Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup, hak untuk hidup adalah hak
asasi manusia paling hakiki. Kesehatan adalah salah satu hak dasar hidup yang
sudah semestinya dipenuhi, negara harus menjamin akses kesehatan semua
rakyatnya tanpa kecuali. Di Indonesia, pemerintah telah menjamin akses
kesehatan rakyatnya dengan dasar UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 5 ayat 1 UU No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa: Setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang
kesehatan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab Pemerintah diantaranya
diamanatkan dalam pasal 19: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan
segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Kesehatan yang menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan
bangsa, menjadi perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dari tahun ke
tahun berbagai program dan kebijakan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan
kesejahteraan dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa di tingkat dunia
terus dilaksanakan pemerintah demi mengejar ketertinggalan dari masyarakat
dunia pada umumnya. Berbagai program dan kebijakan tersebut antara lain:
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Program Keluarga
Berencana, Program Asuransi Kesehatan Miskin, Posyandu, Dan lain-lain.
Program dan kebijakan ini tentunya dilaksanakan dengan maksud dan tujuan
yang mulia bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang masih dalam taraf masyarakat
berkembang dan membangun menuju masyarakat yang adil, makmur, sehat dan
sejahtera sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945, sehingga rakyat dan bangsa
Indonesia berada pada posisi sejajar dan mampu bersaing dengan masyarakat
dunia pada umumnya.
Pada tahun 2008, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada
peringkat 107 dari 182 negara (UNDP 2008) dan turun menjadi peringkat ke111
pada tahun 2009 (UNDP 2009). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan
oleh tiga indikator yaitu: pertama, indikator kesehatan yang diukur dari umur

harapan hidup (UHH), angka kesakitan serta angka kematian ibu (AKI), angka
kematian bayi dan anak bawah lima tahun (AKB); kedua, indikator kesehatan
yang diukur dari angka melek huruf dan tingkat kesehatan serta ketiga adalah
indikator ekonomi yang diukur dari pendapatan perkapita. Walaupun telah
terjadi penurunan AKI dan AKB serta peningkatan UHH namun Indonesia masih
jauh tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tingkat
kesehatan masyarakat diperburuk oleh adanya krisis multidimensi; khusus dalam
bidang kesehatan antara lain terjadi transisi epidemiologis yang menyebabkan
Indonesia mengalami beban ganda penyakit atau double burden of diseases,
yaitu saat masalah penyakit infeksi belum hilang, sudah muncul masalah
penyakit degeneratif misalnya penyakit jantung yang memerlukan biaya besar,
sementara dipihak lain, pembiayaan kesehatan masih tetap merupakan masalah
yang belum terselesaikan (Djuhaeni 2004:1).
Realitas diatas menunjukkan kepada kita betapa ironisnya kondisi rakyat
dan bangsa Indonesia saat ini. Berbagai kebijakan dan program yang
dilaksanakan pemerintah untuk membangun dan meningkatkan taraf kesehatan
dan kesejahteraan rakyatnya ternyata masih jauh dari harapan. Oleh karena itu
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah salah satu langkah penting
untuk meningkatkan daya saing Indonesia di sektor kesehatan. Upaya ini
tentunya membutuhkan kerjasama berbagai pihak terkait, tidak hanya
pemerintah, masyarakat secara sadar harus melibatkan diri secara aktif, sehingga
terdapat sinergi yang baik bagi upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Di era globalisasi kesehatan saat ini, dengan alasan peningkatan mutu
pelayanan kepada para pasien atau konsumen, sektor kesehatan melalui rumah
sakit memang telah menunjukkan sebuah revolusi besar dalam hal mutu
pelayanan, namun semua bentuk peningkatan mutu pelayanan itu memiliki harga
yang harus dibayar oleh pasien atau konsumen. Sehingga mulai diadakan
perhitungan untung-rugi.
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
tengah mendorong RS Pemerintah di seluruh Indonesia untuk menerapkan
Pengelolaan BLU Badan Layanan Umum (BLU) yang dikenalkan sejak tahun
2005. Dengan BLU dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan

tarif dan harga layanan yang terjangkau masyarakat. BLU dijadikan sebagai alat
untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik melalui penerapan manajemen
keuangan berbasis hasil dan bukanlah semata-mata sarana untuk mengejar
fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, sehingga kualitas layanan yang baik,
cepat, efisien dan efektif dapat dinikmati masyarakat.
Tujuan BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan
prinsip ekonomi, produktivitas dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
menetapkan strategi pengembangan model bisnis BLU RS melalui Pemenuhan
Kebutuhan Tempat Tidur Kelas III di RS dan Universal Coverage;
Pengembangan World Class Hospital; Pengembangan IT Rumah Sakit yang
meliputi :e-health, e-office, e-planning, e-reporting, dan e-procurement, dll; serta
Pengembangan Tarif Rumah Sakit Berbasis Pelayanan (MDGS).
Diharapkan kepada RS dan Balai yang sudah menjalankan BLU untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan berupaya meraih WTP di tahun 2012 dengan
melakukan pembenahan internal khususnya aspek manajemen keuangan,
pengadaan barang dan jasa dan pengelolaan inventori (SIMAK BMN).
Pada saat yang bersamaan, di Indonesia telah banyak bermunculan
rumah sakit-rumah sakit bertaraf internasional sebagai jawaban atas tuntutan
peningkatan mutu layanan, namun apakah rumah sakit itu benar-benar rumah
sakit internasional dengan prosedur pelayanan dan mutu internasional atau hanya
berlabel internasional dengan standar pelayanan dan mutu yang rendah.
Hal

tersebut

diatas

tentu

saja

menjadi

kontradiktif

dengan

dilonggarkannya kebijakan untuk izin operasional Rumah Sakit Swasta termasuk


Rumah Sakit Swasta yang berlabel International.
Di kota Makassar mulai bermunculan Rumah Sakit-rumah sakit yang
berlabel Internasional seperti RS Awal Bross, RS Siloam ditambah lagi dengan

kebijakan RSUP DR.Wahidin yang menyiapkan fasilitas pelayanan yang sangat


pribadi yaitu private center.
Globalisasi Rumah Sakit menjadikan dunia kesehatan yang selama ini
sarat dengan aspek humanitarian sebagai salah satu indikator kualitas sumber
daya manusia (SDM), ternyata telah mengalami distorsi dan menjadi elemen
pokok komoditas ekonomi yang menggiurkan. Rumah sakit sebagai penyedia
dan pelayan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan swasta yang
seharusnya mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata mulai
mengadopsi faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke arah
neoliberalisme sektor kesehatan, sehingga terjadi disorientasi pemahaman
substansi makna kesehatan. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor
prospektif yang ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba
besar bagi pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas
ekonomi yang mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik.
Melihat realitas yang ada bahwa saat ini dunia kesehatan sudah mulai
meninggalkan aspek kemanusiaan dan sosial, cenderung mengejar keuntungan
serta semakin sulit dijangkau oleh rakyat kecil.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis mengajukan gagasan awal
penelitian dengan mengkaji konsep advokasi dalam menjawab tantangan
globalisasi Rumah Sakit di Kota Makassar beradasarkan mekanisme globalisasi
Rumah Sakit, bagaimana fungsi sosial Rumah Sakit sebagai penyedia dan
pelayan jasa kesehatan menjadi barang yang mahal dan tidak terjangkau,
bagaimana peran pemerintah Provinsi dan pemerintah Kota dalam menghadapi
tantangan globalisasi Rumah Sakit, bagaimana peran organisasi profesi
kesehatan dalam menghadapi tantangan globalisasi Rumah Sakit dan
pengembangan uapaya advokasi yang tepat dalam menjawab tantangan
globalisasi Rumah Sakit sehingga seluruh masyarakat dapat mendapatkan
pelayanan kesehatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diutarakan dalam bagian latar belakang
di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah;
a. Bagaimana mekanisme globalisasi Rumah Sakit ?

b. Bagaimana fungsi sosial rumah sakit sebagai penyedia dan pelayan jasa
kesehatan?
c. Bagaimana peran pemerintah Lokal dalam menghadapi tantangan globalisasi
Rumah Sakit?
d. Bagaimana peran organisasi profesi kesehatan dalam menghadapi tantangan
globalisasi Rumah Sakit?
e. Bagaimana peran organisasi Rumah Sakit (PERSI) dalam menghadapi
tantangan globalisasi Rumah Sakit?
f.

Bagaimana upaya advokasi yang tepat dalam menjawab tantangan


globalisasi Rumah Sakit?

C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk menggali informasi secara mendalam tentang upaya advokasi
yang tepat dalam menghadapi tantangan globalisasi Rumah Sakit
b.

Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Untuk mendapatkan informasi secara mendalam tentang mekanisme
globalisasi Rumah Sakit.
2. Untuk mendapatkan informasi mendalam tentang fungsi sosial rumah
sakit sebagai penyedia dan pelayan jasa kesehatan.
3. Untuk mendapatkan informasi secara mendalam tentang

peran

pemerintah lokal dalam menghadapi tantangan globalisasi Rumah Sakit.


4. Untuk mendapatkan informasi secara mendalam tentang peran organisasi
profesi kesehatan dalam menghadapi tantangan globalisasi Rumah Sakit .
5. Untuk mendapatkan informasi secara mendalam tentang peran organisasi
Rumah Sakit (PERSI) dalam menghadapi tantangan globalisasi Rumah
Sakit
6. Untuk mendapatkan informasi secara mendalam tentang pendekatan
upaya advokasi yang tepat dalam menjawab tantangan globalisasi Rumah
Sakit
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:

a. Manfaat teoritis: sebagai proses pengayaan dan pengembangan ilmu


sosial khususnya dalam bidang sosiologi interpretatif.
b. Manfaat praktis: sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan baik
pemerintah, legislatif, dan organisasi profesi dalam mengembangkan
strategi pendekatan advokasi yang tepat dalam menjawab tantangan
globalisasi Rumah Sakit
c. Manfaat metodologis: sebagai rujukan bagi peneliti yang berminat
melanjutkan pendalaman masalah penelitian ini dimasa yang akan
datang.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Mekanisme Globalisasi Rumah Sakit
Sejatinya globalisasi kesehatan adalah perluasan dari globalisasi ekonomi
yang hanya menguntungkan negara-negara maju. Munculnya istilah globalisasi
kesehatan bermula dari WTO yang menganggap kesehatan sebagai jasa yang bisa
diperdagangkan atau diperjualbelikan. Sebagai catatan, pemerintah RI telah
meratifikasi WTO melalui UU No 7/1994. Dengan demikian, sejak saat itu
Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk
mentaati segala aturan main yang ada di dalamnya. Organisasi WTO dalam
mengatur sistem perdagangan internasional membedakannya dalam dua kategori,
yaitu kategori perdagangan barang dan perdagangan jasa. Mekanisme perdagangan
barang diatur dalam GATT (General Agreement on Tarif and Trade), sedangkan
perdagangan jasa diatur dalam GATS (General Agreement on Trade in Services).
Sampai saat ini WTO telah membagi belasan sektor jasa yang dapat
diperdagangkan di tingkat dunia. Adapun satu dari belasan sektor tersebut adalah
jasa kesehatan. Karena kesehatan dimasukkan dalam sektor jasa, maka kesehatan
menjadi sesuatu yang dijualbelikan. Jadi, praktik perdagangan atau jual beli jasa
kesehatan hukumnya sah dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kacamata
WTO (diolah dari Badrun 2008 dan Supriyoko 2009 dengan berbagai penyesuaian).
Jasa kesehatan termasuk GATS di dalam sektor Health Related Social
Services, subsektor Medical and Dental Services, Hospital Services and Private
Hospital Services. Menurut GATS, pasokan jasa-jasa kesehatan dapat melalui
modus, antara lain:
1.

Pasokan lintas perbatasan, misalnya melalui telemedicine, pemasaran melalui


internet, iklan agar pasien dirujuk ke RS di Singapura, dan lain-lain.

2.

Konsumsi luar negeri dan dalam negeri bebas mencari pelayanan ke luar
negeri, misalnya orang-orang kaya Indonesia yang pergi ke luar negeri

(Singapura, China, Australia) untuk berobat, cek kesehatan, cangkok ginjal,


dan lain-lain.
3.

Kehadiran komersial, pemasok asing bebas menanam modal, mendirikan,


mengoperasikan,

dan

membangun

cabang

badan

usaha

di

bidang

perumahsakitan, misalnya RS Glenn-Eagle di Jakarta.


4.

Kehadiran perorangan, membolehkan para manajer, dokter, dokter spesialis,


dan tenaga kesehatan asing lainnya masuk dan bekerja di Indonesia atau
sebaliknya (Widajat 2004).
Untuk wilayah ASEAN globalisasi untuk sektor usaha jasa adalah AFAS

(Asean Free Agreement on Services) yang ditandai dengan 4 karakteristik yaitu:


1. Cross border supply dan Consumption abroad yang berarti kebebasan kepada
pemasok asing untuk memasuki pasar lokal dan sebaliknya kebebasan kepada
masyarakat untuk mengkonsumsi jasa dari luar negeri
2.

Commercial presence; yang diartikan kebebasan perusahaan asing untuk


mendirikan atau melakukan usaha di dalam negeri

3.

Presence of natural person; yaitu kebebasan orang asing untuk memasuki


pasar dalam negeri

4. Most favored nation & national treatment; yaitu perlakuan yang sama dalam
hubungan antar bangsa dan tidak ada perbedaan ketentuan dalam besarnya
modal yang di setor antara perusahaan dalam negeri dan asing (Christiana
Ginting 2004).
Dengan karakteristik tersebut diatas secara garis besar berarti bahwa
ada kemudahan bagi perusahaan dari lingkungan negara ASEAN untuk
mengembangkan usaha di sektor jasa kesehatan. Kondisi seperti ini tentu harus
dipersiapkan dan diantisipasi secara tepat baik oleh pemerintah maupun pelaku
bisnis di Indonesia agar perusahaan nasional tetap menjadi the main busisness
actor di negara sendiri. Dengan perkataan lain era globalisasi harus dihadapi
sebagai suatu peluang jangan sebagai ancaman. Salah satu kunci operasional yang
harus diterapkan adalah customer retention melalui pelayanan prima kepada
pelanggan sehingga pelanggan yang sudah ada tidak lari kepada perusahaan lain.
Pada 2010 ini globalisasi kesehatan uji coba di Medan dan Surabaya. Di
Surabaya, sudah ada rumah sakit afiliasi asing, selama 2010 dimungkinkan akan

bertambah lagi satu rumah sakit asing dari Australia (Harian Suara Surabaya,
Jumat 08 Januari 2010). Sebelum di Medan dan Surabaya, rumah sakit
internasional sudah banyak bermunculan di Jakarta, seperti Rumah Sakit GlennEagle dan Rumah Sakit Omni.
Mekanisme Rumah Sakit menjadi Pasien Globalisasi
Bidang kesehatan yang paling terpengaruh oleh dampak globalisasi, yakni
antara lain bidang perumahsakitan, tenaga kesehatan, industri farmasi, alat
kesehatan dan asuransi kesehatan. Rumah sakit sebagai salah satu bidang dalam
dunia kesehatan mulai berlomba-lomba memperbaiki mutu pelayanan kepada
konsumennya karena dengan adanya globalisasi kesehatan. Dalam memilih
pelayanan kesehatan, masyarakat semakin diberikan banyak pilihan untuk
memilih pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu tinggi sesuai dengan
kemampuan mereka. Dan bagi rumah sakit yang tidak siap dengan adanya
globalisasi kesehatan tentu dengan sendirinya akan tersingkir dari persaingan
bisnis pelayanan kesehatan yang sangat menggiurkan.
Dengan globalisasi kesehatan, semua rumah sakit baik milik pemerintah
maupun swasta dituntut untuk mampu memenuhi kepentingan dan keinginan
konsumennya serta persaingan bisnis penyediaan dan pelayanan jasa kesehatan.
Rumah sakit-rumah sakit pemerintah yang cenderung kurang memperhatikan
kualitas dan mutu pelayanan mulai ditinggalkan masyarakat yang menginginkan
pelayanan prima terlebih lagi bagi mereka yang kaya. Melihat hal ini, pemerintah
tidak tinggal diam, berbagai kebijakan, program dan pembangunan untuk
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit milik pemerintah mulai gencar
dilaksanakan.
Rumah sakit swasta nasional yang selama ini bersaing dan berdampingan
dengan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan juga mulai
membenahi diri. Rumah sakit swasta nasional yang memiliki mutu pelayanan
yang lebih baik dari rumah sakit pemerintah senantiasa berinovasi dan beradaptasi
dengan tuntutan globalisasi kesehatan, sehingga rumah sakit swasta tetap eksis
sebagai alternatif pelayanan kesehatan setelah rumah sakit pemerintah.
Globalisasi kesehatan mengijinkan dan menghalalkan berdirinya rumah
sakit swasta asing di Indonesia. Sehingga di Indonesia terdapat tiga pelaku besar

10

pelayanan kesehatan selain pelayanan kesehatan tradisional dan pengobatan


alternatif. Keadaan ini membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia karena
dengan adanya persaingan dalam bisnis penyediaan dan pelayanan kesehatan
sehingga mutu pelayanan kesehatan meningkat. Sebagai pelaku pelayanan
kesehatan, rumah sakit swasta asing memiliki beberapa keunggulan dibanding
rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta nasional. Keunggulan rumah sakit
swasta asing adalah telah terbiasa bekerja dengan standar pelayanan, kualitas dan
mutu terbaik serta sistem manajemen profesional, sehingga kehadiran rumah sakit
swasta asing akan menguntungkan kelompok konsumen tertentu karena
mempunyai lebih banyak pilihan pelayanan kesehatan yang makin bermutu.
Namun keberadaan rumah sakit swasta asing juga merupakan ancaman bagi
rumah sakit swasta nasional dan rumah sakit pemerintah, karena akan tersaingi
dan kesenjangan pelayanan kesehatan antara kelompok yang mampu dan yang
kurang mampu akan menjadi lebih lebar.
Rumah sakit sebagai bagian dari dunia kesehatan telah menjadi pasien dari
globalisasi dunia karena telah terjadi globalisasi di dunia kesehatan. Rumah sakit
yang seharusnya mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata telah
mulai mengadopsi faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke
arah neoliberalisme. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor prospektif yang
ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba besar bagi
pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang
mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik. Dalam pengelolaannya rumah
sakit mulai memperhitungkan untung-rugi yang merupakan sifat dari bisnis,
sehingga istilah/stereotip/stigma atau Rumah Sakit menjadi Pasien Globalisasi
yang saya jadikan subjudul dari paper tampaknya tepat dilabelkan pada rumah
sakit dalam konteks globalisasi kesehatan.
Sang Pasien Globalisasi Yang Tidak Terjangkau Masyarakat Miskin
Globalisasi kesehatan membawa konsekuensi perubahan dalam paradigma
pelayanan di dunia kesehatan. Paradigma pelayanan di dunia kesehatan kini sudah
berubah, dari pandangan lama "pemberi jasa pelayanan" yang merasa sangat
berjasa kepada si pasien, berubah menjadi "pelayan jasa kesehatan" yang
menganggap pasien sebagai pelanggan (customer oriented). Jangkauan pelayanan

11

kesehatan pun makin meluas dan proaktif, tidak sekadar mengobati penyakit dan
merehabilitasi kesembuhan, tetapi juga aktif mencegah penyakit dan menggalang
keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan masalah kesehatan.
Globalisasi kesehatan yang salah satu bentuknya adalah commercial
presence yaitu diperbolehkannya pihak swasta asing untuk membuka layanan
rumah sakit di Indonesia, telah membuka kesempatan bagi masyarakat Indonesia
untuk bisa memilih dan memiliki alternatif pengobatan yang prima, bermutu
tinggi dan berkualitas internasional. Munculnya rumah sakit-rumah sakit baru
baik milik swasta nasional maupun swasta asing sebagai pelayan jasa kesehatan
memang sesuatu yang menggembirakan, rumah sakit-rumah sakit tersebut
tentunya berlomba-lomba dalam memberikan pelayanan yang prima, berkualitas
dan bermutu tinggi. Hal ini tentunya akan semakin meningkatkan taraf kesehatan
dan kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia serta mampu mengangkat harkat,
derajat dan martabat bangsa Indonesia di dunia Internasional juga akan menaikkan
peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia ke rangking yang lebih baik
dari tahun-tahun lalu.
Pelayanan yang prima, berkualitas tinggi dan bermutu dalam berbagai
bentuknya (dokter yang ramah, cekatan, dan murah senyum; suster yang merawat
dengan penuh perhatian dan kasih sayang; ruang kamar yang bersih, rapi dan
wangi dilengkapi dengan AC, TV, Kulkas dan ruang tamu) yang diberikan oleh
pelayan jasa kesehatan (rumah sakit) tentunya tidak bisa didapatkan dengan cumacuma, si pasien atau konsumen harus mempunyai uang yang banyak untuk
mendapatkan semua pelayanan tersebut.
Sebagai contoh bentuk pelayanan prima, berkualitas dan bermutu tinggi
adalah pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Rumah Sakit Telogorejo
Semarang yang mematok biaya rawat inap untuk ruang rawat Presiden Suite Rp.
225.000,- per hari dan ini belum termasuk obat dan dokter. Lain lagi dengan
Rumah Sakit Internasional Siloam Gleen-Eagle di Kawasan Lippo Karawaci yang
memasang tarif Rp. 2,4 juta dan 1,7 juta per hari, juga di Rumah Sakit Pantai
Indah Kapuk yang memasang tarif Rp. 750.000,-/hari untuk Super VIP dan Rp.
500.000,-/hari untuk VIP (Prasetyo 2006:61).

12

Peningkatan mutu, kualitas dan pelayanan prima yang menjadi tantangan


utama dalam globalisasi kesehatan yang dihadapi rumah sakit ternyata membawa
konsekuensi yang berdampak sistemik bagi dunia kesehatan dan pelayanan
kesehatan di Indonesia. Rumah sakit sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan
ketika Puskesmas tidak lagi mampu menangani keluhan sakit seseorang ternyata
telah menjadi lintah darat yang siap menghisap seluruh kekayaan seorang pasien
atau konsumen tersebut.
Rumah sakit dengan segala bentuk pelayanan jasa kesehatannya yang
bermutu dan berkualitas tinggi hanya mampu dijangkau oleh mereka yang kaya.
Bagi masyarakat miskin, pelayanan prima, bermutu dan berkuaulitas tinggi
tentunya menjadi sesuatu yang sulit dijangkau dan tidak akan mungkin didapatkan
karena rumah sakit sebagai pelayan jasa kesehatan mulai memperhitungkan
untung-rugi dan semakin jauh dari aspek kemanusiaan dan sosial. Akibat
globalisasi kesehatan, bangsa Indonesia mempunyai ketergantungan total dalam
bidang kesehatan pada negara-negara maju. Kondisi ini terus dipertahankan oleh
negara maju, kita dibuat untuk selalu tergantung.
Sebagai contoh, banyak kasus penyanderaan yang dilakukan rumah sakit
akibat sang pasien tidak bisa membayar biaya rawat inap. Misalnya: Kasus yang
menimpa Suharni dan Santi berikut dua bayi mereka. Keempatnya tertahan - 4
bulan dan 2 minggu -di RS Bersalin Sofa Marwa, Jagakarsa, Jakarta Selatan,
karena tak mampu membayar biaya persalinan. Mereka tak sanggup membayar
biaya operasi caesar masing-masing Rp 5 juta. Selama dalam penyanderaan,
mereka juga diwajibkan membayar biaya Rp 100.000 per hari. Kasus serupa
menimpa Gatot dan istrinya. Bayi mereka disandera oleh Rumah Sakit Surabaya
Medical Service (SMS) karena tak mampu membayar biaya operasi melahirkan
isterinya. Pihak Rumah Sakit juga memberikan surat pernyataan, jika Gatot
menyatakan mau menitipkan bayi ke rumah sakit selama paling lama 2 hari. Bila
selama 2 hari tidak datang untuk mengambil bayi dan melunasi biaya, akan
diserahkan ke pihak III (polisi). Yang paling menggegerkan adalah kasus yang
menimpa pasangan Nurul Istiqomah (25) dan Abdul Karim (40) warga Kab.
Probolinggo. Bayi perempuannya yang berusia 3 hari meninggal di RSUD
Waluyo Jati. Ironisnya jenazah bayi tersebut tidak boleh dibawa pulang sebelum

13

membayar biaya perawatan (http://kesehatan.kompasiana.com/2010/02/20/bayiditahan-rumah-sakit-bentuk-pelanggaran-nilai-kemanusiaan/ diakses pada tanggal


11 Februari 2013).
Rumah sakit pemerintah seharusnya menjadi Badan Layanan Umum
(BLU) yang melayani masyarakat dengan subsidi besar dari pemerintah,
bukannya mengikuti tren globalisasi kesehatan. Intinya, kesehatan masyarakat
adalah tanggunjawab pemerintah. Kualitas layanan kesehatan khususnya bagi
mereka yang tergolong miskin perlu terus diperbaiki, disamping dari segi biaya
yang semestinya tidak menekan dan membebani mereka. Ditengah beban hidup
yang saat ini terus menghimpit, bagi sebagian orang, kemiskinan telah membuat
mereka tidak mampu berobat ke dokter maupun rumah sakit yang kini biayanya
terasa amat mahal.
Beberapa program layanan kesehatan bagi orang miskin memang telah
digulirkan Pemerintah seperti Jamkesmas, namun dalam realisasinya kerapkali
orang-orang miskin masih mendapatkan perlakuan-perlakuan diskriminatif yang
tidak semestinya. Selain masih banyak keluarga miskin yang belum bisa
menikmati program tersebut. Tingginya biaya berobat yang sulit dijangkau,
khususnya oleh warga kurang mampu perlu disikapi serius.
B. Konsep Advokasi
1. Definisi Konsep Advokasi
Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerjakerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya
merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan.
Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa
yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan
sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek
hukum semata.
Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak
sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena
pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa
Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau
pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam

14

pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas.
Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof.
Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri
Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa
Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan,
memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain,
advokasi juga bisa diartikan melakukan perubahan secara terorganisir dan
sistematis.
Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu, pertama, pekerjaan
atau profesi dari seorang advokat, dan kedua, perbuatan atau tindakan
pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud. Pengertian
pertama berkaitan dengan pekerjaan seorang advokat dalam membela seorang
kliennya dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan.
Pengertian advokasi yang pertama ini lebih bersifat khusus sedangkan
pengertian kedua lebih bersifat umum karena berhubungan dengan pembelaan
secara umum, memperjuangkan tujuan atau maksud tertentu.
Dalam konteks advokasi untuk memengaruhi kebijakan publik,
pengertian advokasi yang kedua mungkin yang lebih tepat karena obyek yang
di advokasi adalah sebuah kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan
publik atau kepentingan anggota masyarakat. Berbicara advokasi, sebenarnya
tidak ada definisi yang baku. Pengertian advokasi selalu berubah-ubah
sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik pada suatu
kawasan tertentu. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan.
Setidaknya ada beberapa pengertian dan penjelasan terkait dengan definisi
advokasi, yaitu:
a. Usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan secara
sistematis dalam menyikapi suatu kebijakan, regulasi, atau pelaksanaannya
(Meuthia Ganier).
b. Advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat
untuk

membuat

para

penguasa

bertanggung

jawab

menyangkut

peningkatan keterampilan serta pengertian rakyat tentang bagaimana


kekuasaan itu bekerja

15

c. Upaya terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana


demokrasi untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan
kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan
merata (Institut Advokasi Washington DC).
d. Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada
untuk membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai
tujuan yang lebih baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat
berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal
(nonlitigasi).
e. Menurut Mansour Faqih, dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan
terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan
dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).
f. Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang
berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi
orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik.
g. Menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis
dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan
suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat
kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis
dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi
penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang
lingkup dan tujuan.
2. Advokasi: Alasan, Tujuan, dan Sasaran
Bagi sebagian orang yang telah berkecimpung dalam dunia advokasi, tentu
mereka tidak akan menanyakan kembali mengapa mereka melakukan hal itu.
Namun, bagi sebagian lainnya yang belum begitu memahami, atau bahkan belum
pernah mengenal, seluk-beluk advokasi, jawaban atas pertanyaan Mengapa
beradvokasi? menjadi cukup relevan dan urgen untuk dijawab. Ada banyak sekali
alasan mengapa seseorang harus, dan diharuskan, untuk melakukan kerja-kerja
advokasi. Secara umum alasan-alasan tersebut antara lain adalah:

16

a. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan


b. Perusakan dan kekejaman kebijakan selalu menghiasi kehidupan kita
c. Keserakahan, kebodohan, dan kemunafikan semakin tumbuh subur pada
lingkungan kita
d. Yang kaya semakin kaya dan yang melarat semakin sekarat
Dari beberapa poin di atas ini kemudian melahirkan kesadaran untuk
melakukan perubahan, perlawanan, dan pembelaan atas apa yang dirasakan olehnya.
Salah satu bentuk perlawanan dan pembelaan yang elegan adalah advokasi.
Tujuan dari kerja-kerja advokasi adalah untuk mendorong terwujudnya
perubahan atas sebuah kondisi yang tidak atau belum ideal sesuai dengan yang
diharapkan. Secara lebih spesifik, dalam praksisnya kerja advokasi banyak diarahkan
pada sasaran tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa.
Mengapa kebijakan publik? Kebijakan publik merupakan beberapa regulasi yang
dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap
kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta
diawasi agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya.
Hal ini dikarenakan pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara
luas, sementara kekuasaannya cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan
peranan dalam proses kebijakan.
3. Pelaku Advokasi
Advokasi dilakukan oleh banyak orang, kelompok, atau organisasi yang dapat
diklasfikan sebagai berikut:
a.Mahasiswa

(individu)

atau

organisasi/komunitas

kemahasiswaan

seperti

GEMAPRODEM, HMI, GMKI , FORMADAS, SMI , FMN, dan lain-lain.


b.Organisasi masyarakat dan organisasi politik (SRMI , FNPBI ,STN , JAKER ,
LMND PRD , SPI dan lain sebagainya)
c. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau disebut juga organisasi nonpemerintah
d. Komunitas masyarakat petani, nelayan, buruh , KMK dan lain-lain

17

e. Organisasi-organisasi masyarakat atau kelompok yang mewakili interest para


anggotanya, termasuk organisasi akar rumput (Serikat Tolong Menolong atau
perwiritan)
f. Organisasi masyarakat keagamaan (NU, Muhammadiyah, MUI, PHDI, PWI, PGI,
Walubi, dan lain-lain)
g. Asosiasi-asosiasi bisnis
h. Media
i. Komunitas-komunitas basis (termasuk klan dan asosiasi RT, Dukuh, Lurah, dan
lain-lain). Contoh: FBR, Pandu, Apdesi, dan Polosoro
j. Persatuan buruh dan kelompok-kelompok lain yang peduli akan perubahan menuju
kebaikan
4. Kerja-kerja Advokasi: Tantangan dan Strategi
Advokasi selamanya menyangkut perubahan yang mengubah beberapa
kebijakan, regulasi, dan cara badan-badan perwakilan melakukan kebijakan. Dalam
melakukan perubahan kebijakan pun tidak semudah yang kita bayangkan; ada
beberapa lapisan yang harus kita lewati untuk melakukan perubahan tersebut.
Lapisan pertama mencakup permintaan, tuntutan, atau desakan perubahan
dalam praktik kelembagaan dan program-programnya. Contoh, sekelompok anak
jalanan dan gepeng menolak Raperda yang telah dirancang kepada anggota dewan
dan pejabat pemerintahan.
Lapisan kedua, mengembangkan kemampuan individu para warga, ormas,
dan LSM. Dengan penolakan dan penentangan adanya Raperda, anggota komunitas
belajar bagaimana mengkomunikasikan pesan mereka pada segmentasi yang lebih
luas untuk memperkuat basis dukungan kelembagaan mereka.
Lapisan ketiga, menata kembali masyarakat. Kita mengubah pola pikir dan
memberdayakan masyarakat marjinal (gepeng dan anjal) untuk berinisiatif
melakukan perjuangan hak-haknya secara mandiri. Advokasi dikatakan berhasil
apabila kita mampu membuat komunitas kita lebih berdaya dan mampu meneriakkan
aspirasinya sendiri.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus kita lakukan untuk
memetakan dan mengawal jalannya sebuah kebijakan sebelum disahkan menjadi
hukum formal, yaitu:

18

a. Mengerti dan memahami isi dari kebijakan beserta konteksnya, yaitu dengan
memeriksa kebijakan apa saja tujuan dari lahirnya kebijakan tersebut
b. Pelajari beberapa konsekuensi dari kebijakan tersebut. Siapa saja yangakan
mendapat manfaat dari kebijakan tersebut
c. Siapa yang akan dipengaruhi baik itu sifatnya merugikan ataupun menguntungkan
d. Siapa aktor-aktor utama, siapa yang mendorong dan apa kepentingan serta posisi
mereka
e. Tentukan jaringan formal maupun informal melalui mana kebijakan sedang
diproses. Jaringan formal bisa termasuk institusi-institusi seperti komite
legislatif dan forum publichearing. Jaringan informal melalui komunikasi
interpersonal dari individu-individu yang dalam proses pembentukan kebijakan
f. Mencari tahu apa motivasi para aktor utama dan juga jaringan yang ada dalam
mendukung kebijakan yang telah dibuat
Perlu dipahami bahwa advokasi tidak terjadi seketika. Advokasi butuh
perencanaan yang matang. Agar advokasi yang dilakukan dapat terwujud secara
maksimal, maka kita perlu menggunakan beberapa strategi. Berikut beberapa strategi
dalam melakukan advokasi:
a. Membangun jaringan di antara organisasi-organisasi akar rumput (grassroots),
seperti federasi, perserikatan, dan organisasi pengayom lainnya
b. Mempererat kokmunikasi dan kerjasama dengan para pejabat dan beberapa partai
politik yang berorientasi reformasi pada pemerintahan
c. Melakukan lobi-lobi antar instansi, pejabat, organisasi kemahasiswaan, organisasi
kemasyarakatan (NU dan Muhammadiyah)
d. Melakukan kampanye dan kerja-kerja media sebagai ajang publikasi
e. Melewati aksi-akasi peradilan (litigasi, class action, dan lain-lain)
f. Menerjunkan massa untuk melakukan demonstrasi
g. Advokasi kebijakan publik merupakan upaya pembelaan (pengawalan) secara
terencana terhadap rencana sikap, rencana tindakan atau rencana keputusan,
rencana program atau rencana peraturan yang dirancang pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan agar sesuai dengan kepentingan masyarakat. Nilainilai utama yang terdapat dalam masyarakat yang menjadi kepentingan seluruh
anggota masyarakat haruslah diprioritaskan.

19

h. Keberhasilan advokasi kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan


kebijakan publik sangat tergantung kepada kualitas aktor atau para aktor yang
memainkan peran dalam advokasi kebijakan tersebut yang meliputi kemampuan
intelektual, kemampuan mengkomunikasikan ide dan pemikiran, kemampuan
untuk menjalin relasi politik dan pengorganisasian kekuatan politik serta
kemampuan membangun opini publik.
5. Kendala-kendala yang dihadapi
Upaya masyarakat atau kelompok masyarakat untuk memainkan peran
advokasi dalam mempengaruhi kebijakan publik akan menghadapi empat kendala
pokok.
Pertama, ada konflik nilai dalam pembuatan kebijakan publik. Konflik nilai
bisa timbul antara etika dan estetika yang dapat dilihat dalam RUU anti pornografi
dan pornoaksi. Para pendukung etika (tokoh agama dan pendidikan) menginginkan
pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno, sebaiknya para
pendukung nilai-nilai estetika (seniman, musikus, sastrawan, dan pekerja seni)
menilai pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno bertentangan
dengan hak asasi manusia. Mereka menganggap bahwa pelarangan pornografi dapat
membelenggu kebebasan berekspresi mereka untuk membuat karya-karya seni yang
merupakan sumber mata pencaharian mereka.
Kedua, konflik antara etika dan ekonomi dapat tergambar dari kebijakan
dibidang perjudian dan pelacuran (prostitusi). Larangan perjudian dan pelacuran
dalam kacamata hukum pidana mungkin dianggap sebagai hal yang wajar, tapi
perjudian dan pelacuran dengan beban pajak yang cukup tinggi dapat menjadi
sumber bagi pendapatan daerah.
Ketiga, kondisi masyarakat sipil yang tidak terintegrasi secara baik.
Sebenarnya kekuatan masyarakat sipil cukup memadai, baik dari kalangan komunitas
perguruan tinggi, kelompok profesi dan lembaga swadaya masyarakat, namun karena
terlalu banyak isu-isu yang diusung menyebabkan fokus gerakan masyarakat sipil
menjadi terpecah-pecah. Bahkan adakalanya terjadi konflik yang tajam di antara
kekuatan masyarakat sipil.
Akhirnya, kondisi demokrasi dalam kehidupan ketatatanegaraan kita yang
belum mapan. Meskipun reformasi politik telah berlangsung sejak 1998, tapi peran

20

partai dan aktor politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat masih jauh dari
harapan masyarakat. Partai dan aktor politik terlalu sibuk dengan dirinya sendiri
sehingga memunculkan apatisme politik dan ketidakpercayaan terhadap partai
politik.Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai
macam kepentingan, maka advokasi tak lain adalah advokasi yang bertujuan
memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan
merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong
terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik.
Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi
keadilan sosial. Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran
pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan.
Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan
kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak
pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang
memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka
dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang
menyebabkan masyarakat menjadi miskin. Dengan kata lain, sedekah merupakan
tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan
masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya
masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.
6. Advokasi dan Perubahan Sosial
Advokasi sebagai suatu kegiatan mendesakkan terjadinya perubahan sosil (sosial
movement) secara bertahap maju melalui serangkaian perubahan kebijakan publik.
Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa suatu perubahan sosial yang lebih besar
dan luas bisa terjadi (atau paling tidak, bisa dimulai) dengan merubah satu persatu
kebijakan-kebijakan publik yang memang strategis atau sangat menentukan dalam
kehidupan masyarakat luas.
Maka, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang memang terfokus hanya
pada satu masalah atau issu strategis kebijakan publik tertentu. Dengan demikian,
langkah awal terpenting dalam kegiatan advokasi adalah memilih dan menetapkan
issu kebijakan publik apa yang benar benar strategis dijadikan sebagai sasaran

21

advokasi. Untuk menetapkan strategis atau tidaknya sebuah issu kebijakan publik,
paling tidak dapat dilakukan atas dasar beberapa indikator sebagai berikut :
a. Taraf penting dan mendesaknya (urgensi) tuntutan masyarakat luas yang
mendesakkan perlunya segera perubahan kebijakan publik tersebut.
b.

Kaitan dan relevansi perubahan perubahan tersebut terhadap kepentingan atau


kebutuhan nyata masyarakat luas, terutama lapisan atau kalangan mayoritas
yang memang sering tidak diuntungkan oleh kebijakan negara.

c.

Besaran dan luasnya dampak positif yang dapat dihasilkan jika perubahan
kebijakan itu terjadi.

d.

Kesesuaian dengan agenda kerja utama jaringan organisasi advokasi yang


memang menjadikan issu kebijakan publik tersebut sebagai sasaran utamanya.

C. Fungsionalisme Struktural
1. Konsep Fungsionalisme Struktural
Merupakan sebuah tradisi dalam pmikiran sosiologi yang lazim disebut
fungsionalisme,fungsionalisme struktural , analisis fungsional dan teori
fungsional. Kebaikan yang bersifat relatif dari tradisi fungsionalisme bukan hanay
diperdebadkan tetapi juga sring mendapatkan kritik mendasar yang merusakkan.
Walaupun demikian, tradisi tersebut masih dipegang teguh oleh para pengikutnya.
Beberapa ahli teori modern termashur yang dianggap sebagai wakil tradisi
adalah Talcott Parons Dn Robert K.Merton. Para sosiolog yang kurang terkenal juga
menggunakan bahasa dan konsep fungsionalisme, walaupun terkadang tanpa menguji
konsep tersebut secara kritis ataui hanya mengapresiasikan implikasi penggunaan
belaka. Oleh karenanya sangat tepat kiranya untuk mencari pandangan lain yang
mengkritik tradisi tersbut.
Apakah

Konsep-konsep

dan

ide-ide

pendekatan

pengiku

aliran

fungsionalisme itu? Asumsi-asumsinya adalah bahwa sluruh struktur sosial atau


setidaknya yang diprioritaskan, menyumbangkan terhadap suatu integrasi dan
adaptasi sistem yang berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktus atau pola yang
telah ada dijelaskan melalui konsekuensi-komsekuensi atai efek-efek yang keduanya
diduga perlu dan bermanfaat terhadap permasalahan masyarakat. Pada umumnya
para fungsionalis telah mencoba menunjukkan bahwa suatu pola yang ada telah
memenuhi kebutuhan sistem yang vital dan menjelaskan eksistensi pola tersebut.

22

Masalah dan isu-isu yang utama sehingga dapat menyudutkan konsep


fungsionalisme. Pertama-tama adalah masalah konsep dan bagaimana konsep ini
didefinisikan. Hal ini merupakan karakteristik fungsionalisme tradisional yang
meminta kesabaran para pembacanya, tentang suatu perbedaan dan definisi konsep
yang tampaknya tidk pernah tuntas, istilahnya kurang jelas,kurang konsisten, kurang
memadai atau kurang dapat diterapkan.
Kita ambil konsep dasar tentang masyarakat, marion j. Levy, yang mengikuti
jejak parson telah mendefinisikan masyarakat sebagai suatu sistem tindakan yang
memiliki ciri-ciri:
1. Melibatkan suatu pluralitas (kemajemukan) individu yang berinteraksi pada
suatu kelompok, yang setidak-tidaknyadiambil dari masing-masing bagian
melalui reproduksi anggota seksual dari pluralitas tersebut.
2. Merupakan unsur pemenuhan diri terhadap tindakan pluralitas tersebut.
3. Kemampuan yang eksistensinya lebih lama dari pada jarak kehidupan seorang
individu.
Kerapuhan konsep lainnya yaitu tentang sistem sosial yang didefinisikan
sebagai suatu ssistem tindakan sosial yang mekibatkan suatu pluralitas individu
yang berinteraksi atau kumpulanbeberapa elemen yang berpola. Seperti yang
telah diamati oleh para kritikus, konsep ini terllu samar dan umum sehingga tidak
bermakna. Konsep ini tidak mendorong kita untuk membedakan antara berbagai
kelompok sosial yang telah kita ketahui, seprti keluarga, kelompok persahabatan,
komunitas kedaerahan, organisasi formal dan lainnya, yang merupakan bagian dari
sistem sosial.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa berbagai konsep dasar seperti
masyarakat atau sistem soaial merupakan pernyataan yang kurang memadai,
sehingga semua konsep itu dan asumsi-asumsinya, bersifat tidak sempurna. Jika
konsep yang kita rujuk tersebut tdak jelas dan idenya juga ti ak tepat mengenai
masyarakat atau sistem sosial ynag sebenarnya, maka bagaimana orang dapat
mengatakan mengenai kebutuhan-kebutuhan sistem itu, yang secara jelas dapat
ditemukan atau dipenuhi oleh berbagai struktur tersebut,(untuk sementara masalah
struktur dikesampingkan). Demikian pula dengan tidak adanya rujukan empirik yang
tepat mengenai istilah masyarakat, bagaimana orang bisa mengatakan apa yang

23

disebut dengan persyaratan fungsional dari suatu masyarakat. Misalnya,


pernyataan

dari

tokoh

fungsionalisme

kenamaan,

D.F.Aberle,

A.K.Cohen,A.K.Davis,Marion J.Levy dan F.X.Sutton dalam tulisan mereka The


Fungsiona Prerequistis of a soiety bahwa suatu masyarakat tidak akan berhasil jika
tidak menghindari empat kondisi berikut ini:
a. Ketidak aktifan secara biologis atau terpecahnya anggota masyarakat.
b. Keapatisan dari anggota masyarakat.
c. Peperangan total.
d. Penghisapan suatu masyarakat terhadap masyarakat lain.
Tak seorangpun pengarang The fungsional prerequisites of a sosiety merasa
puas baik dipandang dari logika ataupun empirik. Akirnya mereka memutuskan
bahwa terdapat 9 persyaratan fungsional, tetapi mereka mengakui bahwa persyaratan
itu mungkin lebih mungkin juga kurang. Prasyarat tersebut adalah.
a. Penyediaan hubungan-hubungan yang memadai terhadap ingkungan dan bagi
rekruitmen jenis kelamin.
b. Perbedaan peranan dan tugas
c. Komunikasi.
d. Orientasi-orientasi kognitif yang terbagi.
e. Seperangkap ungkapan cita-cita yang diartikulasikan.
f. Aturan-aturan normatif tentang sarana.
g. Ungkapan yang efektif dari aturan tersebut.
h. Sosialisasi.
i. Kontrol yang efektif dari bentuk perilaku yang menyimpang.
Dalam

situasi

yang

sama,

para

fungsionalis

menunjukkan

bahwa

kelangsungan struktur atau pola-polanya bisa bertahan bersifat adaptif yakni


mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan fungsionalnya. Kelangsungan pola-pola
tersebut digunakan untuk membuktikan karakter adaptifnya. Sementara karakter
adaptifnya dibuktikan oleh kelangsungannya. Maka bentuk ini akan selalu ada
dalam siklus.
2. Perspektif Fungsionalis
Dalam perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan
kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi bekerja dalam suatu cara yang

24

agak teratur menurut seperangkat aturan dan nilai yang dianutoleh sebagian besar
masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil
dengan suatu kecenderungan ke arah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan
yang mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Dalam perspektif fungsionalis, dengan Talcott Parsons (1937), Kingsley
Davis (1937) dan Robert Merton (1957) sebagai para juru bicar yang terkemuka,
setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus menerus,
karena hal itu fungsional. Jadi sekolah mendidik anak-anak, mempersiapkan para
pegawai, mengambil tanggung jawab orang tua murid dalam sebagian waktu pada
siang hari, dan sebagainya.
Corak prilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat. Di daerah
perbatasan Amerika dimana terdapat beberapa penginapan dan hanya sedikit orang
yang mampu menyewanya, tumbuhlah suatu pola sikap yang penuh keramahtamahan. Keluarga yang tengah bepergian pada waktu malam, merupakan tamutamu yang disambut hangat oleh setiap penduduk. Mereka yang sedang bepergian
itu membawa berita-beritadan pelipur kebosanan, tuan rumah menyediakan
makanan dan penginapan. Dengan bertambah mantapnyadaerah perbatasan, pola
keramahan-tamahan tidak lagi penting, dan menurun. Jadi pola perilaku timbul
untuk memenuhi kebutuhan dan hilang bila kebutuhan berubah.
Perubahan sosial mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun
tidakl lam kemudian terjadi keseimbangan baru. Sebagai contoh, dalam sebagian
besr sejarah, keluarga keluarga besar sangat didambakan. Tingkat kematian tinggi
dan keluarga besar membantu untuk meyakinkan adanya beberapa yang selamat.
Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan
yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional; bila keseimbangan tersebut
menggangu keseimbangan, hal tersebut mererupakan gangguan fungsional; maka
hal tersebut tidak fungsional. Dalam suatu negara demokrasi, partai-partai politik
adalah fungsional, sedangkan pemboman, pembunuhan dan terorisme politik adalah
gangguan fungsional, dan perubahan-perubahan dalam kamus politik atau
perubahan dalam lambang partai adalah tidak fungsionalis.
3.

Bentuk-bentuk Lain dari Analisis Fungsional

25

Pakar-pakar ilmu sosial telah mengetahui secara jelas kritik-kritik terhadap


fungsionalisme tradisional. Meskipun demikian, mereka mempercayai bahwa ada
tipologi analisis fungsional lain yang tidak mendapat kritik, oleh sebab itu hal ini
lebih bermanfaat. Misalnya, Cancian telah membedakan berbagai pendekatan
fungsional berupa tiga orientasi dasar atau model analisis. Pada umumnya, ketiga
pendekatan tersebut mempunyai elemen: yakni suatu kepentingan sistem
sosialyang terkait dengan bagian lainnya pada berbagai aspek secara keseluruhan.
Tiga orientasi tersebut adalah:
a. Pendekatan tradisional, yang didasarkan pada suatu anggapan dasar bahwa
seluruh struktur sosial yang utama sebagian besar beroperasi untuk menjaga
integritas atau adaptasi sistem sosial yang besar.
b. Pendekatan sosiologis, yakni yang berlandaskan beberapa konsep dan asumsi
sosiologi secara umum. Ini merupakan orientasi sebagaimana diungklapkan oleh
Kingsley Davis dalam ceramahnya di depan American Sosiological
Association, bahwa orientasi ini sama dengan sosiologi murni dan sederhana
dsehingga tidak membutuhkan nama khusus. Dengan didasari oleh prinsip
ilmiah secara murni, orientasi ini telah mengarah suatu gambaran yang teliti
yakni menggali hubungan yangn menentukan antara berbagai variabelsosiologi
yang signifikan, dan beberapa pola serta keteraturan secara umum.
c. Pendekatan sibernetik, yang didasarkan pada model pengaturan diri atau
sistemkeseimbangan. Ini suatu rangkaian dari postulat fungsionalisme
tradisional dan tidak menjadikan berbagai asumsi yang disebut dengan
kebutuhan-kebutuhan sistem,akibat dari pola yang adaptif atau integratif.
Akhirnya bentuk ini tidak menjelaskan suatu pola melalui akibat atau
konsekuensinya. Cancian menyebutnya sebagai fungsionalis formal karena;
Fungsionalisme formal ini terkait dengan bentuk yang statis, atau
keseimbangan, sistem-sistem, dan juga timbal balik serta keteraturan diri. Ia
merangkum dua pendekatan tradisional yang berbeda. Akibatnya yang berlaku
pada beberapa bagian sistem biasanya digunalan untuk menjelaskan ada
tidaknya bagian kejadian itu; dan tidak ada pembatasan dari jenis konsekuensi
yang dipertimbangkan. Jenis tersebut bisa saja bermanfaatatau tidak bagi
masyarakat. Pendekatan ini disebut pendekatan formal, sebab tidak memasukan

26

suatu orientasi teoritis atau hipotesis substantif mengenai kejadian yang empirik,
ini merupakan suatu model hubungan antar elemen sebagaimana model
matematika.
Tentunya pendekatan yang ketiga ini juga ada persyaratan minimal diman
ekplanasi ilmiah harus diletakkan terhadanya yakni asumsi itu tidak boleh
dipalsukan secara empirik, proposisi harus jelas diungkapkan, sehingga kasus
yang negatif dapat ditemukan secara meyakinkan.
D. Konflik Sosial
Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur
pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Teori konflik berasal dari Karl Marx
dengan konsep economic made of production, yang menghasilkan kelas yang
mengeksploitasi dan kelas yang tereskploitasi. Teori konflik muncul sebagai reaksi
dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau
menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an
dan 1960-an, teori konflik mulai merebak.
Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup,
terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas
proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis
melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.
Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false
consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima
keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan
kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi.
Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum
borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan
antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan
konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak

27

akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori
konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat.
Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda.
Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi.
Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena
adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya
perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial
dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat
perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun
pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama.
Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah
suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan paksaan. Maksudnya,
keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi).
Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan
power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar
pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
1. Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model
sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia
menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik
sosial.
Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua
perspektif

yang

berbeda

(teori

fungsionalis

dan

teori

konflik),

coser

mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan


tersebut.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisa
konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial.
Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara
potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok

28

tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman


George Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori
menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa
setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup
seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia-sia. Memang Simmel
tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl
Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja
untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk-bentuk atau konsep-konsep
sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori
konflik Simmel sebagai berikut: Simmel memandang pertikaian sebagai gejala
yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya
sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak
mungkin terpisah-pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan
proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan
kondisi-kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila
terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
a. Inti Pemikiran
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu
kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya,
pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan
praktek-praktek ajaran katolik pra-Konsili Vatican II) dan gereja Anglo-Katolik
(yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan
wanita). Perang yang terjadi bertahun-tahun yang terjadi di Timur Tengah telah
memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

29

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang


meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihakpihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savetyvalue) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk
mempertahankan

kelompok

dari

kemungkinan

konflik

sosial.

Katup

penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas


sebuah sistem atau struktur. Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia
kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari
situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1). Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan
khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan
keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap
mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar
tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2). Konflik Non-Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan
saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam
masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu
gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat
maju

melakukan

pengkambinghitaman

sebagai

pengganti

ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan


mereka.
2. Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf
Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam
pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser , seorang ahli
sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik
kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih
mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat
kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957-1958). Dahrendorf tidak
menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh
penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx.

30

Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai
teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai
untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat
bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
a. Inti Pemikiran
Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh
penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat
bahwa pemilikan dan Kontrol sarana-sarana berada dalam satu individuindividu yang sama.
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana-sarana juga bertugas
sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan
tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di
masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. Diantaranya:
1). Dekomposisi modal
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi-korporasi dengan saham
yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol
penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal.
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau
beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti
halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi
tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan
spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai-pegawai untuk
memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.
2). Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan
yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh
biasa berada di bawah.
Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide
mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai
sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan
perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa
ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi

31

pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut


Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan
atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang
memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat
terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial
yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisanya
Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok
mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai
legitimasi

hubungan-hubungan

kekuasaan.

Dalam

setiap

asosiasi,

kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan


ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan-kepentingan
kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubunganhubungan sosial yang terkandung di dalamnya.
Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an
kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok-kelompok
kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum
tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di
sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada
pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk
menyamakan derajatnya dengan kaum laki-laki.
3. Teori-Teori Konflik Masa Kini
Para penulis pendekatan konflik masa kini melihat perilaku kriminal
sebagai suatu refleksi dari kekuasaan yang memiliki perbedaan dalam
mendefinisikan kejahatan/ penyimpangan. Ada sebagian pemikir konflik
kontemporer yang mendefinisikan kriminalitas sebagai suatu fungsi dari posisi
kelas sosial.
Karena kelompok elit dan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan
memiliki kepentingan yang berbeda, apapun keuntungan dari kelompok elit akan
bekerja melawan kepentingan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Oleh
karena itu, tidak mengejutkan apabila data dan catatan resmi tentang angka

32

kejahatan di kantor polisi secara mendasar lebih tinggi pada kelas bawah
dibandingkan kelas-kelas yang memiliki hak-hak khusus.
Teori-teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan
sebagai suatu tindak rasional. Kejahatan yang terorganisir adalah suatu cara
rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ilegal dalam masyarakat kapitalis.
Teori-teori konflik menganggap kejahatan sebagai suatu ciri yang tidak dapat
diubah dari masyarakat kapitalis. Amerika Serikat adalah satu dari masyarakat
kapitalis tingkat tinggi/ lanjut dan angka kejahatan tertinggi di dunia saat ini.
4. Proposisi dalam Teori Konflik
Untuk lebih memahami adanya konflik sosial, ada beberapa proposisi yang
perlu dipahami, yaitu:
a. Semakin tidak merata distribusi sumber-sumber di dalam suatu sistem, akan
semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan atau lemah.
b. Segmen-segmen yang lebih lemah (subordinate) semakin menyadari akan
kepentingan-kepentingan

kolektif

mereka

maka

akan

semakin

besar

kemungkinannya mereka itu akan mempertanyakan keabsahan distribusi


sumber-sumber yang tidak merata.
c. Segmen-segmen yang lemah dalam suatu sistem semakin sadar akan
kepentingan-kepentinagn kelompok mereka maka semakin besar kemungkinan
mereka mempersalahkan keabsahan distribusi sumber-sumber dan semakin
besar pula kemungkinannya mereka mengorganisir untuk memulai konflik
secara terang-terangan terhadap segmen-segmen dominan suatu sistem.
d. Apabila segmen-segmen subordinate semakin sipersatukan oleh keyakinan
umum dan semakin berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka
segmen-segmen dominan dan segmen-segmen yang dikuasai yang lebih lemah
akan terpolarisasi.
5. Tahapan-Tahapan Konflik
Perkembangan konflik biasanya melewati tiga tahapan, yaitu:
a. Latent Tension (unreal conflict), konflik masih dalam bentuk kesalahpahaman
antara satu dengan lainnya, tetapi anatara pihak yang bertentangan belum
terlibat dalam konflik.

33

b. Nescent Confilct, konflik mulai tampak dalam bentuk pertentangan meskipun


belum menyertakan ungkapan-ungkapan ideologis dan pemetaan terhadap
pihak lawan secara terorganisir.
c. Intensified Conflict, konflik berkembang dalam bentuk yang terbuka disertai
dengan radikalisasi gerakan di antara pihak yang saling bertentangan dan
masuknya pihak ketiga ke dalam arena konflik.
E. Fungsi sosial rumah sakit sebagai penyedia dan pelayan jasa kesehatan
1. Konsep Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan
karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau
oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (UU
No. 44 Tahun 2009, Tentang Rumah Sakit).
Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada
nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak
dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta
mempunyai fungsi sosial (UU No. 44 Tahun 2009, Tentang Rumah Sakit).
Menurut peraturan Menteri Kesehatan No, 147/Menkes/PER/I/2010,
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut

Kementerian

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

983/Menkes/SK/VIII/2004, tugas rumah sakit adalah melaksanakan upaya


kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya
penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu
dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan
yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (UU No. 44 Tahun
2009, Tentang Rumah Sakit).

34

Upaya menjalankan tugas sebagaimana disebut diatas, menurut UU No.


44 Tahun 2009, rumah sakit mempunyai fungsi:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna sesuai kebutuhan medis
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
3. Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut UU No. 44 Tahun 2009, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan
jenis pelayanan dan pengelolaan. Adapun klasifikasinya sebagai berikut:
a. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan
1). Rumah Sakit Umum: memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit.
2). Rumah Sakit Khusus: memberikan pelayanan utama pada satu bidang
atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

b. Berdasarkan pengelolaan
1). Rumah Sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah Sakit publik yang dikelola
Pemerintah

dan

Pemerintah

Daerah

diselenggarakan

berdasarkan

pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit
publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit privat.
2). Rumah Sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang
berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

35

3). Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit pendidikan setelah
memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. Rumah Sakit
pendidikan ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri
yang

membidangi urusan pendidikan. Rumah Sakit pendidikan

merupakan Rumah

Sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan

penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran,


pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan
lainnya (UU No. 44 Tahun 2009).
Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang
dan

fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus

diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanannya.


4. Klasifikasi rumah sakit umum sebagai berikut:
a. Rumah Sakit umum kelas A
b. Rumah Sakit umum kelas B
c. Rumah Sakit umum kelas C
d. Rumah Sakit umum kelas D.
Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagai berikut:
a. Rumah Sakit khusus kelas A
b. Rumah Sakit khusus kelas B
c. Rumah Sakit khusus kelas C
F. Peran pemerintah dalam menghadapi tantangan globalisasi Rumah Sakit
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan mutu pelayanan di rumah
sakit. Pemerintah terus melakukan upaya tersebut sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Pelayanan di rumah sakit harus dilaksanakan sesuai standar pelayanan
minimal rumah sakit, standar profesi, dan standard operating procedure atau SOP.
Oleh karena itu, akreditasi rumah sakit sangat penting untuk menilai apakah
pelayanan suatu rumah sakit telah memenuhi standar (Kemenkes RI, 2012).
Guna meningkatkan dan mengembangkan pelayanan rumah sakit yang
optimal dan bermutu, maka, self assessment, peningkatan etos kerja, dan

36

peningkatan keselamatan pasien sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang


No. 44 Tahun 2009, tentang Rumah Sakit harus mendapat perhatian sungguhsungguh di rumah sakit.
Menurut Kemenkes RI, Pemerintah sedang mengembangkan world class
health care dengan mengembangkan beberapa rumah sakit agar dapat terakreditasi
secara internasional. Upaya ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit
di Tanah Air agar bertaraf internasional, menjawab tantangan dan menyikapi
masih banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Selain itu juga
diarahkan untuk mengembangkan wisata kesehatan atau health tourism di
Indonesia, seperti kegiatan pariwisata yang diintegrasikan dengan akses pelayanan
kesehatan, baik untuk berobat maupun untuk medical check up.
Kemenkes RI dalam kebijakan menekankan agar rumah sakit selalu membuka
pintunya untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat miskin
dan tidak mampu. Selain itu juga aspek promotif-preventif hendaknya dapat
diberikan porsi yang bermakna dalam pelayanan rumah sakit.
Pelayanan rumah sakit yang diinginkan masyarakat adalah pelayanan rumah
sakit profesional, bermutu, ramah, santun, simpatik, komunikatif, dan penuh
empati. (Kemenkes RI, 2012)
Sementara itu, Konsep dan Kebijakan Rumah Sakit Pra Globalisasi dan Era
Globalisasi mengalami pergerseran yaitu;
1. Pra Globalisasi dengan ciri:
a. RS adalah Lembaga Sosial
b. Anggaran dari Pemerintah
c. Pembayaran Langsung
d. Sistem Pembayaran fee for service
e. Upaya lebih ditekankan pada kuratif dan rehabilitatif
f. Terpisah dari sistem pelayanan medik wilayah Dati II
g. Kebijakan standar untuk semua RS

37

h. Manajemen mutu bukan inti kegiatan


i. Berorientasi pada dokter
2. Era Globalisasi dengan ciri:
a. RS adalah industri jasa
b. Anggaran dari masyarakat
c. Pembayaran dari masyarakat
d. Sistem pembayaran kapitasi
e. Upaya paripurna dari promotif sampai dengan rehabilitatif
f. Merupakan bagiaan dari sistem pelayanan medik Dati II
g. Kebijakan standar berbeda untuk urban dan rural
h. Manajemen mutu menjadi inti kegiatan rumah sakit
i. Berorientasi pada komsumen.
`
G. Peran organisasi profesi kesehatan dalam menghadapi tantangan globalisasi Rumah
Sakit
Masyarakat internasional telah mencanangkan Millenium Development Goals
(MDGs). Komitmen terhadap MDGs ini diwakili oleh 8 (delapan) tujuan untuk
membuat perubahan yang signifikan terhadap status kesehatan penduduk dunia.
Kesenjangan utama yang mungkin timbul dalam pencapaian tujuan MDGs, terletak
pada perbedaan status kesehatan dan usia harapan hidup antara kaya dan miskin,
antara penduduk negara maju dan negara berkembang, antara laki-laki dan
perempuan, serta antara penduduk daerah pedesaan dan perkotaan, sebagaimana
terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia.
Hasil evaluasi WHO tahun 2009, menunjukkan adanya perubahan mendasar
dalam pencapaian tujuan MDGs sebagai dampak dari intervensi kesehatan terutama
intervensi untuk mengontrol HIV dan immunisasi campak. Namun demikian, data
juga menunjukkan bahwa masih dijumpai adanya kesenjangan (gap) pada masalah
kesehatan, kesejahteraan dan Usia Harapan Hidup penduduk dari berbagai
kelompok masyarakat.
Aspek kunci yang harus diperhatikan dalam pemberian pelayanan kesehatan
adalah: keterjangkauan (accessibility), serta kesetaraan dan keadilan (equity) bagi
masyarakat. Pada penerapannya, akses terhadap pelayanan kesehatan dibatasi oleh

38

berbagai kendala antara lain kendala pembiayaan, kendala bahasa, rendahnya


kualitas pelayanan, serta langkah-langkah intervensi yang masih kurang tepat.
Kendala lain yang juga terkait erat adalah sumber daya manusia kesehatan, serta
kesiapan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang kompeten dan
professional sesuai dengan standar. Berbagai keterbatasan dalam akses pelayanan
tersebut akan memiliki dampak langsung terhadap kualitas pelayanan yang
diberikan. Sementara itu, Health Equity dititikberatkan pada upaya-upaya untuk
mendorong pergerakan global dalam mempercepat pencapaian tujuan MDGs.
Pada tahun 2008, WHO sebagaimana dirilis oleh the Commission on the Social
Determinants of Health (CSDH) menekankan bahwa tenaga kesehatan memiliki
peran penting di berbagai tatanan baik di fasilitas kesehatan, maupun di keluarga
dan masyarakat, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam pencapaian
kesehatan, serta mengembangkan pemahaman yang kuat tentang bagaimana sektor
kesehatan dapat berperan mengurangi inequities. Tenaga kesehatan juga dianjurkan
untuk dapat memahami perannya dalam mewujudkan tersedianya pelayanan
kesehatan yang setara dan adil (equitable) dan terjangkau (accessible).
Dalam mewujudkan pembangunan kesehatan tahun 2010-2014 dan untuk
mencapai visi Kementerian Kesehatan yaitu mencapai masyarakat sehat yang
mandiri dan berkeadilan, serta sejalan dengan fokus prioritas yang ditetapkan oleh
kementerian kesehatan, ditetapkan berbagai upaya kesehatan yang memiliki daya
ungkit besar terhadap pencapaian hasil pembangunan kesehatan, antara lain
peningkatan pelayanan kesehatan di DTPK dan DBK, serta pengembangan
pelayanan kesehatan Indonesia kelas dunia (World Class Health Care) khususnya
untuk perumah sakitan (World Class Hospital). Penerapan pelayanan kesehatan
kelas dunia perlu dilakukan secara bertahap, dengan fokus tahapan pada penyiapan
sarana dan prasana pendukung serta penyiapan terhadap perangkat SDM untuk
mencapai pelayanan berstandar internasional.
Organisasi profesi dapat memiliki otoritas regulasi keprofesian; menetapkan
professional

barrier;

mengusulkan

peraturan

perundangan;

bersikap

atas

perkembangan teknologi kedokteran; menetapkan request dan offers; bersiap


menerima TKA (dokter asing); dan bekerja sama dengan stake holder kesehatan.
Yang dimaksud menetapkan professional barrier adalah standarisasi praktek
kedokteran yang meliputi sertifikasi, standarisasi dan lisensi. Dalam permasalahan

39

TKA maka strategi penggunaan TKA harus berorientasi pada peningkatan daya
saing tenaga kerja Indonesia melalui alih KSA (knowledge, skill and attitude).
Strategi jangka pendek meliputi: penyusunan daftar jabatan dan strategis TKA,
penyusunan standar kompetensi (competency standar), penyusunan persyaratan
jabatan (job requirement) dan penyusunan uraian jabatan. Sedangkan strategi
jangka panjang ditujukan kepada peningkatan mutu sumber daya manusia. Peran
dan komitmen Organisasi Profesi Kesehatan (Sofyan Ismael, 2012) :
a. Memulai dengan membuat SWOT analysis.
b. Penyesuaian kurikulum beraspek global segera diantisipasi.
c. Pada pelayanan kesehatan seyogyanya tiap-tiap pehimpunan membuat standar
pelayanan medik dan meningkatkan kualitas dokter umum/spesialis sesuai
kepentingan nasional.
d. Perlu adanya standar kompetensi yang sesuai dengan kepentingan nasional.
e. Di setiap RS, komite medik merupakan badan yang dapat menapis segala sesuatu
yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan dokter spesialis duduk sebagai
anggota.
f. Mengusulkan segera produk hukum diberlakukan, yaitu Undang-Undang Praktek
Kedokteran (Konsil Kedokteran Indonesia), PP-UU, SKN dan Perda.
H. Peran Organisasi Rumah Sakit (PERSI) dalam menghadapi tantangan globalisasi
Rumah Sakit
Dalam menghadapi perkembangan perumahsakitan dalam era globalisasi
dan tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan yang semakin tinggi, Rumah Sakit
dituntut harus bermutu, mampu berkompetisi dan mampu mewujudkan efisiensi
serta dapat menjalankan fungsi sosial berlandaskan Norma, Moral, dan Etika. Dan
dampaknya adalah kepercayaan (Trust) masyarakat kepada Provider /rumah sakit
yang memberi pelayanan.
Persi selaku organisasi pengelola Rumah Sakiy menyadari bahwa tantangan
bahkan ancaman pada tahun 2014 yaitu dengan berlakunya BPJS dan Era
Globalisasi, suka tak suka pihak pemilik rumah sakit / Yayasan, Manajemen dan
juga Staf Medis harus menyikapinya dengan bijak

40

I. Kerangka Pikir
Kerangka pikir yang dirancang dalam penelitian ini adalah berangkat dari
mekanisme global Rumah Sakit yang menjadi kesepakatan internasional yang wajib
diikuti oleh negara-negara diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan
mekanisme tersebut maka perlu dilakukan pengkajian upaya-upaya advokasi yang
tepat untuk memunculkan kesadaran kolektif Rumah Sakit global yang pada akhirnya
dapat memaksimalkan fungsi sosial Rumah Sakit yang hampir hilang pada kondisi
sekarang ini baik fungsi sosial bagi pemberian pelayanan masyarakat miskin maupun
pemberian tanggung jawab sosial perusahaan bagi masyarakat di sekitar Rumah Sakit.
Mekanisme Globalisasi RS

Peran Pemerintah Lokal

Advokasi

Peran Organisasi Profesi Kesehatan


Upaya Advokasi
Fungsi Sosial RS

Lembaga Penjamin Pembiayaan

Masyarakat Miskin Akses RS Global

Peran Organisasi RS(PERSI)

Perubahan Sosial

Kerangka Konsep Penelitian

BAB III

41

METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode metode penelitian kualitatif. Metode
kualitatif ini memerlukan elaborasi lengkap dalam bentuk ekploratif dan pemahaman
yang menyeluruh (komprehensif) serta mendalam (indepth). Tahapan penelitian;
observasi kebutuhan penelitian, orientasi lapangan, pengembangan rancangan
penelitian, pengumpulan data dan pengolahan data, analisis data, penyajian data,
seminar hasil, dan publikasi.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Rumah Sakit BLU Pusat, Rumah
Sakit BLU Provinsi Sulsel, dan 2 RS Swasta International yaitu RS Awal Bross
dan Rumah Sakit Siloam.
C. Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah manajemem Rumah Sakit, Pengurus
Organisasi Profesi Kesehatan, Pengurusan organisasi Rumah Sakit (PERSI), dan
masyarakat kategori miskin yang berada di Kota Makassar. Jumlah informan
penelitian ini tergantung dari tingkat kejenuhan informasi yang dibutuhkan.
D. Sumber Data
Jenis data yang akan digali pada penelitian ini terdiri data primer dan
data sekunder. Sumber data primer berasal dari informan manajemem Rumah
Sakit, Pengurus Organisasi Profesi Kesehatan, Pengurusan organisasi Rumah
Sakit (PERSI), dan masyarakat kategori miskin yang berada di Kota Makassar.
Sedangkan data sekunder diambil di Instansi Pemerintah seperti Dinas
Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Pusat Statistik, dan
Instansi Lainnya.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif dilakukan dalam tiga tahapan proses; 1) reduksi
data, 2) kategorisasi data, dan 3) interpretasi data.

F. Penyajian Data

42

Data akan disajikan dengan secara menyeluruh setiap temuan yang dikaitkan
dengan latar peristiwa dimana temuan tersebut terjadi. Untuk mendapatkan dukungan
informasi sebagai kekuatan analisis, elaborasi fakta akan disertakan kutipan-kutipan
pernyataan dari informan.
G. Uji Keabsahan Data/Triangulasi data
Untuk mendapatkan informasi yang memiliki validitas tinggi, maka pada
penelitian ini akan menggunakan teknik triangulasi pada data, sumber dan metode.
Triangulasi data dilakukan dengan cara membandingkan antara konsistensi pola
pernyataan informan yang satu dengan lainnya. Triangulasi sumber dengan menggali
data dari informan kunci. Triangulasi metode dengan menggunakan lebih dari satu
metode kemudian mengamati kesamaan pola informasi yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

43

Agustang A, 2011, Makna Pembangunan, www.salangketo.blogspot.com diakses pada


tanggal 17 Februari 2013
Agustang A, 2011, Telaah Kritis tentang Model Pendekatan Penelitian Kualitatif dan
Kuantitaf, www.salangketo.blogspot.com diakses pada tanggal 17 Februari
2013
Adisasmito, W, 2008, Kesiapan Rumah Sakit dalam menghadapi globalisasi, UI Press,
Jakarta
Adisasmito W. 2006, Membebaskan Indonesia dari Reformasi Tak Berujung dan
Melesat Jadi Bangsa yang Maju, Bermartabat dan Mandiri disajikan dalam
Seminar Kompas: Sewindu Reformasi Mencari Visi 2030. Jakarta. 8-9 Mei
2006.(www,kompas.com, Diakses pada tanggal 11 Februari 2013)
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama: Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer.
UMM Press, Malang
Craib Ian, 1986, Teori-teori Sosiologi Modern, CV.Rajawali, Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2012, Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2010, Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit. Jakarta
Harris R. 2006, Mengapa Orang Sakit Berobat ke luar Negeri. (www.desentralisasikesehatan.net. diakses pada tanggal 12 Februari 2013)
Jacobalis S. 2000, Rumah Sakit Indonesia dalam Dinamika Sejarah, Transformasi,
Globalisasi dan Krisis Nasional. Aksara, Jakarta.
Paul B. Horton, Chester L Hunt, 1999, Sosiologi,Erlangga, Jakarta
Siahaan M. Hotman, 1999, Pengantar Kearah Sejarah dan teori sosiologi, Erlangga
Jakarta
Zeitlin M. Irving , 1998, Memahami kembali sosiologi,Gajah Mada University Press,
Yogyakarta
.

Anda mungkin juga menyukai