Anda di halaman 1dari 23

REFORMASI AKUNTANSI KEUANGAN DAN ANGGARAN

DAERAH: DUA PILAR UTAMA MANAJEMEN KEUANGAN


DAERAH

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof. Dr. Abdul Halim, M.B.A, Akt.

2
Reformasi Akuntansi Keuangan dan Anggaran Daerah:
Dua Pilar Utama Manajemen Keuangan Daerah
Hampir dapat dipastikan bahwa setiap organisasi mulai dari
rumah tangga hingga Perserikatan Bangsa Bangsa mempunyai
masalah keuangan. Masalah tersebut haruslah dikelola dengan baik,
karena merupakan salah satu syarat agar organisasi dapat tetap eksis
dan dapat mencapai tujuannya. Organisasi perusahaan, misalnya,
sudah seharusnya mempunyai suatu pengelolaan atau manajemen
keuangan yang baik. Terlebih lagi di organisasi perusahaan yang
berbentuk Perseroan Terbatas yang bersifat terbuka atau go public,
tuntutan akan manajemen keuangan yang baik tidak dapat dielakkan
karena uang yang dikelola oleh manajemen menyangkut uang para
stockholders, dan debt holders yang harus dipertanggungjawabkan. Di
dunia perguruan tinggi, khususnya di perguruan tinggi ilmu ekonomi
(termasuk manajemen, dan akuntansi) dipelajari dengan serius tentang
ilmu manajemen keuangan.
Manajemen keuangan yang umumnya dipelajari, dan diteliti,
serta dikenal di masyarakat luas saat ini adalah manajemen keuangan
untuk organisasi sektor bisnis/swasta yang lebih berorientasi pada
perolehan laba. Manajemen keuangan organisasi non-bisnis atau
publik seperti pemerintah yang lebih berorientasi pada pelayanan
publik atau nirlaba, pembelajaran, dan penelitiannya relatif lebih
jarang dilakukan dan kurang dikenal. Oleh sebab itu, relatif akan lebih
sulit mencari literatur, buku teks, atau publikasi hasil riset manajemen
keuangan publik daripada manajemen keuangan bisnis. Hal yang sama
tentu juga terjadi pada literatur atau hasil riset manajemen keuangan
(termasuk akuntansi) untuk organisasi pemerintah daerah atau sektor
publik. Christiaens (2002) mengemukakan public sector accounting
research remains rather scarce eventhough more and more efforts are
being made. Padahal masalah-masalah keuangan di organisasi pemerintah daerah pada era reformasi ini, seperti pemerintah kabupaten
atau kota di Indonesia yang jumlahnya sudah lebih dari 400 buah tidak
kalah komplek daripada masalah-masalah keuangan di organisasi
sektor bisnis.

3
Pilar Manajemen Keuangan Daerah
Persoalan yang paling dasar dalam manajemen keuangan suatu
organisasi, baik itu organisasi swasta maupun organisasi publik,
adalah bagaimana organisasi tersebut mencari dana (uang) dan
bagaimana pula mengalokasikan atau menggunakan dana tersebut.
Dalam Manajemen Keuangan Daerah menurut Mardiasmo (2002a)
persoalan itu secara garis besar diekspresikan dengan Manajemen
Penerimaan (sering pula digunakan istilah Pendapatan) dan Manajemen Pengeluaran (sering pula digunakan istilah Belanja). Kedua
persoalan manajemen tersebut adalah persoalan Manajemen Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jadi, membicarakan
pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari pembicaraan APBD,
oleh sebab itu pembahasan persoalan manajemen keuangan daerah
bertitik tolak pada pembahasan APBD, yang merupakan program
kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka (Yunasman, 2002
dalam Halim, 2002a).
Keuangan Pemerintah Daerah yang tercermin dalam APBD
adalah uang milik publik (public money). Oleh sebab itu, manajemen
keuangan daerah (Local Government Financial Management), merupakan bagian dari manajemen keuangan publik (Public Financial
Management). Coe (1989) dalam bukunya Public Financial Management membahas persoalan manajemen keuangan publik ke dalam
beberapa topik utama. Topik-topik tersebut dapat disarikan kepada 4
topik yang dapat dikatakan sebagai pilar manajemen keuangan yang
meliputi (1) accounting; (2) budgeting; (3) controlling; dan (4)
auditing. Dari topik-topik tersebut dapat dipahami bahwa manajemen
keuangan daerah (APBD) akan menyangkut persoalan akuntansi,
anggaran, kendali, dan audit. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Geert Bouckaert (2002) dalam tulisannya tentang
Reform of Budgetary Systems in the Public Sector yang mengemukakan bahwa sistem manajemen keuangan akan mencakup budgeting,
accounting and controlling, and auditing. Pidato ini difokuskan pada
dua pilar yang pertama yakni akuntansi dan anggaran. Alasan
utamanya adalah bahwa dari akuntansi dan anggaran dapat diketahui
bagaimana baik tidaknya manajemen keuangan daerah, khususnya

4
fiscal health suatu daerah (Andrew dan Shah, 2003). Dalam pidato ini
akan dikemukakan beberapa poin reformasi atas akuntansi keuangan
dan anggaran daerah sebagai konsekuensi dari reformasi yang
dilakukan pada manajemen keuangan daerah.
Akuntansi Keuangan Daerah dan Reformasinya
American Accounting Association (AAA, 1977) melalui
Committee to Prepare A Statement of Basic Accounting Theory pada
penerbitan laporan pertamanya di tahun 1966, mendefinisikan
akuntansi sebagai:
the process of identifying, measuring, and communicating
economic information to permit informed judgments and decisions by
users of the information.
Kemudian, dikemukakan pula dalam laporan tersebut bahwa:
economics is concerned with any situation in which a choice
must be made involving scarce resources.
Selanjutnya dijelaskan bahwa:
application of the accounting process not only to business
operated for profit, but also to the activities of individuals, fiduciaries,
governmental units, charitable enterprises, and similar entities.
Selain definisi di atas, pernyataan nomer 4 dari Accounting
Principles Board di tahun 1970 menjelaskan akuntansi dari aspek
fungsinya sebagai berikut:
Accounting is a service activity. Its function is to provide
quantitative information, primarily financial in nature about economic
entities that is intended to be useful in making economic decisions, in
making resolved choices among alternative courses of action.
Dengan demikian, berdasar hal-hal di atas dapat dikatakan
bahwa akuntansi adalah sebuah proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan dari transaksi ekonomi (keuangan)
atas sebuah organisasi (entitas) guna pengambilan keputusan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan (yakni pihak internal dan eksternal
organisasi) karena adanya keterbatasan sumber daya. Dari definisi dan
penjelasan tersebut, jelas akuntansi adalah sebuah aktivitas jasa yang
menghasilkan laporan keuangan yang berarti informasi tentang
keuangan sebuah organisasi. Laporan keuangan yang menjadi infor-

5
masi tersebut dibuat oleh manajemen organisasi yang bersangkutan.
Informasi tersebut akan digunakan untuk bahan pengambilan keputusan. Jika informasi dari akuntansi tersebut digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak dalam organisasi maka akuntansinya
disebut Akuntansi Manajemen. Jika oleh pihak luar organisasi, disebut
Akuntansi Keuangan.
Bila organisasi yang dimaksud adalah organisasi bisnis (yang
tujuannya adalah laba) maka akuntansinya disebut Akuntansi Sektor
Bisnis. Bila tujuannya nirlaba maka disebut Akuntansi Sektor Publik.
Pemerintah, pusat dan daerah, merupakan organisasi publik. Jadi
Akuntansi Pemerintah merupakan bagian dari Akuntansi Sektor
Publik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jika informasi dari
akuntansi digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak luar
organisasi pemerintah daerah maka akuntansinya adalah Akuntansi
Keuangan Daerah. Informasi untuk kebutuhan keputusan tersebut
sebagaimana yang dikemukakan oleh AAA (1977) adalah the
associated informational needs include references to historical
transactions, as in the traditional accounting statements, and to future
plans and expectations, as in budgets, standard costs, and the like.
Karena transaksi keuangan pada organisasi pemerintah daerah
adalah transaksi APBD, maka dari aspek historical transactions
akuntansi keuangan daerah menghasilkan informasi yang melaporkan
pelaksanaan APBD. Dari aspek future plans and expectations jelaslah
akuntansi keuangan daerah bersifat membantu menyediakan informasi
pembuatan keputusan perencanaan anggaran daerah (APBD). Memang diakui bahwa organisasi atau lembaga pemerintahan termasuk
pemerintahan daerah lebih terkesan sebagai lembaga politik daripada
sebagai lembaga ekonomi, akan tetapi pemerintahan mesti memiliki
aspek lembaga ekonomi, oleh karenanya memerlukan informasi
keuangan yang akan digunakannya dalam pengambilan keputusankeputusan ekonomi (Baswir, 2000). Aktivitas pelaksanaan APBD
jelas menyangkut aspek ekonomi dan keuangan. Jadi, akuntansi
keuangan daerah erat dengan keputusan-keputusan ekonomi yang
terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan APBD.
Kalau dikaitkan dengan pengertian manajemen keuangan daerah
(Halim, 2002b) sebagai usaha-usaha manajer, yakni Pemerintah
daerah, dalam merencanakan dan melaksanakan pengeluaran

6
(belanja) daerah yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
daerah, dan dalam merencanakan dan melaksanakan penerimaan
(pendapatan) yang dibutuhkan untuk pengeluaran (belanja), maka
jelaslah posisi dan peran akuntansi keuangan daerah adalah sangat
penting dan dapat dikatakan merupakan sebuah pilar utama dalam
manajemen keuangan daerah.
Seperti dikemukakan di atas bahwa transaksi dalam akuntansi
keuangan di pemerintahan menyangkut transaksi pelaksanaan
anggaran. Sebagai konsekuensinya, akuntansi pemerintahan hampir
selalu diinterpretasikan sebagai Akuntansi Anggaran (Budgetary
Accounting). Oleh sebab itulah, akuntansi keuangan daerah dikesankan sebagai akuntansi atau pencatatan penerimaan dan pengeluaran
atas pelaksanaan APBD. Jadi sangat dapat dimaklumi bahwa
pencatatan tersebut diartikan sebagai pembukuan (bookkeeping). Pada
akhirnya, laporan yang dihasilkan adalah laporan pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja, yang di Indonesia dikenal dengan
Laporan Perhitungan Anggaran. Padahal menurut Mardiasmo
(2003) yang mengutip Jones dan Pendlebury (2000) akuntansi
anggaran hanyalah salah satu dari lima teknik akuntansi keuangan.
Jadi, akuntansi keuangan daerah haruslah dilihat dari perspektif yang
lebih luas, yang Christiaens (2002) menyebutnya driven by an
economic result perspective. Oleh sebab itu, laporan keuangan dari
entitas pemerintah daerah tidaklah cukup hanya melaporkan perhitungan anggaran, tetapi juga laporan hasil ekonomi dari pelaksanaan
anggaran yang menghasilkan aset atau aktiva sebagai sumber daya
dengan segala hak dan kewajibannya.
Laporan akuntansi yang melaporkan aset dan kewajiban tersebut
adalah laporan Neraca. Dengan laporan tersebut akan jelas sumber
daya yang dikuasai oleh pemerintah daerah sebagai hasil dari
peristiwa masa lalu, dan dari sumber daya tersebut diharapkan adanya
manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial yang mengalir
masuk ke pemerintah daerah (Halim, 2002b).
Selain laporan Neraca, laporan yang harus pula dihasilkan dari
perspektif yang lebih luas adalah Laporan Arus Kas yang
menunjukkan asal atau sumber kas (dana) yang diperoleh dan
penggunaan kas dari aktivitas pelaksanaan anggaran. Laporan Arus
Kas memberikan informasi arus kas masuk dan arus kas keluar dan

7
setara kas pemerintah selama satu periode akuntansi/anggaran (Halim,
2002b). Laporan Arus Kas tersebut memungkinkan jelasnya arti
penting aktivitas operasi, aktivitas investasi dan pembiayaan dalam
pelaksanaan anggaran pemerintah daerah (APBD).
Laporan Neraca dan Laporan Arus Kasdi samping Laporan
Perhitungan Anggaranitulah, salah satu yang menandai adanya
reformasi akuntansi keuangan daerah di Indonesia saat ini. Laporan
dimaksud jelas sekali termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomer 105 tahun 2000 di pasal 38, dan PP Nomer 108 tahun 2000
pasal 5. Hal ini dipertegas lagi dalam UU Nomer 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara pada pasal 31 ayat 2. Laporan-laporan
tersebut sebagai produk akuntansi keuangan daerah memang
memerlukan pula reformasi pada berbagai aspek akuntansi keuangan
daerah seperti sistem pencatatan dari single entry menjadi double
entry, dan sistem pengakuan pencatatan dari cash basis menuju
accrual basis, serta termasuk reformasi atas standar akuntansi.
Walaupun terkesan bahwa reformasi atas akuntansi keuangan
pemerintah (terutama pemerintah daerah) baru dilaksanakan pada era
otonomi daerah (berdasar UU Nomer 22 tahun 1999) saat ini, namun
sebenarnya niat reformasi tersebut sudah cukup lama dilakukan.
Niat yang terucap secara eksplisit adalah yang dikemukakan oleh
bapak Radius Prawiro sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia
di bulan September tahun 1986 pada International Financial
Management Conference yang mengemukakan poin-poin reformasi
atau pembaharuan manajemen keuangan pemerintahan yang dikatakan
akan dilakukan di semua tingkat pemerintahan Indonesia.
Salah satu poin reformasi dimaksud adalah reformasi mengenai
akuntansi yang menyangkut tentang the basis of accounting. Poin
tersebut sebagaimana yang dikutip oleh Yujana (1992) dinyatakan:
berdasarkan analisis yang seksama atas kebutuhan nyata akan
informasi, maka telah dibuat rekomendasi bahwa untuk mengganti
sistem akuntansi di Indonesia dari sistem single entry menjadi double
entry berdasarkan accrual basis yang dimodifikasi.
Sayangnya, niat reformasi di tahun 1986 tersebut yang lebih
terkesan dimulai pelaksanaanya di tingkat pemerintahan pusat, baru ke
tingkat pemerintahan daerah (top down) tidak dapat begitu dirasakan
hasilnya. Sebaliknya, hasil reformasi yang saat ini berlangsung dengan

8
pendekatan yang lebih bersifat (bottom up)
yakni dimulai
pelaksanaannya di tingkat pemerintah daerah, walaupun tetap dengan
instruksi dari pemerintahan pusat yang antara lain melalui
dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomer 29 tahun
2002 tampaknya lebih dapat dilihat hasilnya. Beberapa pemerintah
daerah telah berhasil menyusun laporan keuangannya dengan sistem
akuntansi keuangan daerah yang dikehendaki oleh reformasi tersebut.
Laporan Neraca (khususnya Neraca Awal) misalnya sudah tersusun di
kabupaten atau kota seperti antara lain di Kabupaten Banjarnegara,
Kota Banjarbaru, Kota Cirebon, Kabupaten Temanggung, Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Belu, Kota Bukittinggi, Kota Semarang,
Kabupaten Sleman, Kota Magelang, Kota Cilegon, dan banyak lagi
lainnya. Demikian juga dengan aplikasi penerapan sistem double
entry, telah pula mulai dijalankan. Walaupun hasil ini belum begitu
memuaskan karena memang tantangannya yang tidak ringan, dan
dengan segala kekurangannya, namun cukup untuk menunjukkan
bahwa ada kemauan dari sebagian besar pemerintah daerah untuk
melakukan reformasi akuntansi keuangan daerahnya. Beberapa
Kabupaten dan Kota lain ada yang sedang atau baru memulai
pelaksanaan reformasinya, tapi juga ada yang masih ragu untuk
melaksanakannya. Ada yang sedang melaksanakannya secara bertahap
dan sistematis, ada pula yang tidak.
Hasil-hasil reformasi yang sudah dilakukan seperti yang dikemukakan di atas tidak seharusnya membuat patah semangat usahausaha penyempurnaan akuntansi keuangan daerah di pemerintahan
daerah di Indonesia. Pendekatan top down seperti di Spanyol tidak
mesti salah, namun pendekatan dengan bottom up perlu dilakukan,
karena hal yang sama juga dilakukan oleh Amerika Serikat, Inggris,
Australia, Selandia Baru, dan Kanada (Pina dan Torres, 2002).
Reformasi akuntansi keuangan daerah yang dilakukan di beberapa
negara maju tersebut telah cukup lama dimulai dan masih terus
berlangsung dengan segala usaha penyempurnaan atas hasilnya, dan
masih menghadapi banyak tantangan atau kesulitan.
Giroux, Jones, dan Pendlebury (2002) yang melakukan overview
atas local governments accounting in the UK and the US mengemukakan bahwa di Inggris yang sudah memiliki sebuah professional
accounting body sejak tahun 1885 telah dan terus berinisiatif

9
mereformasi akuntansi keuangan daerahnya. Inisiatif yang paling
akhir yang dilakukan adalah the legal requirement to publish
performance measures, separately from the financial statements.
Sementara itu, di Amerika Serikat yang terkenal dengan NCGA
(National Council on Governmental Accounting) di tahun 1930-an
dan kemudian GASB (Governmental Accounting Standard Board) di
tahun 1984 telah membuat Prinsip-prinsip Akuntansi Berterima
Umum. Pada tahun 1999 telah dikeluarkan GASB Statement Nomer
34 tentang Basic Financial Statements for State and Local
Governments yang mengintroduksi a government-wide set of financial
statements on the accrual basis, focusing on historical cost measures
of economic resources. Sampai sekarang, hal ini masih menjadi bahan
diskusi yang hangat.
Di Belanda, akuntansi keuangan daerahnya secara resmi diintroduksi tahun 1931 (Bac, 2002). Reformasi di tahun 1995 dilakukan
dengan tindakan harmonisasi dengan prinsip-prinsip akuntansi sektor
bisnis yang menyangkut antara lain valuation aspects, determination
of financial results, and presentation of capital. Di Belgia, tendensi
reformasinya seperti yang dikemukakan oleh Christaens (2003) yakni
from cameralistic/cash accounting, which was primarily set up to
measure and control the spending of budgetary means, towards
business-like accrual accounting as it is organised and regulated for
enterprises.
Di Italia, reformasi akuntansi keuangan daerah dilakukan pada
tahun 1995 dengan dikeluarkannya aturan kepada pemerintah daerah
untuk menyajikan an income statement and a balance sheet (laporan
surplus defisit dan neraca) yang berdasar accrual basis, di samping
laporan pelaksanaan anggaran. Reformasi tersebut hasilnya dirasakan
cukup mengecewakan sehingga direkomendasikan agar pelaksanaannya dilakukan dengan a high degree of consent (Caperchione, 2003).
Anggaran Daerah dan Reformasinya
Secara umum anggaran diartikan sebagai rencana keuangan
yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk suatu periode di masa
yang akan datang (Baswir, 2000). Dalam konteks pemerintah, Komite
Standar`Akuntansi Pemerintahan (2003) melalui draft publikasiannya

10
mendefinisikan anggaran sebagai pedoman tindakan yang dilaksanakan pemerintah yang meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer,
dan pembiyaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun
menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode. Hal
yang perlu diingat bahwa anggaran (budget) dan penganggaran
(budgeting) adalah dua istilah yang berbeda, namun dalam penggunaannya sering tidak dibedakan, dan saling menggantikan. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak
dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran
finansial, sedangkan penganggaran merupakan proses atau metode
untuk mempersiapkan suatu anggaran (Munir, 2003).
Sebagaimana akuntansi, secara umum budget dan budgeting
juga dapat dikelompokkan ke dalam sektor bisnis dan sektor publik.
Pada sektor publik (public budget), anggaran dapat dikatakan sebuah
proyeksi atau perencanaan atas pendapatan (penerimaan) dan belanja
(pengeluaran) di masa atau periode fiskal mendatang (Spicer dan
Bingham, 1991). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Coe
(1989) yang menyatakan a budget is a plan for spending and
receiving public funds. Oleh karena itu public budgeting dapat
didefinisikan sebagai sebuah proses perencanaan atas penerimaan dan
pengeluaran dana-dana publik. Dalam kontek pemerintah daerah, hal
ini berarti proses perencanaan APBD.
Pentingnya sebuah perencanaan (planning) seperti penganggaran sudah tidak diragukan dalam ilmu manajementermasuk
manajemen keuangan daerahkarena merupakan salah satu fungsi
dari manajemen. Oleh sebab itu anggaran (dan penganggaran) daerah
tidak dapat diragukan lagi sebagai sebuah pilar utama dalam manajemen keuangan daerah.
Schick (1987) menyatakan bahwa penganggaran dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang seperti dari sudut pandang politisi,
ekonom, dan akuntan. Politisi memandangnya sebagai sebuah sumber
kekuatan politik dalam rangka pembuatan kebijakan politiknya,
karena anggaran merupakan alokasi sumber-sumber daya kepada
banyak orang, banyak tempat, dan banyak kepentingan. Ekonom
memandangnya sebagai sebuah alat untuk mengarahkan perekonomian dan mengalokasikan sumber-sumber yang berasal dari masyarakat.

11
Akuntan memandang penganggaran sebagai sebuah obyek
proses pencatatan dan pelaporan serta evaluasi. Oleh sebab itu tidak
sulit untuk memahami mengapa akhirnya muncul ilmu akuntansi
anggaran atau budgetary accounting.
Rubin (1988) mengemukakan bahwa penganggaran dapat
dipelajari dari berbagai displin ilmu. Dari disiplin ilmu manajemen
dan ilmu akuntansi, anggaran dan penganggaran sudah pasti berkaitan
dengan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pelaporan serta
evaluasi. Untuk itulah dalam memahami manajemen keuangan daerah
atau APBD sangat diperlukan pengertian yang komprehensif tentang
proses atau siklus anggaran APBD yang terdiri atas empat tahap
(Mardiasmo, 2002b), yakni tahap persiapan, ratifikasi, implementasi,
serta pelaporan dan evaluasi. Dari tahap-tahap inilah dapat dipahami
reformasi anggaran daerah saat ini di pemerintahan daerah dikaitkan
dengan peraturan perundangan yang telah dikeluarkan.
Pada prinsipnya, reformasi anggaran daerah mencakup keempat
tahap tersebut, namun karena keterkaitan antara anggaran dan
akuntansi sebagai pilar manajemen keuangan daerah maka dapat
dipahami bahwa reformasi anggaran daerah terfokus pada tahap
pertama dan kedua dari siklus penganggaran. Tahap ketiga dan
keempat lebih terkait dengan reformasi akuntansi keuangan daerah
yang uraiannya telah disampaikan lebih dahulu di muka.
Tahap pertama, yakni persiapan, berkaitan dengan penyusunan
atau penentuan mata anggaran yang jelas berhubungan dengan sistem
anggaran yang digunakan. Disinilah salah satu poin penting reformasi
anggaran daerah saat ini yakni yang termaktub dalam PP Nomer 105
tahun 2000 pasal 8 yang menyatakan bahwa APBD disusun dengan
pendekatan kinerja. Pasal ini menuntut perubahan paradigma yang
selama ini dianut. Penentuan mata anggaran yang selama ini
didasarkan line-item dan incremental lebih berorientasi pada input
yang dikenal dengan sistem anggaran tradisional. Kelemahan sistem
tersebut antara lain adalah tidak mampu mengungkap besarnya dana
yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan gagal dalam memberikan
informasi tentang besarnya rencana kegiatan, oleh karenanya tolok
ukur untuk pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan
anggaran (Munir, 2003). Paradigma tersebut direformasi yakni dengan
sistem anggaran berbasis aktivitas atau kegiatan yang lebih berorien-

12
tasi pada output. Sistem atau pendekatan kinerja (Performance-Based
Budegting) inilah yang dikehendaki dalam penyusunan APBD di era
reformasi ini.
Poin penting lainnya adalah terdapat dalam pasal 15, PP Nomer
105 tahun 2000 tersebut yang menekankan adanya perubahan
paradigma struktur APBD. Selama ini sistem anggaran berstruktur
Pendapatan dan Belanja yang jumlahnya berimbang (BalancedBudget). Kelemahan struktur tersebut adalah terutama jika anggaran
Belanja lebih besar dari Pendapatan maka salah satu untuk
menutupnya adalah dengan Pinjaman yang dimasukkan sebagai
bagian dari Pendapatan. Padahal pinjaman atau hutang bukanlah suatu
Pendapatan, tetapi tergolong sebagai Penerimaan. Tidak mengherankan paradigma seperti itu dapat membuat bangsa Indonesia
mempunyai budaya tidak merasa mempunyai hutang, sehingga tidak
terlalu memikirkan pelunasannya, tapi bagaimana menikmatinya.
Paradigma sistem anggaran tersebut direformasi dengan sistem
anggaran yang berstruktur Pendapatan, dan Belanja yang jumlahnya
tidak berimbang (Surplus/Deficit-Budget), dan Pembiayaan. Dengan
struktur tersebut jika anggaran Belanja lebih besar daripada Pendapatan maka akan ditutup dengan Pembiayaan yang dapat dilakukan
dengan melakukan pinjaman yang dipahami sebagai Penerimaan,
bukan sebagai Pendapatan.
Pasal 22 dari PP Nomer 105 tahun 2000 dapat dikatakan reformasi yang sangat signifikan dalam tahap kedua yakni tahap ratifikasi
atau persetujuan. Pada ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa
Kepala Daerah menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD untuk
mendapatkan persetujuan. Boleh dikatakan, hal ini merupakan saripati
otonomi daerah dan aplikasi konsep desentralisasi dari aspek
manajemen keuangan daerah. DPRD sebagai lembaga wakil rakyat
(legislatif) suatu daerah sudah seharusnya menyetujui atau tidak
menyetujui atas rancangan APBD yang diajukan oleh Pemerintah
Daerah (eksekutif), karena pada hakekatnya akan menyangkut dana
rakyat daerah tersebut yang sesungguhnya, yakni dana Desentralisasi
yang manajemennya terpisah dengan dana yang lain. Pasal 17, 18 dan
19 Undang-undang (UU) Nomer 25 tahun 1999 jelas membedakan
manajemen dana yang dimaksud. Ini berbeda dengan rancangan
APBD dan pengelolaannya sebelum reformasi digulirkan yang sering

13
masih mencampurnya dengan dana Dekonsentrasi, dan dana Pembantuan.
Lebih jauh, dengan adanya reformasi tahap ratifikasi ini,
pemahaman aplikasi tentang teori hubungan prinsipal-agen (principalagent relationship theory) dalam kontek hubungan antara DPRD
sebagai prinsipal, dan Pemerintah Daerah sebagai agen lebih dapat
dijelaskan. Pemisahan eksekutif dan legislatif seperti yang tercantum
dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomer 22 tahun 1999 membantu
memperjelas aplikasi dimaksud. Teori tersebut akan terasa lebih
penting lagi jika dihubungkan dengan pasal 24 ayat (1) UU Nomer 25
tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Kepala Daerah menyampaikan
laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD mengenai
pengelolaan keuangan daerah dan kinerja keuangan daerah dari segi
efisiensi dan efektivitas keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi.
Ini berarti bahwa Kepala Daerah sebagai Agen mempertanggung
jawabkan wewenang yang diperolehnya dari rakyat khususnya dari
aspek keuangan melalui DPRD sebagai prinsipal. Kondisi ini jelas
berbeda dengan kondisi sebelum reformasi yang memposisikan
Eksekutif dan Legislatif sebagai Pemerintah Daerah. Akibatnya,
sangat wajar peran DPRD relatif minim dibandingkan dengan saat ini.
Walaupun teori ini masih ada yang meragukan aplikasinya pada
kontek sektor publik (pemerintah) karena tidak sama persis dengan
sektor bisnis, namun usaha-usaha untuk meyakinkan dapatnya teori ini
diaplikasikan juga tidak kurang dilakukan (lihat Yuhertiana, 2003).
Ross (1973), Wallace (1987), Smith dan Bertozi (1998), Sinason
(2000) adalah beberapa penulis yang telah mencoba meyakinkan
aplikatifnya atau setidaknya mengkaitkan teori tersebut pada sektor
publik (pemerintah).
Dengan kondisi pada tahap ratifikasi di era reformasi saat ini
maka sangat beralasan untuk meyakini bahwa Pemerintah Daerah
sebagai eksekutif harus mempunyai kemampuan lebih, dibandingkan
dengan kondisi sebelum reformasi. Tahap ini menuntut eksekutif tidak
hanya memiliki kemampuan managerial skill tetapi juga memiliki
political skill, salesmanship dan coalition building (Mardiasmo,
2002b). Di samping itu pihak legislatif juga harus memahami posisi-

14
nya sehingga dalam pembahasan rancangan APBD dapat dihindari
perbedaan persepsi dan tidak perlu terjadi suatu fight yang tidak pada
tempatnya (Elmi, 2002).
Setelah berjalan beberapa tahun, sukseskah reformasi tersebut?
Jawabannya adalah relatif sekali. Yang jelas, usaha reformasi tersebut
melibatkan banyak pihak, mulai dari Pemerintah Pusat melalui
Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan, selanjutnya
Lembaga Sosial Masyarakat, Perguruan Tinggi, hingga pihak luar
negeri dalam bentuk bantuan dana dan expert. Dari luar negeri, pihak
yang terlibat seperti USAID (United States Agency for International
Development) yang bekerja sama dengan ICMA (International
City/County Management Association) misalnya, yang mendanai dan
penyediaan tutor pelatihan penyusunan Anggaran dengan Pendekatan
Kinerja dan dengan struktur anggaran yang baru di beberapa
Kabupaten dan Kota seperti antara lain Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Bogor, Kota Bukittinggi, Kabupaten Sleman, dan
Kabupaten Gowa.
Pemerintah Pusat sendiri melalui departemen terkait juga
melakukan pengarahan dan pembinaan, misalnya dalam bentuk
pelatihan, dalam rangka melaksanakan reformasi penganggaran
tersebut. Hasilnya, sudah banyak Kabupaten dan Kota menyusun dan
melaksanakan anggaran dengan pendekatan kinerja dan struktur
anggaran yang baru tersebut seperti antara lain Kabupaten Malang,
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Banjarnegara, dan lain-lain.
Sebagian Kabupaten dan Kota lain ada yang masih dan akan belajar
menyusun dan melaksanakannya.
Walau diakui bahwa sebenarnya anggaran dengan pendekatan
kinerja bukanlah barang baru karena sudah dipraktekkan sejak tahun
1960-an di negeri asalnya Amerika Serikat, dan di Indonesia sendiri
sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an terutama untuk proyekproyek berskala nasional (Elmi, 2002), tentu masih banyak
kekurangan dan tantangannya. Pada umumnya, daerah Kabupaten dan
Kota yang sudah menyusun dan melaksanakan reformasi tersebut
adalah daerah yang kemitraan antara Eksekutif dan Legislatifnya
relatif terbina dengan baik seperti yang dikehendaki oleh UU Nomer
22 tahun 1999, dan dapat menjaga momentum reformasi dengan tidak
terjebak pada euforia reformasi itu sendiri.

15
Sebagaimana pada reformasi akuntansi keuangan daerah, usahausaha reformasi penganggaran ini juga seharusnya tidak boleh patah
semangat. Perlu disadari bahwa sebuah reformasi penganggaran tidak
cukup dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Banyak tahap dan aspek
yang harus dilakukan, misalnya peningkatan partisipasi masyarakat
(citizen participation in budgeting), pelaksanaan anggaran itu sendiri
(budget excution) dan lain-lain. Di Amerika Serikat sendiri (Kelly,
2003), sejak munculnya penganggaran publik sebagai sebuah bidang
ilmu, reformasinya telah dan terus dilakukan. Mulai dari adanya
Planning-Programming-Budgeting Systems di era Presiden Johnson,
lalu Management By Objectives di era Presiden Nixon, diteruskan
Zero Based Budgeting di era Presiden Carter, lalu Cutback Budgeting
di era Presiden Reagan, hingga akhirnya sampai ke Performance
Budgeting di era Presiden Clinton.
Reformasi dengan Performance Budgeting ini banyak pilosofinya dipengaruhi oleh Reinventing Government, yang ide-nya adalah
better government without bigger government (Kelly, 2003). Oleh
sebab itu, apa yang sudah dilakukan dengan reformasi penganggaran
saat ini adalah sebuah lompatan yang cukup signifikan. Yang
terpenting sekarang adalah bahwa semua pihak seharusnya menginginkan dengan reformasi ini sebuah better government yang dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada rakyatnya. Tampaknya
hal ini cukup mendapat perhatian. Istilah good governance yang
merupakan salah satu cita-cita reformasi sudah cukup populer, yang
pada intinya adalah menuju ke usaha-usaha pemerintahan yang bersih,
termasuk pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Reformasi dan Akuntabilitas
Dengan reformasi atas akuntansi dan anggaran daerah sebagai
pilar manajemen keuangan daerah, pemerintahan yang bersih diharapkan lebih dapat terlaksana. Demikan pula diharapkan akuntabilitas
publik atas pengelolaan APBD, yang sering disebut sebagai public
financial accountability lebih meningkat, dan korupsi dapat ditekan.
Akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan
atas aktivitas dan kinerja keuangan pemerintah kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.

16
Menggunakan model MacLean-Abaroa dalam buku Corrupt
Cities (Klitgaard, Abaroa, dan Parris, 2000) yakni:
C=M+DA
dimana: C = Corruption; M = Monopoly: D = Discretionary dan A =
Accountability, maka jelas arti penting dari akuntabilitas dalam
menekan Korupsi. Dengan model tersebut, bila dikehendaki korupsi
dapat dikurangi maka:
1. Batasi monopoli (limit monopoly)
2. Perjelas kebijakan (clarify official discretion)
3. Tingkatkan Akuntabilitas (enhance accountability).
Manusia Sebagai Kuncinya
Reformasi atas akuntansi dan anggaran daerah yang tentu
termasuk juga atas sistem akuntansi dan sistem anggaran daerah,
sudah pasti diartikan sebagai reformasi atas alat dalam rangka
manajemen keuangan daerah yang lebih baik. Reformasi tersebut
tentu pula telah melalui studi atas pemikiran suatu sistem yang terbaik
sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Namun, hal
yang perlu diingat adalah sebaik apapun alat atau sistem yang dipilih,
akan kembali kepada manusia yang menjalankannya. Istilah Man
Behind the Systems jangan diabaikan.
Dalam kontek tersebut, sudah sering didengar bahwa pelaksanaan reformasi atas sistem akuntansi dan anggaran daerah terbentur
pada sumber daya manusia (SDM). Untuk itu peningkatan SDM di
daerah diakui sangat urgen. Tetapi, peningkatan tersebut janganlah
diartikan sekedar dari aspek penguasaan ilmu atas sistem yang
dimaksud (competency). Jauh lebih penting dari itu adalah peningkatan dari aspek kejujuran (honesty).
Selain itu, kesuksesan reformasi atas sistem akuntansi dan
anggaran dalam rangka manajemen keuangan daerah tersebut
ditentukan pula oleh para manajer/pimpinan pemerintahan daerah
yang bersangkutan. Para pelaksana akan melaksanakan reformasi
tersebut apabila pimpinan berniat dan berani melakukannya.
Reformasi tersebut yang bertujuan untuk good governance tentu juga
ditentukan oleh keberpihakan para pimpinan daerah pada kepentingan

17
rakyat. Pilosofi keberpihakan ini salah satunya akan tercermin dalam
manajemen APBD, misalnya tercermin dalam prioritas alokasi
anggaran. Beberapa contoh yang konkrit misalnya adalah alokasi
anggaran di Kabupaten Jembrana yang menyediakan anggaran untuk
pendidikan dan kesehatan sehingga rakyatnya dapat dibebaskan dari
biaya pendidikan dan kesehatan. Padahal Kabupaten Jembrana adalah
Kabupaten yang paling kecil Pendapatan Asli Daerahnya se Provinsi
Bali. Kota Banjarbaru, sebagai contoh lain, Pimpinan daerah yang
didukung legislatif sepakat untuk lebih memprioritaskan alokasi
anggaran pada sektor pendidikan dan prasana publik daripada
membangun Gedung Kantor, termasuk gedung kantor DPRD. Contoh
tersebut menunjukkan aplikasi dari man behind the system.
Sekali lagi, sebaik apapun reformasi atas sistem, termasuk yang
disampaikan di atas, akan kembali kepada manusianya. Sistem
akuntansi dan anggaran adalah rekayasa atau ciptaan manusia,
sedangkan manusia adalah ciptaan Tuhan, Al Khaliq. Manusia adalah
semulia-mulia dan sebaik-baik ciptaan Al Khaliq di muka bumi ini,
sehingga diminta untuk memimpin dan mengatur makhluk yang lain.
Namun, manusia akan dapat jatuh menjadi sejelek-jeleknya makhluk
apabila tidak dapat memfungsikan dirinya secara proporsional,
termasuk para manusia yang saat ini diberi tanggungjawab dalam
mengatur pengelolaan atau manajemen keuangan daerah. Bolehlah
dikatakan bahwa akuntansi dan anggaran adalah pilar dari manajemen
keuangan, tapi fondasi atau kuncinya adalah manusia itu sendiri.
Sampailah saya pada bagian akhir dari isi pidato ini. Perkenankan pada kesempatan ini saya memberikan sumbang saran kepada
pemerintah dan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan reformasi akuntansi dan anggaran daerah dalam kaitannya dengan
manajemen keuangan daerah, agar reformasi yang diinginkan tetap
lurus, sebagai berikut:
1. Untuk Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat supaya tetap terus konsisten membina dan
mengarahkan proses reformasi akuntansi dan anggaran daerah sebagai
sebuah cita-cita terlaksananya manajemen keuangan daerah yang baik
dalam rangka good governance. Pembinaan dan pengarahan dengan

18
bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang terkait terus dikembangkan, terutama dari aspek teknis, karena jangkauan yang terbatas
atas luas dan banyaknya persoalan pemerintahan daerah maka tidaklah
mungkin pemerintah pusat dapat menanganhni sendiri. Kesan
reformasi setengah hati dari pemerintah pusat saat ini (termasuk
pemerintahan hasil PEMILU 2004 nanti) agar diusahakan terhapus,
sehingga para pelaksana di pemerintahan daerah akan semakin yakin
dengan reformasi yang berlangsung hingga kini. Rencana revisi UU
Nomer 22 tahun 1999 dan adanya UU Perbendaharaan Negara yang
pada gilirannya akan berpengaruh pada manajemen keuangan daerah
dimohon tidak terkesan akan merombak lagi sistem akuntansi dan
anggaran daerah yang telah dirintis. Demikian juga, pemerintah pusat
melalui departemen-departemen ataupun direktorat-direktorat terkait
harus menunjukkan koordinasi yang solid dan penyempurnaan atau
harmonisasi yang terus menerus atas materi dan peraturan
perundangan dalam pembinaan kepada pemerintahan daerah sehingga
tidak ada kesan tumpang tindih.
2. Untuk Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah bersama legislatifnya supaya tetap berusaha
keras dan konsisten menciptakan kemitraan agar suasana kondusif
selalu terjaga guna memperlancar pelaksanaan reformasi akuntansi
dan anggaran daerah. Peningkatan atas SDM daerah khususnya di
bidang manajemen keuangan daerah agar lebih diprioritaskan hingga
reformasi atas akuntansi dan anggaran daerah tidak terhenti di tengah
jalan yang dapat menggagalkan pelaksanaan otonomi daerah yang
telah susah payah diperjuangkan. Peningkatan haruslah mencakup
aspek competency dan honesty.
3. Untuk Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Sosial Masyarakat
Lembaga Pendidikan melalui Universitas atau lainnya, dan LSM
supaya terus membantu dengan mendalami dari aspek teori dan
konsep melalui riset-riset di bidang akuntansi dan anggaran daerah
hingga dapat mensejajarkan akuntansi sektor publik termasuk manajemen keuangan daerah dengan manajemen keuangan sektor bisnis.

19
Pembinaan, baik dalam bentuk pelatihan maupun pendampingan, dari
aspek praktek harus dilakukan dengan keseriusan yang tinggi untuk
mendukung teraplikasinya reformasi atas sistem akuntansi dan
anggaran daerah.
4. Untuk Lembaga Profesi (Ikatan Akuntan Indonesia)
IAI, khususnya IAI-Kompartemen Akuntansi Sektor Publik,
sudah seharusnya melakukan peran lebih untuk terlaksananya akuntansi dan anggaran daerah yang ideal. Link antara financial accounting
dan budgetary accounting harus dipikirkan serius agar tidak
membingungkan terutama dari aspek teknisnya. Selain itu, sudah
selayaknya pula meningkatkan keaktifannya dalam mendukung
penyusunan dan sosialisasi standar akuntansi keuangan daerah.

20
DAFTAR PUSTAKA
Accounting Principles Board. (1970). Statement No. 4: Basic
Concepts and Accounting Principles Underlying Financial
Statements of Business Enterprises. American Institute of
Certified Public Accountants. New York, New York. Par. 40.
American Accounting Association (1977). A Statement of Basic
Accounting Theory. American
Accounting Association.
Evanston, Illinois. Sixth Printing.
Andrew, M., and Shah.A. (2003). "Assesing Local Government
Performance in Developing Countries" in
Measuring
Government Performance in the Delivery of Public Services,
Volume 2 of Handbook on Public Sector Performance Reviews.
Anwar Shah (Editor). Washington. D.C. The World Bank. 3.13.26.
Bac. A.D. (2002). "Dutch Private Sector and Local Government
Accounting: A Comparison. Journal of Public Budgeting,
Accounting and Financial Management. Volume 14. Number 4
(Winter): 595-618.
Baswir, R. (2000). Akuntansi Pemerintahan Indonesia. BPFE,
Yogyakarta. Edisi Ketiga.
Christiaens, J. (2002). "Symposium Introduction: Symposium On
Local Government Accounting Reforms in Europe, Part I.
Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial
Management. Volume 14. Number 4 (Winter): 560-564.
. (2003). "Accrual Accounting Reforms in Belgian Local
Governments: A Comparative Examination. Journal of Public
Budgeting, Accounting and Financial Management. Volume 15.
Number 1 (Spring): 92-109.
Coe, C. K. (1989). Public Financial Management. Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (2003). Rancangan
Undang-Undang Tentang Perbendaharaan Negara.
Elmi, B. (2002). Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia.
UI-PRESS. Jakarta.
GASB (1999). "Statement No. 34 of the Governmental Accounting

21
Standard Board: Basic Financial Statements- and Management's Discussion and Analysis- for State and Local Governments." GASB of the Financial Accounting Foundation.
Norwalk, Connecticut.
Geert, B. (2002). "Reform of Budgetary Systems in the Public Sector"
in Local Government Budgeting. Mihaly Hogye (Editor). Open
Society Institute. Budapest. 21-41.
Giroux. G., R. Jones., and M. Pendlebury. (2002). "Accounting and
Auditing for Local Governments in the U.S. and the U.K.
Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial
Management. Volume 14. Number 1 (Spring): 1-26.
Halim, A. (2002a). Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah.
UPP-AMP YKPN, Yogyakarta.
. (2002b). Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan
Daerah. Salemba Empat. Jakarta.
Kelly. M J. (2002). "The Long View: Lasting (And Fleeting) Reforms
in Public Budgeting in the Twentieth Century. Journal of
Public Budgeting, Accounting and Financial Management.
Volume 15. Number 2 (Summer): 309-326.
Klitgaard, R., Ronald Maclean-Abaroa., and H. Lindsey Parris.
(2000). Corrupt Cities: A Practical Guide to Cure and Prevention. Institute for Contemporary Studies. Oakland, California.
Komite Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah. (2003).
Draft Publikasian Standar Akuntansi Pemerintahan.
Mardiasmo. (2002a). Serial Otonomi Daerah: Otonomi & Manajemen
Keuangan Daerah. Penerbit Andi, Yogyakarta. Edisi Khusus.
. (2002b). Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
. (2003). Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas
Publik melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good
Governance. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Tidak Diterbitkan.
Munir, B. (2003). Perencanaan Anggaran Kinerja: Memangkas
Inefisiensi Anggaran Daerah. Samawa Center. Jakarta.
Pina V., and L. Torres. (2002). "Accounting Developments of Spanish
Local Governments: An International Comparison. Journal of

22
Public Budgeting, Accounting and Financial Management.
Volume 14. Number 4 (Winter): 619-652.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan daerah.
, Undang-Undang Nomer 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
, Undang-Undang Nomer 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
, Peraturan Pemerintah Nomer 105 tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
, Peraturan Pemerintah Nomer 108 tahun 2000 tentang
Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomer 29 tahun 2002
tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan
Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daera rimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ross, S. A. (1973). "The Economic Theory of Agency: The Principal's
Problem." American Economic Review. Vol. 3 No. 2. 134-139.
Rubin, I. S. (1988). "Introduction" in New Directions in Budget
Theory. Irene S. Rubin (Editor). State University Of New York
Press. New York, New York. 1-18.
Schick, A. (1987). "Budgeting as an Administrative Process" in
Perspective on Budgeting. Allen Schick (Editor). The American
Society for Public Administration. Washington. D.C. 1-13.
Sinason, D.H. (2000). "A`Study of the Effect of Accountability and
Engagement Risk On Auditor Materiality Decisions in Public
Sector Audits. Journal of Public Budgeting, Accounting and
Financial Management. Volume 12. Number 1 (Spring): 1-21.
Smith, R W., and Mark B. (1998). Principal and Agents: "An
Explanatory Model for Public Budgeting." Journal Public
Budgeting, Accounting and Financial Management (Fall): 325353.
Spicer, M.W., and R.D. Bingham. (1991). "Public Finance and
Budgeting." In Managing Local Government: Public Manage-

23
ment in Practice. Sage Publication, Inc. Newbury Park,
California. 96-114.
Yuhertiana, I. (2003). "Principal-Agent Theory dalam Proses Perencanaan Anggaran Sektor Publik. Kompak: Jurnal Akuntansi,
Manajemen dan Sistem Informasi. Edisi Set-Des.: 403-422.
Yujana, L.H. (1992). Akuntansi Pemerintahan. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi U I. Jakarta. Edisi Kedua.
Yunasman. (2002). "Manajemen Keuangan Daerah: Suatu Tinjauan"
dalam Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Abdul
Halim (Penyunting). UPP-AMP YKPN. Yogyakarta. 1-14.

Anda mungkin juga menyukai