Menghitung Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Dalam
Menghitung Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Dalam
Problem dan isu lingkungan wilayah pesisir dan laut seperti yang disebutkan
diatas tidak jarang hanya berhenti pada tingkat identifikasi. Artinya, isu dan
problem wilayah pesisir tersebut tidak masuk dalam pertimbangan pengelolaan
karena sifatnya yang tidak terukur (intangible), sehingga sebagai input bagi
kebijakan masih relative kurang diperhitungkan. Selain itu, paradigma lama
pengelolaan wilayah pesisir memang hanya memperhitungkan faktor economic
benefits disbanding environmental cost atau bahkan social costs yang terkait
dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah produktif ini. Sementara itu, paradigm
baru pengelolaan wilayah pesisir dan laut mengacu dengan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang menitikberatka pada keseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi, kualitas linkungungan dan sumber daya alam, serta
produktifitas
(serta
akses)
pelayanan
social.
Kay
dan
Alder
(1999)
menggambarkan paradigm ini melalui sebuah diagram yang dapat dilihat pada
gambar 1 berikut ini.
Dari Gambar 2, maka dapat diidentifikasi 3 isu utama, yaitu (1) bahwa
wilayah Teluk Z memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan
manfaat baik manfaat langsung (perikanan dan wisata bahari/rekreasi) maupun
tidak langsung (missal ekosistem mangrove dan terumbu karang sebagai natural
barier bagi keselamatan wisatawan dan terrestrial pantai). Penilaian manfaat
secara ekonomi menjadi perlu aar input kebijakan penelolaan wilayah pesisir dan
laut dilakukan secara komprehensif dalam konteks benefit and cosnt-nya.
Selanjutnya, potensi konflik antara pemanfaat dan pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut juga perlu diperhatikan.
Isu yang ke (2) adalah ketersediaan data yang akan digunakan untuk
menganalisis manfaat sekaligus biaya dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut Teluk Z. Hal ini terkait dengan analisis ekonomi (atau social
ekonomi) terhadap problem ari pengelolaan wilaya pesisir khususnya yang terkait
dengan informasi ilmiah. Sebagai contoh, informasi tentan perubahan kualitas air
atau luasan terumbu karang yang dapat mempengaruhi kelimpahan ikan atau
keindahan ekosistem sebagi modal dasar bagi industry pariwisata bahari.
Kemudian, kesemuanya juga dihubungkan dengan lingkungan social masyarakat,
dimana tidak semua masyarakat hidup dari industry pariwisata. Kelimpahan ikan
yang berkurang akaibat luasan terumbu karang yang berkuran atau kualitas air
memburuk akan berdampak signifikan terhadap tingkat ekonomi masayrakat
pesisir yangberprofesi sebagai nelayan. Dalam konteksi ini, kolaborasi antara ilmu
sosial, ilmu sains, dan ilmu alam menjadi sebuah keharusan untuk dibawa ke
tingkat kebijakan.
Isu ke (3) adalah intuisi dan pandangan dari pengambil keputusan.
Pengelolan Teluk Z tentu saha menginkan adanya pembangunan ekonomi di
wilayahnya, namun demikian pada saat yang sama mereka memahami pentingya
kelestarian sumberdaya alam pesisir, dan pro peningkatan kapasitas dan ekonomi
masyarakat di Teluk Z. dengan kata lain, pengelola Teluk Z diasumsikan memiliki
tujuan untuk menetahui benefits and costs dari ekosistem teluk Z yang nantinya
dpat didistribusikan secara adil dan merata kepada seluruh stakeholder Teluk Z.
Dalam konteksi ini, pendekatan valuasi ekonomi mulai digunakan
Nilai Ekonomi Terumbu Karang
Indonesia memiliki sekitar 17.500 km2 ekosistem terumbu karang (Moosa,
et al, 1987) tersebar di seluruh wilayah perairan pesisir yang jernih, hangat,
beroksigen serta bebas dari padatan terlarut dan aliran air tawar yang berlebihan.
Terumbu karang Indonesia sangat beragam dan kaya. Seluruh tipe terumbu karang
yang mencakup terumbu karang melingkar, terumbu karang penghadang, atol dan
bongkahan
terumbu
karang
(fringing
reefs,
barrier
Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata dan
perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat terumbu karang sebagai
pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan (Sjafrie,
2010)
Hasil penelitian mengenai nilai ekonomi terumbu karang dari berbagai
aspek telah dilakukan oleh beberapa orang. Ohman & Caesar (2000) telah
menghitung nilai ekonomi terumbu karang sebagai bahan tambang di Lombok dan
Srilanka. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang
di Lombok adalah sebesar 762 $ US/km2, sedangkan di Srilangka nilainya sebesar
6.610.000 $ US /km2.
Sawyer pada tahun 1992 seperti yang disitir dalam Suharsono (2007) telah
menghitung nilai ekonomi terumbu karang dari hasil perikanan di Takabonerate,
Sulawesi Selatan dan memperoleh nilai ekonomi sebesar 777 $ US/km2. Nilai
ekonomi terumbu karang di Great Barrier Reef dari hasil perikanan juga telah
dilakukan oleh Driml (1999), sedangkan dari hasil pariwisata oleh Muller et al
(2000). Nilai ekonomi terumbu karang dari hasil perikanan di Great Barrier Reef
adalah sebesar 143 juta $ US /tahun, sedangkan nilai ekonomi dari hasil
pariwisata berkisar antara 106-144 juta $ US/tahun. Sebaliknya Moore & Best
pada tahun 2001 yang disitir dalam Situmorang (2004) telah melakukan
penghitungan mengenai kerugian yang disebabkan oleh kerusakan terumbu
karang dilihat dari fungsinya sebagai pelindung pantai. Hasil penelitian mereka
menyatakan bahwa setiap kerusakan 1 km2 terumbu karang akan mengakibatkan
kerugian antara 137.000 sampai 1.200.000 $ US.
Valuasi Ekonomi Terumbu Karang
Valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah suatu cara
penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa yang terdapat pada kawasan
konservasi terumbu karang ke dalam nilai uang, terlepas dari ada atau tidaknya
nilai pasar dari barang dan jasa tersebut. Nilai ekonomi diukur dalam terminologi
kesediaan membayar untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut (willingness to
pay).
WTA adalah nilai kegunaan awal individu dari barang dan jasa sebelum
ada perubahan atau kesediaan individu untuk menerima kompensasi bila barang
dan jasa tersebut dimanfaatkan oleh individu lain atau diubah pemanfaatannya.
Perhatikan pertanyaan berikut ini:
1. Berapa banyak anda ingin dibayar bila kawasan terumbu karang ini diubah
menjadi kawasan konservasi?
2. Berapa banyak anda ingin dibayar bila anda dimohon untuk tidak merusak
terumbu karang ini?
Bandingkan dengan WTP yang mempertanyakan hal ini: berapa besar anda
kehilangan pendapatan yang sama dengan perubahan kesejahteraan akibat
perubahan terumbu karang menjadi kawasan konservasi? (Fachrudin, 2008)
Pemilihan penggunaan konsep WTP dan WTA dalam menilai sumberdaya
berkaitan erat dengan status kepemilikan sumberdaya (property right). Pada kasus
dimana sumberdaya pesisir telah memiliki sistem penguasaan yang sudah baik,
WTA untuk kompensasi kehilangan hak penguasaan menjadi lebih relevan
daripada WTP. Secara umum konsep WTP digunakan dalam situasi dimana
pengguna sumberdaya tidak secara jelas memiliki sumberdaya tersebut (barang
publik, misal terumbu karang). Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa rejim
kelembagaan yang ada di wilayah pesisir
Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial
Barang dan jasa yang dipasarkan dalam kondisi pasar yang tidak
terdistorsi akan mendapatkan harga yang menggambarkan harga sebenarnya untuk
masyarakat.
Nilainya
sama dengan nilai pilihan terbaik (best alternative) atau disebut sebagai social
opportunity
cost (shadow price). Ditinjau dari produsen maka marjinal cost meningkat bila
output bertambah sehinga marjinal cost yang menggambarkan supply
divisualisasikan meningkat dengan bertambahnya supply. Harga ditetapkan diatas
biaya maka daerah diatas kurva supply dan di bawah harga disebut sebagai
Produser Surplus (lihat gambar 3) Kesejahteraan sosial total diukur dengan
menjumlahkan PS dan CS (Consumer Surplus) dan nilainya akan maksimum bila
marjinal sosial benefit (MSB) sama dengan marjinal sosial cost. Seperti
digambarkan pada Gambar 4 berikut.
Metode Valuasi
Pada dasarnya valuasi ekonomi sumberdaya kawasan konservasi terumbu
karang meliputi 3 tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi
keterkaitan antar komponen sumberdaya pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh
manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3) penilaian alternatif
alokasi pemanfaatan lahan pesisir. Kemudian 1 tahapan tambahan yaitu analisis
ekonomi wilayah.
1. Identifikasi Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari kawasan
konservasi terumbu karang antara lain:
a. Manfaat langsung Manfaat langsung atau Direct Use Value (DUV)
adalah manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem terumbu karang
misalnya perikanan terumbu, pariwisata, penelitian, penambangan
karang, ikan hias, dan lain-lain (Fauzi, 2002) dengan rumus sebagai
berikut:
TML = ML1 + ML2 + ML3 + ML4 +MLn (1)
Di mana : TML = Total Manfaat Langsung
ML1 = Manfaat Langsung Perikanan Terumbu
ML2 = Manfaat Langsung Pariwisata
ML3 = Manfaat Langsung Pemanfaatan Karang
ML4 = Manfaat Langsung Penelitian
Total manfaat langsung (TML) adalah penjumlahan seluruh manfaat
dan fungsi langsung terumbu karang di wilayah pesisir yang ingin
divaluasi nilai ekonominya.
Adapun beberapa manfaat langsung dari terumbu karang berupa
Perikanan tangkap, Marikultur, Perdagangan Akurium, Kapur, Bahan
biodiversity terumbu
karang
sebesar
US$
2.400
8.000/km2/tahun.
d. manfaat eksistensi (keberadaan) Manfaat keberadaan adalah nilai yang
diukur dari manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan
ekosistem terumbu setelah manfaat lain dihilangkan dari analisis.
Manfaat tersebut dihitung dengan metode Willingness to Pay
(kesediaan membayar masyarakat). Manfaat tersebut merupakan nilai
ekonomis keberadaan (fisik) dari ekosistem terumbu karang (Fauzi,
2002) yang dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
MEi = Manfaat Ekosistem dari responden ke-i
n = Jumlah responden
e. Manfaat Warisan Nilai warisan ekosistem terumbu karang yang
dimiliki tidak dapat dinilai dengan pendekatan nilai pasar. Sehubungan
dengan hal tersebut maka diperkirakan bahwa nilai warisan tidak
kurang 10% dari nilai manfaat langsung terumbu karang (Hasmin,
2006).
2. Kuantifikasi Manfaat
sekunder.
Tentukan cara pengukuran kualitas l;ingkungan (bising dengan
db, udara dengan kandungan partikulat, SO2, air dengan BOD,
COD dll.)
- Spesifikasi fungsi persamaan hedonic
- Pengumpulan data
- Pengolahan data
- Interpretasi
- Pembuatan Laporan
F. Perbedaan Upah
1. Teori dasar menyatakan: (1) pada pasar bersaing sempurna
permintaan tenata kerja setara dengan nilai produk marjinal, (2)
pemasokan tenaga kerja berbeda dari satu dengan tempat lain
karena perbedaan kondisi dan kualitas lingkungan kerja, (3)
pekerja dapat memilih tempat pekerjaannya dengan leluasa tanpa
adanya tekanan dari pihak manapun.
2. Contoh, seorang pekerja pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di
suatu daerah tercemar (udara, air dll.) bersedia dibayar Rp
30.000/hari.
Seorang
pekerja
lainnya
bekerja
di
pabrik
Wisata
Perairan
Padaido,
dengan
menggunakan
analisis
(X1),
pendapatan
responden
(X2),
pengalaman
bias,
(2)
starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias. (5)
commodity
specification bias.
5. Prosedur Pelaksanaan Survei CVM terdiri dari 10 tahap, yaitu:
- Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai
- Identifikasi populasi yang terkena dampak atau yang
-
Berikut ini contoh penerapan teknik kuantifikasi manfaat pada kawasan terumbu
karang:
a. Pelindung pantai: Replacement cost untuk terumbu buatan atau pembuatan
breakwater pelindung pantai
b. Biodiversitas: Contingent valuation untuk mempertahankan habitat
c. Fishing ground: Change in Production atau Effect on productivity (EOP)
terhadap kegiatan perikanan tangkap.
d. Mariculture: Effect on productivity (EOP) terhadap kegiatan mariculture.
e. Tourism: Travel cost method (TCM) dari kegiatan wisata bahari.
f. Construction material dan sumber kapur: Surrogate goods (market proxy)
dari material konstruksi.
g. Research and education: Contingent valuation terhadap kepentingan
penelitian dan pendidikan
h. Genetic and drugs: Surrogate market dengan kemungkinan penemuan baru
(probality of discoveries)
3. Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Lahan Pesisir Penilaian alternatif
alokasi pemanfaatan terumbu karang dengan menggunakan CostBenefit
Analysis (CBA), yang merupakan net present value dengan menghitung
manfaat yang diperoleh dari penggunaan terumbu karang, termasuk manfaat
eksternalitas, dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
manfaat dari penggunaan terumbu karang, termasuk biaya eksternalitas, dalam
kurun waktu tertentu serta mempertimbangkan faktor diskonto (discount rate).
4. Analisis Ekonomi Wilayah Untuk melihat dampak ekonomi wilayah khususnya
dari kontribusi sumberdaya perikanan, terhadap PDRB Kabupaten Biak
Numfor
dilakukan
analisis
Location
Keterangan :
LQij = indeks kuosien lokasi
Xij = jumlah PDRB Kabupaten/kota tempat pesisir yang akan divaluasi
masing-masing
sub
sektor
Xi. = jumlah PDRB Kabupaten tempat pesisir yang akan divaluasi total seluruh
sub
sektor
X.j = jumlah PDRB total suatu sub sektor di Kabupaten/Kota tempat pesisir
yang
akan
divaluasi
X.. = jumlah PDRB total seluruh sub sektor pada wilayah Kabupaten tempat
pesisir yang akan divaluasi
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah
jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ>1) maka sektor tersebut
merupakan
sektor
basis,
sedangkan bila nilainya sama atau lebih kecil dari satu (LQ1) berarti sektor
yang dimaksud termasuk kedalam sektor non basis pada perekonomian wilayah
yang dikaji. Analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time- series/trend. artinya
untuk melihat beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi penurunan
atau kenaikan (Maksum, 2006)
Pengembangan Masyarakat Pesisir sebagai Bagian Dari ICZM
Konsep pengembangan masyarakat pesisir merefleksikan karakteristik wilayah
pesisir, karakteristik masyarakat pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir disatu
pihak; dan konsep pengembangan masyarakat secara umum. Jadi terjadi irisan
(intersection) antara komponenkomponen tersebut, sehingga secara spesifik dapat
membedakan
antara
pengembangan
masyarakat
petani
atau
masyarakat
pedalaman lainnya.
Konsep pengembangan masyarakat (community development) merupakan
konsepsi yang dinamis, dimana pada awalnya masih sering dipertukarkan dengan
istilah
community
work,
metode, program atau gerakan (Sanders, 1958) yang disitir oleh Fachrudin (2008).
Sejalan dengan sejarahnya, maka pengembangan masyarakat juga mengalami
evolusi pemahaman yang dituangkan dalam konsepsi-konsepsinya, baik dalam hal
proses maupun keterlibatan kelembagaan.
Konsep PBB (1960) menyatakan pengembangan masyarakat adalah proses yang
memfasilitasi usaha yang dilakukan masyarakat sendiri dipadukan dengan
kewenangan pemerintahnya untuk meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan
budaya masyarakat. Sementara Poston (1962) membawa konsep perspektif
internasional dan nasional yang luas menyangkut aktivitas populasi yang besar
untuk meningkatkan kesejahteraan. Seperti halnya pada konsepsi sebelumnya,
Brokensha dan Hidge (1968) menggaris bawahi adanya pergerakan yang terarah
dan bersifat partisipatif dengan inisiatif oleh masyarakat. Secara lebih tajam dan
jelas tercermin dalam konsep Cristenson dan Robinson (1980), bahwa dalam
proses pengembangan masyarakat terjadi kerjasama masyarakat dalam bingkai
pembagian keputusan untuk membangun inisiatif bersama.
Pada fase berikutnya, keterlibatan masyarakat juga tetap disinggung (Twelvetrees,
1991). Sementara untuk kasus di Indonesia, van Beers dan Colley (1972) dalam
kepentingan membangun persepsi tentang proses pengembangan masyarakat di
Pulau Jawa, menekankan adanya terminologi membantu diri sendiri (assisted self
help). Dalam kerangka yang lebih global dan lebih kini Ife (2002) mengajukan
pengertian bahwa pengembangan masyarakat adalah suatu proses membangun
atau membangun kembali struktur masyarakat dengan cara baru yang lebih
memungkinkan untuk mengubungkan, mengorganisasikan kehidupan sosial dan
memenuhi kebutuhan manusia.
Telaah konsepsi juga menunjukan secara historis terjadi perubahan keterlibatan
kelembagaan serta cakupan. Namun demikian, konsepsi-konsepsi tersebut
menunjukan konsistensi pelibatan proses dalam pengembangan masyarakat seperti
kerterlibatan masyarakat (partisipasi), kerjasama, proses/ kegiatan terencana serta
aspek intervensi (sosial, ekonomi dan budaya) dan tujuannya meningkatkan taraf
hidup. Sehingga dalam konsepsi pengembangan masyarakat dimanapun,
terminologi tersebut harus menjadi bagian yang elementer. Seperti telah
Burke, Lauretta, et.al. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara
(Ringkasan Untuk Indonesia).Publikasi dalam www.google.com, diakses
tanggal 16 Desember 2011.
Caesar, H. 1996. Economic analysis of Indonesian coral reef. Working Paper
Series
Work
Konservasi
Terumbu
Karang.
and