Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pamela Vasikha
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana NIM 102013407
Jl. Arjuna Utara no. 16 Jakarta Barat
Pamelavasikha@yahoo.com
Pendahuluan
Skenario 8, dr. A seorang dokter umum yang sedang praktek di tempat praktek
pribadinya, didatangi oleh pasiennya seorang lelaki muda yang datang dengan keluhan batuk.
Setelah melakukan pemeriksaan lengkap, dokter mendiagnosis TBC. Dr. A memberikan resep
dan menyarankan pasien untuk disuntik. Dr. A menjelaskan bahwa ia akan memberikan suntikan
streptomisin, dan pasien setuju untuk disuntik di daerah bokong. Tidak lama setelah disuntik
pasien tersebut mengeluh pusing dan pandangannya gelap dan tak lama kemudian tidak sadarkan
diri. Lalu dr. A memeriksa tekanan darah pasien 80/50 mmHg dan nadi lemah 150x/menit. Dr. A
langsung menelpon ambulans dan karena panik dr. A tidak tahu apa yang harus ia perbuat.
Setibanya ambulans di tempat praktek dr. A, pasiennya ternyata sudah meninggal.
Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan. Tanpa
hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit, manusia
mungkin tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik atau seperti keadaan yang
normal.1
Di dalam pelaksanaan tindakan pelayanan kesehatan, tenaga medis yaitu dokter maupun
perawat tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan
ataupun kelalaian yang dilakukan dokter dalam melakukan tugas profesinya dapat berakibat fatal
baik terhadap badan maupun jiwa dari pasiennya (dalam istilah medis / hukum kejadian ini
disebut malpraktek) dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien sebagai korban
malpraktek.1
Hingga saat ini masyarakat masih sering beranggapan keliru bahwa tindakan medis yang
menimbulkan kerugian dapat dikategorikan sebagai malpraktek medis.2
Sekalipun dokter telah berupaya sebaik mungkin, adakalanya hasil pengobatan tidak
sesuai dengan harapan pasien ataupun dokter, ketidakberhasilan itu dapat berupa antara lain
timbulnya nyeri kronik, kecacatan, koma atau bahkan kematian. Kejadian tidak diharapkan
(KTD) / adverse event dapat dikelompokkan sebagai berikut:4
1.
Perjalanan penyakit yang tidak dapat dihentikan misal karena keganasan atau
stadium yang sudah lanjut; atau karena komplikasi penyakit yang terjadi kemudian.
2.
Merupakan risiko yang tidak dapat diketahui atau dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable risk) = resiko seperti ini dimungkinkan dalam ilmu kedokteran karena
sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi serta rentan
terhadap pengaruh oleh factor eksternal, sebagai contoh salah satunya adalah syok
anafilaktik, perdarahan pasca operasi.
3.
Merupakan risiko yang sudah dapat diketahui namun dapat diterima oleh pasien
(foreseeable but accepted)
4.
Akibat dari kegagalan dokter melaksanakan pelayanan yang layak (reasonable
care) dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
Syok Anafilaktik
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitivitas generalisata atau sistemik yang beronset cepat,
serius, dan mengancam. Jika reaksi tersebut cukup hebat, dapat menimbulkan syok yang disebut
dengan syok anafilaktik. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari
anafilaktik yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah
syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi,
dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya.5,6
Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang
muncul beberapa detik ataupun menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor yang
mencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada
gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksis yang
berat seperti syok anafilaktik atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal.6
Pernapasan
2
Hidung
Laring
- Lidah
- Bronkus
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Kulit
Mata
Susunan Saraf Pusat
Gejala-gejala di atas dapat timbul pada satu organ saja, tetapi dapat pula muncul gejala
pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang sering
dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai gangguan pernapasan baik karena
edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan
gangguan kardiovaskular seperti syok yang berat sampai terjadi penurunan kesadaran. Setiap
menifestasi sistem kardiovaskular, kulit, atau pernapasan juga bisa disertai gejala mual, muntah,
kolik usus, diare yang berdarah, kejang uterus atau perdarahan vagina.6
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap system imun yang menghasilkan
degranulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat terjadi baik oleh jalur yang
dimediasi immunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid).
Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan;
anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator radang meliputi histamine, leukotriene,
triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus,
peningkatan tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan
kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan
kolaps kardiovaskular.7
Aktivasi komplemen:
-
Airway penilaian jalan napas = jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan dan buka mulut.
Breathing support = segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan
4
bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.
Circulation support = bila tidak teraba nadi pada arteri besar (arteri karotis
atau arteri femoralis) segera lakukan kompresi jantung luar.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi
hypovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid
tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4x dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya
pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma
protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
Dalam keadaan darurat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa
harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
Kalau syok sudah teratasi, penderita dengan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi / diobeservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 2-3x suntikan harus dirawat di rumah sakit semalam untuk
observasi.
Malpraktek
Malpraktek kedokteran adalah sebuah proses yang melibatkan kesalahan prosedur
penanganan seorang pasien yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang dimaksud diantaranya
adalah kesalahan pada diagnose, kesalahan pemberian obat, kesalahan pemberian terapi atau
kesalahan penanganan pasien oleh dokter. Dalam semua kasus malpraktek kedokteran, pasien
tentu adalah pihak yang dirugikan. Kerugian yang ditanggung tidak hanya secara materil, namun
lebih dari itu bisa saja berupa kerugian secara kejiwaan dan mental pasien beserta keluarga.9
5
Orang-orang yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan mungkin saja melakukan tindakan
malpraktek medis, tidak hanya profesi dokter saja. Didalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu dalam pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa tenaga kesehatan
terdiri dari:
-
Tenaga medis
Tenaga keperawatan
Tenaga kefarmasian
Tenaga kesehatan masyarakat
Tenaga gizi
Tenaga keterapian fisik
Tenaga keteknisan medis
Sejak tahun 2006 2012 tercatat ada 182 kasus kelalaian medik atau malpraktek yang
terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah
melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Dari 182 kasus malpraktek di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum,
49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan
dokter spesialis anak.11
melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:12
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada
kasus aborsi tanpa indikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada
kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya
melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi
cacat atau kematian pada pasien akibat tindakan tenaga kesehatan yang
kurang hati-hati. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu
malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti
melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak
(unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa
indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis
yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper
performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan
menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan
medis yang merupakan kewajiban baginya.
10
Kesimpulan
Malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah
standar. Malpraktek dapat dibagi menjadi malpraktek etik dan malpraktek yuridis. Selain itu
dalam pelayanan kedokteran meskipun dokter telah berusaha sebaik mungkin, terkadang timbul
kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) yang dapat berakibat merugikan pasien. Apabila
dokter sebenarnya dapat mencegah adverse event tetapi tidak dilakukan maka dokter dapat
dikatakan melakukan malpraktek.
Berdasarkan skenario 8, dokter tersebut diduga melanggar pasal 359 KUHP yang
berbunyi Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun. Dokter tersebut dikatakan melanggar pasal 359 KUHP karena ia tidak melakukan
tindakan pertolongan pertama pada salah satu kasus gawat darurat yaitu syok anafilaktik yang
menimpa pasien tersebut yang diakibatkan oleh pemberian suntikan streptomisin.
Daftar Pustaka
11
1.
Pohan TS. Perlindungan hukum bagi pasien korban malpraktek berdasarkan hukum
positif Indonesia. 2014. Diunduh dari http://fh.unram.ac.id/wpcontent/uploads/2014/09/PERLINDUNGAN-HUKUM-BAGI-PASIEN-BAGIKORBAN-MAL-PRAKTEK-BERDASARKAN-HUKUM-POSITIF-INDONESIA.pdf,
26 September 2016.
2. Taufani A. Tinjauan yuridis malpraktek medis dalam sistem hukum Indonesia. 2011.
Diunduh dari https://core.ac.uk/download/pdf/12346960.pdf, 25 September 2016.
3. Yuwantina LH. 2012. Peningkatan Program Patient Safety melalui Metode Failure
Mode and Effect Analysis. J Adm. Kebijak. Kesehat. Mei-Agustus 2012; 10(2):61.
4. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2004.h.178-9.
5. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
Primer.
2014.
Diunduh
dari
http://fk.unila.ac.id/wpcontent/uploads/2015/10/PPK-Dokter-di-Fasyankes-Primer.pdf, 24 September 2016.
6. Rengganis I, Sundaru H, Sukmana N, Mahdi D. Renjatan anafilaktik. Diambil dari
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h.4130-2.
7. Khodorkovshy B. Syok Anafilaktik. Diambil dari Greenberg MI. Greenbergs text-atlas
of emergency medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.h.24.
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2007.h.217-9.
9. Latifah N. Pertanggungjawaban pidana dokter dalam kasus malpraktek medik menurut
KUHP.
2013.
Diunduh
dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5825/JURNAL%20IFHA.pdf?
sequence=1, 24 September 2016.
10. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 3. Jakarta: EGC;
1999.h. 70-1.
11. Hasibuan DC. Peran perawat dalam penerapan keselamatan pasien (patient safety).
2016. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/57124/5/Chapter
%20I.pdf, 27 September 2016.
12. Pangaloan IT. Penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan. 2011.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37057/4/Chapter%20I.pdf,
26
September 2016.
13. Sinaga JB. Pengaturan tindak pidana malpraktek. 2013. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39387/3/Chapter%20II.pdf,
28
September 2016.
12