Anda di halaman 1dari 38

Clinical Science Session

Bells Palsy

Oleh:
Andra Yuliandi

09xxxxxxxx

Abrar Jurisman

1110312028

Pembimbing:
dr. Fachzi Fitri, Sp. THT-KL, MARS.

BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2016

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul
Bells Palsy. Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Fachzi Fitri, Sp. THT-KL,
MARS. selaku preseptor.
Penulis menyadari referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan masukan yang membangun. Semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Batasan Masalah

1.3 Metode Penulisan

1.4 Tujuan Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi dan Fungsi Nervus Fasialis

ii

2.2 Definisi Bell's Palsy

10

2.3 Epidemiologi

10

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko

11

2.5 Manifestasi Klinik

12

2.6 Pemeriksaan Fisik

14

2.7 Diagnosis

21

2.8 Pemeriksaan Penunjang

22

2.9 Diagnosis Banding

23

2.10 Tatalaksana

24

2.11 Komplikasi

28

2.12 Prognosis

29

BAB III KESIMPULAN

32

DAFTAR PUSTAKA

33

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Nervus fasialis bagian intratemporal

Gambar 2.2 Cabang nervus fasialis setelah keluar dari foramen

stilomastoideus
Gambar 2.3 nervus fasialis : segmen dan fungsi

Gambar 2.4 Gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial

yang berhubungan dengan ekspresi


Gambar 2.5 Ekspresi yang dihasilkan oleh kontraksi otot wajah

iii

Gambar 2.6 Pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b)lesi supranuklear

10

Gambar 2.7 Lesi topografik dari nervus fasialis

20

Gambar 2.8 Algoritma diagnosis banding nervus fasialis

24

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Cabang terminalnervus fasialis pada otot wajah, glandula

parotis dan metode pemeriksaan


Tabel 2.2 Sistem grading yang dikembangkan oleh House and
Brackmann dengan skala I sampai VI

iv

15

BAB I
PENDAHULUAN

Bell s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan unilateral
dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau
kelainan lokal.1,2,3
Bells palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang
melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia. 2 Insidens sindrom ini sekitar 23
kasus

per

100 000 orang setiap tahun.1.

Insiden meningkat dengan

bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2
Bells palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,
motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan
sepanjang
perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1, 2
i

Perjalanan alamiah Bell s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini


sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis
persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bells palsy oleh dokter pelayanan
primer agar tata laksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis
banding yang mungkin didapatkan.1
1.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang etiologi, patogenesis, diagnosis, dan
penatalaksanaan bells palsy.

1.3. Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan referat ini berupa tinjauan kepustakaan
yang merujuk kepada berbagai literatur dan makalah ilmiah.

1.4. Tujuan Penulisan


Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman
mengenai etiologi, patogenesis, diagnosis, dan penatalaksanan bells palsy.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dan Fungsi Nervus Fasialis


Nervus fasial merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam
tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang
temporal.4 Nervus ini mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari
7.000 serabut saraf

motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000

serabut saraf

lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut


sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk
kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.3
Nervus fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu komponen mototris,
sensoris dan parasimpatis.4 Komponen motoris mensarafi m.stapedius, venter
posterior

m.digastriks

dan

otot

wajah,

kecuali

m.levator

palpebra

superior.Komponen sensoris mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk


mengecap, melalui n.korda timpani. Komponen parasimpatis memberikan
persarafan pada glandula lakrimalis, submandibula dan lingualis.4
Nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian
intracranial, intratemporal dan ekstrakranial: 5
1. Intrakranial: Awalnya serat motorik membelok disekitar nukleus nervus VI
dan kemudian bergabung dengan serat sensorik (nervus Wrisberg). Nervus
fasial bersamaan dengan nervus vestibulokoklearis dan nervus abdusen
meninggalkan batang otak pada pontomedullary junction. Kemudia

berjalan

melalui

cerebellopontine

angle

bersama

dengan

nervus

vestibulokoklearis memasuki kanal auditori internal.


2. Intratemporal: Bagian dari nervus fasialis mulai dari kanal auditori internal
hingga foramen stilomastoideus, kemudian dibagi menjadi empat segmen:
a. Segmen meatus: terletak di kanal auditori internal. Foramen meatus
3

merupakan bagian tersempit dari apertura kanalis fasialis. Panjang


nervus fasial dari batang otak ke kanal auditori internal adalah 23-24
mm.
b. Segmen labirin (3-5 mm): bagian ini memanjang dari kanal auditori
internal (foramen meatus) ke ganglion genikulatum. Kanal falopi pada
segmen labirin merupakan daerah paling sempit dan rentan terhadap
kompresi pada Bells Palsy.
c. Segmen timpani (8-11 mm): memanjang dari ganglion genikulatum
hingga eminensia piramidalis kemudian ke arah inferior. Segmen
timpani terletak diatas tingkap oval dan di bawah kanalis
semisirkularis.

Gambar 2.1 Nervus fasialis bagian intratemporal. 5


4

d. Segmen mastoid atau segmen vertikal (10-14 mm): memanjang dari


piramid ke foramen stilomastoideus.
3. Ekstrakranial: nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui foramen
stilomastoideus. Disini saraf menyilang prosessus stiloideus dan memasuki
kelenjar parotis. Bagian ekstrakranial dari foramen stilomastoideus hingga
bagian cabang perifernya terletak di kelenjar parotis.
Cabang nervus fasialis5
1. Nervus Petrosus Superfisial Mayor: Cabang ini keluar dari ganglion
genikulatum dan membawa serat sekretomotor preganglion ke kelenjar
lakrimalis dan kelenjar mukosa hidung.
2. Nervus menuju stapedius: Cabang ini muncul pada genu ke-dua dan
membawa serat motorik ke otot stapedius.
3. Chorda tympani: Muncul dari pertengahan segmen vertikal mastoid dan
melewati incus dan leher maleus. Cabang ini meninggalkan kavum telinga
tengah melalui fisura petrotimpani. Cabang ini membawa serat sekretomotor
parasimpatis preganglion ke kelenjar submandibula dan sublingual serta serat
gustatorik.
4. Communicating branch: bergabung dengan cabang aurikular dari nervus
vagus dan mensarafi konka, lekukan retroaurikula, meatus posterior dan
permukaan luar dari membran timpani.
5. Nervus aurikula posterior: mensarafi otot pinna dan otot occipitofrontalis.
6. Cabang muskular: mensarafi muskulus stilohyoid dan digastrikus.
7. Cabang terminal: setelah nervus fasial menyilang di prosesus stiloideus,
bercabang menjadi dua bagian yaitu temporofasial atas dan servikofasial

bawah. Cabang yang lebih kecil termasuk temporal, zigomatikus, bukal,


madibular, dan servikal. Cabang-cabang ini mensarafi seluruh otot ekspresi
5

wajah (kecuali otot levator palpebra superior) dan membentuk pes anserinus.

Tabel 2.1 Cabang terminalnervus fasialis pada otot wajah, glandula parotis
dan metode pemeriksaan5
Cabang

Otot wajah yang


diinervasi
Frontalis,

Temporal

Geraka wajah
Mengangkat alis

corrugatorsupercilii,
procerus dan orbicularis
Zygomaticus

okuli bagian atas


Orbikularis okuli bagian Memejamkan

Buccal

bawah
dengan kuat
Zygomaticus mayor dan Menunjukkan gigi

mata

minor, levator anguli


oris,

buccinators,

rbikularis okuli bagian


Ramus mandibularis

atas
Orbikularis okuli bagian Bersiul
bawah, depressor anguli
oris,

Cervical

depressor

inferior, mentalis
Platisma

labii
Kontraksi platisma

Gambar 2.2 Cabang nervus fasialis setelah keluar dari foramen stilomastoideus 5

Gambar 2.3. nervus fasialis: segmen dan fungsi6

Aliran Darah dan daerah yang di suplai oleh Nervus Fasialis5


1. Arteri labirin, cabang dari arteri serebelar inferior anterior: segmen meatus
dalam kanal auditori internal
2. Arteri petrosal, cabang dari arteri meningea media: area perigenikulatum.
3. Arteri stilomastoideus,
cabang dari arteri aurikula
posterior: segmen mastoid dan timpani.

Anatomi Otot Wajah


Otot - otot wajah tertanam pada facia superficialis, dan hampir semua
berorigo pada tulag cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang lubang pada

Gambar. nervus fasialis: segmen dan fungsi6

wajah yaitu orbita, palpebrae, nares, dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai
sfingter atau dilatator struktur-struktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah
untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus
kedua dan disarafi nervus facialis.7

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk

terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otototot tersebut secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m. frontalis,
Gambar 2.4 Gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial yang berhubungan
dengan ekspresi8

m. sourcilier, m. piramidalis, m. orbikularis okuli, m. zigomatikus, m. relever


komunis, m. businator, m. orbikularis oris, m. triangularis, m. mentalis.4

Gambar 2.5 Ekspresi yang dihasilkan oleh kontraksi otot wajah8

Otot otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi.
Sehingga, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus facialis jenis
sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari
wajah. Pada cabang saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang
berjalan bersama nervus facialis.7

Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis ( lesi
traktus piramidalis atau korteks motorik ) mengakibatkan kelumpuhan pada otot-

Gambar 2.6 Pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b)lesi supranuklear 9

otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir
( upper motor neuron ) nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia.
Hal ini dapat dijumpai pada stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan
otot wajah, baik yang volunter, maupun yang involunter lumpuh.7

2.2 Definisi Bells Palsy


Bell s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan unilateral
dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau
kelainan lokal.1-3

2.3 Epidemiologi

Bells palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang


melibatkan saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis
fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia. 2 Insidens sindrom ini sekitar 23
kasus

per

100 000 orang setiap tahun.1.

Insiden meningkat dengan

bertambahnya umur, pasien diabetes dan wanita hamil.2,3 Sekitar 8-10% kasus

1
0 berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.3

2.4 Etiologi Dan Faktor Risiko


Penyebab Bells palsy tidak diketahui, terdapat lima teori yang
kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus,
bakteri, herediter, dan imunologi.1,2
Kemungkinan mekanisme penyebab Bells Palsy: 1,3,5,7
a. Infeksi virus: teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit
ini. Burgess et al mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di
ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam
minggu setelah mengalami Bell s palsy. Murakami et al. menggunakan
teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens genom
virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling
saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell s palsy yang dilakukan
dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan
paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian
ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya
temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat

diadopsi.1. Menurut Holland, HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus
Bells palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV)

hanya sekitar 13%

kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis


dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam
bentuk Ramsay Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine herpete ini
diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan saraf fasialis
yang idiopatik.3
b. Iskemia vaskular: iskemia primer dapat diinduksi oleh dingin atau stres
emosional. Hal tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler yang
meningkat sehingga menyebabkan eksudasi cairan, edema, dan kompresi
mikrosirkulasi dari saraf tersebut.
c. Herediter: Sekitar 10% pasien memiliki riwayat keluarga mengalami
Bells Palsy. Predisposisi herediter berupa kanal falopi yang sempit dapat
menjadi faktor risiko saraf rentan terhadap edema ringan.
d. Autoimunitas: beberapa studi menemukan adanya perubahan limfosit-T
pada pasien ini.
1
1 2.5 Manifestasi Klinik

Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari
48 jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD.1, 2

Gejala awal pada penyakit ini dapat berupa kelumpuhan muskulus fasialis,
tidak mampu menutup mata, nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%),
perubahan pengecapan (57%), hiperakusis (30%), kesemutan pada dagu dan
mulut, epiphora, nyeri ocular, penglihatan kabur.2 Kelumpuhan saraf fasialis
dapat terjadi secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 17 hari
1
2

dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.3


Bila dilihat dari letak lesi, manifestasi klinis Bell s palsy dapat berbeda. 1
Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang
menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata,
kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bells phenomenon). Selain itu, mata dapat
terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus
orbikularis okuli terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan
makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan
air liur keluar dari sudut mulut.1 Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan
dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk
semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan
menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. 1 Bila lesi
terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis
(sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi sertadapat
melibatkan saraf kedelapan1.
Jika ditinjau dari etiologi, derajat, sisi lesi dan progresivitas inflamasi
saraf fasialis, Bells palsy dibedakan dalam 3 fase yaitu :

Fase akut (0-3 minggu): Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion
genikulatum,

biasanya akibat infeksi virus Herpes

Simpleks (HSV).

Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat
menyebabkan edema saraf.

1
3

Fase sub akut (4-9 minggu): Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai
berkurang.

Fase kronik (> 10 minggu): Edema pada saraf menghilang, tetapi pada
beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada
sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf.

2.6 Pemeriksaan Fisik


Tujuan pemeriksaan fungsi n. fasialis ialah untuk menentukan letak lesi
dan menentukan derajat kelumpuhannya. Derajat kelumpuhan ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen (%).4
1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke
sepuluh otot-otot
a. M. frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas
b. M. sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan
hidung ke atas
d. M. orbikularis okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat

e. M. zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil


memperlihatkan gigi.
f. M. relever komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke
depan sambil memeperlihatkan gigi
1
4

g. M. businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi


h. M. orbikularis oris : diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul
i. M. triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke
bawah
j. M. mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang
tertutup rapat ke depan.
Pada tiap gerakan dari ke sepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara
kanan dan kiri.
a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka (3)
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu (1)
c. Diantaranya dinilai dengan angka dua (2)
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol (0)
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai 30.

Tabel 2.2 sistem grading yang dikembangkan oleh House and Brackmann dengan
skala I sampai VI.2
Grade
Grade I
Grade
(disfungsi

II

Karakteristik
Fungsi fasial normal.
Kelemahan
ringan
saat
mendetil.

diinspeksi

ringan)

Sinkinesis ringan dapat terjadi.

Simetris normal saat istirahat.

Gerakan dahi sedikit sampai baik.

Menutup mata sempurna dapat dilakukan


dengan sedikit usaha.

Grade

III

(disfungsi

Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.


Asimetri
kedua
sisi
terlihat
jelas,
kelemahan minimal.

moderat)

Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme


hemifasial dapat ditemukan.

Simetris normal saat istirahat.

Gerakan dahi sedikit sampai moderat.

Menutup mata sempurna dapat dilakukan


dengan usaha.

Grade

IV

(disfungsi
moderat sampai
berat)

Grade

Sedikit

usaha maksimal.
Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.

Simetris normal saat istirahat.

Tidak terdapat gerakan dahi.

Mata tidak menutup sempurna.

Asimetris mulut dilakukan dengan usaha

maksimal
Hanya sedikit

(disfungsi berat)

lemah

gerakan

mulut

gerakan

dengan

yang

dapat

dilakukan.

Asimetris

juga

terdapat

pada

saat

istirahat.

Grade

VI

(paralisis total)

Tidak terdapat gerakan pada dahi.

Mata menutup tidak sempurna.

Gerakan mulut hanya sedikit.

Asimetris luas.

Tidak ada gerakan.

2. Tonus

1
6

Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan


terhadap kesempurnaan mimic/ekspresi muka. Freyss menganggap penting
akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan
kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan
bahwa tonus yang jelek member gambaran prognosis yang jelek. Penilaian
tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima
tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus
maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap
tingkatan tergantung dari gradasinya.4
3. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu kompliaksi dari paresis fasialis yang sering
kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai
berikut :4
a. Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi

normal nilainya dikurang satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari
gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut.
1
7

Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan
tidak simetris.
4. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu kompliaksi yang sering dijumpai pada
penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedipngedipkan mata berulang-ulang maka akan jelas tampak gerakan otot-otot
pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat
kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak.
Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus satu (-1).
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya
berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis
dibandingkan dengan nilai tersebut, dikalikan dua untuk persentasenya.4
5. Schimmer test atau nasolacrymal reflex : dianggap sebagai pemeriksaan
terbailk untuk mengetahui fungsi serabut-serabut pada simpatis dari
n.fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor
setinggi ganglion genikulatum yang berfungsi dalam proses lakrimasi

pada mata kanan dan kiri.4,

munilsin

Cara pemeriksaan dengan meletakkan

kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar
konjungtiva selama 3 menit.4, 11 Freys menyatakan bahwa kalau ada beda
kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis. Lesipada
tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea
akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.4,3
1
8

6. Reflex stapedius : Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada


kelumpuhan saraf fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi
cabang stapedius dari saraf fasialis.3 Untuk menilai reflex stapedius
digunakan elektrokaustik impedans meter, yaitu dengan cara memberikan
rangsang pada m.stapedius.4 pada telinga ipsilateral atau kontralateral
diberikan nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu
gerakan respon suatu gerakan refleks dari otot stapedius, gerakan ini
mengubah tegangan membran timpani dan menyebabkan perubahan
impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada telinga
satunya dengan pendengaran normal, dan refleks tersebut dapat
dibangkitkan, maka disuga saraf ketujuh masih utuh pada titik ini.
hilangnya refleks ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu
kelainan pada bagian aferen nervus fasialis.11 Tes ini merupakan tes yang
paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada
kasus Bells palsy dengan refleks stapedius yang masih normal
menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.3
7. Gustometri : sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n.
korda timpani, salah satu cabang nervus fasialis, pada pemeriksaan fungsi

n. korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri.
Dapat digunakam garam dan jus lemon serta gula atau sakarin. 11 Freyss
menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.4
Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani juga berperan dalam fungsi
1
9

salivasi. Kita dapat menilai fungsi duktus Whartons dengan mengukur


produksi saliva dalam 5 menit.3 Pemeriksaan uji salvias dapat dilakukan
dengan kanulasi kelenjar submandibularis. Sepotong kecil tabung
polietilen No. 50 diselipkan pada duktus Wharton. Sepotong kapas yang
telah dicelupkan ke dalam jus lemon ditempatkan dalam mulut, dan
pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat
dibandingkan selama satu menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25%

dianggap abnormal, dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi


baik.3,11

Gambar 2.7 Lesi topografik dari nervus fasialis. (A) lesi diatas ganglion genikulatum
merusak serat motorik pada otot wajah dan stapedius, serat sekretomotor ke kelenjar
lakrimal dan submandibular, serta serat pengecap; (B) Lesi diantara ganglion genikulatum
dan saraf stapedius tidak mengganggu serat sekretomotor kelenjar lakrimal; (C) Lesi
diantara nervus stapedius dan korda timpani tidak mengganggu fungsi refleks stapedial dan
lakrimasi; (D) Lesi dibawah korda timpani hanya mempengaruhi ekspresi wajah. 5

2
0

2.7 Diagnosis
Bells palsy adalah diagnosis eksklusi, sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis (saraf kranialis,
motorik, sensorik, serebelum) yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan
sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain.1,2
Dalam mendiagnosis

kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan

kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian
bawah wajah saja,

otot dahi masih dapat berkontraksi karena

otot dahi

dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer
terjadi pada satu sisi wajah.3 Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai
secara

subjektif

dengan menggunakan sistim House-Brackmann dan metode

Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak
lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.3, 4
Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani
pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi,

pemeriksaan

massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari
N.VII dan N.VIII. Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka
dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila
terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan
kelopak mata dalam melindungi kornea.3

2
1

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat
dilakukan bila adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi
Cerebellopontine Angle

pada

(CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis

media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), metastasis tulang, ada riwayat
trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1
bulan.1,3
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di
tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi multipel
sklerosis. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan
kontras saraf fasialis.1, 3
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy dapat digunakan sebagai
prediktor kesembuhan. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi
(EMG)

mempunyai

nilai

prognostik

yang

lebih

baik

dibandingkan

elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut


setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value (PPV) 100% dan
negative-predictive-value (NPV) 96%.1 Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP),
pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan
pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat
bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima,

meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2


hanya ditemukan pada 15,6% kasus.1
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi
sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai
kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di
hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai
perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis
multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.1
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media
supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan

2
2 foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila

ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna
dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicellazoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut;
kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII;
tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus,
uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.1

2
Gambar 2.8 Algoritma diagnosis banding nervus fasialis6
3

2.10 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan

Bells palsy adalah untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit,


meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan
kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah

pengaruh psikologi pasien terhadap

kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol
2
3
4 rutin dalam jangka waktu lama.

Karena prognosis pasien dengan Bells palsy umumnya baik, pengobatan


masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf
fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan untuk
pasien dalam 1-4 hari onset. Hal penting yang perlu diperhatikan:2
a. Pengobatan inisial
-

Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk


pengobatan Bells palsy.

Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi


saraf kranial, jika diberikan pada onset awal. Steroid, terutama prednisolon
1 mg /kgBB per hari (maksimal 70 mg) yang dimulai dalam 72 jam dari
onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.1
Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau maksimal 40-60 mg/hari
selama 6 hari, diikuti empat hari tapering off.1, 2
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid
jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,

diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan


terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.1
b. Antiviral: Beberapa penelitian menyatakan bahwa didapatkan hasil yang
lebih baik pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan
prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon. 1 Dosis
pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara
untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang

2
5

dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis
pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk
dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama
lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat
antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual,
diare, dan sakit kepala.1,2
c. Lindungi mata
-

Perawatan mata: kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar


benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata
buatan (artificial tears) pada siang hari, pelumas (saat tidur), kaca mata,
plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).1, 2

d. Fisioterapi

atau

akupunktur:

dapat

mempercepat

perbaikan

dan

menurunkan sequel.2 Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara
halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. 1
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan

setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis.


Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan
prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi
edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi relaksasi, dan
program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang
dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi,
fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.1

Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedangberat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang
lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai
latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang

2
6

dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.

Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringansedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di
depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi
wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan
wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40
kali dengan 2-4 set per hari.

Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri


wajah ringan-sedangsaat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit
gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa
mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi

neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara


simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya,
dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi

Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan


kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan
hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di

2
7

depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi


dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan
ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2
kali per hari.
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami
perbaikan,

pasien

dengan

asimetri

dan

sinkinesis

perlu

dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki


kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi
wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit
atau bedah plastik.
e. Terapi pembedahan pada kasus Bells palsy masih kontroversi. Terapi
dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit
atau hasil pemeriksaan

elektroneurography

(ENoG)

menunjukkan

penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini
sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan
pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy

sedangkan bila lesi

terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan


transmastoid.3

2.11 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell s palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat
Bell s palsy, adalah:1, 3

Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan


paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis. Dapat terjadi akibat

2
8

penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi


saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau
beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa
inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat.1, 3

Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan


pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi
atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal)1, 3

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf
fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang
mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari
sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata,
(2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis
akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien
keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm
(hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada

wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).1
2.12 Prognosis
Perjalanan alamiah Bell s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini
sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien
dengan Bell s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus
2
9

membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis


persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia
pasien dan derajat kelumpuhan. kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai
prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik
dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bells palsy dengan HouseBrackmann kurang dari Derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada
House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang
permanen.3
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit
(risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat postaurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell s
palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus
dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke
prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan
total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan
fungsi pengecapan dalam minggu pertama.1

Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan


prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan
untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien
Bell s palsy.1
Rekurensi pada kasus Bells palsy jarang dilaporkan terutama pada anakanak.3 Terdapat 6% kasus Bells palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini
dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen di
dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi yang

3
0 sebelumnya,

biasanya disebabkan oleh virus Herpes

Simpleks. Rekurensi

meningkat pada pasien dengan riwayat Bells palsy dalam keluarga. Umumnya
rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit.3

BAB III
KESIMPULAN

Bell s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya yang bersifat akut dan unilateral
dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau
kelainan lokal. Ada 4 mekanisme yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy
yaitu teori iskemik vaskuler, teori infeksi virus, teori herediter, teori imunologi.
Gambaran klinis bells palsy dapat berupa hilangnya semua gerakan
volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan
menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun,
bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini dan lagoftalmus.
Penatalaksanaannya dengan terapi medikamentosa yaitu kortikosteroid,
penggunaan obat antiviral (acyclovir). Juga dilakukan rehabilitasi medik,
perawatan mata dan fisioterapi. Prognosis Bells palsy tergantung pada jenis
kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lowis H, Gaharu MN. Bells palsy, diagnosis dan tata laksanadi pelayanan primer.
Artikel pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan (p2kb). Jakarta: j indon med
assoc. 2012:62:1-6
2. Menkes. PermenkesNomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
FaslitasPelayananKesehatan Primer. 2014;319-23.

3. Munilson J, Edward y, Triana W. Diagnosis dan penatalaksanan bells palsy. Bagian


Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. 2011:1-6
4. Sjarifuddib, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan nervus fasialis perifer. In
Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga

Hidung

Tenggorok

Kepala

Leher.

Jakarta:

BadanPenerbitFakultasKedokteranUniveritas Indonesia. 2012:114-117.


5. Bansal M. Disease of Ear Nose and Throat Head and Neck Surgery. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publisher Ltd. 2013:255-67
6. Probst R. Facial nerve. In: Probst R, Grevers G, Iro H, editor. Basic otorhinolaryngology.
New York: Thieme. 2006:289-96
7. Istiqomah DN. Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bells palsy sinistra. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2014:1-26.
8. Graaff VD. Human Anatomy. McGraw-Hill. 2001:250-2.
9. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy: Diagnosis and Management. University of
Illinois at Chicago College of Medicine, Chicago, Illinois. 2007:1-6.
10. 10 TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition, revised and expanded. New York:
3
3

Thieme. 2003:97-99.
11. Maisel RH, Levine SC. Gangguan saraf fasialis. In: Adams LG, Boies RL, Higler AP,
BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 7th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta,
2012:139-52.

Anda mungkin juga menyukai