Anda di halaman 1dari 17

Judul

Analisis Lingkungan Sosial Ekonomi Pengelolaan Perkebunan


Kelapa Sawit Berkelanjutan Berdasarkan Kriteria Ispo Pt.

Jurnal
Tahun
penulis
Tanggal

Tapian Nadenggan
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
2014
Dewi Agustina, Hariyadi dan Saharuddin
1 Juli 2014

Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan seharusnya memperhatikan 3 aspek


yaitu profit (ekonomi), people (sosial) dan planet (lingkungan hidup),
namun pelaku usaha cenderung hanya mempertimbangkan aspek
ekonomi (profit). Perkebunan kelapa sawit memberikan pendapatan
yang cukup besar untuk pemerintah pusat dan daerah akibatnya
wilayah hutan banyak dialokasikan untuk pengembangan kelapa
sawit terutama di Sumatera dan Kalimantan (Casson 2000).
Konsekuensi dari pengembangan kelapa sawit di antaranya dampak
negatif terhadap lingkungan dan

Metode Penelitian

konflik sosial (Marti 2008).


Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT.
Dilaksanakan pada bulan Juli- September 2013. Peralatan: alat tulis,
kamera, check list kriteria ISPO, kuesioner dan komputer. Data
primer bersumber dari hasil wawancara, observasi lapang. Data
sekunder bersumber dokumen Perusahaan: Amdal,RPL, Laporan
CSR, HGU,SOP, Laporan Identifikasi dan Rencana Pengelolaan

Hasil dan

NKT.
Kondisi Umum Perusahaan

pembahasan

Tenaga kerja perkebunan sawit berjumlah 1.124 jiwa berdasarkan


data perusahaan pada bulan Mei 2013 dengan komposisi karyawan
tetap dengan gaji bulanan (SKU-B) berjumlah 7%, karyawan tetap
harian (SKU-H) 25%, pekerja waktu tertentu (PKWT) 16% dan
pegawai harian lepas 52%. Berdasarkan jenis kelamin 82% karyawan
berjenis kelamin laki-laki dan sisanya adalah perempuan. Penanaman
pertama pada tahun 1993 dan terakhir pada tahun 2007. PT. Tapian
Nadenggan mengelola perkebunan seluas 4.571,35 Ha dengan luas

areal tanam 4.019,66 Ha dan memiliki unit pengelolaan hasil


perkebunan dengan kapasitas sebesar 60 ton/jam.
Keadaan Desa di Sekitar Perkebunan
Perkebunan berada di Desa Batu Ampar sedangan desa yang berada
di sekitar kebun adalah Desa Serongga Kecamatan Kelumpang Hilir
Kabupaten Kotabaru. Kepadatan penduduk Desa Batu Ampar
96,51jiwa/ Km2 sedangkan Desa Serongga 62,03 jiwa/ Km2.
Mayoritas penduduk desa bekerja di sektor swasta seiring dengan
adanya pilihan untuk bekerja di perusahaan swasta di lingkungan
desa diantaranya perusahaan Batubara, perkebunan kelapa sawit serta
Kesimpulan

perusahaan semen. Kedua desa merupakan desa swasembada.


PT. Tapian Nadenggan telah melaksanakan pengelolaan aspek
lingkungan sosial ekonomi berkelanjutan berdasarkan kriteria ISPO
pada perolehan hak atas tanah, tanggung jawab sosial terhadap
pekerja sedangkan program tanggung jawab masyarakat dan
kominitas serta program pemberdayaan masyarakat yang telah
dilakukan belum memenuhi kriteria ISPO. Hasil analisis SWOT
menunjukan strategi kebijakan pengelolaan perkebunan aspek
lingkungan sosial ekonomi berdasarkan kriteria ISPO adalah dengan
mempertahankan koordinasi dengan karyawan dan peningkatan peran
aktif masyarakat dalam program tanggung jawab sosial perusahaan
dan implementasi pengelolaan lingkungan.

Judul

DESAIN DAN PENGUJIAN KINERJA KOMPOR

Jurnal
Tahun
penulis

GASIFIKASI-PIROLISIS
Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
2015
Johanis R. Pangalaa, Armansyah H. Tambunanb, Hariadi

Tanggal
Latar Belakang

Kartodihardjoc, Gustan Parid


1 Juli 2016
Aplikasi penggunaan kompor biomassa akan meningkatkan efisiensi
pembakaran dan perpindahan panas secara signifikan. Peningkatan
efisiensi ini
berarti mengurangi juga polusi asap yang berbahaya bagi kesehatan
dan penggunaan jumlah bahan bakar biomassa juga akan berkurang.
pengurangan
penggunaan bahan bakar berarti mengurangi waktu/biaya
mencari/membeli bahan bakar tersebut. Karena itu peningkatan
efisiensi kompor dengan pendekatan keteknikan merupakan salah
satu tujuan paling penting dalam desain kompor biomassa.
Peningkatan efisiensi juga dapat dilakukan dengan pengunaan panas
yang terbuang ke lingkungan untuk fungsi lain.
Kompor tradisional yang sering disebut juga kompor tiga batu (three
stone stove) hanya memiliki efisiensi 5- 10%, dan dengan sedikit
sentuhan keteknikan dapat
ditingkatkan efisiensinya dua hingga tiga kali lipat (Barnes et al.

Tujuan penelitian

1994).
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kompor gasifikasipirolisis yang dapat menghasilkan biochar dan energi dengan cara
yang efisien dan ramah

Metode Penelitian

lingkungan, serta memperbaiki output kompor anila


Pembuatan kompor gasifikasi-pirolisis dilakukan di Bengkel Sentosa
Teknik Bogor. Pengujian perfoma kompor dilakukan di Laboratorium
Pindah Panas dan
Massa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem serta Laboratorium
Lapangan Siswadhi Soepardjo IPB Kampus Dramaga. Waktu
penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2014 hingga Juli 2015

meliputi studi literatur, pembuatan desain, konstruksi dan revisi


Analisis Data

desain serta pengujian.


Analisis data dilakukan dengan beberapa tahapan yang terdiri dari:
1. Analisis situasional, yaitu membuat kajian kondisi
berdasarkan data tahunan kinerja pengelolaan KIJA dari tahun
2008 sampai dengan tahun 2014. Analisis juga juga didukung
data-data sekunder lain dari instansi-instansi yang terkait.
2. Analisis multi dimensi (MDS) dilakukan dengan bantuan
software rapfish yang telah dimodifikasi menjadi rapProindes, yaitu rapid analysis of
Propers industrial estate. Dari hasil analisis MDS diperoleh
faktor-faktor penting dalam pengelolaan lingkungan kawasan
industri. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), metoda
rapfish memiliki beberapa keunggulan yaitu sederhana,
mudah, cepat, serta biaya yang murah. Hasil analisis MDS
tahun 2014 sebagai base line untuk analisis prospektif
lebih lanjut.
3. Analisis prospektif atas hasil analisis MDS oleh Dewan Pakar
yang dipilih secara purposive sesuai bidang keahlian dan
kepakarannya. Hasil analisis propektif adalah faktor-faktor
penentu dan penghubung
yang selanjutnya digunakan untuk membangun

Hasil dan

model.
Desain awal kompor dilakukan beberapa perbaikan untuk mencapai

pembahasan

tujuan dari desain kompor. Perbaikan yang dilakukan yaitu diameter


awal pipa penghubung
ruang pirolisis dan ruang bakar seperempat inchi, diganti dengan
setengah inchi dan pada bagian ujungnya dibuat lebih besar.
Pergantian ini memberikan hasil
waktu dan kualitas pembentukan biochar menjadi lebih cepat dan
juga masalah sumbatan diakibatkan oleh tar menjadi lebih baik dan
lebih mudah dalam pembersihannya. Permasalahan tar dapat teratasi
jika mengunakan pipa berdiameter lebih besar. Permasalahan tar
dapat juga diperkecil dengan mencegah zat terbang mencapai atau

lebih rendah dari titik embunnya


(dew point) sehingga tidak membentuk tar (Neubauer 2011).
Pengunaan dua lapis dinding pada ruang pirolisis dengan
mengalirkan udara panas dari dinding
ruang bakar cukup efektif setelah lubang pembatas aliran udara
diperbesar. Proses pirolisis dalam menghasilkan autothermal berjalan
dengan baik. Kebocoran pada bagian input output ruang pirolisis
dapat diatasi dengan mengunakan bahan rockwool yang juga
berfungsi sebagai isolator suhu. Pengunaan tempat
tatanan kompor gas berbentuk bulat dapat memperbaiki masalah api
yang besar dan memperbaiki luas permukaan pembakaran yang pada
akhirnya memperbaiki
efisiensi kompor.
Waktu yang diperlukan untuk mendidihkan 5 L air pada uji sebelum
pirolisis dan sesudah pirolisis berbeda secara signifikan. Waktu
mendidikan air sebelum pirolisis berkisar dari 12 23 menit
sedangkan sesudah pirolisis hanya 6-12 menit. Dengan mengunakan
bahan bakar batok kelapa dengan LHV = 20,860 kJ/kg, pengukuran
pengunaan bahan bakar sebanyak 0.221 kg dalam waktu 8 menit (480
detik) sebelum pirolisis, dan sesudah pirolisis bahan bakar yang
digunakan 1.066 kg dalam waktu 16 menit (960 detik). Dengan
mengunakan persamaan (1) maka diperoleh daya kompor sebelum
pirolisis adalah 9.60 kW dan sesudah
pirolisis adalah 23.16 kW. Perbedaan dengan range yang besar
disebabkan oleh laju pengunaan bahan bakar antara sebelum pirolisis
dan sesudah pirolisis berbeda cukup besar. Dengan mengunakan
persamaan (2) maka diperoleh laju penggunaanbahan bakar (ratarata) sebelum pirolisis adalah 1.66 kg/jam dan sesudah pirolisis
adalah 4.00 kg/jam.
Sumber bahan bakar kompor sebelum pirolisis dan sesudah pirolisis
berbeda. Sebelum pirolisis bahan bakar yang terbakar (berkurang)
hanyalah bahan bakar yang terdapat di bagian ruang bakar sedangkan

setelah pirolisis yang terbakar adalah zat terbang yang dihasilkan dari
ruang pirolisis. Pada saat suhu di ruang pirolisis mencapai seratus
derajat Celsius atau lebih maka yang pertama-tama terjadi adalah
pengeringan yaitu kadar air keluar dari bahan biomassa. Selama
rentang ini gas yang keluar dari ruang pirolisis belum terbakar karena
mengandung sebagian besar uap air. Setelah pengeringan maka
biomassa yang terdiri dari tiga komponen utama; hemiselulosa,
selulosa dan ligin mulai terurai. Penelitian sebelumnya terkait
penguraian biomassa dengan komponen-komponen tersebut
mengunakan suhu yang berbeda-beda diperoleh bahwa hemiselulosa
terurai pada suhu antara 200-260 (Park 2008), sementara selulosa
Kesimpulan

terurai antara suhu 240-350 oC (Park 2008).


Kompor gasifikasi-pirolisis hasil desain dapat menghasilkan energi
untuk memasak (seperti kompor CS lainnya) dan biochar dengan
input berbagai bahan
iomassa. Produksi biochar dengan kompor ini tidak menghasilkan
asap (minimal) dan pembuatan biochar dapat dilakukan dalam waktu
yang singkat (kurang dari
atu jam) dengan berbagai biomassa. Uji performa

Judul

Penggunaan Bahan Humat Dan Kompos Untuk Meningkatkan


Kualitas Tanah Bekas Tamban Nikel Sebagai Media

Jurnal
Tahun
penulis
Tanggal
Latar Belakang

Pertumbuhan Sengon (Paraserianthes Falcataria).


Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
2016
Ikbal, Iskandar, Sri Wilarso Budi R
1 Juli 2016
PT. Aneka Tambang Tbk. Sulawesi Tenggara merupakan perusahaan
yang mengelola tambang nikel dan mengolahnya dari bahan mentah
menjadi bahan
baku setengah jadi. Lokasi tambang nikel PT. Aneka Tambang Tbk.
terletak di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kegiatan penambangan nikel ini dilakukan di
darat dengan menerapkan teknik penambangan terbuka (open pit
mining) melalui kegiatan pembukaan dan
pengupasan hutan alami. Berbagai dampak dapat ditimbulkan dari
kegiatan pengolahan dan pemanfaatan tambang nikel baik bersifat
positif maupun negatif.
Dampak positifnya adalah meningkatkan penghasilan masyarakat,
terbukanya lapangan kerja, perekonomian daerah bergerak lebih cepat
dan memberikan
pendapatan yang besar bagi negara. Sedangkan dampak negatif yang
ditimbulkan meliputi gangguan kesehatan manusia, perubahan
bentang alam, penurunan estetika lingkungan, habitat flora dan fauna
menjadi rusak,
timbulnya debu dan kebisingan, penurunan kualitas air atau

Metode Penelitian

penurunan permukaan air tanah, dan penurunan kualitas tanah.


Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Agustus 2015.
Lokasi penelitian dilakukan di lokasi lahan bekas tambang PT. Aneka
Tambang (Persero)
Tbk., Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah,

Analisis Data

Bogor
Analisis sifat-sifat kimia dan logam berat tanah dilakukan sesudah

percobaan lapang selesai. Pengambilan sampel tanah dilakukan


dengan cara komposit dan sistem quartering pada masing-masing
ulangan menjadi satu sampel perlakuan, sehingga jumlah keseluruhan
adalah 9 Sampel tanah kemudian dibawa ke laboratorium untuk diuji.
Hasil uji tanah yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis secara
Hasil dan

deskriptif.
Berdasarkan kriteria kesuburan tanah, kandungan P tersedia dalam

pembahasan

tanah yang termasuk kategori sangat tinggi adalah perlakuan H0P2


dan H2P1. Sedangkan
kandungan P tersedia dalam tanah yang termasuk kategori rendah
adalah perlakuan H0P0, H2P0, dan H2P2. Perlakuan penambahan
bahan humat maupun kompos dan kombinasinya dapat meningkatkan
kadar P lebih tinggi dibandingkan kontrol, kecuali pada perlakuan
H1P0 yang relatif sama. Hal ini karena
penambahan bahan organik yang berasal dari kotoran hewan
memiliki kandungan P yang tinggi. Pengaruh bahan humat dalam
meningkatkan P tersedia dalam
tanah adalah karena kemampuan bahan humat dalam menjerap Al
dari ikatan Al-P sehingga ion P menjadi tersedia dalam tanah
(Suwarno dan Idrus 2007;
Herjuna 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2009)
menunjukkan bahwa pemanfaatan bahan humat dan kompos telah
merubah karakter media tailing
dengan ketersediaan P yang tinggi dalam tanah. Hal ini karena
adanya interaksi dari fosfor dengan senyawa humat membentuk
kompleks fosfohumat. Bentuk
kompleks fosfohumat dapat terjadi dengan adanya ion logam yang
berfungsi sebagai jembatan antara senyawa humat dengan ion fosfor
(Al-fosfohumat), sehingga ion P dapat tersedia dalam tanah (Tan
1998).
Kapasitas tukar kation (KTK) dalam tanah dengan
perlakuan kompos meningkat dibandingkan kontrol. Bahan humat
dalam penelitian ini relatif tidak berpengaruh terhadap KTK

dibandingkan kontrol.
Dalam hal ini pengaruh bahan humat tertutupi oleh pengaruh kompos
terhadap KTK. Pemberian kompos juga meningkatkan basa dalam
tanah secara signifikan,
khususnya pada Ca, Mg, K dan Na. Berdasarkan kriteria kesuburan
tanah, semua perlakuan termasuk kategori rendah. Hardjowigeno
(2010) menjelaskan
bahwa KTK yang rendah dapat disebabkan oleh dominasi kation
asam, Al, dan H. Tinggi rendahnya KTK tergantung pada kadar dan
macam klei, kadar
bahan organik dan senyawa-senyawa organik penyusun bahan
organik. Semakin tinggi kadar klei dan kadar bahan organik, maka
nilai KTK semakin tinggi (Huang
dan Schnitzer 1997).
Pada parameter kation basa tanah yang dipertukarkan (Ca, Mg, K dan
Na) menunjukkan bahwa perlakuan bahan humat dan kompos secara
keseluruhan belum memperlihatkan perubahan yang berarti dalam
meningkatkan kation basa tanah yang dipertukarkan terutama pada
unsur Mg, K, dan Na.
Namun pada unsur Ca dapat dipertukarkan menunjukkan bahwa
perlakuan kompos saja serta kombinasi bahan humat dan kompos
dapat
meningkatkan kandungan Ca dipertukarkan lebih tinggi dibandingkan
perlakuan bahan humat saja dan kontrol. Berdasarkan kriteria
kesuburan tanah menunjukkan bahwa kandungan Mg-dd termasuk
kategori sangat tinggi. Sedangkan kandungan Ca-dd, K-dd dan Na-dd
pada semua perlakuan masih berada dalam kategori sangat rendah.
Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan kompos yang
berpengaruh nyata terhadap peningkatan tinggi tanaman
dibandingkan bahan humat.
Diameter batang
Hasil Analisis ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan kompos

memiliki pengaruh yang nyata terhadap diameter batang


dibandingkan bahan humat.
Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa pemberian bahan humat
dan kompos berpengaruh nyata terhadap peningkatan panjang akar
tanaman.
Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa pem erian bahan humat
dan kompos berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil akar tanaman,
namun belum memperlihatkan interaksi yang nyata terhadap bintil
ar. Hasil uji (Tabel 7) terlihat bahwa perlakuan H1P2 memiliki ratarata jumlah bintil akar yang terbaik, amun tidak berbeda nyata dengan
Kesimpulan

perlakuan H0P2
1. Pemberian kompos serta kombinasi bahan humat dan kompos
dapat meningkatkan N-total, P, KTK, Kejenuhan basa dan
kation basa tanah yang dipertukarkan (Ca-dd, Mg-dd, K-dd,
dan Na-dd).
2. Pengujian logam berat tanah dengan perlakuan kompos,
bahan humat dan kombinasinya mampu menurunkan logam
berat Cr. Sedangkan logam berat Ni menurun dengan
pemberian bahan humat.

Judul

Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi Karbondioksida Di

Jurnal
Tahun
penulis
Tanggal
Latar Belakang

Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan


Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
2016
Yuniar Pratiwi, Endes Nurfilmarasa Dachlan, Lilik Budi Prasetyo
1 Juli 2016
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang merugikan terhadap
kualitas mahluk hidup. Karbon berada di atmosfer bumi dalam
bentuk gas
karbondioksida (CO2) dan berkurangnya vegetasi merupakan
penyebab yang dapat mempercepat pemanasan global (Yuliasmara &
Wibawa 2007). Pemilihan jenis tanaman yang tepat pada ruang
terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu bentuk mengurangi emisi
gas rumah kaca (GRK) dan pemansan global. Menurut Dachlan
(2011) gas CO2 dapat diserap oleh tanaman dan pepohonan yang
terdapat di RTH. Hutan kota merupakan salah satu bentuk dari RTH
yang terdiri dari vegetasi pohon. Menurut PP Nomor 63 Tahun 2002
definisi hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan
pohon-pohon yang kompak dan rapat didalam wilayah perkotaan baik
pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan

Metode Penelitian

kota oleh pejabat yang berwenang.


Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Prabumulih yang terletak
pada 302009.01-303424.7 LS dan 10400750.4-10401941.6BT
dengan luas wilayah 434,460 km2. Pengelolaan data dilakukan di
Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Institut

Analisis Data

Pertanian Bogor.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literatur dan
wawancara berupa studi literatur yang diperoleh dari instansi-instansi
terkait Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pusat Statistik
(BPS), Pertamina, Dinas Peternakan dan Perikanan, serta pustaka
lainnya yang terkait dalam pengembangan hutan kota. Observasi
lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik lapang yang

Hasil dan

berhubungan dengan hutan kota.


Model dinamik kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 Kota

pembahasan

Prabumulih dibangun berdasarkan logika berpikir hubungan antara


komponen terkait dan
interaksinya, sehingga membentuk struktur model yang memiliki
keserupaan perilaku dengan perilaku sistem nyata yang berdasarkan
faktor kunci. Analisis model ini dilakukan dalam jangka waktu 20
tahun sesuai dengan RTRW Kota Prabumulih dimulai dari tahun 2009
dan berakhir pada tahun 2034 dimana satu tahun diasumsikan
berjumlah 365 hari. Waktu 20 tahun tersebut diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang perkembangan kebutuhan hutan kota
berdasarkan emisi CO2 di Kota Prabumulih.
Data yang diperoleh dari Dinas perternakan dan perikanan jenis
ternak yang terdapat di Kota Prabumulih yaitu sapi potong, kerbau,
kuda, kambing, domba dan unggas. Total ternak pada tahun 2014
sebesar 556,395.12 ternak dan hasil simulasi menunjukan pada tahun
2034 total ternak di Kota Prabumulih meningkat
menjadi 821,406.60 ternak. Permintaan ternak cenderung mengingkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, semakin
sadar masyarakat akan makanan bergizi tinggi. Hasil simulasi
menunjukan total emisi CO2 yang berasal dari ternak pada tahun
2014 sebesar 0.312 Gg CO2/tahun dan tahun 2034 emisi yang
dihasilkan ternak sebesar 0,461 Gg CO2/tahun. Pembentukan CH4
terjadi di rumen yang merupakan hasil akhir dari proses fermentasi
pakan ternak (Monteny et al. 2011).
Sumber CH4 pada lahan pertanian disebabkan akibat kondisi lahan
sawah yang bersifat anaerob akibat dari penggenangan air yang
terlalu lama dan tinggi (IPCC 1996). Setelah dilakukan konversi,
hasil simulasi menunjukan setiap tahunnya terjadi penurunan luasan
sawah secara signifikan. Pada tahun 2014 luas sawah sekitar 1,409.68
ha dan menghasilkan emisi CO2 sebesar 1.40 Gg CO2. Luasan sawah
di Kota Prabumulih pada tahun 2034 hanya tinggal 13.75 ha dengan
emisi yang dihasilkan 0.0136 Gg CO2. Secara tidak langsung, lahan
sawah yang terus berkurang membantu mengurangi produksi CH4

dalam pembentukan gas rumah


kaca.
Manusia mengeluarkan CO2 melalui proses resiprasi. Setiap manusia
menghasilkan CO2 dalam jumlah yang sama setia harinya yaitu
0.96 kg/hari (Grey dan Denake 1978). Hasil simulasi menunjukan
pertumbuhan jumlah penduduk. Pada tahun 2014 jumlah penduduk
Kota Prabumulih yaitu 174,842.23 orang dan pada tahun 2034
meningkat menjadi 258,119.73 orang sehingga emisi yang dihasilkan
penduduk pada tahun 2014 sebesar 60.43 Gg CO2/tahun dan pada
tahun 2034
emisi yang dihasilkan yaitu 89.21 Gg CO2/tahun.
Diprediksi emisi CO2 akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak dan gas, peningkatan
jumlah penduduk, meningkatnya
populasi ternak dan penambahan luas areal persawahan. Berdasarkan
hasil simulasi emisi CO2 pada tahun 2034 meningkat hingga 279.40
Gg CO2/tahun dengan kebutuhan luasan hutan kota sebesar 4,785.98
ha. Untuk mengendalikan emisi CO2 yang ada maka diperlukan luas
hutan kota yang mencukupi agar dapat mengurangi emisi CO2 yang
ada dengan menambah luasan hutan kota di Kota Prabumulih.
Kota prabumulih memiliki luas wilayah seluas 43,446 ha dengan luas
hutan kota eksisting seluas 10 ha. Hasil simulasi menunjukan luas
hutan kota yang dibutuhkan berdasarkan emisi CO2 seluas 3,272.44
ha sehingga untuk melakukan pemenuhan luasan hutan kota,
pemerintah perlu melakukan penambahan luasan
hutan kota sebesar 3,262.44 ha.
Tetapi dalam 20 tahun yang akan datang kebutuhan luasan hutan kota
menjadi 4,785.98 ha. Menurut Dachlan (2013) meningkatnya jumlah
penduduk, kebutuhan manusia akan oksigen, air dan sebagainya akan
bertambah, sehingga kebutuhan luasan hutan kota pun bertambah
serta perlunya lokasi yang tepat untuk
Kesimpulan

pemenuhan hutan kota.


Total emisi CO2 di Kota Prabumulih pada tahun 2014 sebesar 180.73

Gg CO2/tahun dengan kebutuhan luasan seluas 3,102.31 ha dan emisi


CO2 diprediksi mengalami peningkatan hingga tahun 2034. Hasil
simulasi model menunjukan emisi CO2 pada tahun 2034 diprediksi
sebesar 279.40 Gg CO2/Tahun dengan kebutuhan luasan hutan kota
sebesar 4,785.98 ha.

Judul

Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Industri


Sesuai Proper Klhk Peringkat Hijau (Studi Kasus Di

Jurnal
Tahun
penulis
Tanggal
Latar Belakang

Kawasan Industri Jababeka Bekasi)


Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
2015
emmy Wikaningrum, Bambang Pramudya N, Erliza Noor
2 Desember 2015
engelolaan lingkungan kawasan industri merupakan permasalahan
yang relatif kompleks. Hal ini karena melibatkan berbagai pemangku
kepentingan yang saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan
yang bersifat komprehesif diperlukan agar lebih mewakili
(representative) terhadap kenyataan permasalahan yang
sebenarnya (Kodrat 2006). Untuk itu diperlukan analisis atas kondisi
pengelolaan yang sedang berlangsung. Mengingat kemajemukan
tolok ukur pengelolaan lingkungan bagi suatu kawasan industri,
dalam penelitian ini kriteria pengelolaan lingkungan dilakukan
dengan analisis berdasarkan kriteria penilaian PROPER
(Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan

Tujuan penelitian

Lingkungan) peringkat hijau.


1. Menganalisis perkembangan kinerja keberlanjutan
pengelolaan lingkungan selama tahun 2008 sampai tahun
2014 ditinjau dari dimensi ekonomi, teknologi, ekologi,
sosial, dan kelembagaan dengan
menggunakan atribut sesuai multi dimensi kriteria PROPER
KLHK peringkat hijau.
2. Menentukan faktor-faktor pengungkit pengelolaan lingkungan
kawasan industri berdasarkan analisis multi dimensi kondisi
tahun 2014 sebagai base line.
3. Mengindentifikasi faktor-faktor penting yang berpengaruh
dalam pengelolaan lingkungan kawasan industri dengan
analisis prospektif.
4. Menyusun skenario kebijakan operasional yang implementatif
pada pengelolaan lingkungan kawasan industri dengan kriteria
PROPER KLHK peringkat hijau berdasarkan faktor-faktor
penting dan berpengaruh pada keadaan yang mungkin terjadi

Metode Penelitian

di masa mendatang.
Penelitian dilakukan di kawasan industri Jababeka (KIJA) yang
berlokasi di Cikarang Kabupaten Bekasi. Penelitian dilakukan selama
4 bulan, yaitu dari bulan
Januari 2015 sampai dengan April 2015. Data yang dikumpulkan

Analisis Data

meliputi data sekunder maupun data primer.


Analisis data dilakukan dengan beberapa tahapan yang terdiri dari:
4. Analisis situasional, yaitu membuat kajian kondisi
berdasarkan data tahunan kinerja pengelolaan KIJA dari tahun
2008 sampai dengan tahun 2014. Analisis juga juga didukung
data-data sekunder lain dari instansi-instansi yang terkait.
5. Analisis multi dimensi (MDS) dilakukan dengan bantuan
software rapfish yang telah dimodifikasi menjadi rapProindes, yaitu rapid analysis of
Propers industrial estate. Dari hasil analisis MDS diperoleh
faktor-faktor penting dalam pengelolaan lingkungan kawasan
industri. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), metoda
rapfish memiliki beberapa keunggulan yaitu sederhana,
mudah, cepat, serta biaya yang murah. Hasil analisis MDS
tahun 2014 sebagai base line untuk analisis prospektif
lebih lanjut.
6. Analisis prospektif atas hasil analisis MDS oleh Dewan Pakar
yang dipilih secara purposive sesuai bidang keahlian dan
kepakarannya. Hasil analisis propektif adalah faktor-faktor
penentu dan penghubung
yang selanjutnya digunakan untuk membangun

Hasil dan

model.
Data kondisi pengelolaan lingkungan KIJA dari tahun 2008 sampai

pembahasan

dengan tahun 2014 menunjukkan telah dilakukan upaya-upaya


sehingga sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Ini dibuktikan dengan selalu
tercapainya PROPER peringkat biru, bahkan pada tahun 2009 dan
2011 dicapai peringkat hijau.
Pada penelitian ini, kinerja lima dimensi pengelolaan lingkungan

kawasan industri dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 secara
umum menunjukkan peningkatan, meskipun secara masing-masing
dimensi mengalami kinerja fluktuasi naik turun. Menurut Kavanagh
dan Pitcher (2004), nilai skor pada diagram layang adalah 0 untuk
buruk dan 100 untuk baik. Menurut Fauzy dan Anna (2005), nilai
indeksm termasuk kategori tidak keberlanjutan / buruk (< 25.00),
kurang berkelanjutan (25.001-50.00), cukup berkelanjutan (50.0175.00), dan sangat berkelanjutan/baik (75.01-100.00).
Menurut Byl et al. (2001), pemetaan nilai skor hasil analisis
prospektif disajikan dalam bagan tingkat pengaruh terhadap
ketergantungan dengan skor 0 sampai dengan 3 berdasarkan
tingkatnya.
Hasil analisis prospektif ini dibandingkan dengan hasil penelitian
Napitupulu (2009) mengenai Model Kebijakan Pengelolaan
berkelanjutan pada PT Kawasan Berikat Nusantara Jakarta yang
menghasilkan empat faktor kunci yang yaitu a) teknologi limbah cair,
b) partisipasi pengusaha dalam pengelolaan lingkungan,
c) ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan limbah padat, d)
penggunaan bahan kimia dalam proses produksi. Dalam hal ini ada
empat faktor kunci yang
sesuai yaitu meliputi (1) implementasi dan (2) alokasi dana terkait
konservasi air, serta (3) teknolog dan (4) implementasi pengelolaan
Kesimpulan

limbah B3/kimia.
Kompor gasifikasi-pirolisis hasil desain dapat menghasilkan energi
untuk memasak (seperti kompor ICS lainnya) dan biochar dengan
input berbagai bahan
biomassa. Produksi biochar dengan kompor ini tidak menghasilkan
asap (minimal) dan pembuatan biochar dapat dilakukan dalam waktu
yang singkat (kurang dari
satu jam) dengan berbagai biomassa.

Anda mungkin juga menyukai