Anda di halaman 1dari 16

Faktor Resiko dan Manifestasi Klinis Sindrom Down

Francisca Noveliani - 102013016


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp. (021) 56742061
francisca.2013fk016@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Down syndrome adalah kelainan genetik yang terjadi pada sekitar 1 dari 800
kelahiran hidup. Ini adalah penyebab utama dari kerusakan kognitif. Down syndrome
dikaitkan

dengan ringan

sampai

sedang

ketidakmampuan

belajar,

keterlambatan

perkembangan, fitur wajah yang khas, dan otot rendah di masa kanak-kanak awal. Banyak
orang dengan sindrom Down juga memiliki kelainan jantung, leukemia, awal-awal penyakit
Alzheimer , gastro-intestinal masalah, dan masalah

kesehatan

lainnya. Gejala-gejala

sindrom Down berkisar dari ringan sampai parah. Harapan hidup untuk individu dengan
sindrom Down telah secara dramatis meningkat selama beberapa dekade terakhir sebagai
perawatan medis dan inklusi sosial telah membaik. Seseorang dengan sindrom Down dalam
kesehatan yang baik akan rata-rata hidup sampai usia 55 atau lebih.
Untuk mengetahui adanya resiko kelahiran, dapat dilakukan berbagai pemeriksaan untuk
memastikan keadaan janin selama dalam masa kehamilan. Dari pemeriksaan yang bermacammacam tersebut juga di butuhkan beberapa indikasi sebagai acuan untuk dilakukannya
permeriksaan-pemeriksaan tersebut. Secara singkat indikasi untuk diagnosis prenatal adalah
sebagai berikut : 1, 2
1. Kehamilan tunggal dengan usia 35 tahun saat pelahiran
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani
pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai
meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis.
Pada usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan
kromosom adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis
prenatal pada usia 33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.
2. Kehamilan kembar dizigotik dengan usia 31 tahun pada saat pelahiran
Dengan dua janin, hukum probabilitas menyebutkan bahwa kesempatan salah satu
atau keduanya akan menderita sindrom Down lebih besar dibandingkan bila hanya
ada satu janin. Risiko trisomi 21 pada kehamilan kembar harus dihitung setelah
mempertimbangkan risiko sindrom Down yang terkait usia ibu.
3. Riwayat kelahiran trisomi autosomal
1

Wanita yang sekurang-kurangnnya pernah sekali hamil trisomi mempunyai risiko


kira-kira 1 persen untuk mengalami kehamilan trisomi autosom yang sama atau
berbeda. Hal ini berlaku sampai risiko terkait umur mereka mencapai lebih dari 1
persen, yaitu pada saat risiko yang lebih itnggi mendominasi.
4. Riwayat kehamilan 47,XXX atau 47,XXY
Wanita yang anak sebelumnya menderita 47,XXY tidak beresiko tinggi untuk
mengalami kembali kehamilan ini, karena kromosom ekstra pada situasi ini berasal
dari ayah, dan kesalahan dari ayah peluangnya kecil untuk berulang. Sama halnya
dengan 45,X mempunyai resiko sangat rendah untuk berulang.
5. Pasien atau pasangan adalah pembawa sifat translokasi kromosom
Untuk sebagian besar translokasi, risiko anak lahir hidup abnormal yang diamati lebih
kecil daripada resiko teoritisnya, karena sebagian gamet menghasilkan konseptus
yang tidak mampu bertahan hidup.
6. Pasien atau pasangan adalah pembawa sifat inversi kromosom
Risiko setiap pembawa sifat ditentukan oleh metode penetapannya, kromosom yang
terlibat, dan besarnya inversi, sehingga harus ditetapkan secara individu.
7. Riwayat triploidi
Lebih dari 99 persen konseptus triploid gugur pada trimester pertama atau kedua
awal. Jarang sekali janin yang berkembang. Jika triploid yang terjadi pada janin
bertahan melewati trimester pertama, risiko pengukangan adalah 1 sampai 1,5 persen,
cukup untuk menguatkan diagnosis prenatal.
8. Beberapa kasus keguguran berulang
Beberapa keguguran dini berulang akibat aneuploidi

cenderung disebabkan oleh

inversi atau translokasi pada ibu atau ayahnya. Aneuploidi nontrisomik ini akan
meningkatkan resiko mengalami kehamilan selanjutnya dengan kariotipik yang sama.
Hal ini membenarkan dilakukannya diagnostik prenatal pada kehamilan-kehamilan
berikutnya jika tidak terjadi keguguran dini. Dengan melihat fakta- fakta ini,
penentuan kariotipe pada orang tua dan bukannya kariotipe jaringan abortus setelah
keguguran dini berulang dapat memberikan informasi yang amat berguna mengenai
risiko pengulangan.
9. Pasien atau pasangan mempunyai aneuploidi
Wanita trisomi 21 atau 47, XXX serta laki-laki 47,XYY biasanya fertil dan
mempunyai 30 persen resiko mempunyai keturunan trisomi.
10. Defek struktural mayor janin pada pemeriksaan ultrasonografi
2

Kondisi ini cukuo meningkatkan resiko aneuploidi sehingga mengharuskan


pemeriksaan genetik pada janin, tanpa memandang umur ibu atau kariotipe orang tua.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bayi yang diperkirakan memiliki sindrom Down meliputi:

Memeriksa tubuh bayi untuk fitur fisik sindrom Down, seperti wajah datar, mata
yang miring ke atas, lipatan di tengah telapak tangan (simian lipatan), telinga

berbentuk tidak normal, lidah yang menonjol keluar, dan otot longgar dan sendi.
Meneliti telinga, hidung, dan tenggorokan untuk infeksi pernapasan.
Mendengarkan hati untuk kemungkinan cacat. Bahkan jika tidak ada bunyi jantung
yang tidak biasa didengar, bayi membutuhkan evaluasi jantung lengkap oleh spesialis
jantung dan pediatrik echocardiogram . Hal ini sangat penting untuk memiliki hal ini

dilakukan agar masalah jantung dapat dideteksi dini.


Meneliti mata untuk katarak, strabismus, dan nystagmus . Pemeriksaan untuk katarak
secara

rutin

dilakukan

selama

tahap

baru

lahir

(lahir

sampai

usia

bulan). Pemeriksaan untuk strabismus dan nystagmus mungkin tertunda tetapi harus

dilakukan pada saat bayi berusia 6 bulan.


Mengevaluasi sistem saraf dengan menguji refleks bayi. 3, 4

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis prenatal dimaksudkan untuk menentukan apakah janin yang berisiko besar
terhadap beberapa penyakit genetic benar terkena. Hasil uji akan negative untuk lebih dari
95% keluarga, sehingga mengurangi kecemasan pasangan yang terlibat sampai beberapa
bulan. Diagnosis positif memungkinkan orang tua memilih langkah tindakan mereka
selanjutnya. 5
Indikasi paling lazim untuk diagnosis prenatal adalah usia ibu yang lanjut. Meningginya
risiko trisomi pada anak dengan meningkatnya usia ibu bersifat relative, dan tidak ada usia
khusus ibu yang harus dianggap sebagai lanjut; sebagian besar RS menggunakan criteria 35
tahun. Risiko yang spesifik-usia pada janin pengidap trisomi autosomal yang dideteksi
setelah amniosentesis meningkat dari 0,9% pada usia 35-36 tahun, sampai 7,8% pada usia 4344 tahun. Bila anak yang lahir sebelumnya terkena trisomi, risiko rekurensi kira-kira 0,5%
bagi perempuan di bawah usia 35 tahun, dan setara dengan risiko spesifik-usia pada
perempuan yang lebih dari 35 tahun. Orang tua menampakkan kecemasan besar tentang
kesejahteraan janin, dan dianggap perlu melakukan diagnosis prenatal pada kehamilan
berikutnya. 5
3

Pemeriksaan penunjang yang kemudian akan dilakukan pada prenatal diagnostic ini adalah :
1. Uji genetic prenatal (amniosentesis atau pengambilan sampel vilus korion) dapat
mengidentifikasi janin pengidap sindrom Down. 6
Amniosentesis. Cara untuk mengetes kemungkinan adanya kelainan kromosom pada
bayi yang masih terdapat di dalam kandungan ibunya dinamakan amniosentesis.
Cairan amnion berikut sel-sel bebas dari fetus (bayi dalam kandungan) diambil
sebanyak 10-20 cc dengan menggunakan jarum injeksi. Waktu yang paling baik untuk
melakukan amniosentesis ialah pada kehamilan 14-16 minggu. Jika terlalu awal
dilakukan, cairan amnion belum cukup banyak, sedang jika terlambat melakukannya
maka akan lebih sulit untuk membuat kultur dari sel-sel fetus yang ikut terbawa cairan
amnion. 7 Amniosentesis hampir selalu dikerjakan secara transabdomen karena
besarnya resiko infeksi jika dilakukan secara transvaginal. Kadang-kadang
amniosentesis digunakan untuk terapi (missal, hidramnion). Lakukan pemeriksaan
USG segera sebelum amniosentesis untuk memandu jarum aspirasi. Keterangan
minimal yang didapat dari USG harus meliputi jumlah janin, aktivitas jantung janin,
diameter biparietal janin (dan kadang-kadang panjang femur atau lingkar perut), letak
plasenta dan lokasi terbaik untuk penempatan jarum. 8
Siapkan abdomen dengan memberikan bahan bakterisidal dan suntikan obat anestesi
local (elektif). Gunakan jarum terkecil yang cukup untuk mengambil sampel
(biasanya nomor 22) dan tusukkan jarum sedikit saja ke dalam ruang amnion.
Ambilah kira-kira 15 ml cairan untuk diagnostic. Rekamlah keadaan janin dengan
USG pada akhir tindakan. Berikan immunoglobulin-Rh untuk pasien dengan Rhnegatif yang belum tersensitisasi yang menjalani amniosentesis. 8
Cairan amnion normal jernih hingga sedikit kekuningan. Pada kehamilan lanjut,
cairan amnion dapat mengandung bintik-bintik (flek) verniks atau rambut lanugo. Jika
mengandung darah, mungkin darah ibu ikut teraspirasi. Namun, sel darah merah tidak
mempengaruhi analisis pertumbuhan sel di janin atau analisis lainnya. Periksalah
cairan berwarna hijau hingga coklat kehijauan di bawah mikroskop. Jika terlihat
bahan tertentu (mekonium) dan bukan darah lama (perdarahan janin), kemungkinan
kematian janin adalah sekitar 50%. 8
Sel-sel fetus setelah melalui suatu prosedur tertentu lalu dibiakkan dan 2-3 minggu
kemudian diperiksa kromosomnya untuk dibuat karyotipenya. Apabila terlihat adanya
3 buah autosom no.21, maka secara prenatal sindrom Down sudah dapat dipastikan
pada bayi itu. 7
4

Amniosentesis merupakan suatu prosedur yang cukup aman dengan kemungkinan


penyulit pasca tindakan berupa abortus, setinggi kira-kira 0,5-1% dari seluruh
tindakan. Risiko infeksi diperkirakan terjadi pada 1-2 kejadian per 3000 tindakan.
Ditengarai 10-50% kasus abortus spontan pascaamniosentesis disebabkan oleh adanya
infeksi subklinik. Penyulit lain yang mungkin terjadi adalah kebocoran cairan
ketuban, perdarahan, dan kontraksi uterus yang berlanjut yang diperkirakan terjadi
pada 1-5% dari seluruh prosedur.
Pengambilan Sampel Vilus Korion. Pengambilan sampel vilus korion mencakup
pengambilan sel-sel korion, yaitu sel-sel yang terdapat pada batas luar membrane
jann. Sel-sel tersebut diperoleh dengan menempatkan jarum melalui abdomen
terbawah atau serviks wanita pada kehamilan antara 8 sampai 12 minggu. Sel-sel ini
tidak perlu dibiak, sehingga analisis kromosom korion dapat dilakukan lebih dini dari
8-12 minggu gestasi. Walaupun demikian, karena telah dilaporkan adanya kasus
sporadic kelainan tungkai congenital atau kelainan lain setelah prosedur ini, prosedur
ini akhirnya dihentikan. 6
Keuntungannya adalah diagnosis yang lebih awal. Kerugiannya mencakup angka
kehilangan janin terkait prosedur yang tinggi (1-2%), potensi kontaminasi sel ibu dan
pengambilan sel yang terkait plasenta bukan janin. CVS yang dilakukan pada usia 9
minggu berhubungan dengan peningkatan defek reduksi ekstremitas sebanyak 3 kali
lipat. 9
2. Pemeriksaan darah ibu dapat mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi mengidap
sindrom Down. Dalam sebuah uji yang disebut uji quad, empat bahan maternal yang
bersirkulasi ditubuh diukur selama trimester kedua kehamilan. Setelah didapatkan
hasilnya, kasus sindrom Down pada ibu adalah 75% pada ibu berusia kurang dari 35
tahun dan 85-90% pada ibu berusia 35 tahun atau lebih. Bahan maternal ini meliputi: 6
a. Estrio tak-terkonjugasi (uE3). uE3 diproduksi oleh plasenta. Kadarnya menurun
sekitar 25% dalam serum ibu yang kehamilannya disertai sindrom Down
dibandingkan kehamilan tanpa sindrom Down
b. Alfafetoprotein (AFP). AFP adalah protein serum utama dari janin. AFP berpindah
dari sirkulasi janin ke sirkulai maternal. Kadar AFP menurun pada serutm maternal
ibu yang mengandung janin sindrom Down. Kadar AFP juga digunakan untuk
mendeteksi defek tuba neural janin dan anensefali, dan kadar AFP meningkat pada
kedua defek ini.

c. Human Chorionic Gonadotropin (hCG). hCG diproduksi selama kehamilan, awalnya


oleh trofoblas dan kemudian oleh plasenta. Kadarnya dalam serum maternal lebih
tinggi pada kehamilan dengan sindrom Down dibandingkan tanpa sindrom Down.
d. Inhibin A. Inhibin A adalah suatu glikoprotein yang dibentuk selama kehamilan
terutama oleh plasenta. Inhibin A meningkat pada ibu yang mengandung janin
sindroma Down.
3. Skrining ultrasound prenatal menunjukkan adanya tanda-tanda fisik janin sindrom
Down, terutama kelainan dalam ketebalan nuchal (bagian belakang leher)
4. Karyotyping genetic setelah lahir dapat memastikan diagnosis klinis sindrom Down. 6
Diagnosis Banding
Dari sudut sitologi dapat dibedakan dua tipe sindroma Down:
Sindroma Down Triplo-21 atau trisomi 21, sehingga penderita memiliki 47 kromosom.
Penderita laki-laki = 47, XY, +21 sedang penderita perempuan = 47, XX, +21. Kira-kira
92,5% dari semua kasus sindroma Down tergolong dalam tipe ini. 7
Sindroma Down Translokasi. Translokasi ialah peristiwa terjadinya perubahan struktur
kromosom, disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambungan dengan potongan
kromosom lainnya yang bukan homolognya. Pada sindroma Down translokasi, lengan
panjang dari autosom nomor 21 melekat pada autosom lain, kadang-kadang dengan autosom
nomor 15 tetapi yang lebih sering dengan autosom nomor 14. Dengan demikian individu
yang menderita sindroma Down translokasi memiliki 46 kromosom. Kromosom yang
mengalami translokasi dinyatakan dengan tulisan: t(14q21q) yang dapat diartikan t =
translokasi; 14q = lengan panjang dari autosom 14; 21q = lengan panjang dari autosom 21
(lengan pendek dari sebuah kromosom dinyatakan dengan huruf p). penderita dari kedua tipe
sindroma Down itu identik. 7
Ada fusi bagian kromosom 21 dan bagian kromosom 15, tetapi individu yang membawa
abnormalitas ini tidak akan terkena karena meskipun ia memiliki kromosom abnormal dalam
hal ini dia memiliki bagian-bagian dua kromosom yang melekat, ia masih tidak memiliki
kelebihan material kromosom. Tetapi dari anak-anaknya yang menerima kromosom
abnormalnya dan juga menerima kromosom 21 normalnya akan secara efekif trisomi, karena
mereka akan menerima kromosom 21 normal dari orangtua mereka lainnya. 10
Sindrom Down tipe ini terjadi pada anak-anak dari ibu yang lebih muda dan dapat dipahami
bahwa ini tidak tergantung pada kecelakaan kromosom yang sebagian diakibatkan oleh umur
ibu, tapi disebabkan oleh pewarisan langsung kromosom abnormal. Bilamana ada riwayat
keluarga dengan sindroma Down pada kerabat, atau bilamana ada seorang ibu muda telah
melahirkan satu sindroma Down dan tampaknya akan memiliki anak-anak lagi adalah
bermanfaat untuk memeriksa kromosomnya dan kromosom suaminya. Adalah tugas dokter
6

untuk melaksanakan penyelidikan ini. Jika ditemukan suatu translokasi pada salah satu dari
orangtuanya, akan tampak bahwa ada peluang anak untuk mewarisi translokasi. Jika
mewarisi kedua translokasi dan satu kromosom 21 dari orangtua pengembannya, maka ia
akan memiliki sindroma Down karena memiliki kromatin ekstra, kromatin 21 lainnya berasal
dari orangtua normalnya. Tetapi, gamet abnormal terbentuk lebih jarang daripada yang
normal, khususnya pada laki-laki, sehingga jika ayahnya pengemban translokasi ramalannya
tidak akan begitu suram daripada yang diduga di atas. 10
Etiologi
Sekitar 95% dari semua kasus sindrom Down dikaitkan dengan kelebihan kromosom 21
(kelompok G), sehingga disebut trisomi 21. Walaupun anak yang memiliki trisomi 21
dilahirkan dari orang tua semua usia, secara statistic terdapat risiko yang lebih besar pada
wanita lebih tua, terutama mereka yang berusia lebih dari 35 tahun. Misalnya, pada wanita
berusia 30 tahun insidens sindrom Down sekitar 1 dalam 1500 kelahiran hidup, tetapi pada
wanita berumur 40 tahun insiden sekitar 1 dalam 100. Namun, mayoritas (80%) bayiyang
menderita sindrom Down dilahirkan oleh wanita berusia kurang dari 35 tahun. Pada kurang
dari 5% kasus, usia ayah juga merupakan factor, terutama pada pria berusia 55 tahun atau
lebih.11
Sekitar 3% sampai 4% kasus mungkin disebabkan oleh translokasi kromosom 15 dan 21 atau
22. Tipe aberasi genetic ini biasanya diturunkan dan tidak berhubungan dengan usia orang tia
yang lanjut. Dari 1% sampai 2% individu yang menderita menunjukkan mosaisisme, yaitu sel
yang memiliki kromosom normal dan abnormal. Tingkat kerusakan fisik dan kognitif
berhubungan dengan persentase sel yang tersusun dari kromosom abnormal. 11
Semenjak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun 1959, maka
sekarang perhatian lebih dipusatkan pada kejadian nondisjunctional sebagai penyebabnya,
yaitu: 12
1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap non-disjunctional. Bukti yang
mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang
menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak
dengan sindrom Down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya non-disjunctional pada
sindrom Down ini. Uchida 1981 menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan
anak dengan sindrom Down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelim

terjadinya konsepsi. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan adanya hubungan


antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom Down. Sampai
saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat
mengakibatkan terjadinya non-disjunction
4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkiraan sebagai etiologi sindrom Down adalah autoimun.
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian
Fialkow 1966 secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibody tiroid
pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu control yang
umurnya sama.
5. Umur Ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang
dapat menyebablan non-disjunction pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti
meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya
konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan
peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing hormone) dan FSH (Follicular
Stimulating Hormon) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunction.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan adanya pengaruh
dari umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down
mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya.
Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu. 12
Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan kimia dan frekuensi
koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab dari sindrom Down. 12
Epidemiologi
Trisomi 21 terjadi pada semua daerah di dunia dan pada semua kelompok ras. Prevalensinya
adalah 1 dalam 700 kelahiran hidup. Insidensi ini dan aneuploidi kromosom lain meningkat
seiring dengan meningkatnya usia ibu; insidensinya adalah 1:2000 pada usia 20 tahun dan 25% sesudah usia 40 tahun. Pada banyak konsepsi, trisomi 21 menyebabkan aborsi spontan.
Pada kehamilan 20 minggu, janin dengan trisomi 21 hanya mempunyai sedikit temuantemuan fenotip yang mendukung diagnosis; namun pada bayi cukup bulan, kebanyakan bayi
yang terkena mempunyai manifestasi klinis yang member kesan diagnosis. 13

Patofisiologi
Lahirnya anak sindrom Down itu berhubungan erat dengan umur ibu. Tidak ada korelasi yang
konsisten dengan umur ayah. Seorang perempuan lahir dengan semua oosit yang pernah
dibentuknya, yaitu berjumlah hampir tujuh juta. Semua oosit tadi berada dalam keadaan
istirahat pada profase I dari meiosis sejak sebelum ia lahir sampai mengadakan ovulasi.
Dengan demikian maka suatu oosit dapat tinggal dalam keadaaan istirahat untuk 12-45 tahun.
Selama waktu yang panjang itu, oosit dapat mengalami nondisjunction. Berhubung dengan
itu penderita sindroma Down biasanya lahir sebagai anak terakhir dari suatu keluarga besar
atau dari seorang ibu yang melahirkan pada usia agak lanjut. 7
Sebaliknya, testis menghasilkan kira-kira 200 juta spermatozoa sehari dan meiosis di dalam
spermatosit keseluruhannya membutuhkan waktu 48 jam atau kurang. Berhubung dengan itu
nondisjuction boleh dikata tidak pernah berlangsung selama spermatogenesis. 7
Pada sindroma Down trisomi 21, nondisjunction dalam meiosis I menghasilkan ovum yang
mengandung dua buah autosom nomor 21 dan bila ovum ini dibuahi oleh spermatozoa
normal yang membawa autosom 21, maka terbentuklah zigot trisomi 21. 7
Ada beberapa pendapat tentang mengapa terjadi nondisjunction, yaitu:
a. Mungkin disebabkan adanya virus atau karena ada kerusakan akibat radiasi.
Gangguan ini makin mudah berpengaruh pada wanita yang berumur tua.
b. Mungkin disebabkan adanya pengandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Sel telur akan mengalami kemunduran apabila setelah satu jam berada di dalam
saluran fallopi tidak dibuahi. Oleh karena itu para ibu yang berusia agak lanjut
(melebihi umur 35 tahun) biasanya akan menghadapi risiko lebih besar untuk
mendapatkan anak sindroma Down Triple 21.
Akan tetapi seperti diketahui, kadang-kadang dijumpai penderita sindroma Down yang hanya
memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita sindroma Down translokasi 46,
t(14q21q). setelah kromosom dari orangtuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal,
tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14 dan
satu autosom translokasi 14q21q. jelaslah bahwa ibu itu merupakan carrier yang walaupun
memiliki 45kromosom 45, XX, t(14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya, laki-laki carrier
sindroma Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang tidak
diketahui.
Ibu yang menjadi carrier tadi, yaitu 45, XX, t(14q21q) akan membentuk sel telur dengan
berbagai kemungkinan, seperti: 7
1. Sel telur yang membawa autosom 14, 21
2. Sel telur yang membawa autosom translokasi 14q21q
9

3.
4.
5.
6.

Sel telur yang membawa autosom t(14q21q), +21


Sel telur yang membawa autosom 14
Sel telur yang membawa autosom t(14q21q), +14
Sel telur yang membawa autosom 21

Jadi perkawinan orang laki-laki normal (46, XY) dengan perempuan carrier sindroma
Down translokasi yang tampak normal, yaitu 45, XX, t(14q21q) seperti kasus di muka ini
diharapkan menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal: 1 sindroma
Down. Tambahan atau hilangnya kromosom besar (baik trisomi atau monosomi) bersifat
letal. 7
Hipotesis lain mengusulkan bahwa perubahan structural, hormonal, dan imunologis yang
terjadi di uterus seiring dengan pertambahan usia menghasilkan lingkungan yang tidak
mampu menolak pertumbuhan mudigah yang cacat. Karena itu, uterus yang tua lebih besar
kemungkinannya menunjang konseptus trisomi 21 hingga aterm tanpa bergantung pada siapa
(ibu atau ayah) yang member tambahan kromosom. Hipotesis ini dapat menjelaskan mengapa
kesalahan nondisjunction ayah meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu. Namun,
hipotesis ini tidak menjelaskan mengapa insidens sindrom Down akibat tata-ulang kromosom
tidak meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. 14

Gejala Klinis
Pola gambaran fisik bersifat khas dan memungkinkan pengenalan bahkan dalam periode
neonatal. Sebagian besar temuan wajah dan anggota gerak yang terlihat pada orang dengan
sindrom Down tidak abnormal secara sendiri-sendiri, tetapi konstelasi total gambaran itu
khas. Tabel memuat daftar frekuensi temuan fenotipik lazim yang terdapat pada bayi baru
lahir. Brakisefali, telinga kecil, fisura palpebra miring ke atas, pangkal hidung rendah, bagian
tengah wajah datar, pipi penuh, dan wajah meringis saat menangis adalah ciri kraniofasial
yang paling konsisten dan bersama-sama menghasilkan penampilan yang khas. Walaupun
lipatan epikantus dan linea simian sering dicari dalam menentukan sindrom ini, masingmasing hanya mempunyai frekuensi sekitar 50%. Brakidaktili merupakan temuan tangan
yang lebih konsisten disbanding perubahan pada garis palmar. Garis fleksi tunggal pada jari
kelima, walaupun tidak tampak pada semua bayi, tidak lazim terdapat pada populasi umum
dan merupakan ciri penting. Telinga kecil (kurang dari 3,2 centimeter pada bayi baru lahir)
dan hipotonia terlihat pada 90% bayi baru lahir. 5
Defek penyakit jantung congenital terjadi pada 30-50% anak dengan sindrom Down: sekitar
sepertiga lesi berupa defek bantalan endokardium; sekitar sepertiga adalah defek septum
10

ventrikel; terjadi defek septum atrium tipe sekundum dan juga terdapat tetralogi Fallot.
Malformasi gastrointestinal terjadi 5-7%, biasanya atresia duodenalis. Penderita sindrom
Down mempunyai peningkatan mortalitas pada usia 10 tahun pertama kehidupannya, bahkan
bila mereka yang dengan penyakit jantung tidak dimasukkan dalam analisis ini. Namun,
sebanyak 90% anak tanpa defek jantung congenital hidup sampai masa remaja. Mortalitas
yang lebih besar pada masa kanak-kanak lebih banyak akibat infeksi, terutama pneumonia.
Alasan atas kerentanan ini tidak semuanya diketahui, tetapi terdapat bukti abnormalitas
fungsi limfosit T. abnormalitas anatomi system respirasi, seperti refluks gastroesofageal,
hipertensi pulmonal primer dan apnea obstruktif saat tidur, terjadi dalam frekuensi meningkat
pada sindrom Down dan mungkin sebagian bertanggung jawab terhadap meningkatnya
insiden infeksi. 5
Tabel 1. Gejala Klinis Sindroma Down 5
Ciri
Kraniofasial
Mikrosefali
Oksiput datar
Pusaran rambut posterior di sentral
Telinga kecil (3,2 cm)
Kelebihan kulit tengkuk leher
Fisura palpebra miring ke atas
Lipatan epikantus
Bercak brushfield
Jembatan hidung datar
Menyeringai saat menangis
Palatum pendek dan sempit
Lidah menjulur
Garis vertical bibir bawah
Pipi penuh
Anggota gerak
Tangan lebar dan pendek
Kinodaktili, jari ke-5
Linea Simian
Dermatoglifik khas
Jarak antara jari kaki 1 dan 2 lebar
Garis telapak kaki banyak
Neurologik
Hipotonia

Frekuensi (%)
50
60-80
50
95
80
70-90
50-70
30-80
60-80
Sering
60-90
40-60
50
Sering
70
60
40-60
99
50-90
65
40-80

Riwayat alami sindrom Down pada masa kanak-kanak terutama ditandai oleh keterlambatan
perkembangan, retardasi pertumbuhan , dan imunodefisiensi. Keterlambatan perkembangan
biasanya sudah tampak pada usia 3-6 bulan sebagai kegagalan mencapai tahapan-tahapan
penting perkembangan sesuai-usia dan memengaruhi semua aspek fungsi motorik dan
11

kognitif. IQ rerata antara 30 dan 70 dan menurun seiring dengan pertambahan usia. Namun,
derajat retardasi mental pada orang dewasa dengan sindrom Down cukup bervariasi, dan
banyak pengidap dapat hidup semi-independen. Secara umum, keterampilan kognitif lebih
terbatas daripada kemampuan afektif, dan hanya sebagian kecil pengidap yang mengalami
retardasi berat. 14
Penatalaksanaan
Anak dengan sindrom Down diperlukan penanganan secara multidisiplin. Selain penanganan
secara medis, pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian disamping partisipasi dari
keluarganya. 12
Penanganan secara medis
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama dengan
anak normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis,
serta dukungan dan bimbingan dari keluarganya. Tetapi terdapat beberapa keadaan dimana
anak dengan sindrom Down memerlukan perhatian khusus, yaitu dalam hal: 12
1. Pendengarannya
70-80% anak dengan sindrom Down dilaporkan terdapat gangguan pendengaran. Oleh
karenanya diperlukan pemeriksaan telinga sejak awal kehidupannya, serta dilakukan
tes pendengaran secara berkala oleh ahli THT.
2. Penyakit Jantung Bawaan
30-40% anak dengan sindrom Down disertai dengan penyakit jantung bawaan.
Mereka memerlukan penanganan jangka panjang oleh seorang ahli jantung anak.
3. Penglihatannya
Anak dengan kelainan ini sering mengalami gangguan penglihatan atau katarak.
Sehingga perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
4. Nutrisi
Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan congenital yang berat lainnya, akan
terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi/prasekolah. Sebaliknya ada juga kasus
justru terjadi obesitas pada masa remaja atau setelah dewasa. Sehingga diperlukan
kerja sama dengan ahli gizi.
5. Kelainan tulang
Kelainan tulang juga dapat terjadi pada sindrom Down, yang mencakup dislokasi
patella, subluksasio pangkal paha atau ketidakstabilan atlantoaksial. Bila keadaan
yang terakhir ini sampai menimbulkan depresi medulla spinalis, aau apabula anak
memegang kepalanya dalam posisi seperti tortikolis, maka diperlukan pemeriksaan
radiologis untuk memeriksa spina servikalis dan diperlukan konsultasi neurologis.
6. Lain-lain

12

Aspek medis lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahlinya, meliputi masalah
imunologi, gangguan fungsi metabolism atau kekacauan biokimiawi. 12
Pada akhir-akhir ini dengan kemajuan dalam bidang biologi molekuler, maka memungkinkan
dilakukan pemeriksaan secara langsung kelainan genetic yang mendasari sindrom Down. 12
Dengan intervensi dini yang dilakukan pada bayi dengan sindrom Down dan keluarganya,
menyebabkan kemajuan yang tidak mungkin dicapai oleh mereka yang tidak mengikuti
program tersebut. Pada akhir-akhir ini, terdapat sejumlah program intervensi dini yang
dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberikan lingkungan yang memadai bagi
anak dengan sindrom Down makin meningkat. Anak akan mendapat manfaat dari stimulasi
sensoris dini, latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, dan petunjuk
agar anak mampu berbahasa. Demikian pula dengan mengajari anak agar mampu menolong
diri sendiri, seperti belajar makan, buang air besar/kecil, mandi, berpakaian, akan member
kesempatan anak untuk belajar mandiri. Telah disepakati secara umum bahwa kualitas
rangsangan lebih penting daripada jumlah rangsangan, dalam membentuk perkembangan
fisik maupun mental anak. Oleh karena itu perlu dipergunakan stimuli-stimuli yang spesifik.
12

Komplikasi
Defek congenital jantung atau organ lain sering terjadi berkaitan dengan sindrom Down. 6
Risiko leukemia di masa kanak-kanak dapat meningkat pada anak pengidap sindrom Down.
Hal ini berkaitan dengan pengamatan bahwa sebagian bentuk leukemia dapat berhubungan
dengan defek pada kromosom 21. Pengidap sindrom Down juga biasanya menderita
Alzheimer selama empat atau lema decade kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan hasil
pengamatan bahwa penyakit Alzheimer dapat muncul sebagian karena defek pada kromosom
21. 6
Sebagian 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa kehamilan 10
dan 16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium atau ibu mengalami
keguguran sebelum masa kehamilan 6 sampai 8 minggu. 6
Pencegahan
1. Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai akan sangat
membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down.
2. Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal juga
sebagai homologous recombination sebuah gen dapat dinonaktifkan.

13

3. Pencegahan

dapat

dilakukan

dengan

melakukan

pemeriksaan

kromosom

melalui

amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi
ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di
atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka
memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa
dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom.
Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui
pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko
untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan
analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada
plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada
kehamilan 14-16 minggu. 15
Edukasi
Konseling genetic adalah proses pendidikan keluarga mengenai keadaan yang diwariskan
atau keadaan yang dapat memengaruhi masa depan anak. Konseling dimulai begitu seseorang
mulai dievaluasi, dan berlanjut terus selama dokter berkontak dengan keluarga. Tanggung
jawab komunikasi juga dapat meluas sampai masa akan datang yang tidak terhingga jika
penanganan baru ditemukan atau jika metode baru untuk skrining atau diagnosis prenatal
tersedia. Cacat lahir baik genetic atau bukan, dan keadaan-keadaan genetic mempunyai
potensi dampak emosional yang berarti pada keluarga, sering karena kemungkinan perasaan
bersalah dari orangtua. Karena gangguan ini sering kali terjadi tanpa riwayat keluarga,
keluarga mungkin tidak memahami sifat keadaan tersebut sehingga berkembang mekanisme
penanganan maladaptive, yang akan berpengaruh buruk pada hasil jangka panjang anak.
Konseling genetic dapat membantu keluarga memahami keadaan tersebut, mengatasi rasa
takut mitos dan tersembunyi, serta lanjut proses mengatasi secara konstruktif masalah
tersebut. Konseling genetic harus meliputi pembahasan dengan istilah yang dapat dimengerti
mengenai sifat keadaan dan cara pewarisannya; jika keadaan tersebut tidak diwariskan, hal
ini harus dinyatakan secara tegas. Perkiraan risiko rekurensi, kemungkinan diagnosis
prenatal, prognosis, dan alternative penanganan juga harus dibahas pada konseling. 13
Prognosis
44% kasus dengan sindrom Down hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai umur 68 tahun.
Berbagai factor berpengaruh terhadap harapan hidup penderita sindrom Down ini. Yang
terpenting adalah tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini, yang
14

mengakibatkan 80% kematian. Kematian akibat dari penyakit jantung bawaan pada satu
tahun pertama kehidupan. 12
Keadaan lain yang lebih sedikit pengaruhnya terhadap harapan hidup penderita ini adalah
meningkatnya angka kejadian leukemia pada sindrom Down, sekitar 15 kali dari populasi
yang normal. Timbulnya penyakit Alzeimer yang lebih dini pada kasus ini, akan menurunkan
harapan hidup setelah umur 44 tahun. Juga anak dengan sindrom Down ini rentan terhadap
penyakit infeksi, yang sebabnya belum diketahui. 12
Setelah dua tipe sindroma Down dipelajari pembahasannya maka dapat diambil kesimpulan
bahwa trisomi-21 yang disebabkan karena adanya nondisjunction autosom no. 21 itu bukan
keturunan, melainkan semata-mata tergantung dari umur ibu diwaktu hamil. Sedangkan
sindroma Down yang disebabkan oleh translokasi autosom 14 atau 15 dengan autosom 21
dapat diturunkan, sebab seorang perempuan (yaitu si ibu) dapat normal nampaknya tetapi
sesungguhnya carrier sindroma translokasi. 7
Penutup
Sindrom down merupakan kumpulan dari berbagai kelainan yang disebabkan oleh adanya
ketidak normalan pada kromosom nomor 21. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya jumlah
berlebih pada kromosom nomor 21 atau adanya kesalahan pada translokasi. Kejadian down
syndrome sangat berkaitan erat dengan umur ibu saat masa kehamilan. Semakin tua umur
ibu, semakin besar pula resiko untuk terjadinya syndrome down. Sehingga, pemeriksaan
penunjang dengan tujuan diagnostic dibutuhkan untuk mengetahui kemungkinan adanya
resiko down syndrome. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penerita down syndrome
adalah salahsatunya dengan memberikan intervensi dini pada bagian pembelajaran, dan
menangani masalah lain secara simptomatik.
Daftar Pustaka
1. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Ed IV. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2009. Hal 736-44
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom KD.
Alih bahasa, Hartono A, Joko YS. Obstetri William. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2005; Edisi ke-21: 1084-112.
3. Liyanage S, Barnes J. The eye and Downs syndrome. Br J Hosp Med (Lond).
2008;69(11):632-4
4. Borgaonkar DS, Davis M, Bolling DR, Herr HM. Evaluation of dermal patterns in
Downs syndrome by predictive discrimination. I. Preliminary analysis based on
frequencies of patterns. Johns Hopkins Med J. Mar 1971;128(3):141-52.
15

5. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatric Rudolph voume 1.
Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2006: 319-42.s
6. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009: 47-63
7. Suryo. Genetika manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2003: 259-71.
8. Bensom RC, Pernoll ML. Buku saku obstetri & ginekologi. Edisi ke-9. Jakarta: EGC;
2009: 224-5.
9. Norwitz E, Schorge J. At a glance obstetri & ginekologi. Edisi ke-2. Jakarta:
Erlangga; 2007: 81.
10. Clarke CA. Genetika manusia dan kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Widya Medika;
1996: 74-116.
11. Wong DL, Eaton MH, Wilson D, Winkelstein ML, Schwartz P. Wong buku ajar
keperawatan pediatric volume 1. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2009: 713-4.
12. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC; 1995: 211-20.
13. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatric. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2010:
155-9.
14. McPhee SJ, Ganong WF.Patofiologi penyakit: pengantar menuju kdokteran klinis.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2011:25-31.
15. Manusia Genetika Molekuler. Genetika Molekuler Manusia. April 2009; vol 18

16

Anda mungkin juga menyukai