Anda di halaman 1dari 17

PERENCANAAN KOTA

DIMENSI LINGKUNGAN PADA KOTA HIJAU

KELOMPOK 5 :

AKWAL
DWI SHELY NATALIA
MARIASTUTI
FAISAL

F
F
F
F

221
221
221
221

10
10
10
10

002
018
019
088

TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS TADULAKO

DIMENSI LINGKUNGAN PADA KOTA


HIJAU
PENDAHULUAN

Dimensi lingkungan termasuk perlindungan dan pelestarian: biologois dan proses


ekologi, keanekaragaman hayati, lingkungan alam, dan sumber daya alam, serta
langkah-langkah mitigasi praktek-praktek berbayaha. Kelestarian lingkungan hanya
dapat di capai, jika hal ini terkait dengan ekonomi dan dimensi sosial-budaya dan
sehingga tergantung pada pendekatan holistik.
Efek negatif dari pertumbuhan perkotaan dapat dicatat dalam perambahan
pada lingkungan alam, deforestasi, perampasan lahan pertanian, polusi udara dan
air, emisi gas rumah kaca, ekstraksi berkelanjutan kerikil dan mineral lainnya, dan
meningkatkan kadar sampah.
Pembangunan perkotaan dapat berkontribusi untuk meningkatkan kelestarian
lingkungan melalui struktur perkotaan kompak, teknologi hijau untuk infrastruktur
dan jasa transportasi, energi terbarukan non-fosil, daur ulang limbah, ketentuan
hijau struktur dan perlindungan lingkungan alam.
Dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan perhatian harus diletakkan
pada perlindungan sensitif lingkungan, membatasi urban sprawl, dan memastikan
penyediaan untuk pertanian perkotaan dan pemasaran produk-produk pertanian
lokal. Peningkatan penekanan pada publik transportasi dan meningkatkan
aksesibilitas melalui pembangunan perkotaan kompak dikombinasikan dengan
peningkatan ruang terbuka hijau dapat mempengaruhi lingkungan positif.
Perubahan iklim akan mempengaruhi pembangunan perkotaan melalui
peningkatan
ekstrim
kondisi cuaca, kekeringan, banjir, kenaikan permukaan laut dan badai.
pengembangan
perkotaan
perlu menyertakan tindakan mitigasi perubahan iklim, termasuk pengurangan emisi
gas rumah kaca. Ini juga akan diperlukan untuk merencanakan dan beradaptasi
dengan
diprediksi
konsekuensi dari perubahan iklim.

MAKSUD DAN TUJUAN


Tujuan dari modul ini adalah agar peserta untuk mengidentifikasi isu-isu lingkungan
dan
keprihatinan yang berkaitan dengan pembangunan perkotaan. Ini akan mencakup
analisis dampak pada lingkungan dan langkah-langkah yang mungkin untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan dan sumber daya alam.
Tujuannya adalah untuk:

Mengidentifikasi sumber daya lingkungan alam utama dan aset di kota


Mendeskripsikan dan menganalisis lingkungan perkotaan dan fitur utama

Menganalisis dampak lingkungan dari kegiatan perkotaan


Mengidentifikasi area sensitif lingkungan dan daerah yang membutuhkan
perlindungan
Menganalisis dampak perubahan iklim dan mitigasi dan adaptasi.

PERTANYAAN DAN ASPEK UNTUK DIPERTIMBANGKAN


1. Lingkungan Perkotaan: Bagaimana Anda mendefinisikan lingkungan
perkotaan di kota Anda? Apa jenis masalah atau aspek pembangunan
perkotaan akan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan dimensi
lingkungan?
Bagaimana lingkungan perkotaan berubah dari waktu ke waktu dan apa
penyebab
dan efek dari perubahan tersebut? Bagaimana lingkungan akan berubah
dalam 20 tahun mendatang?
2. Sumber daya alam lingkungan: Apa lingkungan alam utama sumber daya
dan aset di kota? Apakah ada daerah, sumber daya dan aset yang
membutuhkan perlindungan?
3. Isu dan bahaya lingkungan: Bagaimana lingkungan perkotaan
mempengaruhi kota dan individu? Apakah ada perbedaan antara
kelompok? Apa penyebab dan dampak dari masalah lingkungan utama?
Apa tren terlihat seperti?
4. Alam dan buatan manusia bahaya: Apakah kota dan sekitarnya telah
mengalami
banjir, tanah longsor, gempa bumi dan badai? Apa jangka panjang
tantangan yang berkaitan dengan polusi, limbah pembuangan, kebocoran
dari tempat pembuangan sampah, menipisnya sumber air dan energi,
atau masalah buatan manusia lainnya?
5. Perubahan iklim: Secara umum apa dampak dari perubahan iklim di kota
hari ini? Apa penyebab dan dampak perubahan iklim? Apakah ada
langkah-langkah diambil untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim?
metode
analisis SWOT
Analisis pohon masalah
analisis spasial

JAWABAN:
1. *Kota Palu merupakan ibukota provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki kepadatan
penduduk paling besar dibandingkan kota lainnya di Sulawesi Tengah. Akibat
kepadatan penduduk ini sehingga memunculkan banyak permasalahan lingkungan
karena kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan yang baik.
Salah satu masalahnya adalah mengenai sampah hasil buangan masyarakat baik
dalam rumah tangga, industri, pasar maupun tempat-tempat umum lainnya. Tidak
adanya kesadaran masyarakat menyebabkan timbunan sampah yang banyak di
lingkungan masyarakat. Meskipun pemerintah telah berusaha mengelola
persampahan dengan adanya instansi yang mengelola persampahan tersebut
namun sampah tersebut akhirnya hanya ditumpuk pada suatu tempat pembuangan
akhir (TPA) di kelurahan Kawatuna. Sampah ini menjadi masalah lingkungan yang
besar ketika tidak diolah dengan baik dan hanya dibiarkan menumpuk begitu saja.
Sampah yang dihasilkan ini sangat beragam mulai dari sampah organik, plastik,
kertas, dan lain-lain. Sumber sampah antara lain adalah sampah rumah tangga,
sampah perdagangan, sampah industri, sampah dedaunan di jalanan dan sampaih
pinggiran jalan (trotoar).
Sampah yang menumpuk di TPA Kawatuna pada awalnya belum memberikan
dampak negatif yang besar karena jumlahnya yang masih relatif sedikit. Namun
seiring waktu berjalan, tumpukan sampah kian menggunung sampai 7 lapisan
bahkan telah dibuat area baru yang sangat luas untuk menampung sampah
tersebut. Tumpukan sampah ini telah menyebabkan pencemaran tanah di sekitar
TPA, bahkan sempat terjadi pencemaran oleh gas metan yang dihasilkan oleh
tumpukan sampah tersebut. Hal ini terjadi karena sampah organik yang menumpuk

di dalam gunungan sampah tersebut terurai atau terdegradasi membentuk gas


metan. Gas ini memiliki efek yang besar terhadap efek rumah kaca yang akan
meningkatkan pemansan global karena meningkatnya gas-gas di atmosfer bumi.
Selain itu di TPA sampah juga banyak yang dibakar yang dapat meningkatkan
konsentrasi gas CO2 di udara sehingga meningkatkan pemanasan global.
Dampak lingkungan dari sampah di TPA antara lain:

Rembesan ke air tanah


Racun dalam rantai makanan
Emisi dari gas metan
Ledakan akibat akumulasi gas
Pembuangan sampah sembarangan
Banjir
Bau
Kondisi kesehatan masyarakat yang menurun

* Penumpukkan sampah di TPA ini sangat berdampak pada lingkungan sekitar TPA.
Di sekitar TPA ini banyak pemukiman warga miskin yang pekerjaan sehari-harinya
adalah memulung sampah yang dapat di daur ulang. Kondisi di sekitar TPA ini
sangat memprihatinkan karena baik masyarakat di sekitar maupun ternak mereka
telah tercemar dengan sampah di TPA tersebut. Ternak mereka yang berupa sapi
dan kambing banyak memakan sampah yang ada di TPA tersebut dan hal ini
tentunya sangat berbahaya apabila manusia mengkonsumsi tenak tersebut karena
dikhawatirkan telah memakan racun dari sampah. Jika dimakan oleh manusia maka
racun akan terakumulasi dalam darah dan menyebabkan banyak penyakit.
Kalau saja hal ini tidak segera di tangani dengan baik, beberapa tahun mendatang
bukan hal yang tidak mungkin Kota Palu akan menjadi Kota sampah. Jadi
sebenarnya sangat penting diperhatikan masalah manajemen sampah yang efektif
dan perlunya kemauan politik dari pemerintah dan didukung oleh masyarakat untuk
membuat PERDA masalah sampah dan kebersihan kota dan bisa terimplementasi
secara lebih efektif. Kesadaran masyarakat untuk membantu terciptanya kebersihan
kota itu penting tapi jauh lebih penting terciptanya kerjasamanya yang baik antara

pemerintah dan masyarakat kota dalam penanggulangan masalah sampah di kota


Palu.
2.

*lingkungan sumber daya alam yang terdapat di Sulawesi tengah cukup beragam
salah satunya yang dapat menjadi aset bagi kota palu ialah kawasan hutan
konservasi Taman Nasional Lore Lindu.
*Propinsi
Sulawesi
Tengah
mempunyai kawasan hutan seluas
4.394.932 hektar dan 676.248
hektar
diantaranya
merupakan
kawasan
konservasi
termasuk
didalamnya Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL). Taman Nasional Lore
Lindu yang terletak di selatan
kabupaten Donggala dan bagian
barat kabupaten Poso menjadi
daerah tangkapan air bagi 3 sungai
besar di Sulawesi Tengah, yakni
sungai Lariang, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Disamping sumberdaya hutan,
TNLL memiliki kekayaan berupa keragaman flora dan fauna (endemik) yang sangat
tinggi sehingga TNLL merupakan bio diversity yang tak ternilai harganya. Oleh
karena itu TNLL perlu dijaga kelestariannya sehingga dapat memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu sesuai UU No. 5
Tahun 1990, pengelolaan TNLL diarahkan pada tiga hal yakni : perlindungan sistem
penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan serta satwa,
dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati beserta
ekosistemnya. Sumber daya hutan TNLL memiliki kawasan seluas 217.991,18
hektar dan diperkirakan memiliki sekitar 5000 spesies tumbuhan tinggi yang
tersebar pada hutan dataran rendah, hutan pegunungan rendah, hutan kayu elfin
dan hutan sekunder. Beberapa tumbuhan endemik seperti wanga (jenis palma),
eucalyptus atau leda merupakan jenis flora khas yang terdapat di TNLL dengan
habitat yang spesifik tumbuh di daerah berair di sekitar sungai,

3.

*Masalah sampah di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah setiap saat jadi topik
pembicaraan di Media masssa dan Media Sosial, di warung-warung kopi dan di cafecafe. Walaupun pemerintah kota beberapa waktu lalu telah melaunching kampanye
kebersihan kota dengan meminjam istilah asing (Bhs Inggris) Jargon "Safe, Green
and Clean yang artinya kota Palu "Aman (Safe), Green (Hijau) dan Clean (Bersih),
sampai saat ini menurut sejumlah masyarakat belum banyak perubahan dan
prestasi di bidang kebersihan yang telah dicapai. Bahkan juga Pemerintah Kota
sempat melakukan kerjasama dengan perguruan Tinggi dan Pemerintah Kota di
Eropa dan juga pihak-pihak ke dua belah pihak sempat berkunjung (Saling

kunjungan muhibah) dan melakukan penandatanganan MOU dan menyaksikan


lapangsung masalah kebersihan kota. Masalah sampah tetap jadi trending topic
baik di dunia nyata maupun di dunia maya (Media Sosial, Internet). Beberapa waktu
lalu, Pemerintah Kota juga sempat mengkampanyekan program daur ulang sampah
(recycled) yang bisa merubah sampah menjadi kerajinan dan industri rumah tangga
dan telah sering dipresentasikan di mana-mana tapi sayangnya program ini tidak
berjalan dengan baik dan bahkan nampaknya tidak berkelanjutan.
*Penyebab
Dengan semakin bertambahnya laju pertumbuhan penduduk, maka semakin
bertambah pula laju produksi sampah yang dihasilkan. Seperti diketahui bersama,
volume produksi sampah semakin meningkat dari waktu ke waktu, semantara itu
ketersediaan lahan untuk mendirikan fasilitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
semakin sempit. Permasalahan yang lain adalah ketersediaan sarana dan prasarana
untuk pengelolaan sampah yang juga sebagian besar belum memadai. Masalah
pengelolaan sampah ini menjadi semakin rumit karena belum berjalannya sistem
pengelolaan sampah dengan maksimal, (misalnya penerapan jadwal pembuangan
sampah yang sering kali tidak dipatuhi).
*Dampak
Masalah sampah adalah masalah yang sering dianggap kecil tapi memiliki dampak
yang sangat besar karena bisa merusak lingkungan hidup atau lingkungan
perkotaan seperti penyumbatan saluran drainase yang bisa mengakibatkan
genangan air di beberapa lokasi maupun banjir, dan juga bisa menimbulkan efek
bagi tiap individu masyarakat yaitu penyakit menular dan berbagai macam penyakit
seperti penyakit paru-paru akibat menghirup udara yang tercemar, penyakit kulit
akibat iritasi dan penyakit diare akibat berkembang biaknya berbagai macam
bakteri.
Solusinya setiap rumah tangga dan kantor pemerintah dan swasta bertanggung
jawab atas semua sampah yang dihasilkan. Tidak boleh ada pihak yang merasa
tidak punya hak bertanggung jawab masalah sampah dan hanya menyerahkan
masalah sampah ini kepada pihak pemerintah dan demikian juga pemerintah tidak
boleh hanya meluluh menyalahkan masalah sampah kepada masyarakat. Namun,
sesungguhnya kita juga harus menyadari bahwa yang paling banyak menghasilkan
sampah setiap hari adalah masyarakat dan di samping pihak swasta yang memiliki
pabrik dan industri. Sebaiknya semua harus memiliki tong sampah yang layak dan
dan masing-masing rumah tangga, instansi pemerintah/swasta harus memiliki tong
sampah yang terdiri dari bilik sampah kering dan sampah basah (sampah organik
dan sampah non-organik) harus ada tempat sampah bilik tong sampahnya harus
terpisah antara sampah yang bisa didaur ulang (Recycled) dan bisa mengahsilkan
duit (income generating) dan sampah yang tidak bisa didaur ulang dan juga ada
tempat khusus untuk sampah organik yang bisa dijadikan pupuk kompos.
Pemerintah harus merekrut cukup tenaga pengangkut sampah dan mobil armada

sampah yang bisa mengangkut semua sampah di tiap-tiap RT secara teratur


menurut jadwal yang telah ditetapkan.
Solusi alternatif untuk mengatasi masalah sampah harus ada kemaun dari semua
stakeholders pemerintahan (SKPD terkait) bekerjasama dengan masyarakat untuk
mengatasi masalah sampah di Kota Palu. Pemerintah harus menyediakan Tempat
pembuangan akhir, TPA (Landfill) yang layak serta terus menggalakkan program
daur ulang sampah untuk dijadikan kerajinan industri rumah tangga yang bisa
mengasilkan duit (income generating). Dan juga pemerintah kota sebaiknya tetap
mengacu pada prinsip penggulangan sampah yang konvensional tapi sudah
menjadi jargon yang populer saat ini yaitu prinsip 3 R (Recycled, Reused and
Reduced), sampah harus diaur ulang, didugunakan kembali sehingga dengan cara
seperti ini bisa mengurangi masalah sampah di kota. Ide bekerjsama dengan
peruguruan tinggi baik yang ada di kota Palu maupun dari luar itu sangat penting.

4.*sebagai kota yang memiliki jalur sungai kota palu dan sekitarnya tidak luput dari
bencana banjir,seperi yang terjadi di wilayah kabupaten parigi moutong dan yang
baru-baru terjadi di kota palu yaitu meluapnya sungai Poboya di kecamatan
Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah
Bencana gempa bumi juga kerap menimpa kota palu dan sekitarnya yakni yang
terjadi di Kabupaten Sigi di tiga kecamatan yakni Gumbasa, Kulawi dan Lindu
Pencemaran lingkungan yang terjadi di kota palu ialah Pencemaran kandungan
mercuri di udara di daerah penambangan poboya
* Saat ini pemerintah Kota Palu bekerja sama dengan pemerintah Kota Boras,
Swedia dalam hal pengelolaan sampah di TPA Kawatuna secara khusus dan
pengelolaan lingkungan Kota Palu secara umum. Bentuk kerja sama tersebut yaitu
dengan dibentuknya Organisasi Pengelolaan Sampah Kota Palu atau Waste
Recovery Domestic of Palu City (WRD) yang telah berdiri sejak 5 Februari 2011.
Selain pemerintah, instansi perguruan tinggi juga bekerja sama dalam pengelolaan
sampah ini yaitu antara Universitas Tadulako dari Kota Palu dengan University of
Boras-Swedia.
Penjajakan kerja sama antara kedua pihak ini dilakukan dengan
penandatanganan Letter of Intent (LoI) yang berisi keinginan untuk melakukan :
1. Kerja sama dengan Kota Boras terutama di bidang pengelolaan sampah
khususnya pembangunan instalasi pengelolaan sampah dan pengembangan
energi biogas.
2. Capasity building melalui University of Boras-Swedia dan Universitas
Tadulako.

3. Membahas tahapan teknis pelaksanaan kerjasama tersebut menyusun MoU


sebagai landasan kerja sama.
Tahapan kerja sama terdiri atas beberapa fase yaitu sebagai berikut:
A. Fase I (2010-2011)
- Pembentukan Organisasi dan Permulaan
- Sosialisasi WRD dan Keperdulian Publik
- Pendidikan (Magang dan Short Course)
B.
Fase II (2011-2012)
- Environmental Review untuk pembangunan instalasi biogas.
- Penelitian dan Perencanaan investigasi gas dan biogas.
- Program pendidikan master dan doktoral.
C.
Fase III (2013-2015)
- Pembangunan Pabrik biogas untuk menghasilkan tenaga listrik.
*khusunya untuk penaggulangan terhadap dampak masalah dari pencemaran
lingkungan yang terjadi di kota palu Saat ini yang dibutuhkan adalah upaya
pemerintah secara serius dalam melakukan tindakan nyata, dalam bentuk membuat
standarisasi BML dalam aktivitas terhadap penambangan yang begitu eksploitatif di
Poboya. Dengan adanya standar BML diharapkan menjadi filteralisasi terhadap
dampak pencemaran lingkungan hidup yang makin merisaukan masyarakat kota
Palu. Atau dengan kata lain dapat dijadikan acuan dalam upaya meminimalisir
tindakan/aktivitas penambangan yang tanpa memperdulikan faktor kerusakan
lingkungan.

5. Mitigasi dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily atinya pengurangan.
Sedangkan adaptation atau adaptasi artinya penyesuaian diri. Kedua istilah ini
menjadi penting karena menyangkut strategi menghadapi perubahan alam. Melalui
mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah mengurangi sebab pemanasan global
dari sumbernya. Gunanya agar laju pemanasan itu melambat. Dan pada saat
bersamaan, dapat dilakukan persiapan diri untuk beradaptasi dengan perubahan
yang ada. Sehingga diharapkan akan ditemukan suatu titik temu yang menjamin
kelangsungan hidup manusia.
Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti
pengelolaan sampah, bike to work, mengurangi penggunaan plastik, menggunakan
AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Sedangkan beradaptasi dapat
dilakukan dengan melakukan penataan lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga
daerah resapan, re-use, recycling dan lain-lain.

Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi


Indonesia. Seluruh kementerian dalam pemerintahan dan perencanaan nasional
perlu mempertimbangkan perubahan iklim dalam program-program mereka
berkenaan dengan beragam persoalan seperti pengentasan kemiskinan,
pemberdayaan
masyarakat,
keamanan
pangan,
pengelolaan
bencana,
pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun ini bukan merupakan
tugas pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang
melibatkan pemerintah daerah, masyarakat umum, dan semua organisasi
nonpemerintah, serta pihak swasta.
Di tahun-tahun belakangan ini masyarakat dunia semakin meresahkan efek
pemanasan global dan di awal tahun 1990an telah mengonsep United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCC), yang diberlakukan pada 1994.
Di dalam kerangka ini mereka mengajukan dua strategi utama: mitigasi dan
adaptasi (Boks 5). Mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat emisi
gas rumah kaca atau menahannya, atau menyerapnya ke hutan atau penyerap
karbon lainnya. Sementara itu adaptasi,mencakup cara-cara menghadapi
perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat bertindak untuk
mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek
positifnya.
Kenaikan muka air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan
menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia. Musim tanam dan panen yang
tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang yang menyengsarakan. Banjir
melanda sebagian besar jalan raya di berbagai kota besar di pesisir. Air laut
menyusup ke delta sungai, menghancurkan sumber nafkah pengusaha ikan. Anakanak menderita kurang gizi akut. Itu bukan berita perubahan iklim kita yang biasa.
Umumnya berita perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan
hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta
hilangnya serapan karbondioksida yang menempatkan Indonesia sebagai
penyumbang utama pemanasan global. Semua itu memang terjadi, tetapi itu baru
merupakan separuh cerita. Seperti yang akan diungkap laporan ini, bangsa
Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim - dan bila kita tidak
segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan
menanggung akibat buruknya. Perubahan iklim mengancam berbagai upaya
Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai
risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban
persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan
demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun
kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.
Sejauh ini,perhatian terhadap perubahan iklim terutama difokuskan pada mitigasi
dan utamanya pada upaya-upaya untuk menurunkan karbon dioksida. Semua
tindakan ini penting, tetapi bagi masyarakat termiskin, yang hanya punya andil kecil

saja terhadap emisi gas tersebut, prioritas yang paling mendesak adalah
menemukan berbagai cara untuk mengatasi kondisi lingkungan hidup yang baru ini
beradaptasi. Meski mereka tidak menyebutnya dengan istilah adaptasi, banyak
yang telah berpengalaman dalam adaptasi ini. Orang-orang yang tinggal di daerah
yang rawan banjir, misalnya, sejak dulu sudah membangun rumah panggung. Para
petani di wilayah yang sering mengalami kemarau panjang sudah belajar untuk
melakukan diversifikasi pada sumber pendapatan mereka, misalnya dengan
menanam tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan dan dengan
mengoptimalkan penggunaan air yang sulit didapat, atau bahkan berimigrasi
sementara untuk mencari kerja di tempat lain. Yang masih perlu dilakukan sekarang
ini adalah mengevaluasi dan membangun di atas kearifan tradisional yang sudah
ada itu untuk membantu rakyat melindungi dan mengurangi kerentanan sumbersumber nafkah mereka.
Adaptasi dalam perencanaan pembangunan
Yang jadi masalah saat ini adalah bahwa adaptasi dapat dilihat hanya sebagai
masalah lingkungan hidup semata dan merupakan tanggung jawab Kementerian
Lingkungan Hidup. Padahal, semua departemen pemerintahan dan badan
perencanaan nasional perlu mempertimbangkan dampak perubahan iklim ini ke
dalam program masing-masing. Berbagai persoalan besar seperti pengentasan
kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, perencanaan tata ruang, ketahanan
pangan, pemeliharaan infrastruktur, pengendalian penyakit, perencanaan
perkotaan, semuanya mesti ditinjau ulang dari perspektifperubahan iklim.
Tantangannya adalah membuat perencanaan pembangunan menjadi tangguh
terhadap iklim. Dampak perubahan iklim terhadap ekonomi dan pembangunan
manusia harus dievaluasi secara seksama dan dipetakan. Kemudian strategi
adaptasi harus diintegrasikan ke dalam berbagai rencana dan anggaran, baik pada
tingkat pusat maupun daerah. Upaya-upaya pengentasan kemiskinan harus
ditingkatkan di bidang-bidang yang khusunya rentan terhadap perubahan iklim dan
dibutuhkan berbagai investasi tambahan untuk menggiatkan pengurangan risiko
bencana.
Semua upaya ini juga harus dipadukan ke dalam berbagai upaya di tingkat
masyarakat dan rumah tangga. Bagaimanapun, masyarakat sudah berpengalaman
lama dalam beradaptasi dengan berbagai tindakan yang sudah dipraktikkan
selama berabad-abad. Orang-orang yang tinggal di wilayah yang rentan banjir sejak
dulu membangun rumah panggung dan banyak masyarakat masa kini masih
meneruskan praktik ini, meski bahan-bahan yang digunakan sudah modern seperti
tiang beton atau genteng besi.Di wilayah rawan longsor, orang-orang membangun
tanggul penahan longsor yang kukuh. Para petani yang terpapar kemarau panjang
sudah belajar untuk mendiversifikasikan sumber pendapatan mereka, menanam
tanaman pangan yang tahan kekeringan dan mengoptimalkan penggunaan air yang
terbatas, bahkan bermigrasi sementara untuk mencari pekerjaan di tempat lain.

Apakah itu melalui prakarsa di tingkat publik atau individual, adaptasi hendaknya
mencakup
penguatan
sumber-sumber
penghidupan
dan
mengurangi
kerentanannya.Hal ini akan mempersyaratkan suatu perubahan dalam arah
pembangunan.
Di masa lalu sebagian besar pembangunan di Indonesia didasarkan pada eksploitasi
sumber daya alam dengan manfaat ekonomi yang dinikmati di perkotaan dan
biaya lingkungannya dibebankan ke wilayah pedesaan. Pola itu harus diubah. Baik
masyarakat di pedesaan maupun di perkotaan sudah seyogyanya menargetkan
pembangunan manusia yang berkelanjutan dan ancaman perubahan iklim kini
makin mendesakkan kepentingannya. Jika kita tidak mengubah
pola
pembangunan,maka seluruh sumber daya yang tersedia bagi rakyat pangan, air,
dan wilayah pemukiman kemungkinan dapat menjadi makin sulit didapat.
Perubahan pola pembangunan ini memerlukan strategi adaptasi yang lebih luas
yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta memadukan
antara pendekatan pada tingkat pemerintahan dan kelembagaan dengan
pendekatan bottom-up yang berakar pada pengetahuan kewilayahan, kebangsaan,
dan lokal. Sementara adaptasi merupakan faktor vital dalam seluruh aktivitas
pembangunan, secara khusus adaptasi penting dilakukan dalam bidang-bidang
pertanian,wilayah pesisir, penyediaan air, kesehatan dan wilayah perkotaan,
dengan air memainkan peran lintas sektoral di berbagai bidang ini.
Adaptasi dalam pertanian
Di antara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah para petani
Indonesia. Sejauh ini, para petani diJawa berhasil menanam padi dua kali dalam
setahun, tetapi dengan perubahan iklim, panen kali kedua tampaknya akan menjadi
lebih rentan. Oleh karena itu, para petani yang sudah banyak berpengalaman
mengatasi dampak buruk kejadian iklim yang ekstrem akan harus lebih banyak
beradaptasi lagi di masa mendatang. Mereka, misalnya akan perlu
mempertimbangkan berbagai varietas tanaman pangan. Beberapa jenis tanaman
pangan memiliki kapasitas adaptasi secara alamiah, seperti jenis padi hasil
persilangan yang berbunga pada waktu dini hari sehingga dimungkin terhindar dari
suhu lebih tinggi di siang hari. Para petani juga mungkin dapat menggunakan
varietas yang lebih mampu bertahan terhadap kondisi yang ekstrem kemarau
panjang, genangan air, intrusi air laut atau berbagai varietas padi yang lekas
matang yang cocok untuk musim hujan yang lebih pendek. Para petani juga perlu
mengupayakan cara-cara untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan bahanbahan organik bagi tanah supaya lebih mampu menahan air yaitu dengan
menggunakan lebih banyak pupuk alamiah
Prioritas lainnya adalah pengelolaan air yang lebih baik. Caranya mungkin adalah
dengan lebih banyak berinvestasi untuk irigasi dan juga dalam menampung dan
menyimpan air untuk menyeimbangkan peningkatan curah hujan di bulan April,
Mei dan Juni, dengan penurunan curah hujan di bulan Juli, Agustus, dan September.

Para petani mungkin akan lebih tangguh menghadapi perubahan iklim bila mereka
memiliki perkiraan cuaca yang akurat dan tahu bagaimana harus merespon
perubahan itu. Jika, misalnya, mereka dapat menyesuaikan waktu tanam dengan
turun hujan pertama, mereka akan dapat memanen hasil yang lebih baik karena
tanaman pangan mereka memperoleh lebih banyak unsur penyubur. Atau jika
mereka tahu tahun itu akan menjadi tahun kemarau, maka mereka dapat
mengganti tanaman pangan mungkin dengan menanam kacang hijau, dan bukan
padi. Mereka juga dapat beralih ke tanaman pangan yang lebih tinggi nilai jualnya
meski hal ini bergantung pada kualitas benih dan masukan serta berbagai bantuan
tambahan. Sementara itu mereka juga dapat melakukan penyesuaian antara
menanam tanaman pangan dan memelihara ternak. Akhirnya, para petani yang
tengah menghadapi atau sudah mengalami tahun gagal panen, dapat beradaptasi
dengan bekerja di bidang non-tani,mungkin dengan bermigrasi sementara ke
daerah lain atau ke kota lain.
Saat ini meski para petani ini sudah mendapatkan informasi dari Badan Meteorologi
dan Geofisika,mereka mungkin tidak tahu bagaimana menginterpretasikan
informasi itu. Suatu prakarasa untuk menjembatani hal ini adalah Sekolah Lapang
Iklim seperti yang diadakan di Indramayu yang bertujuan menerjemahkan perkiraan
ilmiah iklim ke dalam bahasa petani yang lebih sederhana dan melatih para petani
untuk merespon.
Jika para petani memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat mereka akan
dapat melakukan sendiri adaptasi yang dibutuhkan. Namun, sebagian dari mereka
akan lebih sulit melakukan adaptasi, entah itu karena tanah garapan mereka tidak
subur,misalnya, atau karena pasokan air tidak memadai, atau karena mereka tidak
memiliki modal. Selain itu, mereka juga mungkin menghadapi berbagai kendala
kelembagaan atau kultural.Dalam berbagai kasus seperti ini, pemerintah bisa
membantu melalui intervensi yang langsung dan terencana, dengan menyediakan
pengetahuan baru atau peralatan baru atau mencarikan teknologi-teknologi baru.
Adaptasi di wilayah pesisir Penduduk yang menghadapi masalah kenaikan muka
air laut dapat melakukan tiga strategi umum: membuat perlindungan, yaitu
dengan menanam tanaman penghadang seperti pohon mangrove; mundur,
dengan bermukim jauh dari pantai, atau melakukan penyesuaian yaitu misalnya,
dengan beralih ke sumber-sumber nafkah yang lain.
Adaptasi untuk penyediaan air
Kita akan perlu menerapkan pengelolaan sumber air yang lebih terpadu dengan
melestarikan ekosistem disertai perbaikan waduk-waduk dan infrastruktur lainnya.
Adaptasi untuk bidang kesehatan
Dengan lingkungan hidup yang lebih sulit nanti, kita perlu memperkuat layanan

dasar kesehatan masyarakat.Dan karena iklim yang lebih panas akan


memungkinkan penyebaran nyamuk-nyamuk ke wilayah-wilayah baru, maka
diperlukan suatu sistem pengawasan kesehatan yang lebih handal untuk memonitor
penyebaran penyakit seperti malaria dan deman berdarah dengue.
Adaptasi untuk wilayah perkotaan
Di seluruh wilayah negeri ini, khususnya di wilayah pesisir dan kota yang rawan
dilanda banjir, kita membutuhkan berbagai strategi yang lebih handal untuk
mengurangi risiko perubahan iklim.
Adaptasi dalam pengelolaan bencana
Di negeri yang memang rawan bencana ini, perubahan iklim makin mendesakkan
pentingnya pengelolaan yang cermat terhadap bencana. Alih-alih hanya merespon
setelah bencana terjadi, yang mesti dicapai adalah mengurangi risiko dan membuat
persiapan untuk menghadapi bencana sebelum bencana itu terjadi.
Menurut penggolongan IPCC, Indonesia tidak termasuk dalam negara katagori
Annex I (negara-negara maju). Menurut UU no 6 tahun 1994, yaitu UU pengesahan
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim, Indonesia tidak wajib ikut
menekan emisi GRK, tetapi hanya bersifat sukarela. Menurut UU lingkungan hidup
no 23 tahun 1997, menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah suatu yang harus
dilakukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Jadi upaya
mengurangi laju emisi GRK menjadi keharusan dalam rangka melestarikan
lingkungan.
Tabel 8. Sektor-sektor yang akan terkena dampak perubahan iklim dan upaya
adaptasi yang dapat dilakukan.
Sektor

Dampak

Adaptasi

Pengairan

Kendala suplai irigasi dan air


Perencanaan, pembagian
minum, dan peningkatan salinitas
komersialisasi

Ekosistem
Darat

Peningkatan salinitas
pertanian dan aliran air

air,

Intrusi air asin ke daratan dan


Suplai air alternatif, mundur
aquifer pantai

Kepunahan
Hayati

di

lahan Perubahan praktek penggunaan


lahan

Keanekaragaman Pengelolaan Pertamanan

Peningkatan resiko kebakaran

Pengelolaan
lahan,
Perlindungan thd. Kebakaran

Invasi Gulma

Pengelolaan Pertamanan

Salinisasi lahan sawah di wil. Pantai Intervensi fisik


Ekosistem Air

Ekosystem
Pantai

Perubahan ekosistem sungai dan Perubahan alokasi air


sawah
Perubahan
alokasi
air,
Eutropikasi
mengurangi aliran masuk hara
Perusakan terumbukarang

Penurunan produktivitas,
banjir
dan
kekeringan,
kebakaran hutan
Pertanian
dan
kehutanan

Penyemaian terumbukarang (?)

Limbah beracun

Perubahan pada pasar global

resiko Perubahan pengelolaan dan


resiko kebijakan,
perlindungan
terhadap
kebakaran
dan
peramalan musim

Pemasaran, perencanaan , dan


Peningkatan serangan hama dan perdaganngan Karbon.
penyakit
Pengendalian
terpadu,
Peningkatan
produksi
oleh penyemprotan
peningkatan CO2 diikuti dengan
penurunan
produksi
oleh Merubah teknik usaha tani dan
perubahan iklim
industri

Hortikultur

Dampak campuran + dan


tergantung spesies dan lokasi

Perikanan

Perubahan tangkapan

Perumahan,
industri

Peningkatan dampak banjir, badai Pewilayahan,


dan kenaikan muka air laut
bencana

Kesehatan

Ekspansi
penyakit

dan

perluasan

Relokasi
Monitoring, pengelolaan
perencanaan

vektor Karantina,
eradikasi
pengendalian

atau

Peningkatan polusi fotokimia udara Pengendalian emisi

Dalam UU no 6 tahun 1994 jika negara bukan anggota Annex I ikut dalam upaya
menekan emisi GRK ataupun melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap dampak
perubahan iklim, maka dalam melakukan upaya tersebut berhak menggunakan
dana Climate Change Fund yang disediakan oleh UNFCC.
Agar dapat
memanfaatkan dana ini Indonesia harus melakukan beberapa tahapan antara lain
( Murdiyarso, 2001 ; Boer, 2001):

Penyusunan data base dan sistim informasi

Kajian ilmiah dan kemampuan prediksi serta analisis dampak perubahan iklim

Menyusun Building Capacity dalam rangka adaptasi terhadap dampak


perubahan iklim

Menyiapkan kelembagaan di tingkat pusat dan daerah

Menyiapkan perangkat hukum dan perundangan

Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
http://kazmyrkimia09.blogspot.com/2012/05/kajian-lingkungan-pertambanganpoboya.html
http://sosialhumaniora.blogspot.com/2012/08/masalah-sampah-dan-harapan-ygbelum.html
http://indosmarin.com/20080902-dampak-perubahan-iklim-negara-coral-triangleambil-antisipasi.html

Anda mungkin juga menyukai