Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN


2.1. Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan yang sering
dikaitkan dengan harga saham. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik
perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga
tinggi (Soliha dan Taswan, 2002). Tujuan umum dari suatu perusahaan adalah untuk
mengembangkan ussahanya dan memberikan kemakmuran yang maksimal kepada pemegang
sahamnya serta mengoptimalkan nilai perusahaan. Nilai pemegang saham akan meningkat
apabila nilai perusahaan juga meningkat yang ditandai dengan tingkat pengembalian investasi
yang tinggi kepada pemegang saham.
Mengoptimalkan nilai perusahaan dapat dicapai dengan pelaksanaan fungsi
manajemen keungan, Jika dilihat dari fungsinya manajer keungan harus memaksimalkan profit
perusahaan, namun menurut Sartono (1997) Fungsi manajer keuangan ialah bukan hanya
mengoptimalkan profit melainkan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham melalui
maksimasi perusahaan.
Memaksimumkan nilai pasar perusahaan sama dengan memaksimumkan harga
pasar saham. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: nilai perusahaan adalah hutang ditambah
modal sendiri. Jika diasumsikan hutang tetap, nilai perusahaan naik maka modal sendiri naik.
Naiknya modal sendiri akan meningkatkan harga per lembar saham perusahaan (Lukas, 1999)
dalam Rustendi dan Jimmi (2008: 415). Sulistiono (2010: 12) menyatakan bahwa ukuran yang
paling tepat digunakan dalam mengukur nilai perusahaan adalah rasio penilaian (valuation)
karena rasio tersebut berkaitan langsung dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan dan

kekayaan para pemegang saham. Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai
nilai pasar.
Nilai perusahaan dalam penelitian ini dapat diukur dengan 2 metode yaitu TobinsQ
dan price book value (PBV), Kedua rasio ini menggambarkan bagiamana investor menilai
perusahaan secara keseluruhan. Rasio TobinsQ dapat menjadi proksi nilai perusahaan yang baik
dari segi investasi sedangkan rasio Price Book Value menunjukkan hubungan antara harga saham
perusahaan dengan laba dan nilai buku perusahaan. PBV juga menggambarkan seberapa besar
pasar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan. Semakin tinggi rasio ini berarti pasar
percaya akan prospek perusahaan (Wardani dan Hermuningsih, 2011: 32).

2.2 Kebijakan Dividen


2.2.1 Definisi Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen adalah salah satu kebijakan yang harus diambil oleh manajemen
untuk memutuskan apakah laba yang diperoleh perusahaan selama satu periode akan dibagi
semua atau dibagi sebagian lagi tidak dibagi dalam bentuk laba ditahan (Tampubolon, 2004).
Kebijakan dividen menentukan berapa banyak keuntungan yang akan diperoleh pemegang
saham. Keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham ini akan menetukan kesejahteraan
para pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan.
Menurut Sumarto (2007: 1) dividen adalah bagian keuntungan yang dibayarkan
oleh perusahaan kepada pemegang saham. Dividen merupakan pembagian laba yang diperoleh
perusahaan kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki.
Dividen dibagikan dengan interval waktu yang tetap, tetapi kadang dividen
dibagikan pada waktu yang bukan biasanya. Besarnya dividen berkisar antara nol sampai sebesar

laba bersih tahun sebelumnya dan tahun berjalan. Waktu dan besarnya Dividen yang dibagikan
ditentukan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

2.2.2. Tujuan dari Pembagian Dividen


Menurut Andinata (2010) tujuan dari pembagian dividen adalah (1) Untuk
memaksimumkan kemakmuran bagi para pemegang saham, karena tingginya dividen yang
dibayarkan akan mempengaruhi harga saham; (2) Untuk menunjukkan likuiditas perusahaan.
Dengan dibayarkannya dividen, diharapkan kinerja perusahaan dimata investor bagus dan dapat
diakui bahwa perusahaan mampu menghadapi gejolak ekonomi dan mampu memberikan hasil
kepada investor; (3) Sebagian investor memandang bahwa risiko dividen adalah lebih rendah
dibanding risiko capital gain; (4) Untuk memenuhi kebutuhan para pemegang saham akan
pendapatan tetap yang digunakan untuk keperluan konsumsi; (5) Dividen dapat digunakan
sebagai alat komunikasi antara manajer dan pemegang saham.
Kebijakan dividen selain merupakan pengembalian bagi investor juga dapat menjadi
salah satu cara untuk mengurangi masalah keagenan. Pembagian dividen ini dilakukan dengan
mengembalikan/membagikan uang kas yang berlebih sehingga arus kas yang berlebih dapat
dikurangi. Arus kas yang kembali normal dapat membatasi manajer dalam melakukan
pengeluaran yang tidak perlu (Setiyati, 2011).

2.2.3

Perkembangan Teori
Dalam perkembangannya, muncul beberapa teori tentang kebijakan dividen.

Terdapat tiga teori tentang kebijakan dividen. Sudana (2011: 167) adapun ketiga teori tersebut
adalah sebagai berikut:

1) Teori Dividend Irrelevance


Teori ini menyatakan bahwa kebijakan dividen perusahaan tidak merupakan
pengaruh terhadap nilai perusahaan maupun biaya modalnya. Pendukung utama teori
ketidakrelevanan dividen (dividends irrelevance theory) ini adalah Modigliani dan Miller (1958).
Mereka berpendapat bahwa nilai suatu perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan dasarnya
untuk menghasilkan laba dan risiko bisnisnya. Dengan kata lain, nilai perusahaan tergantung
hanya pada pendapatan yang dihasilkan oleh aktivanya, bukan pada bagaimana pendapatan
tersebut dibagi antara dividen dan laba yang ditahan.
Asumsi yang dikemukakan oleh Modigliani dan Miller adalah: (1) Tidak ada pajak
atas pendapatan perusahaan dan pendapatan pribadi; (2) Tidak ada biaya emisi atau biaya
transaksi saham; (3) Leverage keuangan tidak mempengaruhi biaya modal; (4) Investor dan
manajer memiliki informasi yang sama tentang prospek perusahaan; (5) Pendistribusian
pendapatan antara dividen dan laba ditahan tidak mempengaruhi biaya modal sendiri; (6)
Kebijakan penganggaran modal independen dengan kebijakan dividen.
Keon et. al (2000) menyatakan bahwa pada teori ini, tidak ada hubungannya antara
kebijakan dividen dan nilai saham. Satu kebijakan dividen sama bagusnya dengan lainnya.
Secara agregat investor hanya mementingkan pengembalian total keputusan investasi, tidak
peduli pengembalian berasal dari perolehan modal atau pendapatan dividen.
2) Teori Bird in-the-Hand
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan Jhon Litner. Berdasarkan bird inthe-hand, kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap harga pasar saham. Artinya, jika
dividen yang dibagikan perusahaan semakin besar, harga pasar perusahaan tersebut akan semakin

tinggi dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena pembagian dividen dapat mengurangi ketidakpastian
yang dihadapi investor.
3) Teori Tax Preference
Berdasarkan teori tax preference, kebijakan dividen mempunyai pengaruh negatif
terhadap harga pasar perusahaan. Artinya, semakin besar jumlah dividen yang dibagikan oleh
perusahaan, semakin rendah harga pasar perusahaan yang bersangkutan. Hal ini terjadi jika ada
perbedaan antara tarif pajak personal atas pendapatan dividen dan capital gain. Apabila tarif
pajak lebih tinggi dari capital gain, maka investor akan lebih senang jika laba yang diperoleh
tetap ditahan di perusahaan, untuk membiayai investasi yang dilakukan perusahaan. Dengan
demikian dimasa yang akan datang diharapkan terjadi peningkatan capital gain yang tarif
pajaknya lebih rendah. Apabila banyak investor yang memiliki pandangan demikian, maka
investor cenderung memilih saham-saham dengan dividen kecil dengan tujuan menghindari
pajak.

2.2.4

Dividend Payout Ratio (DPR)


Rasio antara dividen dan laba bersih sering disebut Dividend Payout Ratio (DPR).

Selain dibagikan dalam bentuk dividen, sebagian dari laba bersih juga akan menjadi laba ditahan.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kebijakan dividen dalam penelitian ini adalah
dividend payout ratio. Kebijakan dividen berhubungan dengan penentuan besarnya dividend
payout ratio, yaitu besarnya persentase laba bersih setelah pajak yang dibagikan sebagai dividen
kepada pemegang saham (Sudana, 2011: 167).
Menurut Lestariningsih (2007) dividend payout ratio yaitu prosentase dividen yang
dibagikan kepada pemegang saham dari laba bersih setelah pajak. Dividen payout ratio dihitung

dengan cara membandingkan antara dividen yang dibagi dengan laba per lembar saham.
Semakin tinggi dividend payout ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari pihak
perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba ditahan. Tetapi
sebaliknya dividend payout ratio semakin kecil akan merugikan investor tetapi internal financial
perusahaan akan semakin kuat. Dividend payout ratio memperlihatkan hubungan antara laba
perusahaan dan kas yang dibayarkan untuk dividen.

2.2.5

Pengaruh Kebijakan Dividen terhdapa Nilai Perusahaan


Pembayaran dividen merupakan sinyal positif bagi investor. Selain meningkatkan

kemakmuran investor, dividen yang tinggi mencerminkan baiknya kinerja manajer perusahaan.
Kenaikan pembayaran dividen merupakan indikasi adanya kelebihan laba bersih yang digunakan
untuk investasi. Hal ini menunjukkan prospek perusahaan semakin bagus sehingga investor akan
tertarik untuk membeli saham dan nilai perusahaan akan meningkat.
Martono dan Harjito (2005:253), dalam afzal (2012), menyatakan bahwa kebijakan
dividen merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan keputusan pendanaan
perusahaan. Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari
laba perusahaan. Apabila perusahaan penerbit saham mampu menghasilkan laba yang besar
maka ada kemungkinan pemegang sahamnya akan menikmati keuntungan dalam bentuk dividen
yang besar pula.
Penelitian terdahulu, yaitu Sujoko dan Soebiantoro (2007) menunjukkan bahwa
kebijakan dividen berpengaruh secara positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasnawati
(2005), menemukan bahwa kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
Wahyudi dan Pawestri (2006) dan Mardiyati, dkk (2012), menemukan bahwa kebijakan dividen

tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka untuk mengetahui
pengaruh kebijakan dividen terhadapa nilai perusahaan, dapat dikembangkan formula hipotesis
sebagai berikut :

Ha1 :

Kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan

2.3 Kebijakan Hutang


2.3.1 Definisi Kebijakan Hutang
Hutang merupakan salah satu sumber pembiayaan eksternal yang digunakan oleh
perusahaan untuk membiayai kebutuhan dananya. Dalam pengambilan keputusan akan
penggunaan hutang ini harus mempertimbangkan besarnya biaya tetap yang muncul dari hutang
berupa bunga yang akan menyebabkan semakin meningkatnya leverage keuangan dan semakin
tidak pastinya tingkat pengembalian bagi para pemegang saham. Sebagian perusahaan
menganggap bahwa penggunaan hutang dirasa lebih aman dari pada menerbitkan saham baru.
Dengan demikian semakin tinggi kebijakan hutang yang dilakukan, maka semakin tinggi nilai
perusahaan (Lestari et al., 2013: 3).
Nasser dan Firlano (2006) dalam Jusriani (2013: 36) menyatakan kebijakan utang
adalah segala jenis utang yang dibuat atau diciptakan oleh perusahaan baik utang lancar maupun
utang jangka panjang. Kebijakan utang bisa digunakan untuk menciptakan nilai perusahaan yang
diinginkan, namun kebijakan utang juga tergantung dari ukuran perusahaan. Artinya perusahaan
yang besar relatif lebih mudah untuk akses ke pasar modal. Kemudahan ini mengindikasikan
bahwa perusahaan besar relatif mudah memenuhi sumber dana dari utang melalui pasar modal.

Utang adalah instrumen yang sangat sensitif terhadap perubahan nilai perusahaan.
Semakin tinggi proporsi utang maka semakin tinggi harga saham, namun pada titik tertentu
peningkatan utang akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang diperoleh dari
penggunaan utang lebih kecil dari pada biaya yang ditimbulkannya (Soliha dan Taswan, 2002).
Tingkat penggunaan Hutang dari suatu perusahaan dapat diukur dengan
menggunakan rasio hutang terhadap ekuitas (DER) yaiu rasio jumlah hutang terrhadap jumlah
modal sendiri. Hutang adalah pengorbanan manafaat ekonomi yang akan timbul dimasa yang
akan dating yang disebabkan oleh kewajiban-kewajiban disaat sekarang dari suatu badan usaha
yang akan dipenuhi dengan mentransfer aktiva atau memberikan jasa kepada badan usaha lain
dimasa dating sebagai akibat dari transaksi-transaki yang sudah lalu (Baridwan, 1958).

2.3.1

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang


Menurut Mamduh (2004: 320) terdapat beberapa faktor yang memiliki pengaruh

terhadap kebijakan hutang, yaitu:


a.NDT (Non-debt Tax Shield)

Manfaat dari penggunaan hutang adalah bunga hutang yang dapat digunakan untuk
mengurangi pajak perusahaan. Namun untuk mengurangi pajak, perusahaan dapat menggunakan
cara lain seperti depresiasi dan dana pensiun. Dengan demikian, perusahaan dengan NDT tinggi
tidak perlu menggunakan hutang yang tinggi.

b. Struktur Aset

Besarnya aset tetap suatu perusahaan dapat menentukan besarnya penggunaan


hutang. Perusahaan yang menggunakan aset tetap dalam jumlah besar dapat menggunakan
hutang dalam jumlah besar karena aset tersebut dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman.

c. Profitabilitas
Perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasinya akan
menggunakan hutang yang relatif kecil. Laba ditahannya yang tinggi sudah memadai membiayai
sebagian besar kebutuhan pendanaan. d. Risiko Bisnis Perusahaan yang memiliki risiko bisnis
yang tinggi akan menggunakan hutang yang lebih kecil untuk menghindari risiko kebangkrutan.

d. Ukuran Perusahaan
Perusahaan yang besar cenderung terdiversifikasi sehingga menurunkan risiko
kebangkrutan. Disamping itu, perusahaan yang besar lebih mudah dalam mendapatkan
pendanaan eksternal.

e. Kondisi Internal Perusahaan


Kondisi internal perusahaan menentukan kebijakan penggunaan hutang dalam suatu
perusahaan
.
2.3.2

Teori Kebijakan Hutang

a. Trade-off Theory
Menurut trade-off theory yang diungkapkan oleh Myers (2001) dalam Sulistiono
(2010: 32), perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana

penghematan pajak dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial
distress). Biaya kesulitan keuangan (financial distress) adalah biaya kebangkrutan dan biaya
keagenan yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan.
Teori ini menganggap bahwa penggunaan hutang 100 persen sulit dijumpai.
Kenyataannya semakin banyak hutang, maka semakin tinggi beban yang harus ditanggung. Satu
hal yang penting bahwa dengan meningkatknya hutang, maka semakin tinggi probabilitas
kebangkrutan. Beban yang harus ditanggung saat menggunakan hutang yang lebih besar adalah
biaya kebangkrutan, biaya keagenan, beban bunga yang semakin besar dan sebagainya.
Fandini (2013) menyatakan trade-off theory mempunyai implikasi bahwa manajer
akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan
dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang
tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya,
sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Pada teori ini juga dijelaskan bahwa
sebelum mencapai suatu titik maksimum, hutang akan lebih murah daripada penjualan saham
karena adanya tax shield.

b. Packing Order Theory


Packing Order Theory Menurut Myers (2001) dalam Sulistiono (2010: 33), pecking
order theory menyatakan bahwa perusahaan akan memilih untuk menerbitkan hutang terlebih
dahulu daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan ekstern. Secara spesifik
perusahaan mempunyai urut-urutan (hierarki) dalam penggunaan dana. Pendanaan menurut
packing order theory, dilakukan berdasarkan pendanaan yang memiliki risiko lebih kecil yaitu
pertama laba ditahan, diikuti dengan hutang, dan yang terakhir ekuitas baru.

Packing order theory menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan dimana para
manajer pertama kali akan memilih untuk menggunakan laba ditahan, hutang, dan penerbitan
saham sebagai pilihan terakhir (Mamduh, 2004). Penggunaan hutang lebih disukai karena biaya
yang dikeluarkan untuk hutang lebih murah dibandingkan dengan biaya penerbitan saham.

c. Signaling Theory
Signaling Theory Brigham dan Houston (2001) menyatakan bahwa sinyal adalah
suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk bagi
investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Perusahaan dengan
prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan
modal baru dengan cara-cara lain seperti dengan menggunakan hutang. Ross (1977) dalam
Setiyati (2011) mengembangkan model ini dimana struktur modal merupakan signal yang
disampaikan oleh manajer ke pasar. Jika manajer mempunyai keyakinan bahwa prospek
perusahaan baik, dan karenanya ingin agar harga saham meningkat, ia ingin mengkomunikasikan
hal tersebut ke investor.
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manajer dan pemegang saham tidak
mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Ada informasi tertentu yang hanya diketahui
oleh manajer, sedangkan pemegang saham tidak tahu informasi tersebut sehingga terdapat
informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara manajer dan pemegang saham.
Akibatnya, ketika struktur modal perusahaan mengalami perubahan, hal itu dapat membawa
informasi kepada pemegang saham yang akan mengakibatkan nilai perusahaan berubah. Dengan
kata lain, prilaku manajer dalam hal menentukan struktur modal, dapat dianggap sebagai sinyal
oleh pihak luar (Mamduh, 2004: 314).

2.3.3

Debt Equity Ratio (DER)


Debt equity ratio dapat diukur dengan total utang atau total kewajiban dibagi

dengan modal pemegang saham (kekayaan bersih atau ekuitas). Semakin tinggi rasio ini, maka
semakin besar risiko yang dihadapi, dan investor akan meminta tingkat keuntungan yang
semakin tinggi. Rasio yang tinggi juga menunjukkan proporsi modal sendiri yang rendah untuk
membiayai aset. Selain itu kreditur juga mengasumsikan terdapat risiko yang besar dari
perusahaan sehingga kreditur dapat saja memberikan bunga yang cukup besar, sehingga
kemampuan perusahaan untuk mendapatkan uang dari sumber-sumber luar terbatas.
Tingkat pengunnaan hutang dari suatu perusahaan dapat ditunjukkan oleh salah
satunya menggunakan rasio hutang terhadap ekuitas (DER), yaitu rasio jumlah hutang terhadap
jumlah modal sendiri (Wardani dan Hermuningsih, 2011: 32).

2.3.4

Pengaruh Kebijakan Hutang terhdapa Nilai Perusahaan


Kebijakan hutang adalah kebijakan yang menentukan seberapa besar kebutuhan

dana perusahaan dibiayai oleh hutang. Penggunaan hutang akan memberikan manfaat bagi
perusahaan yaitu berupa penghematan pajak. Disisi lain penggunaan hutang juga akan
meningkatkan biaya bagi perusahaan yaitu berupa biaya kebangkrutan apabila perusahaan tidak
mampu melunasi hutangnya. Jadi dalam menentukan kebijakan hutangnya, perusahaan harus
mempertimbangkannya dengan lebih baik karena penggunaan hutang ini akan berdampak
terhadap nilai perusahaan.
Penggunaan hutang dianggap berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan karena
dapat menghemat pajak. Akan tetapi, penggunaan utang yang terlalu tinggi dapat memicu
terjadinya terjadinya financial distress. Dalam penelitian Sujoko (2007), Sujoko dan Soebiantoro

(2007), serta Asnawi (2001) menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara kebijakan
utang dan nilai perusahaan. Karena adanya perbedaaan pendapat penelitian, oleh karena itu untuk
mengetahui adanya pengaruh kebijakan hutang tehadap nilai perusahaan, maka hipotesis yang
diajukan adalah sebagai berikut :

Ha2 :

Kebijakan Hutang berpengaruh terhadap nilai perusahaan

2.4 Keputusan Investasi


2.4.1 Definisi Keputusan Investasi
Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lain yang
dilakukan saat ini dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa dating. Optimalisasi nilai
perusahaan yang merupakan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang. Optimalisasi nilai
perusahaan dapat dicapai melalui pelaksaan fungsi manajemen keuangan, dimana satu
keputusan keuangan yang diambil akan mempengaruhi keputusan keuangan lainnnya dan
berdampak pada nilai perusahaan (Fama dan French, 1998).
Kebijakan lain yang berkenaan dengan nilai perusahaan adalah keputusan investasi.
Keputusan investasi adalah penanaman modal dengan harapan akan memperoleh keuntungan
dimasa yang akan datang (Jogiyanto, 2010). Menurut signaling theory, pengeluaran investasi
memberikan sinyal positif mengenai pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang,
sehingga dapat meningkatkan harga saham yang digunakan sebagai indikator nilai perusahaan
(Wahyudi dan Pawestri, 2006: 5).
Menurut (Jogiyanto, 2010) informasi yang dipublikasi sebagai suatu pengumuman
akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Jika

pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka akan banyak investor yang berinvestasi
keperusahaan.
Bentuk,macam dan kompoosisi dari investasi mempengaruhi dan menunjang tingkat
keuntungan di masa depan. Keuntungan di masa depan yang diharapkan dari investasi tersebut
adalah tidak dapat diperkirakan secara pasti. Oleh karena itu investasi akan menanggung resiko
atau tidak pasti. Resiko dan hasil yang diharapkan dari investasi itu akan sangat mempengaruhi
pencapaian tujuan kebijaksanaan maupun nilai perusahaan.
Keputusan investasi tidak dapat diamati secara langsung oleh pihak luar. Beberapa
studi yang dilakukan dalam hubungannya dengan keputusan investasi antara lain Myers (1977)
dalam Lestari et al., (2013) yang memperkenalkan Investment Opportunities Set (IOS). Menurut
Myers, Investment Opportunities Set (IOS) merupakan nilai perusahaan yang besarnya
tergantung pada pengeluaran--pengeluaran yang ditetapkan manajemen dimasa yang akan
datang, dimana investasi yang dilakukan merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan
akan menghasilkan return yang besar. IOS didefenisikan sebagai kombinasi antara aktiva yang
dimiliki (assets in place) dan pilihan investasi dimasa yang akan datang dengan net present value
positif. IOS tidak dapat diobservasi secara langsung, sehingga dalam perhitungannya
menggunakan proksi (Kallapur dan Trombley, 1999) dalam Lestari et al., (2013).

2.4.2 Price Earning Ratio (PER)


Price Earning Ratio merupakan salah satu rasio yang banyak digunakan dalam
pengambilan keputusan investasi, karena rasio ini pada dasarnya memberikan indikasi tentang
jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan dana pada suatu periode tertentu. Menurut
Sudana (2011: 23) price earning ratio adalah mengukur bagaimana investor menilai prospek

pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, dan tercermin pada harga saham yang
bersedia dibayar oleh investor untuk setiap rupiah laba yang diperoleh perusahaan.

2.4.3

Pengaruh Keputusan Investasi terhdapa Nilai Perusahaan


Menurut Wahyudi dan Pawestri (2006), nilai perusahaan yang dibentuk melalui

indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Kegiatan
investasi suatu perusahaan akan menentukan keuntungan yang diperoleh perusahaan di masa
yang akan datang. Apabila perusahaan salah dalam mengambil keputusan investasi, maka
kelangsungan hidup perusahaan akan terganggu dan akan mempengaruhi penilaian investor
terhadap nilai perusahaan. Oleh karena itu, nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi.
Penelitian Wijaya dan Wibawa (2010), dapat memberikan konfirmasi empiris
bahwa keputusan investasi berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Wahyudi dan Pawestri
(2006),

menemukan

bahwa

keputusan

investasi

tidak

berpengaruh

terhadap

nilai

perusahaan.Untuk mengetahui apakah keputusan investasi berpengaruh terhadap nilai


perusahaan, maka rumusan hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :

Ha3 :

Keputusan Investasi bepengaruh terhadap nilai perusahaan

Anda mungkin juga menyukai