Anda di halaman 1dari 21

MENGHITUNG VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU

KARANG DALAM PENGELOLAAN PESISIR TERPADU


Valuasi Ekonomi Pengelolaan Wilayah Pesisir
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay dkk.,
1999). Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari
berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan
lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat
produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia.
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan
sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan
terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik
pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir
(Nurmalasari, 2001).
Interasksi antara tanah dan laut melalui proses hidrologi d wilayah pesisir
memiliki karakteristik yang spesifik sehingga pembangunan dan perubahan pada
wilayah tersebut dapat mengakibatkan pengaruh (impact) yang sangat signifikan.
Perilaku dari produsen yan memaksimumkan utilitas dalam memamnfaatkan
sumber daya pesisir dapat mengakibatkan alokasi sumberdaya dan lingkungan
yang tidak efisien secara ekinomi. Dengan demikian campur tangan pemerintah
diperlukan untuk mengatur sumberdaya yang langka sehingga penggunaannya
lebih efisien dan berkesinambungan, baik secara ekonomi maupun sosial. Usahausaha tersebut sering menemui kegagalan karena pelaku ekonomi dan pemerintah
memiliki informasi yang terbatas tentang nilai ekonomi dari sumberdaya wilayah
pesisir. Kesulitan penilaian ekonomi menjadi lebih nyata karena sumberdaya di
wilayah tersebut tidak doperdagangkan di pasar sehinga aplikasi dari penilaian
seumberdaya yang tidak dipasarkan (non market valuation) perlu dilakukan, agar
trade off antara pembangunan dari barang dan jasa yang disediakan oleh
lingkungan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk

pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan (Integrated Coastal Zone


Management/ICZM)
ICZM tidak hanya meliputi pengelolaan wilayah pesisir dalam ranah
pembangunan, namun pemeberdayaan masyarakat pesisir dan menjaga peran dan
fungsi dari faktor jasa lingkungan yang keberadaannya tidak terpisahkan satu
sama lain dengan wilayah pesisir itu sendiri. Faktor-faktor ini terbentuk dalam
beberapa formasi atau bantukan, bahkan ekosistem. Mangrove, Lamun, Terumbu
karang merupakan ekosistem yang berada dalam wilayah pesisir. Nilai sumber
daya pesisir akan sangat dipengaruhi oleh ekosistem ekosistem ini sebagai fungsi
sumberdaya. Karenanya, dirasa penting untuk melakukan analisis valuasi ekonomi
terhadap fungsi sumberdaya, dalam hal ini adalah Ekosistem Terumbu Karang.
Pentingnya Valuasi Ekonomi Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Secara Terpadu (ICZM)
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah Pulau
13.446 (terdaftar di UN) dan garis pantai yang terpanjang setelah Kanada, yaitu
81.000 km. Apabila diperhitungkan dengan kandungan potensi keanekaragaman
hayatinya, sementara garis pantai Kanada didominasi oleh Green Island yang
merupakanpulau es, maka Indonesia adalaha Negara dengan garis pantai produktif
terpanjang di dunia. Dengan kondisi geografis kepulauan dan garis pantai titu,
maka Indonesia dapat dikatakan memiliki Wilayah pesisir terbesar pula di dunia.
Namun demikian, Adriyanto & Wahyudin (2004) menyatakan bahwa seiring
dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat khususny pada tahun 1970-an,
tekanan terhadap wilayah pesisir laut Indonesia semakin besar. Konsekuensinya,
problem lingkungan yang terkait dengan wilayah pesisir muncul dimana faktor
pencetus (driven factors) secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut
(modifikasi dari Olsen, et al, 1989; Grigalunas and Congar, 1995):
-

Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir sangat cepat


Pertumbuhan singnifikan pada industri wisata bahari (termasuk wisata

pantai) da industry pesisir lainnya


Pengunaan areal pesisir sebagai tempat pembuangan limbah
Produktifitas yan tinggi dari ekosistem mangrove, terumbu karang, padang
lamun, dan ekosistem produktif lainnya dalam kondisi terancam (at risk)

Sejumlah 324 Kota besar dan Kabupaten di Indonesia berada di wilayah


pesisir, dimana kepadatan penduduk tinggi, tingkat produktifitas tinggi,
jumlah industri yang tinggi, proses produksi-konsumsi tinggi, dan buangan
limbah yang tinggi.

Problem dan isu lingkungan wilayah pesisir dan laut seperti yang disebutkan
diatas tidak jarang hanya berhenti pada tingkat identifikasi. Artinya, isu dan
problem wilayah pesisir tersebut tidak masuk dalam pertimbangan pengelolaan
karena sifatnya yang tidak terukur (intangible), sehingga sebagai input bagi
kebijakan masih relative kurang diperhitungkan. Selain itu, paradigma lama
pengelolaan wilayah pesisir memang hanya memperhitungkan faktor economic
benefits disbanding environmental cost atau bahkan social costs yang terkait
dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah produktif ini. Sementara itu, paradigm
baru pengelolaan wilayah pesisir dan laut mengacu dengan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang menitikberatka pada keseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi, kualitas linkungungan dan sumber daya alam, serta
produktifitas

(serta

akses)

pelayanan

social.

Kay

dan

Alder

(1999)

menggambarkan paradigm ini melalui sebuah diagram yang dapat dilihat pada
gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Pendekatan Sustainable dan Unsustainable Dalam Paradigma


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Dimodifikasi dari Dutton
dan Hotta, 1994 dalam Kay dan Alder, 1999)

Dari konteks perubahan paradigm tersebut, maka kelestarian ekosistem


pesisir dan faktorfaktor (jasa lingkungan pesisir) yang mendukung menjadi sangat
penting guna menjamin keberlanjutan (sustainability) dari penelolaan wilayah
pesisir dan laut. Konsekuensi dari perubahan paradigma ini adalah bahwa
dinamika ekosistem (tidak statis) harus dimasukkan ke dalam pertimbangan
pengelolaan termasuk pentingnya mengetahui nilai ekonomi sumber daya sebagai
salah satu faktor input kebijakan.
Pada titik inilah sebenarnya kebutuhan akan valuasi ekonomi menjadi
penting. Sebagai ilustrasi, contoh dengan menggunakan kasus wilayah pesisir
hipotetik (Teluk Z) yang digambarkan oleh Garigalunas dan Congar (1995).
Sebuah wilayah pesisir dan laut yang masuk ke dalam kategori teluk (bay)
memerlukan rencana pengelolaan sehinga sebuah kajian komprehensif perlu
dilakukan. Kajian ini dilakukan terhadap dinamika kegiatan ekonomi maupun
dampak lingkungan, termasuk didalamnya adalah lingkungan social yang menjadi
sebuah kebutuhan. identifikasi sumberdaya dan isu pengelolaan wilayah teluk
hipotetik ini disajikan secara diagram pada gambar 2 berikut ini.

Dari Gambar 2, maka dapat diidentifikasi 3 isu utama, yaitu (1) bahwa
wilayah Teluk Z memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan
manfaat baik manfaat langsung (perikanan dan wisata bahari/rekreasi) maupun
tidak langsung (missal ekosistem mangrove dan terumbu karang sebagai natural
barier bagi keselamatan wisatawan dan terrestrial pantai). Penilaian manfaat

secara ekonomi menjadi perlu aar input kebijakan penelolaan wilayah pesisir dan
laut dilakukan secara komprehensif dalam konteks benefit and cosnt-nya.
Selanjutnya, potensi konflik antara pemanfaat dan pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut juga perlu diperhatikan.
Isu yang ke (2) adalah ketersediaan data yang akan digunakan untuk
menganalisis manfaat sekaligus biaya dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut Teluk Z. Hal ini terkait dengan analisis ekonomi (atau social
ekonomi) terhadap problem ari pengelolaan wilaya pesisir khususnya yang terkait
dengan informasi ilmiah. Sebagai contoh, informasi tentan perubahan kualitas air
atau luasan terumbu karang yang dapat mempengaruhi kelimpahan ikan atau
keindahan ekosistem sebagi modal dasar bagi industry pariwisata bahari.
Kemudian, kesemuanya juga dihubungkan dengan lingkungan social masyarakat,
dimana tidak semua masyarakat hidup dari industry pariwisata. Kelimpahan ikan
yang berkurang akaibat luasan terumbu karang yang berkuran atau kualitas air
memburuk akan berdampak signifikan terhadap tingkat ekonomi masayrakat
pesisir yangberprofesi sebagai nelayan. Dalam konteksi ini, kolaborasi antara ilmu
sosial, ilmu sains, dan ilmu alam menjadi sebuah keharusan untuk dibawa ke
tingkat kebijakan.
Isu ke (3) adalah intuisi dan pandangan dari pengambil keputusan.
Pengelolan Teluk Z tentu saha menginkan adanya pembangunan ekonomi di
wilayahnya, namun demikian pada saat yang sama mereka memahami pentingya
kelestarian sumberdaya alam pesisir, dan pro peningkatan kapasitas dan ekonomi
masyarakat di Teluk Z. dengan kata lain, pengelola Teluk Z diasumsikan memiliki
tujuan untuk menetahui benefits and costs dari ekosistem teluk Z yang nantinya
dpat didistribusikan secara adil dan merata kepada seluruh stakeholder Teluk Z.
Dalam konteksi ini, pendekatan valuasi ekonomi mulai digunakan
Nilai Ekonomi Terumbu Karang
Indonesia memiliki sekitar 17.500 km2 ekosistem terumbu karang (Moosa,
et al, 1987) tersebar di seluruh wilayah perairan pesisir yang jernih, hangat,
beroksigen serta bebas dari padatan terlarut dan aliran air tawar yang berlebihan.
Terumbu karang Indonesia sangat beragam dan kaya. Seluruh tipe terumbu karang

yang mencakup terumbu karang melingkar, terumbu karang penghadang, atol dan
bongkahan

terumbu

karang

(fringing

reefs,

barrier

reefs, atoll, patch reefs) terdapat di perairan laut Indonesia.


Terumbu karang merupakan ekosistem yang kaya akan keanekaragaman
hayati dan memiliki manfaat yang besar di sektor perikanan. Berbagai jenis hewan
dan tumbuhan yang hidup di ekosistem terumbu karang. Sekitar 350 jenis karang
batu, >2000 jenis ikan, 1500 jenis moluska, 10 jenis teripang ekonomis dan 555
jenis alga yang hidup di ekosistem ini (Nontji 1993). Ekosistem ini merupakan
sumber nutrisi untuk kehidupan biota yang ada di laut. Banyak hewan yang
mencari makan, berbiak, mengasuh dan membesarkan anak-anak di tempat ini.
Manfaat lain dari ekosistem terumbu karang adalah sebagai penahan gelombang,
sumber benih budidaya, serta memiliki potensi untuk pengembangan wisata
bahari.
Potensi panen lestari (MSY) ikan karang di perairan laut Indonesia diduga
sebesar 80.082 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991). Dengan luas areal terumbu
karang Indonesia sekitar 17.500 km2 berarti potensi lestari ikan karang di
Indonesia 4,57 ton/tahun/km2. Perikanan karang komersial dan subsisten
memiliki kontribusi yang nyata terhadap ekonomi Indonesia. Masyarakat pesisir,
khususnya yang tinggal di pulau-pulau kecil (Nias, Siberut, Kepulauan Seribu,
Taka Bone Rare, Tukang Besi dan Padaido) telah memenfaatkan sumberdaya
ikan, rumput laut dan sumberdaya biologis lainnya untuk kehidupannya selama
berabad-abad. Selanjutnya di beberapa bagian Indonesia, terumbu karang secara
tradisional telah dipakai oleh masyarakat pesisir untuk mendukung kehidupannya
dengan memanfaatkan berbagai jenis ikan dan invertebrata lainnya (Burbridge and
Maragos, 1985).
Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan
yang cukup besar untuk sektor perikanan. Caesar (1996) menyatakan bahwa
terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat menyumbangkan
18 ton ikan per km2 per tahun. Sedangkan yang termasuk dalam kategori baik dan
cukup adalah sebesar 13 ton/km2/tahun dan 8 ton/km2/tahun. Apabila
dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan

Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata dan
perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat terumbu karang sebagai
pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan (Sjafrie,
2010)
Hasil penelitian mengenai nilai ekonomi terumbu karang dari berbagai
aspek telah dilakukan oleh beberapa orang. Ohman & Caesar (2000) telah
menghitung nilai ekonomi terumbu karang sebagai bahan tambang di Lombok dan
Srilanka. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang
di Lombok adalah sebesar 762 $ US/km2, sedangkan di Srilangka nilainya sebesar
6.610.000 $ US /km2.
Sawyer pada tahun 1992 seperti yang disitir dalam Suharsono (2007) telah
menghitung nilai ekonomi terumbu karang dari hasil perikanan di Takabonerate,
Sulawesi Selatan dan memperoleh nilai ekonomi sebesar 777 $ US/km2. Nilai
ekonomi terumbu karang di Great Barrier Reef dari hasil perikanan juga telah
dilakukan oleh Driml (1999), sedangkan dari hasil pariwisata oleh Muller et al
(2000). Nilai ekonomi terumbu karang dari hasil perikanan di Great Barrier Reef
adalah sebesar 143 juta $ US /tahun, sedangkan nilai ekonomi dari hasil
pariwisata berkisar antara 106-144 juta $ US/tahun. Sebaliknya Moore & Best
pada tahun 2001 yang disitir dalam Situmorang (2004) telah melakukan
penghitungan mengenai kerugian yang disebabkan oleh kerusakan terumbu
karang dilihat dari fungsinya sebagai pelindung pantai. Hasil penelitian mereka
menyatakan bahwa setiap kerusakan 1 km2 terumbu karang akan mengakibatkan
kerugian antara 137.000 sampai 1.200.000 $ US.
Valuasi Ekonomi Terumbu Karang
Valuasi ekonomi kawasan konservasi terumbu karang adalah suatu cara
penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa yang terdapat pada kawasan
konservasi terumbu karang ke dalam nilai uang, terlepas dari ada atau tidaknya
nilai pasar dari barang dan jasa tersebut. Nilai ekonomi diukur dalam terminologi
kesediaan membayar untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut (willingness to
pay).

Konsep Willingnes To Pay (WTP), Willingnes To Accept (WTA) dan


Kesejahteraan Sosial (Social Welfare)
Total kesejahteraan sosial (Total Social Welfare) dari konsumsi barang atau
jasa adalah setara dengan jumlah kesediaan membayar (WTP) dari seluruh
individu. Jumlah ini termasuk 1) pengeluaran untuk memperoleh barang dan jasa,
dan 2) surplus konsumen. Kegunaan marjinal atau manfaat yang diperoleh dari
konsumsi setiap tambahan unit barang dan jasa diasumsikan berkurang. Dengan
demikian WTP untuk setiap tambahan unit juga berkurang (Fachrudin, 2008)
Penggunaan harga pasar dikalikan dengan jumlah konsumsi merupakan
estimasi minimal dari kegunaan dalam pemanfaatan barang atau jasa lingkungan.
Surplus konsumen harus diperhitungkan untuk memperoleh manfaat utuh dari
setiap individu. Surplus konsumen dalam hal ini adalah konsep nilai bersih dari
pengeluaran. Terlihat bahwa barang dan jasa lingkungan yang tak memiliki harga
pasar akan menghasilkan surplus konsumen yang sangat besar karena harganya
sama dengan nol, sehingga bila musnah akan mengakibatkan hilangnya kegunaan
yang sangat besar pula (Fachrudin, 2008)
Bila diasumsikan bahwa pasar 1) bebas dari gangguan dan 2) distribusi
pendapatan merata dalam masyarakat, maka kurva permintaan individu dapat
diaggregasikan menjadi kurva permintaan pasar. Dengan demikian kurva
permintaan pasar akan mencerminkan total WTP untuk barang dan jasa
lingkungan. Kedua asumsi ini sangatlah kuat.

WTA adalah nilai kegunaan awal individu dari barang dan jasa sebelum
ada perubahan atau kesediaan individu untuk menerima kompensasi bila barang

dan jasa tersebut dimanfaatkan oleh individu lain atau diubah pemanfaatannya.
Perhatikan pertanyaan berikut ini:
1. Berapa banyak anda ingin dibayar bila kawasan terumbu karang ini diubah
menjadi kawasan konservasi?
2. Berapa banyak anda ingin dibayar bila anda dimohon untuk tidak merusak
terumbu karang ini?
Bandingkan dengan WTP yang mempertanyakan hal ini: berapa besar anda
kehilangan pendapatan yang sama dengan perubahan kesejahteraan akibat
perubahan terumbu karang menjadi kawasan konservasi? (Fachrudin, 2008)
Pemilihan penggunaan konsep WTP dan WTA dalam menilai sumberdaya
berkaitan erat dengan status kepemilikan sumberdaya (property right). Pada kasus
dimana sumberdaya pesisir telah memiliki sistem penguasaan yang sudah baik,
WTA untuk kompensasi kehilangan hak penguasaan menjadi lebih relevan
daripada WTP. Secara umum konsep WTP digunakan dalam situasi dimana
pengguna sumberdaya tidak secara jelas memiliki sumberdaya tersebut (barang
publik, misal terumbu karang). Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa rejim
kelembagaan yang ada di wilayah pesisir
Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial
Barang dan jasa yang dipasarkan dalam kondisi pasar yang tidak
terdistorsi akan mendapatkan harga yang menggambarkan harga sebenarnya untuk
masyarakat.

Nilainya

sama dengan nilai pilihan terbaik (best alternative) atau disebut sebagai social
opportunity
cost (shadow price). Ditinjau dari produsen maka marjinal cost meningkat bila
output bertambah sehinga marjinal cost yang menggambarkan supply
divisualisasikan meningkat dengan bertambahnya supply. Harga ditetapkan diatas
biaya maka daerah diatas kurva supply dan di bawah harga disebut sebagai
Produser Surplus (lihat gambar 3) Kesejahteraan sosial total diukur dengan
menjumlahkan PS dan CS (Consumer Surplus) dan nilainya akan maksimum bila
marjinal sosial benefit (MSB) sama dengan marjinal sosial cost. Seperti
digambarkan pada Gambar 4 berikut.

Metode Valuasi
Pada dasarnya valuasi ekonomi sumberdaya kawasan konservasi terumbu
karang meliputi 3 tahap utama, yaitu : (1) identifikasi manfaat dan fungsi
keterkaitan antar komponen sumberdaya pesisir dan laut, (2) kuantifikasi seluruh
manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai uang, dan (3) penilaian alternatif
alokasi pemanfaatan lahan pesisir. Kemudian 1 tahapan tambahan yaitu analisis
ekonomi wilayah.
1. Identifikasi Manfaat Manfaat yang dapat diperoleh dari kawasan
konservasi terumbu karang antara lain:
a. Manfaat langsung Manfaat langsung atau Direct Use Value (DUV)
adalah manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem terumbu karang
misalnya perikanan terumbu, pariwisata, penelitian, penambangan
karang, ikan hias, dan lain-lain (Fauzi, 2002) dengan rumus sebagai
berikut:
TML = ML1 + ML2 + ML3 + ML4 +MLn (1)
Di mana : TML = Total Manfaat Langsung
ML1 = Manfaat Langsung Perikanan Terumbu
ML2 = Manfaat Langsung Pariwisata
ML3 = Manfaat Langsung Pemanfaatan Karang
ML4 = Manfaat Langsung Penelitian
Total manfaat langsung (TML) adalah penjumlahan seluruh manfaat
dan fungsi langsung terumbu karang di wilayah pesisir yang ingin
divaluasi nilai ekonominya.
Adapun beberapa manfaat langsung dari terumbu karang berupa
Perikanan tangkap, Marikultur, Perdagangan Akurium, Kapur, Bahan

Obat, Bahan Konstruksi, Genetic Material, Tourism, Penelitian,


Pendidikan, dan Estetika,
b. Manfaat tidak langsung Manfaat tak langsung (Indirect Use Value)
adalah nilai manfaat yang diperoleh dari terumbu karang secara tidak
langsung, misalnya sebagai penahan ombak, dan lain lain. Nilai ini
dapat diperoleh dengan melakukan pendekatan pada biaya pembuatan
penahan ombak untuk panjang garis pantai. Beberapa diantara manfaat
tidak langsung lainnya berupa Penyedia pakan untuk kura-kura dan
burung laut, Physical Protection untuk: Garis pantai, Navigasi dan
Ekosistem lain
c. manfaat pilihan Manfaat pilihan dalam penelitian ini mengacu pada
biodiversity (keanekaragaman hayati). Lauretta Burke, et. al. (2002)
bahwa potensi keuntungan yang didapat dari keanekaragaman hayati
adalah US$2,400-8,000/km2/tahun. Sedangkan White dan Trinidad
(1998) mengungkapkan hasil penelitiannya di Manila dengan nilai
manfaat

biodiversity terumbu

karang

sebesar

US$

2.400

8.000/km2/tahun.
d. manfaat eksistensi (keberadaan) Manfaat keberadaan adalah nilai yang
diukur dari manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan
ekosistem terumbu setelah manfaat lain dihilangkan dari analisis.
Manfaat tersebut dihitung dengan metode Willingness to Pay
(kesediaan membayar masyarakat). Manfaat tersebut merupakan nilai
ekonomis keberadaan (fisik) dari ekosistem terumbu karang (Fauzi,
2002) yang dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
MEi = Manfaat Ekosistem dari responden ke-i
n = Jumlah responden
e. Manfaat Warisan Nilai warisan ekosistem terumbu karang yang
dimiliki tidak dapat dinilai dengan pendekatan nilai pasar. Sehubungan
dengan hal tersebut maka diperkirakan bahwa nilai warisan tidak
kurang 10% dari nilai manfaat langsung terumbu karang (Hasmin,
2006).
2. Kuantifikasi Manfaat

Berikut ini adalah beberapa teknik kuantifikasi manfaat yang dapat


digunakan pada kawasan terumbu karang:
A. Perubahan Pendapatan (Change in Productivity)
Suatu proyek pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir
dapat mempengaruhi produktivitas secara positif atau negative. Analisa
ini didasarkan atas situasi dengan proyek dan tanpa proyek. Misalkan,
bila proyek pembukaan lahan mangrove menyebabkan penurunan hasil
tangkapan ikan 20% pertahun maka proyek ini menimbulkan kerugian
ekonomi setara dengan hilangnya hasil produksi sebesar 20% per
tahun.
B. Kehilangan Pendapatan (Lost of Earning)
1. Proyek pemanfaatan lahan pesisir seringkali mengakibatkan
kemunduran mutu lingkungan dalam berbagai bentuk
2. Hal ini dapat menimbulkan dampak berupa menurunnya kesehatan
penduduk dan kualitas kerja.
3. Bila dampak ini menyebabkan penduduk harus mengeluarkan
biaya tambahan pemeliharaan kesehatan Rp 50.000,00/kapita/tahun
maka nilai jasa lingkungan adalah Rp 50.000, 00/kapita/tahun.
Contoh lain, bila dampak ini menyebabkan kematian seorang lakilaki berumur 30 tahun yang berpeluang hidup sampai 60 tahun
dengan pendapatan Rp 20.000,00/hari, maka nilai jasa lingkungan
peisisr adalah (Rp 20,000/Hari x 30 hari/bulan x 12 bulan/hari x 30
tahun) = Rp 226.000,00. Asumsi dapat bekerja selama 30 tahun
dengan penghasilan tidak berutah.
C. Biaya Terluang (Opportunity cost)
1. Adalah hasil keuntungan yang dapat diperoleh dari alternative
investasi yang diabaikan.
2. Metoda ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu
proyek pemanfaatan lahan pesisi yang tidak dapat diukur dengan
menggungkan nilai pasar
D. Biaya Preventif (Preventive Expenditure)
1. Adalah biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya dampak
lingkungan yang merugikan.
2. Contoh limbah organic yang terbuang dari industri pengalengan
ikan atau industri cold storage dapat menyebabkan penurunan

kualitas air tempat pembuangan limbah tersebut. Biaya pengolahan


air limbah (waste water treatment cost), misalkan Rp 1 milyar, agar
tidak mencemari lingkungan atau tidak melampaui baku mutu,
dapat dianggap sebagai nilai kerugian yang diakibarkan oleh
pembuangan limbah organik tersebut
E. Biaya Properti (Hedonic Price Method)
1. Teori dasar adalah adanya keterkaitan antara permintaan atau
produksi komoditi yang dapat dipasarkan (Marketable commodity)
dengan yang tidak dapat dipasarkan (non-market able commodity)
2. Contoh: (1) hasil tangkapan ikan dalam suatu area tertentu
merupakan fungsi dari kualitas perairan, (2) Nilai keindahan alam
dan udara bersih suatu pantai dapat dinilai melalui harga rumah
tinggal yang berlokasi sesuai dengan criteria yang dimaksud.
Dengan kata lain, harga rumah di suatu lokasi merupakan fungsi
dari kualitas udara dan keindahan alamnya.
3. Langkah pelaksanaannya:
- Identifikasi kualitas lingkungan, issu penting ketersediaan data
-

sekunder.
Tentukan cara pengukuran kualitas l;ingkungan (bising dengan
db, udara dengan kandungan partikulat, SO2, air dengan BOD,

COD dll.)
- Spesifikasi fungsi persamaan hedonic
- Pengumpulan data
- Pengolahan data
- Interpretasi
- Pembuatan Laporan
F. Perbedaan Upah
1. Teori dasar menyatakan: (1) pada pasar bersaing sempurna
permintaan tenata kerja setara dengan nilai produk marjinal, (2)
pemasokan tenaga kerja berbeda dari satu dengan tempat lain
karena perbedaan kondisi dan kualitas lingkungan kerja, (3)
pekerja dapat memilih tempat pekerjaannya dengan leluasa tanpa
adanya tekanan dari pihak manapun.
2. Contoh, seorang pekerja pabrik pengalengan ikan yang berlokasi di
suatu daerah tercemar (udara, air dll.) bersedia dibayar Rp
30.000/hari.

Seorang

pekerja

lainnya

bekerja

di

pabrik

pengalengan ikan yang berlokasi di suatu tempat yang tidak


tercemar bersedia hanya dibayar Rp 15.000/hari. Perbedaan sebesar
Rp 15.000 merupakan nilai kualitas lingkungan tersebut.
G. Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
1. Dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam
2. Dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya
terhadap responden pengunjung suatu obyek wisata
3. Biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan
penginapan
4. Melalui survey ini kurva permintaan dan surplus konsumne dapat
ditentukan.
5. Surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek
wisata tersebut.
H. Proksi Terhadap Harga Pasar
1. Dapat digunakanb untuk menilai jasa lingkungan dan SDA yang
memiliki korelasi erat dengan komoditas lain yang dapat
dipasarkan.
2. Misal, nilai ranting mangrove sebagai kayu bakar dapat diduga
dengan harga minyak tanah.
I. Biaya Pengganti
1. Dapat digunakan untuk menilai ekosistem yang telah rusak.
2. Nilai kerusakan suatu ekosistem terumbu karang ekuivalen dengan
biaya pembuatan terumbu karang buatan.
3. Nilai hutan mangrove sebagai tempat pemijahan benur ekuivalen
dengan biaya pembuatan tempat pemijahan.
J. Metoda Kontingen (Contingen Valuation Method)
1. Adalah salah satu metoda valuasi melalui survey langsung
mengenai penilaian responden secara individual dengan cara
menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay)
terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suaru sumber
daya yang non marketable. N ndikatakan contingent, karena pada
kondisi tersebut responden seolah-olah dihadapkan pada pasar
yang sesungguhnya dimana sedang terjadi transaksi.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keinginan membayar (WTP) ekosistem terumbu karang di Taman

Wisata

Perairan

Padaido,

dengan

menggunakan

analisis

Willingness To Pay (WTP) (Fauzi, 2002).


WTPi = f(I, E, A, P} ................................................ (3)
Dimana I adalah pendapatan, E adalah tingkat pendidikan, A
adalah umur, dan P pengalaman. Analisis dilakukan dengan regresi
sederhana yang diduga variabel berpengaruh, yaitu variabel umur
responden

(X1),

pendapatan

responden

(X2),

pengalaman

responden (X3), pendidikan responden (X4) dan pengubah/dummy


yaitu pernah tidaknya responden mengikuti/mendapat informasi
tentang terumbu karang. Untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai WTP ini, digunakan software SPSS 15.
Kelima variabel tersebut akan dibuktikan pengaruhnya terhadap
variabel dependent yaitu nilai yang ingin dibayarkan
terhadap keberadaan terumbu karang, dalam hal ini diberi simbol
Y.
2. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai
pilihan, nilai eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan
untuk menilai penurunan kualitas.
3. Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method
disebut juga pertanyaan terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment
Card, (4) Take it or leave it.
4. Ada lima macam (sumber) bias yang perlu diwaspadai, yaitu (1)
strategic

bias,

(2)

starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias. (5)
commodity
specification bias.
5. Prosedur Pelaksanaan Survei CVM terdiri dari 10 tahap, yaitu:
- Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai
- Identifikasi populasi yang terkena dampak atau yang
-

memanfaatkan sumberdaya tersebut atau yang mengerti betul.


Tetapkan prosedur survey, kapan dan dimana
Tentukan cara sampling dan pemilihan sample.
Disain kuisioner meliputi jenis dan isi pertanyaan.
Melakukan pelatihan terhadap surveyor mengenai tata cara
survey.

Lakukan uji pendahuluan kuisioner (pretes) untuk meminimalkan

bias yang mungkin terjadi


Pelaksanaan survey dan ekstraksi data
Pengolahan data
Penulisan laporan

Berikut ini contoh penerapan teknik kuantifikasi manfaat pada kawasan terumbu
karang:
a. Pelindung pantai: Replacement cost untuk terumbu buatan atau pembuatan
breakwater pelindung pantai
b. Biodiversitas: Contingent valuation untuk mempertahankan habitat
c. Fishing ground: Change in Production atau Effect on productivity (EOP)
terhadap kegiatan perikanan tangkap.
d. Mariculture: Effect on productivity (EOP) terhadap kegiatan mariculture.
e. Tourism: Travel cost method (TCM) dari kegiatan wisata bahari.
f. Construction material dan sumber kapur: Surrogate goods (market proxy)
dari material konstruksi.
g. Research and education: Contingent valuation terhadap kepentingan
penelitian dan pendidikan
h. Genetic and drugs: Surrogate market dengan kemungkinan penemuan baru
(probality of discoveries)
3. Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Lahan Pesisir Penilaian alternatif
alokasi pemanfaatan terumbu karang dengan menggunakan CostBenefit
Analysis (CBA), yang merupakan net present value dengan menghitung
manfaat yang diperoleh dari penggunaan terumbu karang, termasuk manfaat
eksternalitas, dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
manfaat dari penggunaan terumbu karang, termasuk biaya eksternalitas, dalam
kurun waktu tertentu serta mempertimbangkan faktor diskonto (discount rate).
4. Analisis Ekonomi Wilayah Untuk melihat dampak ekonomi wilayah khususnya
dari kontribusi sumberdaya perikanan, terhadap PDRB Kabupaten Biak
Numfor

dilakukan

analisis

Location

Quotient (LQ). Pendekatan dengan menggunakan metoda LQ ini adalah


dengan menganalisis nilai PDRB sub sektor i di wilayah Kabupaten Biak
Numfor. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Richardson dalam
MutaAli, 2003).

Keterangan :
LQij = indeks kuosien lokasi
Xij = jumlah PDRB Kabupaten/kota tempat pesisir yang akan divaluasi
masing-masing

sub

sektor

Xi. = jumlah PDRB Kabupaten tempat pesisir yang akan divaluasi total seluruh
sub

sektor

X.j = jumlah PDRB total suatu sub sektor di Kabupaten/Kota tempat pesisir
yang

akan

divaluasi

X.. = jumlah PDRB total seluruh sub sektor pada wilayah Kabupaten tempat
pesisir yang akan divaluasi
Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis adalah
jika nilai indeks LQ lebih besar dari satu (LQ>1) maka sektor tersebut
merupakan

sektor

basis,

sedangkan bila nilainya sama atau lebih kecil dari satu (LQ1) berarti sektor
yang dimaksud termasuk kedalam sektor non basis pada perekonomian wilayah
yang dikaji. Analisis LQ ini dilakukan dalam bentuk time- series/trend. artinya
untuk melihat beberapa kurun waktu yang berbeda apakah terjadi penurunan
atau kenaikan (Maksum, 2006)
Pengembangan Masyarakat Pesisir sebagai Bagian Dari ICZM
Konsep pengembangan masyarakat pesisir merefleksikan karakteristik wilayah
pesisir, karakteristik masyarakat pesisir dan pengelolaan wilayah pesisir disatu
pihak; dan konsep pengembangan masyarakat secara umum. Jadi terjadi irisan
(intersection) antara komponenkomponen tersebut, sehingga secara spesifik dapat
membedakan

antara

pengembangan

masyarakat

petani

atau

masyarakat

pedalaman lainnya.
Konsep pengembangan masyarakat (community development) merupakan
konsepsi yang dinamis, dimana pada awalnya masih sering dipertukarkan dengan
istilah

community

work,

community organisation, community action, community practice maupun


community change(Ife, 2002), dimana konsep pengembangan masyarakat juga
dapat dipandang dari sisi proses (Piterson, 1979), maupun pada sisi dinamika
perubahan perubahan perencanaan (Wileden, 1970) atau bahkan sebagai proses,

metode, program atau gerakan (Sanders, 1958) yang disitir oleh Fachrudin (2008).
Sejalan dengan sejarahnya, maka pengembangan masyarakat juga mengalami
evolusi pemahaman yang dituangkan dalam konsepsi-konsepsinya, baik dalam hal
proses maupun keterlibatan kelembagaan.
Konsep PBB (1960) menyatakan pengembangan masyarakat adalah proses yang
memfasilitasi usaha yang dilakukan masyarakat sendiri dipadukan dengan
kewenangan pemerintahnya untuk meningkatkan kondisi ekonomi, sosial dan
budaya masyarakat. Sementara Poston (1962) membawa konsep perspektif
internasional dan nasional yang luas menyangkut aktivitas populasi yang besar
untuk meningkatkan kesejahteraan. Seperti halnya pada konsepsi sebelumnya,
Brokensha dan Hidge (1968) menggaris bawahi adanya pergerakan yang terarah
dan bersifat partisipatif dengan inisiatif oleh masyarakat. Secara lebih tajam dan
jelas tercermin dalam konsep Cristenson dan Robinson (1980), bahwa dalam
proses pengembangan masyarakat terjadi kerjasama masyarakat dalam bingkai
pembagian keputusan untuk membangun inisiatif bersama.
Pada fase berikutnya, keterlibatan masyarakat juga tetap disinggung (Twelvetrees,
1991). Sementara untuk kasus di Indonesia, van Beers dan Colley (1972) dalam
kepentingan membangun persepsi tentang proses pengembangan masyarakat di
Pulau Jawa, menekankan adanya terminologi membantu diri sendiri (assisted self
help). Dalam kerangka yang lebih global dan lebih kini Ife (2002) mengajukan
pengertian bahwa pengembangan masyarakat adalah suatu proses membangun
atau membangun kembali struktur masyarakat dengan cara baru yang lebih
memungkinkan untuk mengubungkan, mengorganisasikan kehidupan sosial dan
memenuhi kebutuhan manusia.
Telaah konsepsi juga menunjukan secara historis terjadi perubahan keterlibatan
kelembagaan serta cakupan. Namun demikian, konsepsi-konsepsi tersebut
menunjukan konsistensi pelibatan proses dalam pengembangan masyarakat seperti
kerterlibatan masyarakat (partisipasi), kerjasama, proses/ kegiatan terencana serta
aspek intervensi (sosial, ekonomi dan budaya) dan tujuannya meningkatkan taraf
hidup. Sehingga dalam konsepsi pengembangan masyarakat dimanapun,
terminologi tersebut harus menjadi bagian yang elementer. Seperti telah

disebutkan diawal, maka konsep pengembangan masyarakat pesisir juga harus


merefleksikan konsep-konsep besar tersebut. Secara umum, pengembangan
masyarakat pesisir adalah proses partisipatif yang terencana untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat pesisir.
Secara praktis, pihak yang dapat dan mampu untuk mengembangkan masyarakat
pesisir terdiri dari banyak pihak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, perguruan
tinggi atau perusahaan (swasta). Oleh karena itu, dalam kaitan dengan pengetrian
pengembangan masyarakat perlu ditambahkan unsur pelaku yang jelas. Untuk
mengakomodasikan kepentingan ini, maka pengertian pengembangan masyarakat
pesisir dapat dinyatakan sebagai:
upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir secara partisipatif
yang
terencana
Berdasar pada pengertian ini, maka terdapat unsur-unsur pokok yang perlu
dielaborasi lebih lanjut. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur partisipatif, terencana
dan meningkatkan kualitas hidup. Partisipatif dalam konsep ini mempersyaratkan
bahwa sasaran program terlibat baik dalam proses perencanaan sampai dengan
evaluasi. Namun demikian, evaluasi yang melibatkan masyarakat, dilakukan pada
program dan komponen program yang telah direncanakan dan disepakati oleh
masyarakat.
Sementara itu, terencana, menunjukkan bahwa program pengembangan
masyarakat adalah kegiatan yang telah terencana sebelumnya, sehingga dapat
menjamin keberlanjutan hasil program. Sedangkan pengertian meningkatkan
kualitas hidup masyarakat merupakan konsepsi yang luas, yang idealnya
mencakup pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karenanya secara
umum, pengembangan masyarakat pesisir mencakup kegiatan phisik dan non
phisik, dimana intervensi program pada masyarakat dapat dikelompokan menjadi
infrastruktur (fisik dan non fisik), pelayanan dan pengembangan kapasitas.
Daftar Pustaka

Burke, Lauretta, et.al. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara
(Ringkasan Untuk Indonesia).Publikasi dalam www.google.com, diakses
tanggal 16 Desember 2011.
Caesar, H. 1996. Economic analysis of Indonesian coral reef. Working Paper
Series

Work

in Progress. World Bank, Washington DC: 97 pp


Driml, S. M. 1999. Dollar values and trend of major direct uses of the Great
Barrier Reef
Marine Park. GBRMPA, Townsville: 56 pp.
Fachrudin, Achmad. 2008. Valuasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat di
Kawasan

Konservasi

Terumbu

Karang.

http://coastaleco.wordpress.com/2008/04/25/valuasiekonomi-danpemberdayaan-ekonomi-masyarakat-di-kawasan-konservasiterumbukarang/ diakses pada tanggal 5 November 2013


Fauzi, Akhmad. 2002. Valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan lautan. Makalah
pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Grigalunas, Thomas and Richard Congar (eds.), 1995. Environmental Economics
for
Integrated Coastal Area Management: Valuation Concepts and Policy
Instrument. UNEP Regional Seas Reports and Studies 164.Nairobi, Kenya:
United Nations Environment Programme, 165 pp.
Hasmin, 2006. Penilaian Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Pulau
Kapoposang, Sarappo Keke dan Saugi Kabupaten Pangkep. Tesis
Pascasarjana UNHAS, Makassar.
Ife, J. (2002). Community development: Community-based alternatives in an age
of globalisation. Frenchs Forest: Pearson Education Australia.
Kay, R. dan Alder, J. 1999. Coastal Management and Planning, E & FN SPON,
NewYork Kusumastanto T., 2001. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut -IPB, Bogor.

Maksum A, 2006. Analisis Manfaat Ekonomi Sumberdaya Perikanan Kawasan


Konservasi
Laut Taman Nasional Karimunjawa. Tesis Pascasarjana, IPB, Bogor
MutaAli L, 2003. Analisis Ekonomi Wilayah Kabupaten-Kabupaten di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Progo. Fakultas Geografi UGM.
Muller, J.; S. Bettencourt and R. Gillet. 2000. A comparative study of socioeconomic

and

management issues related to coastal resources in Pasific Island. In: H.S.J.


CESAR (ed.) Collected essay on economic of coral reef. CORDIO. 166182.
Nurmalasari, Y. 2009. Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis
Masyarakat. Jurnal Lingkungan. http://www.stmik-im.ac.id/userfiles/jurnal
%20yessy.pdf diakses pada tanggal 24 november 2011
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 367 hal.
Ohman, M. C and H.S.J Caesar. 2000. Cost and benefit of coral mining. In: H.S.J.
CESAR (ed.) Collected essay on economic of coral reef. CORDIO. 85-93.
Sjafrie, Dhewani, N. 2010. Nilai Ekonomi Terumbu Karang di Kecamatan Selat
Nasik,
Kabupaten Belitung. ISSN: 0125-9830: Oseanologi dan Limnologi
Indonesia 2010
Suharsono. 2007. Pengelolaan terumbu karang di Indonesia. Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Ilmu Oseanografi. Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: 112 hal.
Situmorang, B. 2004. Valuasi ekonomi terumbu karang Kepulauan Seribu. Thesis
Sekolah Pasca Sarjana IPB: 89 hal.
White, A.T. dan A. Cruz-Trinidad, 1998. The Values of Philippine Coastal
Resources: Why Protection and Management Are Critical (Cebu City,
Philippines: Coastal Resource Management Project).

Anda mungkin juga menyukai