Anda di halaman 1dari 9

Indikator habitat yang tercakup dan dianalisis dalam kajian Ecosystem

Approach to Fisheries Management (EAFM) ini meliputi pencemaran dan potensi


pencemaran, kondisi tutupan lamun, tutupan terumbu karang, luasan dan kerapatan
mangrove, produktifitas estuari, keberadaan habitat penting, laju sedimentasi, dan
pengaruh global warming. Dari delapan indkator habitat tersebut kemudian dianalisis
menggunakan flag model dengan tiga kategori, yaitu merah untuk menunjukkan
kondisi yang buruk dengan skor 100 160, kuning untuk menunjukkan kondisi
sedang dengan skor 161 240, dan hijau untuk menunjukkan kondisi baik dengan
skor diatas 241.
Analisis Komposit Habitat WPP 571
Indikator
Habitat

Sko
r

Nila
i

Kualitas perairan Selat Malaka rentan terhadap pencemaran 14,29

28,57

Status lamun

Luasan dan tutupan lamun sedang di


14,29
bagian utara Sumatera

28,57

Status mangrove

Luasan mangrove sedang di bagian utara


14,29
Sumatera

28,57

Status
karang

Tutupan coral rendah <25%

14,29

14,29

Habitat khusus

Banyak sungai besar dengan prosuktifitas


14,29
tinggi di bagian muaranya

42,86

Produktivitas
estuaria

Terdapat beberapa habitat penting yang


14,29
perlu dilindungi

28,57

Perubahan iklim

Beberapa tempat terdapat coral bleaching,


14,29
Aceh misalnya

28,57

14

200

Unit Data

terumbu

Bobot

100

Flag

Secara umum, kondisi habitat di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan


(WPP) seluruh Indonesia menunjukkan kategori sedang dengan total skor 233
mendekati kondisi baik. Wilayah pengelolaan perikanan bagian barat dan tengah

Indonesia menunjukkan kondisi buruk sampai sedang, sedangkan di wilayah


Indonesia bagian timur menunjukkan kondisi sedang sampai baik. Hanya WPP 712,
yaitu wilayah perairan sekitar Laut Jawa yang memperlihatkan kondisi buruk,
sedangkan WPP lainnya di bagian barat Indonesia masuk dalam kategori sedang.
Sebagian besar wilayah perairan Indonesia bagian timur masuk dalam kategori baik.
Secara detail, kondisi masing-masing WPP dapat dijelaskan sebagai berikut : WPP
571 mencakup area Selat Malaka dan Laut Andaman dalam tiga wilayah administratif
provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Riau, dan Sumatera Utara. Kondisi habitat
di dalam WPP 571 ini tergolong sedang (skor 212,5) dengan areal tutupan terumbu
karang yang rendah, rentan terhadap pencemaran perairan, namun baik dalam
produktifitas estuari dan mempunyai level sedimentasi yang rendah.

Keterangan : Kualitas Perairan, Status Lamun, Status Mangrove, Status Terumbu


Karang, Habitat Khusus, Produktivitas estuaria, Perubahan Iklim
Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka
dan Laut Andaman. Secara administrasi, WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan
batas terluar ZEE Indonesia Thailand, ZEE Indonesia Malaysia, ZEE Indonesia

India; di sebelah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-Kab. Aceh Besar; di sebelah
selatan berbatasan dengan Kab. Siak dan Kab. Palalawan, Prov. Riau; dan di sebelah
timur berbatasan dengan Kab. Bengkalis Kab. Kampar.

Secara umum, WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE
Indonesia India; di sebelah timur berbatasan dengan titik temu antara batas terluar
ZEE Indonesia India dengan ZEE Indonesia Thailand ditarik ke arah Selatan
menyusuri batas terluar ZEE Indonesia Malaysia di Selat Malaka hingga batas laut
laut Indonesia Singapura; di sebelah selatan berbatasan dengan selanjutnya ditarik
garis kearah Barat menyusuri pantai Selatan Kab. Bengkalis hingga Perbatasan antara
Kab. Palalawan dan Kab. Siak, Prov. Riau, melewati titik Tenggara terluar P.
Rangsang dan P. Rupat; di sebelah barat berbatasan dengan perbatasan antara Kab.
Palalawa dan Kab. Siak, Prov. Riau, ditarik garis menyusuri pantai Timur pulau
Sumatera hingga batas antara Kota Banda Aceh dan Kab. Aceh Besar menuju
Mauduru di P. Weh, Kota Sabang, lalu menyusuri pantai bagian Timur hingga Ujung
Bau di titik paling Utara pulau tersebut yang diteruskan dengan menarik garis ke arah

selatan tanjung terluar P. Nicobar besar hingga batas terluar ZEE Indonesia India.
Berdasarkan analisis terhadap semua parameter, diperoleh
penilaian kondisi ekosistem WPP 571 pada masing-masing indikator yaitu habitat
212.50 (baik), sumberdaya ikan 216.67 (baik), teknis penangkapan ikan 200.00
(sedang), sosial ekonomi 157.14 (sedang) dan kelembagaan 166.67 (sedang). Hasil
analisis komposit agregat semua indikator menunjukkan nilai 190.60, dimana kondisi
ekosistemnya adalah SEDANG atau warna flag kuning. Kemudian analisis lebih
detail, dapat dilihat pada masing-masing WPP berdasarkan indikatornya.
Suumber : http://www.eafm-indonesia.net/

KONDISI OSEANOGRAFI PERAIRAN PULAU BINTAN,


KEPULAUAN RIAU
1.

Angin
Berdasarkan observasi, diketahui bahwa kondisi tiupan angin di atas perairan

Pulau Bintan yang menyebabkan gelombang dan arus adalah Angin Utara dan
Baratlaut. Dimana angin tersebut umumnya bertiup pada bulan Juni hingga Agustus.
Tinggi gelombang hasil pengamatan di perairan Bintan Timur sebelah utara pada
musim angin tersebut bisa mencapai 2 meter. Kecepatan angin maksimum yang
bertiup hasil pengukuran Stasiun Meteorologi Bandara Udara di Kecamatan Kijang
adalah 15 knot dengan arah U 20 T (Utara) dan U 300 330 T (Baratlaut).
2.

Pasang Surut
Pasang surut di perairan Pulau Bintan bertipe Campuran Cenderung

Semidiurnal atau Mixed Tide Prevailing Semidiurnal (Wyrtki, 1961). Dimana saat air
pasang/surut penuh dan tidak penuh terjadinya dua kali dalam sehari, tetapi terjadi
perbedaan waktu pada antar puncak air tertinggi-nya. Hasil prediksi pasut
menggunakan Oritide Global Tide Model di sekitar perairan pantai Trikora
(Kecamatan Gunung Kijang) pada bulan Juli memperlihatkan bahwa tinggi rata-rata
air pasang tertinggi +73,48 cm, air surut terendah 121,31 cm, dengan tunggang
maksimum sekitar 194,79 cm. Sedangkan di sekitar perairan Pulau Mantang
(Kecamatan Kijang) pada bulan yang sama mempunyai tinggi rata-rata air pasang
tertinggi +78,68 cm, air surut terendah 135,84 cm, dengan tunggang maksimum
sekitar 214,52 cm.
Pada bulan September, tinggi rata-rata air pasang tertinggi +75,69 cm, air surut
terendah 101,06 cm, dengan tunggang maksimum sekitar 176,75 cm di sekitar
perairan pantai Trikora (Kecamatan Gunung Kijang). Sedangkan di sekitar perairan
Pulau Mantang (Kecamatan Kijang) pada bulan yang sama mempunyai tinggi rata-

rata air pasang tertinggi +98,18 cm, air surut terendah 117,74 cm, dengan tunggang
maksimum sekitar 215,92 cm.
3.

Temperatur
Secara umum temperatur permukaan air hasil pengukuran di perairan Bintan

Timur memperlihatkan kisaran 27,6 28,2 oC (lihat Tabel 4). Berdasarkan Peta
Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia (BRKP, 2002) temperatur air permukaan di
perairan sekitar Bintan, pada Monsun Barat (Desember Februari) berkisar 27 28
oC, Monsun Peralihan dari Barat ke Timur (Maret - Mei) 29 29,5 oC, Monsun
Timur (Juni - Agustus) 31 31,5 oC, Monsun Peralihan dari Timur ke Barat
(September - November) 29 29,5 oC.
4.

Salinitas
Secara umum salinitas permukaan air hasil pengukuran di perairan Bintan

Timur memperlihatkan kisaran 29,7 30,7 ppt (lihat Tabel 4). Berdasarkan Peta
Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia (BRKP, 2002) salinitas air permukaan di
perairan sekitar Bintan, pada Monsun Barat (Desember Februari) berkisar 32,5
32,8 ppt, Monsun Peralihan dari Barat ke Timur (Maret - Mei) 32 32,5 ppt, Monsun
Timur (Juni - Agustus) 31 31,5 ppt, Monsun Peralihan dari Timur ke Barat
(September - November) 32 32,5 ppt.
5.

pH
Secara umum derajat keasaman air permukaan hasil pengukuran di perairan

Bintan Timur memperlihatkan kisaran 7 8 pH. derajat keasaman air tersebut berada
pada kisaran yang diperbolehkan oleh SK. MenKLH No. Kep-02/MENKLH/1988,
yaitu 6 - 9 pH, sehingga direkomendasikan bias mendukung untuk kegiatan
pariwisata, rekreasi, budidaya, dan konservasi laut.

6.

Turbiditas
Secara umum tingkat turbiditas air permukaan hasil pengukuran di perairan

Bintan Timur memperlihatkan kisaran 0,2 3,3 NTU (lihat Tabel 4). Tingkat
turbiditas tersebut sangat jauh dari ambang batas yang telah ditentukan SK. MenKLH
No. Kep-02/MENKLH/1988 yaitu <30-80 NTU. Jadi dapat dikatakan bahwa di
perairan Bintan Timur belum terkontaminasi partikel tersuspensi, yang biasanya
diakibatkan oleh penambangan pasir laut.
7.

Laju Sedimentasi
Secara umum laju sedimentasi di perairan Bintan Timur adalah sangat kecil

yaitu laju sedimentasi tertinggi di stasiun Pulau Siulung (0.005557888 gr/cm2/jam)


dan terendah di stasiun Teluk Bakau (0.001240089 gr/cm2/jam) (lihat Tabel 5). Laju
sedimentasi di perairan Bintan Timur sebelah Utara lebih rendah dibanding di
perairan Bintan Timur sebelah Selatan. Hal ini terjadi karena substrat dasar di
perairan Bintan Timur sebelah Utara rata-rata adalah pasir dan pecahan kerang &
coral, sedikit lumpur. Sedangkan di perairan Bintan Timur sebelah Selatan substrat
dasarnya rata-rata berupa pasir berlumpur, dan lumpur, dimana sedimentasi yang
terjadi bias disebabkan oleh pengadukan lokal, dan/atau hasil endapan TSS yang
tertranspor dari lokasi lain.
Hasil Simulasi Model Hidrodinamika
Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa arus di sebelah
Selatan dari perairan Bintan Timur lebih dinamis dibanding arus di sebelah Utara. Hal
ini terjadi karena Perbedaan elevasi muka laut di sebelah Selatan dari Bintan Timur
cukup besar, sedangkan perbedaan elevasi muka laut di sebelah Utara dari Bintan
Timur sangat kecil.

KONDISI OSEANOGRAFI FISIKA PERAIRAN BARAT SUMATERA


(PULAU SIMEULUE DAN SEKITARNYA) PADA BULAN AGUSTUS
2007 PASCA TSUNAMI DESEMBER 2004
Temperatur
Di perairan barat P. Sumatera, khususnya perairan di P. Simeulue dan
sekitarnya pada bulan Agustus 2007, profil temperaturnya disajikan dalam Gambar 2
yang menunjukkan ketiga lapisan tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan dapat
dikatakan bahwa lapisan permukaan bervariasi antara 26 sampai dengan 51 meter.
Atau dengan perkataan lain, batas atas lapisan termoklin bervariasi juga antara 26
51 meter dengan temperatur sekitar 29oC. Sedangkan batas bawah lapisan termoklin
bervariasi antara 225 sampai 275 meter dengan kisaran temperatur antara 13 27 oC.
Lapisan dalam tercatat rata-rata dibawah 225 meter dengan temperatur lebih rendah
dari 13oC. Distribusi vertikal temperatur dari Stasiun 4 sampai 7 (4, 5, 6, dan 7) yang
melintasi perairan antara P. Simeulue dan P. Sumatera disajikan pada Gambar 3 (a).
Gambar 3 (b) menyajikan distribusi vertikal temperature yang melintasi Stasiun 2, 5,
10, dan 11, dengan posisi barat laut ke arah tenggara perairan P. Simeulue. Kedua
gambar tersebut menunjukkan dengan lebih jelas bahwa lapisan permukaan perairan
ini tercatat pada kedalaman 0 50 m dengan temperature berkisar 29 30oC dan
Salinitas
Profil salinitas yang disajikan pada Gambar 5 menunjukkan hal yang serupa
dengan temperature dimana lapisan permukaan teramati sampai kedalaman 50 m
dengan nilai salinitas berkisar 33,1 33,5 PSU. Salinitas lebih dari 34 PSU teramati
mulai dari kedalaman 50 m sampai dasar dan mencapai maksimum, yaitu 35,13 PSU
pada kedalaman 100 150 m. Hal ini akan dijelaskan lebih terperinci melalui
diagram T-S yang disajikan pada Gambar 8.

Kesimpulan
Pada umumnya sifat-sifat massa air (temperatur dan salinitas) di perairan P.
Simeulue dan sekitarnya pada tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan sebelum terjadi
tsunami pada bulan Desember 2004. Ini berarti bahwa meskipun ekosistem perairan
berubah namun pengaruh tsunami terhadap kondisi oseanografi fisika perairan hanya
terjadi sesaat (temporer/tidak permanen). Setelah itu normal kembali karena perairan
Aceh terbuka terhadap perairan Samudera Hindia, dan dengan adanya sistem arus
global yang berjalan aktif maka penyegaran massa air berlangsung aktif pula

Anda mungkin juga menyukai