Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN ASMA

2.1 Definisi
Asma adalah suatu kadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya
penyempitan bronkus yang berulang namun reversibel, dan diantara episode
penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal.
Keadaan ini pada orang-orang yang rentan terkena asma mudah ditimbulkan oleh
berbagai rangsangan, yang menandakan suatu keadaan hiperaktivitas bronkus yang khas.
Penyakit asma adalah penyakit yang terjadi akibat adanya penyempitan saluran
pernapasan sementara waktu sehingga sulit bernapas. Asma terjadi ketika ada
kepekaan yang meningkat terhadap rangsangan dari lingkungan sebagai pemicunya.
Diantaranya adalah dikarenakan gangguan emosi, kelelahan jasmani,perubahan
cuaca, temperatur, debu, asap, bau-bauan yang merangsang, infeksisaluran napas,
faktor makanan dan reaksi alergi.
Penyakit asma bronkial di masyarakat sering disebut sebagai bengek,
asma, mengi, ampek, sasak angok, dan berbagai istilah lokal lainnya. Asma
merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang
bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan
respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan
penyempitan jalan nafas.
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecederungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun
belakangan ini obat-obatan asma dikembangkan. Laporan organisasi kesehatan
dunia who dalam world health report 2000 menyebutkan lima penyakit paru
utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia. Saat ini penyakit asma
masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO 2002 dan
Gina 2011 di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma
dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta.

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di


Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan
(morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT
1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti)
ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi
paru 2/ 1000. Asma pada dewasa. Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo,
Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur
dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile
Indonesia dan Respiratory symptoms questioner of Institute of Respiratory
Medicine, New South Wales,dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE)
menggunakan alat peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662
responden usia 13-70 tahun (rata-rata 235,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma
sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2% dan perempuan 6,6%

2.3 Klasifikasi
Ada 2 bentuk asma : asma bronkhial menurut Subuea (2005), yaitu :
1.

Asma esktrinsik (Atopic/ Ekstrinsik)


Gejala awal berupa ekzema/hay fever (bersin-bersin dengan ingus yang encer)
hay fever dan eksema dapat timbul pada penderita yang berdasarkan sifat
imunologik, peka terhadap alergen yaitu bahan yang terdapat dalam udara.
Alergen yang telah lama dikenal ialah tepung sari dari bunga, rumputrumputan, pohon, bulu kucing atau debu rumah.

2. Asma bronkhial intrinsik (Nonatopic/ Intrinsik)


sepanjang hidup penderita ini tidak kita temukan suatu faktor alergi yang
menjadi penyebabnya tetapi ditemukan kepekaan yang berlebihan dari bronkus
terhadap sejumlah stimulus yang non alergi, misal : infeksi virus/bakteri dari

bronkus, kadang-kadang kegiatan jasmani, kadang-kadang karena menghirup


udara dingin.

2.4 Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai
teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan simpatis (blok pada
reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,
yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik).
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika
ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik).
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma
ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik.
Berdasarkan Keparahan Penyakitnya :

a.

Asma intermiten
Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam
beberapa jam atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam 1
bulan, fungsi paru normal dan asimtomatik di antara waktu serangan,
Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second
(PEV1) > 80%

b. Asma ringan
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1
hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari
terjadi > 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80%.
c. Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau
tidur, gejala asma malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu,
menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF
dan PEV1 >60% dan < 80%.
d. Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma
malam hari sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF
dan PEV1 < 60%.
2.5 Faktor risiko
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronchial:
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial
jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.

2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
3. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.
4. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang
timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi
perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
5. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal
ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut.

2.6 Patofisiologi

Faktor
pencetus
-alergen
-cuaca
Antigen yang trkait IGE pada
permukaan sel mast atau
basofil
Mengeluarkan mediator histamine,
platelet, bradikinan
Permiabelitas
kapiler meningkat
Edema mukosa, skresi produktif,
kontrinsik otot polos meningkat

Konsentrasi 02
dalam darah
menurun

Spasme otot polos


sekresi kelenjer
bronus meningkat

Suplai darah O2
kejantung
berkurang

Penyempitan/obstru
ksi proksimal dari
bonkus pd tahap
ekspirasi dan
inspirasi
Mucus berlebihan
batuk wheezing
sesak nafas

hipoksemia

Penurunan cardiac
ouput

Kelemahan dan
keletihan

Intoleransi aktivitas

Kebutuhan o2
meningkat

Hiperventilasi

Tekanan partial
oksigen dialveoli
menurun

Retensi o2

Ketidakefektifan
bersihan jalan
nafas

Asidosis respiratori

Penurunan curah
jantung
6

2.7 Manifestasi klinis


Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Pada
beberapa keadaan, batuk merupakan satu satunya gejala. Serangan asma
sering kali terjadi pada malam hari. Serangan asma biasanya bermula
mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan
pernapasan lambat, mengi, laborius. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang
dibanding inspirasi, yang mendorong pasien selalu lebih susah dan panjang
dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan
menggunakan setiap otot otot aksesories pernapasan. Jalan napas yang
tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk pada awalnya susah dan kering tetapi
segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit mukus
mengandungmasa gelatinosa bulat, kecil yang dibatukkan dengan susah
payah. Tanda selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat
dan gejala gejala retensi karbondioksida termasuk berkeringat, takikardia
dan tekanan nadi.
Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam
dan dapat hilang secara spontan. Meski serangan asma jarang yang fatal,
kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut status
asmatikus . Kondisi ini merupakan keadaan yang mengancam hidup.
2.8 Pemeriksaan diagnostik
Pengukuran Fungsi Paru ( Spirometri)
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara objektif faal paru.
Bertujuan mengukur volume paru secara static dan dinamik serta untuk
mengetahui gangguan pada faal paru.
Tes Provokasi Bronkhus
Tes

provokasi bronchus, untuk menunjang

adanya

hiperaktifitas

bronchus( histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan


udara dingin dan inhalasi dengan aqua destilata)

Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan adanya antibody IgE hipersensitif yang spesifik
dalam tubuh.
Pemeriksaan Laboratoium
1. Analisa Gas Darah (AGD/ astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia,
hiperkapnea, dan asidosis respiratorik. Pada pasien asma terdapat hasil abnormal
sebagai berikut:
a)

Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi

hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.


b) Kadang-kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c) Hiponatremia dan kadar leukosit di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2.

Sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan sebagai berikut:
a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.

3. Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm
baik asma intrisik ataupun ekstrisik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara
100-200/mm.
4.

Pemeriksaan darah rutin dan kimia


Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm terjadi karena adanya infeksi.
SGOT dan SPGT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau
hiperkapnea.

Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma brokhial biasanya
normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum, dan atelektasis. Akan tetapi bila terdapat
komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
d) Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e) Bila
terjadi
pneumonia
mediastinum,
pneumotoraks,

dan

pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada


paru-paru(Medicafarma,2008)
2.9 Komplikasi
1)

Pneumothoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udaraatau gas di dalam


rongga pleura, yang terjadi secara spontan atau sebagai akibat trauma.

2)

Emfisema adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan


adanya

kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal

bronkhiolus terminal yang disertai dengan kerusakn dinding alveoli.


3)

Atelektasis adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan adanya proses


penyakit parenkim yang disebabkan oleh obstruksi bronkhus.

4)

Gagal nafa adalah ketika pertukaran gas antara oksigen dengan karbon
dioksida di paru tidak dapat mengimbangi laju konsumsi oksigen dan
produksi karbon dioksida pada sel tubuh. Kondisi ini mengakibatkan tekanan
oksigen arterial kurang dari 50mmHg (hipoksemia) dan tekanan karbon
dioksida arterial meningkat lebih dari 45mmHg(hiperkapnea)

5) Brokitis adalah peradangan dari satu atau lebih bronkus yang dapat
disebabkan oleh karena terkena dingin,penghirupan bahan-bahan iritan dan
oleh karena infeksi akut.

6) Status Asmatikus adalah bentuk hebat dari asma akut dimana obstruksi jalan
nafas tahan terhadap terapi obat konvensional dan berakhir lebih dari 24 jam.
7) Disritmia adalah gangguan pada frekuensi jantung regular atau irama yang
disebabakan

oleh

perubahan

pada

konduksi

elektrik

atau

otomatisasi(Rab,1996)
2.10 Penatalaksanaan medis
Pengobatan nonfarmakologi
a)

Penyuluhan
Penyuluhan ini ditunjukan untuk peningkatan pengetahuan klien tentang

penyakit

asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor

pencetus,

menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim

kesehatan.
b)

Menghindari factor pencetus


Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus seranagn asma yang ada pada
lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi factor pencetus,
termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.

c)

Fisioterapi
Dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mucus. Ini dapat

dilakukan

dengan postural drainase, perkusi dan fibrasi dada.

Pengobatan Farmakologi
a)

Agonis beta

Metaproterenol(alupent,metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja sangat cepat,


diberikan sebanyak 3-4x semprot, dan jarak antara semprotan pertama dan kedua
adalah 10 menit
b)

Metilxantin

Dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4x sehari. Golongan metilxantin adalh


aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak
memberika hasil yang memuaskan.
c)

Kortikosteroid

10

Jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respons yang baik, harus
diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan dosis 4x semprot
tiap hari.
Pemberian steroid dalam jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien
yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d)

Kromoloin dan Iprutropioum bromide (atroven)

Kromolin merupakan obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis


Iprutropioum bromide diberikan 1-2 kapsul 4x sehari(Kee dan Hayes,1994)
e)

Bronkodilator

Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secra inhalsi atau parenteral.
Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya
diberikan Aminophilin secara parenteral, sebab makaisme yang berlain, demikian
pula sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan teofilin oral,
maka sebainya diberikan obat golongan simpatomimetik.
Obat-obat brokodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap
adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol)
mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil
dibandingkan dengan bentuk non- selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin).
Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping
sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak
dan dewaa. Mula-mula diberikan dua sedotan dari Metered Aerosol Defire
( Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang setiap
empat jam , jika tidak ada perbaikan dalam 10-15 menit setelah pengobatan, maka
berikan Aminophilin intervena.
Obat-obat Brokodilator simpatomimetik memberikan efek samping takikardi,
penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit
hipertensi, kardiovaskular, dan serebrovaskular. Pada dewasa dicoba dengan 0,3
ml larutan epinefrin 1:1000 secara subkutan. Pada anak-anak 0,01 mg/KgBB
subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai
kebutuhan.

11

Pemberian AMinophilin secrar intravena dengan dosis awal 5-6mg/KgBB


dewasa/anak-anak, disuntikan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis penunjang
dapat diberikan sebanayk 0,9mg/KgBB/jam secara intravena. Efek sampingnya
tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara perlahan.(Muttaqin,2008)

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

12

Asma adalah penyakit kronik saluran napas yang di tandai oleh hiperaktivitas
bronkus, yaitu kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Manifestasi
penyakit ini adalah penyempitan saluran napas dengan berbagai gejala, mulai dari
batuk-batuk, rasa berat di dada, bunyi mengi, dan sesak napas. Gejala ini timbul
biyasanya bila ada faktor pencetus yang merangsang saluran napas. Penyakit asma
mengenai semua umur, tetapi terbanyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa
muda. Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Pada beberapa
keadaan, batuk merupakan satu satunya gejala. Serangan asma sering kali terjadi
pada malam hari. Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan
rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi, laborius.

DAFTAR PUSTAKA

13

Graha C. 2008. Terapi untuk anak asma. Jakarta. PT Elex media komputindo.
Brunner & Suddarth.(1997). Keperawatan Medikasi Bedah. Edisi 8. Volume 1.
Penerbit : Buku Kedokteran. EGC, Jakarta.
Mansjoer Arif, dkk ( 2000 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2.

Penerbit : Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Muttaqin,Arif.(2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
Agustining, Denny. Dkk. (2007). Latihan Pernapasan Dengan Metode Buteyko
Meningkatkan Nilai Force Expiratory Volume In 1 Second (%fev1)
Penderita Asma Dewasa Derajat Persisten Sedang. Berita Kedokteran
Masyarakat. 23(2). Hlm 52-57
Safitri, Reffi & Annisa Andriani. (2011). Keefektifan Pemberian Posisi Semi
fowler Terhadap Penurunan Sesak Nafas Pada Pasien Asma Di Ruang
Rawat Inap Kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Gaster. 8(2).
hlm783-792
Digiulio, Mary. dkk.(2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Rapha
Publishing.
Haq, Rosma Harinna.(2010). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Serangan
Asma Pada Penderita Asma Bronkial Dl BP4 Semarang. Jornal
KesMaDaSka.1(1).hlm 26-33
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik ed 2. Jakarta : EGC.
Samekto, Widiastuti.(2002). Asma Bronkiale. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Surya A, Djaja.(1990). Manual Ilmu Penmyakit Paru. Jakarta : Binarupa Aksara.

14

Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatal


Somantri, Irman.2009. Asuhan Keperwatan Pada Klien Gangguan Sistem
Pernafasan

Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Rab,Tabran.1996.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:Hipokrates.


Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Crocket,Antony,1997.

Penanganan

Asma

Dalam

Keperawatan

Primer.

Jakrta:Hipokrates.
Doengoes, Marilyn.dkk.2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta: Buku
kedokteran

EGC.

15

Anda mungkin juga menyukai