Anda di halaman 1dari 6

REVOLUSI MENTAL DAN KEKEJAMAN KEKUASAAN

Oleh: Subagyo
Advokat di Surabaya
Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, serta angkasa di atasnya,
merupakan teritorial negara, tempat hidup rakyat, dan sumber daya alam yang menjadi faktor
penting kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itulah maka konstitusi Indonesia menegaskan bahwa
agraria dikuasai negara (Pasal 33 UUD 1945). Agraria tidak boleh dikuasai partikelir. Tujuan
penguasaan oleh negara adalah untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk menggendutkan
rekening para perwira ataupun para pengusaha pengelola agraria.
Negara ini memiliki apa saja yang dibutuhkan rakyatnya, sehingga cita-cita tentang
kemakmuran rakyat itu bukan utopia. Joko Widodo (Jokowi) tepat dalam melihat keadaan,
bahwa amburadulnya negara ini disebabkan mental yang tidak baik. Revolusi mental
merupakan jalan untuk menuju pada kemakmuran negara. Bahkan Jokowi berani berkata,
Pandangan tentang penyelesaian ekonomi dunia yang mengandalkan Bank Dunia, IMF dan
ADB merupakan pandangan usang yang harus dibuang!
Saya setuju dengan Jokowi. Untuk apa kita menghamba dan bergantung kepada
lembaga-lembaga rentenir itu? Bukankah kita punya segalanya? Mau makan nasi tinggal
tanam padi. Mau makan singkong tinggal tanam singkong. Mau makan daging ya gampang
karena kita punya lahan luas untuk bisa berternak. Mau makan ikan sampai mabuk? Lautan
kita sangat luas dengan ikan yang melimpah.
Mau makan apa saja, mau apa saja, semua bisa disediakan. Tinggal apakah kita punya
mental kemandirian untuk menanam sendiri dan berternak sendiri? Jika kita nanti
kekuarangan bahan bakar migas, kita tukarkan kelebihan produksi beras, gandum, ikan, dan
ternak kita dengan migas milik Arab Saudi atau Iran. Mau minum? Kita punya banyak sumber

air. Jika perlu, bisa menyuling air laut yang melimpah. Jika perlu kita bikin pembangkit listrik
tenaga air lautan (PLTAL).
Bukankah kita zaman Presiden Suharto, di tahun 1996, pernah bisa barter beras ketan
dengan pesawat terbang CN-235? Eh, terbalik ya? Kita yang punya pesawatnya, Thailand
yang punya beras ketannya. Thailand yang tanahnya lebih sempit daripada Indonesia, malah
bisa membeli pesawat terbang dari Indonesia, yang dibayarnya dengan beras ketan? Hebat.
Tapi setidaknya itu juga menunjukkan bahwa negara Indonesia tidak cuma kaya secara
agraria, tapi juga kaya orang pintar. Bahkan kita banyak mengekspor orang-orang pintar ke
Jerman, Jepang, Inggris, Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan Timur Tengah. Tapi
mengapa kita tetap begini-begini? Benar kata Jokowi: mental kita yang tidak beres.
Hanya saja, revolusi mental yang diserukan oleh Presiden Jokowi itu kok lama-lama
kian sayup-sayup lenyap ditelan angin. Tapi artikel ini tidak akan membahas mental rezim
yang ternyata kurang stabil dengan melihat lonjakan jumlah utang negara dari Tiongkok dan
baru-baru ini juga utang ke ADB, lembaga yang pernah disinisi oleh Jokowi itu. Apakah itu
hanya kebijakan pindah ke lain hati?
Saya lihat ada mental kekerasan lama yang tumbuh kembali, padahal aksi reformasi
dahulu meledak akibat kekerasan-kekerasan tangan rezim. Para petani Wongsorejo
Banyuwangi dan Urut Sewu Jawa Tengah tidak bisa bebas menanami lahan pertanian mereka
karena harus berhadapan dengan kekuasaan bedil TNI. Penduduk di Gunungsari dan Bulak
Banteng Surabaya tidak bisa tidur nyenyak karena diancam diusir paksa oleh TNI dalam
sengketa tanah. Penduduk kecamatan Lakarsantri Surabaya tiba-tiba kehilangan hak atas
tanah kolektif mereka yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pengembang, PT.
Ciputra Surya, dan mereka harus menghadapi kepolisian.
Begitu pula, warga Gemulo, Batu, Jawa Timur menjadi resah karena kehilangan
sekian banyak sumber air akibat dibangunnya hotel-hotel di kawasan yang seharusnya

dikonversi. Mereka membela lingkungannya tapi digugat dan dikriminalisasi. Belum lagi
usaha-usaha pengembangan pemukiman, pabrik, pertokoan, hotel dan lain-lain yang semakin
menggila. Korporasi-korporasi besar, baik itu pengembang, tambang dan perkebunan, begitu
leluasa menguasai dan mengelola tanah, sementara itu perlahan tapi pasti warga masyarakat
yang lemah menyingkir, menepi, baik secara sukarela ataupun paksa. Pasti kita juga ingat
kasus lumpur Lapindo yang belum beres itu.
Masyarakat yang zaman dahulu masih bisa lebih menikmati air bersih, tapi kini kian
banyak korporasi pedagang air yang mengambil-alih fungsi negara dalam menguasai sumbersumber air, sehingga masyarakat harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli air.
Jadinya, prinsip hukum konstitusional bahwa air merupakan res commune hanya menjadi
omong kosong hukum.
Begitu pula penertiban Jakarta hanya berani menggusur masyarakat kecil, tapi malah
memberi peluang proyek-proyek besar kepada korporasi-korporasi yang seharusnya diberikan
hukuman atas eksploitasi lahan yang berlebihan yang menghancurkan penyediaan ruang
terbuka hijau, sehingga menjadikan Jakarta sebagai danau di musim hujan. Bagaimana rezim
mau menghukum korporasi-korporasi itu jika dirinya sendiri terlibat dalam kejahatan ekologis
itu? Pemerintah tidak berani menyetop laju penjualan kendaraan bermotor yang sangat liberal
karena takut dengan hukum perdagangan bebas. Mau dibangun berapa susun tol lagi di
Jakarta untuk mengejar laju volume kendaraan bermesin?
Pertarungan perebutan agraria antara warga masyarakat dengan TNI dan korporasi
yang melibatkan kepolisian, menunjukkan tanda-tanda kian memburuknya situasi. Sementara
itu Presiden Jokowi sedang sibuk kerja kerja kerja membangun infrastruktur. Pemerintah tidak
terlalu peduli, tidak mampu memberikan solusi pertikaian perebutan agraria itu. Pemerintah
hanya diam, menonton. Jika ada warga yang mengadukan kekerasan-kekerasan agraria itu,
maka jawabnya enteng, Silahkan tempuh upaya hukum! Sementara itu lembaga pengadilan

itu bagaimana? Di sini berlaku hukum rimba, siapa yang kuat itulah yang menang. Fungsi
negara lumpuh.
Saya tidak yakin bahwa para orang besar itu tidak paham asas-asas hukum dalam
penyelesaian sengketa agraria sebab mereka telah mendatangkan para profesor dalam
pendidikan di lembaga-lembaga mereka. Mereka hanya bermaksud mencari jalan pintas, cara
instan, untuk mencapai maksud dan tujuan mereka, demi kewibawaan kekuasaan. Tapi
akhirnya kekerasan demi kekarasan hanya menimbulkan kebencian-kebencian para korban.
Mental mereka adalah mental kekuasaan superior dalam menghadapi warga
masyarakat, bukan mental para pelayan masyarakat. Jika di bahunya sudah terpasang pangkat
yang gagah, maka orang-orang biasa dipandangnya rendah. Warga masyarakat di
perkampungan-perkampungan di atas tanah negara dianggapnya sebagai kaum teroris atau
hama yang harus disingkirkan, padahal warga masyarakat itu dilindungi oleh hukum reforma
agraria (landreform).
Dengan memberikan kewenangan penguasaan dan pengamanan tanah kepada alat
negara bersenjata secara berlebihan, apakah hal itu bukan menjadi faktor sengketa agraria dan
kekarasan itu sendiri? Apalagi terhadap tanah-tanah negara dan tanah hak-hak adat yang
dalam sejarahnya telah menjadi pemukiman atau perkampungan ataupun lahan pertanian
rakyat. Di sisi lain, korporasi-korporasi besar yang bersengketa agraria dengan masyarakat
juga masih seringkali menggunakan jasa Polri atau TNI guna melakukan pengusiran kepada
warga masyarakat di tanah-tanah sengketa.
Ternyata revolusi mental belum dimulai, kecuali baru membangun website. Revolusi
mental setidak-tidaknya dimulai dari pencetusnya, dimulai dari konsistensi apa yang
diucapkan dan apa yang dijanjikan agar dijalankan sebagaimana mestinya. Setiap janji
kampanye untuk rakyat, untuk rakyat, untuk rakyat adalah cara-cara dan mental lama. Hal

itu bisa direvolusi menjadi mental baru jika terbukti bukan sekadar janji. Revolusi mental
dimulai dengan keteladanan.
Sang revolusioner dahulunya dikawal oleh rakyat agar tidak dicederai oleh ancaman
kekuasaan. Ia digadang menjadi pemimpin perubahan. Namun, mengapa kini yang terjadi
justru sebaliknya, sang revolusioner kini dikawal oleh pasukan kekuasaan karena takut dan
khawatir dicederai oleh ancaman rakyat?
Sang revolusioner seharusnya membuat standar atau pedoman bagaimana revolusi itu
dijalankan dan membentuk gugus para pendekar revolusioner untuk mengontrol jalannya
revolusi. Sebab ini bukanlah revolusi yang pecah secara tiba-tiba tanpa direncanakan. Ia
seharusnya mempunyai jejaring intelejen sendiri, dengan tidak mempercayai begitu saja
struktur-struktur yang telah mapan.
Revolusi tentu harus melindungi rakyat yang menjadi alasan dilakukannya revolusi.
Bagaimana membentuk mental keadilan yang demokratis bagi para pimpinan TNI-Polri
sebagai alat negara dalam menghadapi sengketa agraria dengan rakyat, agar tidak
menimbulkan ketakutan warga masyarakat akibat kekejaman kekuasaan dalam upaya
menyelesaikan masalah? Negara hukum yang demokratis bukanlah negara kekuasaan yang
bebas main intimidasi dan main usir dalam sengketa agraria? Bagaimana memperbaiki mental
para pemegang kekuasaan agar tidak seenaknya sendiri dalam menafsirkan pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan istilah pengamanan aset dalam keadaan
sengketa dengan warga masyarakat? Aparatur negara suka mengecam tindakan anarkis, tetapi
dirinya sendiri melakukan apa yang dikecamnya itu.
Lebih baik jika Presiden mengeluarkan perintah resmi untuk penyelesaian sengketa
agraria melalui cara-cara yang beradab sesuai Pancasila, terutama melarang cara-cara
intimidasi dan kekerasan oleh TNI-Polri dan korporasi. Jikapun pemerintah tak mampu

memberi solusi, minimal arahkan penyelesaiannya ke lembaga pengadilan lebih dulu, dan
jangan main sruduk.

Anda mungkin juga menyukai