

lestari

sumber

daya

alam

hayati

dan

ekosistemnya.
McNeely (1988) mengemukakan bahwa agar dapat berkompetisi
dalam

menarik

perhatian

pembuat

keputusan,

kebijakan-kebijakan

mengenai keanekaragaman hayati harus menggunakan istilah-istilah


ekonomi dalam mendemonstrasikan nilai keanekaragaman hayati itu
untuk pembangunan sosial dan ekonomi negara. Cukup banyak
pembenaran

ekonomi

dapat

disusun

oleh

mereka

yang

hendak

mengeksploitasi sumberdaya hayati. Maka penalaran yang sama perlu


digunakan untuk menunjang pemanfaatan alternatif sumberdaya itu.
Untuk menaksir prioritas yang akan mereka berikan pada konservasi
keanekaragaman hayati, pemerintah memerlukan indikasi yang kuat
tentang sumbangan apa yang diberikan oleh sumberdaya hayati pada
ekonomi nasionalnya.
Selanjutnya McNeely (1988) menyatakan bahwa penting untuk dicatat
bahwa konservasi bukan berarti tidak digunakan, tetapi konservasi
berarti pemanfaatan secara bijaksana yang menunjang pembangunan

12

berkelanjutan. Sebagaimana didefinisikan oleh IUCN (1980), pengertian


dari konservasi yaitu pengelolaan penggunaan manusia atas biosfer,
sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan terbesar pada
generasi sekarang, sementara memelihara potensinya untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi generasi-generasi masa depan. Dengan demikian
konservasi itu positif, mencakup pelestarian, pemeliharaan, pemanfaatan
berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan mutu lingkungan alamiah.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
upaya

untuk

menjaga

kelestarian

sumberdaya

alam

hayati

dan

ekosistemnya agar dapat menunjang kehidupan baik untuk generasi saat


ini maupun generasi yang akan datang. Konservasi merupakan konsep
pembangunan berkelanjutan. Bethan (2008) menyatakan bahwa lahirnya
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bukan
sesuatu yang muncul begitu saja, namun didasarkan pada sikap
keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan

yang bersifat lintas batas

negara yang dipandang sangat mengkhawatirkan keberlangsungan


lingkungan hidup dalam jangka panjang dan berimplikasi pula pada
generasi mendatang. Wacana pembangunan berkelanjutan tersebut
sesungguhnya telah menjadi perhatian negara-negara di dunia dalam
konferensi Stockholm tahun 1972. Konferensi PBB tentang lingkungan
hidup manusia ini menuangkan pembangunan berkelanjutan dalam
Prinsip II Deklarasi Stockholm yang berbunyi:

13

The natural resources of the earth including the air, water, land, flora
and fauna and especially representative samples of natural ecosystems
must be safeguarded for the benefit of present and future generations
through careful planning or management, as appropriate.
(Sumber daya alam yang ada di bumi termasuk udara, air, tanah, flora
dan fauna serta khususnya sampel-sampel perwakilan ekosistem, harus
diselamatkan untuk kepentingan generasi kini dan mendatang melalui
perencanaan atau pengelolaan yang secermat mungkin).
Selanjutnya

Bethan

(2008)

menyatakan

bahwa

pembangunan

berkelanjutan secara teoritis atau praktis menjadi tujuan dalam berbagai


pernyataan kebijakan lingkungan nasional dan internasional. Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro pada Juni
1992 telah menghasilkan agenda 21, yaitu suatu kesepakatan yang
memuat

daftar

rencana

tindakan

penting

dunia.

Dalam

paragaf

pembukaan agenda 21 dinyatakan bahwa untuk menghadapi tantangan


dari lingkungan dan pembangunan, negara-negara memutuskan untuk
membangun suatu kerjasama baru secara global. Kerjasama ini diilhami
oleh kebutuhan untuk mencapai ekonomi dunia yang lebih efisien dan adil
dengan memperhatikan peningkatan kerjasama antar komunitas, dan
bahwa pembangunan berkelanjutan harus menjadi prioritas dalam agenda
komunitas internasional.

14

2. Kawasan Konservasi
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi di Indonesia terdiri
atas Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
KSA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan KPA
yaitu kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan
yang

mempunyai

fungsi

sebagai

perlindungan

sistem

penyangga

kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta


pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Berikut adalah pembagian kawasan konservasi menurut UU No. 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kawasan Konservasi

Kawasan Suaka
Alam/KSA

Cagar Alam
(CA)

Suaka
Margasatwa
(SM)

Kawasan Pelestarian
Alam/KPA

Taman
Hutan Raya
(THR)

Taman
Nasional
(TN)

Taman
Wisata Alam
(TWA)

Gambar 1. Pembagian Kawasan Konservasi di Indonesia

15

Menurut Wiratno dkk. (2004) sistem klasifikasi kawasan konservasi


yang ada sekarang sebenarnya didasarkan pada beberapa pokok
penilaian dalam konteks internasional, diantaranya menurut Philips dan
Harrison (1999) :
1)

Menekankan pada kepentingan kawasan lindung.

2)

Menunjukkan cakupan tujuan kawasan lindung yang luas.

3)

Mempromosikan ide mengenai kawasan lindung sebagai sebuah


sistem dari pada sebagai unit-unit yang terisolasi.

4)

Mengurangi salah paham dalam memandang kawasan lindung.

5)

Menetapkan persetujuan dengan standar internasional.

6)

Meningkatkan komunikasi dan pengertian.


Selanjutnya Wiratno dkk. (2004) mengemukakan bahwa dalam

kategorisasi kawasan konservasi sebenarnya lebih tergantung pada


tujuan utama pengelolaannya. Prinsip ini penting dan harus dipegang oleh
semua kawasan konservasi karena persetujuan terhadap kategori tertentu
tidak akan secara otomatis mencerminkan keefektifan pengelolaannya.
Penilaian sebaiknya lebih ditekankan kepada tujuan utama manajemen
kawasan dan keefektifan pengelolaan. Sistem kategorisasi ini sebenarnya
bersifat fleksibel. Kategorisasi Kawasan versi IUCN (International Union
for Conservation of Nature) sendiri merupakan kompilasi dari berbagai
panduan dari seluruh dunia. Karenanya disepakati bahwa jika ada negara
yang mampu membuat interpretasi sendiri dalam pengelolaan kawasan-

16

kawasan lindungnya secara lebih aplikatif, maka hal itu dapat dibenarkan.
Berikut adalah berbagai kategori kawasan konservasi.
Tabel 1. Berbagai Kategori Kawasan Konservasi
Sumber
Menurut UU
No. 5 tahun 1990
tentang KSDAHE
Menurut IUCN

Kategori
-

Kawasan Suaka Alam (KSA) terdiri dari Cagar Alam (CA)


dan Suaka Margasatwa (SM)
- Kawasan Pelestarian alam (KPA) terdiri dari Taman
Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan
Raya (Tahura) dan Taman Buru (TB)
1A. Kawasan Lindung untuk ilmu pengetahuan
1B. Kawasan Lindung untuk hidupan liar

Menurut UU
No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan

2. Kawasan lindung untuk perlindungan ekosistem


3. Kawasan lindung untuk konservasi pemandangan alam
yang spesifik
4. Kawasan lindung untuk konservasi melalui intervensi
pengelolaan oleh manusia
5. Kawasan lindung untuk konservasi lanskap atau bentang
laut dan rekreasi
6. Kawasan lindung untuk pemanfaatan yang lestari terhadap
ekosistem alam
Hutan Suaka Alam, terdiri atas Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa
Hutan Pelestarian Alam, berupa Taman Nasional, Taman
Wisata Alam dan Taman Hutan Raya
Taman Buru

Sumber: diringkas dari Wiratno dkk. (2004)

International Union for Conservation of Nature (IUCN) (2008)


mendefinisikan kawasan konservasi (Protected Area) sebagai berikut: A
protected area is: A clearly defined geographical space, recognised,
dedicated and managed, through legal or other effective means, to
achieve the long-term conservation of nature with associated ecosystem
services and cultural values (Kawasan konservasi adalah sebuah
kawasan yang memiliki ruang geografis yang terdefinisi dengan jelas,
diakui, didedikasikan dan dikelola dengan legal atau metode efektif

17

lainnya untuk mencapai konservasi alam jangka panjang yang terkait


dengan layanan ekosistem dan nilai-nilai budaya). Berikut adalah
penjelasan mengenai definisi kawasan konservasi menurut IUCN (2008).
Tabel 2. Definisi Kawasan Konservasi menurut IUCN (2008)
Hal
Ruang geografis yang
terdefinisi
dengan
jelas

(clearly defined
geographical space)

Diakui (recognized)

Didedikasikan
(dedicated)

Dikelola (managed)

Penjelasan

Kawasan Konservasi meliputi tanah, perairan darat, laut


dan daerah pesisir atau kombinasi dari dua atau lebih dari
hal tersebut.
Hal ini menyiratkan bahwa kawasan konservasi harus
memiliki batas yang jelas dan memiliki persetujuan. Batas
dapat berupa ciri-ciri fisik yang dapat berubah sepanjang
waktu atau dengan tindakan manajemen (seperti: adanya
persetujuan untuk menetapkan zona larang ambil/ No
Take Zones)
Kawasan konservasi
tidak hanya harus diakui oleh
masyarakat dan negara, tetapi juga harus diakui oleh pihak
lainnya (khususnya Database Dunia untuk Kawasan Lindung
WDPA/World Comission on Protected Areas).
Kawasan konservasi harus memiliki komitmen tertentu yang
mengikat untuk melaksanakan konservasi jangka panjang,
misalnya melalui:
1. Konvensi dan perjanjian internasional
2. Hukum nasional, hukum provinsi dan hukum lokal
3. Hukum adat
4. Perjanjian dengan LSM
5. Kerjasama dengan swasta
6. Skema sertifikasi
Melaksanakan beberapa langkah-langkah aktif untuk
konservasi alam (dan mungkin hal lainnya) sebagaimana
kawasan lindung dibentuk untuk tujuan tersebut. Dapat
dikatakan bahwa "Dikelola/managed" dapat mencakup suatu
keputusan untuk meninggalkan daerah yang utuh (tidak
tersentuh), jika hal ini dianggap sebagai strategi Konservasi
yang terbaik.

Legal dan cara yang


efektif lainnya
(Legal or other
Effective Means)

Berarti bahwa kawasan lindung tersebut harus dikukuhkan


(diakui dalam hukum sipil), diakui melalui konvensi atau
persetujuan internasional, atau dikelola melalui langkah efektif
lainnya seperti melalui aturan tradisional dimana masyarakat
telah melestarikan kawasan tersebut, atau melalui kebijakan
yang ditetapkan organisasi non-pemerintah.

Untuk Mencapai
(To Achieve)

Hal ini menyiratkan adanya tingkat efektifitas, yang


merupakan unsur baru yang tidak terdapat pada definisi IUCN
(1994), namun sangat diharapkan oleh berbagai manajer
kawasan konservasi dan pihak lainnya. Meskipun kategori ini
masih ditentukan berdasarkan tujuan pengelolaan, namun
efektifitas pengelolaan akan tercatat pada WDPS (World Data-

18

Lanjutan Tabel 2
Penjelasan

Hal

Jangka-Panjang
(long-term)

base on Protected Areas) dan dari waktu ke waktu akan


menjadi kriteria penting untuk identifikasi dan pengakuan
suatu kawasan konservasi.
Kawasan konservasi harus dikelola dengan strategi pengelolaan
jangka panjang dan bukan dikelola dengan strategi pengelolaan
jangka pendek atau sementara.

Konservasi
(Conservation)

Dalam konteks ini mengacu pada definisi konservasi untuk


pemeliharaan: in-situ ekosistem, habitat alami dan semialami, serta populasi yang layak untuk spesies tertentu dalam
lingkungan alaminya, sehingga spesies terdomestikasi atau
terbudidayakan dalam lingkungan yang cocok untuk
mengembangkan sifat kekhasannya.

Alam (Nature)

Dalam
konteks
ini,
alam
selalu
mengacu
pada
keanekaragaman hayati, baik pada tingkat genetik, spesies,
dan ekosistem, dan sering juga mengacu pada geodiversity,
bentuk lahan dan nilai-nilai alami yang lebih luas

Jasa
Lingkungan
Terkait
(Associated
ecosystem
services)

Hal ini berarti jasa ekosistem yang ada pada kawasan


konservasi tetapi dalam pemanfaatannya tidak mengganggu
tujuan dari konservasi alam. Hal tersebut meliputi jasa
penyediaan seperti makanan dan air; jasa pengaturan
seperti mencegah banjir, kekeringan, degradasi lahan, dan
penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan
siklus hara, dan Jasa budaya seperti rekreasi, spiritual, reliji
dan manfaat-manfaat non-materi lainnya.

Nilai-nilai budaya
(cultural values)

Hal ini mencakup aturan bahwa siapapun tidak boleh


mengganggu suatu hasil dari upaya konservasi (semua nilainilai budaya di suatu kawasan konservasi haruslah memenuhi
kriteria tersebut), khususnya termasuk:
Hal-hal yang berkontribusi terhadap hasil dari upaya
konservasi (misalnya, praktek manajemen tradisional yang
telah menjadikan bergantungnya spesies kunci)
Hal-hal yang berada di bawah ancaman kepunahan

Sumber: IUCN (2008)

Putro dkk. (2012) mengatakan bahwa kawasan konservasi pada


hakikatnya

merupakan

upaya

masif

untuk

mempertahankan

keseimbangan ekosistem, manusia, dan bahkan iklim pada skala global


dan pada skala yang lebih mikro, mempertahankan keseimbangan antara
berbagai bentuk permintaan dan tekanan yang terus menggerogoti
kualitas ekosistem alam. Kawasan konservasi yang dikelola negara,

19

komunitas asli, atau bahkan kawasan konservasi swasta, yang dikelola


oleh institusi tertentu, baik secara kolaboratif atau tidak, merupakan
sistem yang efektif guna menghadapi tekanan pembangunan yang
akselerasinya

cenderung

terus

meningkat

dan

mengancam

keseimbangan alam. Pengakuan atas nilai penting suatu kawasan


konservasi pada tingkat lokal, nasional dan internasional seringkali
merupakan cara yang efektif agar kawasan dilindungi tersebut menjadi
areal yang efektif bagi pencapaian tujuan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya. Terdapatnya sistem legal atau kerangka kerja
konservasi yang diwujudkan dalam rencana pengelolaan, struktur tata
kelola dan tata kepemerintahan yang baik, didukung dengan kapasitas
pengelolaan dan kompetensi professional sumber daya manusia, telah
disepakati

menjadi

prasyarat

penting

bagi

pengelolaan

kawasan

konservasi.
Menurut Setyowati dkk. (2008) pengelolaan Kawasan Konservasi,
pada hakikatnya merupakan salah satu aspek pembangunan yang
berkelanjutan serta berwawasan lingkungan, sehingga berdampak nyata
terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang sekaligus
akan mendapatkan pula pendapatan negara dan penerimaan devisa
negara, yang dapat memajukan kualitas hidup dan kehidupan bangsa.
Oleh karena itu perlu perubahan paradigma pengelolaan kawasan
konservasi, tidak hanya didasarkan pada prinsip konservasi untuk
konservasi itu sendiri (hanya perlindungan saja), tetapi konservasi untuk

20

kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia secara luas, serta


harus memberi

manfaat secara bijaksana dan berkelanjutan. Dalam

konteks ini diperlukan satu perubahan paradigma, khususnya inisiatif


untuk mendefinisikan kembali pengertian maupun regulasi mengenai
pengelolaan kawasan konservasi, termasuk menata kembali sistem
kategorisasi/klasifikasi

kawasan konservasi yang dapat menjembatani

kepentingan pemahaman konservasi yang lebih moderat. Dalam kaitan


tersebut diperlukan adanya perubahan paradigma terhadap fungsi
kawasan yang dilindungi. Perubahan yang dimaksud dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 3. Perubahan Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi
Topik

Perubahan dari

Perubahan menjadi

Arti
dan
Fungsi
Kawasan Konservasi

Semata-mata
sebagai
kawasan
perlindungan
keanekaragaman hayati

Beban pembiayaan

Beban pembiayaan yang


semula
ditanggung
pemerintah
Penentuan kebijakan dari
top-down

Kawasan
perlindungan
keanekaragaman hayati yang
memiliki fungsi sosial, ekonomi,
budaya jangka panjang guna
mendukung pembangunan yang
berkesinambungan
Beban bersama pemerintah dan
penerima manfaat (beneficiary
pays principle)
Bottom-up(participatory)

Pengambilan keputusan
(kebijakan)
Pengelolaan

Pelayanan
Tata pemerintah
Peran pemerintah

Pengelolaan
berbasis
pemerintah (state basedmanagement)

Pelayanan
pemerintah
dari birokratis-normatif
Tata pemerintah dari
sentralistis
Peran pemerintah dari
provider

Pengelolaan berbasis multipihak


(multi-stakeholders
based
management/collaborative
management)
atau
berbasis
masyarakat
lokal
(local
community based)
Professional-responsif fleksibelnetral
Desentralistis
Enabler, fasilitator

Sumber: Setyowati dkk. (2008)

Selanjutnya Setyowati dkk. (2008) menyatakan bahwa perubahan


paradigma tersebut mencerminkan suatu upaya untuk mewujudkan

21

efektivitas pengelolaan kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan


kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber
daya alam, serta terpenuhi keinginan para pihak untuk mengakhiri konflik
tanpa adanya pihak yang dikalahkan.

B. Peranan Balai Taman Nasional dalam Pengelolaan Sumber


Daya Alam Hayati
1.

Pengelolaan Taman Nasional


Menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional adalah kawasan


pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan
sistem

zonasi

yang

dimanfaatkan

untuk

tujuan

penelitian,

ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.


Setyowati dkk. (2008) menyatakan bahwa konsep taman nasional
di Indonesia muncul tahun 1980. Lima taman nasional pertama yang
dideklarasikan adalah Taman Nasional Gunung Leuseur, Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional
Baluran dan Taman Nasional Komodo. Kemudian pada Tahun 1982
bersamaan dengan Kongres Taman Nasional Dunia ke 2 di Bali,
pemerintah mendeklarasikan 11 taman nasional. Tentu saja dalam
pengelolaan taman nasional pada saat itu masih belum jelas dan masih
mencari bentuknya. Sepuluh tahun kemudian baru lahir UU No. 5 tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
yang mensyaratkan tidak kurang dari 11 peraturan pemerintah untuk

22

pelaksanaannya.

Selanjutnya

berbagai

upaya

penunjukkan

dan

penetapan kawasan konservasi terus dilakukan dan cenderung mengarah


pada sistem pengelolaan taman nasional. Pada saat ini terdapat

50

taman nasional dengan luas 16,38 juta hektar atau sekitar 65 % dari
keseluruhan luas kawasan konservasi di Indonesia.
Selanjutnya

Departemen

Kehutanan

juga

berencana

mengembangkan 21 Taman Nasional Model dan meningkatkan status


sebagian Balai Taman Nasional menjadi Balai Besar Taman Nasional.
Taman Nasional Model diartikan sebagai suatu taman nasional yang
dikelola sesuai dengan kondisi spesifik lokasi, termasuk perubahan yang
terjadi secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel menuju
tercapainya taman nasional mandiri (Ditjen PHKA, 2006).
Wiratno dkk. (2004) mengemukakan bahwa pengelolaan taman
nasional secara internal juga selalu dihadapkan pada masalah klasik,
seperti keterbatasan sumber daya manusia, baik kualitas maupun
kuantitasnya, keterbatasan sarana prasarana serta dana pengelolaan.
Dalam hal sumberdaya manusia, misalnya data terakhir menunjukkan
bahwa jumlah pegawai di 22 Taman Nasional baru terpenuhi sekitar 50 %
dari target ideal. Sedangkan di 12 unit Taman Nasional bahkan lebih
buruk lagi, yaitu kurang dari 20%. Konsentrasi SDM pengelola juga lebih
banyak dialokasikan di Jawa dibandingkan dengan Sumatera.
Selanjutnya Wiratno dkk. (2004) mengemukakan bahwa penelitian
Leksono (2000) telah menunjukkan bahwa perbandingan luas kawasan

23

konservasi dengan SDM adalah sebagai berikut: 3.500 ha/pegawai di


Sumatera dan 158 ha/pegawai di Jawa. Beberapa faktor internal yang
berpengaruh terhadap pembangunan taman nasional seperti aksesibilitas
yang rendah, kondisi lapangan yang berat, kemampuan kontrol yang
rendah di pihak pengelola kawasan, masih menjadi tantangan klasik yang
belum juga mendapat pemecahan yang tepat. Kondisi tersebut masih
diperburuk lagi oleh kondisi eksternal yang juga sering mendukung,
seperti kecepatan perubahan tata guna lahan di sekitar taman nasional
untuk kegiatan-kegiatan yang sering tidak sesuai dengan tujuan
pengelolaan taman nasional. Belum lagi jika ditambah dengan apresiasi
dan andil pemerintah daerah yang masih rendah dalam pengelolaan
taman nasional.
2. Peranan Balai Taman Nasional dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam Hayati
Pengelolaan

Kawasan

Suaka

Alam

(KSA)

dan

Kawasan

Pelestarian Alam (KPA, yang salah satunya bentuknya adalah taman


nasional) bertujuan untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa dalam rangka mencegah kepunahan spesies, melindungi sistem
penyangga kehidupan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
lestari (Pasal 2 PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan
KPA).
Putro dkk. (2012) mengemukakan bahwa dengan merujuk Pasal 2
PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA)

24

dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), secara umum tujuan pengelolaan


taman nasional di Indonesia adalah untuk:
a) Perlindungan sistem penyangga kehidupan dengan cara memelihara
proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk
meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan mutu

kehidupan

manusia.
b) Pengawetan

keanekaragaman

tumbuhan

dan

satwa

beserta

ekosistemya yang dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan.


c)

Pemanfaatan

secara

lestari

sumber

daya

alam

hayati

dan

ekosistemnya yang dilakukan melalui:

Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam, dan

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Ketiga point diatas merupakan peran dari Balai Taman Nasional dalam
pengelolaan sumber daya alam hayati. Berikut adalah penjabaran dari
ketiga peran diatas menurut PP No. 28 Tahun 2011.
a) Kegiatan perlindungan termasuk perlindungan terhadap kawasan
ekosistem esensial, dapat dilakukan melalui:

Pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang


disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies invasif, hama, dan
penyakit;

melakukan penjagaan kawasan secara efektif.

b) Pengawetan
memelihara

(preservasi)

adalah

upaya

keanekaragaman jenis tumbuhan

untuk
dan

menjaga
satwa

dan

beserta

25

ekosistemnya

baik

di

dalam

maupun

di

luar

habitatnya

agar

keberadaannya tidak punah, tetap seimbang dan dinamis dalam


perkembangannya. Pengawetan meliputi:

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya mencakup


( identifikasi jenis tumbuhan dan satwa; inventarisasi jenis tumbuhan
dan

satwa;

pemantauan;

pembinaan

habitat

dan

populasi;

penyelamatan jenis; dan penelitian dan pengembangan)

Penetapan koridor hidupan liar untuk mencegah terjadinya konflik


kepentingan antara manusia dan hidupan liar serta memudahkan
hidupan liar bergerak sesuai daerah jelajahnya dari satu kawasan ke
kawasan lainnya

Pemulihan ekosistem untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika


populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya melalui
mekanisme alam, rehabilitasi, dan restorasi.

Penutupan kawasan dalam hal terdapat kondisi kerusakan yang


berpotensi mengancam kelestarian dan/atau kondisi yang dapat
mengancam keselamatan pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan
satwa.

c) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar adalah pemanfaatan jenis


tumbuhan dan satwa dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya
dukung,

dan

keanekaragaman

jenis

tumbuhan

dan

satwa

liar.

Sedangkan Pemanfaatan kondisi lingkungan adalah pemanfaatan potensi


ekosistem,

keadaan

iklim,

fenomena

alam,

kekhasan

jenis

dan

26

peninggalan budaya yang berada dalam taman nasional. Dalam upaya


mengelola sumber daya alam hayati secara lestari, maka sumber daya
alam hayati tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
Pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
Penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta
energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
Pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;
Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
Dalam pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari,
kebijakan pengelolaan Taman Nasional menurut UU No. 5 Tahun 1990
dinyatakan sebagai berikut:
a) Taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam berfungsi untuk
perlindungan

sistem

penyangga

kehidupan,

pengawetan

keanekaragaman flora dan fauna dan pemanfaatan sumber daya


alam hayati dan ekosistemnya.
b) Kegiatan yang diperbolehkan di kawasan taman nasional mencakup:
penelitian, pendidikan, menunjang budi daya, budaya, dan wisata
alam. Semua kegiatan yang akan berdampak negatif terhadap fungsi
ekosistem, yang mengubah bentang alam kawasan secara permanen,
atau yang akan mengakibatkan satwa terancam punah, dilarang.

27

c)

Kawasan taman nasional dikelola berdasarkan sistem zonasi, yang


terdiri atas zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, dan zona
lain menurut keperluan.

d) Fasilitas wisata dapat dibangun di zona pemanfaatan intensif, sesuai


dengan rencana pengelolaan dan hasil analisis mengenai dampak
lingkungan.
e) Untuk

kegiatan

pariwisata

dan

rekreasi,

pemerintah

dapat

memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan dengan


mengikutsertakan masyarakat setempat (Putro dkk., 2012).

C. Peranan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya


Alam Hayati
Putro dkk. (2012) mengemukakan bahwa sejalan dengan UU No.5
Tahun 1990 dan Strategi dan Rencana Aksi Nasional Pengelolaan
Keanekaragaman Hayati 2003-2020, serta untuk mendorong pengelolaan
keanekaragaman hayati demi kesejahteraan rakyat, peran dan tanggung
jawab pemerintah kabupaten yaitu :
1.

Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati


skala kabupaten;

2.

Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan


berkelanjutan keanekaragaman hayati skala kabupaten;

3.

Penetapan

dan

Pelaksanaan

pengendalian

keanekaragaman hayati skala kabupaten;

kemerosotan

28

4.

Pemantauan

dan

pengawasan

pelaksanaan

konservasi

keanekaragaman hayati skala kabupaten;


5.

Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati


skala kabupaten;

6.

Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan data


base keanekaragaman hayati skala kabupaten;

7.

Pengembangan

kapasitas

masyarakat

dalam

pengelolaan

keanekaragaman hayati.
Selanjutnya

Putro

dkk.

(2012)

menyatakan

bahwa

dalam

melaksanaan konservasi sumber daya alam, pemerintah daerah memiliki


peran penting. Oleh karena itu pemerintah pusat dan daerah perlu
pembagian biaya dan manfaat yang lebih adil dari pengelolaan suatu
sumber daya alam, guna peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan
konservasi sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam
hayati sangatlah diperlukan, dimana kawasan taman nasional selalu
berada di dalam kawasan kabupaten, dengan demikian tentu dalam
pengelolaan

sumber

daya

alam

hayati

secara

lestari

sangat

membutuhkan peran besar dari pemerintah kabupaten. Tanpa adanya


peran pemerintah kabupaten, khususnya kebijakan-kebijakan yang
mendukung konservasi, maka pengelolaan sumber daya alam hayati
secara lestari tentu akan terkendala. Tim Perumus Pertemuan Regional
Pengelolaan Taman Nasional Kawasan Timur Indonesia menyampaikan

29

bahwa hal-hal yang memerlukan dukungan peranan Pemerintah Daerah


bagi pengelolaan taman nasional (khususnya sumber daya alam hayati)
secara optimal adalah : 1) Sumber daya manusia : Pemerintah Daerah
baik di tingkat propinsi dan kabupaten/kota perlu menyiapkan SDM yang
memadai serta handal, serta melaksanakan pelatihan dan pendidikan
untuk meningkatkan SDM dalam mendukung pengelolaan taman
nasional; 2) Pendanaan: Pemerintah Daerah diharapkan menyediakan
dana untuk kegiatan pokok pengelolaan taman nasional, serta menyusun
rencana

pendapatan

infrastruktur:

dari

Pemerintah

taman

Daerah

nasional;

3)

diharapkan

Sarana-prasarana

dapat

melaksanakan

koordinasi dan evaluasi bagi kegiatan-kegiatan untuk mendukung


pengelolaan taman nasional, serta melakukan identifikasi kebutuhan dan
pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana infrastruktur dalam
mendukung pengelolaan taman nasional 4) Lintas sektoral: diharapkan
Kepala Taman Nasional dapat berperan sebagai fasilitator untuk
koordinasi teknis di tingkat lintas sektoral dan daerah yang ada di sekitar
kawasan taman nasional (NRM dkk., 1999).
Pasal 2 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
disebutkan

bahwa

ada

hubungan

antara

pemerintah

pusat

dan

pemerintah daerah mengenai bidang pemanfaatan sumber daya alam.


Hubungan tersebut meliputi kewenangan, keadilan dan keselarasan serta
yang meimbulkan dampak administrasi dan kewilayahan. Dalam pasal 17
diatur lebih

rinci mengenai hubungan pemerintah pusat dengan

30

pemerintah

daerah

dalam

hal

kewenangan,

tanggung

jawab,

pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budi daya dan


pelestarian, bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam serta
penyerasian lingkungan dengan tata ruang. Hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan konservasi alam bukan semata-mata wewenang pemerintah
pusat tapi juga tanggung jawab dan wewenang pemerintah daerah (Putro
dkk., 2012). Pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, diperbolehkan untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah (PAD) sebagaimana diatur dalam pasal 157 UU No. 32 tahun
2004 dimana dikatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari:
pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: hasil pajak
daerah; hasil retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan PAD lainnya yang sah. Kegiatan pariwisata merupakan
salah satu pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
yang dapat menghasilkan pajak daerah, dimana para wisatawan dapat
mempergunakan

penginapan,

yang

dapat

menggerakan

ekonomi

masyarakat dan daerah.


Hocking (2006) menyatakan bahwa saat ini kawasan lindung
mencapai 10% dari permukaan bumi dan meningkat sangat cepat pada
kawasan laut. Hal ini menandakan bahwa sangat besar komitmen
pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, dan pemilik lahan pribadi
untuk melindungi keanekaragaman hayati, yang juga berasosiasi dengan
jasa lingkungan, dan nilai nilai budaya. Orang berinvestasi pada kawasan

31

lindung apakah melalui donasi pada LSM, atau melalui pajak kepada
pemerintah, hal ini tentunya dengan harapan bahwa agar kawasan
tersebut dikelola dengan baik. Dengan demikian pemerintah daerah
sangat diharapkan kontribusinya dalam pengelolaan sumber daya alam
hayati secara lestari guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan

Hidup

pasal

13

menyatakan

bahwa

Pengendalian

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam


rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Kegiatan ini meliputi

pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Kegiatan pengendalian ini


dilaksanakan oleh dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Oleh sebab itu
peran pemerintah daerah sangat penting dalam pengelolaan sumber daya
alam hayati secara lestari, karena merupakan amanat dari undangundang.

D. Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan Sumber Daya


Alam Hayati
1. Konsep Perencanaan
Menurut Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional,

arti dari perencanaan adalah

suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui
urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.

32

Perencanaan adalah aplikasi pengetahuan ke dalam tindakan


(friedman, 1988 dalam Salman, 2012a). Arah dan kecepatan perubahan
dapat dipengaruhi jika tindakan yang dilaksanakan dilandasi dengan
pengetahuan yang luas dan dalam tentang konteks dan substansi
perubahan tersebut. Sebuah perencanaan harus dilandasi oleh kajian
tentang kondisi masa kini, kondisi masa depan yang diharapkan serta
langkah-langkah dalam mewujudkan kondisi masa depan yang hendak
dicapai tersebut. Berdasarkan jenis pengetahuan yang diaplikasikannya,
perencanaan pembangunan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni
perencanaan

yang

(scientific-based

mengaplikasikan

knowledge

pengetahuan

planning)

dan

berbasis

ilmiah

perencanaan

yang

mengaplikasikan pengetahuan berbasis pengalaman (experience-based


knowledge planning). Perencanaan yang pertama disebut perencanaan
teknokratis, fokusnya memberi arahan kepada masyarakat dan berbagai
pemangku kepentingan tentang kondisi yang ingin dicapai serta langkahlangkah pencapaiannya. Sedangkan perencanaan yang kedua disebut
perencanaan partisipatoris, fokusnya adalah menguatkan kapabilitas dan
kelembagaan

masyarakat

agar

dapat

mentransformasikan

dirinya

sehingga mampu menjalankan langkah-langkah untuk mencapai kondisi


yang diharapkan (Salman, 2012a).
Selanjutnya Salman (2012a) mengemukakan bahwa kualitas dari
perencanaan ditentukan oleh kedalaman dan keluasan pengetahuan yang
melandasinya. Perencanaan yang valid dengan dukungan pengetahuan

33

yang cukup itulah yang dapat menjamin pelaksanaan langkah-langkah


agar efektif mempengaruhi perubahan menuju kondisi yang ingin dicapai.
Rustiadi dkk. (2011) menyatakan bahwa berdasarkan prosesnya,
perencanaan dapat diklasifikasikan menjadi perencanaan inkremental,
adaptif, rasional dan partisipatif.
a. Perencanaan inkremental
Perencanaan ini mengadopsi proses akibat terbatasnya kapasitas
pengambil keputusan, mereduksi cakupan (scope) dan biaya dari
pengumpulan informasi dan analisis. Pendekatan ini dilakukan sedemikian
rupa agar tidak berbeda dengan kondisi perencanaan saat ini (status quo).
Adapun komponen-komponen utama dari pendekatan ini adalah: (1)
pilihan-pilihan

diturunkan

dari

kebijakan

dan

perencanaan

yang

merupakan peningkatan, penambahan atau perbaikan dari kebijakan yang


ada (status quo), (2) hanya sejumlah kecil pilihan yang dipertimbangkan,
(3) hanya sejumlah kecil konsekuensi yang diinvestigasi, (4) tujuan dan
pendekatan yang dipilih didasarkan atas pertimbangan yang mudah
dilakukan, dan (5) keputusan dibuat dari proses analisis iteratif dan
evaluasi. Pendekatan ini fokus pada isu-isu saat ini atau jangka pendek
dan kurang mempertimbangkan tujuan-tujuan jangka panjang, sehingga
pendekatan ini terkadang dianggap sebagai pendekatan pro-inertia anti
inovasi.

34

b. Perencanaan Adaptif
Perencanaan ini merupakan suatu pendekatan yang didasarkan atas
proses pengendalian adaptif yang berfokus pada proses pengambilan
keputusan berdasarkan pengalaman. Dalam perencanaan adaptif,

jika

diperoleh informasi baru maka akan segera dilakukan review terhadap


pengelolaan

yang

sedang

berjalan,

kemudian

pendekatan-pendekatan baru berikutnya.

akan

dirumuskan

Perencanaan adaptif hanya

dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak yang relatif independen atau memiliki


kewenangan yang luas (tidak sempit dan tidak parsial) yang biasanya
dimiliki oleh pucuk pimpinan/pengambil keputusan. Dalam perencanaan
adaptif yang terlalu longgar, dapat menimbulkan keberlanjutan kebijakan
perencanaan dan program antar waktu yang tidak konsisten sehingga
tujuan strategis jangka panjang sulit tercapai.
c.

Perencanaan Rasional (Rational Planning)


Rasionalitas merupakan cara memilih pendekatan terbaik dengan

berpikir secara sistematis dan menyeluruh (komprehensif). Pendekatan


rasional dalam proses perencanaan membutuhkan sejumlah pengetahuan
untuk dapat mengambil keputusan-keputusan yang logis dalam menelaah
alternatif dengan mengedepankan rasionalitas (cara atau proses berfikir
tertib, logis dan menyeluruh). Kesempurnaan dan keunggulan pendekatan
ini

terletak

pada

ketersediaan

informasi.

Tanpa

informasi

atau

pengetahuan yang sempurna maka perencanaan yang baik akan sulit


dihasilkan. Oleh karena itu suatu proses perencanaan dilakukan dengan

35

menguji berbagai arah pencapaian dan mengkaji berbagai ketidakpastian


yang ada, mengukur kemampuan (kapasitas) untuk mencapainya
kemudian memilih arah terbaik serta memilih

langkah-langkah untuk

mencapainya. Secara umum tahapan-tahapan proses dalam kerangka


perencanaan rasional adalah: (1) identifikasi masalah, (2) menetapkan
tujuan/sasaran, (3) identifikasi peluang dan hambatan, (4) memunculkan
alternatif-alternatif, serta (5) menetapkan pilihan dan melaksanakannya.
d. Perencanaan Partisipatif/Konsensus
Permasalahan yang dihadapi berkembang sedemikian kompleks,
sehingga informasi pun terbatas dan membatasi kapasitas perencana
serta stakeholders terkait, maka rasionalitas dari perencana maupun
stakeholders juga akan bersifat terbatas akibat perbedaan informasi yang
dimilikinya. Pada dasarnya sifat komprehensif perencanaan dapat
dipenuhi dengan membangun partisipasi seluruh stakeholder agar
diperoleh informasi yang lengkap dan dipahami bersama untuk membuat
keputusan terbaik yang disepakati bersama.
Selanjutnya Rustiadi dkk. (2011) menyatakan bahwa proses
perencanaan merupakan bagian dari proses capacity building, yakni
membangun kapasitas suatu institusi masyarakat. Implementasi dari suatu
perencanaan diharapkan mengarah pada tercapainya tujuan-tujuan
(goals) yang diharapkan, seperti melalui proses monitoring dan evaluasi
berdasarkan indikator-indikator kinerja yang ditetapkan. Hasil evaluasi
atas pencapaian kinerja dari proses implementasi ditindaklanjuti dengan

36

proses pengendalian baik berupa koreksi maupun perbaikan dengan


melakukan perubahan pada perencanaan-perencanaan pada tahap
berikutnya.

2. Konsep Manajemen Kolaboratif


Kolaborasi berasal dari kata co-labor yang artinya bersama-bekerja.
Makna dari bersama-bekerja disini adalah saling berinteraksi dan saling
berkontribusi. Dalam konteks pembangunan, kolaborasi berarti dapat
dipahami dalam perspektif kondisi, proses, dan pendekatan. Dalam
perspektif kondisi, kolaborasi berarti keadaan dimana dua pihak atau lebih
berinteraksi dan berkontribusi bersama dalam pencapaian tujuan bersama
sebuah tatanan, baik tatanan lokal, daerah maupun nasional. Dalam
perspektif proses, kolaborasi berarti proses perubahan dari satu tahap ke
tahap berikutnya pada sebuah tatanan, baik lokal, daerah maupun
nasional, yang didalamnya berinteraksi dan berkontribusi bersama dua
pihak atau lebih. Dalam perspektif pendekatan, kolaborasi berarti cara
atau metode yang berguna untuk menciptakan keadaan dimana dua pihak
atau lebih berkontribusi dalam tahap-tahap pencapaian tujuan bersama
sebuah tatanan, baik lokal, daerah maupun nasional (Salman, 2012a).
Pokok pikiran dari pengertian ini dapat diringkas seperti tabel berikut ini.

37

Tabel 4. Perspektif Kolaborasi


Perspektif Kolaborasi
Kolaborasi sebagai
keadaan

Kolaborasi sebagai
proses

Kolaborasi sebagai
pendekatan

Penanda
Keadaan pada tatanan lokal, daerah ataupun
nasional dimana dua pihak atau lebih berinteraksi dan
berkontribusi bersama secara sinergis bagi efektifnya
pencapaian tujuan bersama tatanan tersebut
Proses perubahan dari satu tahap ke tahap
berikutnya menuju pencapaian tujuan bersama pada
tatanan lokal, daerah ataupun nasional yang
didalamnya berinteraksi dan berkontribusi dua pihak
atau lebih
Metode atau cara untuk mendorong interaksi dan
kontribusi dua pihak atau lebih dari satu tahap ke
tahap berikutnya dalam pencapaian tujuan bersama
sebuah tatanan lokal, daerah ataupun nasional

Sumber: Salman (2012a)


Selanjutnya Salman (2012a) menyatakan bahwa ketiga perspektif
tersebut dapat menjadi acuan bagi pengembangan rangkaian pemikiran
tentang:
1) Perlunya mengaplikasikan pendekatan kolaboratif dalam manajemen
pembangunan sebuah tatanan;
2) Agar proses perubahan dalam tatanan tersebut dapat berlangsung
secara kolaboratif;
3) Sehingga keadaan kolaboratif dalam keberlanjutan pembangunan
pada tatanan tersebut dapat terlembagakan.
Pengelolaan kolaboratif diartikan sebagai suatu situasi dimana dua
atau lebih aktor-aktor sosial bernegosiasi, mendefinisikan dan menjamin
diantara mereka berbagi secara adil fungsi-fungsi manajemen, hak-hak,
dan kewajiban-kewajiban atas wilayah atau suatu set sumber daya alam
(Borrini-Feyerabend dkk., 2007).

38

Menurut

Salman

(2012b),

perubahan

tindak-perilaku

menuju

pengelolaan lingkungan yang arif, memerlukan kontribusi sumberdaya


yang multi pihak, karena dengan cara itulah norma yang disepakati
bersama bisa efektif terpenuhi. Selain itu, kolaborasi multi pihak
memungkinkan perubahan perilaku pada tingkat individu memanifest pada
tingkat struktur sosial. Tanpa manifestasi di tingkat struktur sosial,
pengelolaan lingkungan yang arif hanya akan menjadi aksi individual atau
golongan, dan pada gilirannya akan dipinggirkan oleh struktur sosial.
Mengingat pentingnya kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi,
Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.19/Menhut-II/2004 tentang kolaborasi pengelolaan Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Menurut peraturan ini, Kolaborasi
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
didefinisikan sebagai pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu
masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama
dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan
bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelembagaan kolaborasi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam adalah pengaturan
yang meliputi wadah (organisasi), sarana pendukung, pembiayaan
termasuk mekanisme kerja dalam rangka melaksanakan pengelolaan

39

kolaborasi

yang

ditetapkan

berdasarkan

kesepakatan

para

pihak

(Permenhut No. P.19 tahun 2004).


Wiratno dkk. (2004) menyatakan bahwa ada beberapa prinsip dan
asumsi yang harus dipegang dalam berkolaborasi yaitu:
1) Manajemen kolaboratif berjalan dalam konteks keragaman dan
perbedaan dalam melihat pengelolaan kawasan. Setiap pihak yang
berkolaborasi mempunyai perbedaan dalam hal kapasitas maupun fokus
pengelolaan, oleh karena itu diharapkan dapat saling melengkapi dari
pada saling berkompetisi dalam berbagai peran yang dijalankan.
2) Manajemen kolaboratif didasarkan pada pemikiran positif bahwa
pendekatan ini secara khusus baik dan efektif terhadap pengelolaan
Taman Nasional sesuai dengan tanggapan dan keadilan masyarakat.
3) Manajemen kolaboratif berdiri diatas prinsip pengelolaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban.
4) Manajemen kolaboratif merupakan bagian dari pengembangan sosial
menuju emansipasi langsung. Kesepakatan yang dibuat menyediakan
sebuah jaminan terakomodirnya kepentingan dan hak tiap-tiap pihak, oleh
karena itu hal ini mendorong keadilan sosial.
5) Manajemen kolaboratif adalah proses yang harus didahului oleh kajian
dan peningkatan, daripada aplikasi peran-peran yang dilakukan secara
kaku. Hasil yang paling penting terletak pada sebuah rencana kemitraan
yang dapat memberikan respon atas berbagai kebutuhan secara efektif.

40

Pembuatan kebijakan kolaboratif tidak hanya sekedar metode yang


dapat memecahkan masalah ketika terjadi konflik dalam sistem kebijakan
tradisional, ada hal yang lebih penting lagi yaitu untuk membuat jaringan
baru diantara pihak-pihak dalam sebuah sistem dan juga meningkatkan
pertukaran pengetahuan diantara pihak-pihak tersebut. Perencanaan
kolaboratif telah muncul sebagai bentuk kebijakan dan tindakan yang
sangat adaptif dan kreatif dalam era informasi dan kompleksitas. (Innes
dan Booher, 2003).
Didalam kolaborasi pengelolaan terdapat unsur-unsur pembangunan
yang dapat disinergikan. Menurut PSKMP (2002) ada 3 unsur dalam
proses pembangunan yaitu:
1. Resources (R) yakni berbagai sumberdaya yang merupakan unsur
dasar dalam setiap program pembangunan. Tanpa sumberdaya
tersebut, kita tidak dapat menginisiasi sesuatu kegiatan secara berarti
dan substantif. Sumberdaya tersebut membutuhkan persiapan, untuk
mendapatkan sumberdaya-sumberdaya penting, pendanaan, informasi
serta teknologi, dan lain sebagainya, agar dapat dipergunakan dan
dimanfaatkan

untuk

mencapai

sasaran-sasaran

dan

cita-cita

pembangunan.
2. Organizations (O), yakni organisasi-organisasi yang melaksanakan
peran,

pelaku

atau

aktor

pembangunan.

Dengan

cara

mengintegrasikan dan memadukan berbagai sumberdaya untuk


mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

41

3. Norms (N), yakni norma-norma manajerial, dimana membutuhkan


tingkat penghargaan terhadap mekanisme konsultasi, kerjasama dan
partisipasi serta komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Salman (2012a),

unsur pembangunan

adalah

saling

keterkaitan antara unsur yang dikelola (R), unsur yang mengelola (O) dan
unsur

yang

mengatur

pengelolaan

(N).

Terdapat

rangkaian

interkonektivitas R-O-N di dalam sebuah tatanan memenuhi kebutuhan,


memecahkan masalah, dan mewujudkan visi bersama. Terdapat tatanan
yang memiliki sumber daya yang melimpah (R), tetapi pelaku (O) yang
mengelolanya berkapasitas rendah, serta nilai dan norma yang berlaku
(N) tidak mengarah dengan efektif pengelolaan sumber daya yang baik.
Sebaliknya, terdapat tatanan yang memiliki pelaku berkapasitas (O) dan
memiliki nilai dan norma yang mendukung kemajuan (N), tetapi
sumberdayanya terbatas (R). Pada dasarnya lokalitas, daerah, dan
negara adalah rangkaian interkonektivitas R-O-N dengan berbagai
variasinya.
3. Pentingnya Kolaborasi Pengelolaan Sumber Daya Alam hayati
Salman (2012a) mengemukakan bahwa kondisi dimana kolaboratif
perlu diwujudkan (terlembagakan) dalam pembangunan sebuah tatanan
karena:
1) Masalah dan kebutuhan pembangunan yang dihadapi oleh sebuah
tatanan semakin kompleks;

42

2) Arah dan kecepatan perubahan pada sebuah tatanan semakin tidak


linier dan mudah dikontrol melainkan cenderung liar/kacau dan sulit
dikontrol;
3) Kapasitas dan kompetensi pemecahan masalah dan kebutuhan yang
makin

kompleks

tersebut

tidak

cukup

dengan

mengandalkan

pelayanan pemerintah saja, keberdayaan komunitas saja, atau


kewirausahaan saja, karena itu:
4) Saling

kontribusi

antar

pihak

diperlukan

agar

kapasitas dan

kompetensi dalam mengelola kompleksitas masalah dan kebutuhan


tercukupi, karena itu:
5) Saling interaksi antar pihak pemerintah, dunia usaha dan komunitas
diperlukan agar saling percaya, hubungan timbal balik, dan jejaring
diantara mereka terjaga di dalam memelihara kapasitas dan
kompetensi pemecahan masalah dan kebutuhan yang semakin
kompleks.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam hayati, kolaborasi
dua pihak adalah saling bekerja dan saling berkontribusi antara
Pemerintah Pusat (Balai Taman Nasional) dan Pemerintah Daerah dalam
pencapaian visi bersama. Artinya kedua pihak melakukan penghantaran
sumber daya, pengorganisasian, serta pendidikan dan penyadaran
nilai/norma

secara

bersinergi/komplementer

secara

bertahap

dan

berkelanjutan dapat dilihat gambar berikut (disubstansikan dari Salman,


2012a).

43

Pemerintah Pusat (Balai Taman Nasional)

R-O-N
(1)
R-O-N

R-O-N
(2)
R-O-N

R-O-N
(3)
R-O-N

R-O-N
(4)
R-O-N

Pemerintah Daerah (SKPD)


Gambar 2. Kerangka Kolaborasi Dua Pihak antara Balai Taman Nasional
dan Pemerintah Daerah (SKPD) (dikerangkakan dari Salman,
2012a)

Dalam kolaborasi dua pihak antara Balai Taman Nasional dan


Pemerintah Daerah dimana masing-masing memiliki 1) kapabilitas
teknis/manajerial dalam mengelola sumber daya alam hayati serta 2)
kekuatan kelembagaan dalam mengelola sumber daya alam hayati, maka
kedua pihak tersebut berinteraksi sebagai aktor (penghasil manfaat) yang
secara relatif berposisi sama, yakni sama-sama sebagai kontributor
terhadap pengelolaan sumber daya alam hayati sebagai satu kesatuan
tujuan bersama, serta sama-sama bertukar nilai, norma, pengetahuan dan
saling belajar satu sama lain (disubstansikan dari Salman, 2012a).
Kolaborasi dua pihak ini bukan hanya sekedar saling mendukung
antara kedua pihak, namun bagaimana rencana kerja masing-masing
pihak dapat dipertemukan sehingga terjadi aksi bersama pengelolaan
sumber daya alam hayati. Proses dan mekanisme kolaborasi berdampak
pada peningkatan kapasitas kedua pihak bila kolaborasi dua pihak dapat
ditransformasi

menjadi

kolaborasi

multipihak.

Dengan

kolaborasi

multipihak berlangsung transformasi sumber daya ke skala yang besar


dan interaksi antar pihak yang lebih intensif. Interaksi multipihak

44

membelajarkan para pihak untuk berevolusi bersama. Dalam makna itulah


kapasitas pemerintah pusat (Balai Taman Nasional) dan pemerintah
daerah di kontribusi oleh proses dan mekanisme kolaborasi. Implikasinya,
monitoring dan evaluasi terhadap proses dan mekanisme kolaborasi yang
berjalan bukan hanya memperhatikan output-outcome-benefit-impact dari
substansi kegiatan/program yang melibatkan kolaborasi, tetapi juga perlu
melihat perubahan kapasitas secara individual dan organisasional dari
multipihak yang berkontribusi pada kegiatan/program yang berjalan
(disubstansikan dari Salman, 2012a).
Kolaborasi

pengelolaan

sumber

daya

alam

hayati

antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk


mensinergikan berbagai sumber daya yang dimiliki serta berbagai
kebijakan yang dimiliki masing-masing pihak, dengan demikian disharmoni
kebijakan dapat diminimalisir. Menurut Setyowati dkk. (2008) beberapa
sebab yang berkaitan

dengan disharmoni kebijakan konservasi di

Indonesia antara lain adalah:


1. Kuatnya ego sektoral telah menghambat terjalinnya koordinasi dan
kerjasama

dalam

pengelolaan

sumber

daya

alam

secara

berkelanjutan.
2. Terjadinya tarik menarik kewenangan pengelolaan sumber daya alam.
3. Adanya kepentingan yang melekat pada berbagai pihak.
4. Tidak ada visi yang sama di Pemerintah Pusat dalam konservasi
sumber daya alam.

45

5. Kuatnya agenda jangka pendek pemerintah atau instansi-instansi


tertentu melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan.
6. Buruknya koordinasi dan komunikasi antara instansi pemerintah
dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan.
Terjadinya disharmoni kebijakan konservasi ini juga bisa terjadi karena
jumlah peraturan dan kebijakan konservasi yang makin besar dan banyak.
Hal ini menyebabkan terbatasnya instansi penyusun, parlemen, serta para
pihak pengambil keputusan lainnya untuk mengetahui dan menjadikan
dasar pijakan bagi penyusunan kebijakan dan peraturan konservasi
sumber daya alam atau mengenal semua aturan tersebut. Disharmoni
juga sering terjadi karena adanya pertentangan antara Undang-Undang
dengan peraturan

pelaksananya. Seringkali

peraturan perundang-

undangan dengan kebijakan peraturan instansi pemerintah tidak sejalan.


Kebijakan-kebijakan
bertabrakan.

antar

instansi

pemerintah

sering

kali

saling

Berdasarkan uraian Setyowati dkk. (2008) tersebut,

kolaborasi merupakan salah satu syarat untuk menuju pengelolaan


sumber daya alam hayati secara lestari, dimana dengan adanya
kolaborasi tentu akan menyatukan langkah, menyamakan visi, misi dan
aksi dalam pengelolaan sumber daya alam hayati.
Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan,
karena bagaimanapun masing-masing pihak memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Menurut Setyowati dkk. (2008), secara
kelembagaan masih terlihat lemahnya kerjasama dan koordinasi lintas

46

sektoral, lintas daerah, dan lintas aktor menyebabkan timbulnya konflik


berkepanjangan dalam hal penataan pengelolaan dan konservasi SDA.
Salah satu permasalahan yang menyebabkan lemahnya kerjasama
tersebut adalah keterbatasan kapasitas pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi, sehingga pada
saat ini banyak kawasan konservasi di Indonesia menjadi sumberdaya
alam yang terbuka (open acces). Kondisi tersebut seringkali dimanfaatkan
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (free rider) untuk mengambil
manfaat ekonomi jangka pendek yang menimbulkan dampak negatif
terhadap keutuhan ekosistem kawasan konservasi.

Kerusakan yang

terjadi di kawasan konservasi telah menurunkan fungsi jasa ekologi dan


ekonomi kawasan konservasi secara signifikan, guna mendukung
ekonomi jangka panjang di daerah dimana kawasan konservasi tersebut
berada.
4.

Penelitian Terdahulu
Purwanti (2008) melakukan kajian mengenai konsep co-management

TN Karimun Jawa. Hasil kajiannya terhadap potensi dan kegiatan


pemanfaatan sumber daya alam TNKJ menunjukkan bahwa, potensi
keanekaragaman hayati semakin menurun dan tingkat pemanfaatan
sumber daya alam TNKJ yang kurang terkontrol sehingga mengancam
status TNKJ. Kajian kebijakan dan kelembagaan menunjukkan bahwa,
peraturan pengelolaan kawasan konservasi lebih mengkonsentrasikan
pada kewenangan pemerintah, selain itu terdapat disharmonisasi

47

peraturan dalam hal kewenangan pengelolaan antara Kementerian


Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah
sehingga cenderung timbul konflik institusional karena peraturan sulit
diterapkan lintas sektor.

Pengelolaan TNKJ belum efektif karena

keterbatasan sarana dan prasarana, selain itu alokasi penggunaan


anggaran

juga

kurang

mendukung

kegiatan

perlindungan

dan

pengamanan kawasan. Hasil analisa prospektif didapatkan empat faktor


kunci pengembangan co-management TNKJ, yaitu : kesamaan persepsi
dan visi, mekanisme komunikasi dan negosiasi, partisipasi aktif dan
komitmen para pihak; dan koordinasi lintas sektor, dimana koordinasi
dipilih sebagai driven factor untuk mengatur keterkaitan dan saling
ketergantungan antar berbagai kegiatan pemanfaatan sumber daya alam
hayati dan ekosistem TNKJ. Adapun langkah yang harus dilakukan untuk
menuju co-management perikanan dan pariwisata di TNKJ, antara lain:
a) Koordinasi perijinan perikanan dan pariwisata antara Pemerintah
Kabupaten Jepara dan Balai Taman Nasional Karimun Jawa;
b) Penyusunan program kerja dan pendanaan bersama antara Pemda
Provinsi Jawa Tengah, Pemda Kabupaten Jepara dan Balai Taman
Nasional Karimun Jawa;
c) Pembuatan aturan representasi stakeholders;
d) Monitoring bersama untuk kegiatan pemanfaatan perikanan dan
pariwisata sumber daya alam hayati dan ekosistem TNKJ;

48

e) Membentuk

forum

stakeholders

untuk

mengorganisir

dan

mensinergikan kegiatan pemanfaatan perikanan dan pariwisata;


f) Mengadakan pelatihan keterampilan bagi masyarakat Karimunjawa di
bidang usaha perikanan dan pariwisata.
Konsep untuk co-management TNKJ antara lain adalah: membangun
komitmen, membentuk kelembagaan, menyiapkan perangkat hukum, dan
meningkatkan kapasitas SDM.
Anshari (2006)

mengemukakan bahwa pengelolaan kolaboratif

adalah sebuah harapan yang dapat menyelamatkan Taman Nasional


Danau Sentarum. Pendekatan ini semakin relevan untuk dilaksanakan
karena tingginya motivasi masyarakat untuk melakukan kerjasama dan
keputusan politik dari Kabupaten Kapuas Hulu untuk menjadi kabupaten
konservasi. Untuk mengurangi biaya transaksi dan komunikasi yang
terlalu mahal, kolaborasi dapat dilaksanakan oleh 2 sampai 3 pemangku
kepentingan. Untuk memelihara hubungan antara pemangku kepentingan,
pertemuan berkala penting dilakukan. Pada tingkat lembaga, antara
pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dengan Departemen Kehutanan,
sangat perlu dirumuskan mekanisme yang saling menguntungkan,
terutama tentang otoritas pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum.
Secara hukum, otoritas (dalam hal ini diartikan sebagai wujud dari
kekuasaan) pengelolaan TNDS berada pada Departemen Kehutanan dan
status ini sulit diganggu gugat.Yang mungkin dilakukan adalah pembagian

49

wewenang dan tanggung jawab berdasarkan fungsi-fungsinya. Jika


kekuasaan

tidak

dapat

dibagi,

Departemen

Kehutanan

dapat

mendelegasikan sebagian wewenang dan tanggung jawab dalam


pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum. Hal ini masih perlu
dibahas lebih rinci dan diteliti lebih lanjut.
Winara dan Mukhtar (2012) dalam kajiannya terhadap potensi
kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Teluk Cendrawasih
mengemukakan bahwa semua program pengelolaan taman nasional
berpotensi untuk didistribusikan pada pihak lain dalam sebuah sinergi
manajemen kolaborasi, sehingga manajemen kolaborasi sangat potensial
untuk

diterapkan

meskipun

keberhasilan

penerapan

manajemen

kolaborasi harus didukung oleh aspek kelembagaan yang kuat. Luasnya


cakupan wilayah administrasi TN Teluk Cenderawasih yang terbagi pada
dua kabupaten dan dua provinsi memerlukan dukungan energi yang besar
dalam membangun kolaborasi. Proses komunikasi dalam mengakomodasi
berbagai

kepentingan

dan

membangun

konsensus

bersama

membutuhkan proses yang tidak cepat. Meskipun demikian, menurut


Suporahardjo (2005 dalam Winara dan Mukhtar, 2011), walaupun
kolaborasi memiliki kesulitan dalam pelaksanaannya, meningkatnya
kesuksesan dan manfaat kolaborasi dalam menyelesaikan permasalahan
telah membuat pendekatan ini semakin populer.
Selanjutnya Winara dan Mukhtar (2012) menyatakan bahwa dalam
membangun kolaborasi dalam pengelolaan TN Teluk Cenderawasih dapat

50

dilakukan melalui beberapa langkah antara lain : (1) membangun


kesamaan pandangan berkolaborasi dari para pemangku kepentingan, (2)
membangun

kelembagaan

kolaborasi

yang

kuat

termasuk

nota

kesepahaman dan kesepakatan kerja kolaborasi dari semua pihak yang


terlibat, (3) membangun iklim kolaborasi yang kondusif, (4) menghadirkan
pihak yang mampu menjadi inisiator dalam mengawal proses kolaborasi.

E. Kerangka Pikir Penelitian


Pemerintah Pusat dalam hal ini Balai TN Wakatobi beserta
Pemerintah Kabupaten Wakatobi merupakan dua pengelola sumber daya
alam hayati yang ada di Wakatobi. Kebijakan Balai TN Wakatobi sebagai
wakil dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) Kementerian Kehutanan yaitu mengemban tugas konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).

Sedangkan

kebijakan Pemerintah Kabupaten Wakatobi adalah pembangunan daerah,


kebijakannya antara lain adalah pengelolaan sumber daya alam dan
peningkatan pendapatan asli daerah (UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah). Di Wakatobi, hingga saat ini masih terdapat
permasalahan pengelolaan SDAH seperti illegal fishing, destructive fishing,
pemanfaatan satwa yang dilindungi oleh masyarakat, penambangan pasir,
keterbatasan sumber daya (SDM, sarana dan finansial), belum sinerginya
pengelolaan pengunjung, perijinan usaha perikanan dan pariwisata alam.

51

Oleh karena itulah perlu berkolaborasi untuk mensinergikan kebijakan dan


berbagai sumber daya, organisasi dan norma yang dimiliki kedua pihak
dalam pengelolaan sumber daya alam hayati yang ada di Wakatobi.
Semakin

sinergi

kebijakan,

sumber

daya,

organisasi

(pelaku

pembangunan) dan norma maka pengelolaan sumber daya alam hayati


akan semakin baik, harmonis, dan lestari.
Baik Balai TN Wakatobi maupun Pemerintah Kabupaten Wakatobi
masing-masing memiliki potensi R-O-N (Resources-Organizations-Norms)
dalam pengelolaan sumber daya alam hayati, oleh karena itu perlu
menganalisis potensi R-O-N Taman Nasional dan Kabupaten Wakatobi
dalam mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya
alam hayati secara lestari. Kedua belah pihak hingga saat ini tentu telah
melakukan berbagai kegiatan (berkontribusi) dan menyusun perencanaan
dalam pengelolaan sumber daya alam hayati,

oleh karena itu agar

memudahkan upaya kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya


alam hayati, perlu menganalisis kontribusi dan arah perencanaan Balai
Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam
hayati. Berdasarkan hasil analisis terhadap potensi yang ada pada R-O-N,
kontribusi dan arah perencanaan kedua belah pihak,

maka model

kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati seperti


apa yang perlu dikembangkan kedua belah pihak, oleh karena itu perlu
dirumuskan model kolaborasi perencanaan antara Balai TN Wakatobi dan

52

Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam pengelolaan sumber daya alam


hayati secara lestari. Kerangka pemikiran penelitian disajikan dalam
bagan alir pada Gambar 3.

Pemerintah Kabupaten
Wakatobi

Kebijakan
Pembangunan Daerah

Balai TN Wakatobi

Permasalahan
Resources,
Organizations dan
Norms

Kebijakan
KSDAH&E

Potensi R-O-N yang


dimiliki Pemerintah
Kabupaten Wakatobi

Potensi R-O-N yang


dimiliki Balai TN
Wakatobi

Kontribusi dan arah


perencanaan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi

Kontribusi dan arah


perencanaan Balai TN
Wakatobi

Model Kolaborasi Perencanaan Antara Balai TN Wakatobi


dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Hayati Secara Lestari

Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian

53

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui
potensi R-O-N (Resources-Organizations-Norms) TN Wakatobi dan
Kabupaten

Wakatobi

dalam

mendukung

kolaborasi

perencanaan

pengelolaan sumber daya alam hayati. Kemudian akan dianalisis secara


kualitatif kontribusi dan arah perencanaan Balai Taman Nasional Wakatobi
dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati. Setelah itu, pada
akhirnya akan dirumuskan model kolaborasi perencanaan antara Balai TN
Wakatobi dalam Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam pengelolaan
sumber daya alam hayati secara lestari. Dalam kolaborasi diperlukan
kelembagaan

kolaborasi,

kelembagaan

ini

akan

disusun

dengan

berpedoman pada Permenhut No.19 Tahun 2004 tentang Kolaborasi


Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam
(KPA) khususnya terkait kelembagaan kolaborasi.
Penelitian kualitatif dilakukan untuk mengungkap gejala holistikkontekstual

menjadi

pengumpulan

data

dari

latar

alami

dengan

memanfaatkan peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian ini bersifat


deskriptif, cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif,

54

proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan (Sedarmayanti dan


dan Hidayat, 2011).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai TN Wakatobi serta Kabupaten
Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara. Proses pengambilan dan pengolahan
data dilakukan di kantor Balai TN Wakatobi, di Kodya Bau-Bau, dan
perkantoran Kabupaten Wakatobi, yaitu kantor Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, serta Badan Lingkungan Hidup Daerah.
Adapun

waktu

pelaksanaannya

adalah

bulan

November

sampai

Desember 2013.
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di
lokasi penelitian baik melalui wawancara maupun catatan lapangan. Data
primer yang dikumpulkan berupa beberapa data tentang potensi R-O-N
(Resources-Organization-Norms) TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi yang mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber
daya alam hayati serta model kolaborasi yang diinginkan oleh masing-masing
pihak. Sumber data primer adalah para informan yang terlibat langsung dalam
pengelolaan kawasan Wakatobi baik dari Balai TN Waktobi maupun
Pemerintah Kebupaten Wakatobi. Sedangkan data sekunder adalah data
yang diperoleh melalui studi dokumen maupun publikasi lainnya yang

55

diterbitkan oleh instansi yang terkait dengan penelitian ini. Data yang
dikumpulkan berupa data mengenai beberapa potensi (R-O-N), kegiatan
pengelolaan taman nasional serta data kebijakan dan rencana pembangunan
daerah Wakatobi.
Pemilihan informan dilakukan dengan metode purposive sampling
yang

didasarkan

pada

beberapa

pertimbangan,

antara

lain:

keterkaitannya dengan fokus penelitian, keterlibatan dalam pengelolaan


TN Wakatobi, serta kesediaannya untuk memberikan informasi. Rencana
informan yang akan dipilih terdiri dari:
1. Pengelola TN Wakatobi, yaitu: Kepala Balai, Kepala Sub Bagian Tata
Usaha (KSBTU), Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (KSPTN),
staf

perencanaan,

staf

pengawetan

dan

perlindungan,

staf

pemanfaatan dan pelayanan TN, staf fungsional Pengendali Ekosistem


Hutan (PEH), staf fungsional penyuluh TN, dan staf fungsional Polisi
Hutan (Polhut)/PPNS.
2. Kepala Bappeda, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Sekretaris
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kepala Bidang Standarisasi dan
Konservasi SDA Badan Lingkungan Hidup, Kepala Bidang Kehutanan
Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan (PKP2),
Kepala

bidang

Tata

Ruang

Dinas

Tata

Ruang,

Kebersihan,

Pertamanan, Pemakaman dan Pemadam Kebakaran (TRKP3K), Staf


Perencana Program DKP, serta pihak DPRD yang mengurusi
lingkungan hidup. Adapun matriks penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

56

Tabel 5. Matriks Penelitian Model Kolaborasi Perencanaan antara Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Secara Lestari
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana

potensi R-ON TN
Wakatobi dan
Kabupaten
Wakatobi
dalam
mendukung
kolaborasi
perencanaan
pengelolaan
sumber daya
alam hayati di
wilayah
tersebut?

Tujuan &
Konsep
Tujuan:
Menganalisis
potensi R-O-N
TN Wakatobi
dan Kabupaten
Wakatobi
dalam
mendukung
kolaborasi
perencanaan
pengelolaan
sumber daya
alam hayati
Konsep:
Potensi (R-ON) pada TN
dan kabupaten
mendukung
kolaborasi
perencanaan
jika masingmasing pihak
mendukung
untuk
dikolaborasikan

Variabel

Data dan Informasi

Sumber
daya Sumber daya alam hayati
(Resources)
yang dapat dikolaborasikan
Potensi
perencanaan
Biofisik/data
pengelolaannya
lapangan
Sarana pendukung
Potensi Finansial Pembiayaan pengelolaan
Potensi SDM
sumber daya alam hayati,
Kondisi SDM pengelola
sumber daya alam hayati
Permasalahan sumber
daya
Organisasi
Organisasi TN dan
Pengelola
Pemerintah Kabupaten
sumber daya
Wakatobi (SKPD terkait)
alam hayati
Permasalahan Organisasi
secara lestari
Norma/Aturan
Mekanisme kerja
Kebijakan
organisasi/Aturan dalam
pengelolaan
kegiatan perlindungan,
sumber
daya
pengawetan dan
alam
hayati
pemanfaatan sumber daya
secara
lestari
alam hayati secara lestari
yang
dapat Permasalahan dalam
dikolaborasikan
mekanisme/aturan

Sumber Data

Teknik
Pengumpulan
data

Dokumen Pengelolaan Studi literatur/


Kawasan Wakatobi
dokumen
(rencana & laporan
Wawancara
kegiatan pengelolaan,
dokumen lainnya)
Informan:
Balai TN Wakatobi,
Pemerintah
Kabupaten Wakatobi
(Bappeda, DKP,
Disparbud, BLHD)

Analisis data
Analisis
Deskriptif
Kualitatif
terhadap R-O-N
dengan
Berpedoman
pada UU No. 5
Tahun 1990
(terkait kegiatan
konservasi
sumber daya
alam hayati
yang dapat
dilakukan)

57

Lanjutan Tabel 5
Rumusan
Masalah
2. Bagaimana

kontribusi dan
arah
perencanaan
Balai TN
Wakatobi dan
Pemerintah
Kabupaten
Wakatobi
dalam
mendukung
kolaborasi
perencanaan
pengelolaan
sumber daya
alam hayati?

Tujuan &
Konsep
Menganalisis
kontribusi dan
arah
perencanaan
Balai TN
Wakatobi
dalam
mendukung
kolaborasi
perencanaan
pengelolaan
sumber daya
alam hayati
Konsep:
Kontribusi dan
arah
perencanaan
mendukung
kolaborasi, jika
memberi ruang
untuk
berkolaborasi

Variabel

Data dan Informasi

Sumber Data

Teknik
Pengumpulan
data
Dokumen Perencanaan Studi literatur/
dan pengelolaan (RPTN,
dokumen
Renstra TN Wakatobi,
Wawancara
laporan kegiatan
pengelolaan)
Informan:
Balai TN Wakatobi

Kebijakan Balai TN
Wakatobi

Kebijakan, Rencana dan


Program pengelolaan
Taman Nasional dalam
mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan
sumber daya alam hayati

Kebijakan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi

Kebijakan, Rencana dan


Dokumen Perencanaan
Program pembangunan
Daerah (RPJPD,
Kabupaten Wakatobi dalam
RPJMD, Renstra
mendukung kolaborasi
Kabupaten, RKPD)
perencanaan pengelolaan
Informan:
sumber daya alam hayati
Pemerintah
Kabupaten Wakatobi
(SKPD terkait)

Analisis data

Analisis
deskriptif
kualitatif

58

Lanjutan Tabel 5
Rumusan
Masalah
3. Bagaimana

model
kolaborasi
perencanaan
yang perlu
dirumuskan
antara Balai
TN Wakatobi
dengan
Pemerintah
Kabupaten
Wakatobi
dalam
pengelolaan
sumber daya
alam hayati
secara lestari?

Tujuan &
Konsep
Merumuskan
model antara
Balai TN
Wakatobi
dengan
Pemerintah
Kabupaten
Wakatobi
dalam
pengelolaan
sumber daya
alam hayati
secara lestari

Variabel

Model Kolaborasi

Data dan Informasi

R-O-N Balai TN Wakatobi


dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi
Kontribusi dan Arah
perencanaan Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi
Model kolaborasi yang perlu
dibentuk ( Hasil wawancara)

Sumber Data

Hasil analisa pada


tujuan pertama,
kedua, dan ketiga
penelitian ini

Teknik
Pengumpulan
data
Wawancara
Studi dokumen
Focus Group
Discussion
(FGD)

Konsep:
Model
kolaborasi yang
akan
dirumuskan
adalah yang
dapat
disepakati
kedua pihak
Ket: UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya:
Permenhut No. 19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

Analisis data

Analisis
Deskriptif
Kualitatif untuk
merumuskan
model
kolaborasi
perencanaan
merumuskan
kelembagaan
kolaborasi
menurut
Permenhut
No.19 tahun
2004 yaitu
meliputi
wadah/organisasi, sarana,
pembiayaan
dan
mekanisme
kerja
kolaborasi

59

D. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan meliputi data primer dan
data sekunder. Berikut adalah teknik pengumpulan data-data dimaksud:
1) Data Primer
Data primer dikumpulkan melalui kegiatan sebagai berikut:

Wawancara Mendalam (indepth Interview)


Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman (guide) wawancara (Noor, 2011). Tujuan dilakukan wawancara
mendalam adalah untuk mengetahui secara lebih mendetail potensi R-ON, kontribusi dan arah perencanaan Balai TN Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten

Wakatobi

dalam

mendukung

kolaborasi

perencanaan

pengelolaan sumber daya alam hayati serta model kolaborasi yang


diharapkan oleh kedua belah pihak.

Diskusi kelompok terbatas (Focus Group Discussions)


Focus Group Discussion (FGD) merupakan sebuah teknik pengumpulan
data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan
menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah
kelompok (Noor, 2011). Dalam penelitian ini, FGD dilakukan untuk
menentukan

model

kolaborasi

perencanaan

dan

kelembagaan

kolaborasi yang perlu dibentuk antara Balai Taman Nasional Wakatobi

60

dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam pengelolaan sumber daya


alam hayati secara lestari.
2) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui studi literatur terhadap beberapa
dokumen

antara

lain

dokumen

perencanaan,

laporan

kegiatan,

laporan/buku statistik, dan arsip atau jenis dokumen lainnya yang berisi
tentang pengelolaan sumber daya alam hayati baik dari Balai TN
Wakatobi maupun Pemerintah Kabupaten Wakatobi.

E. Teknik Analisa Data


Penelitian ini dirancang untuk menganalisis potensi R-O-N TN Wakatobi
dan Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi perencanaan
pengelolaan sumber daya alam hayati serta menganalisis kontribusi dan
arah perencanaan Balai Taman Nasional dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dalam mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber
daya alam hayati sehingga akan mendapat rumusan untuk membuat model
kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati secara
lestari. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Untuk mengetahui gambaran potensi R-O-N (Resources-OrganizationsNorms) TN Wakatobi dan Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari, maka
akan dilakukan analisis terhadap R-O-N dengan berpedoman pada UU No. 5

61

Tahun 1990 tentang KSDAH&E khususnya terkait kegiatan konservasi yang


dapat dilakukan dan dikolaborasikan. Hasil analisis data tersebut

dapat

memberikan informasi mengenai kondisi potensi R-O-N TN Wakatobi dan


Kabupaten Wakatobi dalam mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan
sumber daya alam hayati. Kemudian dengan menganalisis kontribusi dan arah
perencanaan pengelola taman nasional serta pemerintah kabupaten dalam
mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati,
maka akan memberikan informasi tentang peranan kedua belah pihak dalam
mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati.
Dengan mempertimbangkan hasil analisis tujuan sebelumnya, maka akan
disusun rumusan model kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya
alam hayati secara lestari yang diinginkan oleh kedua pihak.
Analisa data tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif kualitatif untuk menjawab tujuan pertama
Analisis ini untuk menggambarkan potensi yang ada pada R-O-N
(Resources-Organizations-Norms) TN Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi meliputi:
a. Sumberdaya (Resources) meliputi sumber daya biofisik, sumber
daya finansial, sumber daya manusia
b. Organisasi meliputi kondisi organisasi pengelola sumber daya alam
hayati dalam mendukung kolaborasi

62

c. Norma/Aturan meliputi mekanisme kerja organisasi dalam kegiatan


perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan sumber daya alam
hayati secara lestari.
Masing-masing

R-O-N,

akan

dianalisis

apa

yang

menjadi

permasalahannya dan bagaimana kedua pihak memberi ruang untuk


berkolaborasi.
2. Analisis deskriptif kualitatif untuk menjawab tujuan kedua
Proses ini dilakukan untuk menggambarkan kontribusi dan arah
perencanaan Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi
dalam mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya
alam hayati. Kontribusi dan arah perencanaan kedua pihak akan
dianalisis tentang bagaimana dapat memberikan ruang bagi kolaborasi.
3. Analisis Deskriptif Kualitatif untuk menjawab tujuan ketiga
Model kolaborasi perencanaan antara Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi yang akan dirumuskan adalah
kolaborasi rencana kerja tahun 2014 atau kolaborasi rencana kegiatan
yang perlu direncanakan untuk memecahkan permasalahan yang
terjadi di Wakatobi. Didalam kolaborasi perencanaan perlu ada
kelembagaan kolaborasi, sehingga akan dirumuskan kelembagaan
kolaborasi yang mengacu pada Permenhut No. 19 Tahun 2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, yaitu bahwa kelembagaan kolaborasi tersebut
merupakan pengaturan yang meliputi wadah (organisasi), sarana

63

pendukung, pembiayaan serta mekanisme kerja dalam rangka


melaksanakan pengelolaan kolaborasi.
Dengan demikian kelembagaan kolaborasi perencanaan yang akan
dirumuskan meliputi:
a. Wadah

(organisasi)

yang

perlu

dibentuk

bersama

dalam

kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati


secara lestari.
b. Pengaturan

sarana

pendukung

yang

diperlukan

dalam

pelaksanaan kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya


alam hayati secara lestari.
c. Pengaturan

pembiayaan

kegiatan

kolaborasi

perencanaan

pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari.


d. Mekanisme kerja kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber
daya alam hayati secara lestari.
Ke-empat aspek kelembagaan tersebut akan dianalisis tentang
bagaimana kedua pihak dapat memberikan ruang dan mengharapkan
untuk kolaborasi perencanaan pengelolaan sumber daya alam hayati.
Berikut adalah tabel untuk analisis data tujuan 1 sampai 3.

64

Tabel 6. Analisis
Data Penelitian yang Ada Pada Balai
TN
Wakatobi Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati
Secara Lestari
Unsur
Pembangunan
Resources
(Sumber daya)

Potensi

Masalah

Kontribusi
Balai TNW

Arah
Perencanaan

Model
Kolaborasi
Sumber daya
yang dapat
dikolaborasikan
Lembaga/
wadah yang
perlu dibentuk
Mekanisme
kolaborasi yang
diharapkan

Organisasi
Norms
(Kebijakan/Aturan/
Mekanisme)

Tabel 7. Analisis Data Penelitian yang Ada Pada Pemerintah Kabupaten


Wakatobi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Secara
Lestari
Potensi (Unsur
Pembangunan)

Potensi

Masalah

Kontribusi
Pemkab.
Wakatobi

Arah
Perencanaan

Model
Kolaborasi
Sumberdaya
yang dapat
dikolaborasikan
Lembaga/Wadah
Yang Perlu
dibentuk
Mekanisme
kolaborasi yang
diharapkan

Resources
(Sumber daya)
Organisasi
Norms
(Kebijakan/Aturan/
mekanisme )

F. Pengecekan Validitas Temuan


Pengujian keabsahan informasi yang diperoleh dilakukan dengan
teknik triangulasi

dan teknik pemeriksaan sejawat melalui diskusi.

Menurut Moleong (2012) teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan


keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain, sebagai
pembanding data (baik sumber, metode, penyidik, maupun teori). Teknik
triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui
sumber lainnya, sedangkan teknik pemeriksaan sejawat melalui diskusi
dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang
diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat.

65

G. Definisi Operasional
1. Taman Nasional adalah adalah kawasan pelesatarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
2. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam
taman nasional menjadi zona-zona yang mencakup kegiatan tahapan
persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft
rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan
penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspekaspek ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
3. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah upaya
perlindungan

sistem

penyangga

kehidupan,

pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,


serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati.
4. Kawasan Konservasi dalah kawasan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya. Kawasan Konservasi di Indonesia
terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman, Cagar Alam
Suaka Margasatwa dan Taman Buru
5. Pengelolaan kolaboratif diartikan sebagai suatu situasi dimana dua
atau lebih aktor-aktor sosial bernegosiasi, mendefinisikan dan
menjamin

diantara

mereka

berbagi

secara

adil

fungsi-fungsi

66

manajemen, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban atas wilayah atau


suatu set sumber daya alam (Borrini-Feyerabend dkk., 2007).
6. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang
terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya
alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem (UU No. 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya).
7. Pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari adalah
pengelolaan yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian
menurut peraturan yang berlaku.
8. Model kolaborasi perencanaan adalah kolaborasi rencana kerja tahun
2014 atau kolaborasi rencana kegiatan yang perlu direncanakan untuk
memecahkan

permasalahan

yang

terjadi

di Wakatobi.

Model

kolaborasi perencanaan ini akan disajikan dalam bentuk tabel serta


penjelasannya.

Didalam

kolaborasi

perencanaan

perlu

ada

kelembagaan kolaborasi, sehingga akan dirumuskan kelembagaan


kolaborasi berupa pengaturan wadah (organisasi), sarana pendukung,
pembiayaan serta mekanisme kerja dalam rangka melaksanakan
pengelolaan kolaborasi.

67

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


1. Letak dan Batas Administrasi
Taman Nasional Wakatobi terletak di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kawasan ini berada pada wilayah Coral Tri-Angle
atau wilayah segitiga terumbu karang dunia, yaitu wilayah yang memiliki
keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut
lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia (Balai TN Wakatobi, 2008).

Coral Tri-angle

T
S

Wakatobi

Gambar 4. Lokasi Wakatobi berada di Provinsi Sulawesi Tenggara


dan Segi Tiga Karang Dunia (Balai TN Wakatobi, 2008)
Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi (2013), secara
geografis, Wakatobi terletak

di bagian selatan garis khatulistiwa,

memanjang dari utara ke selatan di antara 5.000 6.250 Lintang Selatan

68

(sepanjang 160 km) dan membentang dari Barat ke Timur diantara


123.340

124.640 Bujur Timur

(sepanjang 120 km). Wilayah

Kabupaten Wakatobi diapit oleh perairan laut yaitu perairan Buton, Laut
Banda, dan Flores.

Batas-batas administratif daerah Kabupaten

Wakatobi berada pada wilayah perairan laut, sebagai berikut (Pemerintah


Kabupaten Wakatobi, 2013b):
- Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah perairan laut Kabupaten
Buton dan Buton Utara
- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores
- Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah perairan laut Kabupaten
Buton.

Gambar 5. Peta Batas Wilayah Kabupaten Wakatobi


(Pemerintah Kabupaten Wakatobi, 2013b)

69

Pada tahun 1996, Wakatobi ditunjuk oleh Menteri Kehutanan


menjadi kawasan konservasi dengan status sebagai taman nasional
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/KPTS-VI/1996
tanggal 30 Juli 1996 dan pada Tahun 2002 ditetapkan menjadi taman
nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.7651/KPTSII/2002 tanggal 19 Agustus 2002 yang meliputi kawasan dengan luas 1,39
Juta hektar termasuk kawasan perairan dan seluruh kawasan daratan.
Berdasarkan Undang-Undang No. 29 tahun 2003, Kepulauan Wakatobi
ditetapkan sebagai kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Buton (Balai
TN Wakatobi, 2008). Dengan demikian Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi, memiliki ruang kelola sumber daya
alam (khususnya sumber daya laut) yang sama.
Secara administratif, Kabupaten Wakatobi terdiri dari 8 kecamatan
yang terdiri dari 100 desa/kelurahan sebagaimana disajikan pada tabel
berikut.
Tabel 8. Jumlah Desa Menurut Kecamatan dan Letak Wilayah di
Kabupaten Wakatobi Tahun 2012
No

Kecamatan

Pesisir
Tepi Pantai

Bukan
Pesisir

Jumlah

Binongko

Togo Binongko

Tomia

10

10

Tomia Timur

Kaledupa

15

16

Kaledupa Selatan

10

10

Wangi-Wangi

13

20

Wangi-Wangi Selatan

19

21

Wakatobi

90

10

100

Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2013)

70

2. Iklim
Menurut klasifikasi Schmidt-Fergusson, iklim di Kepulauan Wakatobi
termasuk tipe C, dengan dua musim yaitu musim kemarau (musim timur:
AprilAgustus) dan musim hujan (musim barat: SeptemberApril). Musim
angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai dengan Maret yang
ditandai dengan sering terjadi hujan.

Musim angin timur berlangsung

bulan Juni sampai dengan September. Peralihan musim yang biasa


disebut musim pancaroba terjadi pada bulan Oktober-November dan
bulan April-Mei (Pemerintah Kabupaten Wakatobi, 2013b).
Di Wakatobi, suhu tertinggi terjadi pada bulan NopemberJanuari
dengan rata-rata 34 0C sedangkan suhu terendah terjadi pada bulan Mei
Juli dengan rata-rata 28 0C. Rata-rata curah hujan tahunan selama 10
tahun (19952004) adalah 130,7 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada
bulan Mei dengan rata-rata 234,7 mm dan curah hujan terendah terjadi
bulan September yakni rata-rata 9,1 mm (Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Wakatobi, 2013b).
3. Hidrologi
Balai TN Wakatobi (2008) menyatakan bahwa secara umum kondisi
hidrologi di pulau-pulau yang ada di Kepulauan Wakatobi adalah
bersumber dari air tanah, yang berbentuk semacam goa (masyarakat
Wakatobi menyebutnya Topa) yang dipengaruhi pasang surut air laut,
sehingga rasanya tidak terlalu tawar. Semakin dekat sumber air tersebut
ke laut semakin payau rasa air tersebut. Di seluruh pulau-pulau yang ada

71

di kawasan TN Wakatobi semuanya tidak mempunyai sungai, sehingga air


hujan yang jatuh langsung diserap oleh tumbuhan dan sebagian lagi
mengalami aliran permukaan. Air hujan oleh kebanyakan masyarakat
Wakatobi ditampung dalam bak penampungan sebagai cadangan air
dalam musim kemarau yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga
dan air minum.
4. Aksesibilitas
Wakatobi merupakan gugusan kepulauan yang berjumlah 39 pulau,
terdiri atas 4 (empat) pulau besar, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia,
dan Binongko.

Keempat pulau tersebut mudah terjangkau baik dalam

Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, regional Kawasan Timur Indonesia,


nasional maupun internasional. Di Pulau Wangi-Wangi terdapat Bandara
Udara Matahora, Pelabuhan Laut Nasional Panggulu Belo dan jalur
angkutan ferry ASDP Kamaru-Wanci. Bandara Udara Maranggo juga
tersedia di Pulau Tomia yang merupakan moda transportasi khusus untuk
wisatawan dari Bali dan Singapura.

Transportasi laut antar pulau di

Kabupaten Wakatobi cukup lancar. Akses dari ibukota kabupaten (WangiWangi) ke Pulau Kaledupa dan Binongko tersedia setiap hari dengan
armada kapal cepat (speed boat). Satu-satunya wilayah pulau kecil yang
relatif sulit dijangkau namun telah berpenghuni ialah Pulau Runduma yang
termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tomia (Pemerintah
Kabupaten Wakatobi, 2013b).

72

5. Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Wakatobi hingga pertengahan Juni
2012 adalah 94.953 jiwa (tabel 9.). Sebagian besar (sekitar 51,61%)
penduduk berada di Pulau Wangi-Wangi.

Hal ini dikarenakan pusat

pemerintahan dan perekonomian berada di pulau tersebut. Tabel berikut


ini adalah persebaran penduduk di Wakatobi menurut kecamatan.
Tabel 9. Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Wakatobi Tahun
2012
Juni 2011

Juni 2012

Kecamatan
Penduduk
(jiwa)
1
2
3
4
5
6
7
8

Binongko
Togo Binongko
Tomia
Tomia Timur
Kaledupa
Kaledupa Selatan
Wangi-Wangi
Wangi-Wangi Selatan
Jumlah

Persebaran
(%)

9.130
5.139
7.520
9.188
10.870
7.258
25.589
26.790
94.846

Penduduk
(jiwa)

9,00
5,06
7,41
9,05
10,71
7,15
25,21
26,40
100,00

8.550
4.828
7.035
8.588
10.181
6.772
23.935
25.064
94.953

Persebaran
(%)
9,00
5,08
7,41
9,04
10,72
7,13
25,21
26,40
100,00

Sumber: BPS Kabupaten Wakatobi (2013)

B. Potensi Resources-Organizations-Norms TN Wakatobi dan


Kabupaten Wakatobi

1. Sumber Daya Alam


Pengelolaannya

Hayati

yang

dapat

dikolaborasikan

Wakatobi merupakan taman nasional laut, sehingga Balai TN


Wakatobi fokus pada pengelolaan sumber daya laut. Terdapat 8 sumber
daya sebagai target konservasi, yaitu 1) terumbu karang, 2) lamun, 3)
mangrove, 4) cetacean (paus/lumba-lumba), 5) Burung pantai/laut (serta
habitatnya), 6) Penyu (dan pantai penelurannya),

7) SPAGs (Tempat

73

pemijahan Ikan) dan 8) Ikan ekonomis penting. Target ini sering disebut
sebagai 8 sumber daya penting. Untuk mengelola 8 sumber daya penting
ini, baik dari aspek perlindungan, pengawetan (monitoring) maupun
pemanfaatannya secara lestari, maka diperlukan berbagai sumber daya
mulai dari SDM, finansial, maupun sarana pendukung. Oleh karena itulah
perlu adanya suatu kolaborasi dalam pengelolaan SDAH tersebut. Untuk
mengetahui apakah pengelolaan ke-8 sumber daya penting tersebut dapat
dikolaborasikan atau tidak, maka pendapat kedua pihak yaitu Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi perlu diketahui. Pendapat
pemangku kepentingan disajikan pada Tabel 10, sedangkan fungsi dan
potensi sumber daya disajikan pada Tabel 11.
Tabel 10. Pendapat Pemangku Kepentingan pada Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi terhadap Kolaborasi
Pengelolaan 8 Sumber Daya Penting
Informan
A1

B1

Pendapat

Alasan

Dapat
Sinergitas berbagai sumber daya pengelolaan
dikolaborasikan yang ada (finansial, SDM dan sarana lain),
sehingga dapat terjadi pembelajaran bersama,
saling memahami aturan yang berlaku pada
masing-masing pihak.
Perlu
Kita punya domain yang sama, sehingga
dikolaborasikan bagaimana pendekatan konservasi dapat menjadi
sumber
pendapatan
dan
pengembangan
ekonomi. Oleh karena itu mutlak dibutuhkan
kolaborasi, karena kalau kontraproduktif serta
jalan sendiri-sendiri maka hasilnya tentu tidak
akan berdampak luas dan baik.
Pemerintah
kabupaten
fokus
untuk
mensejahterakan rakyat, dimana pemanfaatan
sumber daya alam oleh masyarakat diatur dan
diawasi oleh peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu konservasi sebagai sumber
ekonomi dan juga kesejahteraan.

74

Tabel 11. Fungsi dan Potensi 8 Sumber Daya Penting


No
1

Sumber
Daya Alam
Terumbu
Karang

Fungsi

Potensi

Penyedia nutrisi pelindung fisik,


tempat pemijahan ikan, tempat
bermain ikan.
Produk ekonomi: ikan karang,
udang karang, alga, teripang,
kerang mutiara

- Kompleks pulau Wangi-Wangi dan sekitarnya: lebar


terumbu mencapai 2,8 km (jarak terjauh)
- Pulau Kaledupa dan Pulau Hoga : lebar terpendek
60 m, terjauh 5,2 km
- Kompleks Atol Kaledupa: tersempit: 4,5 km, terlebar:
14,6 km, panjang sekitar: 48 km
- Pulau Tomia: terjauh 1,2 km, terdekat: 130 m

Produksi oksigen, penyedia zat


hara, tempat berlindung ikan,
tempat mencari makan ikan,
tempat tumbuh ikan, tempat
memijah
Penyedia oksigen, penyedia
nutrisi, tempat pemijahan dan
asuhan berbagai macam biota,
Penahan abrasi pantai, penahan
amukan angin taufan dan
tsunami,
penyerap
limbah,
pencegah intrusi air laut, habitat
beberapa organisme laut/pantai,
bahan bakar(untuk ranting yang
sudah mati/kering)
komponen penyusun ekosistem
perairan
laut,
penyeimbang
ekosistem perairan tersebut,
indikator
kualitas
ekosistem
perairan

Lamun

Luas lamun : 4.750 Ha, terdapat 11 jenis lamun (dari


12 jenis di Indonesia).
- Tutupan lamun berfluktuasi di semua lokasi dan
tutupan tertinggi ditemukan di Wangi-Wangi

Mangrove

Burung
Pantai/Laut

Cetacean/
mamalia laut

indikator kondisi sumber daya


perairan, Wisata bahari

- Sampai saat ini tercatat ada 6 jenis paus dan 5 jenis


dolphin yang terlihat di Wakatobi
- Paus dan lumba-lumba sering dijumpai di Wakatobi
karena merupakan salah satu jalur migrasi yang
terbentang dari Philipina sampai ke Australia

Penyu

Wisata bahari, indikator kondisi


sumber daya perairan

- Terdapat 2 jenis penyu dari 6 jenis penyu di


Indonesia yaitu penyu hijau (chelonia mydas) dan
penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
- Pantai peneluran penyu: Pulau Moromaho, Pulau
Cowo-Cowo, Pulau Kentiole, Pulau Runduma, dan
Pulau Anano

SPAGs/
Tempat
pemijahan
ikan

Ikan kerapu merupakan target


utama perdagangan ikan hidup
untuk
pasaran
internasional
terutama Hongkong

- Terdapat 4 (empat) spesies target yaitu : lutjanus


bohar (kakap merah), Epinephelus fuscogutattus
(kerapu macan), Plectropormus areolatus (sunu
hitam) dan Epinephelus polyphekadion (kerapu
hitam).
- Potensi Lokasi SPAGs: Hoga Channel, Marimabuk,
Table Coral City, Pintu masuk Karang kaledupa,
Tanjung Binongko, Pintu Masuk Karang koko,
Kentiole, Runduma, Anano, Otiolo/Outer reef karang
kaledupa, Karang Kapota

Ikan
Ekonomis
Penting

Ikan target merupakan target


penangkapan atau lebih dikenal
dengan ikan ekonomis penting
atau ikan konsumsi

- Di Wakatobi
ditemukan 590 jenis ikan (Rapid
Ecological Assessment /REA tahun 2003)

- Terdapat 20 jenis mangrove sejati dan 8 jenis


mangrove ikutan
- Penyebaran: Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia
dan Binongko, Pulau Darawa, Pulau Lintea Kaledupa,
Pulau Lintea Tomia, Pulau Hoga, Pulau Runduma,
Pulau Kentiole, Pulau Kapota, dan Pulau Moromaho
- Kaledupa memiliki kelimpahan dan distribusi yang
besar dan padat

- 74 spesies burung pantai/laut, 14 diantaranya


dilindungi
- Kepadatan burung tertinggi di Pulau Moromaho yaitu
sula-sula
- Jumlah spesies lebih banyak dijumpai di Ambeua
(kaledupa). Kepadatan burung tertinggi di pulau ini
adalah trinil dan kapinis laut
- Kepadatan burung tertinggi di Pulau Hoga yaitu madu
sriganti

Berikut ini adalah penjelasan beberapa sumber daya alam hayati


yang ada di Wakatobi.

75

a. Terumbu karang
Salah satu sumber daya penting /target konservasi di Wakatobi
adalah terumbu karang. Dahuri dkk. (1996) menyatakan bahwa ekosistem
terumbu karang memiliki produktivitas organik yang sangat tinggi jika
dibandingkan

dengan

ekosistem

lainnya,

demikian

juga

dengan

keanekaragaman hayatinya. Disamping mempunyai fungsi ekologis


sebagai penyedia nutrisi bagi berbagai biota perairan, pelindung fisik,
tempat pemijahan, serta sebagai tempat bermain, terumbu karang juga
dapat menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi
penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang,
dan kerang mutiara. Dari segi estetika pun terumbu karang yang masih
utuh dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah sehingga
merupakan salah satu potensi wisata bahari. Berikut adalah tabel lokasi
dan luasan terumbu karang yang ada di TN Wakatobi.
Tabel 12. Lokasi dan Luasan Terumbu Karang di Wakatobi
No

Lokasi Terumbu Karang

Luas

1.

kompleks Pulau Wangi-Wangi dan sekitarnya (P.


Kapota, P. Sumanga, P. Kamponaone)

lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak


terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh)

2.

Pulau Kaledupa dan Pulau Hoga

lebar terpendek terumbu adalah 60 meter


dan terjauh 5,2 kilometer

3.

Kompleks atol Kaledupa

lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah


tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah
terlebar, Panjang atol Kaledupa sekitar 48
kilometer

4.

Pulau Tomia

rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer


untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak
terdekat

Sumber : Statistik Balai TN Wakatobi 2012 (BTNW, 2013a)

76

b. Lamun
Beberapa lamun diketahui mengeluarkan oksigen melalui akarnya.
Pengeluaran oksigen tersebut fungsinya sama dengan yang dilakukan
oleh tumbuhan darat. Padang lamun juga berfungsi sebagai penyedia zat
hara bagi makhluk hidup laut lainnya. Daun lamun yang sudah tua
diuraikan oleh sekelompok hewan dan jasad renik yang hidup di dasar
perairan, seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri. Hasil penguraian
tersebut menjadi nutrien yang tercampur dengan air dan bermanfaat tidak
hanya bagi tumbuhan lamun sendiri, namun juga untuk pertumbuhan
fitoplankton dan selanjutnya zooplankton dan juvenile ikan/udang.
Sebagian hewan memanfaatkan lamun sebagai tempat berlindung,
mencari makan, tumbuh besar, dan memijah. Dedaunan lamun juga
berguna sebagi pelindung dari sengatan matahari bagi penghuni
ekosistem ini (BTNW, 2010b).
Selanjutnya

BTNW

(2010b)

juga

menyatakan

bahwa

lamun

dimanfaatkan oleh masyarakat Pulau Wangi-Wangi dan sekitarnya


sebagai daerah penangkapan beberapa jenis ikan, seperti ikan baronang
(Siganus sp), lencam (Lethrinus sp), teripang, rajungan dan jenis kerangkerangan. Di daerah ini dijadikan juga sebagai lokasi budidaya rumput
laut. Kawasan padang lamun ini juga digunakan sebagai daerah untuk
menangkap ikan dengan alat tangkap jaring insang, tombak/panah, bub
penangkap baronang (kulukulu) dan sebagian kecil menggunakan
pancing.

77

Menurut BTNW (2010b), luas lamun di Wakatobi adalah 4.750 Ha.


BTNW (2013a) menyatakan bahwa sampai saat ini terdata 11 jenis lamun
di Wakatobi yaitu: Haludule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata,
C. serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isoetifolium, Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, H. decipiens dan H.
minor. Tutupan lamun secara umum berfluktuasi di semua lokasi, dan
tutupan lamun tertinggi ditemukan di wilayah Wangi-wangi.
c. Mangrove
Balai TN Wakatobi (2010a) menyatakan bahwa ekosistem mangrove
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan atau keberlanjutan ekosistem
lainnya (fungsi ekologis) seperti penahan laju abrasi pantai, penahan laju
intrusi air laut, habitat beberapa organisme laut/pantai, seperti penyedia
oksigen, bahan bakar (ranting yang sudah mati/kering). Dahuri dkk. (1996)
juga mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem
pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain
mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan dan asuhan bagi
berbagai macam biota, penyedia nutrisi bagi biota perairan, penahan
abrasi, penyerap limbah, amukan angin taufan dan tsunami, pencegah
intrusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis penting
seperti penyedia kayu (mangrove yang sudah mati) serta pemanfaatan
daunnya sebagai bahan baku obat-obatan.
Kondisi habitat hutan mangrove di Kawasan TN Wakatobi secara
umum masih dalam kondisi baik, namun seiring dengan pergeseran waktu

78

secara perlahan terjadi penurunan luas dan kerusakan hutan mangrove.


Berdasarkan hasil monitoring diketahui bahwa peningkatan laju kerusakan
dan penurunan luasan hutan mangrove terjadi di lokasi hutan mangrove
yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sedangkan untuk lokasi
hutan mangrove yang jauh dari pemukiman dan pulau-pulau kecil yang
tidak berpenghuni relatif aman dan dalam kondisi sangat baik (BTNW,
2010a).
Jenis-jenis ancaman atau gangguan terhadap hutan mangrove yang
paling sering ditemukan adalah penebangan pohon
untuk

(1)

pengambilan

kayu

bakar,

(2)

yang digunakan

pembukaan

lahan

pemukiman/sarpras umum lainnya, (3) pembukaan jalur perhubungan laut


(sampan, kapal laut, dsb), (4) pengambilan bahan bangunan rumah.
Kegiatan diatas umumnya dilakukan oleh masyarakat setempat (BTNW,
2010a).
Data hasil monitoring mangrove Balai TNW menunjukkan bahwa
penyebaran hutan mangrove hanya terdapat di Pulau Wangi-Wangi,
Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau darawa dan sekitarnya,
Pulau Lintea Kaledupa,

Pulau Lintea Tomia, Pulau Hoga, Pulau

Runduma, Pulau Kentiole, Pulau Kapota, dan Pulau Moromaho. Pulau


Kaledupa memiliki kelimpahan dan distribusi hutan mangrove yang besar
dan padat dibandingkan pulau besar lainnya. Khusus untuk pulau WangiWangi, penyebaran lokasi hutan mangrove hanya terdapat di wilayah
pesisir Desa Waha, Desa Liya Mawi dan Desa Liya Togo. Lokasi

79

penyebaran di Pulau Kaledupa yaitu wilayah pesisir Desa Sombano,


Desa Mantigola, Desa Horuo, Desa Tampara, Desa Kasuari, Desa
Tanomeha, Desa Ollo, Kelurahan Buranga, Kelurahan Ambeua. Untuk
Pulau Tomia tersebar di Wilayah pesisir Desa Waitii Barat, Desa Waitii
Timur, Kelurahan Usuku. Sedangkan untuk Pulau Binongko hanya
tersebar di Wilayah Desa Sowa dan Desa Wali. Khusus untuk pulau-pulau
kecil yang memiliki hutan mangrove relatif tersebar di sebagian atau
beberapa titik pulau-pulau tersebut (BTNW, 2010a).
d. Burung Pantai / Laut
Balai TN Wakatobi (2010e) menyatakan bahwa salah satu
komponen penyusun ekosistem perairan laut adalah burung pantai/laut.
Keberadaan

burung

pantai

tersebut

mempunyai

peran

sebagai

penyeimbang ekosistem perairan. Karena burung perairan merupakan


salah satu komponen yang menyusun rantai makanan dalam ekosistem
perairan, maka jika populasinya banyak, dapat diindikasikan bahwa
ekosistem perairan tersebut masih baik dan begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, peran burung pantai/laut dalam suatu ekosistem
perairan adalah sebagai indikator kualitas ekosistem perairan.
Selanjutnya Balai TN Wakatobi (2010e) menyatakan bahwa
terdapat beberapa tipe habitat burung-burung pantai yang mendiami
pesisir pulau-pulau di Kawasan TNW diantaranya: pantai lumpur berbatu,
hutan pantai, perkebunan kelapa, semak belukar, hutan mangrove,
dengan vegetasi dominan seperti beringin (ficus benjamina), mangrove,

80

kelapa, semak belukar, putat (baringtonia sp). Habitat tersebut terutama


hutan mangrove yang juga merupakan salah satu target konservasi, tentu
perlu dijaga keberadaannya dari berbagai macam gangguan.
Berdasarkan hasil monitoring burung pantai yang dilaksanakan
tahun 2005-2012, di kawasan TN Wakatobi teridentifikasi 74 species
burung pantai/laut, dengan 14 species diantaranya berstatus dilindungi
berdasarkan PP No.7 tahun 1999.

Jumlah jenis species burung

cenderung lebih banyak dijumpai pada pengamatan pagi hari dan


terbanyak ditemukan di P. Ambeua.

Kepadatan burung tertinggi di

Ambeua adalah Trinil pantai dan kepinis Laut. Kepadatan burung tertinggi
di P. Hoga adalah Madu sriganti, selain itu ditemukan juga jenis endemik
yaitu Cabai Panggul Kelabu. Sedangkan kepadatan burung tertinggi di P.
Moromaho adalah jenis Sula sula yang banyak ditemukan di pagi hari
(BTNW, 2013a).
e. Cetacean
Salah satu target konservasi adalah cetacean, yaitu paus dan
lumba lumba. BTNW (2013a) menyatakan bahwa kawasan TNW sangat
kaya biota laut dan keanekaragaman hayati.

Paus dan lumba-lumba

sering dijumpai dan kawasan ini merupakan salah satu jalur migrasi yang
terbentang dari Philipina sampai ke Australia. Sampai saat ini tercatat ada
6 jenis paus yang terlihat di kawasan TNW yaitu Beaked whale, Blue
whale, Brydes whale, melonhead whale, Pilot whale dan Sperm whale.
Adapun jenis dolphin yang ditemukan ada 5 jenis, yaitu Bottlenose

81

dolphin, Spinner dolphin, Spotted dolphin, Risso dolphin dan dolphin


kepala bundar.
Keberadaan mamalia laut dapat dijadikan sebagai potensi wisata
baik oleh Balai TN Wakatobi maupun Pemerintah Kabupaten Wakatobi.
Namun memang masih perlu terus dikembangkan pengelolaannya,
khususnya monitoring sumber daya alam hayati tersebut. Selain sebagai
objek wisata, mamalia laut merupakan hewan yang dilindungi berdasarkan
PP No. 7 tahun 1999. Dengan demikian kedua pihak memiliki kewajiban
untuk menjaga kelestarian cetacean.
f.

Penyu
Penyu merupakan salah satu jenis satwa yang dilindungi, berdasarkan

berdasarkan PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan


dan Satwa, oleh karena itulah penyu ini merupakan salah satu target
konservasi. Balai TN Wakatobi (2010f) menyatakan bahwa di kawasan TN
Wakatobi terdapat dua jenis penyu yang sering terlihat dari enam jenis
penyu yang ada di Indonesia. Dua jenis penyu tersebut yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Dari kedua
jenis penyu ini, yang sering terlihat naik ke darat untuk menelurkan telurtelurnya adalah penyu hijau, sedangkan penyu sisik hanya sering terlihat
ketika berenang di dalam lautan. BTNW (2013a) menyatakan bahwa saat
ini telah diidentifikasi 5 lokasi pantai peneluran, yaitu : Pulau Moromaho,
Pulau Cowo-Cowo, Pulau Kentiole, Pulau Runduma dan Pulau Anano.

82

Ada beberapa gangguan terhadap keberadaan penyu yaitu pulaupulau habitat peneluruan penyu di Wakatobi diklaim sebagai lahan milik
masyarakat lokal, adanya perkebunan kelapa masyarakat di lokasi
peneluran penyu serta sebagai lokasi peristirahatan nelayan. Hal ini
mengakibatkan adanya pemanfaatan/penangkapan penyu oleh nelayan
lokal dan luar Wakatobi

baik untuk dijual maupun dikonsumsi. Erosi

pantai peneluran penyu serta pembangunan wilayah pesisir pantai juga


merupakan gangguan terhadap hewan ini (Fasa, 2012).
g. Tempat Pemijahan Ikan (SPAGS/Spawning Aggregations Sites)
Spawning Aggregations Sites atau Lokasi Pemijahan Ikan secara
umum dapat diartikan sebagai sekelompok ikan sejenis yang berkumpul
dengan tujuan untuk memijah, dengan kepadatan ikan atau jumlah yang
secara signifikan meningkat daripada yang ditemukan di area pemijahan
selama masa nonreproduktif (Domeier dan Colin, 1997 dalam BTNW,
2010c).
BTNW (2010c) menyatakan bahwa pada awalnya TN Wakatobi
mencatat

12

belas

spesies

(11

kerapu/serranidae

dan

napoleon/labridae) pada awal monitoring antara bulan September 2005


Mei 2006. Pemilihan 12 spesies tersebut didasarkan pada kelimpahan di
lokasi monitoring, kerentanannya terhadap penangkapan berlebihan serta
nilai ekonominya terutama dalam perdagangan internasional ikan-ikan
karang hidup.

83

Hasil pemantauan pada saat survey awal menunjukkan hanya 2


spesies, E. fuscogutattus dan P. areolatus yang bergerombol dalam
jumlah yang cukup banyak untuk bereproduksi sehingga keduanya dipilih
untuk pemantauan jangka panjang. E. polyphekdion juga dipilih untuk
pemantauan lanjutan karena kecenderungannya untuk bergerombol dan
berpijah bersama dengan P. areolatus dan E. fuscogutattus dimanapun
keduanya memijah (Hamilton dan Matawai, 2006 dalam BTNW 2010c).
Sedangkan Lutjanus bohar dipilih untuk dimonitor karena menunjukkan
jumlah dan aktifitas pemijahan yang cukup signifikan serta merupakan
salah satu target penangkapan ikan oleh nelayan lokal (BTNW, 2010c).
Sejak tahun 2009 pemantauan lokasi pemijahan ikan dilaksanakan
terhadap 4 (empat) spesies target, yaitu: lutjanus bohar (kakap merah),
Epinephelus fuscogutattus (kerapu macan), Plectropormus areolatus
(sunu hitam) dan Epinephelus polyphekadion (kerapu hitam). Ikan kerapu
merupakan target utama perdagangan ikan hidup untuk pasaran
internasional terutama hongkong. Ketiga jenis spesies: Epinephelus
fuscogutattus, Epinephelus polyphekadion dan Plectropomus areolatus
merupakan tiga spesies yang paling terancam dari penangkapan berlebih
(BTNW, 2010c). Berikut ini adalah peta dan tabel penjelasan lokasi
SPAGs di Wakatobi.

84

Gambar 6. Peta Lokasi Monitoring SPAGs (BTNW, 2013a)


Tabel 13. Deskripsi Lokasi SPAGs di Wakatobi
No
1.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama Site
Hoga Channel

Deskripsi Lokasi

Channel antara Pulau Hoga dengan Pulau


Kaledupa
Marimabuk
Patchreef di dekat desa Waha-Tomia
Table Coral City
Patchreef di dekat desa Lamanggau
Tomia
Pintu
masuk
Karang Pintu Masuk karang kaledupa bagian
kaledupa
selatan
Tanjung Binongko
Tanjung dekat desa Taipabu Binongko
Pintu Masuk Karang koko
Pintu masuk karang koko bagian selatan
Kentiole
Tanjung pulau kentiole bagian barat
Runduma
Tanjung di depan desa runduma
Anano
Sebelah utara pulau anano
Otiolo/Outer reef karang Tanjung bagian barat patchreef sebelah
kaledupa
barat karang kaledupa
Karang Kapota
Berada di Karang Kapota bagian selatan

Sumber: BTNW (2013a)

85

Selanjutnya BTNW (2013a) menyatakan bahwa hanya 4 lokasi yang


positif menjadi daerah pemijahan ikan yang dilakukan monitoring (2 lokasi
pemijahan kerapu dan 2 lokasi pemijahan kakap), yaitu Hoga Channel,
Table Coral City, Marimabuk dan Tanjung Runduma.

h. Ikan ekonomis penting


Ikan ekonomis penting/ikan karang merupakan sekumpulan ikan
yang berada di daerah tropis dan kehidupannya berkaitan erat dengan
terumbu karang. Ikan-ikan tersebut memanfaatkan terumbu karang secara
langsung maupun tidak langsung untuk kepentingan hidupnya. Tempat
hidup ikan karang dapat dilihat berdasarkan dua faktor, yaitu jenis substrat
dan kedalaman. Berdasarkan jenis substratnya, tempat hidup ikan karang
dibedakan menjadi 5 tempat, yaitu karang hidup, karang mati, pecahan
karang, pasir, dan karang lunak. Sedangkan menurut kedalamannya
tempat hidup ikan karang dibagi menjadi 3(tiga) tempat yaitu, dangkal (0-4
meter), sedang (5-19 meter), dan dalam (> 20 meter). Sebaran ikan
karang dalam perairan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain
kebiasaan/perilaku, tempat hidup/habitat, arus dan larva (BTNW, 2010d).
Selanjutnya Balai TN Wakatobi (2010d) menyatakan bahwa
berdasarkan Rapid Ecological Assessment (REA) tahun 2003 yang
dilakukan oleh tim dari WWF- Indonesia bekerja sama dengan
Taman Nasion a l

Wakatobi

Balai

ditemukan 590 jenis ikan di dalam

K awasan Taman Nasional Wakatobi.

Bukanlah suatu hal yang

86

mengherankan

jika di Kawasan Taman Nasional Wakatobi terdapat

begitu banyak jenis ikan karang, karena memang terumbu karang yang
terdapat di kawasan tersebut masih relatif

bagus dan kondusif sebagai

tempat berkembang biaknya ikan-ikan.


Pengelompokkan ikan karang menurut peranannya ada 3 (tiga) yaitu
ikan target, ikan indikator dan ikan lain (major family). Ikan target
merupakan target penangkapan atau lebih dikenal dengan ikan ekonomis
penting atau ikan konsumsi seperti : Serranidae, Lutjanidae, Kyphosidae,
Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae (Chelinus,
Hymigymnus, Choerodon) dan Haemulidae. Ikan Indikator adalah
kelompok ikan yang dijadikan sebagai indikator kesehatan terumbu
karang, ikan yang termasuk kategori ini yaitu ikan dari familli
Chaeotodontidae (Kepe-Kepe). Ikan lain (major family), merupakan ikan
yang berperan dalam rantai makanan, karena peran lainnya belum
diketahui, ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan
ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae,
Labridae, Apogonidae, dan lain-lain) (Terangi, 2004 dalam Balai TN
Wakatobi, 2010d).
Informan B2 menyatakan bahwa semua SDA yang dapat dikelola,
maka pada dasarnya dapat dikolaborasikan pengelolaannya. Hal ini
berarti bahwa SDA yang dikelola baik oleh Balai TN Wakatobi maupun
Pemerintah Kabupaten Wakatobi dapat dikelola secara kolaborasi. Berikut
adalah hasil wawancara dengan informan B2.

87

Semua sumber daya laut yang dapat dikelola merupakan anugerah


Tuhan yang menjadi andalan Kabupaten Wakatobi, kalau sumber
daya tersebut punah, maka Kabupaten Wakatobi akan kehilangan
potensi sumber dayanya. Oleh karena itu, sumber daya laut yang
dapat
dikelola,
pada
dasarnya
dapat
dikolaborasikan
pengelolaannya (Wawancara tanggal 7 Desember 2013)
Hal diatas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh informan B7
yang menyatakan bahwa:
Salah satu referensi terbentuknya Kabupaten Wakatobi adalah
Taman Nasional, oleh karena itu SDA yang menjadi target
konservasi Balai Taman Nasional maka sekaligus juga menjadi
target konservasi Pemerintah Kabupaten Wakatobi (Wawancara
tanggal 5 Desember 2013)
Sumber daya alam yang dikelola oleh Balai TN Wakatobi dan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Sumber Daya Alam Hayati yang dikelola oleh Balai TN
Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi
No.

Jenis Sumber
Daya Alam
Hayati

Pengelolaan oleh Balai TN


Wakatobi
(BTNW)

Terumbu Karang

Monitoring, Patroli Pengamanan


Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi,
Wisata

Lamun

Monitoring, Patroli Pengamanan


Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi

Mangrove

Burung
Pantai/Laut
Cetacean
(Mamalia
Laut/LumbaLumba , Paus)
Penyu

Monitoring, Patroli Pengamanan


Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi,
wisata
Monitoring, Patroli Pengamanan
Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi
Monitoring, Patroli Pengamanan
Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi

7
8

SPAGs (Tempat
Pemijahan Ikan)
Ikan Ekonomis
penting

Monitoring, Patroli Pengamanan


Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi
Monitoring, Patroli Pengamanan
Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi
Monitoring, Patroli Pengamanan
Kawasan, Penyuluhan/Sosialisasi

Pengelolaan oleh
Pemerintah Kabupaten
Wakatobi
Monitoring, Patroli
Pengamanan Kawasan,
Penyuluhan/Sosialisasi,
Wisata
Patroli Pengamanan
Kawasan,
Penyuluhan/Sosialisasi
Patroli Pengamanan
Kawasan,Penyuluhan/
Sosialisasi, wisata
Patroli Pengamanan
Kawasan
Patroli Pengamanan
Kawasan

Patroli Pengamanan
Kawasan, Penyuluhan/
Sosialisasi
Patroli Pengamanan
Kawasan
Patroli Pengamanan
Kawasan, Perijinan
Perikanan tangkap

88

Kegiatan konservasi baik berupa kegiatan perlindungan (seperti


patroli pengamanan kawasan maupun penyuluhan kepada masyarakat
tentang pentingnya menjaga SDAH), monitoring SDAH dan pemanfaatan
secara lestari (penelitian, wisata, pendidikan, dan lainnya) merupakan
kegiatan yang penting untuk menunjang pembangunan berkelanjutan,
kelestarian SDAH serta kesejahteraan masyarakat. Dalam pengelolaan
SDAH, Pemerintah Kabupaten Wakatobi khususnya DKP telah melakukan
kegiatan-kegiatan pengamanan dalam rangka melindungi 8 sumber daya
penting dari berbagai aktivitas yang merusak seperti illegal fishing dan
destructive fishing (sebagaimana disampaikan informan B2 dan B7).
Berikut adalah hasil wawancara dengan informan B2.
Kegiatan pengawasan sumber daya alam/kawasan dilakukan
dengan melibatkan instansi-instansi lain baik dari Balai Taman
Nasional, Polairud, lembaga-lembaga adat, koordinasi juga dengan
Kabupaten-kabupaten tetangga agar tidak ada masyarakat dari luar
Wakatobi yang merusak kawasan wakatobi. Kegiatan patroli
dilaksanakan secara beregu serta berdasarkan zona. Kegiatan
patroli terkadang dilaksanakan bersamaan dengan monitoring SDA.
Adapun untuk perikanan tangkap, sudah ada perda tentang
pengelolaannya. Saat ini pun akan dibentuk UPTD di pulau-pulau
besar seperti Kaledupa, Tomia dan Binongko untuk mengelola
kegiatan ini (Wawancara tanggal 7 Desember 2013).
Selanjutnya

informan

B7

menyatakan

beberapa

kegiatan

pengelolaan SDA sebagaimana yang disampaikannya sebagai berikut.


Untuk kegiatan perlindungan terhadap SDA, terdapat penjaga
pantai, namun masih kurang fasilitas pendukungnya. Berbeda
dengan polisi air, di DKP tidak ada yang dipersenjatai, oleh karena
itu perlu kolaborasi dengan pihak lain. Untuk kegiatan monitoring,
dulu tahun 2008-2011 Coremap setiap tahun melakukan monitoring
SDA bersama-sama dengan TNC (The Nature Conservancy) - WWF
(World Wild Fund for Nature) dan Taman Nasional juga, namun

89

sejak tahun 2012 sudah tidak ada monitoring oleh Coremap. Kalau di
DKP, saya lihat masih ada juga, dan seharusnya memang ada.
Untuk pemanfaatan lestari baik kegiatan penelitian maupun wisata
oleh pengunjung dari luar Wakatobi, belum ada acuan yang pas baik
di bandara maupun di pelabuhan, begitu juga di patuno resort dan di
Wakatobi Dive Resort, sehingga pengunjung belum terkontrol. Oleh
karena itu harus ada pintu masuk, baik di bandara maupun di
pelabuhan untuk melayani pengunjung. Daya tarik wisata dan
fasilitas pelayanan harus terjamin juga, kalau memang Wakatobi
mau eksklusif, maka pengunjung pun harus dieksklusifkan
BTNW (2008) menyatakan bahwa disamping

8 sumber daya

penting, di kawasan perairan Wakatobi terdapat beberapa jenis hewan


lain yang dilindungi yaitu ikan napoleon (Cheilinus undulatus), Kima
(Tridacna sp), Lola (Trochus sp) dan Ketam kelapa (Birgus latro).
Pengelolaan terhadap spesies tersebut masih terbatas pada kegiatan
pengamanan, sedangkan untuk kegiatan monitoring belum ada kegiatan
yang rutin dilakukan.
Pemerintah Kabupaten Wakatobi (2013b) menyatakan bahwa
upaya mengembangkan pola pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan Wakatobi yang lestari menjadi salah satu isu sentral nasional
maupun internasional dewasa ini. Dengan demikian, upaya untuk
mewujudkan Wakatobi sebagai kiblat dalam pemanfaatan, pelestarian dan
pengkajian

biodiversitas

laut

masih

menjadi

salah

satu

sasaran

pembangunan daerah untuk lima tahun kedepan. Adapun sumber daya


penting yang perlu dikelola sebagai modal pembangunan Kabupaten
Wakatobi yakni: (1) Terumbu karang, (2) Bakau (mangrove), (3) Daerah
pemijahan ikan (SPAGs), (4) Padang Lamun (Seagrass), (5) Tempat

90

bertelur burung pantai, (6) Daerah terlihatnya paus dan lumba-lumba


(cetacean) dan (7) Pantai Peneluran Penyu dan (8) Ikan Ekonomis
Penting.
Perda Kabupaten Wakatobi No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wakatobi tahun 2012-2032 pasal 4 poin
(5) menyatakan bahwa strategi perlindungan terhadap kawasan lindung
laut terdiri atas 1) mendukung penetapan kawasan Taman Nasional
Wakatobi, 2) menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi sistem ekologi wilayah dan 3) mempertahankan dan merehabilitasi
kawasan mangrove dan terumbu karang sebagai ekosistem esensial
pada kawasan pesisir

dan

laut

untuk

menjamin

terus

berlangsungnya reproduksi biota laut.


Adapun pada pasal 36 Perda No 12 tahun 2012, dinyatakan bahwa
kawasan strategis dari sudut fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
terdiri atas karang atol Kaledupa/Tomia, kawasan pelestarian Pulau
Moromaho dan kawasan pusat penelitian dan ilmu pengetahuan Pulau
Hoga. Perda ini merupakan salah satu bentuk kepedulian Pemerintah
Kabupaten Wakatobi dalam mengelola sumber daya alam hayati
khususnya sumber daya laut dan pesisir.
2. Sarana Pendukung Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati
Sarana

pendukung

merupakan

kebutuhan

dasar

dalam

pengelolaan sumber daya alam. Tanpa adanya peralatan yang cukup,


maka pengelolaan SDAH bisa kurang optimal. Ketersedian sarana

91

pendukung pengelolaan SDAH pada Balai TN Wakatobi dan Pemerintah


Kabupaten Wakatobi disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Ketersediaan Sarana Pendukung Pengelolaan SDAH pada
Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi
Jenis Sarana
Pendukung

Ketersediaan
Balai TN Wakatobi
SBTU/SPTN

Pemerintah Kabupaten Wakatobi

Jumlah (Unit)

Ket.

Jml (Unit)

Ket.

SPTN W II
SPTN W III

1
1
2

Rusak
Baik
Baik

DKP
BLH
Disbudpar

3
1
1

1 Rusak
Baik
Baik

2. Katinting

SBTU/SPTN

BLH

Baik

3. Bodybatang

SPTNW III

Baik

SKPD

2. Telepon

SPTNW I
SPTN W II
SPTN W III
SBTU

1
2
1

Rusak

SKPD

Baik
Baik

SKPD

Baik

3. Handy Talk
(HT)

SPTNW I
SPTN W III

5
6

Baik
5 Rusak

Dinas PKP2

10

Baik

4. SKRT

SBTU
SPTN W III

1
2

Baik
Rusak

3
8
9

Baik
Baik
Baik

1
1
-

Rusak
Baik

Baik

SKPD

Baik

Disbudpar

Sarana Transportasi
1. Speedboat SPTNW I

SKPD

Sarana Komunikasi
1. SSB

SKPD

DKP

DKP
Dinas PKP2

11
15

Sarana Diving/ Monitoring SDA


1. Alat Selam

SPTNW I
SPTN W II
SPTN W III

Sarana Penjagaan
1. Pos
penjagaan
SDA
2. Pesawat
Trike Aquilla

SPTN W I
SPTN W II
SPTN W III
SPTN W I

Baik
Baik

Sarana Pengelolaan Pengunjung


1 (aula
Baik
wisata)
Sumber: analisis data Balai TN Wakatobi dan SKPD terkait (data lengkap disajikan pada lampiran 7)
Keterangan: SBTU : Sub Bagian Tata Usaha, SPTN : Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah, SKPD :
Satuan Kerja Perangkat Daerah (6 SKPD Kabupaten Wakatobi terkait pengelolaan SDAH), DKP
: Dinas Kelautan dan Perikanan, Disbudpar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas PKP2:
Dinas Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Peternakan, Dinas TRKP3K: Dinas Tata Ruang,
Kebersihan, Pertamanan, Pemakaman dan Pemadam Kebakaran, Bappeda: Badan Perencanaan
Pembangunan, Penanaman Modal, Penelitian dan Pengembangan Daerah

1. Pusat
Pengunjung

SPTNW II

Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui bahwa sarana transportasi


yang dimiliki oleh kedua pihak terdiri dari speedboat, katinting dan

92

bodybatang. Ketiga alat inilah yang dapat digunakan dalam rangka


pengelolaan SDAH secara lestari baik upaya perlindungan (patroli
pengamanan, penanganan kasus, maupun penyuluhan/sosialisasi ke
desa-desa yang perlu dijangkau dengan transportasi laut), pengawetan
(identifikasi/monitoring 8 sumber daya penting), maupun pemanfaatan
secara lestari (yaitu memfasilitasi pengunjung baik untuk berwisata
maupun melaksanakan aktivitas lainnya). Begitu juga dengan sarana
lainnya

baik

pengelolaan

sarana

komunikasi,

pengunjung,

sarana

merupakan

diving,

sarana

maupun

sarana

pendukung

dalam

pengelolaan SDAH.
3. Sumber Daya Manusia pada Balai TN Wakatobi dan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi.
SDM merupakan salah satu unsur pembangunan yang sangat
menentukan keberhasilan dari suatu pengelolaan. Dalam pengelolaan
sumber daya alam hayati secara lestari tentunya membutuhkan SDM
yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun demikian
keterbatasan

SDM

pada

suatu

instansi

pemerintah

merupakan

permasalahan yang selalu ada dan perlu terus dicarikan solusinya baik
melalui peningkatan kapasitas, rekruitmen pegawai baru dan bahkan
berkolaborasi dengan pihak lain untuk mencapai tujuan pengelolaan.
Jumlah pegawai Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi khususnya SKPD yang terkait dengan pengelolan SDAH secara
lestari disajikan pada Tabel 16.

93

Tabel 16. Jumlah Pegawai Balai


Kabupaten Wakatobi
No

Balai TN Wakatobi
SBTU/SPTN

1
2
3
4
5
6

SBTU
SPTNW I
SPTNW II
SPTNW III
BKO di Balai Besar
KSDA Sulsel
-

Jumlah (Orang)
31
16
14
15
10

TN

Wakatobi

dan

Pemerintah

Pemerintah Kabupaten Wakatobi


SKPD

Jumlah (Orang)

DKP
BLH
Disparbud
Dinas PKP2
Dinas TRKP3K
Bappeda

Total
86
Total
Keterangan: data lengkap disajikan pada lampiran 8

35
18
26
42
20
20

151

Untuk mengelola kawasan seluas 1,39 juta ha, Balai TN Wakatobi


dengan jumlah pegawai 86 orang masih jauh dari kondisi ideal. Hal ini
merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya, diantaranya
melalui kolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Wakatobi. Hal tersebut
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh informan A1 yaitu:
Kondisi sumber daya manusia masih kurang, baik non struktural,
polhut, pengendali ekosistem hutan, maupun tenaga penyuluh masih
belum memadai untuk mengelola kawasan yang sangat luas
(Wawancara tanggal 27 Desember 2013)
Informan A5 juga menyatakan bahwa kondisi SDM Balai TN
Wakatobi masih sangat terbatas. Berikut hasil wawancara dengan
informan A5.
Kondisi SDM masih sangat terbatas, setiap SPTN belum memiliki
staf perencanaan namun lebih banyak petugas fungsional (polhut).
Jumlah polhut pun masih kurang dari standar, yaitu minimal terdapat
60 orang dan maksimal 85 orang pada suatu Balai Taman Nasional
(Wawancara tanggal 26 Desember 2013).
Dengan demikian, kondisi SDM Balai TN Wakatobi masih sangat
terbatas. Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada kurang efektifnya
pengelolaan kawasan TN Wakatobi yang luasnya 1,39 juta hektar,

94

sehingga

perlu

berkolaborasi dengan

Pemerintah

Daerah (SKPD

pengelola SDAH).
Informan B2 menyatakan kondisi pengawas SDA di DKP sebagai
berikut:
Pengawas yang berstatus PNS hanya ada 4 orang sedangkan yang
lainnya adalah pegawai kontrak dengan jumlah 30 orang. Tenaga
penunjang ini belum memadai dan belum dapat dimaksimalkan
dalam menjaga kawasan yang begitu luas (Wawancara tanggal 7
Desember 2013)
Dinas Kelautan dan Perikanan memiliki 30 orang pegawai kontrak
sebagai penjaga pantai yang memiliki peran sangat penting dalam
mengamankan SDA. Jika terlihat adanya kegiatan illegal fishing maupun
destructive fishing,

mereka akan melaporkan kepada pihak yang

berwenang.

4. Sumber Daya Finansial Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati


a. Sumber Daya Finansial Balai TN Wakatobi dalam Pengelolaan
SDAH Secara Lestari
Dana pengelolaan SDAH pada Balai TN Wakatobi bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengelolaan SDAH
merupakan
(penanganan

upaya

konservasi

kasus,

patroli

yang

meliputi

pengamanan,

aspek

perlindungan

maupun

penyuluhan),

pengawetan (identifikasi, inventarisasi dan monitoring SDA, restorasi


ekosistem) dan pemanfaatan secara lestari SDAH (pengelolaan wisata
seperti Model Desa Konservasi, serta pendidikan konservasi). Pendanaan

95

kegiatan pengelolaan SDAH secara lestari oleh Balai TN Wakatobi tahun


2012 disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Anggaran Pengelolaan SDAH oleh Balai TN Wakatobi Tahun
2012
Aspek
Konservasi
Perlindungan
Pengawetan
Pemanfaatan
secara
Lestari

Jenis Kegiatan

Anggaran
Tahun 2012

Penanganan Kasus Tindak pidana kehutanan


Latihan Rutin Menembak
Pengamanan kawasan
Perkembangan
Spesies
terancam
punah
(Identifikasi, Inventarisasi, Monitoring SDAH)
Pengembangan dan pemanfaatan wisata alam
Model desa Konservasi
Pembentukan/Pembinaan kader Konservasi dan
Kelompok Pecinta Alam
Pelaporan PNBP Pengusahaan Pariwisata Alam

Jumlah

66.000.000
62.635.000
405.965.000
570.053.000
397.189.000
454.200.000
231.785.000
8.760.000
2.196.587.000

Sumber: Balai TN Wakatobi (2012a)

b. Sumber Daya Finansial Pemerintah Kabupaten Wakatobi


Dalam pengelolaan SDAH secara lestari Pemerintah Kabupaten
Wakatobi telah melaksanakan beberapa program pada Tahun 2012.
Realisasi anggaran Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam pengelolaan
SDAH Secara Lestari disajikan pada tabel 18.
Tabel 18. Realisasi Anggaran Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
Pengelolaan SDAH Secara Lestari Tahun 2012
Aspek
Konservasi
Perlindungan

Program Pengelolaan SDAH

Realisasi Anggaran
(Rupiah)

Program Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengawasan


dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan

297.377.000

Program Peningkatan Kesadaran dan Penegakan Hukum


Dalam Pendayagunaan Sumberdaya Laut

878.337.500

Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya


Hutan

270.775.000

Program Pengendalian. Pencemaran dan Perusakan LH

149.473.000

Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam

540.600.000

Program Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

74.250.000

96

Lanjutan Tabel 18
Aspek
Konservasi
Pengawetan
Pemanfaatan
Secara lestari

Realisasi Anggaran
(Rupiah)

Program Pengelolaan SDAH


Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir
Laut

135.000.000

Program Pengembangan Budidaya Perikanan

515.452.317

Program Pengembangan Perikanan Tangkap

1.069.514.000

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan


dan Perikanan
Program Bina Usaha dan Pemasaran Produk dan
Komoditas Unggulan
Program Pengembangan Data Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan
Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan PulauPulau Kecil
Program Penelitian dan Pengembangan IPTEK Kelautan
dan Perikanan

96.769.400
772.346.997
47.275.000
60.000.000
48.834.364

Program Dukungan Sail Morotai

40.000.000

Program Pengembangan Produksi dan Pengolahan Hasil


Perikanan

258.561.750

Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA


dan LH

31.470.000

Program Pengembangan Ekowisata dan Jasa Lingkungan


di Kawasan-Kawasan Konservasi Laut dan Hutan
Program Perencanaan Wilayah dan Sumber Daya Alam

35.000.000
39.459.400

Program Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi


Investasi
Program Peningkatan Promosi dan Kerjasama Investasi

89.430.000

Program Peningkatan Penelitian dan Pengembangan


Daerah
Program Pengembangan Data/Informasi

282.150.000

42.975.000

69.850.000

Program Pengembangan pemasaran pariwisata

1.546.996.400

Program Pengembangan Destinasi Pariwisata

562.976.509

Jumlah

7.954.873.637

Sumber : DKP (2013) , LAKIP (BLH, 2013a), Bappeda (2013a), Pemerintah Kabupaten Wakatobi (2013c)

Berdasarkan tabel 17 dan

tabel 18 dapat diketahui bahwa pada

tahun 2012, anggaran Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten


Wakatobi

dalam

pengelolaan

SDAH

secara

lestari

mencapai

Rp.10.151.460.637. Tabel 19 adalah perbandingan anggaran kedua pihak


dalam pengelolaan SDAH secara lestari pada ketiga aspek konservasi.

97

Tabel 19.

Perbandingan Anggaran Balai TN Wakatobi dan Pemerintah


Kabupaten Wakatobi dalam Pengelolaan SDAH Secara
Lestari

Aspek
Konservasi
Perlindungan
Pengawetan
Pemanfaatan
secara lestari

Balai TN Wakatobi
Jumlah
534.600.000
570.053.000
1.091.934.000

%
24,34
25,95
49,71

Pemerintah Kabupaten
Wakatobi
Jumlah
%
2.210.812.500
27,79
135.000.000
1,70
5.609.061.137
70,51

Dapat diketahui bahwa aspek pemanfaatan secara lestari pada


kedua pihak memiliki porsi alokasi anggaran yang lebih besar,
dibandingkan dengan aspek perlindungan dan pengawetan. Konservasi
sendiri merupakan wujud dari pembangunan berkelanjutan, dimana dalam
pemanfaatan secara lestari SDAH dimanfaatkan baik untuk kegiatan
promosi wisata, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, pengembangan perikanan tangkap dan budidaya, serta
pemberdayaan masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah untuk
menunjang baik kesejahteraan masyarakat, pembangunan daerah dan
nasional (PAD/PNBP).
5. Permasalahan Sumber Daya (SDA, SDM dan Finansial)
a. Permasalahan Sumber Daya Alam
Pemerintah Kabupaten Wakatobi (2013b) menyatakan bahwa
pengelolaan sektor kelautan dan perikanan masih banyak menghadapi
kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan bagi
sumber pendapatan negara serta mengoptimalkan fungsi laut sebagai
sistem penyangga kehidupan dan kekayaan plasma nuftah. Masih

98

terdapatnya praktek IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported fishing


practices) dan destructive fishing merupakan salah satu kendala utama
yang dihadapi saat ini. Illegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal
nelayan Wakatobi dengan atau tanpa ijin maupun oleh kapal-kapal asing
di perairan Taman Nasional Wakatobi (TNW), tentu menyebabkan
hilangnya sumber daya ikan di kawasan ini. Upaya pengendalian dan
pengawasan illegal fishing masih belum optimal, akibat kurangnya sarana
dan prasarana pengawasan serta dukungan operasionalnya. Sementara
itu, penangkapan ikan yang merusak lingkungan seperti penggunaan
bahan peledak dan racun (potasium) masih banyak terjadi, yang dipicu
oleh meningkatnya permintaan ikan karang dari luar daerah dengan harga
yang cukup tinggi. Kegiatan ini menyebabkan rusaknya ekosistem
terumbu karang yang merupakan habitat ikan yang sangat penting.
Berbagai kasus illegal fishing selama ini, modus operandi pelanggaran
yang dilakukan oleh kapal nelayan dari luar daerah antara lain
pelanggaran tanpa dokumen izin, menyalahi daerah tangkapan (fishing
ground), menyalahi ketentuan alat tangkap, pemindahan hasil tangkapan
(transhipment) di laut, pemalsuan dokumen dan manipulasi informasi hasil
tangkapan atau ikan yang diangkut.
Selanjutnya Pemerintah Kabupaten Wakatobi (2013b) menyatakan
bahwa habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak sehingga
menyebabkan menurunnya ketersediaan sumber daya plasma nutfah dan
meluasnya abrasi pantai. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir

99

dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti


pantai Pulau Wangi-Wangi dan pantai Pulau Kapota. Rusaknya habitat
ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove serta terjadinya
degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun berpotensi
mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati
(biodiversity).

Permasalahan lainnya adalah pengembangan budidaya

perikanan dan penangkapan ikan di laut dalam masih menemui berbagai


kendala. Pada saat ini budidaya perikanan/kelautan yang sudah cukup
maksimal dikembangkan oleh masyarakat adalah budidaya rumput laut.
Sedangkan budidaya komoditi perikanan lainnya masih dalam tahap
pembesaran dalam skala kecil.
Permasalahan sumber daya alam hayati di Wakatobi secara umum
hampir sama menurut beberapa informan yaitu masih terdapatnya illegal
fishing, destructive fishing, serta aktivitas yang merusak. Informan A1
berdasarkan hasil wawancara tanggal 27 Desember 2013, menyatakan
tentang permasalahan SDAH sebagai berikut:
Permasalahan sumber daya alam sampai saat ini masih terjadi
illegal fishing, destructive fishing yaitu penggunaan bom atau bius,
bahkan penambangan pasir pun masih terjadi. Ini permasalahan
yang perlu dipecahkan secara bersama-sama dengan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi agar solusi terbaik dapat diputuskan secara
bersama-sama
Menurut Informan B1, berdasarkan hasil wawancara tanggal 22
Desember 2013,
berikut :

permasalahan sumber daya alam adalah sebagai

100

Permasalahan terhadap SDA di Wakatobi yaitu masih terdapatnya


illegal fishing, meskipun sudah banyak yang ditangkap. Mereka
banyak yang menggunakan bom ataupun bius. Pemanfaatan penyu
serta pemanfaatan ikan-ikan yang dilindungi juga masih terjadi
Adanya berbagai permasalahan seperti illegal fishing, destructive
fishing

(pemboman

dan

bius),

penambangan

pasir

merupakan

permasalahan yang perlu dipecahkan secara bersama-sama antara Balai


TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi. Dengan adanya
kolaborasi

khususnya

diharapkan

dapat

dalam

perencanaan

diimplementasikan

pengelolaan

baik

dalam

SDAH,
bentuk

pengamanan/patroli dan monitoring SDA secara bersama-sama, sehingga


frekuensi kegiatan akan menjadi lebih tinggi dan dapat mengurangi
berbagai permasalahan yang ada.
b.

Permasalahan Sumber Daya Manusia


Keterbatasan kapasitas SDM maupun sarana dan prasarana

pengelolaan

khususnya

yang

mendukung

kegiatan

pengamanan

kawasan, monitoring sumber daya penting maupun untuk mendukung


kegiatan operasional perkantoran menyebabkan belum optimalnya
implementasi kebijakan pengelolaan berbasis resort (BTNW, 2010g).
Keterbatasan jumlah pegawai Balai TN Wakatobi menjadi salah satu
kendala dalam efektifitas pengelolaan kawasan TN Wakatobi. Pada tahun
2012, Balai TN Wakatobi kekurangan pegawai sebanyak 59 pegawai
untuk mencapai formasi ideal sejumlah 128 orang (di luar tenaga upah)
(BTNW, 2013b). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan informan A1:

101

Kondisi sumber daya manusia masih kurang, baik non struktural,


polhut, pengendali ekosistem hutan, maupun tenaga penyuluh masih
belum memadai untuk mengelola kawasan Wakatobi yang sangat
luas (Wawancara tanggal 27 Desember 2013).
Informan A2 juga menyatakan bahwa secara umum kondisi SDM
Balai TNW masih kurang, sebagai mana beliau sampaikan sebagai
berikut:
Memang idealnya 1 orang polhut menjaga 2 ha, kawasan yang perlu
dijaga secara intensif memang tidak sepenuhnya 100 %, tapi
difokuskan pada zona inti, zona perlindungan bahari dan zona
pariwisata. Namun penjagaan zona lainnya pun tetap perlu dijaga
karena memang destructive fishing dan aktivitas lain yang merusak
bisa terjadi di zona manapun. Dengan adanya BKO Satuan Polisi
Hutan Reaksi Cepat (SPORC) ke Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA Provinsi Sultra dan BBKSDA Sulsel), maka kondisi
SDM secara umum masih kurang
Informan B2 menyatakan bahwa tenaga pengawas perikanan sangat
belum memadai, sebagaimana yang beliau sampaikan sebagai berikut:
Pengawas yang berstatus PNS hanya ada 4 orang sedangkan yang
lainnya adalah pegawai kontrak dengan jumla 30 orang. Tenaga
penunjang ini belum memadai dan belum dapat dimaksimalkan
dalam menjaga kawasan yang begitu luas (Wawancara tanggal 7
Desember 2013)
Informan B4 juga menyatakan bahwa kondisi SDM khususnya di
BLH masih minim. Berikut adalah hasil wawancara dengan informan B4:
SDM di BLH ini masih banyak kekurangan baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Misalnya pengawas lingkungan hidup dan PPNS
BLH hingga saat ini belum ada orangnya (Wawancara tanggal 7
desember 2013)
Informan B1 pun menyatakan bahwa perlunya peningkatan SDM dari
kedua pihak. Berikut adalah hasil wawancara dengan infoman B1:

102

SDM pada kedua pihak masih perlu peningkatan, khususnya


aparatur. Saat ini Pemerintah Kabupaten Wakatobi melaksanakan
pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas, diantaranya
perencanaan berbasis fakta lingkungan. Kegiatan ini dilakukan untuk
kepala SKPD, Sekretaris, kepala bidang, bahkan kasubid.
Kedepannya akan dilakukan untuk staf juga (Wawancara tanggal 22
Desember 2014)
c. Permasalahan Sumber Daya Finansial
Anggaran di Balai TN Wakatobi masih dianggap belum mencover
semua kebutuhan yang diperlukan. Informan A6 menyatakan sebagai
berikut:
Anggaran untuk pengelolaan sumber daya alam hayati di TN
Wakatobi masih belum bisa mengcover semua kebutuhan yang
diperlukan. Jika ada pengelolaan bersama dengan Pemerintah
Kabupaten Wakatobi dalam pengelolaan sumber daya alam di TN
Wakatobi, diharapkan lebih baik dan optimal (Wawancara, 27
Desember 2013).
Dari

Pihak

Pemerintah

Kabupaten

Wakatobi,

informan

B4

menyatakan bahwa pendanaan pengelolaan SDA masih kurang. Berikut


adalah hasil wawancara dengan informan B4.
Dalam pengelolaan SDA masih kurang dana, belum semua sumber
daya penting dapat dimonitor karena keterbatasan dana. Dalam
penilaian AMDAL pun memang ada DAK, namun terbatas. Untuk
penilaian AMDAL terkadang ada bantuan fisik juga dari swasta dan
lembaga-lembaga adat (Wawancara tanggal 7 Desember 2013).
Adanya keterbatasan sumber daya finansial tentu mengakibatkan
kegiatan pengelolaan SDAH belum optimal, sebagaimana BLH belum
mampu memonitor semua sumber daya yang ada. Begitu juga dengan
Balai Taman Nasional belum dapat melaksanakan pengelolaan SDAH

103

secara lebih optimal. Oleh karena itu kolaborasi antara kedua pihak tentu
dapat menjadi salah satu alternatif solusi terhadap keterbatasan yang ada.
6. Kondisi Organisasi Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi
a. Balai Taman Nasional Wakatobi
Balai Taman Nasional Wakatobi merupakan Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) Kementerian Kehutanan. Diawal pembentukannya, sebelum
ditetapkan sebagai Balai TNW terlebih dahulu ditetapkan sebagai Unit
Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), yaitu setingkat eselon IV.a
berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kehutanan

No.

185/Kpts-II/1997.

Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/KptsII/2002, ditingkatkan statusnya menjadi Balai TNKW setingkat Eselon III.a,
dipimpin

oleh

Kepala

Balai

yang

keberadaannya

dibawah

dan

bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal PHKA dengan tugas


melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam
rangka

konservasi

sumber

daya

alam

hayati

dan

ekosistemnya

berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Kemudian nama


Taman Nasional Kepulauan Wakatobi diubah menjadi Taman Nasional
Wakatobi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.29/MenhutII/2006 (BTNW, 2008).
Pembentukan Seksi Pengelolaan TN Wakatobi berdasarkan surat
Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA No. S. 2252/IV-Sek/HO.3/2006
tanggal 14 Desember 2006 tentang Penataan UPT Ditjen PHKA dimana

104

TN Wakatobi termasuk Kelas II Tipe A terdiri dari 1. Subbagian Tata


Usaha dan 3 SPTNW (BTNW, 2013a). Gambar 7 adalah struktur
Organisasi Balai TN Wakatobi.

Gambar 7.

Organisasi
Balai
Taman
Nasional
Wakatobi
Berdasarkan Permenhut No. P.03/Menhut-II/2007 (BTNW,
2013a)

Kantor Balai berada di Kodya Bau-Bau Sulawesi Tenggara. Adapun


kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) berada di Wakatobi
dengan rincian sebagai berikut:
1. SPTN Wilayah I di Wanci / Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi
2. SPTN Wilayah II di Ambeua / Kaledupa Kabupaten Wakatobi
3. SPTN Wilayah III di Waha / Tomia Kabupaten Wakatobi
Dengan adanya kantor seksi di setiap pulau besar yang ada di
Wakatobi, yang merupakan lokasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan
sumber daya alam hayati, maka potensi untuk kolaborasi dengan
Pemerintah Kabupaten Wakatobi khususnya SKPD terkait, akan lebih

105

mudah dilaksanakan. Namun demikian Balai TN Wakatobi yang hanya


memiliki 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) di 4 Pulau Besar
yang ada di Wakatobi, masih perlu dikembangkan, dimana SPTN Wilayah
III Tomia dan Binongko dapat dijadikan 2 SPTN, dengan demikian beban
kerja SPTN Wilayah III tersebut dapat sebanding dengan SPTN Wilayah I
dan II. Hal ini pun sejalan dengan apa yang disampaikan informan A1
(berdasarkan hasil wawancara tanggal 27 Desember 2013):
Balai TN Wakatobi memiliki 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional
(SPTN) yang berada di Wangi-Wangi (SPTN Wilayah I), Kaledupa
(SPTN Wilayah II) dan Tomia-Binongko (SPTN-Wilayah III). Khusus
untuk SPTN Wilayah III yang wilayahnya meliputi dua pulau besar,
maka dapat dikembangkan menjadi dua SPTN agar pengelolaan
SDAH dapat lebih efektif.

b. Kondisi Organisasi Pemerintah Kabupaten Wakatobi


Pemerintah Kabupaten Wakatobi berkedudukan

di Provinsi

Sulawesi Tenggara yang dikepalai oleh Bupati. Adapun Organisasi yang


terkait dalam pengelolaan sumber daya alam hayati adalah:
(1) Badan
Perencanaan
Pembangunan,
Penanaman
Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda)

Modal,

Bappeda Kabupaten Wakatobi dibentuk berdasarkan Peraturan


Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Inspektorat, Bappeda, Penanaman Modal dan Lembaga Teknis Daerah
Kabupaten Wakatobi yang ditindak lanjuti oleh Peraturan Bupati Wakatobi
Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata
Kerja

Bappeda

Kabupaten

Wakatobi.

Sebagai

unsur

perencana

106

penyelenggaraan pemerintahan daerah, Bappeda dipimpin oleh seorang


Kepala Badan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada
Bupati melalui Sekretaris Daerah

Kabupaten Wakatobi. Bappeda

mempunyai fungsi sebagai berikut:


1) Perumusan kebijakan teknis perencanaan pembangunan, penanaman
modal, penelitian dan pengembangan daerah.
2) Pengkoordinasian

penyusunan

perencanaan

pembangunan,

penanaman modal, penelitian dan pengembangan daerah.


3) Pembinaan, pelayanan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan
pembangunan, penanaman modal, penelitian dan pengembangan
daerah.
4) Pengkoordinasian pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah
(Bappeda Kabupaten Wakatobi, 2012).
(2)

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi


Dinas inilah yang memiliki tugas pokok mengelola sumber daya

kelautan dan perikanan dan memiliki peran yang penting dalam


pengelolaan sumber daya alam hayati secara lestari yang ada di
Wakatobi. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi dari Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) adalah sebagai berikut (DKP Kabupaten Wakatobi,
2012):
1) Kesekretariatan. Kesekretariatan di Kepalai oleh sekretaris

untuk

menyelenggarakan sebagian tugas dinas yang meliputi urusan umum

107

dan kepegawaian, keuangan dan perlengkapan serta program,


evaluasi dan pelaporan.
2) Bidang Pengembangan Perikanan. Bidang ini berfungsi untuk
menyelenggarakan sebagian tugas dinas yang meliputi urusan
budidaya dan perikanan tangkap.
3) Bidang Bina Usaha dan Pemasaran. Bidang ini berfungsi untuk
menyelenggarakan Sebagian tugas dinas dalam penyelenggaraan
kegiatan

pembinaaan

terhadap

usaha-usaha

kecil

menengah

termasuk pemasaran komoditas serta pemberdayaan masyarakat.


4) Bidang Konservasi dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan. Bidang
ini berfungsi untuk menyelenggarakan sebagian tugas dinas dalam
penyelenggaraan kegiatan konservasi dan tata ruang wilayah laut
serta pengawasan dan pengendalian terhadap sumber daya kelautan.
5) Jabatan Fungsional. Bidang ini berfungsi sebagai tenaga fungsional
yang

membantu

Dinas

Kelautan

dan

Perikanan

dalam

penyelenggaraan kegiatan pembinaan masyarakat dilapangan, serta


pelaksanaan tugas lainnya yang relevan dari Bupati.
(3) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata merupakan unsur pelaksana
Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas. Dinas ini
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati serta mempunyai
tugas melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah dalam rangka
pelaksanaan tugas desentralisasi di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.

108

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi dibentuk


berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Disbudpar, Penanaman Modal dan
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Wakatobi yang ditindak lanjuti oleh
Peraturan Bupati Wakatobi Nomor 7 Tahun 2009 tentang Kedudukan,
Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Disbudpar Kabupaten Wakatobi
(Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi, 2012).
Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
memiliki fungsi sebagai berikut:
b. Perumusan kebijakan teknis operasional di bidang kebudayaan dan
pariwisata.
c.

Pemberian bimbingan, pembinaan dan pengembangan di bidang


kebudayaan dan pariwisata.

d. Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum.


e. Pengelolaan urusan ketatausahaan dinas.
f.

Pemantauan dan pengendalian penyelenggaraan urusan kebudayaan


dan pariwisata atas dasar tugas pokok dinas sesuai dengan kebijakan
yang ditetapkan oleh Bupati.

g. Pembinaan terhadap UPTD dan kelompok jabatan fungsional.


h. Pelaksanaan

tugas

lain

yang

diberikan

oleh

Bupati

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi, 2012).

(Dinas

109

(4) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi


Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi dibentuk dengan
Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Inspekotrat, Bappeda, Penanaman Modal, Penelitian dan
Pengembangan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten
Wakatobi. Tugas pokoknya BLH adalah untuk melaksanakan sebagian
tugas Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan yang bersifat spesifik di bidang lingkungan hidup (BLH
Kabupaten Wakatobi, 2012a).
Untuk menyelenggarakan tugas-tugasnya, Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Wakatobi mempunyai fungsi antara lain:
1) Perumusan kebijakan teknis di bidang lingkungan hidup.
2) Pemberian dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
pengendalian dan pelestarian lingkungan hidup.
3) Pengkoordinasian, pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang
lingkungan hidup.
4) Pelaksanaan

dan

pengkoordinasian

kegiatan

pengawasan,

pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup dan pelestariannya.


5) Pelaksanaan dan pegkoordinasian AMDAL, pemberian rekomendasi ijin
kelayakan lingkungan terhadap jenis usaha dan atau kegiatan
eksploitasi SDA berdasarkan kriteria kelayakan lingkungan (BLH
Kabupaten Wakatobi, 2012).

110

(5) Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan (PKP2)


Dinas ini khususnya bidang kehutanan merupakan SKPD yang
berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove. Oleh karena itu
SKPD ini merupakan salah satu SKPD yang dapat berkolaborasi dengan
Balai Taman Nasional Wakatobi.
Dinas

Pertanian,

Kehutanan,

Perkebunan

dan

Peternakan

Kabupaten Wakatobi dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten


Wakatobi Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja

Perangkat Daerah (Dinas PKP2, 2013). Dinas PKP2

mempunyai fungsi:
1. Perumusan kebijakan teknis di bidang Pertanian, Kehutanan,
Perkebunan dan Peternakan;
2. Pelaksanaan urusan pemerintahan Daerah dan pelayanan umum
dibidang Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan;
3. Pembinaan UPTD dan kelompok jabatan fungsional;
4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya.
(6) Dinas Tata Ruang, Kebersihan, Pertamanan, Pemakaman dan
Pemadam kebakaran (TRKP3K)
Dinas ini berperan dalam menyusun tata ruang wilayah di Wakatobi.
Zonasi Taman Nasional merupakan penataan ruang yang dilakukan oleh
Balai TN Wakatobi. Secara teknis dinas inilah yang memiliki kemampuan
menyusun tata ruang, termasuk mengakomodir zonasi TN Wakatobi
kedalam RTRW Kabupaten Wakatobi. Dengan demikian, dinas ini

111

mempunyai

peran

bagaimana

mengendalikan

pemanfaatan

ruang

khususnya di perairan. Oleh karena itulah dinas ini mempunyai peran


dalam pengelolaan SDAH secara lestari.
Dinas Tata Ruang KP3K (2012) menyatakan bahwa dinas ini
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 5
Tahun 2008 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah
Kabupaten Wakatobi. Dinas Tata Ruang dan KP3K Kabupaten Wakatobi
mempunyai fungsi:
1. Merumuskan kebijakan teknis di bidang penataan ruang, penataan
bangunan, pengelolaan kebersihan, pertamanan dan pemakaman
serta pencegahan dan pengendalian ancaman bahaya kebakaran;
2. Pemberian

pelayanan

perizinan

dan

pelayanan

umum

penyelenggaraan pemerintah kabupaten yang terkait penataan ruang,


penataan bangunan, pengelolaan kebersihan, pemakaman dan
pencegahan dan pengendalian ancaman bahaya kebakaran;
3. Pengelolaan urusan kesekretariatan;
4. Pembinaan kelompok jabatan fungsional; dan
5. Pelaksanaan fungsi lain yang ditugaskan oleh Bupati.
7. Norma Pengelolaan SDAH Secara Lestari
a. Aturan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Kawasan
Konservasi
Secara umum, undang-undang yang berlaku dalam pengelolaan
sumber daya alam hayati di Kawasan Konservasi Laut (Khususnya di
Taman Nasional Wakatobi) yaitu sebagaimana disajikan pada tabel 20.

112

Tabel 20. Undang-Undang yang Berlaku Pada Taman Nasional dan


Pemerintah Kabupaten Wakatobi
Balai TN Wakatobi
-

Undang-Undang No. 5
tahun
1990
tentang
Konservasi Sumber Daya
Alam
Hayati
dan
Ekosistemnya
(Kewenangan ada di
Balai TN Wakatobi)

Pemerintah Kabupaten Wakatobi


-

Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil (Kewenangan ada di Dinas Kelautan dan
Perikanan)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Kewenangan ada di Dinas Kelautan dan Perikanan)
UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan UU 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Kewenangan ada di Dinas Kelautan dan
Perikanan)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) (Kewenangan ada di Badan
Lingkungan Hidup)

(1) Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Dalam pengelolaan sumber daya alam baik flora dan fauna perlu
berdasarkan prinsip-prinsip konservasi. Berdasarkan UU ini (Pasal 5),
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan:

perlindungan

sistem

penyangga

kehidupan;

pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;


pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1990 menjelaskan tentang larangan
kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak
atau tanpa ijin khususnya untuk tumbuhan-tumbuhan yang dilindungi.
Pasal 33 UU No. 5 Tahun 1990 juga mengatur tentang dilarangnya
kegiatan-kegiatan yang merusak di Kawasan Konservasi. Berikut adalah
larangan pasal 33 yang dimaksud:
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
nasional; (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) Setiap
orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi

113

zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan
raya, dan taman wisata alam.
(2)

Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir


dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang ini mengatur tentang konservasi dalam pengelolaan

pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa:


Konservasi
Wilayah
Pesisir
dan
Pulau-Pulau
Kecil
diselenggarakan untuk menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir
dan
Pulau-Pulau Kecil, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain,
melindungi habitat biota laut dan melindungi situs budaya tradisional
Sedangkan Ayat (2) Pasal 28 UU ini menyatakan bahwa untuk
kepentingan konservasi sebagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi untuk melindungi sumber
daya ikan, tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain,
wilayah yang diatur oleh adat tertentu, dan ekosistem pesisir yang unik
dan/atau rentan terhadap perubahan.
Pasal 35 UU No. 27 Tahun 2007 ini mengatur tentang beberapa
kegiatan yang dilarang dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, dimana setiap orang baik secara langsung maupun tidak
langsung dilarang untuk melakukan perusakan terhadap terumbu karang,
mangrove lamun, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau
bahan lain yang merusak ekosistem tersebut.

(3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan


Undang-Undang ini mengatur upaya konservasi sumber daya ikan
sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (8) yaitu :
Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan,

114

pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem,


jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
niai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
Pasal

Undang-Undang

tersebut

merupakan

larangan

melaksanakan kegiatan perusakan. Salah satu larangannya yaitu setiap


orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(4) UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan UU 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
Undang-Undang ini mengatur tentang pelarangan kegiatan dan
penggunaan alat yang merusak dalam penangkapan ikan. Berikut adalah
pasal 9 Undang-Undang No.45 Tahun 2009:
(1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan
ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya
ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
(5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
Pasal

butir

(18)

Undang-Undang

ini

menyatakan

bahwa

Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam


untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan

115

ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas


nilai serta keanekaragamannya.
Upaya-upaya konservasi SDA menurut UU ini dinyatakan pada
Pasal 57 khususnya butir (2) yang menyatakan bahwa konservasi sumber
daya alam meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan
sumber daya alam secara lestari.
b. Mekanisme Perlindungan SDAH
Berikut adalah beberapa mekanisme pengamanan di Kawasan
Taman Nasional Wakatobi (BTNW, 2005).
(1) Patroli Pengamanan
Secara umum tujuan dari patroli pengamanan adalah untuk
melakukan pengawasan dan pencegahan serta pembinaan kepada
masyarakat supaya menghindarkan perbuatan yang bersifat melawan
hukum di dalam kawasan konservasi. Kegiatan ini terdiri dari patroli rutin
dan patroli periodik.
(a) Patroli Rutin
Kegiatan ini adalah pengamanan yang dilakukan polhut melalui
koordinasi kepala seksi/sub seksi/resort secara rutin sesuai dengan
kondisi di lapangan. Termasuk dalam patroli rutin adalah kunjungan ke
desa-desa dan wilayah-wilayah pesisir untuk melakukan pemantauan
tentang pola pemanfaatan hasil laut, menganalisa situasi sosial ekonomi
dan keamanan secara langsung atau melalui informan, melakukan
pembinaan, mensosialisasikan peraturan dan kebijakan, menampung

116

masukan dan keluhan dari masyarakat. Apabila memungkinkan patroli


rutin juga diadakan di laut dengan dukungan transportasi yang memadai.
Pola pelaksanaan kegiatan patroli rutin adalah beregu atau
kelompok dengan jumlah personil minimal 3 (tiga) orang yang terdiri dari
nahkoda, navigator dan pemantau situasi.
(b) Patroli Periodik
Patroli ini dilaksanakan secara periodik sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan oleh kepala Balai Taman Nasional Wakatobi. Pola pelaksanaan
kegiatan patroli periodik adalah beregu atau kelompok dengan jumlah
personil polhut minimal 5 (lima) orang yang bersifat mobile ke seluruh
kawasan dengan menggunakan Kapal Apung (FRS) dan didukung oleh
speedboat. Patroli ini dilakukan setidak-tidaknya 2 kali per bulan selama
10 hari per perjalanan patroli/trip. Selain personil BTNW patroli periodik
dilaksanakan dengan melibatkan para pihak seperti Pemda Kabupaten
Wakatobi, Polri, TNI maupun masyarakat.
(2) Operasi Pengamanan
Secara umum tujuan dari operasi pengamanan adalah untuk
melakukan upaya penanggulangan tindak pidana secara langsung di
lapangan. Kegiatan ini berupa operasi fungsional, operasi gabungan,
operasi khusus dan operasi insidentil/mendadak.
(a) Operasi Fungsional
Operasi ini dilaksanakan secara beregu dengan jumlah personil
minimal 5 (lima) orang terdiri dari Ketua Tim dan Anggota.

Pelibatan

117

aparat dari pihak lain dilakukan sesuai dengan kondisi di lapangan.


Kegiatan ini merupakan rangkaian dari hasil kegiatan patroli pengamanan
(rutin/periodik) yang didahului dengan operasi intelijen yang dituangkan
dalam Rencana Operasi (Renops).
(b) Operasi Gabungan
Operasi gabungan dilaksanakan secara beregu atau berkelompok
dengan jumlah personil minimal 8 (delapan) orang yang berasal dari
BTNW dimana salah satunya PPNS dan aparat penegak hukum lainnya
seperti Polri, TNI, Kejaksaan maupun Pemda Wakatobi, terdiri dari Ketua
Tim (BTNW) dan Anggota. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari hasil
kegiatan operasi pengamanan fungsional yang didahuli dengan operasi
intelijen yang dituangkan dalam Rencana Operasi (Renops).
(c) Operasi Khusus
Pola pelaksanaan operasi khusus adalah beregu atau kelompok
minimal 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari unsur BTNW dimana salah
satunya adalah PPNS dan instansi terkait lainnya seperti Pemda
Wakatobi, Polri,TNI, Bea Cukai.

Kegiatan ini dilaksanakan atas dasar

pertimbangan khusus dengan ketentuan atas permintaan pimpinan unit


pengelola, adanya operasi intelijen yang akurat dan atas perintah Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
(d) Operasi Insidentil/Mendadak.
Patroli yang dilakukan secara mendadak berdasarkan situasi di
lapangan

yang

membutuhkan

penanganan

dengan

segera.

Pola

118

pelaksanaan kegiatan patroli insidentil adalah beregu minimal 5 (tiga)


orang yang terdiri dari unsur Polhut (Ketua Tim) dan aparat lain
(Polri/TNI).
(3) Prosedur Penyidikan oleh PPNS
1) Penyidikan dilakukan oleh PPNS Kehutanan dan diarahkan kepada
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
2) Dalam

melakukan

proses

penyidikan,

penyidik

PPNS

selalu

berkoordinasi dengan Penyidik Polri


3) Bagi PPNS yang ditunjuk untuk menangani proses penyidikan akan
dilengkapi dengan Surat Perintah Penyidikan oleh Kepala Balai
Taman Nasional Wakatobi.
4) Setiap kasus yang diproses harus diikuti sampai dengan tingkat
peradilan.
5) Tindakan pertama oleh petugas keamanan di TKP (Tempat Kejadian
perkara) sesuai modus operandi.
Berikut adalah tabel beberapa tindakan pertama oleh petugas
keamanan menurut beberapa modus operandi.
Tabel 21. Tindakan Pertama Oleh Petugas Keamanan Menurut Modus
Operandi
No.

Modus Operandi

Tindakan Pertama

1.

Pelaku
sedang
melakukan
salah satu kegiatan berikut(di
dalam
zona
inti
Taman
Nasional):
(1) menangkap ikan dengan
alat tangkap apapun,
(2) mengambil/
mendongkel
terumbu karang,
(3) memancangkan
jangkar
pada terumbu karang,

1) Menangkap pelaku untuk didengar keterangannya secara


langsung.
2) Menganalisis kegiatan pelaku berdasarkan pasal 33 ayat (1), jo
pasal 40 ayat (1) atau ayat (3) Undang-undang No 5 Tahun 1990.
3) Melakukan penyidikan langsung di TKP (Tempat Kejadian
perkara) apabila di dalam Tim terdapat PPNS.
4) Mengamankan barang bukti berupa kapal, alat tangkap ikan,
senjata, dan benda lain yang dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana atau hasil tindak pidana untuk kepentingan
persidangan di Pengadilan.

119

Lanjutan Tabel 21
No.

2.

3.

Modus Operandi
(4) melakukan pencemaran
(5) mendirikan bangunan,
(6) menginjak-injak
terumbu
karang
Pelaku
sedang
melakukan
salah satu kegiatan berupa (di
dalam
kawasan
Taman
Nasional (laut) di luar zona inti):
menangkap ikan dengan alat
tangkap racun / bahan
peledak / listrik,
mengambil / mendongkel
terumbu karang,
memancangkan jangkar pada
terumbu karang,
melakukan pencemaran,
mendirikan bangunan,
menginjak-injak
terumbu
karang.
Pelaku
sedang
melakukan
kegiatan berupa merusak atau
menghilangkan rambu- rambu,
papan peringatan, papan nama,
tanda batas kawasan, di dalam
kawasan konservasi

Tindakan Pertama
5)

1) Menangkap pelaku untuk didengar keterangannya secara


langsung.

2) Menganalisis kegiatan pelaku berdasarkan pasal 33 ayat (3), jo


3)
4)
5)

6)

langsung.

2) Menganalisis kegiatan pelaku berdasarkan Kitab Undang

4)
5)

6)

pasal 40 ayat (2) atau ayat (4) undang undang No 5 Tahun


1990.
Melakukan penyidikan di TKP, apabila dalam tim terdapat PPNS.
Melalui pihak penyidik Polri bila perlu dilakukan penahanan.
Mengamankan barang bukti berupa kapal, alat tangkap ikan,
senjata, dan benda lain yang dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana atau hasil tindak pidana untuk kepentingan
parsidangan di Pengadilan.
Melengkapi semua tindakan dengan BAP.

1) Menangkap pelaku untuk didengar keterangannya secara

3)

4.

Melengkapi semua tindakan dengan BAP

Pelaku
sedang
melakukan
penangkapan/
penampungan/memperniagakan biota laut dilindungi di
dalam kawasan konservasi
taman nasional

1)

Pelaku
sedang
melakukan
penangkapan/penampungan
ikan tanpa dilengkapi dengan
dokumen yang sah (SIUP, SIPI,
SIKPI) di dalam kawasan
konservasi taman nasional

1)

2)
3)

2)
3)
4)

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan pasal 50 ayat (1) jo


pasal 78 ayat (1) Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Melakukan penyidikan di TKP (Tempat Kejadian Perkara), apabila
dalam tim terdapat PPNS.
Melalui pihak penyidik Polri bila perlu dilakukan penahanan.
Mengamankan barang bukti berupa kapal, alat tangkap ikan,
senjata, dan benda lain yang dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana atau hasil tindak pidana untuk kepentingan
parsidangan di Pengadilan.
Melengkapi semua tindakan dengan BAP.
Menangkap pelaku untuk didengar keterangannya secara
langsung.
Menganalisis kegiatan pelaku berdasarkan pasal 21 ayat (1) atau
(2), jo pasal 40 ayat (4) Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1990.
Menyerahkan pelaku dilengkapi / bersama-sama dengan barang
buktinya kepada Penyidik POLRI atau Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Kehutanan.
Melengkapi semua tindakan dengan BAP.
Menangkap pelaku untuk didengar keterangannya secara
langsung.
Menganalisis kegiatan pelaku berdasarkan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU Nomor 31 tahun 2004
yang berkaitan dengan perijinan.
Menyerahkan pelaku dilengkapi / bersama-sama dengan barang
buktinya kepada Penyidik POLRI atau Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Perikanan.
Melengkapi semua tindakan dengan BAP.

Sumber: BTNW (2005)

Menurut Balai TN Wakatobi (2013b), terdapat kendala dalam


penanganan kasus yaitu biaya penanganan kasus dapat dicairkan jika
berkas kasus/perkara telah lengkap (statusnya P.21). Ketentuan tersebut

120

tentu menghambat pelaksanaan penanganan kasus karena untuk menuju


P.21 diperlukan dana seperti biaya pemanggilan saksi, konsumsi
tersangka, uji laboratorium, dan lain sebaginya.
c. Mekanisme Pengawetan SDAH
Kegiatan pengawetan terdiri dari pemantauan (monitoring sumber
daya penting), dilakukan untuk mengetahui kondisi terkini dari SDAH yang
dikelola. Berikut adalah beberapa mekanisme pengawetan SDAH (BTNW,
2013c).
(1) Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring)
Kesehatan terumbu karang diukur melalui suatu penilaian struktur
bentos (karang, invertebrata lainnya dan penutupan alga) dan komunitas
ikan. Jika monitoring kesehatan karang dilakukan secara periodik dengan
menggunakan metode yang sama maka dapat memberikan informasi
mengenai keefektifan zonasi yang telah ada (kawasan konservasi laut),
terutama untuk melindungi kesehatan dan keanekaragaman hayati
komunitas bentos, mempertahankan atau meningkatkan kelimpahan,
ukuran dan biomassa ikan karang, khususnya jenis-jenis yang menjadi
target nelayan lokal atau nelayan komersial. Tujuan, waktu dan tim
pelaksana monitoring kesehatan karang disajikan pada Tabel 22.

121

Tabel 22.

Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Kesehatan


Karang

Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

Mengumpulkan
data Dilakukan satu kali dalam 1
tentang:
sampai 2 tahun Karena ukuran
Tutupan bentos (life
dan kelimpahan ikan dapat
forms), yang meliputi
bervariasi setiap musim, maka
lebih
baik
jika
sampling
karang keras, karang
lunak,
substrat
dilakukan dalam bulan atau
menetap, substrat
musim yang sama setiap kali
bergerak, makroalga,
dilakukan
pengulangan
karang memutih, dan
sampling.
Monitoring
kategori
bentos
kesehatan karang di Taman
lainnya.
Nasional Wakatobi yang telah
Kelimpahan
dilakukan sejak tahun 2009(densitas)
dan
2012 adalah pada bulan Aprilbiomassa
ikan
Mei
karang herbivora dan
karnivora
Sumber: Balai TN Wakatobi (2013c)

Tim Pelaksana
Pelaksana:
6 (enam) orang dalam 1 tim,
yaitu 2 orang pencatat data
karang di kedalaman 3 dan
10 m, 2 orang pencatat ikan
kecil dan ikan besar, 2 orang
roll master masing-masing di
kedalaman 3 dan 10 m. Tim
monitoring tersebut terdiri
dari unsur Polisi Kehutanan,
Pengendali Ekosistem Hutan,
Penyuluh Kehutanan atau
petugas yang ditunjuk

(2) Monitoring Lamun


Monitoring

lamun

bertujuan

untuk

mengetahui

persentase

penutupan lamun, persentase komposisi spesies Lamun, persentase


penutupan alga, komposisi sedimen, kehadiran makrofauna, tinggi kanopi,
serta dapat mengetahui kondisi ekosistem lamun setiap periode tertentu
sebagai salah satu indikator menilai efektivitas pengelolaan Taman
Nasional Wakatobi (Balai TN Wakatobi, 2013c). Tujuan, waktu dan tim
pelaksana monitoring lamun disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Lamun
Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

Tim Pelaksana

Mengumpulkan
data
tentang:
mengetahui
persentase
penutupan
lamun,
persentase komposisi
spesies
lamun,
persentase
penutupan alga,

Idealnya dilakukan dua kali


dalam setahun yaitu antara
bulan Mei-Juni dan OktoberNopember, jika kondisi tidak
memungkinkan
karena
keterbatasan sumber daya
(dana dan sumber daya
manusia), maka pelaksanaan

Pelaksana:
5 (lima) orang dalam 1 tim
yaitu 1 orang sebagai
penentu
arah
transek
menggunakan kompas dan
pengambilan data koordinat
GPS
serta
pengambil
gambar, 1 orang memasang
roll meter dan

122

Lanjutan Tabel 23
Tujuan Monitoring
komposisi
sedimen,
kehadiran makrofauna,
tinggi kanopi

Waktu Pelaksanaan
kegiatan monitoring minimal
dilaksanakan sekali dalam
setahun dengan memilih waktu
salah
satu
dari
yang
disebutkan diatas

Tim Pelaksana
sekaligus memasang patok yang
telah
dipetakan
oleh
tim
kompas/GPS, 1 orang sebagai
pencatat
data
tally
sheet
sekaligus mengestimasi tutupan
persentase lamun dan alga, 1
orang sebagai pengidentifikasi
jenis lamun, dan 1 orang
mengukur tinggi kanopi

Sumber: Balai TN Wakatobi (2013c)

(3) Monitoring Mangrove


Balai TN Wakatobi (2013c) menyatakan bahwa monitoring mangrove
sebaiknya dilakukan di seluruh lokasi hutan mangrove, agar diperoleh
data secara lengkap dan spesifik tentang kondisi masing-masing hutan
mangrove yang ada dalam kawasan. Pelaksanaan monitoring mangrove
sebaiknya dilakukan pada saat air laut surut, namun untuk kondisi hutan
mangrove yang berlumpur dan luas sebaiknya dilakukan pada saat air laut
pasang. Tabel tujuan, waktu dan tim pelaksana monitoring mangrove
disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Mangrove
Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

Tim Pelaksana

Mengumpulkan
data
tentang:

Jenis, sebaran dan


kerapatan
mangrove

Kondisi
habitat
ekosistem
mangrove
(tipe
substrat, salinitas,
biota laut, jenis
gangguan)

Monitoring mangrove dapat


dilakukan setiap satu atau dua
tahun sekali dengan asumsi
bahwa rentang waktu tersebut
dianggap cukup untuk melihat
perubahan yang terjadi dalam
hutan mangrove
Disarankan
untuk
dapat
melakukan monitoring setiap
tahun sekali, terutama hutan
mangrove yang masuk dalam
zona
inti
dan
zona
perlindungan bahari, namun
tentunya
perlu
mempertimbangkan
ketersedian

Pelaksana:
minimal 6 (enam) orang
dengan pembagian tugas:
- 1 orang bertugas membuat
jalur transek dan memasang
roll meter
- 1 orang bertugas membuat
transek kuadrat
- 1 orang bertugas identifikasi
jenis dan mencatat data
- 2 orang ertugas mengukur
tinggi dan diameter tegakan
pohon dan mengestimasi

123

Lanjutan Tabel 24
Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

Tim Pelaksana

sumber daya yang ada


-

tutupan kanopi
1 orang bertugas membawa
logistik dan mengambil titik
koordinat dan dokumentasi

Sumber: Balai TN Wakatobi (2013c)

(4) Monitoring

Lokasi

Aggregation Site)

Pemijahan

Ikan

SPAGs

(Spawning

Balai TN Wakatobi (2013c) menyatakan bahwa meningkatnya


perdagangan ikan karang hidup dan penggunaan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan sejak awal tahun 1990-an memicu penurunan populasi
ikan target di banyak tempat di Indonesia. Keberadaan lokasi pemijahan
(SPAGS, Spawning Aggregation Site) ikan karang hidup menjadi
terancam karena meningkatnya penangkapan ikan-ikan tersebut untuk
memenuhi

permintaan

pasar.

Kegiatan

monitoring

SPAGs

dapat

bermanfaat untuk mengurangi tekanan seperti illegal fishing karena


meningkatnya kehadiran petugas di lokasi pemijahan ikan.
Balai TN Wakatobi (2013c) juga menyatakan bahwa hasil
pemantauan SPAGS dapat digunakan sebagai penilaian dasar untuk
menentukan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi laut dan jika
dilakukan secara periodik dengan menggunakan metode yang sama,
maka akan memberikan informasi mengenai keefektifan pengelolaan
kawasan konservasi laut. Tujuan, waktu dan tim pelaksana monitoring
SPAGs disajikan pada Tabel 25.

124

Tabel 25. Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring SPAGs


Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

Tim Pelaksana

Mengumpulkan
data
tentang:
Mengetahui sebaran
lokasi pemijahan ikan
(SPAGS).
Mengetahui jumlah
ikan per spesies yang
ditemukan
pada
masing-masing lokasi
pemijahan ikan.
Mengetahui jumlah
ikan
berdasarkan
kelas
ukuran
di
masing-masing
lokasi pemijahan.

Pelaksanaan
monitoring
SPAGS idealnya dilaksanakan
setiap bulan, yaitu pada saat
bulan purnama tepatnya antara
2 hari sebelum purnama, pada
saat purnama, dan 2 hari
sesudah
purnama.
Jika
terdapat keterbatasan sumber
daya (tenaga, dana, waktu)
atau
cuaca
yang
tidak
mendukung, waktu monitoring
dipilih terutama pada saat
musim
pemijahan
(peak
season), yaitu pada bulan April,
Mei,
September,
Oktober,
November, Desember

Pelaksana:
minimal 5 (lima) orang terdiri
dari 1 orang pencatat jumlah
ikan, 1 orang pencatat
estimasi panjang dan tingkah
laku ikan, 1 orang pengambil
gambar/video,
2
orang
pencatat data titik koordinat
diatas kapal dan membantu
tim penyelam pada saat akan
dan
selesai
melakukan
penyelaman. Tim monitoring
terdiri dari personil Balai
Taman Nasional Wakatobi
yang mempunyai kualifikasi
selam
minimal
tingkat
Advanced
dan
telah
mengikuti
pelatihan
monitoring SPAGS

Sumber: Balai TN Wakatobi (2013c)

(5) Monitoring Penyu


Balai TN Wakatobi (2013c) menyatakan bahwa penyu laut telah
lama menjadi sasaran perburuan manusia, mulai dari penyu yang menuju
pantai peneluran, telur penyu yang ada di dalam sarang sampai penyu
yang berada di laut lepas. Alasan utama kegiatan perburuan biota ini pada
umumnya karena nilai ekonomis yang tinggi dari biota tersebut. Monitoring
penyu merupakan salah satu langkah dalam menggali informasi yang
akan berguna bagi upaya pengelolaan. Pengamatan secara periodik dan
dalam jangka panjang dapat menilai tingkat efektifitas pengelolaan
kawasan konservasi terutama habitat penyu. Tujuan, waktu dan tim
pelaksana monitoring penyu disajikan pada Tabel 26.

125

Tabel 26. Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Penyu


Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

idealnya dilakukan setiap bulan, namun


dengan pertimbangan cuaca disarankan
untuk melakukan monitoring pada
musim teduh, yaitu pada bulan MaretMei dan September-Desember.
Disarankan untuk mengambil data 5
hari di setiap lokasi untuk satu kali
pengamatan,
namun
perlu
juga
mempertimbangkan
ketersediaan
sumber daya baik SDM, dana maupun
waktu.
Pengamatan penyu yang naik ke pantai
peneluran dilakukan terutama pada saat
bulan purnama.
Jika pengamatan tidak dilakukan pada
saat bulan purnama, maka disarankan
dilakukan pada malam hari (pukul 22.00
- 05.00) atau pagi hari (pukul 06.00 09.00), terutama pada saat air laut
pasang tertinggi
Sumber: Balai TN Wakatobi (2013c)
1. Mengetahui
keragaman jenis
penyu.
2. Mengetahui sebaran
habitat penyu.
3. Mengetahui luasan
habitat.
4. Mengumpulkan data
jumlah penyu yang
naik
ke
pantai
peneluran dan jumlah
penyu yang bertelur.
5. Mengetahui
jumlah
telur per sarang dan
tingkat
keberhasilan
penetasan
telur
penyu.

Tim Pelaksana
Pelaksana:
minimal 3 (tiga) orang
personil dalam 1 tim,
yaitu 1 orang sebagai
pengamat, 1 orang
sebagai pencatat, 1
orang pengukur.
Personil
tersebut
terdiri
dari
unsur
Pengendali Ekosistem
Hutan,
Polisi
Kehutanan, Penyuluh
Kehutanan
atau
petugas yang ditunjuk.

(6) Monitoring Burung Pantai/Laut


Balai TN Wakatobi (2013c) menyatakan bahwa keberadaan burung
pantai/laut telah dijadikan sebagai salah satu indikator keanekaragaman
hayati. Upaya konservasi burung dapat dilakukan jika informasi tentang
kehidupan burung tersedia, dimana untuk mendapatkannya perlu
dilakukan monitoring. Monitoring ini sangat berguna untuk menyusun
strategi pelestarian keanekaragaman hayati. Pengamatan secara periodik
dalam jangka panjang dapat bermanfaat bagi pengelola, salah satunya
untuk mengukur tingkat efektivitas pengelolaan kawasan. Tabel tujuan,
waktu dan tim pelaksana monitoring burung disajikan pada Tabel 27.

126

Tabel 27.

Tujuan, Waktu
Pantai/Laut

dan Tim Pelaksana Monitoring Burung

Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

Tim Pelaksana

1. Mengetahui
keragaman
dan
kelimpahan
jenis
burung pantai/laut
2. Mengetahui sebaran
habitat
burung
pantai/laut
3. Mengetahui
trend
keragaman
dan
kelimpahan
jenis
burung pantai/laut
4. Memprediksi populasi
burung
pantai/laut
(jika luasan habitat
burung diketahui)

Idealnya dilakukan 2 kali dalam


1 tahun yang mewakili 2 musim
yang berbeda, yaitu musim
timur (Juli-Agustus) dan musim
barat (April-Mei)
Jika
cuaca
tidak
memungkinkan, terutama di
lokasi yang jauh dari pulau
utama,
maka
pengamatan
burung dapat dilakukan pada
saat musim teduh (sebagai
contoh pengamatan burung di
Moromaho dilakukan pada
bulan November).

Pelaksana:
5 (lima) orang dalam 1 tim,
yaitu
1
orang
sebagai
pengamat, 1 orang sebagai
pencatat, 1 orang pemegang
buku identifikasi, dan 2 orang
pengukur
jarak
lintasan
transek.
Tim monitoring tersebut terdiri
dari
unsur
Pengendali
Ekosistem
Hutan,
Polisi
Kehutanan,
Penyuluh
Kehutanan atau petugas yang
ditunjuk oleh Kepala Balai

Disarankan untuk dilakukan


pada dua waktu, yaitu pagi dan
sore hari. Pagi hari sekitar
pukul 05.30 - 09.00 Wita,
sedangkan sore hari sekitar
pukul 15.30 - 18.00 Wita
Sumber: Balai TN Wakatobi (2013c)

(7) Monitoring Cetacean


Balai

TN

Wakatobi

(2013c)

menyatakan

bahwa

perhatian

masyarakat dunia saat ini sudah tertuju pada penyebaran, pola migrasi
dan kelestarian cetacean karena makin menurunnya populasi cetacean
akibat dari pengaruh aktifitas manusia, resiko dari adanya pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Hal ini yang mendorong beberapa organisasi
baik internasional (IUCN, CITES) maupun nasional menetapkan cetacean
sebagai biota laut dilindungi (PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa). Monitoring merupakan salah satu cara untuk
mengumpulkan informasi yang berguna bagi upaya pengelolaan biota ini.
Tujuan, waktu dan tim pelaksana monitoring cetacean disajikan pada
Tabel 28.

127

Tabel 28. Tujuan, Waktu dan Tim Pelaksana Monitoring Cetacean


Tujuan Monitoring

Waktu Pelaksanaan

1. Mengetahui
keragaman jenis
cetacean
(berdasarkan
kelompok maupun per
spesies)

Dapat dilakukan mengikuti trip


kegiatan monitoring lainnya,
karena
pengamatannya
bersifat insidental (occasional
observation). Namun demikian,
dengan memperhatikan kondisi
musim di Wakatobi yang tidak
sepanjang tahun teduh, maka
pemilihan waktu monitoring
disarankan pada bulan-bulan
teduh, yaitu bulan April, Mei,
Juni, September, Oktober dan
November.
Umumnya kegiatan monitoring
cetacean dilakukan pada pagi
hari sampai sore hari (pukul
06.00-18.00),
mengingat
pengamatan
biota
ini
membutuhkan
pencahayaan
yang baik.

2. Mengetahui jumlah
perjumpaan cetacean
(per pengamatan, per
bulan, per tahun)
3. Mengetahui sebaran
habitat cetacean
(menurut jenis;
berdasarkan tahun)

Tim Pelaksana

5 orang personil dengan


pembagian tugas: 3 orang
pengamat (depan, kanan dan
kiri), 1 orang pencatat tally
sheet, dan 1 orang pencatat
titik koordinat dan pengambil
dokumentasi (foto, video).
Pengamat
seharusnya
personil
yang
telah
mempelajari
jenis
dan
tingkah laku dari spesies
cetacea.
Tim ini terdiri dari unsur
Pengendali Ekosistem Hutan,
Polisi Hutan, dan Penyuluh
Kehutanan lingkup Balai
Taman
Nasional
yang
berkompeten
dibidangnya
serta personil lain yang
ditugaskan.

Sumber: Balai TN Wakatobi (2013c)

c. Mekanisme Pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati secara Lestari


Pemanfaatan secara lestari SDAH diantaranya yaitu melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, kegiatan
wisata, pengusahaan pariwisata alam, pembuatan film dan ekspedisi.
Adapun Mekanisme dan aturan pengelolaan kegiatan pariwisata
(ijin masuk kawasan dan ijin pengusahaan pariwisata alam) adalah
sebagai berikut.
(1) Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA) No. P. 7/IV-Set/2011 tentang tata cara masuk
Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman
Buru (merupakan pengganti peraturan sebelumnya yaitu Peraturan
Dirjen PHKA No.192 SK. 192/IV-Set/Ho/2006)
Peraturan ini mengatur tentang ijin masuk kawasan untuk kegiatankegiatan tertentu. Ijin masuk kawasan konservasi dilakukan melalui

128

penerbitan SIMAKSI (surat ijin masuk kawasan konservasi). Ada


beberapa kegiatan yang diatur oleh peraturan tersebut yaitu penelitian dan
pengembangan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, pembuatan film
komersial, pembuatan film non komersial, pembuatan film dokumenter,
ekspedisi, dan jurnalistik. Setiap pengunjung yang akan melakukan salah
satu kegiatan yang diatur peraturan tersebut harus mengurus ijin SIMAKSI
ke Kantor Balai TN Wakatobi. Bagi pengunjung untuk berwisata, tidak
diperlukan mengurus SIMAKSI. Ketentuan pemberian SIMAKSI menurut
peraturan ini yaitu:
SIMAKSI

untuk

WNI

yang

akan

melakukan

kegiatan-kegiatan

sebagaimana disebutkan diatas diterbitkan oleh Kepala UPT/Balai


Taman Nasional.
SIMAKSI bagi WNA dan WNI yang memiliki keterkaitan kerja dengan
pihak asing untuk 1 (satu) lokasi Unit Pelaksana Teknis (UPT)
diterbitkan oleh Kepala UPT/Balai Taman Nasional.
SIMAKSI bagi WNA dan WNI yang memiliki keterkaitan kerja dengan
pihak asing untuk lebih dari 1 lokasi Unit Pelaksana Teknis (UPT)
diterbitkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal.

(2) Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 1998 tentang Jenis tarif PNBP
yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan
Peraturan ini mengatur tentang besaran tarif Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Kementerian Kehutanan, sedangkan
untuk penerapannya pada taman nasional didasarkan pada

Peraturan

129

Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2007 tentang Pembagian Rayon di


Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman
Buru Dalam Rangka Pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Berikut adalah tarif PNBP bagi Taman Nasional Rayon I. Pemberlakukan
ini dilaksanakan sejak tahun 2008 berdasarkan Surat Kepala Balai TN
Wakatobi Kepada Bupati Wakatobi No. S.450/BTNW-1/Pf/2008 tanggal 30
Mei 2008 tentang Pemberlakuan PP 59 tahun 1998.
Tabel 29. Tarif PNBP Yang Berlaku di Kawasan Konservasi berdasarkan
PP No. 59 Tahun 1998*
No.
I

II

III

IV

Jenis PNBP
Pengunjung
Wisatawan Mancanegara
Wisatawan Nusantara
Peneliti
Mancanegara
a) 1-15 hari / bulan
b) 16-30 hari/ 1 bulan
c) 1-6 bulan/ tahun
d) -1 tahun
e) di atas 1 tahun
Nusantara
a) 1-15 hari/ bulan
b) 16-30 hari/ 1 bulan
c) 1-6 bulan/ tahun
d) -1 tahun
e) di atas 1 tahun
Kendaraan Air
a) Kapal Motor s/d 40 PK
b) Kapal Motor 41-80 PK
c) Kapal Motor diatas 80 PK
Pengambilan/Snapshoot
1) Wisatawan Mancanegara
Film komersial
Video Komersial
Handycam
Foto
2) Wisatawan Nusantara
Film komersial
Video Komersial
Handycam
Foto

Olah Raga/Rekreasi Alam Bebas


Wisatawan Mancanegara
Menyelam
Snorkeling
Berkemah
Kano

Satuan

Tarif Persatuan (Rp.)

Orang
Orang

20.000
2.500

Orang
Orang
Orang
Orang
Orang

100.000
200.000
400.000
600.000
800.000

Orang
Orang
Orang
Orang
Orang

45.000
75.000
125.000
200.000
250.000

Buah
Buah
Buah

50.000
75.000
100.000

Sekali masuk
Dokumen cerita
Non komersial
Non komersial

3.000.000
2.500.000
150.000
50.000

Sekali masuk
Dokumen cerita
Non komersial
Non komersial

2.000.000
1.500.000
15.000
5.000

1 jam
1 jam
1 jam
1 jam

75.000
60.000
30.000
40.000

130

Lanjutan Tabel 29
No.

Jenis PNBP
Selancar
Wisatawan Nusantara
Menyelam
Snorkeling
Berkemah
Kano
Selancar

Satuan

Tarif Persatuan (Rp.)

1 jam

60.000

1 jam
1 jam
1 jam
1 jam
1 jam
1 jam

50.000
40.000
20.000
25.000
40.000

Sumber: PP 59 Tahun 1998 dan Balai TN Wakatobi 2008


*Ket: belum sepenuhnya diterapkan Balai TNW, hanya entrance fee untuk wisatawan dan film komersial yang
telah diterapkan.

(3) Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2010 dan Peraturan Menteri


Kehutanan No. 48 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata
Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata Alam
Berdasarkan kedua peraturan ini, arti dari pariwisata alam adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk usaha
pemanfaatan obyek dan daya tarik serta usaha-usaha yang terkait dengan
wisata alam. Sedangkan pengertian pengusahaan pariwisata alam adalah
suatu kegiatan untuk menyelenggarakan usaha pariwisata alam di suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
berdasarkan rencana pengelolaan (PP 36/2010 Pasal 1 butir 3, dan
Permenhut 48/2010 Pasal 1 butir 1). Berdasarkan kedua peraturan ini,
pengusahaan pariwisata alam meliputi:
a. usaha penyediaan jasa wisata alam, meliputi: informasi pariwisata,
pramuwisata, transportasi, perjalanan wisata, cinderamata dan
makanan dan minuman (Pasal 8 Permenhut 48/2010).
b. usaha penyediaan sarana wisata alam, meliputi: wisata tirta;
akomodasi; transportasi dan wisata petualangan (Pasal 8 Permenhut

131

48/2010).
Pemberian ijin pengusahaan pariwisata alam dalam bentuk
IUPJWA (Ijin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam) dan IUPSWA (Ijin
Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam). Permohonan IUPJWA di taman
nasional diajukan oleh pemohon kepada Kepala UPT, dengan tembusan
kepada Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan setempat
(Pasal 11 Permenhut 48/2010) sedangkan untuk permohonan IUPSWA
diajukan kepada Menteri Kehutanan.
Sementara aturan mengenai pemanfaatan lestari oleh Pemerintah
Kabupaten Wakatobi adalah sebagai berikut:
(1) Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi No. 18 tahun 2013 tentang
Retribusi Ijin Usaha Perikanan
Perda ini mengatur tentang retribusi izin usaha perikanan, pasal 6
Perda ini menyatakan bahwa setiap orang atau badan yang melakukan
kegiatan usaha perikanan di daerah wajib memiliki Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP) yang diberikan Bupati. Namun terdapat pengecualian
atas ketentuan tersebut, yaitu orang dan atau instansi pemerintah yang
melaksanakan kegiatan penelitian dan bagi masayarakat lokal yang
termasuk kategori nelayan kecil dan pembudidaya ikan skala kecil yang
melakukan

penangkapan,

pembudidayaan,

pengangkutan,

dan

pengolahan ikan. Selanjutnya pasal 7 menyatakan bahwa setiap kapal


perikanan yang melakukan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan
wajib dilengkapi Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Ijin Kapal

132

Penangkap Ikan (SIKPI) yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali


bagi kapal ukuran 5 GT kebawah.
(2) Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi No. 19 Tahun 2006
tentang Retribusi Ijin Penelitian dan Pemberian Surat Tanda
Terima
Pemberitahuan
Keberdayaan
Organisasi
Kemasyarakatan, LSM dan Yayasan
Peraturan Daerah ini mengatur retribusi izin penelitian baik bagi WNI
maupun WNA. Besaran retribusi penelitian disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Retribusi Penelitian berdasarkan Perda Kabupaten Wakatobi
No. 19 Tahun 2006
No.
A
1.
2.
3.
4.
B

Izin Penelitian
Peneliti Indonesia

Besarnya Retribusi (Rupiah)

Program D3
Program S1
Program S2
Program S3
Peneliti Asing

1 s/d 30 hari
1.
31 s/d 60 hari
2.
61 hari s/d 121 hari
3.
4.
122 hari s/d 366 hari
Sumber: Perda Kabupaten Wakatobi No. 19 tahun 2006

5.000
10.000
25.000
50.000
250.000
450.000
750.000
1.000.000

(3) Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi No. 15 Tahun 2013


tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga Wisata
Peraturan ini merupakan pengganti Perda No. 9 Tahun 2005
tentang Retribusi Obyek dan Atraksi Wisata. Perda ini mengatur tentang
besaran retribusi kegiatan wisata bahari dan minat khusus kepada
Pemerintah Daerah. Besaran retribusi tersebut disajikan pada Tabel 31.

133

Tabel 31.

Retribusi Kegiatan Wisata Berdasarkan Perda Kabupaten


Wakatobi No. 15 Tahun 2013

Objek
Rekreasi/Aktivitas
1. Wisata Bawah
Laut

2. Wisata Atas Air

Jenis Pelayanan/
Golongan tariff

Satuan

Tarif

Menyelam
1. Wisatawan
Mancanegara

orang/tahun
orang/minggu

250.000
150.000

2. Wisatawan
Nusantara
1. Snorkling
Mancanegara
Nusantara

orang/tahun
orang/minggu

150.000
75.000

perkali/orang
perkali/orang

10.000
5.000

perunit/perkali
masuk

500.000

2. Kendaraan
Cruise/Kapal
Motor
Jetsky
3. Memancing

20.000
perunit/perkali
masuk

50.000

Perorang/sekali
masuk
3. Pengambilan
gambar/
Snapshot

1.

Wisatawan
Mancanegara:
a. Film Komersial
b. Video
Komersial
c. Foto Komersial
2. Wisatawan
Nusantara
a. Film Komersial
b. Video
Komersial
c. Foto Komersial

Per judul film


Per judul film
Pertema

2.000.000
1.500.000
500.000

Per judul film


Per judul film
Pertema

1.000.000
500.000
100.000

Sumber: Perda Kabupaten Wakatobi No.15 Tahun 2013

(4) Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi No. 5 Tahun 2009 tentang


Pemakaian Alat Tangkap dan atau Alat Bantu Pengambilan Hasil
Laut dalam Wilayah Perairan Kabupaten Wakatobi
Menurut Perda ini, alat tangkap adalah sarana dan perlengkapan
atau benda-benda lainnya yang digunakan untuk mengambil hasil laut
sedangkan alat bantu adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda
lainnya yang digunakan untuk membantu dalam upaya pengambilan hasil
laut. Jenis-jenis alat tangkap dan atau alat-alat bantu pengambilan hasil
laut yang dilarang adalah:

134

a. Bahan peledak seperti ammonium dan potassium nitrat atau bom,


bahan kimia, racun alami seperti tuba, racun kimia seperti potassium
sianida, herbisida dan pestisida dan alat selam lainnya, jarum suntik,
penyemprot, ganco dan sejenisnya.
b. Alat-alat yang dianggap berpotensi merusak sumber daya laut
Kabupaten Wakatobi
(5) Permasalahan Pemanfaatan Secara Lestari.
(a) Pemungutan karcis masuk (entrance fee) yang belum sinergis.
Kondisi letak dan luas kawasan TN Wakatobi yang sama persis
dengan letak dan luas kawasan Kabupaten Wakatobi menyebabkan
peraturan pemerintah No. 59 tahun 1998 tentang tarif atas jenis PNBP
yang berlaku pada Kementerian Kehutanan belum secara menyeluruh
dapat diimplementasikan. Hal ini dikarenakan belum ada kolaborasi
pengelolaan pengunjung secara bersama-sama. Dengan demikian
pengenaan tarif PNBP kepada pengunjung wisata pun masih berdasarkan
karcis masuk saja dan belum dikenakan pungutan kegiatan/aktivitasnya
sebagaimana PP No. 59 Tahun 1998 sendiri. Permasalahan ini masih
belum mendapat solusi yang tepat, oleh karena itu perlu desain kolaborasi
yang dapat mengakomodir alternatif solusi bagi permasalahan ini.
Pengelolaan pengunjung yang belum terintegrasi dengan baik antara
Balai TN Wakatobi dengan Pemerintah Kabupaten Wakatobi tentu akan
menyebabkan

beberapa

permasalahan

diantaranya

yaitu

adanya

ketidaknyamanan bagi pengunjung yang mendapatkan pungutan masuk

135

baik dari Balai TN Wakatobi maupun dari Pemerintah Kabupaten


Wakatobi.
(b) Pengelolaan pengunjung baik yang melakukan wisata, penelitian,
pendidikan, maupun usaha perikanan belum terintegrasi
Taman Nasional memiliki peraturan tentang ijin masuk kawasan
sedangkan kabupaten memiliki ijin usaha perikanan. Hal ini masih belum
sinergis, dimana ijin masuk kawasan taman nasional pun masih berjalan
sendiri-sendiri, begitu juga dengan ijin usaha perikanan. Meskipun
SIMAKSI yang diterbitkan Balai Taman Nasional Wakatobi terdapat
tembusan kepada Pemerintah Kabupaten Wakatobi, namun hal ini belum
optimal, karena sejatinya kalau terkolaborasi ijin SIMAKSI pun harus ada
rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten, begitu juga perijinan masuk
kawasan baik untuk penelitian khususnya yang terkait dengan penelitian
di kawasan laut, seharusnya ada rekomendasi dari Balai Taman Nasional
Wakatobi. Jika perijinan ini sudah terkolaborasi, maka tentu akan
menciptakan pengelolaan perijinan yang sinergis dan membuat pelayanan
yang nyaman bagi pengunjung dan pengusaha. Begitu juga dengan
perijinan usaha perikanan yang masih belum terkolaborasi. Hal ini, dapat
menimbulkan ketidaknyamanan kepada pengusaha, jika di kemudian hari
ada pihak Balai TN Wakatobi yang memeriksa kelengkapan dokumen
usahanya di lapangan. Hal ini pernah terjadi sebagaimana yang
disampaikan informan A9 pada wawancara tanggal 16 November 2013.
Ijin usaha perikanan tangkap dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan, semestinya perlu ada rekomendasi teknis dari Balai
Taman Nasional. Ijin tersebut dapat berupa SIUP (surat ijin usaha

136

perikanan untuk budidaya dan pendaftaran alat tangkap) dan SIKPI


(surat ijin kapal pengangkut ikan). Kapal dari luar Wakatobi dapat
memperoleh SIKPI di zona pemanfaatan lokal dan juga dapat
memperoleh SIUP tetapi hanya untuk di zona pemanfaatan umum.
Pernah dijumpai bahwa hasil patroli petugas Balai TNW, terdapat ijin
SIUP terhadap kapal pengangkut/penampung dari luar Wakatobi di
zona pemanfaatan lokal, padahal mestinya mendapatkan SIKPI saja.
Kasus kedua adalah kapal-kapal lokal (yang punya SIUP), tapi ABK
nya dari luar Wakatobi, hal ini tentu menjadi suatu permasalahan.
Masalah lainnya ada nelayan luar wakatobi yang diberi SIKPI tetapi
menangkap ikan karena bawa jaring
Lebih umum lagi informan A1 mengemukakan bahwa:
Mekanisme kerja perlindungan seperti patroli pengawasan baik
patroli rutin, mendadak, intelejen, maupun patroli gabungan, dapat
berjalan dengan baik. Untuk kegiatan monitoring 8 sumber daya
penting pun sama, masih berjalan dengan baik. Namun terkait
pengelolaan wisata, baik pengelolaan pengunjung dan pungutan
masuk, serta berbagai perijinan (ijin usaha perikanan maupun
wisata) memang belum optimal, dan tentu hal ini masih perlu
dioptimalkan, dimana perlu ada payung bersama dalam pungutan
masuk kawasan, maupun pendataan pengunjungnya. Begitu juga
perijinan yang diberikan oleh DKP kepada pengusaha perikanan
diperlukan rekomendasi teknis dari Balai TN Wakatobi (Wawancara
tanggal 27 Desember 2013)

Hal diatas didukung oleh informan A3 yaitu sebagai berikut:


Pemungutan PNBP oleh Balai TN Wakatobi dan Pemungutan
retribusi oleh Pemda sampai saat ini belum sinergis baik dari segi
mekanisme pemungutannya maupun besarannya. Penanganan
wisawatan pun belum optimal, padahal Wakatobi banyak didatangi
wisatawan lepas, sehingga perlu satu atap dalam pengelolaan
pengunjung, khususnya terkait pemungutan PNBP. Begitu juga
dengan perijinan usaha perikanan yang diterbitkan Pemda, idealnya
perlu ada pertimbangan teknis dari Balai TN Wakatobi (Wawancara
tanggal 16 Desember 2013)

137

C.

Kontribusi dan Arah Perencanaan Balai TN Wakatobi dan


Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam Mendukung Kolaborasi
Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati
Kontribusi dan arah perencanaan suatu instansi akan mendukung
dilaksanakannya kolaborasi jika telah melaksanakan beberapa kegiatan
yang direncanakan akan dikolaborasikan atau didalam perencanaannya
merencanakan kegiatan-kegiatan pengelolaan SDAH secara lestari.
Dengan demikian, hal ini akan memudahkan dalam mendesain maupun
menyusun kolaborasi yang akan dibangun. Berikut adalah kontribusi dari
Balai TN Wakatobi dalam pengelolaan SDAH secara lestari.
1. Kontribusi Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten
Wakatobi dalam Mendukung Kolaborasi Perencanaan Pengelolaan
SDAH secara Lestari
(a) Kontribusi Balai TN Wakatobi dalam Pengelolaan SDAH Secara
Lestari
Menurut Balai TN Wakatobi (2013b),

Pada tahun 2012 telah

dilakukan beberapa kegiatan sebagai kontribusi dalam pengelolaan SDAH


secara lestari yaitu sebagaimana disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Kontribusi Balai TN Wakatobi dalam Pengelolaan SDAH
Secara Lestari Tahun 2012.
No
1

Aspek
Konservasi
Perlindungan

Jenis Kegiatan

Volume

a. Patroli rutin dengan pesawat trike aquilla


b. Operasi inteligen
c. Operasi pengamanan gabungan
d. Patroli Mendadak
e. Rapat koordinasi pengamanan dengan instansi
terkait
f. Sosialisasi pengelolaan TN Wakatobi tingkat
kecamatan di 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional
g. Sosialisasi/Penyuluhan di tingkat resort (masingmasing resort 5 desa)
h. Patroli penjagaan kawasan di 7 resort (5 kali per
resort)

32 Kali
21 kali
7 kali
26 kali
3 kali
3 kali
35 kali
35 Kali

138

Lanjutan Tabel 32
No

Aspek
Konservasi
i.
j.
k.

Pengawetan/
Preservasi

a.

b.

c.

d.
e.

f.

Pemanfaatan
Secara Lestari

a.
b.

c.
d.

Jenis Kegiatan

Volume

Pembuatan papan informasi/petunjuk/larangan di


masing-masing resort sebanyak 4 unit
Pelatihan rutin menembak
(30 orang/Angkatan)
Penanganan kasus sampai dengan P.21

28 unit

Kegiatan monitoring 8 SDP:


Terumbu karang (termasuk ikan karang), Lamun,
Mangrove, Penyu, Burung pantai/laut, SPAGs
(daerah pemijahan ikan), Monitoring Resources Use
dan Cetacean
Ekspose hasil monitoring 8 sumber daya prioritas di
TN Wakatobi yang dilaksanakan di Bogor.
Identifikasi dan inventarisasi sumberdaya lainnya
dilokasi yang baru seperti identifikasi lokasi SPAGs,
identifikasi dan inventarisasi kima, kepiting kenari,
tanaman obat dan tanaman anggrek.
Monitoring dan evaluasi pilot project rehabilitasi
terumbu karang di SPTN Wilayah I
Pengelolaan demplot penetasan telur penyu semi
alami di SPTN Wilayah III pada tahun 2012 tercatat
jumlah telur penyu yang berhasil ditetaskan
sebanyak 198 ekor dari jumlah telur yang dieram di
demplot sebanyak 243 tukik, serta penyu yang
berhasil dilepaskan di alam sepanjang tahun 2012
sebanyak 198 ekor
Pembuatan Persemaian Mangrove di masingmasing resort
Pameran Pengelolaan HUT Sultra di Kota Raha
Pameran obyek wisata alam dan budaya di Batam
yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif
Penyusunan dan pencetakan Buletin Napoleon
Pencetakan:
- Leaflet zonasi
- kalender,
- buku agenda,
- seri buku pengenalan jenis 8 sumber daya penting
- pembuatan dokumentasi foto dan video TN
Wakatobi

e. Penyusunan master plan pengembangan pariwisata


alam TN Wakatobi dilaksanakan sebagai upaya
dalam peningkatan pengelolaan pengusahaan
pariwisata alam
f.

Pembinaan dan sosialisasi peraturan tentang


pengusahaan pariwisata alam dan PNBP kepada
pengusaha pariwisata alam (PT. Wakatobi Dive
Resort)
g. Jumlah PNBP tahun 2012
h. Pengembangan usaha ekonomi produktif di 5 Model
Desa Konservasi
i. Pembentukan/perekrutan anggota baru kader
konservasi di SPTN wilayah II dan SPTN wilayah III
j.

Penyuluhan dan pendidikan konservasi bagi pelajar


SLTA/SLTP di Setiap SPTN

Sumber: LAKIP Balai TN Wakatobi Tahun 2012 (Balai TN Wakatobi, 2013b)

3 angkatan
1 Kasus

Masing-Masing 1 kali

1 Kali

Masing-Masing 1 kali

1 kali
1 Unit

7 lokasi
1 kali
1 kali

4 Edisi
1000 eksemplar
200 eksemplar
100 eksemplar
800 eksemplar
1 kegiatan

1 dokumen

1 kali

Rp. 80.765.000
5 MDK
30 Orang

3 kali/SPTN

139

Berikut adalah penjelasan kontribusi Balai TN Wakatobi dalam


pengelolaan SDAH secara lestari.
a) Kegiatan Perlindungan Sumber Daya Alam Hayati
Perlindungan dan pengamanan kawasan pada dasarnya merupakan
upaya melindungi dan mengamankan kawasan dari berbagai macam
gangguan baik oleh manusia, atau gangguan lainnya seperti kebakaran,
gangguan ternak, hama dan penyakit (Peraturan Direktur Jenderal PHKA,
2005). Kegiatan perlindungan dan pengamanan ini sangat penting dalam
melestarikan sumber daya alam hayati yang ada di Wakatobi. Balai TN
Wakatobi (2005) menyatakan bahwa kegiatan pengamanan ini dibagi
menjadi: 1) Pengamanan Preemtif (bersifat pembinaan dan penyuluhan
terhadap masyarakat), 2) Pengamanan Preventif (bersifat pengawasan
dan pencegahan) dan 3) Pengamanan Represif (bersifat penindakan
secara hukum terhadap pelaku tindak pidana)
Disetiap tahun, Balai TN Wakatobi telah melaksanakan kegiatan
perlindungan yang terdiri dari patroli rutin, patroli intelejen, patroli
mendadak/insidental,
kelembagaan,

patroli

penyelesaian

gabungan,
kasus

hukum,

penguatan

kapasitas

sosialisasi/penyuluhan.

Kegiatan ini merupakan upaya menjaga SDAH dari gangguan manusia


seperti illegal fishing, destructive fishing (pengeboman), dan kegiatan
yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi. Zonasi Taman Nasional Wakatobi
ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor:
SK.149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang Zonasi TN Wakatobi.

140

Adanya zonasi ini merupakan salah satu kontribusi Balai TN Wakatobi


dalam pengelolaan SDAH secara Lestari. Pembagian zonasi, peta zonasi,
sebaran zonasi dan ketentuan pengaturan kegiatan di setiap zona
disajikan pada lampiran 9.
Berikut adalah uraian untuk setiap kegiatan sebagai kontribusi Balai
TN Wakatobi tahun 2012 khususnya dalam upaya perlindungan SDAH
secara lestari (Balai TN Wakatobi, 2012b).
(1) Patroli rutin dengan pesawat trike
Kegiatan ini merupakan patroli dengan menggunakan pesawat trike
aquilla yang berkapasitas 2 orang. Patroli ini merupakan upaya memonitor
kawasan, jika ditemukan ada pelaksanaan pelanggaran keamanan
kawasan maka akan disampaikan kepada pihak SPTN Wilayah yang
terdekat untuk ditindaklanjuti.
(2) Operasi Intelejen
Operasi ini bertujuan untuk menyajikan resume data/bahan informasi
positif tentang adanya kejadian pelanggaran pidana bidang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya di kawasan Taman Nasional
Wakatobi sebagai bahan masukan bagi upaya penyelidikan atau penyidikan
lebih lanjut.
(3) Operasi Pengamanan gabungan
Operasi pengamanan gabungan ini terdiri dari pihak Balai TN
Wakatobi, serta pihak TNI/Polri. Kegiatan ini merupakan upaya untuk
mengatasi dan menurunkan permasalahan praktek pemanfaatan sumber

141

daya alam yang merusak, sekaligus sebagai upaya untuk mensinergikan


pengelolaan Taman Nasional Wakatobi.
(4) Patroli Mendadak
Untuk mengantisipasi kegiatan-kegiatan yang melanggar aturan
dibidang konservasi, misalnya penggunaan bom, bius dan pemanfaatan
satwa yang dilindungi seperti penyu dan telurnya maupun kima, maka pihak
Balai pun melakukan patroli mendadak untuk melakukan pengecekan pada
suatu lokasi. Misalnya melakukan pengecekan karamba milik nelayan untuk
mengetahui apakah terdapat hewan atau tumbuhan yang dilindungi atau
tidak serta pengecekan terhadap kapal-kapal penampung ikan untuk
memeriksa kelengkapan surat ijin ataupun isi kapal penampung.
(5) Rapat koordinasi pengamanan dengan instansi terkait
Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan menjelaskan kondisi
perkembangan keamanan kawasan, mengidentifikasi permasalahan yang
terkait dengan pengamanan kawasan, Pemetaan masalah dan aspirasi
stakeholder terkait dengan pengamanan kawasan (SPTN Wilayah II,
2012).
(6) Sosialisasi pengelolaan TN Wakatobi tingkat kecamatan di 3 Seksi
Pengelolaan Taman Nasional
Sosialisasi pengelolaan TNW tingkat kecamatan (1 kali/SPTN).
Tujuan

kegiatan

ini diharapkan

stakeholder

di

tingkat

mengetahui dan memahami pengelolaan kawasan TN Wakatobi.


(7) Sosialisasi/penyuluhan di tingkat desa/resort

kecamatan

142

Jumlah resort di TN Wakatobi ada 7 resort, kegiatan ini merupakan


upaya peningkatan pemahaman tentang konservasi bagi masyarakat yang
ada di desa-desa di wilayah resort.
(8) Patroli penjagaan (patroli rutin) kawasan di 7 resort
Patroli rutin merupakan patroli yang secara rutin dilaksanakan.
Tujuan dari kegiatan ini yaitu menurunkan tingkat gangguan keamanan
kawasan Taman Nasional Wakatobi khususnya di wilayah darat dan
perairan pesisir pantai pada setiap Seksi Pengelolaan Taman Nasional dari
kegiatan pemanfaatan dan perikanan yang merusak dan ilegal dan juga
untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan tugas pengamanan kawasan
TN Wakatobi khususnya di wilayah pesisir pada setiap Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah.
(8) Pembuatan papan informasi/petunjuk/larangan di masing-masing resort
sebanyak 4 unit
Pembuatan papan informasi/petunjuk/larangan merupakan kontribusi
Balai TN Wakatobi dalam rangka pengelolaan sumber daya alam hayati
secara lestari. Informasi, petunjuk maupun larangan merupakan suatu
bahan informasi bagi seluruh lapisan masyarakat tentang pengelolaan
SDAH.
(9) Pelatihan rutin menembak
Pelatihan ini merupakan kegiatan untuk meningkatkan keterampilan
menembak dengan menggunakan senjata api bagi polisi kehutanan.
Dalam penggunaan senjata api ini, seorang polhut harus memiliki surat ijin

143

menembak dari Polda Sulawesi Tenggara. Dengan demikian penggunaan


senjata api ini dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku
khususnya dalam pengamanan kawasan.
(10) Penanganan kasus sampai dengan P.21
Pada tahun 2012, dari target 5 kasus, hanya terdapat 1 kasus baru
yakni

tindak

pidana

penggunaan

bahan

peledak

(bom)

dalam

penangkapan ikan di Wilayah SPTN Wilayah III Tomia tepatnya di karang


koromaha yang sudah sampai pada P.21. Dalam kegiatan ini sebagian
besar pelaku pelanggaran yang terjadi tahun 2012 tidak dapat
diamankan/ditangkap karena terkendala oleh beberapa hal diantaranya
adalah cuaca yang kurang baik, dimana lokasi terletak jauh dari
jangkauan polhut, waktu pelaksanaannya pun di malam hari, serta adanya
perlawanan/tidak menghentikan kapalnya ketika akan ditangkap.
b) Pengawetan Sumber Daya Alam Hayati
Berdasarkan data Balai TN Wakatobi (2012b), berikut adalah
kegiatan-kegiatan pengawetan yang dilakukan sepanjang tahun 2012.
(1) Melaksanakan kegiatan monitoring mangrove, lamun, SPAGs (daerah
pemijahan ikan), karang, cetacean, penyu, burung pantai/laut merupakan
kegiatan rutin tahunan yang dilaksanakan untuk mengetahui trend kondisi
8 sumber daya target konservasi.
(2) Ekspose hasil kegiatan monitoring 8 sumber daya prioritas TN
Wakatobi

144

Kegiatan ini merupakan upaya mensosialisasikan hasil monitoring


sumber daya target konservasi yang telah dilakukan oleh Balai TN
Wakatobi untuk meminta saran dan masukannya kepada pihak-pihak
yang Kompeten di bidangnya. Ekspose hasil monitoring 8 sumber daya ini
dilaksanakan di Bogor yang dihadiri oleh perwakilan dari Direktorat
Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Konservasi Kawasan dan
Bina Hutan Lindung, IPB, RARE, The Nature Conservancy (TNC) dan
lain-lain.
(3) Identifikasi dan inventarisasi kima, kepiting kenari, tanaman obat dan
tanaman anggrek.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi jenis kima di
lokasi

monitoring,

mengetahui

jumlah

kelimpahan

individu

kima,

mengetahui kisaran ukuran panjang kima antara zona larang ambil dan
zona pemanfaatan, mengetahui komparasi ukuran panjang kima antar
masing-masing lokasi pengamatan.
(4) Monitoring dan evaluasi pilot project rehabilitasi terumbu karang di
SPTN Wilayah I.
Diperoleh data mengenai kondisi pertumbuhan karang yang relatif
baik namun dibeberapa sampel/lokasi mengalami gangguan karena terlalu
dangkal sehingga terbawa arus ketika air laut surut.
(5) Pengelolaan demplot penetasan telur penyu semi alami di SPTN
Wilayah III.

145

Pada tahun 2012 tercatat jumlah telur penyu yang berhasil


ditetaskan sebanyak 198 ekor dari jumlah telur yang dieram di demplot
sebanyak 243 tukik, serta penyu yang berhasil dilepaskan di alam
sepanjang tahun 2012 sebanyak 198 ekor.
(6) Pembuatan persemaian mangrove di masing-masing resort dengan
melibatkan masyarakat dan anggota kader konservasi, kelompok pecinta
alam, dan Pramuka Saka Wana Bhakti, sebagai upaya menyediakan bibit
mangrove

di

lokasi

hutan

mangrove

yang

mengalami

kerusakan/gangguan.
c) Pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati Secara Lestari
Kegiatan

pemanfaatan

SDAH

secara

lestari,

merupakan

pemanfaatan yang berasaskan prinsip-prinsip konservasi, diantaranya


yaitu pemanfaatan SDAH sebagai objek daya tarik wisata, bahan promosi,
bahan penyuluhan dan pendidikan. Berdasarkan data Balai TN Wakatobi
(2012b), pada tahun 2012 kegiatan pemanfaatan SDAH secara lestari
yang telah dilakukan Balai TN Wakatobi adalah sebagai berikut.
(1) Peran serta dalam pameran HUT Provinsi Sultra di Kota Raha.
Kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan pengelolaan Taman
Nasional Wakatobi khususnya pengelolaan SDAH dan mempromosikan
potensi wisata alam yang ada di TN Wakatobi sehingga diharapkan para
pengunjung memiliki kesadaran akan konservasi dan berminat untuk
berwisata ke TN Wakatobi.

146

(2) Pameran

obyek

wisata

alam

dan

budaya

di

Batam

yang

diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.


Kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan potensi wisata alam
yang ada di TN Wakatobi serta pengelolaan SDAH yang telah dilakukan
Balai TN Wakatobi, sehingga diharapkan dapat menarik minat para
pengusaha untuk berinvestasi di Wakatobi dalam bidang pengusahaan
pariwisata alam serta menarik para pengunjung untuk berwisata ke
Wakatobi.
(3) Penyusunan dan pencetakan buletin triwulan napoleon dan pembuatan
dokumentasi TN Wakatobi (leaflet zonasi, kalender, buku agenda,
pencetakan seri buku pengenalan jenis sumber daya penting, dan
pembuatan dokumentasi foto dan film)
Kegiatan ini merupakan kegiatan dalam rangka menyiapkan media
dan bahan promosi baik terkait sumber daya prioritas maupun kegiatan
lainnya.
(4) Penyusunan master plan pengembangan pariwisata alam TN
Wakatobi.
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya dalam peningkatan
pengelolaan pengusahaan pariwisata alam.
(5) Sosialisasi peraturan pengusahaan pariwisata alam dan PNBP
kepada pengusaha pariwisata alam (PT. Wakatobi Resort) sebagai upaya
mendorong pengusahaan pariwisata alam di TN Wakatobi.

147

Saat ini pengurusan IPPA Wakatobi telah diajukan ke Direktorat


Jenderal PHKA, namun hingga saat ini masih menunggu ditetapkannya
desain TAPAK TNW sebelum diterbitkan IPPA-nya.
(6) Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan wisata alam di sekitar TN
Wakatobi.
Kegiatan ini dilaksanakan melalui peningkatan kapasitas di 5 Model
Desa Konservasi, dan juga pemberian bantuan ekonomi produktif yaitu
berupa bantuan peralatan, bahan dan bibit/benih sesuai dengan usulan
dari kelompok petani/nelayan.
(7) Pembentukan kader konservasi tingkat pemula sebanyak 30 orang di
SPTN Wilayah II dan SPTN Wilayah III.
(8) Penyuluhan

dan

pendidikan

konservasi

bagi

pelajar

tingkat

SLTA/SLTP di masing-masing SPTN, serta kemah konservasi di masingmasing SPTN.


(9) Pengelolaan PNBP
Laporan PNBP hingga tahun 2012 yaitu sebesar Rp. 80.765.000 naik
93,94 % dari tahun 2011 (42.987.500). Jumlah pengunjung tahun 2012
tercatat 3.818 orang dimana 247 orang wisatawan dalam negeri dan 3.571
orang merupakan wisatawan mancanegara.
Dalam rangka meningkatkan kapasitas SDM, pada tahun 2012
Balai TN Wakatobi telah melakukan beberapa pelatihan dan berpartisipasi
dalam

pelatihan

oleh

beberapa

sebagamana disajikan pada Tabel 33.

instansi

Kementerian

Kehutanan

148

Tabel 33. Pelatihan dalam Rangka Peningkatan Kualitas


2012
No

Jumlah peserta
(orang)

Jenis Pelatihan

SDM Tahun
Penyelenggara

1
2
3

GIS tingkat Analis


Teknik Fasilitasi
Pelatihan menembak

5 orang
1 orang
20 orang

BTN Wakatobi
BDK Makassar
BTN Wakatobi

4
5
6

Pelatihan Bahasa Inggris


Pelatihan Penatausaha barang persediaan
Bimtek Inventarisasi dan monitoring species di bandung

5 orang
1 orang
1 orang

BTN Wakatobi
Biro Umum
Dit. KKH

7
8
9
10
11
12
13
14

In house Training Pepres 54


Penyegaran bendahara Penerima
Pelatihan analisis dan penulisan ilmiah
Pelatihan Underwater Fotografi
Peningkatan Kapasitas SDM perencanaan
Pelatihan selam tingkat Advance
In house Training RBM (Resort based Management)
Pelatihan Perawatan Peralatan Selam

2 orang
1 orang
15 orang
8 orang
1 orang
6 orang
15 orang
8 orang

BPDAS Sampara
Biro Keuangan
BTN Wakatobi
BTN Wakatobi
Biro Perencanaan
BTN Wakatobi
BTN Wakatobi
BTN Wakatobi

Sumber: Statistik TN Wakatobi 2012 (BTNW,2013a)

Kontribusi Balai TN Wakatobi (BTNW) dalam pengelolaan SDAH


secara lestari dapat disimpulkan bahwa kegiatan-kegiatannya fokus pada
upaya-upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari
yang ketiganya merupakan aspek-aspek konservasi. Hal ini berarti
kontribusi BTNW sangat mendukung kolaborasi perencanaan pengelolaan
SDAH, dimana dengan telah dilakukannya kegiatan-kegiatan konservasi
mulai dari patroli/operasi pengamanan, penyuluhan/sosialisasi peraturan,
monitoring 8 sumber daya penting, pembuatan persemaian mangrove,
pengelolaan pengunjung dan PNBP, pembinaan pengusahaan pariwisata
alam,

pameran,

pemberdayaan

masyarakat

melalui

Model

Desa

Konservasi, peningkatan penyadaran masyarakat melalui penyuluhan dan


pendidikan konservasi, diharapkan pelaksanaan kolaborasi pengelolaan
SDAH dapat berjalan dengan baik karena salah satu pihak telah memiliki
modal pengalaman melaksanakan kegiatan konservasi.

149

Dalam kolaborasi, pihak-pihak yang berencana untuk berkolaborasi


harus dalam posisi setara yaitu sama-sama sebagai kontributor dalam
pengelolaan (Disubstansikan dari Salman, 2012), salah satu diantaranya
adalah sama-sama harus menjadi aktor (subyek) dalam pengelolaan dan
bukan dalam kondisi adanya subyek dan obyek pengelolaan sebagaimana
yang terjadi pada kegiatan yang direncanakan secara teknokratis (topdown), dimana masyarakat seringkali dijadikan obyek pembangunan oleh
para perencana di instansi pemerintah. Oleh karena itu kedua pihak yang
berkolaborasi

harus

memiliki

pengalaman

sebelumnya

dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan konservasi, sehingga pelaksanaan


kolaborasi dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, kontribusi dari
Pemerintah Kabupaten Wakatobi pun perlu dikaji untuk mengetahui
sejauh mana kontribusinya tersebut dapat mendukung kolaborasi. Bagian
(b)

merupakan

kajian

terhadap

kontribusi

Pemerintah

Kabupaten

Wakatobi.
(b) Kontribusi Pemerintah Kabupaten Wakatobi Dalam Pengelolaan
SDAH Secara Lestari
Pemerintah Kabupaten Wakatobi memiliki SKPD teknis dalam
pengelolaan SDAH. Terdapat 6 SKPD yang memiliki peran/kontribusi
terhadap pengelolaan SDAH secara lestari sebagaimana disajikan pada
Tabel 34.

150

Tabel 34. SKPD yang terkait dengan Pengelolaan SDAH


No
1

3
4
5
6

SKPD
Peran/Kontribusi
Badan Perencanaan Pembangunan, Pengesahan Zonasi TN dan
Penanaman Modal, Penelitian dan memberikan pertimbangan teknis
Pengembangan Daerah (Bappeda)
Rencana Pengelolaan Taman
Nasional
Dinas
Tata
Ruang,
Kebersihan Merancang RTRW dimana zonasi
Pertamanan,
Pemakaman,
dan TN
Wakatobi
diakomodir
Pemadam Kebakaran (TRKP3K)
didalamnya
Dinas Kelautan dan Perikanan
Monitoring SDA, Pengamanan
Kawasan
Dinas Kebudayaan dan pariwisata
Promosi Wisata
Badan Lingkungan Hidup
Monitoring SDA, Pengamanan
Kawasan
Dinas
Pertanian,
kehutanan, Pengamanan
Kawasan
Perkebunan dan Peternakan (PKP2) khususnya mangrove
khususnya Bidang Kehutanan

Berikut ini adalah penjabaran kontribusi dari masing-masing SKPD


dalam pengelolaan SDAH secara lestari.
(1) Kontribusi Bappeda
Kontribusi terbesar dari Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam
pengelolaan SDAH secara lestari adalah telah menyepakati Zonasi
Taman Nasional Wakatobi dengan ditandatanganinya peta zonasi Taman
Nasional Wakatobi oleh Kepala Bappeda dan Bupati Wakatobi. Dengan
demikian Pemerintah Kabupaten Wakatobi sangat mendukung kolaborasi
perencanaan pengelolaan SDAH secara lestari, dimana zonasi tersebut
merupakan pengaturan pengelolaan sumber daya alam hayati secara
lestari khususnya SDA laut. Berikut adalah peta zonasi TN Wakatobi yang
telah ditandatangani oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi.

151

Gambar 8. Zonasi Taman Nasional Wakatobi (BTNW dkk. 2007)


Kontribusi Pemerintah Wakatobi dalam bidang perencanaan yaitu
mendukungan secara penuh Rencana Pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi (RPTN tahun 1998-2023 revisi tahun 2008 dengan memberikan
rekomendasi teknis sebagaimana disajikan pada lampiran 2.
Pada Tahun 2012 program-program Bappeda yang mendukung
konservasi SDAH terfokus pada aspek pemanfaatan secara lestari
meliputi: 1) program perencanaan wilayah dan sumber daya alam; 2)
program peningkatan iklim investasi dan realisasi investasi; 3) program
peningkatan promosi dan kerjasama investasi; 4) program peningkatan
penelitian dan pengembangan daerah; 5) program pengembangan
data/informasi. Dengan demikian, maka kontribusi Bappeda sangat

152

mendukung kolaborasi khususnya dalam perencanaan pengelolaan


SDAH. Rincian kegiatan setiap program disajikan pada lampiran 11.
(2)

Dinas Tata Ruang KP3K


Pemerintah Kabupaten Wakatobi selain telah menandatangani peta

zonasi TN Wakatobi, juga telah mengakomodir zonasi Taman Nasional


Wakatobi ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), yaitu
berdasarkan Perda No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Wakatobi Tahun 2012-2032.

Kebijakan penataan

ruang berdasarkan perda tersebut yaitu:


a. pengembangan kegiatan utama berbasis kelautan-perikanan dan
pariwisata serta pemanfaatan ruang secara optimal pada setiap
kawasan budidaya lainnya;
b. pengembangan sarana dan prasarana guna mendukung kegi