Bells Palsy
Oleh:
Andra Yuliandi
09xxxxxxxx
Abrar Jurisman
1110312028
Pembimbing:
dr. Fachzi Fitri, Sp. THT-KL, MARS.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul
Bells Palsy. Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Fachzi Fitri, Sp. THT-KL,
MARS. selaku preseptor.
Penulis menyadari referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan masukan yang membangun. Semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
ii
10
2.3 Epidemiologi
10
11
12
14
2.7 Diagnosis
21
22
23
2.10 Tatalaksana
24
2.11 Komplikasi
28
2.12 Prognosis
29
32
DAFTAR PUSTAKA
33
DAFTAR GAMBAR
stilomastoideus
Gambar 2.3 nervus fasialis : segmen dan fungsi
iii
Gambar 2.6 Pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b)lesi supranuklear
10
20
24
DAFTAR TABEL
iv
15
BAB I
PENDAHULUAN
Bell s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan unilateral
dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau
kelainan lokal.1,2,3
Bells palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia. 2 Insidens sindrom ini sekitar 23
kasus
per
bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2
Bells palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,
motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan
sepanjang
perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1, 2
i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
serabut saraf
m.digastriks
dan
otot
wajah,
kecuali
m.levator
palpebra
berjalan
melalui
cerebellopontine
angle
bersama
dengan
nervus
wajah (kecuali otot levator palpebra superior) dan membentuk pes anserinus.
Tabel 2.1 Cabang terminalnervus fasialis pada otot wajah, glandula parotis
dan metode pemeriksaan5
Cabang
Temporal
Geraka wajah
Mengangkat alis
corrugatorsupercilii,
procerus dan orbicularis
Zygomaticus
Buccal
bawah
dengan kuat
Zygomaticus mayor dan Menunjukkan gigi
mata
buccinators,
atas
Orbikularis okuli bagian Bersiul
bawah, depressor anguli
oris,
Cervical
depressor
inferior, mentalis
Platisma
labii
Kontraksi platisma
Gambar 2.2 Cabang nervus fasialis setelah keluar dari foramen stilomastoideus 5
wajah yaitu orbita, palpebrae, nares, dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai
sfingter atau dilatator struktur-struktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah
untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus
kedua dan disarafi nervus facialis.7
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otototot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m. frontalis,
Gambar 2.4 Gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial yang berhubungan
dengan ekspresi8
Otot otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi.
Sehingga, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus facialis jenis
sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari
wajah. Pada cabang saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang
berjalan bersama nervus facialis.7
Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis ( lesi
traktus piramidalis atau korteks motorik ) mengakibatkan kelumpuhan pada otot-
Gambar 2.6 Pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b)lesi supranuklear 9
otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir
( upper motor neuron ) nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia.
Hal ini dapat dijumpai pada stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan
otot wajah, baik yang volunter, maupun yang involunter lumpuh.7
2.3 Epidemiologi
per
bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus
1
0 berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3
diadopsi.1. Menurut Holland, HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus
Bells palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV)
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari
48 jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2
Gejala awal pada penyakit ini dapat berupa kelumpuhan muskulus fasialis,
tidak mampu menutup mata, nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%),
perubahan pengecapan (57%), hiperakusis (30%), kesemutan pada dagu dan
mulut, epiphora, nyeri ocular, penglihatan kabur.2 Kelumpuhan saraf fasialis
dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 17 hari
1
2
Fase akut (0-3 minggu): Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion
genikulatum,
Simpleks (HSV).
Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat
menyebabkan edema saraf.
1
3
Fase sub akut (4-9 minggu): Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai
berkurang.
Fase kronik (> 10 minggu): Edema pada saraf menghilang, tetapi pada
beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada
sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.
Tabel 2.2 sistem grading yang dikembangkan oleh House and Brackmann dengan
skala I sampai VI.2
Grade
Grade I
Grade
(disfungsi
II
Karakteristik
Fungsi fasial normal.
Kelemahan
ringan
saat
mendetil.
diinspeksi
ringan)
Grade
III
(disfungsi
moderat)
Grade
IV
(disfungsi
moderat sampai
berat)
Grade
Sedikit
usaha maksimal.
Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
maksimal
Hanya sedikit
(disfungsi berat)
lemah
gerakan
mulut
gerakan
dengan
yang
dapat
dilakukan.
Asimetris
juga
terdapat
pada
saat
istirahat.
Grade
VI
(paralisis total)
Asimetris luas.
2. Tonus
1
6
normal nilainya dikurang satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut.
1
7
Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan
tidak simetris.
4. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu kompliaksi yang sering dijumpai pada
penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedipngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-otot
pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat
kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak.
Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya
berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis
dibandingkan dengan nilai tersebut, dikalikan dua untuk persentasenya.4
5. Schimmer test atau nasolacrymal reflex : dianggap sebagai pemeriksaan
terbailk untuk mengetahui fungsi serabut-serabut pada simpatis dari
n.fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor
setinggi ganglion genikulatum yang berfungsi dalam proses lakrimasi
munilsin
kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar
konjungtiva selama 3 menit.4, 11 Freys menyatakan bahwa kalau ada beda
kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis. Lesipada
tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea
akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.4,3
1
8
n. korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri.
Dapat digunakam garam dan jus lemon serta gula atau sakarin. 11 Freyss
menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.4
Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani juga berperan dalam fungsi
1
9
Gambar 2.7 Lesi topografik dari nervus fasialis. (A) lesi diatas ganglion genikulatum
merusak serat motorik pada otot wajah dan stapedius, serat sekretomotor ke kelenjar
lakrimal dan submandibular, serta serat pengecap; (B) Lesi diantara ganglion genikulatum
dan saraf stapedius tidak mengganggu serat sekretomotor kelenjar lakrimal; (C) Lesi
diantara nervus stapedius dan korda timpani tidak mengganggu fungsi refleks stapedial dan
lakrimasi; (D) Lesi dibawah korda timpani hanya mempengaruhi ekspresi wajah. 5
2
0
2.7 Diagnosis
Bells palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,
motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan
sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1,2
Dalam mendiagnosis
kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian
bawah wajah saja,
otot dahi
dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer
terjadi pada satu sisi wajah.3 Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai
secara
subjektif
Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak
lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.3, 4
Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani
pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi,
pemeriksaan
massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari
N.VII dan N.VIII. Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka
dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila
terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan
kelopak mata dalam melindungi kornea.3
2
1
pada
media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), metastasis tulang, ada riwayat
trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1
bulan.1,3
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di
tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi multipel
sklerosis. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan
kontras saraf fasialis.1, 3
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy dapat digunakan sebagai
prediktor kesembuhan. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi
(EMG)
mempunyai
nilai
prognostik
yang
lebih
baik
dibandingkan
2
2 foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila
ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicellazoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII;
tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.1
2
Gambar 2.8 Algoritma diagnosis banding nervus fasialis6
3
2.10 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan
kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol
2
3
4 rutin dalam jangka waktu lama.
2
5
dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis
pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk
dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama
lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat
antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual,
diare, dan sakit kepala.1,2
c. Lindungi mata
-
d. Fisioterapi
atau
akupunktur:
dapat
mempercepat
perbaikan
dan
menurunkan sequel.2 Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara
halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. 1
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedangberat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang
lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai
latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang
2
6
dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringansedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di
depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi
wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan
wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40
kali dengan 2-4 set per hari.
2
7
pasien
dengan
asimetri
dan
sinkinesis
perlu
elektroneurography
(ENoG)
menunjukkan
penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini
sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan
pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy
2.11 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell s palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat
Bell s palsy, adalah:1, 3
2
8
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf
fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang
mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari
sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata,
(2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis
akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien
keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm
(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada
wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).1
2.12 Prognosis
Perjalanan alamiah Bell s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
2
9
3
0 sebelumnya,
Simpleks. Rekurensi
meningkat pada pasien dengan riwayat Bells palsy dalam keluarga. Umumnya
rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit.3
BAB III
KESIMPULAN
Bell s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan unilateral
dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau
kelainan lokal. Ada 4 mekanisme yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy
yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi virus, teori herediter, teori imunologi.
Gambaran klinis bells palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan
volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan
menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun,
bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan lagoftalmus.
Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu kortikosteroid,
penggunaan obat antiviral (acyclovir). Juga dilakukan rehabilitasi medik,
perawatan mata dan fisioterapi. Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis
kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lowis H, Gaharu MN. Bells palsy, diagnosis dan tata laksanadi pelayanan primer.
Artikel pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan (p2kb). Jakarta: j indon med
assoc. 2012:62:1-6
2. Menkes. PermenkesNomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
FaslitasPelayananKesehatan Primer. 2014;319-23.
Hidung
Tenggorok
Kepala
Leher.
Jakarta:
Thieme. 2003:97-99.
11. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf fasialis. In: Adams LG, Boies RL, Higler AP,
BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 7th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta,
2012:139-52.