Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Deep Vein Thrombosis (DVT) atau disebut juga dengan thrombosis vena dalam
merupakan kondisi terbentuknya thrombus (bekuan darah) di dalam vena, terutama pada
vena tungkai bawah. Thrombus yang terlepas dapat merusak katup vena dan
menimbulkan sindrom pascatromboflebitis dan bahkan dapat mengakibatkan terjadinya
emboli paru yang mengancam jiwa. 1
Sejak awal tahun 1990-an Radiologist internasional sudah mengembangkan
metode endovascular sebagai terapi pada ekstremitas inferior. Pada tahun 2006, Society
of

International

Radiologist

(SIR)

pertama

kali

mempublikasikan

panduan

penatalaksanaan DVT dan direvisi tahun 2013 sehingga tatalaksana DVT dilakukan
dengan endovascular thrombus removal treatment.2
Angka kejadiannya berjumlah 0,1% penduduk pertahun. Kejadian rata-rata DVT
adalah 48 per 100.000 penduduk dengan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin. DVT
dapat mengakibatkan kematian, namun dapat dicegah.3 Oleh karena itu, penting bagi
kita untuk mengatahui tentang Deep Vein Thrombosis.
1.2 Batasan Masalah
Batasan penulisan referat ini membahas anatomi, fisiologi pembuluh darah.
Membahas juga mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, klasifikasi, patogenesis,
gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Deep Vein
Thrombosis.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat bertujuan menambah pengetahuan tentang Deep Vein
Thrombosis.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Vena Manusia


Secara anatomi, pada tungkai terdapat tiga macam sistem vena yang mempunyai

arti klinis, yaitu sistem vena superficial (sistem vena permukaan), sistem vena profunda
(sistem dalam), dan sistem vena komunikans (sistem vena penghubung). Seluruh sistem
vena dilengkapi dengan katup yang menghadap ke arah jantung. Sistem vena terletak di
dalam bungkusan otot. 1
Sistem vaskuler terdiri atas dua system yang saling berhubungan : jantung kanan
memompa darah ke paru melalui sirkulasi paru, dan jantung kiri memompa darah ke
semua jaringan tubuh lainnya melalui sirkulasi sistemik. Pembuluh darah pada kedua
sistem merupakan saluran untuk pengangkutan darah dari jantung ke jaringan dan
kembali lagi ke jantung. Kontraksi ventrikel mensuplai tenaga dorong untuk
mengalirkan darah melalui sistem vaskuler. Arteri mendistribusikan darah teroksigenasi
dari sisi kiri jantung ke jaringan, sementara vena mengangkut darah yang
terdeoksigenasi dari jaringan ke sisi kanan jantung.4
Pembuluh kapiler yang terletak di antara jaringan menghubungkan sistem arteri
dan vena dan merupakan tempat pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme antara sistem
sirkulasi dan jaringan, arteriol dan venul yang terletak disebelah kapiler, bersama
dengan kapiler , menyusun sirkulasi mikro.4
Secara struktural vena merupakan analogi system arteri dan vena cava sesuai
dengan aorta. Dinding vena berbeda dengan dinding arteri, lebih tipis dan lebih sedikit
ototnya. Hal ini memungkinkan dinding vena mengalami distensi lebih besar dibanding
arteri. 4
Vena adalah pembuluh darah yang mengalirkan darah kembali ke jantung. Vena
terkecil dinamakan venula. Vena juga mempunyai katup untuk menghalang aliran balik
darah.4

Gambar 2.1 Prinsip fungsi katup vena (panah yang mengarah ke atas menunjukkan arah aliran darah.
Katup menutup kalau ada aliran balik (arah panah ke bawah).5

Gambar 2.2 Vena pada sirkulasi sistemik


(pada tungkai kanan, diperlihatkan vena-vena bagian luar (superficial) dan pada tungkai kiri vena-vena
bagian dalam (profunda). 5

Gambar 2.3 Vena dan saraf epifacial pada tungkai bawah dan kaki, region kruris dan regio pedis. 5

Gambar 2.4 Pembuluh vena dan saraf epificial di dorsum pedis 5

2.2.

Definisi Deep Vein Thrombosis


Trombosis vena dalam atau Deep vein thrombosis (DVT) merupakan

pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. DVT disebabkan oleh
disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena
(stasis) yang dikenal dengan Trias Virchow. 6,7
2.3.

Epidemiologi Deep Vein Thrombosis


DVT dapat mengakibatkan kematian, namun dapat dicegah. Angka kejadiannya

berjumlah 0,1% penduduk pertahun. Kejadian rata-rata DVT adalah 48 per 100.000
penduduk dengan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin. Namun, laki-laki memiliki
risiko yang tinggi untuk terjadinya thrombosis berulang.3
4

Pada beberapa penelitian juga didapatkan bahwa kejadian DVT meningkat


sesuai umur, dengan angka kejadian 1 per 10.000 20.000 populasi pada umur dibawah
15 tahun, dan meningkat secara eksponensial sesuai dengan umur hingga 1 per 1000
kasus pada usia diatas 80 tahun.8,9,10

Insidensi DVT pada ras Asia dan Hispanic

dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan ras Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin,


dan Asia Pasifik.9 Angka insidensi yang lebih rendah ini masih belum dapat dijelaskan,
namun diduga berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor predisposisi genetik,
seperti faktor V Leiden.9 Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita,
walaupun penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause
merupakan faktor resiko terjadinya DVT.9
Trombosis dapat terjadi pada bagian distal dan proksimal vena. Pada pasien
DVT simptomatis, lokasi thrombosis ditemukan 10% pada v. poplitea, 42% pada v.
poplitea dan v. femoralis superficial, 35% pada semua vena proksimal, dan 5% pada v.
femoralis superfisialis atau v. iliaka. 1
2.4.

Etiologi dan Faktor Resiko


Beberapa faktor risiko terjadinya DVT 9,11

1. Didapat (acquired)
- Bertambahnya usia
- Tindakan pembedahan (ortopedi, bedah saraf, laparotomi,dll)
- Trauma
- Kateter vena sentral
- Keganasan
- Sindrom antifosfolipid
- Puerperium
- Imobilisasi lama (tirah baring, paralisis ekstremitas)
- Kehamilan
- Obesitas
- Kontrasepsi oral
- Terapi sulih hormon
- Penyakit myeloproliferatif
- Polisitemia vera
- Infark miokard
- Varises
2. Diturunkan
- Defisiensi antitrombin
- Defisiensi Protein C
- Defisiensi Protein S
- Faktor V Leiden (FVL)
- Prothrombin G20210A
5

- Kelompok Golongan darah non-O


- Disfibrinogenemia
3. Campuran keduanya
- Tingginya kadar PCI (PAI-3)
- Tingginya kadar salah satu faktor pembekuan darah dibawah ini: VIII, IX, XI
- Tingginya kadar fibrinogen
- Tingginya kadar TAFI (Thrombin Activated Fibrinolysis Inhibitor)
- Menurunnya kadar TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor)
- Resistensi protein C teraktivasi pada absennya FVL
- Hiperhomosisteinemia
2.5.

Patofisiologi dan Patogenesis Deep Vein Thrombosis


Terdapat tiga faktor yang dapat mengakibatkan thrombosis vena yang ditemukan

oleh Virchow pada tahun 1856 yang dikenal dengan Trias Virchow.1Trias Virchow
meliputi cedera pembuluh darah, hiperkoagulabilitas, dan stasis.11
Trias Virchow : 1
1. Pembuluh darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan
darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena banyak terjadi
pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper
koagulasi, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan
kelainan plasminogen.12,13
Bila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah, akan mempermudah adhesi
trombosit pada subendotel. Thrombosis berdekatan akan dihubungkan oleh
fibrinogen dan terjadi agregasi trombosit yang membentuk plak trombosit. Selain
itu, kerusakan jaringan akan mengaktifkan sistem koagulasi jalur ekstrinsik yang
menghasilkan thrombus dan fibrin. 1
2. Koagulasi darah
Migrasi leukosit di tempat kerusakan jaringan akan mengakibatkan aktifnya
koagulasi. Aktivasi koagulasi tersebut akan mengaktifkan F X menjadi F Xa dan
melaui jalur umum, X Fa bersama F V dan faktor 3 trombosit akan mengubah
protrombin menjadi thrombin. Fibrin tersebut akan menjadi dasar bekuan atau
thrombosis. Koagulasi darah juga dapat meningkat karena faktor umur, trombofilia,
dan kondisi tertentu. 1
3. Stasis
6

Pada kondisi stasis, faktor koagulasi yang aktif akan lambat dibawa ke hati untuk
mengalami pembersihan (clearance). Stasis juga mencegah bercampurnya faktor
pembekuan aktif dengan antikoagulan. Selain itu, stasis juga mempermudah
interaksi trombosit dengan faktor pembekuan di dalam pembuluh darah. Akibat
terjadinya thrombus, aliran darah vena menjadi terhambat dan cairan dapat keluar
dari pembuluh darah ke jaringan interstitial sehingga menimbulkan udem. Udem
selanjutnya dapat menekan saraf perifer dan mengakibatkan adanya keluhan nyeri
terutama saat beraktivitas. Stasis vena juga dapat ditimbulkan oleh imobilitas,
obstruksi vena, gagal jantung. 1
Selain itu, stasis vena juga dapat menyebabkan desaturasi hemoglobin dan
mengarah pada suatu keadaan hipoksia pada endotelium. Suplai nutrisi endotelium
berasal dari perfusi langsung sel-sel darah di dalam lumen. Keadaan hipoksia pada
endotelium dapat menyebabkan berbagai respon seluler, mulai dari tidak ada respon,
aktivasi sel, hingga kematian sel. Keadaan iskemia dapat memicu aktivasi sel
endotelial untuk mengekpresikan P-selectin, yang kemudian memungkinkan
kompleks TF-mikrovesikel untuk menginisiasi koagulasi dan trombosis. 1

Gambar 2.5 Skema terbentuknya trombosis vena

2.6.

Manifestasi Klinis Deep Vein Thrombosis


Manifestasi klinis utama DVT adalah bengkak, perubahan warna, nyeri, dan

function laesa. Lebih dari 25% pasien yang mengeluhkan hal tersebut ternyata
mengalami DVT. Beberapa pasien datang dengan riwayat gejala dan tanda thrombosis
vena yang berulang, yaitu bengkak dan nyeri tungkai, bengkak dan warna kulit gelap
atau kehitaman dan sering berkembang menjadi luka pada maleolus yang merupakan
7

gejala pascatrombosis. Bila terjadi sumbatan massif pada vena iliofemoral, aliran darah
balik dari pembuluh darah balik kaki tersumbat total sehingga terjadi pembengkakan
mulai dari paha sampai kaki yang tampak kebiruan disertai nyeri. Kondisi ini disebut
phlegmasia cerrulae dolons. 1
Salah satu penyulit DVT adalah terjadinya udem paru. Pasien tiba-tiba mengeluh
sakit dada, sesak, gelisah, sianosis, dan hemoptisis. Pada setiap pasien DVT perlu
dipikirkan emboli paru karena kejadiannya dapat terjadi lebih dari 2/3. 1
2.7.

Pemeriksaan Penunjang Deep Vein Thrombosis


Diagnosis DVT tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan

manifestasi klinis, tetapi juga memerlukan pemeriksaan penunjang.


Pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

membantu

menegakkan

diagnosis pasti adalah dengan venografi, dimana sensitifitas dan


spesifisitas mencapai 100%. Namun venografi memiliki kelemahan,
yaitu tindakan invasif dan mempunyai efek samping phlebitis dan
pembentukan trombosis, oleh karena itu venografi tidak digunakan
sebagai alat bantu pertama dalam mendiagnosis DVT.14
D-dimer juga dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang,
apalagi bila dikombinasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dengan
nilai prediksi negatif yang baik sehingga hasil negatif benar-benar
dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Akan tetapi, pemeriksaan Ddimer tidak begitu akurat pada pasien dengan malignansi dan
kehamilan atau pada pasien paska operatif, hal ini disebabkan pada
pasien malignansi, hamil dan paska operatif nilai D-dimer dapat
meningkat meskipun tanpa adanya DVT. Oleh karena itu, pada pasien
dengan malignansi, kehamilan dan paska operatif sangat dianjurkan
untuk mengkombinasi pemeriksaan D-dimer dengan ultrasonografi.14
Selain itu, dapat juga digunakan pemeriksaan impedance
pletysmography dan radiolabeled fibrinogen uptake, akan tetapi karena
kompleksitas pemeriksaan ini sudah tidak dipakai lagi dan digantikan
dengan pemeriksaan ultrasonografi.14

Gambar 2.6 Algoritma diagnosis DVT14

1. Venografi
Hingga saat ini venografi masih merupakan Gold Standart untuk pemeriksaan
thrombosis vena. Namun pemeriksaan venografi dinilai relatif sulit, mahal, dan
dapat menimbulkan nyeri bahkan menimbulkan thrombosis baru. Sehingga
pemeriksaan ini dirasa kurang nyaman oleh sebagian besar penderita.15
Venografi pada kasus DVT dilakukan dengan menggunakan zat kontras yang
disuntikkan ke dalam daerah dorsum pedis sehingga akan terlihat gambaran system
vena di betis, paha, inguinal, sampai ke proksimal vena iliaca.15
Flebografi/ venografi yang dilakukan pada ekstremitas bawah dilakukan dengan
teknik sebagai berikut:16
- Kaki yang akan diperiksa direndam dengan air panas selama 10 menit
- Lakukan pengikatan di atas mata kaki dengan karet elastik agar vena-vena di
-

punggung kaki terlihat lebih jelas


Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah punggung kaki
Lakukan pungsi pada salah satu vena interfalangea atau vena-vena yang ada di

punggung kaki dengan menggunakan wing needle no 22-23


Posisi pengambilan foto: kaki pasien difoto miring dengan sudut kira-kira 30 0450 dengan lantai. Pasien dapat difoto di meja Rontgen yang dimiringkan, atau
dapat juga dengan posisi pasien berdiri, kaki dimiringkan 300-450 dengan film

ukuran 20 x 100 cm di belakangnya


Suntikan zat kontras angiografin sebanyak kira-kira 40-80 ml
Posisi pengambilan foto:
o Pengikatan di atas mata kaki

Tungkai bawah, AP dan lateral


Lutut bawah, AP dan lateral
Tungkai atas, AP dan lateral
Daerah inguinal, AP
o Ikatan dibuka
Tungkai bawah, AP dan lateral
Lutut bawah, AP dan lateral
Tungkai atas, AP dan lateral
Gambaran patologik yang dapat terlihat pada foto flebografi (venografi):16
a. Flebitis; penyempitan vena, dinding vena ireguler, kalsifikasi, hipervaskularisasi
vena
b. Trombus dalam vena; tampak gambaran radiolusen berbentuk garis atau defek tak
beraturan di dalam vena
c. Penyumbatan vena; gambaran amputasi pada vena akibat munculnya kolateral pada
vena tersebut
d. Varises atau varikosis; tampak gambaran pelebaran dan berkelok0kelok pada vena
disekitar
e. Insufisiensi katup vena; kontras dapat memasuki vena padahal seharusnya kontras
tidak dapat memasuki vena tersebut
f. Aneurisma vena; tampak pelebaran pada dinding vena yang simetris, menyerupai
aneurisma
g. Defek pada vena; biasanya karena tertekan massa dari luar

Gambar 2.7 DVT pada Vena Poplitea Proximal17

10

Gambar 2.8 DVT pada betis17

2. Ultra sonografi (USG)


Menurut sebuah penelitian, pemeriksaan ini dapat memberikan hasil sensitivity
60.6% dan spesifity 93.9%. Pemeriksaan USG ini dilakukan terutama pada kasus
thrombosis vena yang berulang, yang sulit dideteksi menggunakan cara objektif
yang lain.15
USG untuk DVT terfokus pada ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik kompresi tiga poin sederhana yang berkonsentarasi pada
evaluasi terhadap daerah dengan turbulensi tertinggi dan paling berisiko untuk
trjadinya trombus, yaitu:18
1) Vena femoralis disaphenous junction,
2) Vena femoralis proksimal superficial dan profunda
3) Vena poplitea
Indikasi dilakukan USG pada kasus DVT, yaitu:18
1. Pembengkakan dan nyeri pada ekstremitas bawah
2. Diduga juga terjadi emboli paru namun secara klinis tidak stabil dan
kontraindikasi untuk dilakukan CT-scan thorax
3. Pulseless electrical activity (PEA)

11

Gambar 2.9 Posisi pasien saat pemeriksaan USG18

Gambar 2.10 Vena Femoralis normal18

Gambar 2.11 DVT pada Vena Femoralis18

12

Gambar 2.12 Aliran warna Doppler pada pembuluh darah yang normal18

Gambar 2.13 Aliran warna Doppler pada DVT18

Gambar 2.14 Vena Poplitea normal18

13

Gambar 2.15 DVT pada Vena Poplitea18

2.8.

Penatalaksanaan Deep Vein Thrombosis


Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya

sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan
yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius. 10,

17,18

Penatalaksanaan DVT baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat


mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 11,20
1.
Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2.
Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
3.
Mengurangi keluhan post flebitis
4.
Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.
1.

Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi

morbiditas pada serangan akut. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena
pasien diajurkan untuk: istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki, dan
dilakukan pemasangan stoking dengan tekanan kira-kira 40mmHg.19,20
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada
pasien-pasien dengan bedrest, namun tujuan bedrest pada pasien-pasien dengan DVT
adalah untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan
berlebihan dari tungkai yang mengalami DVT dapat membuat klot terlepas dan
berjalan ke paru. Dahulu, pasien dengan DVT aktif diharuskan bedrest selama 7-10
hari. Namun, pada penelitian Patrtsch dan Blattler dengan design kohort melaporkan
bahwa ambulasi dini dapat mengurangi nyeri dan pembengkakan segera. Ambulasi dini
dilakukan pada pasien DVT yang belum terdiagnosa PE dan tidak memiliki kelainan
14

kardiopulmoner. Ambulasi dini juga disarankan pada pasien dengan kondisi


hiperkoagulasi dan dilakukan sekitar 24jam setelah menerima terapi antikoagulan.19
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam
serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di
anjurkan tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan
pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.20
2.

Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan

pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di
usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian
anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di
pakai adalah heparin. Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save
artinya anti koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat
menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada
pemberian heparin perlu di pantau waktu tromboplastin parsial atau di daerah yang
fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.

15

a. Pemberian Heparin
b. Diberikan heparin 5000 IU bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips
1000 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam
kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 2,5 kontrol.
- Bila APTT 1,5 2,5 x kontrol dosis tetap.
- Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 150 iu/jam.
- Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
c.
d. Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6
jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam
pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
e. Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
f. Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana
penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
g. Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)1
h. Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan
pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat
ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin
Fraxiparin).
i.
j.

Tabel Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT 11


k.
Nama
l.
Dosis
Obat
m.
Enoxa n.
1mg/kgBB, terbagi 2 dosis per hari
parin
o.
Daltep p.
200UI/kgBB, satu kali sehari
arin
q.
Tinza r.
175UI/kgBB, satu kali sehari
parin
s.
Nadro t.
6150UI terbagi 2 dosis, untuk BB
parin
50-70kg
u.
4100 UI terbagi 2 dosis, bila BB
<50kg
v.
9200 UI terbagi 2 dosis, bila BB
>70kg
w.
Revip x.
4200 UI terbagi 2 dosis, untuk BB
arin
46-60kg
y.
3500 UI terbagi 2 dosis bila BB
35-45kg
z.
6300 UI terbagi 2 dosis, bila BB >
16

aa.
Fonda
parinux

60kg
ab.
7,5mg satu kali sehari untuk BB
50-100kg
ac.
5mg satu kali sehari untuk BB
<50kg
ad.
10mg satu kali sehari untuk
BB>100kg

ae.
af. LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih dipilih
dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada pasien-pasien
dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.
ag. Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena

tetap

menjadi

antikoagulan inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH yang
telah terbukti efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat pada tabel di
atas.
ah. Pemberian Antikoagulan Oral11,20
ai. Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah
rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium
warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 8 mg (single dose) pada
malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR
(International Normolized Ratio). Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu
sampai 3 bulan apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang
reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer.
aj. Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah20,21:
1.
Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2.
Perdarahan yang baru di otak.
3.
Alkoholisme.
4.
Lesi perdarahan traktus digestif.
ak. Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin,
akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin
tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,
terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen
activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin,
sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA
dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase
diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik
17

ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin
dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi
perdarahan sereral. Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka
diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu
protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
3.
Tindakan Pembedahan
a.
Tindakan bedah dilakukan apabila pada upaya preventif dan pengobatan
medikamentosa tidak berhasil serta adanya bahaya komplikasi. Ada beberapa pilihan
tindakan bedah yang bisa dipertimbangkan antara lain:22
a. Ligasi vena, dilakukan untuk mencegah emboli paru. Vena Femoralis dapat diikat
tanpa

menyebabkan

kegagalan

vena

menahun,

tetapi

tidak

meniadakan

kemungkinan emboli paru. Ligasi Vena Cava Inferior secara efektif dapat mencegah
terjadinya emboli paru, tapi gejala stasis hebat dan resiko operasi lebih besar
dibanding dengan pemberian antikoagulan dan trombolitik.
b. Trombektomi, vena yang mengalami thrombosis dilakukan trombektomi dapat
memberikan hasil yang baik jika dilakukan segera sebelum lewat 3 hari. Tujuan
tindakan ini adalah: mengurangi gejala pasca flebitik, mempertahankan fungsi katup
dan mencegah terjadinya komplikasi seperti ulkus stasis dan emboli paru.
c. Femorofemoral grafts disebut juga cross-over-method dari Palma, tindakan ini
dipilih untuk bypass vena iliaka serta cabangnya yang mengalami trombosis.
Tekniknya vena safena diletakkan subkutan suprapubik kemudian disambungkan
end-to-side dengan vena femoralis kontralateral.
d. Saphenopopliteal by pass, dilakukan bila rekanalisasi pada trombosis vena femoralis
tidak terjadi. Metoda ini dengan menyambungkan vena safena secara end-to-side
dengan vena poplitea.
4.
a.
-

Rehabilitasi Medik :
Fisioterapi
Bed rest merupakan hal terakhir yang dilakukan setelah dilakukan kompresi kaki
dan ambulasi pada pasien yang sudah menderita DVT. Perkembangan thrombus

jarang terjadi dan kurang berat pada kelompok ambulasi.


Terapi fisik harus diberikan lebih dini untuk pasien DVT.
Pada pasien post-operasi, dapat dilakukan latihan range of motion, latihan
berjalan, dan latihan isometrik, yang dapat dimulai pada hari pertama setelah
operasi.

18

b.

Terapi manual
Terapi yang efektif pada pasien

c.

trauma (dengan antikoagulan) untuk mencegah DVT yakni gerakan pasif yang
berkelanjutan. Misalnya menggerakan sendi kaki secara pasief sebanyak 30 kali
dalam satu menit.
d.

Protesa-Ortesa
Penggunaan stoking kompresi

e.

elastic (ECS) setelah menderita DVT untuk mengurangi gejala dan tanda selama
latihan tidak memberikan hasil yang konklusif.
f.
2.9.

Komplikasi Deep Vein Thrombosis


g.

Komplikasi dari endovascular

DVT thrombus removal adalah terjadinya perdarahan. Hal tersebut ditemui pada
2,8% yaitu 30 kasus dari 151 kasus yang diikuti secara random. Perdarahan
intracranial, pulmonary embolism (PE) simptomatik, dan kematian adalah
komplikasi yang paling ditakuti pada prosedur endovascular thrombus removal.2
h.

2.10.

Pencegahan
i.

Pencegahan adalah upaya terapi

terbaik pada kasus trombosis vena dalam, terutama pada penderita yang
memiliki resiko tinggi. Peranan ahli rehabilitasi medik sangat dibutuhkan pada
upaya ini agar mereka yang berpotensi mengalami trombosis vena tidak sampai
mengalami DVT 22
j.

Ada

beberapa

program

rehabilitasi medik yang berfungsi untuk mencegah timbulnya trombosis vena


pada populasi resiko tinggi. Program-program tersebut adalah 23
a. Mobilisasi dini, program ini diberikan pada penderita beresiko timbul DVT oleh
karena keadaan yang mengakibatkan imobilisasi lama akibat kelumpuhan seperti
penderita stroke, cedera spinal cord, cedera otak, peradangan otak. Dengan
melakukan latihan pada tungkai secara aktif maupun pasif sedini mungkin aliran
balik vena ke jantung bisa membaik.
b. Elevasi, meninggikan bagian ekstremitas bawah di tempat tidur sehingga lebih
tinggi dari jantung berguna untuk mengurangi tekanan hidrostatik vena dan juga
memudahkan pengosongan vena karena pengaruh grafitasi.
c. Kompresi, pemberian tekanan dari luar seperti pemakaian stocking, pembalut
elastik, ataupun kompresi pneumatik eksternal dapat mengurangi stasis vena. Tetapi
19

pemakaian stocking dan pembalut elastik harus dikerjakan dengan hati-hati guna
menghindari efek torniket oleh karena pemakaian yang ceroboh.
d. Latihan, program latihan yang melibatkan otot-otot ekstremitas bawah akan sangat
membantu perbaikan arus balik pada sistem vena sehingga mengurangi tekanan
vena, dengan demikian dapat memperbaiki sirkulasi vena yang bermasalah dan
beresiko timbulnya DVT. Berikut beberapa contoh sederhana latihan yang bisa
diberikan pada kelompok resiko tinggi trombosis vena
1. Latihan dalam posisi berbaring
k.

l.

Gambar 2.16 Latihan dalam posisi


berbaring (1.a) Posisi berbaring
miring dengan posisi tungkai satu di
atas dengan yang lain selanjutnya
tungkai yang berada di atas diangkat
hingga 45 dipertahankan sesaat
kemudian kembali keposisi awal,
latihan dilakukan bergantian antara
kanan dan kiri tungkai masing-masing
6 kali.
m.
n.

o.

Gambar 2.17 Latihan dalam posisi


berbaring 1.b. Posisi terlentang kedua
tungkai bawah lurus selanjutnya salah
satu tungkai ditekuk dan ditarik
kearah dada perlahan, di
dipertahankan 15 detik sebelum
kembali ke posisi awal. Latihan
bergantian kanan dan kiri masingmasing 6 kali.
p.

20

q.

r.

Gambar 2.18 Latihan dalam posisi


berbaring 1.c. Posisi terlentang
dengan pergelangan kaki netral
selanjutnya kaki diekstensikan/plantar
fleksi dengan ujung jari ditekankan ke
bawah, pertahankan beberapa detik.
Gerakan tersebut diulangi 6 kali per
latihan.

s.

21

2. Latihan dalam posisi duduk

4.

7.

9.

3.
Gambar 2.19 Latihan dalam posisi duduk 2.a. Lutut dipertahankan pada posisi
fleksi selanjutnya diangkat keatas kea rah dada dan kembali diturunkan, demikian
gerakan dilakukan berulang secara bergantian antara sisi kiri dan kanan.
5.

6.
Gambar 2.20 Latihan dalam posisi duduk 2.b. Posisi sambil duduk kemudian lutut
diekstensikan dan kembali keposisi semula, dilakukan bergantian sisi kanan dan
kiri.

8.
Gambar Latihan dalam posisi duduk 2.c. Posisi duduk dengan lengan di samping,
selanjutnya tungkai bawah diangkat lurus ke atas, pertahankan beberapa detik
kemudian diturunkan. Gerakan diulang secsra bergantian masing-masing 6 kali.

10.
11. Gambar 2.22 Latihan dalam posisi duduk 2.d. Tumit diangkat keduanya
selanjutnya dilakukan gerakan melingkar/rotasi pada kedua kaki dengan arah
putaran berlawanan antara kiri dan kanan, gerakan dilakukan selama 15 detik
dilanjutkan dengan arah putaran sebaliknya.

22

12.
13. Gambar 2.23 Latihan dalam posisi duduk 2.e. Melakukan gerakan pumping pada
kedua kaki dengan menekan lantai pada ujung jati kaki sementara tumit diangkat,
dipertahankan 3 detik dan dilanjutkan dengan tumit menekan lantai sementara
ujung jari terangkat juga dipertahankan selama 3 detik, demikian dilakukan
berulang.

14.

23

2.11. BAB III


2.12. KESIMPULAN
2.13.
2.14.

Trombosis vena dalam atau Deep vein thrombosis (DVT) merupakan

pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. Kejadian rata-rata DVT
adalah 48 per 100.000 penduduk dengan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin.
Namun, laki-laki memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya thrombosis berulang.
2.15.

DVT

disebabkan

oleh

disfungsi

endotel

pembuluh

darah,

hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan Trias
Virchow, meliputi cedera pembuluh darah, hiperkoagulabilitas, dan stasis. Manifestasi
klinis utama DVT adalah bengkak, perubahan warna, nyeri, dan function laesa. Salah
satu penyulit DVT adalah terjadinya udem paru. Pasien tiba-tiba mengeluh sakit dada,
sesak, gelisah, sianosis, dan hemoptisis. Pada setiap pasien DVT perlu dipikirkan
emboli paru.
2.16. Diagnosis DVT tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan
manifestasi klinis, tetapi juga memerlukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

membantu

menegakkan

diagnosis pasti adalah dengan venografi, dan d-dimer. Sensitifitas dan


spesifisitas pada venografi mencapai 100%.
2.17.

Penatalaksanaan

nonfarmakologi,

tindakan

DVT
pembedahan,

meliputi
dan

farmakologi,

rehabilitasi

medic.

Penatalaksanaan DVT baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat


mencapai tujuan mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru,
mengurangi morbiditas pada serangan akut, mengurangi keluhan post flebitis, dan
mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.
2.18.

Komplikasi dari endovascular DVT thrombus removal adalah terjadinya

perdarahan, sedangkan komplikasi yang paling ditakuti pada prosedur endovascular


thrombus removalperdarahan intracranial, pulmonary embolism (PE) simptomatik, dan
kematian .
2.19.
2.20.
24

2.21.
2.22.

25

2.23. DAFTAR PUSTAKA


2.24.
1. Reksodiputro AH, Tambunan KL, Widjanarko A. Dalam R Sjamsuhidajat, De Jong.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Bedah Sjamsuhidajat De Jong. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2007
2. Vedantham S et al. Quality improvement guideline for treatmen of lower-extremity
Deep Vein Thrombosis with use of endovascular thrombus removal. J Vasc Interv
Radiol. 2014
3. Kesieme E et al. Deep Vein Thrombosis : a clinical review. Journal of Blood
Medicine. 2011
4. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. American College of Cardiology
(ACC)/American Heart Association (AHA) guidelines for the management of
patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal, mesenteric, and
abdominal aortic). J Am Col Card 2006
5. R, Putz and R, Pabst. Atlas Anatomi Manusia: Sobotta. Jakarta, EGC: 2006.
6. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S. Thrombosis and antithrombotic in
women. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2009
7. Hirsh J, Lee A . How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood. 2002
8. Cushman, M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin
Hematol. 2007
9. Partsch, H dan Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the treatment
of proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J Vasc
Surg. 2000
2.25.

26

Anda mungkin juga menyukai