Oleh :
Dewi Nur Zanirah
115020300111101
115020307111074
125020300111009
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Maret 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Terdapat enam nasihat atau cara dalam melakukan bisnis lintas budaya internasional antara
lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Lakukanlah persiapan.
Jangan terburu-buru.
Bangkitkan kepercayaan.
Memahami pentingnya bahasa.
Menghormati budaya.
Memahami unsur-unsur budaya.
Budaya juga sangat mempengaruhi semua fungsi bisnis misalnya dalam pemasaran,
beraneka ragam sikap dan nilai menghambat banyak perusahaan untuk mengunakan bauran
pemasaran yang sama disemua pasar. Begitu juga dalam manajemen sumber daya manusia,
budaya nasional merupakan kunci penentu untuk mengevaluasi para manajer, serta dalam
produksi dan keuangan faktor budaya sangat berpengaruh dalam kegiatan produksi dan
keuangan.
B. Karakteristik Kebudayaan
Beberapa karakteristik kebudayaan perlu diperhatikan karena mempunyai relevansi
dengan bisnis internasional :
1. Kebudayaan mencerminkan perilaku yang dipelajari (learned behavior) yang
ditularkan dari satu anggota masyarakat yang lainnya.
2. Unsur- unsur kebudayaan saling terkait (interrelated)
3. Kebudayaan sanggup menyesuaikan diri (adaptive), artinya kebudayaan berubah
sesuai dengan kekuatan- kekuatan eksternal yang mempengaruhi masyarakat tersebut.
4. Kebudayaan dimiliki bersama (shared) oleh anggota- anggota masyarakata tersebut
dan tentu saja menentukan keanggotaan masyarakat itu.Orang-orang yang sama-sama
memiliki suatu kebudayaan adalah anggota suatu masyarakat; orang- orang yang tidak
memilikinya berada diluar batas- batas masyarakat itu.1
Beberapa pendapat lain tentang karakteristik budaya,adalah sebagai berikut:
1. Dipelajari : Budaya tidak diwariskan atau bersifat biologi, budaya diperoleh dari
pembelajaran dan pengalaman.
2. Dibagi : Masyarakat adalah anggota dari kelompok organisasi atau pembagian budaya
masyarakat, budaya tidak spesifik pada perorangan dan individu.
3. Perubahan generasi :Budaya bersifat kumulatif, melewati dari generasi yang satu ke
generasi yang lainnya.
4. Symbolic : Budaya berdasarkan pada kapasotas manusia untuk memberi tanda atau
menggunakan sesuatu untuk menggambarkan yang lain.
5. Diteladani : Budaya mempunyai struktur dan terintegrasi, perubahan dari 1 bagian
akan membawa perubahan pada bagian lain.
6. Penyesuaian : Budaya berdasarkan pada kapasitas manusia untuk berubah &
menyesuaikan diri.
Karena perbedaan budaya terdapat dalam dunia, sebuah pemahaman dari pengaruh
budaya dalam perilaku merupakan suatu kritik dari studi internasional manajemen. Jika
manajer internasional tidak mengetahui sesuatu tentang budaya dari Negara lain yang mereka
setujui, maka hal tersebut akan menimbulkan bencana.
D. Komponen-Komponen Sosiokultural
Konsep budaya adalah sedemikaian luasnya sehingga para ahli budaya telah membagi
berbagai macam topik untuk memudahkan studinya. Daftar topik akan memberikan
pemahaman yang lebih baik mengenai apa budaya itu dan juga berfungsi sebagai pedoman
bagi para manajer internasional ketika mereka menganalisis permasalahan khusus dari sudut
pandang sosiokultural.
Para ahli sangat bervariasi dalam memahami apa yang mereka anggap komponen
budaya (sosiokultural) antara lain adalah:
1. Estetika adalah sesuatu yang berkaitan dengan rasa keindahan, budaya dan selera
yang baik serta diungkapkan dalam seni, drama, musik, cerita rakyat dan tari-tarian.
2. Sikap dan kepercayaan selalu dimiliki oleh setiap budaya yang hampir seluruh aspek
dari perilaku manusia dan membantu membawa ketertiban didalam masyarakat dan
individu-individunya. Diantara beraneka ragam subjek yang dicakup oleh sikap dan
kepercayaan, beberapa diantaranya sangat penting bagi para pelaku bisnis. Termasuk
sikap terhadap waktu, pencapaian pekerjaan dan terhadap perubahan.
3. Sikap terhadap waktu menimbulkan lebih banyak persolan adaptasi karena setiap
negara berbeda dalam menyikapi atau mengartikan waktu.
4. Sikap terhadap pencapaian pekerjaan seorang manajer akan berbeda tajam dengan di
budaya-budaya lain dibandingkan dengan budaya mereka sendiri. Sehingga mereka
harus merekrut bawahan yang memiliki kebutuhan untuk maju apapun motif yang
mendasarinya. Salah satu sumber yang baik dari orang-orang itu adalah diantara
anggota yang relatif berpendidikan, yang memandang pekerjaan sebagai jalan menuju
gengsi.
5. Sikap terhadap perubahan atau ide baru akan lebih diterima apabila dapat dikaitkan
lebih dekat dengan yang tradisional , sementara pada saat yang bersamaan dapat
menunjukkan keunggulan relatifnya terhadap yang tradisional. Dengan kata lain
semakin konsisten suatu ide baru dengan sikap dan pengalaman masyarakat maka
semakin cepat ide tersebut akan diadopsi.
6. Agama adalah suatu komponen kebudayaan yang penting, bertanggung jawab atas
banyak dari sikap dan kepercayaan yang mempengaruhi sikap dan perilaku dari
manusia.
7. Kebudayaan material merujuk pada semua objek buatan manusia dan berkaitan
dengan bagaimana orang membuat benda-benda (teknologi) dan siapa membuat apa
dan mengapa (ilmu ekonomi).
kondisi yang tidak menentu, di sisi lain pengambilan resiko dianjurkan, dan
pembuatan keputusan didalam kondisi yang tidak menentu itu umum.
Penghargaan individual vs penghargaan kelompok. Di dalam beberapa Negara,
anggota yang melakukan kerja dengan bagus, secara individual akan mendapat bonus
dan komisi, sedangkan dinegara lain norma budaya membutuhkan penghargaan
kelompok dan penghargaan individu tidak disetujui.
Prosedur informal vs formal prosedur. Di beberapa masyarakat, kebanyakan
diselesaikan melalui pengertian yang informal. Sedangkan, prosedur formal diatur
seterusnya dan diikuti secara kaku
Kesetiaan rendah vs kesetiaan rendah organisasi. Di beberapa masyarakat, masyarakat
di identifikasi sangat kuat terhadap organisasinya atau majikannya. Sedangkan di sisi
lain masyarakat berpihak kepada pekerjaan di kelompoknya, seperti mekanik.
Kerjasama vs Kompetisi. Beberapa masyarakat menganjurkan untuk bekerja sama
antara orang-orang, yang lainnya berkompetisi dengan orang-orang.
Jangka pendek vs jangka panjang. Beberapa Negara memfokuskan pada jangka
pendek, seperti tujuan jangka pendek keuntungan dan efisiensi, yang lain lebih focus
pada jangka panjang, seperti tujuan jangka panjang, seperti pasar modal dan
pengembangan teknologi.
Stabilitas vs inovasi. Budaya dari beberapa Negara menganjurkan untuk stabilitas dan
ketahanan dalam perubahan. Budaya yang lain mengambil nilai-nilai yang tinggi dari
inovasi dan perubahan.
pola yang berbeda pula. Ketidakpekaan atas perbedaan budaya bisa menjelma menjadi
masalah bisnis yang serius (Mitchel, 2001).
Satu contoh dikisahkan oleh Mitchel (2001) tentang masalah bisnis yang serius yang
dialami oleh Disneyland akibat ketidakpekaan budaya. Setelah sukses membuka Disneyland
di Jepang, Disneyland akan membuat taman bermain ini di Perancis. Oleh karena merasa
sudah membuat keberhasilan di Jepang yang memiliki budaya yang sangat berbeda
Disneyland merasa tidak perlu mengubah sistem yang sudah dianggap berhasil untuk
disesuaikan dengan orang Eropa. Masalah terjadi sejak awal pembelian lahan 1.950 hektar.
Tanah yang dibeli adalah lahan pertanian utama dengan harga di bawah harga pasar. Para
keluarga petani Perancis yang telah berabad-abad mengelola tanah tersebut marah dan
menentang. Surat kabar Perancis mencela pengusaha Amerika dengan tulisan-tulisan yang
penuh kemarahan dan hinaan bahwa Disneyland telah menyepelekan ikatan petani Perancis
dengan tanah leluhurnya. Selanjutnya Disneyland semakin menyinggung perasaaan
masyarakat Perancis dengan menggunakan pengacara untuk bernegosiasi kontrak-kontrak
yang akan dilakukan. Di Perancis, pengacara adalah alat negosiasi terakhir, penggunaan
pengacara menunjukkan ketidakpercayaan dan penolakan terhadap cara Perancis, seharusnya
cukup para eksekutif Disneyland saja yang bernegosiasi. Masalah semakin rumit karena
ketidakpedulian Disneyland akan kultur Eropa dan norma kerja Perancis. Disneyland
menuntut karyawan-karyawannya berpenampilan gaya Amerika, akibatnya staf dan serikat
buruh memberontak dan menuntut model pakaian sehari-hari Perancis. Moral kerja merosot.
Selain hal-hal di atas, banyak sekali detil-detil budaya yang diabaikan Disneyland di
Perancis. Biaya akibat ketidakpekaan perusahaan terhadap budaya menghabiskan uang dan
goodwill yang sangat besar.
Ketidakpekaan dan pengabaian detil-detil budaya juga banyak dilakukan oleh para
pelaku bisnis dan manajer global. Mereka cenderung menyamaratakan cara dan gaya untuk
diterapkan pada budaya yang berbeda. Komentar-komentar seperti Cara ini berhasil di
negara saya, jadi dengan cara ini akan berhasil dimanapun, Saya tahu bagaimana menjual /
membuat / mengelola bisnis ini dimanapun, Produk saya adalah yang terbaik, saya tidak
perlu khawatir dengan perbedaan budaya seringkali terdengar (Beamer dan Varner, 2008).
Sikap menganggap bahwa budaya kita adalah budaya yang terbaik dan budayabudaya lain seharusnya mengikuti tata cara budaya kita dan dinilai berdasarkan standar
budaya kita adalah sikap yang harus dihindari ketika kita berinteraksi dengan orang dari
budaya yang berbeda. Sikap ini adalah bentuk dari ethnocentrism negatif (Samovar, Porter
dan McDaniel, 2010). Bila kita cenderung bersikap ethnocentrism negatif, akan menghambat
keberhasilan dalam berkomunikasi antarbudaya.
Bagi orang Jerman dan Finlandia, kebenaran adalah kebenaran. Di Jepang dan
Inggris, kebenaran yang baik apabila kebenaran itu tidak mengganggu keselarasan. Di Cina
tidak ada kebenaran mutlak. Di Italia, kebenaran bisa dirundingkan.
Orang Jepang tidak menyukai jabat tangan, tapi lebih menyukai membungkuk ketika
menghormat orang lain dan tidak membersihkan hidung di muka umum. Orang Brazil
terbiasa untuk tidak antre ketika naik bis, lebih menyukai sepatu warna coklat daripada hitam,
dan datang terlambat dua jam pada pesta koktail. Orang Yunani menatap bola mata anda,
menganggukkan kepalanya berarti tidak, dan ada kalanya membanting piring di restoran.
Yoshida (2002) juga menyampaikan kisah tentang pertemuan bisnis antara delegasi
Amerika Serikat dengan pejabat tinggi Jepang. Ia menyebutkan problem yang dihadapinya
saat itu adalah perception gap. Diceritakannya, setelah delegasi Amerika selesai bertemu
dengan pejabat tinggi Jepang, salah satu anggota delegasi bercerita pada seorang teman
baiknya yang berkebangsaan Jepang tentang impresinya terhadap pertemuan itu.
Delegasi Jepang menerima kami dengan sangat baik dan terlihat sangat menyimak
apa yang kami katakan. Tapi setelah pertemuan itu, semua anggota delegasi kami menyatakan
tidak dapat memahami dengan jelas hal-hal apa saja yang delegasi Jepang ingin lakukan.
Kami juga merasakan suasana yang dingin selama pertemuan dan akhirnya kami merasakan
bahwa orang Jepang lebih sombong daripada sebelumnya.
Keesokan paginya, surat kabar Tokyo mengutip pernyataan salah satu pejabat tinggi
Jepang yang ikut serta dalam pertemuan, kami sangat menghargai pertemuan yang telah
dilakukan, kami berusaha sebagai pendengar yang baik daripada memaksakan pandangan
kami pada mereka dan kami merasa delegasi Amerika menghargainya.
Apa yang salah? Berbeda dengan persepsi delegasi Amerika, orang Jepang
menganggap suasana dingin yang dirasakan adalah sikap yang tepat dan baik. Dengan
mereka diam dan menyimak artinya mereka serius merenungkan setiap permasalahan pada
subyek yang sedang dibahas. Lagipula di Jepang terdapat filosofi mereka yang banyak tahu
tidak berbicara, dan yang tidak tahu apa-apa banyak berbicara.
Dari dua peristiwa di atas, menunjukkan sangat pentingnya memahami dan mengenali
perbedaan-perbedaan dari setiap budaya. Dengan memahami bahwa keanekaragaman budaya
itu sangat luas dan mengagumkan, kita akan lebih terbuka menerima perbedaan yang ada dan
membuka diri untuk mempelajari perbedaan-perbedaan yang ada. Konsep dan pemahaman
tentang waktu, ruang, kehidupan setelah mati, alam dan realitas yang dimiliki masyarakat
yang berlainan latar belakang budaya, sedikit banyak akan berdampak pada proses dan
keberhasilan kita berkomunikasi dan berbisnis internasional.
mempersiapkan diri menghadapi tantangan dan berbagai kesulitan yang akan dialami ketika
menjalin bisnis, bernegosiasi atau bekerja di perusahaan global. Sebagai individu global,
harus mempersiapkan diri agar bisa sukses dan efektif berkomunikasi dengan orang yang
berbeda latar belakang budaya. Ketika kita berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
latar belakang budaya dengan kita, saat itulah kita sedang berkomunikasi antarbudaya.
Globalisasi membuat karyawan di berbagai perusahaan dan organisasi semakin
heterogen. Setiap organisasi global atau yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi
organisasi global, harus mempersiapkan setiap anggotanya dapat berkomunikasi antarbudaya
dengan efektif karena ketrampilan berkomunikasi antarbudaya adalah tulang punggung untuk
mendukung transaksi bisnis di seluruh dunia (Chitakornkijsil, 2010). Persiapan diri ini tidak
hanya untuk individu yang ingin tinggal dan bekerja di luar negeri atau perusahaan yang
ingin mengembangkan bisnisnya ke negara lain, tapi juga bagi para eksportir dan importir.
Perbedaan kebiasaan, perilaku, nilai-nilai dapat menjadi masalah dan hanya dapat
diselesaikan melalui interaksi dan komunikasi antarbudaya yang efektif (Samovar, Porter dan
McDaniel, 2010).
Bagi para manager global, mampu berkomunikasi dengan efektif adalah ketrampilan
yang sangat penting karena kelancaran perencanaan, pengorganisasian, memonitor dan
memfasilitasi, semuanya dapat terlaksana dengan baik melalui komunikasi. Ketika semua
aktifitas managerial itu harus dilakukan bersama-sama dengan orang-orang yang berbeda
latar belakang budaya, menurut Chitakornkijsil (2010) hal yang paling sulit adalah proses
encoding dan decoding pesan agar makna dapat diinterpretasikan dengan tepat. Walaupun
pesan verbal adalah adalah cara utama dalam menyandi pesan, pesan-pesan non-verbal
seperti nada suara, ekspresi wajah, postur tubuh, bahasa tubuh, jarak, kontak mata,
mengandung makna yang lebih luas dan kompleks. Justru pesan-pesan non-verbal inilah yang
seringkali ambigu dan dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Selain masalah dalam encoding dan decoding pesan, hambatan utama bagi para
manager global adalah beranekaragamnya bahasa. Kurang lebih 6000 bahasa digunakan di
seluruh dunia (Chitakonrkijsil, 2010) dengan 10.000 dialek (Saee, 2007). Seorang manager
global harus menguasai lebih dari 1 bahasa dan minimal menguasai bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional. Walaupun kedua pihak yang berkomunikasi sama-sama menguasai
bahasa Inggris, masih kerap terjadi kesalahpahaman. Chitakonrkijsil menyarankan, para
manager global sebaiknya menguasai bahasa konsumennya dan bahasa lokal dimana ia
bekerja.
Tantangan lain yang kerap dialami para manager global dan pengusaha adalah
terbatasnya waktu untuk mengenal lebih dekat bahasa dan budaya dari klien, konsumen dan
rekan bisnis. Waktu penempatan yang singkat di suatu negara dan ketatnya jadwal perjalanan
bisnis seringkali membuat para manager global dan pengusaha tidak dapat menindaklanjuti
pesan-pesan mereka dan mendorong adanya umpan balik (feedback) dari rekan bisnis dan
dari para pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang budaya (Chitakonrkijsil, 2010).
Berdasarkan pengalamannya, Yoshida (2002) selanjutnya menambahkan 4 masalah
utama yang ia temui selama menjadi CEO global, yaitu :
1. Kurangnya kemampuan berbahasa Inggris yang mumpuni lisan dan tulisan para
karyawan dan manager. Kemampuan dan ketrampilan berbahasa Inggris yang tidak
cukup akan menyebabkan keterlambatan dalam merespon instruksi sehingga
mempengaruhi proses bisnis dan kelancaran operasional.
2. Para manager dan pimpinan perusahaan global di kantor pusat seringkali kurang
berkomunikasi dengan para manager di kantor cabang tentang visi dan kebijakankebijakan strategis perusahaan. Hal ini dapat menghilangkan kesempatan untuk
mempelajari perbedaan-perbedaan strategis dan melakukan brainstorming dengan
para manager lokal untuk mengatasi masalah lokal.
3. Keangkuhan budaya dan etnosentrisme dari para pimpinan dan manager global yang
menghambat pemahaman antarbudaya.
4. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman kebutuhan lokal serta penyesuaian
tatalaksana aturan yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai budaya setempat,
termasuk memahami perbedaan persepsi dan gaya berkomunikasi.
Para pengusaha dan manager global, sepatutnya memberi perhatian dan siap menghadapi
perbedaan-perbedaan pada :
1. Business protocol, seperti aturan pada pertemuan pertama, sikap dan perilaku ketika
menyambut rekan bisnis, penampilan personal, aturan pemberian hadiah, hal-hal tabu
dalam percakapan.
2. Gaya kepemimpinan.
3. Gaya dan cara pengambilan keputusan.
4. Etika bisnis dan negosiasi, termasuk masalah formalitas dan status, kecepatan dan
kesabaran dalam bernegosiasi, ekspresi emosi, pesan langsung dan tidak langsung,
pemahaman antara bukti dan kebenaran (Samovar, Porter dan McDaniel, 2009).
Perusahaan-perusahaan Korea, Perancis, Jerman dan Jepang mengharapkan
karyawannya mampu cepat beradaptasi, mampu berfungsi dan berkomunikasi dengan cakap
dalam berbagai konteks budaya. Perusahaan-perusahaan Eropa mengharapkan para
managernya menguasai minimal satu bahasa asing dengan baik. Semua ilmuwan komunikasi
antarbudaya sepakat bahwa keahlian teknis tidaklah cukup, karyawan dan manager harus
mampu beradaptasi pada berbagai konteks budaya, sensitifitas dan berkemampuan bahasa
Inggris dan lokal adalah hal penting (Chitakornkijsil, 2010).
Saran untuk para pengusaha, pimpinan, manager dan karyawan global :
Pelajari nilai budaya, adat kebiasaan, aturan dan ritual setempat / klien/ rekan bisnis
agar mampu bersikap dan berperilaku dengan layak dan tepat.
Tingkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi dengan klien, pimpinan, manager dan
karyawan di kantor pusat dan di kantor cabang (Yoshida, 2002; Lewis, 2005).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan adalah kumpulan nilai, kepercayaan, perilaku, kebiasaan, dan sikap yang
membedakam suatu masyarakat dari yang lainnya. Kebudayaan suatu masyarakat
menentukan ketentuan- ketentuan yang mengatur bagaimana perusahaan dijalankan dalam
masyarakata tersebut.
Beberapa karakteristik kebudayaan adalah: Dipelajari, Dibagi, Perubahan generasi,
Symbolic, Diteladani, Penyesuaian. Unsur- unsur dasar kebudayaan adalah struktur sosial,
bahasa, komunikasi, agama, dan nilai- nilai serta sikap. Interaksi unsur- unsur ini
mempengaruhi lingkungan lokal yang merupakan tempat bisnis internasional dijalankan.
Para ahli sangat bervariasi dalam memahami apa yang mereka anggap komponen
budaya (sosiokultural) antara lain: Estetika, Sikap dan kepercayaan, Sikap terhadap waktu,
Sikap terhadap pencapaian pekerjaan, Sikap terhadap perubahan atau ide baru, Agama.
Kebudayaan material merujuk pada semua objek buatan manusia dan berkaitan
dengan bagaimana orang membuat benda-benda (teknologi) dan siapa membuat apa dan
mengapa (ilmu ekonomi).
Teknologi dari suatu masyarakat adalah bauran pengetahuan yang dapat digunakan,
diterapakan oleh masyarakat dan diarahkan kepada pencapaian tujuan tujuan ekonomi dan
budaya. Teknologi adalah signifikan dalam upaya bagi negara-negara berkembang untuk
meningkatkan taraf hidup mereka dan merupakan faktor vital dalam strategi persaingan
perusahaan-perusahaan multinasional.
B. Studi Kasus
Di Jepang, Procter &Gamble (P&G) menggunakan suatu iklan untuk sabun camay,
dimana seorang pria yang menemui seorang wanita untuk pertama kalinya untuk
membandingkan kulit wanita tersebut dengan boneka porselen yang indah. Meskipun iklan
itu berhasil baik di Amerika selatan & Eropa, namun iklan tersebut dianggap menghina orang
jepang.
Bagi seorang pria jepang mengatakan sesuatu seperti itu kepada wanita jepang
menunjukkan bahwa ia bodoh/kasar, kata seorang ahli periklanan yang bekerja untuk klien.
Menariknya P&G telah menggunakan iklan tersebut meskipun mendapat peringatan dari agen
periklanan itu.
Iklan camay yang gagal di jepang adalah iklan yang memperliatkan seorang wanita
jepang yang sedang mandi ketika suaminya masuk ke kamar mandi. Wanita tersebut mulai
menceritakan kepada suaminya tentang sabun kecantikannya yang baru, tetapi suaminya
mengelus pundak wanita itu, mengisyaratkan bahwa busa sabun bukanlah apa yang dia
pikirkan. Meskipun iklan itu diterima dengan baik di Eropa, namun sangat gagal di Jepang,
yang memandang campur tangan suami atas istrinya adalah sikap yang tidak baik.
P&G juga telah melakukan kesalahan karena kurang memiliki pengetahuan mengenai
pentingnya budaya bisnis. Perusahaan itu memperkenalkan deterjen cheer dengan
memberikan potongan harga, tetapi hal ini merendahkan reputasi sabun itu kata seorang
pesaing, tidak seperti eropa & amerika serikat, sekali anda memberikan diskon atas produk
anda disini sulit sekali untuk menaikkan kembali harganya. Para pedagang besar terasing
karena mereka telah menghasilkan uang yang lebih sedikit sebagai kibat dari margin yang
kecil. Selain itu, tampaknya P&G tidak menyadari bahwa ibu- ibu rumah tangga dijepang
tidak memiliki mobil keluarga untuk membawa belanjaan, sehingga mereka berbelanja
diwarung- warung sekitar tempat tinggalnya. Para pedagang eceran kecil ini, yang menjual
30% dari semua deterjen yang dibeli dijepang, memiliki ruang rak yang terbatas dan oleh
karenanya tidak suka menyimpan produk- produk yang didiskon karena laba yang diperoleh
lebih rendah.