Anda di halaman 1dari 14

Arum sekar latih

1102012029
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Malpraktek
LO1.1 Definisi Malpraktek
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata mal yang berarti buruk dan practiceyang berarti suatu
tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakanmedis buruk yang dilakukan
dokter/tenaga kesehatan dalam hubungannya dengan pasien.Malparaktik adalah setiap kesalahan profesional
yang diperbuat oleh dokter/tenagakesehatan pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa,
tidak menilai,tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukanoleh
dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman,1950).
Menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan
pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh
setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama,dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah
dipublikasikan.Kelalaian medik.
Definisi Menurut Kedokteran
Kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau adanya kekurangan
keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pasien. Namun,tidak
semua kegagalan medis disebabkan oleh malpraktek kedokteran. Contohnya adalah perjalanan penyakir seorang
pasien yang semakin berat, reaksi tubuh yang tidak dapat diramalkan, komplikasi penyakit yang terjadi secara
bersamaan. (World Medical Association, 1992)
Sesuatu perbuatan atau sikap medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur 4D, yaitu:
a Duty. Ada kewajiban medis untuk melakukan tindakan medis tertentu terhadap pasien pada situasi
kondisi tertentu
b Derelection of that duty. Adanya penyimpangan kewajiban tersebut
c Damage. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan
kedokteran yang diberikan
d Direct causal relationship. Dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang nyata antara
penyimpangan kewajiban dengan kerugian
Definisi Menurut Hukum
Istilah malpraktek hanya digunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu
profesi; baik dibidang kedokteran maupun bidan hukum. Tindakan yang salah secara yuridis penal diartikan
setelah melalui putusan pengadilan. Tindakan yang salah dimaksud sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan
kerugian baik nyawa, maupun harta benda.
LO.1.2 Klasifiaksi Malpraktek

MALPRACTICE

MEDICAL MEDICAL MALPRACTICEMALPRACTICE


PROFESI LAIN LAINFESI LAIN

ETHICAL MALPRACTICE MALPRACTICE


YURIDICAL MALPRACTICE

CRIMINAL MALPRACTICE
1

CIVIL MALPRACTICE
ADMINISTRATIVE MALPRACTICE

a Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik pidana, yakni:
Perbuatan tersebut (positive/negative act) merupakan perbuatan tercela
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence)
o Intensional: melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal
332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa
indikasi medis (pasal 299 KUHP)
o Recklessness: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent
o Negligence: kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh
sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit / sarana kesehatan
b Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang
dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak
lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka RS / sarana kesehatan dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) tersebut dalam rangka
melaksanakan tugas kewajibannya.
c Administrative Malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga tenaga perawatan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa melakukan police power, pemerintah
mempunyai kewenangan menertibkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan
bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan
serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan
dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance:

Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum


atau
tidak tepat
/
layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai.
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak
tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medisdengan menyalahi
prosedur
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.

LO.1.3 Pasal-Pasal yang Mengatur Malpraktek


Peraturan Non Hukum
Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula merupakan peraturan non hukum
karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai
dengan Pasal 14, yaitu:

Pasal 10 KODEKI: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
makhluk insani
Pasal 11 KODEKI: Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam
bidang penyakit tersebut
Pasal 13 KODEKI: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia
Pasal 14 KODEKI: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan
pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu dapat terkena sasaran
tuntutan malpraktek juga

Peraturan Hukum
1

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau menimbulkan
harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan kematian)
g Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan seseorang)
i
Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j
Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang bersangkutan)
k Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l
Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus criminalis)
m Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam keadaan bahaya)

Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam penyelenggaraan
praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum pidana sebagai alternatif terakhir
apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul.
Selain iitu juga karena praktek kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh
banyak orang dan praktek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.
2

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:


a Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan kerugian)
d Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh bawahannya)
3

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan


a Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan)
b Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan tindakan medis
tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu hamil)
c Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan transplantasi
organ tubuh untuk tujuan komersil)
d Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian sengaja melakukan
transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil organ tanpa
memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran


a Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek kedokteran bertujuan
untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan Ketiga
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi)
b Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap dokter dan
dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar pelayanan. Standar
pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktek kedokteran)
c Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap dokter harus
mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil kedokteran. Sedangkan surat izin
praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota
tempat praktek kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi
suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak mempunyai surat
registrasi dan surat izin praktek, maka selain dokter tersebut tidak sah, masyarakat juga tidak
berani di diagnosa oleh dokter tersebut karena takut terjadi malpraktek)

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan


a Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya
kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau kelalaian
Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua macam perjanjian,
yaitu:
Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya
upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan
Resultaatbintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan result, yaitu
sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
LO.1.4 Alur Hukum

Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukankesalahan profesi belum
tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan
pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred,
1991).Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan
pembuktian culpa lata daridokter atau dokter gigi.Dengandemikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum
pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360,

KUHP.Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Tiga tingkatan culpa:
a Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (grossfault or neglect)
b Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
c Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241).
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus
mengajukan buktibuktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan
sudah demikian jelasnya ( res ipsa loquitur, thething speaks for itself ) sehingga tidak diperlukan saksi
ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.

MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN (MKEK)


Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma
hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk
dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk
mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya
majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan
kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang
dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran
etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Fungsi MKEK
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif
melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara
formil tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun
perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian
yang lazim. Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1 Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak
lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2 Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti
keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit
tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat,
rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Tugas MKEK
1
2
3
4
5

Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik kedokteran, termasuk
perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.
Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus cabang.
Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik profesi, baik
pemerintah maupun organisasi profesi lain
Bertanggung jawab kepada musyawarah cabang.

MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA ( MKDKI )

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu
kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia, dan dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen, serta bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia. Berkedudukan di ibu kota negara
Republik Indonesia. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil
Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Pimpinan MKDKI terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris. Keanggotaan
MKDKI terdiri atas 3 orang dokter gigi dan organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang
dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 orang sarjana hukum. Anggota MKDKI ditetapkan oleh
Menteri atas usul organisasi profesi. Masa bakti keanggotaan MKDKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
adalah 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Pimpinan MKDKI dipilih dan ditetapkan
oleh rapat pleno anggota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MKDKI diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Fungsi MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga Negara yang berwenang untuk :
1 Menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter/dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran/kedokteran gigi
2 Menetapkan sanksi bagi dokter/dokter gigi yang dinyatakan bersalah.
3 Dasar pembentukan dan kewenangan MKDKI adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
Tugas MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
1 Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
yang diajukan
2 Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Sebagian dari aturan dan ketentuan
tersebut terdapat dalam UU Praktik Kedokteran, dan sebagian lagi tersebar didalam Peraturan Pemerintah,
Permenkes, Peraturan KKI, Pedoman Organisasi Profesi, KODEKI, Pedoman atau ketentuan lain.
Pelanggaran disiplin pada hakikatnya dibagi menjadi :
1 Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2 Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
3 Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau gigi dalam menjalankan
praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI. Pengaduan sekurang-kurangnya
harus memuat :
1 Identitas pengadu
2 Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan dan
3 Alasan pengaduan.
Pengaduan sebagaimana dimaksud diatas, tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan
adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke
pengadilan. MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin
dokter dan dokter gigi. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan
pengaduan pada organisasi profesi. Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran
Indonesia. Keputusan dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin
dapat berupa:
1 Pemberian peringatan tertulis;
2 Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
3 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta
pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
(Buku Himpunan Peraturan tentang MKDKI Tahun 2008)
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Informed Consent
Definisi
Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien tersebut.
Bentuk Informed Consent
a Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu
lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
b
Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera untuk
menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti
kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.
c Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi prosedur
pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku, tindakan
pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive.
Tujuan Informed Consent
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil
keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama.
Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua
informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat
apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American
College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya
sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed
consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
Manfaat Informed Consent
Informed Consent bermanfaat untuk :
a Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien.
Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa indikasi, penggunaan alat canggih dengan biaya
tinggi dsbnya.
b Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif.
Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari walaupun dokter telah bertindak
seteliti mungkin.
Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan, pasien dan subjek dilindungi,
mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang profesi medis untuk mengadakan introspeksi,
mengajukan keputusan-keputusan yang rasional dan melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip
autonomy sebagai suatu nilai sosial serta mengadakan pengawasan dalam penelitian biomedik.
Informasi yang harus diberikan dokter kepada pasien:
a Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, meliputi:
Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis
Diagnosis penyakit; atau dalam hal belum dapat ditegakkan maka sekurang-kurangnya diagnosis
kerja dan diagnosis banding

c
d

Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran
Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, meliput:
Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik ataupun
rehabilitatif
Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan serta
efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan
Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan
komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya
Alternatif tindakan lain dan risikonya
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau dampaknya sangat ringan
Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, meliputi:
Prognosis tentang hidup-matinya
Prognosis tentang fungsinya
Prognosis tentang kesembuhan
Perkiraan pembiayaan

Kapan Persetujuan Tindakan Medis dilakukan:


a
b
c

Dalam setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien


Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi
sebelumnya untuk menyelamatkan jiwa pasien

Yang berhak memberikan persetujuan


Pasien yang kompeten atau keluarga terdekat suami atau isteri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-saudara kandung atau pengampunya
Tata cara pemberian persetujuan:
a
b
c
d
e

Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan secara
tertulis atau lisan dan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya
tindakan kedokteran yang dilakukan
Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis
yang tertuang dalam formulir khusus yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan
Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan / atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan tindakan keokteran
Tindakan penghentian / penundaan bantuan hidup pada seorang pasien harus mendapat persetujuan
keluarga terdekat pasien setelah mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan
secara tertulis sebelum dimulainya tindakan

Penolakan Tindakan Kedokteran


a
b
c

Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan / atau keluarga terdekatnya setelah
menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Penolakan tindakan
kedokteran tersebut dilakukan secara tertulis
Akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien
Penolakan tindakan-tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien

Tanggung Jawab
a
b

Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter
atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran
Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran

Skema Pelaksanaan Informed Consent

Dokter

Pasien

Informasi

Mempertimbangkan / memutuskan

SETUJU

Penandatanganan Form persetujuan

1
2
3

5
6
7

MENOLAK

Penandatanganan Form penolakan

Ketentuan Informed Consent


Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal
21 April 1999, diantaranya:
Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (SOP) dan ditetapkan tertulis
oleh pimpinan RS.
Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
Informed Consent dianggap benar:
a Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan
secara spesifik.
b Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
c Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental
dan memang berhak memberikan dari segi hukum
d Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan
4 Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :
a Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of medical
procedure)
b Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)
c Tentang risiko
d Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya (alternative medical
procedure and risk)
f Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
g Diagnosis
Kewajiban memberi informasi dan penjelasan
a Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
b Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang bersangkutan
Cara menyampaikan informasi
a Lisan
b Tulisan
Pihak yang menyatakan persetujuan
a Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :

10

Ayah/ibu kandung
Saudara saudara kandung
c Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
Ayah/ibu adopsi
Saudara-saudara kandung
Induk semang
d Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
Ayah/ibu kandung
Wali yang sah
Saudara-saudara kandung
e
Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
Wali
Kurator
f
Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
Suami/istri
Ayah/ibu kandung
Anak-anak kandung
Saudara-saudara kandung
8 Cara menyatakan persetujuan
a Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi
b Lisan; tindakan tidak beresiko
9 Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan pimpinan RS.
10 Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11 Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
a Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai salah satu saksi
b Materai tidak diperlukan
c Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
d Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
e Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan informasi
f Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanannya
12 Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam medisnya.
Aspek Hukum dan Sanksi
1 Pasal 1320 KUHPerdata syarat syahnya persetujuan
o Sepakat mereka yang mengikatkan diri
o Kecakapan untuk berbuat suatu perikatan
o Suatu hal tertentu
o Suatu sebab yang halal
2 Pasal 1321 tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan atau diperlukan
dengan paksaan atau penipuan
3 KUHPidana pasal 351
o Penganiayaan dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
o Menjadikan luka berat hukum selama-lamanya 5 tahun (KUHP 20)
o Membuat orang mati hukum selam-lamanya 7 tahun (KUHP 338)
4 UU No. 23/1992 tentang kesehatan pasal 53
o Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya
o Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien
o Hak pasien antara lain ; hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia
kedokteran dan hak atas pendapat kedua (second opinion).
5 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5,) (6).
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan
6 Permenkes No. 585/1989 tentang persetujuan tindakan medis.
Dokter melakukan tindakan medis tanpa informed consent dari pasien atau keluarganya saksi
administratif berupa pencabutan surat ijin prakteknya.

11

Deklarasi-deklarasi World Medical Association (WMA)


a Deklarasi Helsinki (1964) tentang Penelitian dengan Objek Manusia
b Deklarasi Sydney (1968) dan Deklarasi Venice (1983) tentang Kriteria Mati dikaitkan dengan
Kebutuhan Transplantasi Organ
c Deklarasi Oslo (1970) tentang Pengguguran Kandungan
d Deklarasi Tokyo (1975) tentang Penggunaan Obat Terlarang
e Deklarasi Lisbon (1981) tentang Hak-hak Pasien
f Deklarasi Brussels (1985) tentang Fertilisasi in Vitro
g Deklarasi Madrid (1987) tentang Euthanasia dan rekayasa Genetik
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Malpraktek dalam Pandangan Islam
Malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai
bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Perlu diketahui bahwa kesalahan
dokter atau profesional lain di dunia medis kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Malpraktek juga kadang
berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran.
Bentuk-bentuk malpraktek:
a Tidak punya keahlian (jahil)
Melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali
dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak diluar keahliannya. Orang yang tidak
memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi SAW
dalam sabda beliau:



Barang siapa yang mengobati orang sakit dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka
ia bertanggung jawab (HR. Abu Dawud no.4575, an-Nasai no.4845 dan Ibnu Majah no. 3466.
Hadits hasan. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 635)
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para
Ulama sepakat bahwa Mutathabbib (pelaku pengobatan yang bukan ahlinya) harus bertanggung jawab jika
timbul masalah dan harus dihukum agar jjera dan menjadi pelajaran bagi orang lain
b

Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah (mukhalafatul ushul al-ilmiyyah)


Yang dimaksud dengan prinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa
dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat
menjalani profesi kedokteran.
c Ketidaksengajaan (khatha)
Adalah suatu tindakan / kejadian tanpa ada maksud pelaku dalam melakukannya. Misalnya, tangan dokter bedah
terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya
berdosa, tapi ia harus bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan
Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha (kejahatan tidak sengaja)
d Sengaja menimbulkan bahaya (itidd)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling buruk.
Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun juga faktor kesengajaan ini dapat
diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas.
Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malpraktek harus diiringi
dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud
keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis
terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan
kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang
terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka. Dalam dugaan malpraktek, seorang
hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:

12

Pengakuan pelaku malpraktek (iqrar).

Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya.
Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian
akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua
wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan,
dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi,
hendaknya hakim juga memperhatikan bahwa saksi tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan
malpraktek dari diri pelaku).

Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi
saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.
Bentuk tanggung jawab malpraktek
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya.
Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:

Qishash

Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk menimbulkan
bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya
sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang
mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area
bedah) dengan sengaja.

Dhaman(tanggung jawab materiil berupa gantirugi atau diyat)


Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian,tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak
adakesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahiprinsip-prinsip ilmiah.
Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidakdisengaja.
Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin daripasien, wali
pasien atau pemerintah, kecualidalam keadaan darurat.
Ta'zirberupa hukuman penjara, cambuk, atauyang lain.
Ta'zir berlaku untuk dua bentukmalpraktek:

Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian,tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak adakesengajaan
dalam menimbulkan bahaya.

Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahiprinsip-prinsip ilmiah.


Pihak yang bertanggung jawab
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung,
dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang dokter
yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter
bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku
langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga
ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut
bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung
menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli

13

14

Anda mungkin juga menyukai